Niat Mandi Wajib Perempuan setelah Haid, Nifas, dan Melahirkan


Jakarta

Mandi wajib adalah mandi yang dilakukan untuk mensucikan diri dari hadats besar menggunakan air bersih. Niat mandi wajib termasuk salah satu rukun yang tidak boleh ditinggalkan.

Perintah melaksanakan mandi wajib untuk mensucikan diri dari hadats besar telah ditegaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 6, Allah SWT berfirman:

وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟


Artinya: “…dan jika kamu junub maka mandilah…”

Selain itu, anjuran mandi wajib bagi perempuan muslim juga diterangkan dalam hadits yang dinukil dari kitab Fikih Mazhab Syafi’i oleh Abu Ahmad Najieh, berdasarkan riwayat yang bersumber dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda kepada Fatimah binti Abi Hubaisy RA:

فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلَّيْ رواه البخارى

Artinya: “Bila darah haid datang, janganlah engkau lakukan sholat. Dan jika darah haid sudah habis, maka mandilah lalu sholatlah.” (HR Bukhari)

Sebelum mengetahui niat mandi wajib, perlu diketahui beberapa hal yang menjadi penyebab perempuan harus melaksanakan mandi wajib.

Sebab Mandi Wajib bagi Perempuan

Mengutip dari buku Fikih Wanita Praktis karya Darwis Abu Ubaidah, ada beberapa penyebab yang mengharuskan perempuan mandi wajib, antara lain sebagai berikut:

  • Berhubungan suami istri atau bertemunya dua khitan sekalipun air maninya tidak keluar
  • Keluarnya air mani dengan sebab apapun, baik karena mimpi, berhubungan badan, terangsang, atau sebab lainnya
  • Selesai dari masa haid atau menstruasi
  • Selesai dari masa nifas, yaitu keluarnya darah dari kemaluan perempuan setelah melahirkan
  • Wiladah, yaitu persalinan atau melahirkan. Termasuk ketika perempuan mengalami keguguran, meskipun yang keluar hanya segumpal darah atau daging, baik tanpa cairan maupun berbentuk cairan

Niat Mandi Wajib Perempuan dalam Arab, Latin, dan Artinya

Dilansir dari Buku Induk Fikih Islam Nusantara karya Imaduddin Utsman al-Bantanie, berikut bacaan niat mandi wajib perempuan yang dapat dilafalkan dari dalam hati saat hendak menyiramkan air ke seluruh tubuh.

  • Niat Mandi Wajib Perempuan setelah Haid

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْحَيْضِ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى

Bacaan latin: Nawaitul ghusla liraf’i hadatsil haidi fardhal lillahi ta’ala.

Artinya: “Aku berniat mandi wajib untuk mensucikan hadas besar dari haid fardhu karena Allah Ta’ala.”

  • Niat Mandi Wajib Perempuan setelah Nifas

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ النِّفَاسِ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى

Bacaan latin: Nawaitul ghusla liraf’i hadatsin nifaasi fardhal lillahi ta’ala.

Artinya: “Aku berniat mandi wajib untuk mensucikan hadas besar dari nifas fardhu karena Allah Ta’ala.”

  • Niat Mandi Wajib Perempuan setelah Melahirkan (Wiladah)

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْوِلَادَةِ فَرْضًا اللَّهِ تَعَالَى

Bacaan latin: Nawaitul ghusla liraf’i hadatsil wiladati fardhal lillahi ta’ala.

Artinya: “Aku berniat mandi wajib untuk mensucikan hadas besar dari wiladah fardhu karena Allah Ta’ala.”

Atau, secara umum dapat dilafalkan niat mandi wajib sebagai berikut,

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى

Bacaan latin: Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari fardhal lillahi ta’ala.

Artinya: “Aku berniat mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar fardhu karena Allah Ta’ala.”

Tata Cara Mandi Wajib bagi Perempuan

Adapun tata cara mandi wajib bagi perempuan pada dasarnya sama dengan sebab apapun, hanya saja berbeda dalam bacaan niatnya. Berdasarkan Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita oleh Abdul Syukur Al-Azizi, berikut ini urutan tata caranya.

  • Membaca niat mandi wajib dari dalam hati
  • Mencuci tangan sebanyak tiga kali sebelum mandi
  • Membersihkan kemaluan dan kotoran dengan tangan kiri
  • Mencuci tangan dengan sabun setelah membersihkan kemaluan
  • Berwudhu dengan sempurna seperti ketika hendak melaksanakan sholat
  • Menyela pangkal rambut dengan air menggunakan jari tangan hingga menyentuh kulit kepala (tidak wajib bagi perempuan untuk mengurai ikatan rambutnya)
  • Selanjutnya mengguyur kepala dengan air sebanyak tiga kali, pastikan pangkal rambut terkena air
  • Mengguyur air ke seluruh badan, dimulai dari sisi kanan dan dilanjutkan ke tubuh sisi kiri
  • Pastikan seluruh lipatan kulit, sela-sela anggota tubuh, dan bagian tersembunyi ikut dibersihkan
  • Melanjutkan mandi seperti biasa dan bilas hingga benar-benar bersih

Demikian bacaan niat mandi wajib perempuan setelah haid, nifas, dan melahirkan. Muslimah harus memastikan niat dan urutan mandi wajib yang benar agar tubuh suci dari hadas besar sehingga dapat mengerjakan ibadah secara sempurna.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Hukum Memakai Kuteks dalam Islam, Muslimah Wajib Tahu!



Jakarta

Kuteks atau pewarna kuku telah menjadi bagian dari perhiasan wanita. Dengan menggunakan kuteks, wanita bisa menghias kukunya dan berharap untuk bisa tampil lebih cantik dan menarik.

Saat ini banyak wanita muslimah yang memakai kuteks kuku karena ikut-ikutan trend yang sedang marak. Meskipun dianggap sebagai hiasan, ada aturan dalam penggunaan kuteks bagi muslimah.

Perlu diketahui bahwa Allah SWT tidak menyukai segala sesuatu yang berlebihan. Termaktub dalam surah Al A’raf ayat 31,


۞ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ ٣١

Artinya: “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.”

Lantas, apakah memakai kuteks termasuk sesuatu yang berlebihan? Bagaimana hukum memakai kuteks dalam Islam? Berikut hukum dan penjelasan terkait penggunaan kuteks dalam Islam yang harus diketahui oleh setiap muslimah.

Hukum Memakai Kuteks dalam Islam

Merujuk pada buku Fikih Wanita Sepanjang Masa karya Muiz al Bantani, hukum memakai kuteks dalam Islam bisa menjadi ibadah sunnah sekaligus bisa menjadi haram. Hukum pemakaian kuteks tergantung pada niat dan tujuan pemakaiannya.

Memakai kuteks hukumnya sunnah jika kecantikan kuku muslimah dihadapkan di depan suaminya. Hal demikian akan menarik perhatian suaminya dan suaminya akan menjadi senang kepadanya, hal tersebut ada pahala dan ganjaran dari Allah SWT.

Namun perlu diwaspadai bahwa hukum memakai kuteks adalah haram jika tujuannya digunakan untuk menggoda laki-laki yang bukan mahramnya sehingga menimbulkan zina mata. Maka muslimah akan mendapatkan dosa dan ancaman siksa di neraka.

Bukan hanya bentuk tabarruj, kuteks juga dapat menghalangi air wudhu. Umumnya kuteks merupakan zat pewarna yang membentuk lapisan kedap air. Sehingga air tidak bisa membasahi kukunya ketika wudhu.

Rasulullah SAW bersabda, “Celakalah tumit-tumit kalian (yang tidak kena air wudhu) masuk api neraka.” (HR Bukhari)

Padahal syarat sahnya salat adalah berwudhu atau suci dari hadats. Sehingga jika berwudhu dalam memakai kuteks, jelas tidak sah wudhunya, salatnya pun juga tidak akan sah.

Mengutip buku Fiqih Remaja Kontemporer karya Abu Al-Ghifari, sebagai muslimah setiap hari harus melaksanakan salat lima waktu dan harus berwudhu. Apakah mungkin jika akan wudhu kutek itu dihilangkan dulu kemudian dioleskan lagi sehabis wudhu. Jelas hal ini merupakan tindakan yang mubadzir.

Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Kaum wanita kami memakai pacar dengan sebaik-baiknya, mereka memakai pacar sesudah salat Isya dan mencabutnya sebelum Subuh.”

Solusi Menggunakan Pewarna Kuku Selain Kuteks

Dirangkum dari buku Tanya Jawab Fikih Wanita Empat Mazhab karya A. R. Shohibul Ulum, selain penggunaan kuteks, sebenarnya ada pewarna kuku yang lebih alami, yaitu henna. Muslimah sering menyebutnya dengan istilah “pacar kuku”.

Dalam sebuah riwayat menyatakan, “Empat hal yang termasuk sunnah para rasul ialah memakai pacar, memakai parfum, bersiwak, dan menikah.” (HR Tirmidzi)

Berbeda dengan kuteks, henna tidak membentuk lapisan kedap air di atas permukaan kuku. Sebaliknya, justru masuk ke dalam pori-pori kuku, sehingga berwarna merah, namun tidak menghalangi masuknya air wudhu.

Maka, menggunakan henna lebih praktis daripada kuteks. Apalagi kuteks merupakan buatan pabrik yang terbuat dari berbagai macam zat kimia. Jika terlalu sering digunakan juga akan berdampak negatif untuk kesehatan kuku dan bagian tubuh lainnya.

Seperti yang kita ketahui, segala sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain itu hukumnya terlarang. Wallahu a’lam.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Ummu Sulaim, Wanita Salihah dengan Mahar Paling Mulia



Jakarta

Ada banyak kisah teladan Ummu Sulaim RA yang bisa dipelajari. Salah satunya adalah kisahnya yang tak mau menikah dengan pemuda terkaya di Makkah sebelum ia masuk Islam.

Ummu Sulaim RA adalah seorang sahabat wanita yang memiliki kepribadian yang agung, seorang istri yang salihah, juru dakwah yang pandai, dan berakhlak mulia. Wajahnya sangat cantik dan memiliki kecerdasan yang tinggi.

Dikutip dari buku Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam karya Bassam Muhammad Hamami, ia merupakan Ar-Rumaisha yang nama lengkapnya adalah Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Harâm bin Najjar al-Anshariyyah al- Khazrajiyyah.


Sebelum menjadi seorang muslimah yang salihah, Ummu Sulaim RA sudah lebih dahulu menikah dengan sepupunya yang bernama Malik bin Nadhr. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai anak bernama Anas bin Malik.

Setelah Islam muncul dan hidayah sampai pada hati Ummu Sulaim RA, ia pun bergegas untuk dibaiat di hadapan Rasulullah SAW agar masuk Islam. Hal ini pun membuat suaminya marah.

Malik tambah marah ketika anaknya juga diajari agama Muhammad yang dibencinya. Akhirnya ia pun pergi meninggalkan istri dan anaknya menuju negeri Syam dan tidak pernah pulang lagi.

Malik yang sudah tidak lagi peduli dengan keluarganya terbunuh di perjalanan. Kabar ini akhirnya sampai pada telinga Ummu Sulaim RA sehingga membuatnya sedih.

Setelah kematian suaminya itu, Ummu Sulaim RA berusaha mendidik anaknya dengan ajaran Islam hingga ia tumbuh menjadi seorang remaja. Kemudian, ia membawa Anas bin Malik kepada Rasulullah SAW untuk mengabdi kepada beliau, dan beliau menerimanya.

Pada saat yang sama, Abu Thalhah RA yang masih kafir terkesan ketika mendengar cerita tentang Ummu Sulaim RA ini. Hingga ia berani melamar dan menikahi Ummu Sulaim RA dengan mahar yang begitu besar.

Namun jawaban Ummu Sulaim RA membuat Abu Thalhah RA tertegun. Ummu Sulaim RA berkata, “Aku tidak mungkin menikah dengan seorang lelaki musyrik. Wahai Abu Thalhah, tidakkah engkau tahu bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang diukir oleh budak keluarga di fulan dan andaipun kalian nyalakan api di dalamnya, pastilah mereka terbakar.”

Abu Thalhah RA tidak bisa berkelit untuk memberikan jawaban kepada Ummu Sulaim RA kecuali persetujuan. Ia berkata, “Benar.”

Ummu Sulaim RA menyahut, “Tidakkah engkau merasa malu untuk menyembah kayu yang tumbuh dari dalam tanah yang dipahat oleh seorang budak bin fulan? Apakah engkau mau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah lalu aku rela menikah denganmu? Aku tak menginginkan mahar darimu selain hal itu.”

Lalu Abu Thalhah RA meminta untuk diberi waktu sebentar untuk berpikir. Ummu Sulaim RA kemudian berkata,

“Wahai Abu Thalhah, orang sepertimu tidaklah layak ditolak. Akan tetapi, engkau adalah laki-laki kafir, sedangkan aku adalah wanita mukminah. Tidaklah patut jika aku menikah denganmu.”

Maka Abu Thalhah menyahut, “Apakah yang engkau inginkan?”

“Apa yang aku inginkan?” jawab Ummu Sulaim RA dengan penuh kesopanan dan keyakinan.

Abu Thalhah RA yang merupakan seorang yang kaya raya berusaha merayu dengan kenikmatan dunia. Ia pun berkata, “Emas dan perakkah?”

Ummu Sulaim RA menjawab, “Sungguh aku tidak menginginkan emas maupun perak. Namun, aku ingin engkau memeluk Islam.”

Abu Thalhah RA menyahut, “Siapakah yang bisa membawaku untuk itu?”

Dengan gembira dan senang, Ummu Sulaim RA menjawab, “Rasulullah”

Abu Thalhah RA bergegas menemui Rasulullah SAW yang saat itu sedang duduk di antara para sahabat. Begitu melihat Abu Thalhah RA, beliau memberitahu para sahabat,

“Abu Thalhah mendatangi kalian dengan cahaya Islam di kedua matanya.”

Setelah itu, Abu Thalhah RA resmi menjadi seorang mukmin dan akhirnya bisa menikahi Ummu Sulaim RA dengan maskawin yang tak ternilai dengan harta benda, yaitu Islam.

Demikian yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Ia berkata, “Aku tidak pernah mendengar seorang wanita pun yang mendapat mahar lebih berharga dibandingkan dengan Ummu Sulaim. Maharnya adalah Islam.”

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Mengapa Wanita Mendapat Jatah Warisan Lebih Sedikit dalam Hukum Islam?



Jakarta

Dalam Islam, pembagian warisan diatur dalam Al-Qur’an. Kedudukan hukum waris sangat penting, sebab hal ini dialami oleh semua orang sehingga harus ada pembagian yang adil.

Menukil buku Hukum Waris dalam Islam susunan Dr Iman Jauhari SH M Hum dan Dr T Muhammad Ali Bahar SH MKn, pembagian warisan harus berdasarkan ilmu karena ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi secara syariat. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda:

“Pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada manusia (orang banyak), karena dia (faraid) adalah setengah ilmu dan dia (faraid) itu akan dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali tercabut (hilang) dari umatku.” (HR Ibnu Majah dan Daaru Quthni)


Dalam Al-Qur’an tercantum penjelasan tentang harta waris yang termaktub dalam surat An-Nisa Ayat 11:

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Mengutip buku Pembagian Warisan Menurut Islam oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni, dijabarkan pembagian warisan berdasarkan Al-Qur’an surat An-Nisa, persentasenya terdiri dari setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Alasan Kaum Wanita Mendapat Warisan Lebih Sedikit dari Laki-laki

Abdul Syukur Al-Azizi melalui Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita menuturkan bahwa masalah berkenaan dengan pembagian harta waris bagi wanita yang hanya mendapat setengah dari bagian laki-laki memiliki alasan tersendiri. Laki-laki memperoleh beban dan tanggung jawab untuk memberi nafkah kepada keluarganya, karenanya pembagian warisan bagi laki-laki mendapat bagian yang melebihi wanita.

Jika tidak demikian, maka hal itu akan menzalimi kaum laki-laki. Meski warisan bagi wanita lebih sedikit, hal ini ditutupi dengan maskawin dan nafkah yang menjadi haknya dari sang suami.

Selain itu, tidak selamanya dalam pembagian waris wanita selalu mendapat bagian yang kecil daripada laki-laki. Ada kondisi tertentu yang menyebabkan pembagian warisan bagi wanita sama besarnya dengan warisan laki-laki.

Bahkan, ada juga kondisi yang menyebabkan bagian wanita lebih banyak daripada laki-laki. Dalam hal ini contohnya seperti seorang wanita anak tunggal yang ditinggal mati oleh ayahnya, memiliki setengah dari harta waris ayahnya, atau dua orang anak wanita yang ditinggal mati oleh sang ayah yang mana berhak mewarisi dua pertiga dari harta ayahnya apabila tidak memiliki saudara laki-laki.

Rincian Pembagian Harta Warisan

Merujuk pada buku Pembagian Warisan Menurut Islam, berikut rincian pembagian harta warisan.

1. Setengah (1/2)

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan setengah (1/2) adalah satu kelompok laki-laki dan empat perempuan. Di antaranya suami, anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan sebapak.

2. Seperempat (1/4)

Ahli waris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta pewaris hanyalah dua orang, yaitu suami atau istri.

3. Seperdelapan (1/8)

Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian warisan seperdelapan adalah istri. Istri yang mendapatkan waris dari peninggalan suaminya, baik itu memiliki anak atau cucu dari rahimnya atau rahim istri yang lain.

4. Duapertiga (2/3)

Ahli waris yang berhak mendapatkan dua pertiga warisan terdiri dari empat perempuan. Ahli waris ini, antara lain anak perempuan kandung, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.

5. Sepertiga (1/3)

Ahli waris yang berhak mendapatkan sepertiga warisan hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara baik laki-laki atau perempuan dari satu ibu.

6. Seperenam (1/6)

Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperenam warisan ada 7 orang, yakni bapak, kakek, ibu, cucu perempuan, keturunan anak laki-laki, saudara perempuan sebapak, nenek, dan saudara laki-laki dan perempuan satu ibu.

detikHikmah sendiri menyediakan fitur Kalkulator Waris Islam untuk membantu perhitungan warisan sesuai syariat. Cek fiturnya DI SINI.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Apakah Wanita Haid Boleh Berdoa di Sepertiga Malam?


Jakarta

Haid adalah siklus rutin perempuan yang melarangnya untuk puasa, salat, dan thawaf. Namun, apakah wanita haid boleh berdoa di sepertiga malam?

Salah satu waktu yang utama untuk memanjatkan doa adalah waktu sepertiga malam. Menurut hadits qudsi yang dikutip dari buku Hadis Qudsi Firman Allah yang Tak Tercantum Dalam Al-Qur’an oleh Kasimun. Rasulullah SAW bersabda,

٦٢ – حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الأَغَرُ وَأَبِي سَلَمَةَ بْن عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا، حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، فيقولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ؟ مَنْ يَسْأَلْنِي فَأُعْطِيَهُ؟ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَه؟


Artinya: Abdul Aziz bin Abdullah, diceritakan oleh Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abu Abdillah Al-Aghar dan Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah. bahwa Rasulullah bersabda, ‘Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir. Kemudian Dia berfirman, “Siapa yang mau berdoa kepada-Ku maka Aku mengabulkannya! Siapa yang memohon kepada-Ku, maka Aku memberinya! Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku memberi ampunan kepadanya.” (HR Bukhari)

Bolehkah Wanita Haid Berdoa di Sepertiga Malam?

Wanita yang haid boleh berdoa di sepertiga malam. Wanita haid hanya dilarang melakukan tiga hal, yakni salat, puasa, dan thawaf, sebagaimana disebutkan oleh Ratu Aprilia Senja dalam buku Mencari Pahala di Saat Haid.

Wanita yang sedang haid sangat dianjurkan untuk bangun di sepertiga malam untuk melakukan amalan-amalan yang dapat meraih pahala dan kemuliaan. Semua amalan boleh wanita haid kerjakan, termasuk menghafal Al-Qur’an, membaca Al-Qur’an, berzikir, dan berdoa kepada Allah SWT untuk meminta ampunan-Nya dan mensyukuri nikmat-Nya.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada waktu sepertiga malam inilah Allah SWT turun ke bumi dan mendengar doa dan permintaan hamba-hambanya yang bertakwa.

Betapa sangat berharganya waktu akhir malam ini, sampai Rasulullah SAW bersabda, “Saat yang paling dekat bagi Allah dengan hamba-Nya adalah pada penghujung akhir malam. Maka, jika engkau bisa menjadi orang yang berzikir mengingat Allah pada saat itu, maka lakukanlah.” (HR Tirmidzi)

Dengan demikian, wanita haid janganlah melewatkan malam-malam yang berharga yang dipenuhi dengan kemuliaan ini dengan hanya bermalas-malasan atau tidur. Sebaliknya, wanita yang sedang haid bisa memanfaatkan waktu tersebut untuk tetap berzikir dan berdoa yang banyak kepada Allah SWT karena di waktu itulah tempat yang tepat untuk bermunajat kepada-Nya.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

4 Amalan Hari Jumat bagi Muslimah, Salah Satunya Bersholawat


Jakarta

Jumat disebut sebagai hari mulia dan istimewa bagi kaum muslimin. Pada hari itu, pria muslim juga diwajibkan untuk menunaikan salat Jumat.

Komaruddin Ibnu Mikam melalui buku Rahasia & Keutamaan Hari Jumat menerangkan bahwa Jumat juga dikatakan sebagai hari rayanya umat Islam. Dulunya, orang-orang diperintahkan mengadakan perkumpulan pada tiap pekan, kaum Yahudi hari Sabtu, Nasrani hari Minggu dan Islam hari Jumat.

Adapun, terkait dalil perintah salat Jumat dijelaskan dalam surah Al Jumu’ah ayat 9,


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,”

Perlu dipahami, amalan salat Jumat hanya diperuntukkan bagi lelaki muslim. Lantas bagaimana dengan wanita muslim? Adakah amalan yang dapat dikerjakan di hari Jumat?

Amalan Hari Jumat bagi Muslimah

Menyadur buku Fikih Sunnah Wanita: Referensi Fikih Wanita Terlengkap susunan Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim, berikut beberapa amalan yang dapat dikerjakan wanita muslim pada hari Jumat.

1. Beristighfar

Pada hari Jumat, Allah SWT melipatgandakan pahala bagi siapa pun yang datang dengan membawa amalan-amalan sholeh. Karenanya, Rasulullah SAW tidak pernah sekali pun lalai dalam beristighfar setiap hari.

Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Sesungguhnya hatiku tidak pernah lalai dari dzikir kepada Allah. Sesungguhnya aku beristighfar seratus kali dalam sehari.”

2. Membaca Sholawat

Sebetulnya, membaca sholawat bisa dilakukan setiap hari. Namun, bersholawat pada hari Jumat menjadi lebih istimewa sebagaimana diterangkan dalam hadits yang berbunyi,

“Perbanyaklah sholawat kepadaku pada setiap hari Jumat. Karena sholawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jumat. Barangsiapa yang banyak bersholawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR Al-Baihaqi)

3. Membaca Surah Al Kahfi

Amalan selanjutnya yang dapat dikerjakan oleh wanita muslim ialah membaca surah Al Kahfi. Hal ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa membaca surah Al-Kahfi pada hari Jumat akan diberikan cahaya baginya diantara dua Jumat.” (HR Al Hakim dan Baihaqi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).

4. Perbanyak Berbuat Kebaikan

Berbuat baik pada hari Jumat akan dilipatgandakan pahalanya sebanyak sepuluh kali. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Zanjawiyah dari Ibn al-Musayyab bin Rafi’, Nabi SAW bersabda:

“Barangsiapa yang berbuat kebaikan pada hari Jumat maka akan dilipatgandakan sepuluh kali lipat dari hari yang lain, dan barangsiapa berbuat kejelekan maka juga demikian (dilipatgandakan dosanya sepuluh kali lipat). Dan disamakan hari, yaitu malam, sebab tidak ada perbedaan sama sekali.” (HR Ibnu Zanjawiyah dari Ibn al-Mussayyab).

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Rabiah Al Adawiyah, Tokoh Sufi yang Terkenal dengan Mahabbahnya


Jakarta

Ada banyak tokoh sufi yang terkenal di kalangan umat Islam, salah satunya terkait mahabbahnya. Tokoh sufi yang terkenal dengan mahabbahnya adalah Rabiah Al Adawiyah.

Menurut buku yang berjudul Akhlak Tasawuf karya Taufikurrahman dkk, mahabbah atau al mahabbah adalah kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual.

Contohnya adalah cinta seseorang kepada orang lain yang sangat ia kasihi, cinta orang tua kepada anak-anaknya, seorang sahabat kepada sahabatnya, ataupun pekerja pada pekerjaannya.


Sementara itu, Al Qusyairi berpendapat, al mahabbah artinya keadaan jiwa yang mulia yang bentuknya. Cintanya disaksikan (kemutlakannya) Allah SWT oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.

Dalam dunia tasawuf, Rabiah Al Adawiyah adalah sufi yang terkenal dengan mahabbahnya kepada Allah SWT. Berikut sosoknya.

Sosok Rabiah Al Adawiyah

Rabiah Al Adawiyah adalah seorang tokoh sufi terkemuka yang memiliki nama lengkap Ummu Khair ibn Ismail Al Adawiyah Al Qisysyiyah. Ia lahir di Basrah sekitar tahun 95 H atau bertepatan dengan 717 M. Beberapa sumber menyebut Rabiah Al Adawiyah lahir antara tahun 713-717 M.

Rabiah Al Adawiyah lahir di tengah keluarga yang miskin di Basrah dan hidup dalam kesederhanaan. Ketika proses melahirkannya saja, kedua orang tuanya tidak sanggup membeli minyak lampu untuk meneranginya.

Ia adalah anak keempat dari empat bersaudara. Nama Rabiah Al Adawiyah diberikan kepadanya karena ia adalah putri keempat dari anak-anak orang tuanya yang lain.

Rabiah Al Adawiyah meninggal pada tahun 801 M, dan dikabarkan dikebumikan di sekitar kota Yerusalem.

Konsep Mahabbah Rabiah Al Adawiyah

Mahabbah Rabiah Al Adawiyah berupa penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah SWT) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master).

Ajaran tasawuf yang dibawa oleh Rabiah Al Adawiyah dikenal dengan istilah Al Mahabbah. Ajaran ini adalah kelanjutan dari tingkat kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh Hasan Al Basri.

Rabiah Al Adawiyah membawa lebih lanjut ajaran Hasan Al Basri, yakni menjadikan takut dan pengharapan dinaikkan menjadi zuhud karena cinta. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan.

Pernah suatu ketika Rabiah Al Adawiyah ditanya, “Apakah kau cinta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa?”

Rabiah Al Adawiyah menjawab, “Ya”

Seterusnya ia ditanya, “Apakah kau benci kepada setan?”

Rabiah Al Adawiyah menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada setan.”

Rabiah Al Adawiyah juga pernah menyatakan, “Saya melihat Nabi SAW dalam mimpi, Dia berkata: Oh Rabiah, cintakah kamu kepadaku? Saya menjawab: Oh Rasulullah, siapa yang menyatakan tidak cinta? Tetapi cintaku kepada pencipta memalingkan diriku dari cinta atau membenci kepada makhluk lain.”

Rabiah Al Adawiyah menjalani kehidupannya dengan zuhud dan hanya beribadah kepada Allah SWT.

Ia memilih untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya walaupun banyak laki-laki hendak meminangnya. Ia tidak pernah menikah bukan karena bukan semata-mata zuhud terhadap perkawinan, namun ia zuhud terhadap kehidupan itu sendiri.

Rabiah Al Adawiyah tidak menikah karena pemahaman mahabbahnya yang mencintai Allah SWT dengan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai-Nya sepenuh hati masuk ke dalam diri yang dicintai.

Ibadahnya, kehidupannya, dan semua yang dilakukan Rabiah Al Adawiyah bukan karena rasa takut atas siksaan neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, tapi karena cintanya yang sangat besar kepada Allah SWT.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Posisi Kaki Saat Duduk Diantara Dua Sujud untuk Wanita, Perhatikan Ya!



Jakarta

Setelah bangun dari sujud dan hendak melakukan sujud kedua, wanita hendaknya duduk di antara dua sujud terlebih dahulu. Lalu bagaimana posisi kaki saat duduk diantara dua sujud untuk wanita?

Salat adalah perintah dasar muslimin ketika memeluk agama Islam. Salat merupakan rukun Islam yang kedua setelah melakukan syahadat.

Kewajiban salat dibebankan kepada seluruh umat Islam dari awal hingga akhir, kaya maupun miskin, longgar maupun sempit, sempat maupun tidak sempat, dan laki-laki maupun perempuan.


Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya berkewajiban untuk melaksanakan salat ketika dirinya sudah baligh. Jadi tidak ada alasan untuk meninggalkan salat kecuali kematian.

Dalam salat ada beberapa gerakan yang harus dilakukan sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW. Termasuk gerakan duduk diantara dua sujud.

Dalil Duduk Diantara Dua Sujud

Termaktub buku Tuntunan Shalat Sesuai Al-Qur’an dan Hadist Sahih yang ditulis oleh Hirman, dalil disunahkannya duduk diantara dua sujud adalah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi,

ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا.

“Kemudian bangkitlah sampai sudah benar-benar duduk.” (HR Bukhari dan Muslim)

Posisi Kaki saat Duduk Diantara Dua Sujud untuk Wanita

Duduk diantara dua sujud dilakukan setelah bangkit dari sujud yang pertama.
Dinukil dari buku Pedoman Shalat Wanita Lengkap karya Umar Faruq, bangun dari sujud pertama dilakukan setelah selesai membaca tasbih dalam sujud. Ketika bangkit diharuskan untuk membaca Allahu Akbar.

Posisi kaki saat duduk diantara dua sujud untuk wanita adalah menjadikan telapak kaki kiri sebagai tumpuan pantat. Telapak kaki kanan berdiri dan ujung jari menghadap kiblat.

Kedua telapak tangan diposisikan di atas lutut secara terbuka. Jika posisi duduk antara dua sujud sudah sempurna, maka dilanjutkan dengan membaca:

ربِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَجْبُرْنٖي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي وَعَافِنِي وَاعْفُ عَنِّى
Arab-latin: Rabbighfirlii war hamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdini wa ‘aafinii wa’fu annii.

Terjemah: Wahai Tuhanku, ampunilah dosaku, belas kasihanilah aku, cukupilah kekuranganku, angkatlah derajatku, berilah rejeki kepadaku, berilah petunjuk kepadaku, berilah kesehatan kepadaku dan berilah ampunan kepadaku.

Sunah Duduk Diantara Dua Sujud

Diambil dari sumber sebelumnya, sunah-sunah yang bisa diamalkan wanita ketika duduk diantara dua sujud atau iftirasy antara lain:
1. Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha
2. Membaca doa duduk iftirasy sebagaimana disebutkan di atas
3. Disunahkan untuk bertumpu pada kedua telapak tangan ketika hendak bangkit dari sujud untuk duduk iftirasy
4. Tuma’ninah atau berdiam diri beberapa saat sebelum melanjutkan gerakan
5. Duduk diantara dua sujud harus dengan punggung yang tegak

Sunah yang bisa dilakukan wanita ketika duduk diantara dua sujud yang terakhir adalah menegakkan tulang punggung sehingga tidak menjadi bungkuk. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku Ensiklopedia Hadis Ibadah Bersuci dan Shalat Wajib yang ditulis oleh Syamsul Rijal Hamid.

Sunah ini sebagaimana telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits ‘Aisyah RA berkata, “Apabila Rasulullah SAW mengangkat kepala dari sujud (pertama), beliau tidak sujud (kedua) sebelum duduknya antara kedua sujud itu tepat dan benar lebih dulu.” (HR Muslim)

Ketika posisi ini, kedua telapak tangan diletakkan di atas masing-masing paha. Posisi jari-jemari kedua tangan renggang dan mengarahkannya ke kiblat.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Rufaidah binti Sa’ad, Perawat Muslimah yang Jadi Relawan di Perang Uhud- Khandaq



Jakarta

Rufaidah binti Sa’ad merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam sejarah Islam. Ia merupakan perawat muslimah pertama dalam sejarah Islam. Rufaidah binti Sa’ad adalah perawat kesehatan masyarakat dan pekerja sosial yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat dunia Islam.

Rufaidah binti Sa’ad, Perawat Pertama dalam Islam

Dirangkum dari buku 66 Hadits Pilihan: Penggugah Jiwa Menjadi Muslim Unggul & Produktif karya A. R. Shohibul Ulum, pada zaman Nabi SAW, hiduplah seorang wanita yang dikenal dengan julukan perawat muslimah pertama dalam sejarah Islam yang bernama Rufaidah binti Sa’ad. Rufaidah binti Sa’ad Bani Aslam al-Khazraj lahir di Madinah pada 570 Masehi. Keluarganya termasuk kaum Ansar dan termasuk pemeluk Islam pertama di Madinah.

Rufaidah mendapat julukan “al-Aslamiyyah”, yaitu nisbat kepada marga di mana ia dilahirkan, yaitu di perkampungan Aslam, salah satu klan dari suku Khazraj di Madinah. Ia juga mendapatkan julukan “al-Fidaiyyah” karena keberaniannya menerobos kawasan perang untuk menyelamatkan dan mengobati pasukan muslim yang terluka.


Rufaidah binti Sa’ad pandai dalam membaca, menulis, serta dibesarkan dalam keluarga yang kaya raya. Rufaidah mempelajari ilmu keperawatan ketika ia membantu ayahnya, Sa’ad al-Aslami yang berprofesi sebagai dokter.

Mengutip buku Meniti Berkah dalam Setiap Langkah: Kisah Hebat Para Sahabiyah, Ilmuwan Muslimah, dan Muslimah Nusantara karya Ririn Astutiningrum, ayah Rufaidah adalah pemimpin tabib. Ayahnya sangat piawai dalam hal pengobatan karena selain mempelajari teknik pengobatan Arab, ia juga mempelajari praktik kesehatan bangsa lain yang berasal dari wilayah Persia, Romawi, Siria, dan India. Dari sinilah ia banyak belajar tentang ilmu keperawatan.

Sejak kecil Rufaidah sudah terbiasa dengan pekerjaan sebagai tabib dan perawat. Ketika beranjak remaja, sang ayah mulai melepas Rufaidah untuk melakukan praktik pengobatan sendiri.

Awal mula perjuangan Rufaidah dimulai ketika peperangan. Ia menjadi sukarelawan untuk membantu korban-korban perang dan mendirikan rumah sakit lapangan.

Rufaidah binti Sa’ad menjadi relawan yang merawat luka korban Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, dan Perang Khaibar. Ia juga melatih beberapa kelompok perempuan untuk menjadi perawat. Dengan izin Nabi SAW, mereka ikut di garis belakang pertempuran agar dapat merawat pasukan Islam yang terluka dalam Perang Khaibar.

Setelah perang berakhir, Rufaidah membangun tenda di luar Masjid Nabawi untuk merawat muslim yang sakit. Tenda tersebut kemudian berkembang dan berdiri menjadi rumah sakit lapangan yang terkenal saat perang.

Rufaidah membagi jadwal para perawat menjadi dua sif (siang dan malam) agar para korban dapat ditangani dengan baik. Gagasan Rufaidah tersebut dianggap sebagai pelopor adanya pembagian sif yang berkalu seperti di rumah sakit sekarang ini.

Dalam melakukan tugasnya, Rufaidah dibantu oleh perawat wanita lainnya. Mereka adalah Ummu ‘Atiyah, Ummu Sulaim, Hamnah binti Jahsy, Layla al-Ghifariyah, Ummu Ayman, dan Rubayyi binti Mu’awwidz.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mengutip riwayat Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dari Amir bin Qatadah dari Mahmud bin Labid bahwa ketika pelipis mata Sa’ad terluka ketika Perang Khandaq, Nabi SAW menyuruh orang-orang untuk membawanya ke Rufaidah. Rufaidah terus memantau kesembuhan Sa’ad. Atas jasanya itu, Nabi SAW memberinya bagian dari ghanimah (harta rampasan perang) sama seperti bagian laki-laki.

Tak hanya ketika perang terjadi, pengabdian Rufaidah juga dilakukan di luar perang. Ia membuka klinik gratis untuk orang yang membutuhkan pengobatan. Rufaidah juga mengajarkan pengalaman klinis kepada perawat lain yang dilatih dan bekerja dengannya.

Dalam peran sosialnya, Rufaidah melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit. Rufaidah binti Sa’ad adalah perawat kesehatan masyarakat dan pekerja sosial yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat dunia Islam.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Hukum Wudhu bagi Wanita Haid, Haram atau Diperbolehkan?


Jakarta

Perempuan beriman yang sedang haid, kadang merindukan untuk melakukan wudhu sebagaimana hendak mendirikan salat. Namun, apa hukum wudhu bagi wanita haid tersebut? Apakah diperbolehkan atau malah dilarang? Berikut pembahasannya.

Wudhu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap muslim ketika hendak salat. Umat Islam melakukan wudhu minimal lima kali dalam sehari, belum lagi jika ditambah salat-salat sunah.

Bagi wanita beriman yang selalu menunaikan ibadah salat, tentunya akan merasa rindu untuk berwudhu dan mendirikan salat. Namun di saat yang sama, dirinya sedang berhadats besar, yakni haid.


Lalu, bagaimana hukum wudhu bagi wanita haid tersebut? Apakah dibenarkan dalam agama Islam? Berikut penjelasannya.

Masaji Antoro menyebutkan dalam buku yang berjudul Tanya Jawab Islam: Piss KTB, TIM Dakwah Pesantren yang disusun oleh Kyai Abdullah Afif dan Kyai Masaji Antoro (Gus Tohir), hukum wudhu bagi wanita haid ada tiga, yaitu:

1. Haram

Kyai Masaji Antoro menjawab mengenai persoalan ini dengan tiga hukum yang berbeda. Hukum wudhu bagi wanita haid yang pertama adalah haram dan tidak boleh dilakukan.

Wudhu bagi wanita haid ini haram apabila ia mempunyai tujuan untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah seperti halnya salat. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan “tanaaqud dan talaa’ub”

Tanaaqud sendiri maksudnya fungsi wudhu bertentangan dengan keadaan yang sedang terjadi. Di mana, wanita tersebut sedang berhadats besar yang tentu saja tidak akan bisa kembali suci hanya dengan melakukan wudhu.

Sementara itu, talaa’ub berarti mempermainkan ibadah sebab dia tahu wudhunya tidak bisa menghilangkan hadats berupa haidnya.

Oleh sebab itu, hukum wudhu bagi wanita haid bisa saja haram jika tujuannya adalah agar bisa melakukan sebuah ibadah tertentu.

2. Sunah

Hukum wudhu bagi wanita haid yang kedua adalah sunah. Hal ini bisa terjadi apabila wanita tersebut mempunyai tujuan bahwa wudhu yang ia lakukan untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah setelah berhentinya darah haid.

Dalam keadaan seperti ini, fungsi wudhu akan berubah menjadi taqlil alhadats, yaitu meringankan dan mengecilkan hadats yang sedang dialami.

Selain itu, wudhu ini juga memiliki fungsi lain yaitu nasyaath ghusli atau untuk merangsang badan agar bisa segera mandi besar dan kembali melakukan ibadah kepada Allah SWT tanpa halangan apa pun.

3. Mubah

Hukum wudhu bagi wanita haid yang terakhir menurut Masaji Antoro adalah boleh atau mubah. Atau dalam buku tersebut disebutkan bahwa hukumnya adalah tetap sunah.

Apabila wudhu seorang wanita haid itu tidak bertujuan untuk menghilangkan hadats atau ibadah melainkan wudhu yang tujuannya untuk ‘aadah/kebiasaan seperti Tabbarrud (menyejukkan dirinya) dan nazhoofah (kebersihan), maka hukumnya menjadi sunah atau mubah.

Hal ini diperbolehkan karena fungsi rof’i al hadats (menghilangkan hadats) atau taqlii al hadats (meringankan atau mengecilkan) hadats tidak terjadi dalam wudhu semacam ini dan tidak menimbulkan tanaaqud (fungsi) wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang hadats.)

Sunah Berwudhu Sebelum Tidur untuk Wanita Haid

Wudhu tidak hanya dilakukan ketika seseorang hendak melakukan salat saja, namun wudhu juga dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk dikerjakan sebelum tidur.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku Fakta Ilmiah Amal Sunnah Rekomendasi Nabi karya Haviva.

Rasulullah SAW bersabda, “Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tempat tidur), hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan salat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Lalu, apakah hukum wudhu bagi wanita haid ketika ia hendak melakukan sunah ini?

Dinukil dari buku Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam karya PISS-KTB, wanita yang sedang haid tidak disunahkan berwudhu sebelum tidur, kecuali jika darah haidnya sudah berhenti.

Imam Nawawi dalam syarah Muslim berkata,

“Adapun ashab kami, mereka sepakat bahwasannya tidak disunnahkan berwudhu bagi wanita haid dan wanita nifas. Karena berwudhu tidak akan berpengaruh pada hadats mereka berdua. Jika wanita haid sudah berhenti darah haidnya, maka dia seperti orang junub. Wallahu ‘Alam.” (Syarh An-Nawawi ala Al-Muslim)

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com