Kisah Menangisnya Batang Pohon yang Rindu dengan Rasulullah SAW



Jakarta

Ada sebuah kisah yang menceritakan tentang awal mula Rasulullah SAW berada di Madinah. Kala itu, penduduk muslim Madinah secara gotong royong membangun masjid sekaligus rumah Rasulullah.

Rasulullah SAW memilih untuk menginap sementara waktu di rumah Abu Ayyub al-Ansari. Ketika masjid dan rumah untuk Rasulullah telah berdiri, Rasulullah pindah dan senantiasa mengimami jamaah salat fardhu dengan para sahabatnya.

Diceritakan dalam buku Kisah-kisah Inspiratif Sahabat Nabi yang ditulis Muhammad Nasrulloh, ketika Rasulullah salat, seringkali beliau berpegangan pada batang pohon untuk menopang tubuhnya.


Kota Madinah memang banyak sekali tumbuh pepohonan kurma sehingga banyak batang pohon yang menancap di mana-mana.

Tatkala khutbah, Rasulullah SAW juga selalu berpegangan pada batang pohon tersebut. Tak jarang Nabi bersandar pada batang pohon itu saat sedang bersama sahabatnya mengisi dakwah di masjid.

Ustaz Dr. Miftahur Rahman El-Banjary dalam buku Cinta Seribu Dirham Merajut Kerinduan kepada Rasulullah Al-Musthafa menuliskan, ketika jumlah jemaah semakin bertambah banyak, orang-orang berdesakan memenuhi masjid. Mereka yang duduk di barisan belakang atau paling jauh dari Rasulullah SAW tidak bisa melihat wajah beliau.

Para sahabat saat itu juga kasihan melihat Rasulullah SAW yang kelelahan jika berdiri terlalu lama saat berdakwah.

Suatu saat datang salah seorang sahabat menawarkan kepada beliau untuk dibuatkan mimbar. Hal ini pun disetujui oleh Rasulullah. Ketika mimbar selesai dibuat dan berdiri kokoh di masjid kemudian Rasulullah pun memulai aktifitas ibadahnya.

Ketika Rasulullah berjalan melewati batang pohon yang senantiasa selalu bersama beliau menuju mimbar, batang pohon itu menangis.

Tangisannya terdengar oleh seluruh sahabat Nabi seperti tangisan ibu unta yang kehilangan anaknya. Ternyata batang pohon tersebut rindu dengan Rasul, ia tak mau berpisah dengan Rasul.

Rasulullah pun mendatangi batang pohon itu dan mengelusnya sebagai mana anak kecil. Atas izin Allah SWT, perlahan-perlahan suara tangisan tersedu sedu itu perlahan mereda. Belum terjawab rasa penasaran dalam diri para sahabat yang hadir, Rasulullah SAW pun mengajak berbicara kepada pohon kurma itu.

Rasulullah berkata, “Maukah kamu aku pindahkan ke kebun kamu semula, berbuah dan memberikan makanan kepada kaum mukminin atau aku pindahkan kamu ke surga, setiap akar kamu menjadi minuman dari minuman-minuman di surga, lalu para penghuni surga menikmati buah kurmamu.”

Pohon kurma tanpa keraguan memilih pilihan yang kedua. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Af’al insya Allah! Demi Allah, yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, jika tidak aku tenangkan dia, niscaya dia akan terus merintih hingga hari kiamat karena kerinduannya kepadaku.”

Rasulullah kemudian kembali ke mimbar melanjutkan khutbahnya. Hasan bin Ali RA seringkali ketika mengisahkan kisah ini seraya menangis. Teringat di benaknya pohon pun menangis karena merindukan Rasulullah.

(rah/erd)



Sumber : www.detik.com

Kesombongan Iblis yang Menolak Perintah Allah untuk Bersujud, Ini Kisahnya


Jakarta

Kesombongan iblis yang menolak untuk menolak perintah Allah juga disebutkan dalam Al-Qur’an. Diceritakan bahwa Allah SWT mengusir iblis dari surga karena tak mau sujud kepada Nabi Adam, manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT.

Allah SWT berfitman dalam surah Al-A’raf ayat 11 dan 12:

وَلَقَدْ خَلَقْنٰكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنٰكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ لَمْ يَكُنْ مِّنَ السّٰجِدِيْنَ
Artinya: “Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan kamu (Adam), kemudian Kami membentuk (tubuh)-mu. Lalu, Kami katakan kepada para malaikat, “Bersujudlah kamu kepada Adam.” Mereka pun sujud, tetapi Iblis (enggan). Ia (Iblis) tidak termasuk kelompok yang bersujud.”


قَالَ مَا مَنَعَكَ اَلَّا تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَ ۗقَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُۚ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ

Artinya: “Dia (Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud ketika Aku menyuruhmu?” Ia (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau menciptakanku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”

Disebutkan dalam buku Yang Tersembunyi, Jin, Iblis, Setan, dan Malaikat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini karya M Quraish Shihab, iblis menduga bahwa ia lebih mulia atau lebih baik dari Adam karena ia diciptakan dari api sedangkan Adam dari tanah.

Iblis Menolak Perintah Allah Bersujud pada Nabi Adam

Pada Al-Qur’an surah Al Baqarah disebutkan bahwa ketika Allah memerintahkan sujud, maka makhluk yang diperintahkan ada dalam satu sebutan saja yakni al-malaa’ikah (para malaikat). Baru setelah ada yang menolak dan tidak mau bersujud muncul nama dan sebutan baru yakni iblis.

Hal ini memberikan isyarat bahwa iblis sebelum memiliki sebutan itu adalah makhluk ciptaan Allah yang sangat tunduk dan patuh kepada Allah. Oleh karena itu ia dipanggail Allah dengan sebutan malaikat. Sebutan tersebut berubah akibat pembangkangan yang dilakukannya. Secara harfiah, iblis berarti keluar dari rahmat Allah SWT. Hal ini dijelaskan dalam Tafsir Qashashi Jilid I oleh Syofyan Hadi.

Allah SWT Mengusir Iblis dari Surga

Karena menolak perintah dari Allah dan berkat keangkuhannya, iblis diusir dari hadapan Allah. Penyebutan madz’uman madhuran (terhina lagi terusir) menunjukkan terhinanya iblis dalam bentuk yang berlipat ganda seakan Allah hendak mengatakan bahwa kehinaan iblis karena keangkuhan dan pembangkangannya tidak cukup satu penghinaan saja.

Bahkan saat iblis meninggalkan surga, Allah masih memberikan ancaman-Nya bahwa Dia akan memenuhi neraka Jahanam dengan iblis akibat kesombongannya.

Dendam Iblis pada Manusia

Setelah diusir dari surga, iblis kemudian mengumumkan akan berperang terhadap Nabi Adam AS dengan meminta waktu tangguh akan kematiannya hingga hari kebangkitan. Ungkapan iblis ilaa yaumi yub’atsun “sampai hari berbangkit” menunjukkan sakit hati dan dendamnya iblis kepada manusia, seakan tidak merasa cukup waktu menggoda manusia hingga kematian.

Allah SWT menjawab permintaan iblis sebagaimana yang tercantum dalam surah Al-Hijr ayat 36-38:

قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ . قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ . إِلَىٰ يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ

Artinya: (Iblis) berkata, “Wahai Tuhanku, tangguhkanlah (usia)-ku sampai hari mereka (manusia) dibangkitkan.” (Allah) berfirman, “Sesungguhnya kamu termasuk golongan yang ditangguhkan sampai hari yang telah ditentukan waktunya (kiamat).”

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Sahabat Nabi yang Sempat Enggan Menikah dan Ditentang Sang Rasul



Jakarta

Menikah termasuk sunnah para nabi dan rasul. Dalam Islam, pernikahan harus mengikuti sejumlah ketentuan sesuai syariat agar sah.

Terkait pernikahan juga disebut dalam surah Ar Rum ayat 21,

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ


Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Meski demikian, ternyata ada sosok sahabat Rasulullah SAW yang sempat berniat untuk tidak menikah. Mengutip buku Ta’aruf Billah Nikah Fillah susunan Zaha Sasmita, pria itu bernama Ukaf bin Wida’ah.

Kala itu, Ukaf enggan menikah dan ingin fokus beribadah kepada Allah SWT. Nabi Muhammad SAW menentang niatan Ukaf, menurutnya menikah adalah salah satu jalan terbaik dan terhormat untuk mencapai ridha Allah SWT.

Masih dari sumber yang sama, Ukaf adalah sosok pemuda yang kehidupannya sudah mapan. Mendengar niat Ukaf yang tidak ingin menikah, Nabi SAW lalu mendatangi sang sahabat dan menasehatinya agar menikah.

Sang rasul menilai tidak baik seorang muslim membujang jika sudah berkecukupan. Akhirnya, Ukaf menuruti perkataan Rasulullah SAW.

Walau demikian, Ukaf tidak berani mencari calon istrinya sendiri. Akhirnya, ia meminta pertolongan Nabi SAW untuk mencarikan wanita dengan kriteria yang berpatokan pada pandangan Nabi Muhammad SAW.

Dalam hadits dari Anas bin Malik RA juga disebutkan terkait pentingnya menikah. Bahkan, perkara ini menjadi wajib bagi muslim yang sudah mampu.

“Terdapat beberapa sahabat Rasulullah SAW yang menanyakan kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW perihal ibadah beliau di rumah. Lalu sebagian mereka berkata, ‘Saya tidak akan menikah, sebagian lagi berkata, ‘Saya tidak akan makan daging,’ sebagian yang lain berkata, ‘Saya tidak akan tidur di atas kasur (tempat tidurku), dan sebagian yang lain berkata, ‘Saya akan terus berpuasa dan tidak berbuka.’ Abu Daud (perawi dan pentakhrij hadits) berkata, ‘Berita ini sampai kepada Nabi SAW, hingga beliau berdiri untuk berkhotbah seraya bersabda setelah memanjatkan puja-puji syukur kepada Allah SWT, “Bagaimanakah keadaan suatu kaum yang mengatakan demikian dan demikian? Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku salat dan tidur, dan aku juga menikahi perempuan. Maka barangsiapa yang membenci sunnah (tuntunan)-ku maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR Abu Daud)

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Orang yang Tak Mandi Junub Dapat Perlakuan Kasar di Alam Kubur



Jakarta

Mandi junub hukumnya wajib bagi orang yang berhadas besar. Ada riwayat yang mengisahkan seseorang mendapat perlakuan kasar karena semasa hidup pernah tak mandi junub.

Kisah ini diceritakan Imam al-Ghazali dalam kitab Kasyf ‘Ulum al-Akhirah yang diterjemahkan Abu Hamida MZ dengan bersandar pada riwayat yang diceritakan oleh lebih dari seorang perawi.

Diriwayatkan, orang-orang yang telah meninggal terlihat dalam mimpi. Lalu ditanyakan kepada mereka tentang kondisinya di alam kubur, “Apa yang Allah perbuat kepadamu?”


Ia menjawab, “Tinggalkanlah aku. Pada suatu hari, aku pernah tidak dapat mandi junub. Karenanya, Allah memakaikan kepadaku pakaian dari api sehingga aku menggeliat-geliat hingga tubuhku hangus.”

Seperti diketahui, para ulama menyatakan hukum mandi junub adalah wajib. Dalil kewajiban mandi junub bersandar pada firman Allah SWT dalam surah Al Maidah ayat 6,

وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ

Artinya: “Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah.”

Terkait bersuci dari hadas, ada juga riwayat yang menceritakan seseorang terlihat di mimpi lalu ditanyakan kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?” Orang itu menjawab, “Aku pernah menunaikan salat tanpa berwudhu. Karenanya, Allah menyerahkan kepadaku serigala yang menakutkanku di dalam kuburanku. Keadaanku adalah sejelek-jeleknya keadaan.”

Imam al-Ghazali juga menceritakan riwayat serupa tentang kondisi orang di alam kubur yang terlihat dalam mimpi. Di antara mereka ada yang terlihat lalu ditanyakan kepadanya, “Apa yang Allah perbuat kepadamu?”

Orang itu menjawab, “Orang yang memandikanku membawaku dengan kasar sehingga sebuah paku yang tertancap pada tempat memandikan merobek-robek tubuhku. Karenanya, aku merasa sakit.”

Ketika pagi tiba, hal tersebut ditanyakan kepada orang yang memandikannya. Ia menjawab, “Hal itu bukan keinginanku–tidak sengaja melakukannya.”

Banyak hadits lain yang menceritakan kisah-kisah semacam ini. Imam al-Ghazali mengatakan hadits tersebut menjelaskan bahwa para penghuni kubur juga merasakan sakit di dalam kubur mereka karenanya Rasulullah SAW melarang mematahkan tulang orang yang sudah meninggal. Hal ini bersandar pada sabda Nabi SAW,

“Mayat itu merasakan sakit di dalam kuburnya sebagaimana orang hidup merasakan sakit di dalam rumahnya.”

Terdapat riwayat yang mengisahkan seseorang duduk-duduk di pelataran kuburan. Ketika Rasulullah SAW melihatnya, beliau melarang dan bersabda, “Janganlah kalian menyakiti orang-orang yang telah meninggal di dalam kuburan mereka.”

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Umair bin Wahab, Setan Quraisy yang Akhirnya Jadi Sahabat Rasulullah


Jakarta

Tidak semua sahabat Rasulullah SAW dari kalangan orang-orang baik yang langsung menerima ajaran beliau. Namun, dengan ketulusan hati beliau, yang awalnya musuh pun bisa dijadikannya sahabat.

Umair bin Wahab sebelum menjadi sahabat Rasulullah SAW, ia adalah salah satu musuh paling keras di masa jahiliah. Di Pertempuran Badar, Umair bin Wahab adalah salah satu pemimpin Quraisy yang menghunus pedangnya untuk menghadapi Islam.

Kemampuan paling menonjolnya adalah penglihatan dan perhitungan yang tepat. Hingga ia memiliki dendam dan ingin membunuh Rasulullah SAW.


Kisah Umair bin Wahab saat Perang Badar

Merangkum buku Sirah 60 Sahabat Nabi Muhammad SAW oleh Ummu Ayesha, di Perang Badar, Umair bin Wahab menjadi salah satu panglima dari suku Quraisy dan dijuluki Setan Quraisy. Sebagai bentuk strateginya, ia berinisiatif mengintai persiapan Rasulullah SAW.

Melihat pasukan Islam berjumlah 300 orang tanpa ada prajurit cadangan dan tidak takut mati, Umair bin Wahab memutuskan untuk menarik mundur pasukannya kembali ke Mekkah. Menurutnya, jika jumlah korban dari pihaknya sama dengan jumlah pasukan Rasulullah SAW, maka itu adalah sebuah kerugian.

Sebaliknya Abu Jahal tidak melihat pasukan kaumnya mundur. Dia kembali menyemangati dan mengobarkan api dendam kepada kaumnya, maka pasukan pun kembali ke Badar. Perang Badar pun pecah dengan korban pertama dari suku Quraisy adalah Abu Jahal.

Sebagai panglima, Umair mendapatkan kekalahan telak di Medan Badar. Korban yang terus berjatuhan membuat pasukannya frustasi.

Selain itu, satu putra Umair menjadi tawanan perang. Umair pun tidak bisa menyembunyikan kesedihannya atas kondisi sang anak. Kesedihan yang berujung pada rasa dendam hingga ingin membunuh Rasulullah SAW.

Bertekad Membunuh Rasulullah namun Akhirnya Memeluk Islam

Merangkum buku Sirah 65 Sahabat Rasulullah SAW karya Abdurrahman Ra’fat Al-Fasya, Umair bin Wahab bertemu Shafwan bin Umayyah di suatu pagi. Shafwan mengajak Umair berbincang dan Umair pun duduk di hadapan Shafwan.

Kedua pria tersebut akhirnya mengingat kekalahan telak dalam peristiwa Perang Badar. Mereka juga menghitung anggota kelompok mereka yang ditawan oleh Rasulullah dan para sahabatnya dalam perang.

Di tengah kesempatan itu Shafwan berkata, “Demi Allah, tidak ada kehidupan yang lebih baik sesudah mereka kini, sesudah kematian pahlawan-pahlawan Quraisy.”

“Demi Tuhan, seandainya aku tidak memiliki utang yang harus kulunasi dan kekhawatiran atau keselamatan keluargaku setelah kehilanganku, sungguh aku akan pergi menemui Muhammad dan membunuhnya,” timpal Umair.

Shafwan mendorong semangat dan membakar api dendam Umair dengan berkata, “Semua utangmu di atas tanggunganku, sedangkan keluargamu bersama keluargaku. Aku akan menjamin keselamatan mereka seumur hidup mereka, aku tidak akan berbuat berat sebelah sehingga melemahkan keluargamu.”

Umair bangkit, dan api kedengkian berkobar dengan dahsyat di dalam hatinya terhadap Rasulullah SAW. Lalu ia mempersiapkan bekal untuk mewujudkan tekadnya dan tidak ada kegelisahan sedikit pun di dalam hatinya.

Umair meminta keluarganya untuk mengasah pedang dan melumurinya dengan racun, kemudian ia meminta disiapkan kendaraannya. Dia mulai perjalanan menuju Madinah, dibalut oleh selendang kebencian dan kejahatan.

Saat Umair tiba di Madinah, orang pertama yang melihatnya adalah Umar bin Khattab. Melihat Umair berkeliaran dengan pedang di tangannya, membuat Umar khawatir kalau Umair datang dengan niat buruk.

“Anjing ini adalah musuh Allah, Umair bin Wahab. Dia datang dengan membawa niat tidak baik, akan tetapi ia ingin berbuat keonaran. Kita telah menduga ialah orang yang menghasut kaum Quraisy untuk memerangi kita di Perang Badar,” ujar Umar bin Khattab. Lalu Umar pun pergi melapor kepada Rasulullah SAW

Setelahnya, mata pedang Umar diarahkan pada Umair dan tangannya mencengkram baju Umair, kemudian ia seret ke hadapan Nabi. Umar pun berkata kepada orang-orang Anshar, “Masuk lah bersama Rasulullah SAW, dan berwaspadalah dari ancaman si keji ini. Karena sesungguhnya dia tidak bisa di percaya.”

Rasulullah SAW yang melihat perlakuan Umar terhadap Umair, maka ia memberi perintah, “Lepaskan dia, wahai Umar! Dan wahai Umair tetap di tempatmu!”

Rasulullah SAW menanyakan apa sebenarnya maksud kedatangan Umair. Namun, Umair selalu mengelak dengan mengatakan hanya meminta agar para tawanan dibebaskan.

Rasulullah SAW mengetahui perbincangan antara Umair dan Shafwan mengenai tawanan dan tawaran dari Shafwan kepada Umair yang akhirnya mengobarkan api dendam di hatinya. Rasulullah SAW juga mengetahui jika niat sebenarnya Umair datang menghadap adalah ingin membunuhnya.

Umair merasa terkejut sesaat, lalu ia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah SWT.” Lalu ia mengucapkan kalimat syahadat dan memeluk agama Islam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Romantisnya Pernikahan Rasulullah SAW dan Aisyah Bulan Syawal


Jakarta

Syawal merupakan bulan yang istimewa. Di bulan ini terjadi pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah RA.

Aisyah RA dikenal sebagai Ummul Mukminin yang artinya adalah ibu orang-orang mukmin. Ia adalah perempuan yang cantik parasnya dan juga lembut hatinya.

Aisyah RA menikah dengan Rasulullah SAW di bulan Syawal. Hal ini berdasarkan pada hadits berikut,


عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي قَالَ وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ

Artinya: ‘Aisyah dia berkata, “Rasulullah menikahiku pada bulan Syawal, dan mulai berumah tangga bersamaku pada bulan Syawal, maka tidak ada di antara istri-istri Rasulullah yang lebih mendapatkan keberuntungan daripadaku.”

Periwayat hadits berkata, “Oleh karena itu, ‘Aisyah sangat senang menikahkan para wanita di bulan Syawal.” (HR. Muslim)

Merangkum buku Istri dan Putri Rasulullah oleh Abdullah Haidir dikisahkan bahwa Aisyah RA menjalani rumah tangga dengan penuh perasaan bahagia.

Ia adalah Aisyah binti Abdullah bin Abu Quhafah. Abdullah bin Abu Quhafah adalah nama sebenarnya dari Abu Bakar Ash-Shiddiq. Aisyah RA dilahirkan empat tahun setelah masa kenabian.

Aisyah RA adalah perempuan mulia, ia dikenal dengan julukan Ash-Shiddiqah (wanita yang jujur dengan keimanannya). Hal ini yang membuat dirinya terkadang disebut dengan istilah Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq.

Ibunda Aisyah bernama Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir Al-Kinaniyah. Sang ibu dikenal sebagai wanita salihah yang telah masuk Islam sejak awal dakwah Rasulullah SAW. Ayah dan ibu Aisyah RA adalah kalangan orang-orang beriman yang dekat dengan Rasulullah SAW.

Setelah menikah, Rasulullah SAW memberi julukan khusus kepada Aisyah RA yakni humairah yang artinya putih kemerah-merahan. Julukan ini diberikan karena Aisyah RA memiliki kulit yang putih dan wajah merona kemerahan.

Kisah Pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah RA

Rasulullah SAW menikahi Aisyah RA pada bulan Syawal, kurang lebih setahun sebelum Hijrah ke Madinah. Pernikahan tersebut baru sebatas akad karena selama di Makkah, Aisyah RA tidak langsung tinggal bersama Rasulullah SAW.

Dua tahun setelah Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Madinah, Aisyah RA menyusul bersama ibundanya. Tepat pada bulan Syawal, Aisyah RA tinggal serumah dengan Rasulullah SAW.

Pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah RA berawal dari Khaulah binti Hakim, istri Utsman bin Maz’un, yang memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW terkait pernikahan sepeninggal Khadijah RA.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah SAW memberi isyarat bahwa beliau masih menginginkan meminang perempuan. Kemudian, Khaulah menawarkan Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq RA yang masih gadis atau Saudah binti Zum’ah yang sudah janda.

Singkat cerita akhirnya Rasulullah SAW menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Aisyah RA menuturkan tentang pernikahannya dengan Rasulullah SAW, “Rasulullah SAW menikahi aku ketika aku berusia enam tahun, kemudian kami berangkat (hijrah) ke Madinah, kami singgah di rumah Al-Harits bin Khazraj. Lalu aku menderita demam, rambutku rontok, sehingga di pundakku banyak terdapat rambut rontok.”

Ummu Ruman, ibunya, datang menghampiri Aisyah yang berada di atas dipan bersama teman-temannya. Lalu, sang ibu memanggil Aisyah RA dan membawanya hingga di depan pintu sebuah rumah. Aisyah RA bercerita, nafasnya terasa tersengal-sengal kemudian reda lagi.

Lalu ibunya mengambil air dan mengusapkan ke wajah dan kepala Aisyah RA. Kemudian, sang ibu mengajak Aisyah RA masuk ke dalam rumah. Ternyata di dalamnya terdapat ibu-ibu dari kalangan Anshar.

Mereka berkata, “Engkau mendapatkan kebaikan dan berkah, semoga bahagia.”

“Kemudian dia menyerahkan aku kepada mereka, lalu mereka merapikan diriku. Tanpa aku perkirakan, Rasulullah SAW datang di waktu Dhuha, maka dia menyerahkan aku kepadanya. Ketika itu aku berusia sembilan tahun,” demikian cerita Aisyah RA.

Di lain waktu, Aisyah RA mengatakan bahwa Nabi SAW menikahi dirinya pada saat ia berusia enam tahun dan menggaulinya pada saat dia berusia sembilan tahun.

Pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah RA tidak semata-mata berdasarkan hawa nafsu belaka. Suatu ketika, setelah menikahi Aisyah, Rasulullah SAW berkata kepadanya,

“Aku bermimpi diperlihatkan engkau sebanyak dua kali. Engkau berada dalam penutup kain sutra, lalu ada yang berkata, ‘Inilah istrimu, singkaplah,’ Ternyata dia adalah engkau. Maka aku katakan, jika ini bersumber dari Allah, niscaya Dia akan mewujudkannya.”

Aisyah RA menjadi wanita yang sangat mulia di usianya yang belia. Namanya dikenang sebagai perempuan yang cerdas, memiliki ilmu yang sangat luas khususnya dalam bidang fiqh, dan dia juga perempuan yang paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah SAW.

Sebagai istri yang dipersunting sejak usia dini, Aisyah RA mendapat curahan ilmu dan keimanan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Ia memiliki kemampuan untuk menerima dan memahami banyak hal besar, baik secara fisik, kecerdasan maupun kejiwaan.

(dvs/rah)



Sumber : www.detik.com

Mukjizat, Gelar, dan Perjalanan Dakwahnya


Jakarta

Nabi Idris AS adalah satu dari 25 nabi dan rasul yang wajib diketahui dalam Islam. Sebagai utusan Allah SWT, ia diberi gelar Asad al Usud.

Eka Satria P & Arif Hidayah melalui karyanya yang berjudul Buku Mengenal Mukjizat 25 Nabi menuliskan bahwa Nabi Idris AS dianugerahi mukjizat dan keistimewaan yang luar biasa. Dengan anugerah itu, ia dapat menjalankan tugas mulia memerangi bani Qabil yang enggan mengikuti ajaran Allah SWT.

Mukjizat Nabi Idris AS

Masih dari sumber yang sama, mukjizat nabi Idris AS salah satunya gelar Asad al Usud. Arti dari gelar itu ialah segala singa yang mana merujuk pada kehebatan dan kekuatan beliau yang sangat mengagumkan.


Tak sampai di situ, Nabi Idris AS juga diberi kekuatan fisik yang luar biasa dan ilmu pengetahuan yang luas. Sang nabi dapat menulis, membaca, menghitung dan menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Idris AS digambarkan sebagai sosok yang cerdas. Bahkan, dirinya dikenal sebagai orang pertama dalam sejarah dunia yang memiliki pengetahuan mendalam pada banyak bidang ilmu pengetahuan.

Beberapa bidang ilmu yang dikuasainya seperti mahir menulis dengan pena, menguasai ilmu astronomi, dan memiliki kemampuan membaca yang baik serta mendalam.

Nabi Idris AS Dipuji dalam Ayat Al-Qur’an

Ibnu Katsir melalui Kisah Para Nabi: Sejarah Lengkap Kehidupan Para Nabi Sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad terjemahan Saefullah MS mengatakan bahwa ada ayat Al-Qur’an yang berisi pujian kepada sang nabi. Allah SWT berfirman,

وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَٰبِ إِدْرِيسَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّيقًا نَّبِيًّا
وَرَفَعْنَٰهُ مَكَانًا عَلِيًّا

Artinya: “Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS Maryam: 56-57)

Perjalanan Dakwah Nabi Idris AS

Kaum Nabi Idris AS merupakan keturunan Qabil yang tak menyembah Allah SWT, mereka menyembah api. Kala itu, Nabi Idris AS sangat gigih memperjuangkan agama Allah SWT.

Sang nabi terus berdakwah kepada bani Qabil dengan penuh kesabaran. Banyak rintangan yang ia lewati, termasuk celaan dan ejekan. Meski demikian, hal itu tidak menjadikan Nabi Idris AS berpaling dari Allah SWT.

Mengutip dari buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Kelas I SD terbitan Kemenag RI, Nabi Idris AS dalam seminggu berdakwah 3-4 harinya beliau beribadah ke Allah SWT. Ia diutus berdakwah ke wilayah Irak Kuno. Namun, beberapa riwayat menyebut Nabi Idris AS diutus ke Mesir.

Nabi Idris AS juga pernah mengajak umatnya untuk berhijrah ke Mesir ke Kota Memphis. Awalnya umat Nabi Idris AS menolak ajakan tersebut, mereka mengeluh karena Mesir merupakan negeri yang tandus. Tetapi, setelah diyakinkan oleh Nabi Idris AS pada akhirnya umatnya pun mau berhijrah.

(aeb/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Keislaman Abu Dzar yang Berhasil Bawa Kaum Ghifar Jadi Muslim


Jakarta

Abu Dzar RA adalah sahabat Rasulullah SAW yang termasuk golongan pertama memeluk Islam sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat. Ia sosok yang meyakini bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT.

Imam Al Baihaqi meriwayatkan dari Imam Al Hakim dengan sanadnya dari Abu Dzar RA, berkata, “Aku adalah orang keempat yang masuk Islam. Sebelumku telah masuk Islam tiga orang, dan aku yang keempat. Aku mendatangi Rasulullah SAW seraya mengucapkan Assalamu’alaika wahai Rasulullah. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Pada waktu itu aku menyaksikan keceriaan pada raut muka Rasulullah SAW.”

Kisah masuk Islam Abu Dzar RA dijelaskan secara detail dalam Shahih Sirah Nabawiyah karya Ibnu Katsir yang diterjemahkan oleh M. Nashiruddin Al Albani. Abu Dzar RA adalah seorang dari kalangan kaum Ghifar yang dikenal sebagai orang-orang yang gemar merampok.


Suatu hari, Rasulullah SAW mengirimkan utusan untuk menemui Abu Dzar RA dengan tujuan mengajak ia memeluk Islam. Namun, ia tak langsung berangkat ke Makkah melainkan mengutus saudaranya mencari informasi tentang Rasulullah SAW.

Telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas RA berkata, “Ketika utusan Rasulullah SAW tiba pada Abu Dzar, dia berkata pada saudaranya, ‘Pergilah ke arah lembah ini, dan mintalah keterangan dari orang yang menganggap dirinya sebagai seorang nabi yang diberikan wahyu dari langit. Dengarkanlah dari ucapannya, kemudian datanglah padaku.’ Lalu saudaranya berangkat hingga ia menemui dan mendengarkan ucapan Rasulullah SAW. Kemudian ia kembali ke Abu Dzar dan berkata padanya, ‘Aku melihat nabi mengajarkan akhlak mulia dan memberikan kalimat yang bukan dari syair.’

Abu Dzar RA ternyata tidak puas dengan laporan ini dari saudaranya, ia penasaran dan berangkat sendiri ke Makkah.

Abu Dzar RA berkata, ‘Apa yang kamu berikan tidak membuatku puas.’

Lalu dia menyiapkan perbekalan dan menuangkan air pada bejana minumnya dan pergi ke Makkah.”

Abu Dzar Mencari Keberadaan Rasulullah SAW

Setibanya di Makkah, Abu Dzar RA mendatangi masjid untuk mencari Rasulullah SAW. Padahal saat itu dia tidak mengenalnya dan enggan menanyakannya.

Hingga pada suatu malam Ali bin Abi Thalib RA melihatnya dan tahu bahwa dia itu orang asing. Lalu Ali RA mengikutinya, keduanya tidak saling berbicara. Hal ini terjadi selama tiga hari berturut-turut. Abu Dzar RA belum juga menemukan keberadaan Rasulullah SAW.

Di hari ketiga, Ali bin Abi Thalib RA bertanya, “Tidakkah engkau ceritakan padaku apa yang mendorong kedatanganmu?”

Abu Dzar RA berkata, “Jika kamu memberiku janji untuk membantuku, maka aku akan melakukannya.” Lalu ia melakukannya dan menceritakan maksud kedatangannya kepada Ali.

Ali RA berkata, “Sesungguhnya Rasulullah itu benar, dan ia itu utusan Allah. Besok ikutilah aku, walaupun aku takut sesuatu akan menimpamu.”

Abu Dzar RA berkata, “Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku ingin berteriak di tengah-tengah mereka.”

Kemudian ia keluar lalu mendatangi masjid, dan menyeru dengan suara yang nyaring, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” Kemudian kaumnya bangkit karena marah dan memukuli hingga dia terkapar.

Abu Dzar RA mendapatkan siksaan dari para penduduk kaum kafir Quraisy. Meskipun demikian, Abu Dzar RA terus mengulangi perbuatannya, hingga penduduk Makkah akhirnya berhenti menyiksa karena mengetahui bahwa Abu Dzar RA keturunan dari suku Ghifar.

Dengan tubuh yang berlumuran darah, Abu Dzar RA mendatangi sumur zamzam untuk meminum airnya dan membersihkan darah yang melekat pada tubuhku. Kemudian memasuki Ka’bah.

Abu Dzar RA tinggal di Makkah tanpa perbekalan apa pun. Ia setiap hari hanya mengonsumsi air zamzam. Meskipun demikian, ia tidak merasakan lemah ataupun kelaparan.

Pertemuan Abu Dzar dengan Rasulullah SAW

Selama 30 hari Abu Dzar RA bertahan di Makkah demi menunggu Rasulullah SAW. Sampai pada akhirnya, Rasulullah SAW bersama Abu Bakar RA mendatangi Ka’bah untuk thawaf dan salat.

Abu Dzar RA berkata, “Lalu aku mendatanginya. Aku merupakan orang yang pertama memberikan penghormatan dengan penghormatan ahli Islam. Rasulullah SAW menjawab, “Alaikassalam wa rahmatullah. Siapa kamu?”

Aku menjawab, “Aku berasal dari Ghifar.”

Rasulullah SAW berkata, “Kapan kamu berada di sini?”

Abu Dzar RA menjawab, “Aku berada disini sejak tiga puluh hari yang lalu.

Rasulullah SAW bertanya, “Siapa yang memberimu makan?”

Abu Dzar RA menjawab, “Aku tidak mempunyai sesuatu pun selain air zamzam. Namun, aku tetap gemuk hingga perutku membesar, dan tidak merasakan letih dan lemah akibat lapar.”

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya itu merupakan berkah, dan itu adalah makanan yang paling berharga.”

Setelah pertemuan tersebut, Abu Dzar RA disambut dan diterima dengan baik. Abu Bakar berkata, “Izinkanlah aku wahai Rasulullah untuk menanggung makan malamnya.”

Abu Bakar RA membuka pintu dan memetik buah kismis sebagai suguhan bagi Rasulullah dan Abu Dzar RA.

Abu Dzar RA berkata, “Sesungguhnya ini makanan yang paling pertama aku makan.”

Setelah memeluk Islam, Abu Dzar RA kembali ke kaumnya di Madinah. Ia kemudian mengajak ibu dan saudaranya memeluk Islam. Hingga akhirnya hampir seluruh kaum Ghifar menjadi muslim, bahkan sebelum kedatangan Rasulullah SAW di Madinah.

Wallahu a’lam.

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Banjir Bandang Dahsyat yang Dikisahkan dalam Al-Qur’an



Jakarta

Banjir bandang dahsyat pernah terjadi pada era nabi terdahulu. Peristiwa ini dikisahkan langsung dalam Al-Qur’an.

Sejumlah kitab tafsir menerangkan banjir dahsyat terjadi pada era Nabi Nuh AS. Banjir ini merupakan azab bagi kaum yang mengingkari dakwah Nabi Nuh AS.

Ulama tafsir sekaligus ahli hadits Imam Ibnu Katsir dalam kitab Qashash al-Anbiyaa yang diterjemahkan Umar Mujtahid menukil penuturan Ibnu Jarir dan lainnya bahwa kaum Nabi Nuh AS bernama bani Rasib.


Bani Rasib kala itu merupakan penyembah berhala dan terjerumus dalam kesesatan dan kekafiran. Selama ratusan tahun dakwah Nabi Nuh AS, mereka tetap berada dalam kesesatan. Hingga akhirnya Allah SWT menurunkan azab berupa banjir bandang dahsyat kepada mereka.

Kisah banjir bandang era Nabi Nuh AS ini diceritakan dalam surah Al A’raf, Yunus, Hud, Al Anbiya’, Al Mukminun, Al ‘Ankabut, Ash-Shaffat, Al Qamar, dan Allah SWT menurunkan satu surah utuh tentang Nabi Nuh AS yakni surah Nuh.

Dalam surah Al A’raf ayat 59-64, Allah SWT berfirman,

لَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَقَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ اِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيْمٍ ٥٩

Artinya: “Sungguh, Kami telah mengutus Nuh (sebagai rasul) kepada kaumnya, lalu ia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah (karena) tidak ada tuhan bagi kamu selain Dia.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah) aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (hari Kiamat).” (QS Al A’raf: 59)

قَالَ الْمَلَاُ مِنْ قَوْمِهٖٓ اِنَّا لَنَرٰىكَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ٦٠

Artinya: “Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata, “Sesungguhnya kami benar-benar melihatmu (berada) dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al A’raf: 60)

قَالَ يٰقَوْمِ لَيْسَ بِيْ ضَلٰلَةٌ وَّلٰكِنِّيْ رَسُوْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَ ٦١

Artinya: “Dia (Nuh) menjawab, “Hai kaumku, tidak ada padaku kesesatan sedikit pun, tetapi aku adalah rasul dari Tuhan semesta alam.” (QS Al A’raf: 61)

اُبَلِّغُكُمْ رِسٰلٰتِ رَبِّيْ وَاَنْصَحُ لَكُمْ وَاَعْلَمُ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ٦٢

Artinya: “Aku sampaikan kepadamu risalah (amanat) Tuhanku dan aku memberi nasihat kepadamu. Aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al A’raf: 62)

اَوَعَجِبْتُمْ اَنْ جَاۤءَكُمْ ذِكْرٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ عَلٰى رَجُلٍ مِّنْكُمْ لِيُنْذِرَكُمْ وَلِتَتَّقُوْا وَلَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ٦٣

Artinya: “Apakah kamu (tidak percaya dan) heran bahwa telah datang kepada kamu peringatan dari Tuhanmu kepada seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu, agar kamu bertakwa, dan agar kamu mendapat rahmat?” (QS Al A’raf: 63)

فَكَذَّبُوْهُ فَاَنْجَيْنٰهُ وَالَّذِيْنَ مَعَهٗ فِى الْفُلْكِ وَاَغْرَقْنَا الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَاۗ اِنَّهُمْ كَانُوْا قَوْمًا عَمِيْنَ ࣖ ٦٤

Artinya: “(Karena) mereka mendustakannya (Nuh), Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera serta Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya).” (QS Al A’raf: 64)

Banjir bandang yang menimpa kaum Nabi Nuh AS juga diceritakan dalam surah Al ‘Ankabut ayat 14-15. Allah SWT berfirman,

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَلَبِثَ فِيْهِمْ اَلْفَ سَنَةٍ اِلَّا خَمْسِيْنَ عَامًا ۗفَاَخَذَهُمُ الطُّوْفَانُ وَهُمْ ظٰلِمُوْنَ ١٤
فَاَنْجَيْنٰهُ وَاَصْحٰبَ السَّفِيْنَةِ وَجَعَلْنٰهَآ اٰيَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ ١٥

Artinya: “Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian, mereka dilanda banjir besar dalam keadaan sebagai orang-orang zalim. Maka, Kami selamatkan Nuh dan para penumpang bahtera serta Kami jadikannya sebagai pelajaran bagi alam semesta.”

Menurut Tafsir Ibnu Katsir yang diterjemahkan M. Abdul Ghoffar E.M dkk, orang yang selamat dari banjir bandang itu hanyalah Nabi Nuh AS dan orang-orang yang beriman kepadanya. Hal ini dijelaskan secara rinci dalam surah Hud ayat 25-48.

Dalam surah itu dikatakan, Allah SWT menenggelamkan seluruh penduduk bumi kecuali orang-orang yang berada dalam bahtera Nabi Nuh AS. Bahkan, anak Nabi Nuh AS termasuk orang yang tertimpa azab Allah SWT.

Wallahu a’lam.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Qabil dan Habil, Peristiwa Pembunuhan Pertama Kali dalam Kehidupan


Jakarta

Peristiwa pembunuhan pertama kali di muka bumi dilakukan oleh Qabil kepada saudaranya Habil. Qabil membunuh Habil karena didasari rasa iri hati dan dengki. Kisah pembunuhan itu diabadikan dalam surah Al Maidah ayat 27-31.

Setelah Nabi Adam AS dan Siti Hawa diusir dari surga karena memakan buah terlarang, yakni khuldi. Mereka berdua diturunkan ke dunia untuk bekerja dan melestarikan keturunannya.

Hawa pun dikaruniai dengan dua pasang anak kembar laki-laki dan perempuan yang masing-masing diberi nama Qabil, Iqlima, Habil, dan Labuda. Qabil merupakan saudara kembar Iqlima, sedangkan Habil adalah saudara kembar Labuda.


Awal Mula Perseteruan Qabil dan Habil

Diambil dari buku yang berjudul Kisah Para Nabi karangan Ibnu Katsir terjemahan Muhammad Zaini, Ibnu Mas’ud menceritakan dari sebagian sahabat Nabi SAW, setelah keempat anak Nabi Adam AS baligh, Allah SWT kemudian memerintahkan Nabi Adam AS untuk menikahkan setiap anak laki-laki dengan anak perempuannya yang bukan pasangan kembarnya.

Dengan demikian, Qabil akan dinikahkan dengan Labuda, lalu Habil akan dinikahkan dengan Iqlima. Namun, ketika diperintahkan demikian, Qabil menolak untuk menikahi Labuda. Ia bersikeras untuk menikahi saudara kembarnya, sebab Iqlima memiliki paras yang lebih cantik dari Labuda.

Qabil telah dikuasai oleh sifat dengki terhadap Habil. Ia bahkan mendapat bisikan dari iblis untuk membunuh Habil.

Persembahan Kurban Qabil dan Habil

Qabil pun masih tidak mau mengalah dan menerima perintah tersebut. Pada akhirnya, Nabi Adam AS yang tidak ingin melanggar anjuran dari Allah SWT pun memerintahkan kedua putranya untuk berkurban.

Tibalah hari ketika Qabil dan Habil berangkat untuk mempersembahkan kurban yang diminta oleh Nabi Adam AS sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. Habil mempersembahkan kurbannya berupa seekor kambing yang gemuk dengan kualitas terbaik. Sementara itu, Qabil mempersembahkan kurbannya berupa hasil pertanian yang buruk.

Seketika api pun muncul dan menyambar kurban Habil, sehingga menandakan kurban Habil yang diterimanya oleh Allah SWT. Sementara itu, api membiarkan begitu saja kurban milik Qabil sehingga kurbannya pun ditolak.

Qabil yang diterima dengan ketetapan Allah SWT pun kesal sambil berkata kepada Habil, “Sungguh aku benar-benar akan membunuhmu hingga engkau tidak jadi menikahi saudara perempuan kembaranku.”

Habil menjawab, “Sesungguhnya, Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.”

Menanggapi ancaman pembunuhan tersebut, Habil dengan penuh keimanan tidak akan membalas perbuatan Qabil. Peristiwa ini termaktub dalam Al Quran surah Al Maidah ayat 28:

لَئِنۢ بَسَطتَ إِلَىَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِى مَآ أَنَا۠ بِبَاسِطٍ يَدِىَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ ۖ إِنِّىٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلْعَٰلَمِينَ

Artinya: “Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam”.

Ibnu Abbas juga meriwayatkan dari jalur riwayat lainnya, dari Abdullah bin Amru. Ia (Abdullah bin Amru) berkata, “Demi Allah, yang terbunuh (Habil) adalah orang yang terkuat di antara dua kakak beradik itu, tetapi ia menahan diri.”

Pembunuhan Pertama yang Terjadi dalam Kehidupan

Hingga tibalah suatu malam, ketika Habil melangkah dengan pelan-pelan keluar. Melihat itu, Nabi Adam AS mengutus Qabil untuk melihat apa yang membuat saudaranya itu melangkah dengan pelan-pelan.

Pada saat itu, Qabil yang masih marah tentang kurban itu langsung berniat untuk membunuh Habil. Ia pun memukul Habil dengan besi yang ada padanya hingga Habil meninggal dunia.

Ada yang berpendapat bahwa Qabil membunuh Habil dengan batu yang ia lemparkan hingga mengenai kepala Habil. Saat itu Habil sedang tidur.

Ada pula yang berpendapat bahwa Qabil mencekik leher Habil sekuat-kuatnya dan menggigitnya, sebagaimana yang dilakukan oleh binatang buas, sehingga Habil meninggal dunia seketika.

Ketika melihat saudaranya itu sudah terkapar tak berdaya, Qabil bingung. Terbesit penyesalan di hatinya. Dia teringat kalau Habil adalah saudaranya yang baik.

Ulama berpendapat bahwa Qabil menggendong jenazah Habil selama satu tahun bahkan sebagian lagi berpendapat seratus tahun. Pada akhirnya, Allah SWT mengutus dua ekor burung gagak yang berkelahi sehingga salah satunya mati.

Dengan keadaan yang sama, burung gagak yang masih hidup menggali tanah dan memasukkan bangkai burung gagak yang telah mati ke dalamnya. Qabil pun langsung meniru apa yang telah dilakukan gagak tersebut. Qabil berkata, “Duhai celaka aku. Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Qabil kemudian menguburkan jenazah Habil.

Hikmah dari Kisah Qabil dan Habil

Dari peristiwa pembunuhan pertama di muka bumi oleh kedua anak Adam AS itu, kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran. Salah satunya yaitu tidak saling membunuh. Bahkan Rasulullah SAW pun melarang muslim untuk saling membunuh.

Hal tersebut seperti yang dijelaskan dalam riwayat hadits Rasulullah SAW yang bersabda, “Apabila dua orang muslim berhadapan dengan pedang, pembunuh dan yang terbunuh ada di neraka.”

Mereka (para sahabat Nabi) berkata, “Wahai Rasulullah, ia yang membunuh (pantas masuk neraka) lalu bagaimana dengan yang terbunuh?”

Beliau menjawab, “Sesungguhnya, ia ingin membunuh kawannya juga.” (HR Bukhari dan Muslim)

Lip Syarifah di dalam buku Cerita Teladan 25 Nabi dan Rasul juga menjelaskan hikmah yang bisa kita ambil, di antaranya:

Jika kita melakukan kesalahan, maka kita harus segera bertaubat dan memperbaiki kesalahan tersebut.

Berpikirlah dan selalu mengingat Allah SWT sebelum melakukan sesuatu, jangan mudah tergoda oleh bujuk rayuan iblis.

Selalu berusaha menjadi hamba yang taat dalam melaksanakan perintah Allah SWT serta menjauhi sifat iri dan dengki.

Wallahu a’lam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com