Saat Keturunan Pemimpin Yahudi Jadi Istri Rasulullah SAW


Jakarta

Rasulullah SAW memiliki sejumlah istri usai Sayyidah Khadijah wafat. Beliau pernah menikahi wanita keturunan Yahudi bernama Shafiyah binti Huyay Al-Akhthab.

Shafiyah adalah putri pemimpin Yahudi yang tewas dalam Perang Khaibar, Huyay Al-Akhtab. Al-Akhthab adalah musuh Nabi SAW.

Pernikahan Rasulullah dengan Shafiyah binti Huyay

Kisah pernikahan Rasulullah SAW dengan Shafiyah binti Huyay bermula dari Perang Khaibar. Diceritakan dalam Sirah Nabawiyah karya Ali Muhammad Ash-Shallabi yang diterjemahkan Faesal Saleh dkk, saat kaum muslimin menaklukkan Qamus, benteng milik bani Abu Haqiq, salah seorang wanita yang menjadi tawanan mereka adalah Shafiyah binti Huyay.


Shafiyah binti Huyay kemudian diberikan kepada Duhaiyah Al-Kalbi. Salah seorang sahabat mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, Shafiyah binti Huyay, pemimpin kaum itu diberikan kepada Duhaiyah, ia tidak pantas untuk siapa pun selain engkau.”

Nabi SAW menilai isyarat sahabat tersebut bagus. Beliau kemudian meminta Duhaiyah untuk mengambil budak yang lain kemudian Rasulullah SAW mengambil Shafiyah dan memerdekakannya.

Kemerdekaan atas Shafiyah binti Huyay itulah yang menjadi mahar Rasulullah SAW. Setelah itu, beliau menikahinya. Pernikahan ini dilakukan usai Shafiyah binti Huyay suci dari haid dan telah masuk Islam.

Menurut Ibnu Qayyim Jauziyah dalam Jami’us Shirah yang diterjemahkan Abdul Rosyad Shiddiq dan Muhammad Muchson Anasy, pernikahan Rasulullah SAW dengan Shafiyah binti Huyay terjadi pada 7 H.

Keutamaan Shafiyah binti Huyay

Mengutip buku Jejak Wakaf Sahabat: Dari Sedekah Jariyah Menuju Wakaf karya Ali Iskandar, Shafiyah binti Huyay tertarik pada hal-hal baru, terutama dalam konteks agama dan Islam.

Ketika ia menjadi istri Nabi, ia dengan antusias mengikuti pengajian dan aktif bertanya tentang ajaran baru yang dianutnya.

Selain itu, Sayyidah Shafiyah juga suka bersedekah. Hal ini dibuktikan ketika dia meyakini sedekah dapat kembali kepada siapa pun yang memanfaatkannya.

Dalam kitab Ahkamul Auquf, Sayyidah Shafiyah mempunyai sebuah rumah, lalu dia mengizinkan rumahnya ditempati oleh bani Abdan. Mereka adalah para tawanan perang untuk sekadar berteduh sesudah bekerja. Padahal sudah menjadi tradisi para tawanan akan bekerja untuk tuannya dan mendapatkan upah seadanya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Bolehkah Niat Puasa Ganti Dibarengi dengan Puasa Senin Kamis?


Jakarta

Bagi muslimah berpuasa di bulan Ramadhan ada yang tidak bisa melakukannya sebulan penuh, karena beberapa halangan seperti datang bulan, melahirkan, atau menyusui. Sehingga harus menggantinya di hari lain.

Ketika seseorang berhalangan menjalankan puasa wajib karena suatu hal. Maka wajib hukumnya mengganti puasa di hari yang berbeda. Lalu, bolehkah mengganti puasa ganti Ramadhan berbarengan dengan puasa Senin Kamis?

Puasa Qadha Ramadhan

Mengutip buku Dahsyatnya Puasa Wajib & Sunah Rekomendasi Rasulullah karya Amirullah Syarbani, Islam tidak pernah memaksa umatnya yang tidak mampu melaksanakan puasa untuk tetap menunaikannya. Malah Islam memberikan rukhshah (keringanan).


Bagi mereka umat Islam yang tidak bisa menunaikan puasa wajib (Ramadhan) karena suatu alasan syar’i seperti misalnya haid bagi wanita mendapatkan rukhshah dalam bentuk bisa mengqadha puasa Ramadhannya pada bulan-bulan berikutnya, sebelum Ramadhan tahun depan.

Penjelasan qadha Ramadhan menurut Surah Al-Baqarah ayat 185:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ١٨٥

Artinya: “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.”

Puasa Senin Kamis

Mengutip buku Tata Cara dan Tuntunan Segala Jenis Puasa karya Nur Solikhin, puasa Senin Kamis merupakan puasa yang dilakukan hanya pada hari Senin dan Kamis.

Suatu ketika Abu Qatadah berkata, “Rasulullah SAW ditanya tentang puasa di hari Senin. Beliau menjawab, “Hari itu aku dilahirkan, dan hari itu aku diutus, serta Al-Qur’an yang diturunkan kepadaku.”

Serta hadits berikut ini, “Amal perbuatan itu diperiksa setiap hari Senin dan Kamis, maka aku suka diperiksa amal ku ketika sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi).

Hukum Menggabungkan Puasa Ganti Ramadhan dengan Puasa Senin Kamis

Mengutip buku The Miracle Of Puasa Senin Kamis karya Ubaidurrahim El-Hamdy, menggabungkan niat puasa tujuannya supaya mendapatkan pahal yang berlipat ganda.

Hanya saja berniat ganda supaya dianggap telah menunaikan dua ibadah puasa bersamaan hanya bisa dilakukan bila puasanya sejenis, atau sesama puasa sunnah. Sehingga niat puasa sunnah tidak bisa digabungkan dengan puasa wajib.’

Maka puasa sunnah Senin Kamis tidak bisa dipasangkan dengan puasa qadha pengganti puasa Ramadhan, Sebab hukum puasa Senin Kamis adalah sunnah, sedangkan puasa qadha hukumnya wajib.

Selaras dengan pendapat tersebut, berdasarkan buku Risalah Puasa karya Sultan Abdillah, bila seseorang ingin menggabungkan antara puasa sunnah, seperti ibadah puasa Arafah dan puasa Senin Kamis, maka itu diperbolehkan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Jika puasa 6 hari di bulan Syawal bertepatan dengan puasa Senin atau Kamis, maka niat puasa Syawal juga akan mendapatkan pahala puasa Senin, begitu pula puasa Senin atau Kamis akan mendapatkan ganjaran puasa Syawal. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Artinya: “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan pahala yang ia niatkan.”

Melansir Fiqih Niat yang ditulis Isnan Ansory. Dikatakan, untuk penggabungan dua niat ibadah antara wajib dan sunnah, maka berdampak pada salah satu ibadahnya sah dan yang lainnya batal. Diberikan contoh seperti puasa pada satu hari dengan dua niat puasa.

Misalnya puasa qadha Ramadan yang termasuk wajib, dan puasa sunnah Senin dan Kamis. Menurut sebagian ulama, penyatuan dua niat antaranya dikatakan sah pada puasa wajib, sementara puasa sunnahnya batal.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Tugas Istri Menurut Islam, Tak Harus Kerjakan Semua Urusan Rumah Tangga?


Jakarta

Tugas istri kadang dikaitkan melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Padahal menurut Islam, tugas istri bukanlah seperti itu.

Para ulama dalam sejumlah kitab fikih telah mengulas tugas seorang istri sesuai syariat Islam. Pendapat mereka umumnya menyatakan para wanita tidak diwajibkan untuk melakukan semua pekerjaan rumah tangga.

Mengutip buku Istri Bukan Pembantu karya Ahmad Sarwat, salah satu rujukan yang sering digunakan Mazhab Asy-Syafi’iah adalah Kitab Al-Muhadzdzab karya Asy-Syirazi. Dalam kitab tersebut menyebutkan tentang tidak wajibnya seorang istri khidmat terhadap suaminya dengan lafaz sebagai berikut:


“Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual, sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.”

Mazhab lainnya seperti Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Al-Hanabilah dan ditambah Mazhab Adz-Dzahihiri, sepakat mengatakan para istri pada hakikatnya tidak berkewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya. Jumhur ulama cenderung sepakat bahwa tugas seorang istri bukan mengerjakan urusan rumah tangga, kalau pun ingin dikerjakan menjadi sebuah ibadah sunnah yang akan menambah nilai pahala baginya.

Lantas apa tugas istri sebenarnya yang dalam Islam? Berikut penjelasan lengkapnya!

Tugas istri dalam Islam tidak semata hanya mengerjakan urusan rumah tangga tapi lebih dari itu. Mengutip buku Jadilah Istri Shalihah oleh Nur Zaim, berikut adalah tugas istri menurut Islam.

1. Jadi Pemimpin di Rumah

Istri memiliki peran sebagai penyeimbang seorang suami yang mungkin tidak sempat mengerjakan urusan rumah tangga karena bekerja. Penting kiranya sebagai suami istri membuat kesepakatan yang bertujuan untuk saling melengkapi kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Rasulullah SAW bersabda,

“Suami adalah pimpinan bagi keluarganya, dan ia pasti dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Dan, istri adalah pemimpin rumah tangga suaminya, dan pasti ia dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR Bukhari)

Mengamati hadits tersebut, seharusnya pasangan suami istri sadar bahwa setiap orang yang sudah berkeluarga memiliki tugas dalam membangun keluarga yang bahagia. Salah satunya ialah dengan bertanggung jawab menjadi suami atau menjadi istri yang baik sesuai syariat Islam.

2. Mengatur Kebutuhan Rumah Tangga

Bisa dikatakan, mengurus perekonomian keluarga menjadi prioritas utama bagi seorang istri. Dalam hal ini, istri dituntut menjadi pemeran yang baik dan teliti dari skenario kehidupan rumah tangga. Sebab ia harus membahagiakan suaminya dengan cara mengatur kebutuhan rumah tangga dengan baik.

Dalam membangun keluarga yang bahagia dari segi kebutuhan rumah tangga, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan sebagai seorang istri. Langkah yang dimaksud adalah dengan merencanakan belanja bulanan dan menghemat pengeluaran untuk beberapa aktivitas.

3. Menghiasi Rumah dengan Penuh Keindahan

Selain untuk berteduh, rumah juga menjadi tempat untuk memadu kasih bagi suami istri. Selain itu, rumah juga menjadi tempat untuk menghilangkan penat seharian beraktivitas.

Hal mendasar yang mesti dilakukan istri untuk menghiasi rumahnya adalah rutin membersihkannya. Rasulullah SAW bersabda,

“Sebagian dari kebahagiaan anak Adam adalah istri shalilah, rumah yang rapih dan kendaraan yang baik.” (HR Dialami)

Adapun cara lain menghiasi rumah dengan melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Seperti yang difirmankan Allah, seseorang diharuskan senantiasa membaca Al-Qur’an di dalam rumah agar rumahnya memperoleh syafaat.

Rasulullah SAW bersabda,

“Rumah yang di dalamnya dihiasi alunan bacaan Al-Qur’an akan memancarkan cahaya hingga tidak terlihat oleh para penduduk langit, sebagaimana bintang-bintang memancarkan cahaya yang terlihat oleh penduduk bumi.” (HR. Baihaqi)

4. Ciptakanlah Rumah Tangga Berdasarkan Agama

Dengan menempatkan agama sebagai prioritas utama dalam membangun keluarga bahagia, maka akan diperoleh kebahagian dalam setiap langkah hidup yang dijalani. Sebab, dengan mengutamakan agama, berarti seseorang sudah mengingat Allah SWT, dan barang siapa yang selalu mengingat Allah SWT maka hidupnya akan tenang.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ra’d ayat 28 sebagai berikut:

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُۗ

Artinya: (Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.

5. Rumahmu adalah Surga Terindahmu

Di dalam rumah, suami istri seakan berada di dalam kerajaan kecil yang penuh kebahagiaan bila rumah itu dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang. Sebab, mengedepankan kebahagian pasangan, menunjukkan keseriusan dalam membangun keluarga yang bahagia.

Di lain sisi, dengan sikap lembut seorang istri bisa menjadikan rumah layaknya surga untuk suami dan anak-anaknya. Allah SWT berfirman,

“Dan, di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Keranda Mayat dalam Sejarah Islam Dicetuskan Fatimah Putri Rasulullah


Jakarta

Penggunaan keranda mayat dalam sejarah Islam muncul saat meninggalnya Sayyidah Fatimah Az-Zahra RA. Ia adalah putri Rasulullah SAW dan Sayyidah Khadijah RA.

Fatimah Az-Zahra RA dikenal sebagai sosok yang pemalu. Mengutip buku Mazhab Cinta, Cerita & Logika karya M. Rafiqsani Al-Batami, salah satu kisah yang menunjukkan besarnya rasa malu putri Rasulullah SAW itu usai menikah dengan Ali bin Abi Thalib RA.

Dalam kisah yang diceritakan Asma’ binti Umais, suatu ketika Rasulullah SAW datang untuk bertemu menantunya, Ali bin Abi Thalib RA. Rasulullah SAW memercikkan air kepada Ali RA dan mendoakannya. Setelah itu, Rasulullah SAW memanggil Fatimah RA, yang kemudian berdiri dengan malu-malu dan mendekat.


Kisah lain, Ali bin Abi Thalib RA juga pernah meminta istrinya itu minta pelayan kepada Rasulullah SAW untuk membantu meringankan perkerjaan rumahnya. Fatimah RA pun pergi ke rumah Rasulullah SAW. Namun, setibanya di sana, dia tidak dapat berkata-kata karena terlalu malu, meskipun Rasulullah SAW adalah ayahnya sendiri. Akhirnya, Fatimah Az-Zahra RA pulang tanpa mengungkapkan maksud kunjungannya.

Fatimah Az-Zahra RA telah mempertahankan sifat malunya sampai akhir hayatnya. Ketika menjelang kematiannya, ia berkeinginan agar jasadnya diselimuti dengan sangat rapi, lebih dari yang lazim dilakukan pada masa itu. Kala itu, jenazah hanya dibalut dengan kain kafan dan digotong menuju pemakaman. Fatimah Az-Zahra khawatir bentuk tubuhnya mungkin akan terlihat.

Menjelang Wafatnya Fatimah Az-Zahra

Diceritakan dalam buku Agungnya Taman Cinta Sang Rasul karya Ustadzah Azizah Hefni, Fatimah Az-Zahra RA mengalami sakit yang semakin parah menjelang wafatnya. Orang-orang terdekatnya pun merasa sedih. Apalagi Fatimah Az-Zahra RA yang sudah tidak lagi tersenyum, wajahnya tampak pucat, dan seolah-olah menyadari bahwa tidak akan hidup lebih lama lagi.

Suatu ketika Fatimah Az-Zahra RA berbaring, dan tidak lama setelah itu, Asma’ binti Umais tiba. Asma’ binti Umais adalah sahabat akrab Fatimah Az-Zahra dan istri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Mereka berdua berbincang-bincang, dan Fatimah Az-Zahra RA meminta tolong kepada Asma’ binti Umais untuk menyiapkan makanan dan barang-barang yang diperlukan.

Asma’ binti Umais berkata, “Saya benar-benar menganggap buruk apa yang dilakukan oleh wanita, yaitu dipakaikan pada wanita suatu kain dan kain itu menampakkan bentuk tubuhnya.”

Maksudnya ketika seorang perempuan telah meninggal dan telah dimasukkan ke dalam keranda untuk diusung dalam prosesi pemakaman. Lalu, Asma’ kembali berkata, “Wahai putri Rasulullah, maukah engkau saya perlihatkan bagaimana orang-orang Habasyah memperlakukan mayat wanita?”

Fatimah Az-Zahra RA pun setuju. Lalu, Asma’ meminta beberapa batang pohon kurma yang masih basah, lalu menekuknya dan membungkusnya dengan kain. Fatimah Az-Zahra RA melihat itu dengan takjub. Ia berkata, “Betapa indah cara mengkafani seperti itu. Apabila nanti aku meninggal, aku ingin kau memandikanku dengan Ali, dan tidak boleh ada seorang pun yang masuk untuk melihatku.”

Fatimah Az-Zahra RA berkata sambil tersenyum. Itu adalah senyumnya yang pertama kali sejak ia dilanda sakit.

Mengutip buku Mazhab Cinta, Cerita & Logika karya M. Rafiqsani Al-Batami dkk, ada kisah lainnya ketika Asma binti Umais datang menemui Fatimah Az-Zahra RA. Asma menceritakan perlakuan orang Habasyah memperlakukan jenazah mereka dengan cara membuatkan keranda yang diselubungi kain.

Fatimah Az-Zahra RA pun merasa senang dan takjub, ia segera berwasiat kepada Asma jika wafat nanti jasadnya diperlakukan seperti itu. Maka benarlah Fatimah Az-Zahra RA saat wafat dibawa ke kubur dengan diangkat memakai keranda yang diselubungi kain.

Tidak ada yang Tahu Letak Makam Fatimah Az-Zahra

Ketika Fatimah Az-Zahra RA meninggal dunia hanya ada beberapa orang yang mengetahuinya, keranda yang membawa jenazahnya pun diusung oleh empat orang, yakni Ali, Hasan, Husein, dan Abu Dzar.

Para penduduk Madinah sama sekali tidak tahu mengenai kabar kematiannya putri Rasulullah SAW. Malam itu menjadi malam yang sepi dan menyimpan kesedihan mendalam. Ali RA beserta rombongan kecil itu sepakat untuk tidak memberitahukan letak makam putri Rasulullah SAW.

Kabar wafatnya Fatimah Az-Zahra RA baru terdengar esok harinya. Warga Madinah sangat terkejut, namun tidak tahu letak makamnya. Mereka berniat menggali makam di sekitar Rasulullah SAW, karena yakin di sanalah makam putri Rasulullah SAW berada.

Ali RA datang menghentikan mereka, hingga upaya pencarian makan pun dihentikan. Abu bakar As-Siddiq RA yang melihat aksi tersebut memilih untuk menerimanya supaya tidak ada pihak yang terluka.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Aisyah Istri Rasulullah SAW dari Lahir hingga Wafat


Jakarta

Aisyah RA adalah istri Rasulullah SAW. Usianya saat menikah dengan nabi cukup terbilang muda.

Menurut sebuah hadits, Aisyah RA dinikahi Rasulullah SAW saat berusia 6 tahun. Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dari Aisyah RA berkata:

“Nabi SAW menikahiku ketika aku masih berusia enam tahun. Kami berangkat ke Madinah. Kami tinggal di tempat bani Haris bin Khajraj. Kemudian aku terserang penyakit demam panas yang membuat rambutku banyak yang rontok.


Kemudian ibuku, Ummu Ruman, datang ketika aku sedang bermain-main dengan beberapa orang temanku. Dia memanggilku, dan aku memenuhi panggilannya, sementara aku belum tahu apa maksudnya memanggilku.

Dia menggandeng tanganku hingga sampai ke pintu sebuah rumah. Aku merasa bingung dan hatiku berdebar-debar. Setelah perasaanku agak tenang, ibuku mengambil sedikit air, lalu menyeka muka dan kepalaku dengan air tersebut, kemudian ibuku membawaku masuk ke dalam rumah itu. Ternyata di dalam rumah itu sudah menunggu beberapa orang wanita Anshar. Mereka menyambutku seraya berkata: ‘Selamat, semoga kamu mendapat berkah dan keberuntungan besar:’

Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka. Mereka lantas merapikan dan mendandani diriku. Tidak ada yang membuatku kaget selain kedatangan Rasulullah SAW. Ibuku langsung menyerahkanku kepada beliau, sedangkan aku ketika itu baru berusia sembilan tahun.” (HR Bukhari)

Sirah Aisyah RA

Dijelaskan dalam Sirah Aisyah Ummil Mukminin karya Sulaiman An-Nadawi yang diterjemahkan Iman Firdaus, Aisyah mempunyai gelar Ash-Shiddiqah sering dipanggil Ummul Mukminin, dan nama keluarganya adalah Ummu Abdullah, Rasulullah suka memanggilnya Humairah, atau binti Ash-Shiddiq.

Ayah Aisyah bernama Abdullah, dijuluki Abu Bakar yang memiliki gelar Ash-Shiddiq, sedangkan ibunya bernama Ummu Ruman yang berasal dari suku Quraisy kabilah Taimi.

Menurut buku ini, moyang Aisyah bertemu dengan moyang Rasulullah SAW di kakek ketujuh, sedangkan moyang kakek dari pihak ibunya dari kakek kesebelas atau dua belas.

Kelahiran Aisyah

Sebelum menikah dengan Abu Bakar, Ummu Ruman merupakan istri Abdullah bin al-Harits al-Azadi, setelah Abdullah bin Al-Harits meninggal barulah Ummu Ruman menikah dengan Abu Bakar.

Pernikahan mereka berdua dikaruniai dua anak, yakni Abdullah dan Aisyah. Beberapa pengarang kitab sirah dan mengutip pendapat Ibnu Sa’ad dalam bukunya, Thabaqat menyatakan, “Kelahiran Aisyah terjadi pada awal tahun ke-4 kenabian. Pada tahun kesepuluh kenabian, Rasulullah menikahinya saat ia berumur enam tahun.”

Pernikahan Aisyah RA dengan Rasulullah SAW

Kisah pernikahan Aisyah RA dengan Rasulullah SAW diceritakan dalam Aisyah Ummul Mu’minin, Ayyamuha Wa Siratuha Al-Kamilah Fi Shafahat karya Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi yang diterjemahkan Masturi Irham dan Arif Khoiruddin.

Awal mula Nabi Muhammad SAW melamar Aisyah RA karena sebuah wahyu yang diturunkan kepada beliau. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya dari Aisyah RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,

أُرِيتُكِ فِي الْمَنَامِ ثَلَاثَ لَيَالٍ، جَاءَنِي بِكِ الْمَلَكُ فِي سَرَقَةٍ مِنْ حَرِيرٍ، فَيَقُولُ : هَذِهِ امْرَأَتُكَ، فَأَكْشِفُ عَنْ وَجْهِكَ فَإِذَا أَنْتِ هِيَ، فَأَقُولُ : إِنْ يَكُ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ يُمْضِهِ

Artinya: “Aku diperlihatkan dirimu dalam mimpi selama tiga malam. Malaikat datang kepadaku membawamu dengan mengenakan pakaian sutera terbaik. Malaikat itu berkata, “Ini adalah istrimu.” Lalu aku singkap penutup wajahmu, ternyata itu adalah dirimu. Lalu aku bergumam, “Seandainya mimpi ini datangnya dari Allah, pasti Dia akan menjadikannya nyata.”

Khaulan binti Hakim mendatangi Rasulullah SAW sesudah Khadijah RA wafat dan berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah SAW, tidakkah engkau ingin menikah lagi?”

Beliau bersabda, “Dengan siapa?” ia menjawab, “Jika engkau mau dengan seorang gadis, dan jika engkau mau dengan seorang janda.”

Lalu beliau bersabda, “Siapa yang gadis dan siapa yang janda?” Ia kembali menjawab, “Adapun yang gadis adalah putri dari makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling engkau cintai, yaitu Aisyah Radhiyallahu Anha. Adapun yang janda adalah Saudah binti Zam’ah RA; ia telah beriman kepadamu dan menjadi pengikutmu.”

Beliau bersabda, “Pergilah dan ceritakanlah keduanya kepadaku.” Kemudian Khaulah pergi dan masuk ke rumah Abu Bakar RA.

Di situ ia menemui Ummu Ruman, dan berkata, “Kebaikan dan keberkahan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala masukkan kepada kalian?”

Ummu Ruman bertanya, “Apa maksudnya?” la menjawab, “Rasulullah SAW mengutusku untuk meminangkan Aisyah.” Ummu Ruman berkata, “Aku lebih suka jika kamu menunggu Abu Bakar RAdatang.”

Lalu Abu Bakar RA pun datang, dan Khaulah menceritakan hal tersebut kepadanya, lalu Abu Bakar RA berkata, “Apakah ia (Aisyah) boleh untuk beliau, karena ia adalah putri saudaranya?”

Kemudian Khaulah kembali dan menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, “Katakan padanya, “Aku dan kamu adalah saudara dalam Islam, dan putrimu halal (boleh) untukku.”

Lalu Abu Bakar RA datang dan menikahkan Aisyah RA dengan beliau, yang saat itu Aisyah RA berusia enam tahun.

Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah RA hanyalah sebatas kihtbah/ akad saja. Rasulullah SAW belum menggauli dan membina rumah tangga dengannya, hingga hijrah ke Madinah.

Wafatnya Aisyah RA

Menurut Siiratus Sayyidah Aisyah Ummul Mu’miniina RA karya Sayyid Sulaiman an-Nadwi yang diterjemahkan Abu Vihraza, Aisyah RA wafat pada usia 67 tahun. Saat itu beliau mengalami sakit di bulan Ramadan pada 58 Hijriah, bertepatan dengan akhir pemerintahan Muawiyah RA.

Keutamaan Aisyah RA

Aisyah RA adalah wanita mulia yang memiliki sejumlah keutamaan. Mengutip buku The Golden Stories of Ummahatul Mukminin karya Ukasyah Habibu Ahmad, berikut tiga di antaranya.

1. Memiliki Derajat yang Tinggi di Mata Allah SWT

Aisyah RA istri Rasulullah SAW adalah wanita yang memiliki derajat tinggi di mata Allah SWT. Dalam hadits dikatakan, “Keutamaan Aisyah atas wanita-wanita lain adalah seperti keutamaan tsarid atas makanan-makanan yang lain.” (HR Bukhari)

Menurut kitab Al-Lu’lu wal Marjan karya Muhammad Faud Abdul Baqi, maksud tsarid adalah makanan utama masyarakat Arab saat itu, berbentuk seperti bubur daging yang mempunyai gizi lengkap, lezat, dan mudah dikonsumsi.

2. Wanita Cantik dan Cerdas

Aisyah RA juga dikenal dengan parasnya yang cantik. Selain cantik, ia juga dikenal cerdas dan berwawasan luas karena belajar langsung kepada Rasulullah SAW.

3. Aisyah Tempat Bertanya Umat Islam

Sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, para sahabat sering meminta pendapat kepada Aisyah RA, ketika mereka menemui permasalahan yang sulit diselesaikan.

Demikianlah pembahasan mengenai Aisyah istri Rasulullah SAW mulai dari kelahirannya hingga wafat. Semoga Allah SWT senantiasa merahmatinya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

3 Amalan Malam Jumat untuk Wanita Haid, Amalkan Yuk!


Jakarta

Ibadah seorang wanita haid tidak bisa dilakukan dengan sempurna karena dilarang untuk salat, puasa, dan tawaf. Lalu, apa saja amalan malam Jumat yang bisa dikerjakan oleh wanita haid untuk meraih pahala?

Larangan beribadah dengan sempurna untuk wanita haid sudah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya yang diambil dari buku Ensiklopedia Fikih Wanita: Pembahasan Lengkap Fikih Wanita dalam Pandangan Empat Mazhab oleh Agus Arifin. Rasulullah SAW bersabda,

عَنْ عَائِشَةَ رَضى اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ قَدِمْتُ مَكَّةَ وَأَنَا حَالِضٌ وَلَمْ أَطْفْ بِالْبَيْتِ وَلَا بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَة قَالَتْ فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ الله r قَالَ افْعَلِي كَمَا يَفْعَلُ الْحَاتُ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي


Artinya: Aisyah berkata: “Aku datang ke Makkah sedangkan aku dalam keadaan haid. Aku tidak melakukan thawaf di Baitullah dan (sa’i) antara Shafa dan Marwah. Saya laporkan keadaanku itu kepada Rasulullah, maka beliau bersabda: ‘Kerjakanlah apa yang biasa dilakukan oleh orang yang berhaji selain thawaf di Baitullah hingga engkau suci.”” (HR Bukhari)

Lantas, apa saja amalan yang bisa dilakukan pada malam Jumat oleh wanita haid?

3 Amalan Malam Jumat untuk Wanita Haid

1. Membaca atau Menghafalkan Al-Qur’an

Wanita haid yang ingin mengamalkan ibadah sehingga mendapatkan pahala pada malam Jumat bisa dilakukan dengan membaca dan menghafalkan ayat Al-Qur’an. Dikutip dari Wiwi Alawiyah Wahid dalam buku Panduan Menghafal Al-Qur’an Super Kilat, membaca dan menghafalkan Al-Qur’an memiliki banyak keutamaan seperti, mendapat syafaat pada hari kiamat, mempunyai derajat yang tinggi di sisi-Nya, melindungi dari siksa neraka, dan lainnya.

Sebaliknya, perdebatan di kalangan muslim lebih merujuk pada kebolehan memegang mushaf Al-Qur’an bukan pada amalan membaca Al-Qur’an. Dari banyaknya perbedaan pendapat antar ulama tentang boleh atau tidaknya wanita haid untuk memegang Al-Qur’an, para ulama, khususnya mazhab Syafi’i dan Maliki sepakat bahwa wanita haid boleh memegangnya dengan catatan untuk menjaga hafalan Al-Qur’annya, mengajarkan Al-Qur’an, merujuk Al-Qur’an sebagai dalil, dan membaca ayat-ayat pendek untuk berzikir atau berdoa.

Namun, Syekh Ali Jaber menggarisbawahi, ketentuan di atas hanya berlaku bagi wanita haid yang memang memiliki kebiasaan atau kegiatan rutin membaca Al-Qur’an. Seperti, kelompok wanita yang memiliki hafalan Al-Qur’an atau pun seorang wanita yang mengajarkan Al-Qur’an untuk anak-anak.

Untuk itu, Syekh Ali Jaber menyarankan bagi wanita haid yang hendak membaca Al-Qur’an, penggunaan mushaf Al-Qur’an dapat digantikan dengan Al-Qur’an digital dalam smartphone. Menurutnya, ada kebolehan juga penggunaan Al-Qur’an terjemahan, buku tafsir, hingga pelapis sarung tangan bagi wanita haid.

2. Berdoa

Amalan malam Jumat untuk wanita haid yang kedua adalah bangun di sepertiga malam untuk berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT.

Menurut buku Mencari Pahala Disaat Haid oleh Ratu Aprilia Senja bahwa setiap sepertiga malam terakhir itu, Allah SWT turun ke langit bumi untuk memberi kesempatan hamba-hamba-Nya yang memohon dan mengadu. Hal ini disebutkan dalam hadits yang berbunyi,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

Artinya: “Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir pada setiap malamnya. Kemudian berfirman, ‘Orang yang berdoa kepadaKu akan Kukabulkan, orang yang meminta sesuatu kepadaKu akan kuberikan, orang yang meminta ampunan dariKu akan Kuampuni.” (HR Bukhari dan Muslim)

Selain itu, waktu sepertiga malam menawarkan banyak kemuliaan dan saat yang tepat untuk bermunajat kepada Allah SWT. Waktu tersebut juga membuat lebih khusyuk dan berkonsentrasi dalam mendekatkan diri kepada-Nya.

3. Bertobat

Amalan malam Jumat untuk wanita haid yang ketiga adalah memperbanyak istighfar dan bertobat kepada Allah SWT.

Masih diambil dari buku yang sama, wanita yang sedang haid hendaknya memperbanyak istighfar dan tobatnya kepada Allah SWT. Sebab wanita yang sedang haid ibadahnya sedang berkurang. Pada saat-saat seperti ini lebih baik digunakan untuk memperbanyak bertobat dengan mengucap, “Astaghfirullahaladziim”

Dari Abdullah bin Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang senantiasa beristighfar niscaya Allah akan menjadikan baginya kelapangan dari segala kegundahan yang menderanya, jalan keluar dari segala kesempitan yang dihadapinya dan Allah memberinya rezeki dari arah yang tidak ia sangka-sangka.” (HR Ahmad)

Berdasarkan hadits tersebut maka dapat disimpulkan bahwa istighfar tidak hanya bisa dilakukan di malam Jumat, namun bisa dilakukan sebanyak-banyaknya setiap saat di hari-hari lainnya.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Rabiah Al Adawiyah, Sufi Wanita yang Enggan Menikah karena Allah


Jakarta

Rabiah Al Adawiyah merupakan sosok yang tak asing dalam dunia tasawuf. Sufi wanita pembawa ‘agama cinta’ ini memilih untuk tidak menikah seumur hidupnya.

Dalam buku Khazanah Orang Besar Islam dari Penakluk Jerusalem hingga Angka Nol karya RA Gunadi dan M Shoelhi disebutkan, Rabiah Al Adawiyah lahir tahun 713 M di Basrah (Irak). Kedua orang tuanya meninggal tatkala ia masih kecil dan ketiga kakaknya juga meninggal saat wabah kelaparan melanda Basrah.

Rabiah Al Adawiyah kecil harus hidup mandiri dan asing. Ia pernah menjadi budak dan ketika bebas ia memilih menjalani hidup di tempat-tempat sunyi untuk bermeditasi. Sebuah tikar lusuh, sebuah periuk dari tanah, dan sebuah batu bata adalah harta yang ia miliki pada saat itu.


Sejak saat itu, Rabiah Al Adawiyah mengabdikan seluruh hidupnya pada Allah SWT. Setiap waktu ia terus berdoa dan berzikir. Hidupnya benar-benar semata untuk kehidupan akhirat sampai ia mengabaikan urusan dunianya.

Konsep Cinta dalam Sufisme Rabiah Al Adawiyah

Kecintaan Rabiah Al Adawiyah pada Allah SWT membuatnya memilih untuk melajang seumur hidup. Sufisme Rabiah Al Adawiyah telah mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) dan konsep mahabbah inilah yang membuatnya menjadi pembawa ‘agama cinta’.

Cinta Rabiah Al Adawiyah bukanlah cinta yang mengharap balasan. Ia justru menempuh perjalanan mencapai ketulusan. Dalam salah satu syairnya ia berujar,

Jika aku menyembah-Mu karena takut pada api neraka maka masukkan aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.

Konsep tasawuf Rabiah Al Adawiyah ini menceritakan cinta seorang hamba kepada Tuhannya, sebagaimana disebutkan dalam buku Pesan-pesan Cinta Rabiah Al Adawiyah karya Ahmad Abi. Rabiah Al Adawiyah mengajarkan bahwa segala amal ibadah yang dikerjakannya bukan karena berharap surga atau takut dengan api neraka, melainkan karena rasa cinta.

Kesufian Rabiah Al Adawiyah sangat diakui pada masanya. Menurut buku Moderasi Beragama Para Sufi karya Abrar M. Dawud Faza, Rabiah Al Adawiyah merupakan salah seorang sufi yang tidak mengikuti tokoh-tokoh sufi terkemuka lainnya, bahkan ia seperti tidak pernah mendapat bimbingan dari pembimbing spiritual mana pun. Namun, ia mencari pengalamannya sendiri langsung dari Tuhannya.

Pelopor sufisme tarekat, Syekh Abdul Qodir al-Jailani menggolongkan Rabiah Al Adawiyah ke dalam sufi para pencari tuhan. Mereka yang menempuh jalan ini tidak mengikuti apa yang kebanyakan dilakukan oleh makhluk tuhan lainnya. Sebab, kata Syekh Abdul Qodir al-Jailani, tuhan telah membersihkan hati mereka dari segala hal yang memusatkan hati mereka kepada selain Allah SWT.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pengemis Buta dan Kedermawanan Ummu Ja’far



Jakarta

Ummu Ja’far termasuk seorang wanita kaya yang dermawan. Ia tak sungkan memberikan sedekah kepada orang yang membutuhkan.

Kedermawanan Ummu Ja’far masyhur di kalangan masyarakat, bahkan 2 pengemis buta pun mengetahui hal itu. Kisah Ummu Ja’far dan pengemis buta diabadikan oleh As-Samarqandi dalam kitab Nailul Hatsits fi Hikayatil Hadits (Abu Hafs Umar bin Hasan An-Naisaburi As-Samarqandi, Nailul Hatsits fi Hikayatil Hadits).

Melansir laman Kemenag (17/9) dalam kisah ini diceritakan bahwa setiap hari pengemis buta menunggu Ummu Ja’far di pinggir jalan yang biasa dilaluinya. Ketika bekerja, kedua pengemis buta ini punya harapan dan permintaan yang berbeda dengan ucapan doa yang juga berbeda.


“Ya Allah, anugerahkan rezeki kepadaku dari kemurahan-Mu,” ucap pengemis buta pertama.

“Ya Allah, anugerahkanlah rezeki kepadaku dari kemurahan Ummu Ja’far,” ucap pengemis buta kedua.

Melihat dan mendengar ucapan dari pengemis ini, Ummu Ja’far lantas segera memberikan sedekahnya kepada kedua pengemis tersebut. Ummu Ja’far memberikan dengan nilai yang berbeda pada masing-masing pengemis.

Kepada pengemis pertama yang mengharap rezeki dari Allah, Ummu Ja’far memberinya uang 2 dinar. Selanjutnya, untuk pengemis kedua yang mengharap rezeki dari Ummu Ja’far, diberikan 2 adonan roti dan ayam bakar yang di dalamnya telah diselipkan uang 10 dinar.

Perbedaan bentuk sedekah ini membuat pengemis buta yang kedua merasa hal ini tidak adil. Apalagi ia, tidak menerima sedekah dalam bentuk uang.

Kemudian pengemis kedua ini meminta pengemis pertama agar roti dan ayam bakarnya ditukar atau dibeli dengan uang 2 dinar yang baru didapat dari Ummu Ja’far.

“Berikanlah uang itu kepadaku lalu ambillah roti dan ayam bakar ini untuk anak-anakmu,” ujar pengemis kedua.

Kedua pengemis ini tidak tahu bahwa di dalam ayam panggang pemberian Ummu Ja’far itu terselip uang 10 dinar.

Mendengar tawaran ini, pengemis pertama akhirnya bersedia menukar yang 2 dinar dengan roti dan ayam bakar milik pengemis pertama. Ternyata hal ini tidak terjadi dalam waktu satu kali.

Transaksi seperti ini berulang kali terjadi selama 10 hari. Artinya selama 10 hari tersebut, pengemis kedua menukar roti dan ayam bakar dengan uang 2 dinar milik pengemis pertama.

Setelah 10 hari, Ummu Ja’far kembali menemui pengemis kedua yang mengharapkan rezeki darinya.

“Apakah kamu puas dengan pemberian kami?” tanya Ummu Ja’far pada pengemis kedua.

“Memangnya apa yang engkau berikan padaku?” kata pengemis itu menjawab dengan pertanyaan.

“100 dinar,” jawab Ummu Ja’far.

“Tidak mungkin. Setiap hari engkau memberiku adonan roti dan ayam bakar, lalu aku menjualnya ke temanku dengan harga 2 dinar,” jawabnya.

Ummu Ja’far pun merasa terkejut dan menyadari tentang kemurahan Allah SWT pada hamba yang mengharapkan anugerah dari-Nya.

“Begitulah, dia (pengemis pertama) mengharapkan kemurahan Allah. Maka Allah segera memberinya kehidupan yang serba berkecukupan, meskipun dia sendiri tidak punya niat atau rencana seperti itu,” ujar Ummu Ja’far.

Ummu Ja’far pun menegaskan bahwa barang siapa yang mengadukan kefakiran kepada Allah, pasti Allah SWT akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Selanjutnya, ia juga meyakini bahwa takaran rezeki setiap orang tidak akan tertukar. Ketika Allah SWT sudah berkehendak pasti akan terjadi dan jika Allah SWT tidak menghendaki pasti tidak akan terjadi.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Hamnah binti Jahsy, Perempuan Berani yang Ikut Perang Uhud



Jakarta

Perang Uhud menjadi satu momen penting dalam sejarah awal Islam. Pertempuran ini terjadi pada tahun 625 M di sekitar kota Madinah, dan Hamnah binti Jahsy adalah salah satu perempuan yang berpartisipasi dalam peristiwa bersejarah ini.

Kisah keberanian dan keteguhan Hamnah binti Jahsy di medan perang Uhud adalah sumber inspirasi bagi banyak orang. Berikut kisah Hamnah binti Jahsy, perempuan yang ikut perang Uhud.

Siapa itu Hamnah binti Jahsy?

Dikutip dari buku Tipu Daya Wanita karya Yusuf Rasyad, Hamnah binti Jahsy adalah putri Umaimah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah SAW dan istri dari Mush’ab bin Umair, sahabat Rasulullah SAW. Ia juga merupakan kakak dari Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy, istri Rasulullah SAW.


Peran Hammah dalam Persiapan Perang Uhud

Hamnah binti Jahsy adalah salah satu perempuan yang ikut dalam persiapan perang Uhud. Meskipun umumnya perempuan tidak ikut dalam pertempuran, mereka memiliki peran penting dalam mendukung pasukan dan memberikan perawatan medis serta menyiapkan logistik.

Masih menurut Yusuf Rasyad, pada saat perang Uhud, Hamnah binti Jahsy berhijrah bersama saudaranya yang bernama Abdullah bin Jahsy untuk menuju Madinah dan mengikuti Perang Uhud untuk memasok kebutuhan air minum bagi prajurit serta merawat korban luka.

Kisah Hamnah yang turun ke medan perang ini diceritakan oleh Ka’ab bin Malik dalam kitab Al Maghazi dan Al Waqidi yang diterjemahkan Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi melalui tulisannya berjudul Ketika Rasulullah Harus Berperang. Ia berkata,

“Aku melihat Ummu Sulaim binti Milhan dan Aisyah yang membawa kantong air di atas punggung mereka ketika terjadi Perang Uhud. Sedangkan Hamnah binti Jahsy menuangkannya bagi yang kehausan dan mengobati yang terluka. Adapun Ummu Aiman, maka memberi minum kepada mereka yang terluka.”

Ibnu Katsir menyatakan, “Ibnu Ishaq menyatakan bahwa Rasulullah SAW kembali ke Madinah (seusai perang Uhud), lalu beliau bertemu dengan Hammah binti Jahsy. Ketika ia bertemu orang-orang, mereka pun memberi tahunya tentang kematian kakak/adiknya yang bernama Abdullah bin Jahsy. Seketika, Hammah mengucap istirja’ dan istighfar untuk saudaranya. Kemudian disampaikan pula kepadanya berita tentang kematian pamannya dari jalur ibu bernama Hamzah bin Abdul Muthallib, Hamnah pun mengucap istirja’ dan istighfar untuk pamannya. Kemudian disampaikan lagi kepadanya berita tentang kematian suaminya yang bernama Mush’ab bin Umair, Hamnah pun menjerit dan menangis.”

Dikutip dari buku Memaafkan yang Tak Termaafkan karya Arifah Handayani, Hamnah binti Jahsy sangat terpukul dan sedih. Namun, Hamnah binti Jahsy sadar bahwa mereka bertiga syahid di jalan Allah SWT.

Meskipun dalam kondisi sangat berduka karena musibah yang bersamaan itu, Hamnah binti Jahsy tidak sedih berkepanjangan dan ikhlas atas kepergian ketiga anggota keluarganya.

Rasulullah SAW pun bersabda, “Sesungguhnya seorang suami itu mempunyai tempat tersendiri di hati istrinya,”

Kisah Hamnah binti Jahsy mengajarkan umat muslim tentang beberapa pelajaran berharga seperti,

– Keteguhan dalam Iman

Meskipun menghadapi cobaan, kesulitan, dan pertempuran yang sangat berbahaya, iman Hamnah binti Jahsy tidak pernah goyah.

– Pentingnya peran perempuan

Kisah Hamnah binti Jahsy ini memberikan pelajaran bahwa perempuan memiliki peran yang penting dalam segala aktivitas.

– Keberanian

Meskipun mengikuti medan perang Uhud yang mungkin saja dapat merenggut nyawanya, Hamnah binti Jahsy dengan berani untuk membantu para pejuang perang Islam dalam menghadapi musuh.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Hukum Mengantar Jenazah ke Pemakaman bagi Wanita Muslim, Bolehkah?


Jakarta

Mengantar atau mengiringi jenazah ke pemakaman dianjurkan oleh Nabi Muhammad. Dari al-Bara bin Azib RA, Rasulullah SAW bersabda,

“Tengoklah orang sakit dan iringilah jenazah (antarkanlah jenazah) hal tersebut akan mengingatkan kalian kepada hari akhir.” (HR Ibnu Abu Sayibah, Bukhari, Ibnu Hibban, ath-Thayalusi, Ahmad, dan Baghawi)

Keutamaan dari mengiringi jenazah bagi kaum muslimin ialah mendapat pahala sebesar satu gunung. Hal ini juga tercantum dalam sebuah hadits yang berbunyi,


“Barang siapa yang mengiringi jenazah dan turut menyalatkannya maka ia memperoleh pahala sebesar satu qirath (pahala sebesar satu gunung). Dan barang siapa yang mengiringinya sampai selesai penyelenggaraannya, ia akan memperoleh dua qirath.” (HR Jamaah dan Muslim)

Apabila diperhatikan, kaum muslimin yang mengiringi atau mengantar jenazah ke pemakaman selalu pria muslim. Bagaimana hukumnya dalam Islam jika wanita muslim mengiringi jenazah?

Hukum Mengiringi Jenazah bagi Wanita Muslim

Menurut buku Fikih Sunnah Wanita susunan Abu Malik Kamal ibn as-Sayyid Salim, makruh hukumnya apabila wanita turut mengantar jenazah. Pendapat ini merujuk pada hadits dari Ummu Athiyah RA, ia berkata:

“Kami dilarang untuk mengantarkan jenazah, dan itu tidak ditekankan kepada kami.” (HR Bukhari, Muslim & Abu Dawud)

Para ulama berpandangan bahwa larangan tersebut termasuk ke dalam bentuk makruh, bukan diharamkan. Sebab, Ummu Athiyah mengatakan, “Dan itu tidak ditekankan kepada kami,”

Di sisi lain, Ibnu Taimiyah mengatakan dalam al-Fatawa, “Bisa jadi maksudnya: larangan itu tidak ditekankan, dan ini sama sekali tidak menafikan pengharamannya, atau bisa jadi ai menyangka bahwa larangan itu bukanlah pengharaman. Dan hujjah it terletak pada sabda Nabi SAW dan bukan pada persangkaan orang selain beliau,”

Masih dari buku Fikih Sunnah Wanita, wanita dilarang membawa jenazah karena tidak kuat secara fisik. Selain itu, bisa juga akan tersingkap sesuatu dari tubuh mereka jika membawanya, terlebih ada sejumlah hal yang dikhawatirkan seperti menjerit ketika membawa atau meletakkan jenazah.

Imam al-Bukhari sendiri mengkhususkan satu bab untuk hal tersebut yaitu bab “Laki-laki yang membawa jenazah, bukan wanita.”

Mengutip laman NU Online, mayoritas ulama mengatakan larangan pengiringan jenazah oleh wanita sifatnya makruh tanzih, tidak sampai makruh tahrim. Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki menyebut bahwa larangan mengiringi jenazah ke pemakaman tidak sekeras larangan atas perbuatan lainnya. Dengan demikian, sifat larangannya longgar.

Jadi dapat disimpulkan bahwa mengiringi jenazah ke pemakaman bagi wanita bukan larangan keras dalam agama. Hal tersebut dapat dibenarkan karena memang terdapat hajat.

Meski demikian, baik laki-laki atau wanita harus tetap menjaga adab sepanjang acara pemakaman berlangsung.

Adab Mengiringi Jenazah

Merangkum arsip detikHikmah, berikut adab mengiringi jenazah yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul Al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali.

  • Khusyuk menundukkan pandangan
  • Tidak bercakap-cakap
  • Mengamati jenazah dengan mengambil pelajaran darinya
  • Memikirkan pertanyaan kubur yang harus dijawabnya
  • Bertekad segera tobat karena ingat segala amal perbuatan semasa hidup pastilah dimintai pertanggung jawaban
  • Berharap agar tidak termasuk golongan yang akhir hidupnya buruk ketika maut datang menjemput

Dalam hadits Nabi SAW dikatakan juga bahwa ketika mengiringi jenazah sebaiknya tidak menangis berlebihan.

“Janganlah jenazah diiringi dengan rintihan suara dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad dari Abu Hurairah RA)

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com