Syafiyyah binti Huyay, Istri Rasulullah SAW dari Keturunan Yahudi


Jakarta

Banyak kisah yang menceritakan tentang istri-istri Nabi Muhammad SAW. Salah satunya Syafiyyah binti Huyay. Beliau adalah istri Rasulullah SAW yang berasal dari suku Bani Nadhir.

Ketika menikah dengan Rasulullah SAW, Safiyyah belum genap berusia 17 tahun. Safiyyah tidak disukai oleh istri-istri Rasulullah SAW lainnya karena ia adalah anak keturunan Yahudi.

Sebelum menjadi istri Rasulullah SAW, ia telah menikah sebanyak dua kali. Pernikah pertama dengan laki-laki Yahudi dari Bani Quraizhah bernama Salam bin Misykam al-Qurazhi. Namun, pernikahan mereka tidak berlangsung lama, karena terjadi perceraian.


Kedua, Syafiyyah dinikahi oleh Kinanah bin Rabi’ bin Abi Huqaiq an-Nadhiri, lelaki berdarah Yahudi dari Bani Nadhir. Pernikahan tersebut juga tidak berlangsung lama sebab Kinanah terbunuh pada Perang Khaibar.

Awal Kehidupan Syafiyyah binti Huyay

Merujuk buku Kisah-Kisah Teladan Para Muslimah Hebat oleh Nisa Yustisia, Syafiyyah adalah putri Huyay bin Akhtab dan Barrah binti Samaual. Ayahnya merupakan pemimpin Bani Nadhir, salah satu kaum Yahudi.

Sejak kecil Syafiyyah rajin membaca dan mempelajari sejarah serta ilmu pengetahuan. Dari kitab Taurat, ia mengetahui bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah Arab yang menjadi penutup seluruh nabi. Syafiyyah pun meyakini kebenaran berita itu.

Setelah muncul berita bahwa Nabi Muhammad SAW menyebarkan agama Islam di Mekkah, Syafiyyah langsung meyakini bahwa hal itu sesuai dengan apa yang ia pelajari di kitab Taurat. Ia justru heran kepada kaumnya yang tidak memercayai berita tersebut, termasuk ayahnya yang menentang dakwah Nabi Muhammad SAW.

Perang Khaibar

Kembali mengutip buku dari Nisa Yustisia, pada tahun 628 M, Bani Nadhir melakukan penyerangan terhadap kaum muslimin. Namun, Allah SWT menolong kaum muslimin sehingga mampu mengalahkan kaum Yahudi.

Dengan kemenangan tersebut, kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang dan menjadikan kaum wanita Yahudi sebagai tawanan perang. Syafiyyah adalah salah satu tawanan perang tersebut.

Pernikahan Syafiyyah binti Huyay dengan Rasulullah SAW

Mengutip buku Orang-orang yang Memusuhi Nabi Muhammad SAW oleh Kaha Anwar, Syafiyyah binti Huyay dinikahi oleh Rasulullah SAW pada usia 17 tahun. Ia dijadikan istri setelah peristiwa Perang Khaibar.

Sebelum dinikahi Rasulullah SAW setelah Perang Khaibar, Syafiyyah merupakan budak Dhiyah al-Kalabi. Kemudian Rasulluah SAW membeli Syafiyyah serta memberikannya dua pilihan.

Pilihan pertama, Syafiyyah dimerdekakan dan dikembalikan ke kaumnya. Pilihan kedua, Syafiyyah dimerdekakan dan dinikahi oleh Rasulullah SAW tapi harus masuk Islam. Akhirnya Syafiyyah memilih dinikahi Rasulullah dengan mahar berupa pembebasan statusnya dari budak.

Konon, sejak kedatangan Rasulullah SAW ke Madinah, sebenarnya Syafiyyah sudah tertarik dengan Islam. Apalagi ia adalah tetangga Rasulullah SAW sebelum Bani Nadhir diusir dari kampung halamannya. Namun, ia tidak berani mengucapkan ketertarikannya kepada Islam karena ayahnya membenci Rasulullah SAW.

Namun, kehadiran Syafiyyah sebagai istri Rasulullah SAW tidak disambut baik oleh para istri Nabi dan para wanita Muslimah di sana. Hal ini wajar, mengingat perilaku ayah Shafiyah yang sangat jahat dan kejam kepada Nabi. Dahulu, ayah Shafiyah sempat melempar batu pada Nabi.

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, Syafiyyah merasa sangat terasingkan di tengah-tengah kaum muslimin. Karena sering mengungkit-ungkit garis keturunan Syafiyyah yang berasal dari Yahudi. Meskipun demikian, Syafiyyah tetap pada keimanannya dan melanjutkan perjuangan dakwah suaminya. Syafiyyah wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abdurrahman bin Auf Merangkak Masuk Surga karena Kekayaannya


Jakarta

Abdurrahman bin Auf RA merupakan seorang sahabat Rasulullah SAW yang sangat kaya. Ia juga gemar mengeluarkan hartanya untuk Allah SWT, agama, dan muslimin.

Disebutkan dalam buku Akidah Akhlak karya Aminudin dan Harjan Syuhada, Abdurrahman bin Auf RA lahir di Makkah 10 tahun setelah tahun Gajah. Ayahnya merupakan seorang petinggi tokoh bani Zuhrah yang bernama Auf bin Abdu Auf bin Abdu bin Al-Harits Az-Zuhri.

Ia termasuk dalam salah satu sahabat Rasulullah SAW yang pertama kali masuk Islam. Sebelum menjadi seorang muslim, ia bernama Abdu Amru. Barulah kemudian ia mengganti namanya menjadi Aburrahman bin Auf.


Di kalangan masyarakat, terutama kaum muslimin, ia terkenal sebagai sosok yang kaya raya dengan usahanya yang sukses. Namun demikian, ia tidak pernah berlaku sombong dan bahkan selalu menggelontorkan hartanya untuk di jalan Allah SWT.

Berkat kekayaannya, Rasulullah SAW bahkan pernah berkata kepada Abdurrahman bin Auf RA bahwa ia akan memasuki surga dengan merangkak. Lantas, bagaimanakah kisah sahabat nabi tersebut?

Kisah Abdurrahman bin Auf Masuk Surga

Sebagaimana dikisahkan dalam buku Biografi 60 Sahabat Nabi SAW yang ditulis oleh Khalid Muhammad Khalid, Ummul Mukminin, Aisyah RA pernah berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Aku melihat Abdurrahman bin Auf RA masuk surga dengan merangkak.”

Mengapa Rasulullah SAW berkata demikian? Sebab Abdurrahman bin Auf RA memiliki harta kekayaan yang amat banyak dan melimpah. Bahkan, ia sendiri merasa heran dengan dirinya sendiri. Sehingga ia berkata, “Sungguh, aku melihat diriku ini seandainya mengangkat batu niscaya kutemukan emas dan perak di bawahnya.”

Kekayaan yang dimiliki Abdurrahman bin Auf RA diambil dari hal-hal yang baik saja dan tidak berasal dari perdagangan yang tercela. Ia bahkan tidak memiliki ambisi untuk menjadi kaya. Melainkan, ini takdir dari Allah SWT yang membuatnya demikian.

Salah satu faktor suksesnya perdagangan yang Abdurrahman bin Auf RA lakukan adalah cara dirinya dalam mengelola usahanya dan tujuan dia menghabiskan harta tersebut.

Ia hanya melakukan perdagangan dengan cara yang halal dan benar-benar menjauhkan diri dari segala bentuk jual beli yang haram, dan bahkan yang syubhat. Sedangkan hartanya ia habiskan hanya untuk berniaga dengan Allah SWT, atau digunakan untuk berjihad.

Sebagai seorang saudagar sukses, Abdurrahman bin Auf RA selalu rajin mengeluarkan hartanya di jalan Allah SWT tanpa tanggung-tanggung. Ia benar-benar mengamalkan nasihat Rasulullah SAW kepadanya,

“Wahai Ibnu Auf, engkau termasuk golongan orang kaya dan engkau akan masuk surga dengan merangkak. Karena itu, pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, agar Dia mempermudah langkahmu.”

Dengan adanya nasihat dari Rasulullah SAW ini, Abdurrahman bin Auf RA yang semula sudah gemar bersedekah, menjadi lebih giat dalam menggelontorkan hartanya untuk agama.

Ia pernah menjual tanah seharga 40.000 dinar, kemudian semua uang itu ia bagi-bagikan kepada keluarganya bani Zuhrah istri-istri nabi dan untuk muslimin yang miskin.

Abdurrahman bin Auf RA juga pernah menyerahkan 500 ekor kuda untuk perlengkapan tentara Islam, sedangkan di hari yang lain ia menyerahkan 1.500 unta untuk mujahidin.

Menjelang wafat, Abdurrahman bin Auf RA mewasiatkan 50.000 dinar untuk diinfakkan di jalan Allah SWT dan uang sebanyak 400 dinar bagi setiap orang yang ikut Perang Badar yang masih hidup. Bahkan, Utsman bin Affan RA yang saat itu juga merupakan orang kaya, mendapat jatah darinya ini.

Utsman RA berkata, “Harta Abdurrahman bin Auf halal lagi bersih, dan memakan harta itu membawa keselamatan dan keberkahan.”

Ada pula yang mengatakan, “Seluruh penduduk Madinah berserikat dengan Abdurrahman bin Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya kepada mereka, sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar utang-utang mereka, dan sepertiga sisanya dibagi-bagikannya kepada mereka.”

Inilah hal yang akan terjadi jika harta berada di tangan yang tepat, yakni kesejahteraan dan kemakmuran akan selalu terjaga di sekeliling orang itu. Inilah bukti bahwa Abdurrahman bin Auf RA merupakan orang yang bisa mengendalikan hartanya, bukan dikendalikan oleh hartanya.

Ia tidak ingin mengumpulkannya dan tidak pula menyimpannya. Bahkan jika ia mengumpulkannya, ia akan melakukan hal ini dengan tetap merendahkan hati dan dari jalan yang halal.

Abdurrahman bin Auf RA tidak pernah menikmati hartanya sendirian, namun ia gunakan kekayaan itu untuk keluarga, kerabat, teman, rasulnya, agama, dan Allah SWT.

Kisah tentang Abdurrahman bin Auf RA yang masuk surga dengan merangkak karena banyaknya harta yang ia miliki ini bersumber dari hadits yang lemah.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Unta Nabi Saleh dan Ingkarnya Kaum Tsamud


Jakarta

Ada banyak kisah dari para nabi terdahulu yang mengandung pelajaran dan hikmah bagi umat Islam. Salah satunya kisah unta Nabi Saleh AS.

Nabi Saleh AS adalah satu dari 25 nabi utusan Allah SWT yang wajib diketahui umat Islam. Allah SWT mengutus Nabi Saleh AS pada kaum yang ingkar.

Kisah Unta Nabi Saleh

Dirangkum dari buku Menengok Kisah 25 Nabi & Rasul karya Ahmad Fatih, Allah SWT telah mengutus Nabi Saleh AS untuk menyampaikan ajaran Islam kepada kaum Tsamud di Al Hijr. Kaum Tsamud merupakan kaum yang sombong dan merendahkan kaum lainnya karena mereka memiliki banyak keahlian.


Kaum Tsamud juga merupakan kaum yang sangat menyimpang dari ajaran tauhid. Oleh karena itu, diutuslah Nabi Saleh AS untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar.

Setelah mengajak kaum Tsamud kembali ke jalan yang benar, hanya sedikit yang menerima ajaran Nabi Saleh AS. Sebagian besar dari mereka menolak dan menganggap bahwa ucapan Nabi Saleh AS sebagai omong kosong.

Atas penolakan dari kaum Tsamud tersebut, Nabi Saleh AS kemudian memohon mukjizat kepada Allah SWT agar kaum Tsamud percaya kepadanya. Allah SWT pun mengabulkannya.

Allah SWT memerintahkan Nabi Saleh AS untuk memukulkan tangannya ke sebuah batu di depannya. Kemudian seekor unta betina yang besar dan gemuk pun muncul.

Kaum Tsamud terpukau karena melihat peristiwa tersebut. Meski sebagian mengakui kenabiannya, masih banyak kaum Tsamud yang menganggap bahwa Nabi Saleh AS melakukan sihir untuk mengelabui mereka.

Nabi Saleh AS berpesan agar tidak mengganggu unta betina tersebut. Namun, beliau mengizinkan kaumnya bergantian memerah dan meminum susu unta betina tersebut.

Meski demikian, kaum Tsamud yang menentang Nabi Saleh AS merasa khawatir. Sebab, unta tersebut meminum banyak air di sumber air kaum Tsamud, hingga ternak mereka kekurangan air. Maka dari itulah, kaum Tsamud berencana membunuh unta betina itu.

Rencana tersebut dilancarkan di kemudian hari. Dua pemuda kaum Tsamud berhasil membunuh unta betina Nabi Saleh AS dengan memanah betis dan menikam perut unta dengan pedang.

Mendengar kabar untanya dibunuh, Nabi Saleh AS bersedih. Kemudian beliau mengatakan bahwa akan ada azab bagi kaum Tsamud yang tidak kembali ke jalan yang benar.

Terdapat beberapa tanda bahwa kaum Tsamud mendapatkan azab. Pada hari pertama, wajah kaum Tsamud berubah menjadi kuning. Pada hari kedua, wajah mereka berubah menjadi merah. Pada hari ketiga, wajah mereka berubah menjadi hitam. Pada hari keempat, azab Allah SWT pun turun.

Sebelum Allah SWT menurunkan azab kepada kaum Tsamud, Nabi Saleh AS beserta pengikutnya telah pergi meninggalkan daerah tersebut. Kaum Tsamud berencana membunuh Nabi Saleh AS karena mendengar ancaman azab dari Nabi Saleh AS.

Ketika mereka akan membunuh Nabi Saleh AS, petir dan gempa bumi yang sangat dahsyat pun tiba-tiba datang. Batu-batuan besar yang tidak diketahui dari mana juga datang menimpa kepala mereka.

Hikmah dari Kisah Unta dan Nabi Saleh

Dirangkum dari buku Hikmah Kisah Nabi dan Rasul karya Ridwan Abdullah Sani dan Muhammad Kadri, salah satu hikmah yang dapat diambil dari kisah unta Nabi Saleh AS yaitu jika suatu kaum atau masyarakat melakukan dosa dan perbuatan mungkar, maka akan berakibat negatif dan menghancurkan masyarakat tersebut. Selain itu, setiap muslim juga harus berupaya untuk mencegah kemungkaran dengan sekuat mungkin.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Amru bin Utbah yang Tetap Salat Walau Dihampiri Singa


Jakarta

Ketika seorang muslim salat maka ia akan berjuang melawan rasa malas, pikiran duniawi yang mengganggu fokus salatnya dan juga kesibukan dunia. Namun, ada kisah menarik dari sahabat nabi yang diuji ketika salat.

Amru bin Utbah bin Farqad as-Salami merupakan hamba saleh dari kalangan tabi’in seseorang yang dikenal tekun dalam beribadah. Ia hidup pada awal-awal masa sahabat Rasulullah SAW.

Dari buku Shalat Orang-orang Saleh karya Ahmad Mushthafa Ath-thahthawi dijelaskan mengenai kisah Amru bin Utbah tetap menegakkan salat meski singa menghampirinya.


Permohonan Amru bin Utbah

Al-A’masy pernah bercerita: Saya pernah mendengar Amru bin Utbah berdoa, “Aku memohon tiga hal kepada Allah SWT. Saat ini Allah telah memberiku dua hal (dari tiga permohonan ku tadi). Dan aku masih menanti (terkabulnya permintaanku) yang ketiga. Aku memohon kepada-Nya agar menganugerahkan jiwa yang zuhud terhadap dunia sehingga aku tidak pernah memperdulikan nasib ku yang akan datang dan yang telah lewat. Aku juga memohon pada-Nya agar menguatkan diriku dalam melaksanakan salat dan Dia pun memberikannya. Dan terakhir aku memohon kepadanya agar aku dapat mati syahid. Inilah yang aku harapkan.”

Kisah Salat Amru bin Utbah Ketika Dihampiri Singa

Diriwayatkan dari Hasan al-Fazari, katanya budak Amru bin Utbah bercerita kepadaku.

Di siang hari yang panas kami terbangun, kami pun mencari Amru bin Utbah hingga kami dapati ia berada di atas sebuah gunung, sedang menunaikan salat dan bersujud. Padahal kala itu cuaca sedang mendung langit menggantung di atasnya, kami memayunginya.

Kami pun keluar (memerangi) musuh, tanpa menjaganya sebab salatnya banyak. Ketika suatu malam tiba, terdengar auman singa. Kami segera melarikan diri, sementara Amru bin Utbah masih tetap khusyuk melaksanakan salatnya.

Singa itu pun pergi, Amru bin Utbah pun menyelesaikan salatnya. Kami bertanya kepadanya, “Apakah Anda tidak takut pada singa?” ia menjawab, “Saya sungguh malu pada Allah SWT kalau harus takut kepada selain Allah SWT.”

Terdapat kisah lainnya, ketika Amru bin Utbah melaksanakan salat malam, datang segerombolan singa yang berhenti dihadapannya, seekor singa datang melingkari kakinya, namun tetap tidak membuatnya bergeming.

Ketika ia ingin sujud datanglah seekor singa di tempat sujudnya, dan Amru bin Utbah hanya menyingkirkan singa tersebut. Pagi harinya temannya datang menghampirinya, dan bertanya apa yang terjadi tadi malam ketika ia salat. Amru bin Utbah hanya menunjukan bekas gigitan singa pada kakinya.

Meninggalnya Amru bin Utbah

Dari buku Shalat Orang-Orang Shaleh: Menikmati Kisah-kisah Dahsyat Para Ahli Ibadah ditulis oleh Ahmad Musthfa al-Tathawi mengenai meninggalnya Amru bin Utbah.

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, “Amru bin Utbah keluar untuk mengikuti pertempuran dan ketika itu dia memakai jubah yang berwarna putih. Dia berkata, “Aku tidak merasa ada darah mengalir yang terkena pakaian putih ini. ‘Tidak lama kemudian, dia terkena panah musuh dari atas istana karena mereka telah dikepaung. Aku melihat darah menetes pada tempat yang telah ditunjukkan oleh Amru bin Utbah dari jasadnya (sebelum ia berangkat).

Hisyam berkata, “Ketika Amru bin Utbah meninggal dunia, sebagian sahabat berkunjung ke rumah saudara perempuannya, mereka bertanya, “Ceritakan kepada kami tentang kisahnya pada malam hari itu.”

Lalu saudara perempuan itu berkata, “Pada malam itu dia melakukan salat malam, dengan memulai membaca awal surah Ghafir hingga sampai ayat ini:

وَأَنذِرْهُمْ يَوْمَ الْآزِفَةِ

“Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat).” (Ghafir: 18),

“Dia tidak melanjutkan ayat tersebut hingga datang waktu pagi.”

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Terpilihnya Halimah As-Sa’diyyah Menjadi Ibu Susu Rasulullah SAW



Jakarta

Halimah As-Sa’diyyah adalah ibu susu Rasulullah SAW. Seperti apa kisahnya hingga akhirnya Aminah binti Wahb memilih Halimah untuk menyusukan Rasulullah?

Semua bermula di Arab wilayah Hijaz, terutama di Makkah. Biasanya mengikuti tradisi dan kebiasaan untuk mengirim anak-anak mereka, baik itu laki-laki maupun perempuan, kepada orang lain yang tinggal di luar kota untuk dirawat dan diasuh oleh mereka.

Beberapa waktu setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW, orang Arab sering kali mengirim anak-anak mereka ke sebuah desa Badui. Mereka akan tinggal di sana hingga usia sekitar 7-8 tahun.


Dari budaya itulah pertemuan antara Baginda Nabi Muhammad SAW yang masih bayi bertemu dengan ibu susunya Halimah As-Sa’diyyah.

Terpilihnya Halimah As-Sa’diyyah

Dirangkum dari buku 99 Kisah Teladan Sahabat Perempuan Rasulullah karya Mashur Abdul Hakim mengenai pertemuan Halimah dan bayi Rasulullah. Halimah As-Sa’diyyah hadir bertemu dengan perempuan di Makkah untuk mengasuh dan menyusui anak-anak mereka. Sebab kebiasaan orang Makkah yang menitipkan anak mereka.

Halimah As-Sa’diyyah berkata, “Kami datang ke kota Makkah untuk menjadi perempuan tukang menyusui.” Pada saat itu ibu Aminah datang bersama Rasulullah SAW bayi, namun kesan pertamanya Halimah As-Sa’diyyah tidak mau menerima beliau.

Halimah menolak Nabi Muhammad SAW sebab punya suatu alasan, karena dapat informasi bahwa anak Aminah adalah anak yatim. Halimah berkata, “Saya juga yatim, padahal saya berharap kebaikan dari bapak anak itu.”

Sampai akhirnya sebelum berpisah Halimah berkata kepada suaminya, “Saya tidak menemukan anak yang mau saya susui. Demi Allah saya akan menemui anak yatim itu dan akan saya ambil.”

Suami Halimah menjawab, “Lakukanlah. Barangkali Allah memberikan berkah kepada kita dengan melakukan hal itu.”

Halimah berkata, “Ketika saya mengambil anak itu, saya membawa pulang ke kantong pelana saya, dia langsung menyambar kedua payudara saya, menyusu bersama saudara-saudara (sesusuan)nya.”

Suami Halimah berkata, “Ya Halimah, demi Allah, saya perhatikan kamu mendapatkan banyak berkah.”

Halimah As-Sa’diyyah Mendapat Keberkahan

Dari buku Meneladani Rasulullah Melalui Sejarah ditulis oleh Sri Januarti Rahayu dijelaskan ketika Halimah menggendong bayi Rasulullah, tiba-tiba hilang rasa kerepotan pada dirinya, dan ketika menyusui Rasulullah, bayi itu mampu menyedot air susu sesukanya sampai kenyang.

Anak kandung Halimah yang ikut dibawa juga bisa menyusui sampai kenyang, hingga kedua bayi tertidur pulas. Padahal ketika perjalanan menuju Makkah, Halimah dan suami tidak bisa tertidur karena bayi kandung mereka rewel.

Selain itu, keledainya yang sudah tua tidak mampu berjalan jauh apalagi membawa beban berat, tiba-tiba mampu berjalan cepat dan membawa mereka semua ke perkampungannya.

Saat tiba di daerah Bani Sa’ad, betapa terkejutnya Halimah dan suami menyaksikan sepetak tanah punya mereka menjadi sangat subur, domba yang mereka punya menjadi subur hingga bisa diperas susunya.

Demikian kisah Halimah As-Sa’diyyah saat menjadi ibu susu Nabi Muhammad SAW, hingga mendapatkan berbagai keberkahan dari Allah SWT saat mengasuh Rasulullah SAW.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Nuh AS Berdakwah pada Bani Rasib Selama 950 Tahun



Jakarta

Nabi Nuh AS dikenal dengan sosoknya yang sangat sabar. Bagaimana tidak, ratusan tahun ia berdakwah, hanya sedikit saja dari kaumnya yang mau kembali ke jalan yang benar.

Dikisahkan dalam buku Mutiara Kisah 25 Nabi dan Rasul susunan M Arief Hakim, kaum Nuh AS yang disebut bani Rasib terkenal congkak dan zalim. Mereka terlena akan kekayaan yang dianugerahi Allah SWT.

Kaum Nabi Nuh AS memandang harta sebagai satu-satunya tolok ukur mengangkat martabat dan harga diri manusia. Pada zaman sang nabi, fakir miskin sangat diremehkan dan ditindas.


Saking congkaknya kaum Nuh AS ini, para budak dan binatang juga menjadi saksi. Hal ini membuat Nabi Nuh AS sedih, walau begitu ia terus berdakwah dengan harapan dapat mengembalikan kaumnya ke ajaran tauhid.

Ibnu Katsir dalam Qashash Al-Anbiyaa yang diterjemahkan H Dudi Rosyadi mengatakan Nuh AS diutus untuk menghapuskan kesesatan dan kegelapan dari kaumnya yang bernama bani Rasib itu. Selain zalim kepada sesamanya, mereka juga menyembah patung-patung orang saleh.

Bani Rasib menjadikan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr, anak-anak Adam yang saleh, dengan meminta keberkahan dan rezeki dari mereka. Dakwah Nuh AS termaktub dalam surah Al Ankabut ayat 14. Allah SWT berfirman,

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَلَبِثَ فِيْهِمْ اَلْفَ سَنَةٍ اِلَّا خَمْسِيْنَ عَامًا ۗفَاَخَذَهُمُ الطُّوْفَانُ وَهُمْ ظٰلِمُوْنَ ١٤

Artinya: “Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian, mereka dilanda banjir besar dalam keadaan sebagai orang-orang zalim.”

Sang nabi terus berdakwah selama 950 tahun tanpa mengenal waktu. Tak jarang ia mendapat ancaman dari kaumnya karena terus menyerukan ajaran tauhid.

“Setiap kali satu generasi berlalu, maka berpesan kepada generasi berikutnya agar tidak beriman kepada Nuh, arus memerangi dan menentangnya,” tulis Ibnu Katsir.

Nabi Nuh AS yang putus asa lalu berdoa kepada Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam surah Asy Syu’ara ayat 117-118 yang berbunyi,

قَالَ رَبِّ اِنَّ قَوْمِيْ كَذَّبُوْنِۖ ١١٧ فَافْتَحْ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُمْ فَتْحًا وَّنَجِّنِيْ وَمَنْ مَّعِيَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ١١٨

Artinya: “Dia (Nuh) berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah mendustakanku. Maka, berilah keputusan antara aku dan mereka serta selamatkanlah aku dan orang-orang mukmin bersamaku.”

Kemudian Allah SWT memerintahkan Nabi Nuh AS untuk membuat sebuah bahtera yang akan digunakan untuk menyelamatkannya beserta orang-orang mukmin dari azab banjir yang sangat dahsyat.

Selama pembuatannya, tentu tidak lepas dari ejekan dan cemoohan dari kaum tersebut. Namun, hal itu tidak membuat Nabi Nuh AS dan pengikut setianya berkecil hati, justru mereka semakin giat dalam membangun kapal itu.

Setelah kapal itu jadi, maka Allah SWT menepati janji-Nya. Dia memerintahkan Nabi Nuh AS untuk memasukkan hewan dengan berpasang-pasangan dan orang mukmin untuk masuk ke dalam kapal, sebab Dia akan segera menurunkan azab-Nya yang pedih.

Allah SWT mengirimkan hujan dari langit yang belum pernah dikenal di bumi sebelumnya, juga tidak akan pernah diturunkan lagi sesudahnya. Dia juga memerintahkan bumi untuk mengeluarkan air dari segala penjuru, sehingga seluruh permukaan bumi tertutup air.

Setelah berbulan-bulan berlayar di atas bahtera Nuh AS, air pun disurutkan, langit berhenti menurunkan hujan yang dahsyat, dan air yang keluar dari lubang di permukaan bumi pun ditutup. Banjir bandang itu telah usai.

Azab itu menewaskan seluruh bani Rasib yang enggan beriman kepada Allah SWT, termasuk anak Nuh AS yaitu Kan’an. Mereka yang selamat adalah orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kesedihan Mendalam Rasulullah dan Para Sahabat di Penghujung Ramadan


Jakarta

Datangnya Ramadan menjadi kabar gembira bagi umat Islam mengingat banyaknya keutamaan pada bulan tersebut. Sementara, berakhirnya Ramadan menyisakan kesedihan sebagaimana dialami Rasulullah SAW dan para sahabat.

Kisah kesedihan Rasulullah SAW dan para sahabat ini diceritakan dalam buku Kumpulan Khutbah Jumat karya Abdul Latif Wabula, Rasulullah SAW dan para sahabat merasa kesedihan yang mendalam setiap kali Ramadan hendak berakhir. Kesedihan tidak hanya dirasakan oleh manusia, tetapi juga langit, bumi, hingga malaikat.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila tiba akhir malam dari bulan Ramadan, menangislah langit, bumi dan malaikat karena musibah yang menimpa umat Muhammad SAW,”


Sahabat lalu bertanya, “Musibah apakah wahai Rasulullah?”

Rasulullah SAW menjawab, “Berpisah dengan bulan Ramadan, sebab pada bulan Ramadan doa dikabulkan dan sedekah diterima.” (Diriwayatkan Jabir)

Orang-orang saleh terdahulu bahkan sampai menangis dan bersedih karena Ramadan akan segera pergi meninggalkan mereka.

Dijelaskan dalam buku Materi Khutbah Jumat Sepanjang Tahun karya Muhammad Khatib, alasan kesedihan mereka yaitu dengan berakhirnya bulan Ramadan, berakhir pula semua keutamaannya.

Di bulan Ramadan, pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup, setan-setan dibelenggu hingga ibadah terasa ringan, dan kaum muslimin berada di puncak kebaikan. Keutamaan-keutamaan tersebut tidak dapat dijumpai lagi di bulan lainnya.

Amalan di Penghujung Bulan Ramadan

Mengutip Syekh Zainudin Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in, pada penghujung Ramadan atau lebih tepatnya 10 hari terakhir Ramadan, terdapat beberapa amalan yang dianjurkan untuk dilakukan, sebagai berikut.

Memperbanyak Sedekah

Hal ini bisa dilakukan dengan mencukupi kebutuhan keluarga, berbuat baik kepada kerabat serta tetangga, juga menyediakan buka puasa bagi orang yang berpuasa meski hanya segelas air.

Membaca Al-Qur’an

Waktu membaca Al-Qur’an yang lebih utama ialah akhir malam daripada awal malam. Hal ini sesuai dengan penjelasan Imam An-Nawawi. Membaca Al-Qur’an juga lebih utama dikerjakan di malam hari daripada siang hari karena membuat lebih fokus.

Iktikaf

Rasulullah SAW beritikaf di masjid pada 10 hari terakhir Ramadan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, “Rasulullah SAW selalu Iktikaf setiap bulan Ramadan selama 10 hari. Namun pada tahun dimana beliau wafat, beliau lktikaf selama 20 hari.” (HR Bukhari)

Menggencarkan Ibadah

Pada 10 hari terakhir Ramadan, umat Islam dianjurkan untuk menggencarkan ibadah. Dikutip dari Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq karya Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Rasulullah SAW menggiatkan ibadahnya di 10 hari terakhir Ramadan.

Diriwayatkan dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW apabila memasuki 10 hari terakhir, beliau menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya, dan mengencangkan ikat sarungnya. (HR Bukhari dan Muslim)

Bersungguh-sungguh Meraih Lailatul Qadar

Malam Lailatul Qadar merupakan malam yang penuh kemuliaan dan keutamaan. Rasulullah SAW bersabda untuk mencari Lailatul Qadar dalam 10 hari terakhir Ramadan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan Aisyah RA,

Oleh karena itu, hendaknya umat Islam menggencarkan ibadah agar dapat menemui keutamaan malam Lailatul Qadar yang lebih baik daripada 1.000 bulan.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Haru Pertemuan Rasulullah SAW dengan Anak Yatim saat Lebaran



Jakarta

Seorang anak yatim di pinggiran Kota Madinah duduk jauh dari teman-teman sebayanya yang tengah merayakan Hari Raya Idul Fitri. Tak seperti teman-temannya yang mengenakan baju baru, ia hanya bisa menangis dan bersedih di hari raya itu.

Pemandangan ini menarik perhatian Rasulullah SAW. Beliau segera menghampiri anak itu, lalu bertanya, “Wahai Ananda, mengapa engkau tidak bermain seperti teman-temanmu itu?”

Anak itu pun menjawab dengan isakan tangis, “Wahai Tuan, saya sangat sedih. Teman-teman saya gembira memakai pakaian baru dan saya tak punya siapa-siapa untuk membelikan pakaian baru.”


Mendengar hal itu, Nabi SAW kembali bertanya terkait keberadaan orang tua dari sang anak.

Anak yang tidak mengenali orang yang di hadapannya adalah Rasulullah SAW itu mengatakan bahwa ayahnya telah syahid karena berperang. Lalu, ibunya menikah lagi dan seluruh harta sang ayah dibawa oleh ayah tirinya. Ayah tirinya pun mengusir anak itu dari rumah.

Usai mendengar kisah haru dan pilu itu, Rasulullah SAW langsung memeluk dan membelai anak tersebut seraya berkata, “Wahai Ananda, maukah engkau saya menjadi ayahmu, Aisyah sebagai ibumu, dan Fatimah menjadi saudarimu?”

Anak itu pun seketika menghentikan tangisnya, ia pun mengangguk setuju setelah mendengar tawaran dari Rasulullah SAW. Lalu, Rasulullah SAW pun membawa anak itu ke rumah dan diberikan pakaian, makanan yang layak serta uang saku untuk si anak.

Kisah haru anak yatim dan pertemuannya dengan Rasulullah SAW ini diceritakan dalam buku Al-Qur’an Hadis karya Fida’ Abdillah dan Yusak Burhanuddin dan buku Dahsyatnya Doa Anak Yatim karya M. Khalilurrahman Al Mahfani,

Dalam kitab Durratun Nashihin karya Syekh Utsman Hasan bin Ahmad as-Syakir al-Khuwairy yang diterjemahkan Moh. Syamsi Hasan diceritakan, setelah nampak gembira dengan pakaian baru pemberian Rasulullah SAW, anak kecil itu kembali menemui teman-teman sebayanya. Melihat anak itu, teman-temanya pun kebingungan sebab penampilan yang berbeda.

Anak kecil itu pun berkata, “Kemarin aku lapar, haus, dan yatim. Tetapi, sekarang aku bahagia karena Rasulullah SAW menjadi ayahku, Aisyah ibuku, Ali pamanku, dan Fatimah saudariku. Bagaimana aku tak bahagia?”

Setelah mendengar itu, teman-teman sebayanya merasa iri dan berandai jika mereka dapat diangkat sebagai anak Rasulullah SAW. “Andai saja bapak kami syahid saat peperangan, pasti sudah seperti engkau,” ujar teman-temanya.

Namun, kebahagiaan anak yatim itu kembali pupus setelah ditinggal wafat oleh Rasulullah SAW. Abu Bakar RA lah yang kemudian mengasuh anak yatim itu.

Hikmah Kisah Pertemuan Rasulullah dengan Anak Yatim

Hikmah yang dapat diambil dari kisah antara Rasulullah SAW dan anak yatim di Hari Raya Idul Fitri ialah untuk selalu menyantuni, memelihara, dan mengasuh anak yatim. Sebab anak yatim merupakan tanggung jawab setiap muslim, sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Terlebih dalam sebuah hadits, beliau bersabda,

“Aku dan orang yang mengurus (menanggung) anak yatim (kedudukannya) di dalam surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan (kedua jarinya yaitu) telunjuk dan jari tengah serta agak merenggangkan keduanya.” (HR Bukhari)

Diterangkan Syaikh Sa’ad Yusuf Mahmud Abu Aziz dalam kitab Mausu’ah Al-Huquq Al-Islamiyah, makna dari hadits itu ialah seseorang yang mengasuh anak yatim kelak akan tinggal bersebelahan dengan Nabi SAW di surga.

Pengibaratan tersebut dimaksudkan balasan mulia bagi orang yang mengurus anak yatim, yakni lebih cepat masuk surga dan disediakan kedudukan tertinggi di dalamnya.

Keutamaan lain turut disebutkan dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menafkahi tiga anak yatim, sama keadaannya dengan orang yang beribadah sepanjang malam.” (HR Ibnu Majah)

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Jeffrey Lang, Profesor AS yang Jadi Mualaf usai Baca Al-Qur’an


Jakarta

Kisah menarik datang dari Jeffrey Lang. Pria yang merupakan profesor matematika di University of Kansas itu memutuskan memeluk Islam setelah belasan tahun menjadi ateis.

Melansir Islamestic, Kamis (11/4/2024), sejak kecil Lang merupakan sosok yang sering bertanya akan kehidupan dan agama. Lelaki kelahiran 1954 itu terlahir di keluarga Katolik Roma.

Lang menghabiskan 18 tahun pertama hidupnya di sekolah Katolik. Di benak Lang, banyak pertanyaan terkait agama yang belum terjawab.


Ketika usianya genap 18 tahun, Lang memutuskan untuk sepenuhnya menjadi ateis. Meski begitu, pandangannya mengenai agama berubah sejak dirinya menjadi dosen muda matematika di Universitas San Fransisco dan berteman dengan sejumlah muslim.

“Kami berbicara tentang agama. Saya menanyakan pertanyaan saya kepada mereka dan saya sangat terkejut melihat betapa cermatnya mereka memikirkan jawabannya,” ujar Lang.

Kala itu, Lang bertemu dengan Mahmoud Qandeel seorang mahasiswa asal Saudi. Qandeel dikenal sebagai pribadi yang luar biasa. Ia dapat menjawab semua pertanyaan tentang penelitian medis yang diajukan Lang dengan bahasa Inggris yang sempurna.

Singkat cerita, Qandeel tiba-tiba memberikan Lang buku-buku Islam beserta salinan Al-Qur’an. Sejak itulah, Lang mulai membaca dan menyerap isi Al-Qur’an.

Merasa Kagum dan Tertarik dengan Al-Qur’an

Sang profesor mendapat hidayah-Nya, ia merasa kagum akan isi Al-Qur’an yang mampu menjawab segala pertanyaan di kepalanya.

“Seorang pelukis bisa menggambar mata dalam sebuah lukisan yang tampak mengikuti Anda dari satu tempat ke tempat lain, tapi penulis mana yang bisa menulis kitab suci yang mengantisipasi perubahan sehari-hari Anda?” ujarnya.

Setiap malam, Lang merinci setiap pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya. Keesokan harinya, segala jawaban yang ingin ia ketahui ditemukan dalam Al-Qur’an.

“Tampaknya sang penulis Al-Qur’an (Allah SWT) mengetahui pertanyaan-pertanyaan saya dan menulis pada baris yang tepat pada saat saya membaca halaman berikutnya. Saya telah bertemu diri saya sendiri di halaman-halaman berikutnya,” kata Lang.

Kini, Lang rutin mengerjakan salat lima waktu. Entah bagaimana, ia memperoleh kepuasan secara spiritual setiap melakukan salat terutama ketika Subuh.

Apabila ditanya bagaimana dia merasa begitu kagum dan terpikat ketika dibacakan Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang saing, Lang menjawab, “Mengapa bayi terhibur dengan suara ibunya?”

Al-Qur’an Memberi Lang Kenyamanan

Membaca Qur’an menciptakan kenyamanan dan kekuatan di masa-masa sulit. Karena itu, keyakinan menjadi latihan untuk pertumbuhan spiritual Lang.

Lang telah menulis beberapa buku Islam yang menjadi best seller di kalangan komunitas muslim Amerika Serikat (AS). Salah satu bukunya berjudul Even Angels ask: A Journey to Islam in America.

Melalui buku tersebut, Lang membagikan wawasan yang ia peroleh selama menemukan jati dirinya dalam Islam.

Kabar keislaman Lang sempat ramai pada 2019 lalu. Sejumlah media asing memberitakan perjalanan kisah Lang hingga memutuskan masuk Islam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wali Allah tapi Suka Beli Miras dan Datangi Pelacur



Jakarta

Ternyata ada sebuah kisah tentang wali Allah SWT yang gemar beli miras dan datangi pelacur. Kisah menarik ini melibatkan seorang Sultan Turki Utsmani yaitu Murad IV.

Diambil dari buku Subjects of the Sultan: Culture and Daily Life in the Ottoman Empire tulisan Suraiya Faroqhi, Murad IV lahir pada 27 Juli 1612 dengan nama asli Murad Ahmad.

Dijelaskan juga pada laman All About Turkey, Murad naik tahta saat berusia 11 tahun menggantikan kepemimpinan pamannya, Mustafa I. Namun, di kala itu, usianya masih terlalu muda untuk memegang tahta.


Akhirnya sang ibunya yang bernama Kosem mengambil alih pemerintahan untuk sementara. Namun, bukannya sejahtera malah kondisi kekaisaran saat itu penuh dengan korupsi dan pemberontakan.

Lalu, ketika Sultan Murad IV sudah dewasa akhirnya dapat mengambil alih kekaisaran, Murad IV terkenal dengan gaya kepemimpinannya yang tegas dan tak pandang bulu, dirinya akan menghukum siapapun demi menegakkan peraturan di negaranya. Ia juga sering melakukan ekspansi untuk memperkuat kekaisarannya.

Terlepas dari itu semua, Murad IV merupakan Sultan Turki Utsmani yang dikenal bijaksana ini punya sebuah kebiasaan unik yakni suka berkeliling dengan menyamar sebagai rakyat biasa.

Kisah Wali Allah yang Gemar Beli Miras dan Datangi Pelacur

Kisah menarik terkait Sultan Turki ini dibagikan oleh Ustaz Khalid Basalamah dalam ceramahnya yang ditayangkan di kanal Youtube Muda Mengaji. Ketika ia melakukan penyamaran, ia tak sengaja menemukan seorang pria yang tergeletak di lorong sempit. Anehnya, tiada satu orang pun yang mendekati pria tersebut.

Murad pun bergegas menghampiri pria tersebut dan mulai menggerak-gerakkan tubuh lelaki yang sudah kaku tersebut. Namun, tidak ada respons dan ia sadar bahwa pria itu sudah meninggal.

Ia pun dibuat heran, sebab tak ada satu orang pun yang peduli dengan jasad pria tersebut bahkan orang lewat di sekitarnya tak mendekati untuk menolongnya. Dia pun mulai bertanya kepada warga sekitar tersebut mengenai siapa identitas pria yang ditemuinya. itu.

“Mengapa orang ini meninggal tapi tidak ada satupun orang di antara kalian yang mau mengangkat jenazahnya. “Siapa dia? Di mana keluarganya?” tanya Sultan Murad IV.

Salah seorang warga pun menjawab pertanyaan Sultan Murad, “Orang ini suka menenggak minuman keras dan berzina!”

“Tapi, bukankah dia termasuk umat Nabi Muhammad?” kata Sultan Murad IV menanggapi jawaban salah satu warganya.

Orang-orang yang diajak bicara Sultan Murad IV pun langsung terdiam dan akhirnya bersedia untuk membawa jenazah lelaki tersebut ke rumahnya. Ketika jenazah tiba di rumah keluarganya, mereka pun langsung pergi dan hanya tinggallah Sultan Murad IV dan kepala pengawalnya yang bertemu dengan istri pria tersebut.

Di samping jenazah suaminya, istrinya yang tengah menangis itu pun mengucap doa, “Semoga Allah SWT merahmatimu wahai, wali Allah. Aku bersaksi bahwa engkau termasuk orang yang saleh,”

Terkejut mendengar doa perempuan tersebut yang menyebut bahwa pria yang meninggal itu adalah wali Allah SWT, Sultan Murad IV pun mulai bertanya pada istri pria tersebut.

“Bagaimana mungkin dia termasuk wali Allah, sementara orang-orang membicarakan tentang dia begini dan begitu, sampai-sampai mereka tidak peduli dengan kematiannya?”

Sultan Murad IV masih tak percaya saat istrinya menyebut pria itu wali Allah SWT ketika para warga menyebutnya sebagai orang yang gemar menenggak miras dan mendatangi pelacur.

Perempuan tersebut menjawab dan menjelaskan segalanya kepada Sultan Murad IV, “Hampir setiap malam suamiku keluar rumah pergi ke toko minuman keras. Dia membeli minuman keras dari para penjual sejauh yang ia mampu. Kemudian minuman-minuman itu dibawa ke rumah lalu dibuang ke dalam toilet. Seraya berkata, ‘Aku telah meringankan dosa kaum muslimin’.”

Selain itu, pria tersebut juga sering mendatangi tempat pelacuran. Di sana, ia hanya menemui sejumlah pelacur lalu memberi mereka uang. Kepada para pelacur ia memberi uang sambil pria berkata, “Malam ini kalian sudah saya bayar, jadi tutup pintu rumahmu sampai pagi.”

Kemudian pria itu ulang ke rumah. “Alhamdulillah, malam ini aku telah meringankan dosa para pelacur itu dan pria-pria Islam,” kenang perempuan tersebut menirukan ucapan sang suami.

Namun, orang sekitar hanya tahu bahwa pria yang meninggal tersebut selama ini adalah orang yang sering membeli dan minum-minuman keras serta mendatangi tempat pelacuran. Mereka tidak tahu cerita yang sebenarnya.

Sang istri sering menasehati sang suami akan kebiasaan itu yang membuatnya khawatir. “Suatu saat nanti kalau kamu mati, tidak ada kaum muslimin yang akan mau memandikan, menyalati dan menguburkan jenazahmu,”

Mendengar ucapan sang istri, pria tersebut hanya tertawa sambil berkata “Jangan takut, nanti kalau aku mati, aku akan disalati oleh Sultanku, kaum muslimin, para ulama dan para wali,” jawab pria tersebut kepada istrinya.

Usai mendengar cerita tersebut, Sultan Murad IV pun mulai meneteskan air mata. Dia pun kemudian menyampaikan kepada istri pria tersebut bahwa ia merupakan Sultan yang sedang menyamar dan siap mengurusi jenazah pria tersebut sampai ke pemakaman.

“Benar! Demi Allah, akulah Sultan Murad dan besok pagi kita akan memandikannya, menyalatkannya, dan menguburkannya,”

Atas perintah Sultan Murad IV, jenazah ini akhirnya menjalani proses pemakaman yang dihadiri para ulama, para wali Allah SWT dan seluruh masyarakat Turki.

Hikmah dari Kisah Wali Allah dengan Sultan Murad IV

Di dalam bukunya yang berjudul Setia (Selagi Engkau Taat dan Ingat Allah), Yasir Husain mengatakan kita bisa memetik hikmah dan pelajaran dari kisah tersebut. Hikmah tersebut ada adalah tidak boleh seseorang menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan dari apa yang dia lihat.

Selain itu, kita dapat memetik pelajaran dari pria di dalam kisah tersebut. Ia selalu berjuang dengan gigih dan pantang surut dalam menebarkan kebaikan dan melenyapkan mengurangi keburukan.

Untuk itu, orang-orang boleh saja membenci kita bahkan seandainya semua manusia di dunia ini mencela kita tak perlu berkecil hati. Selama kita setia di jalan Allah SWT, selama kita masih mencegah keburukan dan mengajak pada kebaikan yakinlah bahwa Allah SWT selalu bersama kita.

Wallahu a’lam bisshawab.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com