Category Archives: Dakwah

Penyebab Kota Pesisir Berperan Penting dalam Penyebaran Islam


Jakarta

Islam diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-7 melalui jalur perdagangan maritim, menurut teori Maritim N.A. Baloch. Kota pesisir memiliki peranan penting dalam penyebaran Islam.

Lokasi mereka yang sangat strategis di tepi laut, kota-kota pesisir menjadi pusat segala aktivitas. Para pedagang muslim dari berbagai negara datang ke kota-kota pesisir di berbagai benua untuk berdagang sekaligus menyebarkan agama Islam.

Teori Masuknya Islam Lewat Perdagangan Maritim

Masuknya Islam ke Nusantara lewat perdagangan maritim atau yang kemudian dikenal sebagai teori Maritim dikenalkan oleh sejarawan Pakistan bernama N.A. Baloch. Menurut buku Api Sejarah yang ditulis oleh Ahmad Mansur Suryanegara, teori ini menyebut bahwa masuk dan berkembangnya Islam ke Nusantara akibat umat Islam memiliki navigator atau mualim dan wirausaha yang menguasai maritim dan pasar.


Aktivitas tersebut kemudian membawa Islam ke sepanjang jalan laut perdagangan di pantai-pantai yang menjadi tempat persinggahan pada abad ke-1 H atau abad ke-7 M.

N.A. Baloch dalam The Advent of Islam in Indonesia mengatakan, hal tersebut menjadi langkah awal dalam sejarah pengenalan Islam di pantai-pantai Nusantara hingga China Utara yang dibawa oleh wirausahawan Arab.

Proses penyebaran Islam lewat jalur perdagangan maritim menurut teori ini berlangsung selama lima abad, yakni abad pertama hingga 5 H atau abad 7-12 M.

Peranan Kota Pesisir dalam Penyebaran Islam

Kota pesisir memegang peranan penting dalam penyebaran Islam. Berikut di antaranya.

1. Jadi Akses Rute Perdagangan Internasional

Menurut artikel berjudul Peranan Pesisir dalam Proses Islamisasi di Nusantara karya Andriyanto dan Muslikh yang dipublikasikan dalam Journal of History Education and Culture Vol. 1 No.1 edisi Juni 2019, kota pesisir memiliki peranan penting dalam penyebaran Islam karena menjadi akses ke rute perdagangan internasional.

Selain itu, pesisir juga berperan dalam memberikan fasilitas pelabuhan-pelabuhan yang aman. Sumber daya alam juga tersedia di wilayah tersebut.

2. Tempatnya Strategis untuk Berdakwah

Banyak pedagang dari negara-negara muslim singgah untuk berdagang dan menyebarkan Islam. Sehingga, kota pesisir menjadi tempat yang strategis untuk berdakwah.

Merangkum dari buku Penyebaran Islam Nusantara terbitan NUSWANTARA bahwa para pedagang muslim ini menemukan kesempatan dengan berdakwah dan menyemaikan benih-benih Islam. Mereka juga membangun masjid dan sarana pendidikan Islam serta mengajak penduduk setempat untuk mengikuti dan belajar tentang syariat Islam.

3. Mudah Dijangkau Para Ulama dan Mubaligh

Para ulama dari berbagai negara memiliki kemudahan untuk memberikan ceramah, pengajian, dan fatwa tentang Islam karena kota pesisir menjadi tempat berlabuhnya pendatang. Mereka juga dapat membantu para pedagang Muslim dalam menyebarkan Islam dengan cara yang lebih strategis dan terorganisir.

4. Memiliki Potensi Ekonomi Besar

Para pedagang muslim yang singgah tersebut mendapatkan keuntungan dari perdagangan dengan negara-negara lain. Mereka juga dapat membantu penduduk setempat dalam meningkatkan kesejahteraan mereka dengan cara memberikan pinjaman, bantuan, atau pekerjaan. Dengan demikian, mereka dapat menarik simpati dan kepercayaan penduduk setempat untuk memeluk Islam.

5. Jadi Tempat Pertemuan Berbagai Budaya dan Agama

Para pedagang muslim tersebut berinteraksi dengan penduduk setempat dan saling bertukar informasi termasuk tentang agama Islam. Mereka juga dapat menunjukkan akhlak dan perilaku yang baik sebagai contoh bagi penduduk setempat.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Contoh Khutbah Jumat Jelang Bulan Maulid atau Rabiul Awal


Jakarta

Khutbah Jumat bulan maulid adalah khutbah Jumat yang dilaksanakan di bulan maulid, yakni bulan Rabiul Awal. Jumat ini bertepatan dengan hari-hari terakhir bulan Safar menuju bulan Rabiul Awal atau bulan kelahiran Rasulullah SAW yang juga dikenal dengan maulid nabi.

Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling mulia di seluruh dunia. Sebagai muslim yang baik, hendaknya kita selalu mengingat dan mengikuti ajaran serta sunah-sunah yang telah diajarkannya.

Salah satu cara untuk selalu menyertakan Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan ini adalah dengan mengingat-ingat ajaran dan kisahnya saat menyampaikan khutbah Jumat. Oleh karena itu, muslim bisa mengisi khutbah Jumat dengan khotbah-khotbah yang berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW sebagai salah satu bentuk kecintaan kita kepada beliau.


Berikut salah satu contoh khutbah Jumat bulan maulid yang diambil dari buku Khutbah Zaynul Atqiya’: Mimbar Dakwah LIM Lirboyo Kediri oleh Tim Kajian Ilmiah Lembaga Ittihadul Muballighin Ponpes Lirboyo. Khutbah Jumat ini bertajuk Menanamkan Rasa Cinta kepada Nabi Muhammad SAW.

Contoh Teks Khutbah Jumat Jelang Bulan Maulid

الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْعَمَ عَلَيْنَا بِنِعْمَةِ الْإِيْمَانِ وَالْإِسْلَامِ. وَأَرْسَلَ عَلَيْنَا نَبِيَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَهْدِيَنَا بِهِدَايَتِهِ إِلى الدَّارِ السَّلَامِ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِينُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللَّهِ صَادِقُ الْوَعْدِ الْأَمِينُ اللَّهُمَّ صَلَّ وَسَلَّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِي جَمَعَ اللَّهُ فِيْهِ الصِّفَاتِ الْكَامِلِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ: فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hadirin jemaah Jumat rahimakumullah,

Marilah kita senantiasa meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT dengan selalu mengamalkan syariat yang telah diajarkan oleh nabi Muhammad SAW.

Hadirin jemaah Jumat rahimakumullah,

Bulan ini adalah bulan Rabiul Awal atau bulan Maulid. Bulan dilahirkannya insan yang paling mulia, pemimpin seluruh umat manusia yaitu Nabi Muhammad SAW.

Beliau merupakan utusan yang membawa kabar gembira dari Allah SWT untuk mereka yang mau beriman dan taat beragama, juga membawa kabar menakutkan untuk mereka yang angkuh dan tidak mau patuh kepada Allah SWT.

Allah SWT berfirman:

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا. وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا منيرًا، وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ بِأَنَّ لَهُمْ مِنَ اللهِ فَضْلًا كَبِيرًا (الأحزاب: ٤٥- εV)

Artinya: “Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, pemberi peringatan untuk menjadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin, sesungguhnya Allah memberikan mereka karunia yang begitu besar.” (QS Al-Ahzab: 45-47)

Hadirin jemaah Jumat rahimakumullah,

Pada bulan Maulid ini marilah kita tingkatkan rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW dengan harapan semoga dengan rasa cinta itu kelak di akhirat kita dikumpulkan dengan beliau.

Hal ini bukanlah hal yang tidak mungkin karena nabi Muhammad SAW bersabda:

الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ. (رواه ابن مسعود)

Artinya: “Seseorang akan dikumpulkan dengan orang yang ia cintai.” (HR Ibnu Mas’ud RA)

Hadirin jemaah Jumat rahimakumullah,

Cinta kepada nabi merupakan hal yang sangat baik. Namun cinta itu bukan sekedar dengan mengucapkannya tetapi harus dengan bukti. Di antara bukti mencintai beliau adalah mengikuti perintah, perilaku dan menjauhi larangan-Nya.

Dalam diri nabi terdapat suri teladan kehidupan sehari-hari yang sangat patut untuk diikuti oleh para umatnya. Karena dengan menjadikan beliau sebagai suri teladan dalam menjalani hidup ini, maka insya Allah kita akan selamat dalam menjalani kehidupannya.

Allah SWT berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا. (الأحزاب: ٢١)

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah, (kedatangan) hari kiamat dan orang-orang yang banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab: 21)

Hadirin jemaah Jumat rahimakumullah,

Bukti kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW yang lain adalah dengan cara sering menyebut nama beliau. Dalam hal ini bisa diartikan dengan cara sering membaca salawat kepada Nabi Muhammad SAW, karena ciri seseorang yang benar-benar mencintai adalah sering menyebutkan orang yang ia cintai.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

مَنْ أَحَبُّ شَيْئًا أَكْثَرَ مِنْ ذِكْرِه. (رواه عائشة)

Artinya: “Barangsiapa mencintai sesuatu maka ia akan sering menyebutnya.” (HR Aisyah RA)

Ketika ada seseorang mengatakan bahwa ia mencintai Nabi namun ia tidak pernah membaca sholawat, maka ia belum termasuk orang yang benar-benar mencintai nabi.

Hadirin jemaah Jumat rahimakumullah, Nabi Muhammad SAW juga bersabda:

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ صَلَاةً. (رواه عائشة)

Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling dekat denganku di hari kiamat adalah orang yang lebih sering membaca salawat kepadaku.” (H.R. Aisyah RA)

Membaca sholawat merupakan hal yang sangat positif bagi para pembacanya, karena satu salawat saja pahalanya akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali. Mencintai Nabi Muhammad SAW berarti juga mencintai para keluarga dan keturunannya karena hal tersebut juga merupakan salah satu bukti bahwa ia benar-benar mencintai nabi.

Ketika ada orang yang mengatakan cinta kepada nabi, akan tetapi perkataan dan perbuatannya terdapat hal-hal yang merendahkan, menghina dan bahkan menyakiti para keluarga beliau, maka dia bukanlah orang yang benar-benar mencintai Nabi melainkan dia hanyalah orang yang menyakiti nabi. Karena barangsiapa yang menyakiti keluarga nabi maka ia juga menyakiti nabi.

Hadirin jemaah Jumat rahimakumullah,

Merayakan hari kelahiran beliau merupakan salah satu bentuk ekspresi kita dalam menunjukkan rasa syukur kepada Allah SWT dengan dilahirkannya nabi yang menjadi penerang dan petunjuk bagi manusia.

Dan merayakannya merupakan wujud rasa cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW.

Syaikh As-Sari As-Saqati berkata: “Barangsiapa yang menghadiri majelis maulid Nabi Muhammad SAW maka sungguh ia telah hadir di pertamanan surga, karena ia menghadiri majelis tersebut hanyalah karena rasa kecintaannya kepada Nabi Muhammad SAW.”

Senang dan gembira karena kelahiran nabi merupakan hal yang sangat baik karena dengan rasa kegembiraan itu insya Allah akan ada dampak positif yang kembali kepada kita. Seperti cerita tentang paman nabi yang bernama Abu Lahab. Ia mendapatkan keringanan siksa khusus pada hari Senin karena merasa gembira saat nabi dilahirkan. Bahkan ia juga memerdekakan budak yang memberi kabar tentang kelahiran nabi, yaitu budak wanita yang bernama Tsuwaibah.

Oleh karena itu, marilah kita senang dan gembira dengan kelahiran nabi. Abu Lahab saja yang tidak beragama Islam mendapatkan keringanan siksaan, apalagi kita sebagai umat Islam yang mengikuti nabi Muhammad SAW.

Hadirin jemaah Jumat rahimakumullah,

Marilah kita tingkatkan rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW dan marilah kita merasa gembira dengan kelahiran beliau.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

مَنْ أَحْيَا سُنَّتِيْ فَقَدْ أَحَبَّنِيْ وَمَنْ أَحَبَّنِيْ كَانَ مَعِيْ فِي الْجَنَّةِ. (رواهأنس)

Artinya: “Barangsiapa yang menghidupkan sunahku maka ia mencintaiku. Dan barangsiapa mencintaiku maka ia akan bersamaku di surga.” (HR Anas RA)

Oleh karena itu, marilah kita tingkatkan rasa cinta kepada baginda Nabi dengan harapan kita semua kelak akan dikumpulkan bersama beliau di surga Allah SWT. Aamiin yaa rabbal alamin.

أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّحِيْمِ. قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ. بارك الله في وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِكْرِ الْحَكِيمِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Pengecut



Jakarta

Beberapa waktu lalu kata “pengecut” sering keluar di media terkait persoalan yang lagi ramai dibicarakan.

Sikap pengecut sering berkaitan dengan sikap penakut dan munafik. Sikap ini yang menjadi haram bagi seorang pemimpin. Sikap ini (pengecut) berarti hilangnya keberanian untuk tampil karena menghindari tanggung jawab atau konsekuensi yang harus ditanggung.

Di dalam ajaran Islam sikap pengecut ini ditunjukkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an antara lain:


Surah Al-Baqarah ayat 246 yang artinya, “Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab: “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. Mereka menjawab: “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim.

Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah di bawah pengawasan Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, profesor fakultas Al-Qur’an Universitas Islam Madinah: Kemudian Allah SWT menceritakan beberapa kisah tentang jihad: Hai Rasulullah SAW, tidakkah kamu mengetahui kisah para pembesar Bani Israil setelah kematian Nabi Musa? Ketika mereka meminta kepada nabi mereka untuk memilih seseorang menjadi panglima perang, untuk memerangi musuh mereka di jalan Allah SWT.

Maka Nabi tersebut menjawab mereka: “Aku khawatir jika diwajibkan kepada kalian perang, kalian enggan untuk pergi berperang dan takut dari musuh. Mereka membantah: “Apa yang membuat kami enggan berperang, sedangkan musuh telah mengusir kami dari negeri kami dan menawan anak-anak kami? Namun ketika Allah SWT. mewajibkan perang kepada mereka, sebagian besar mereka enggan pergi berperang, hanya sebagian kecil saja yang tetap teguh pada janji mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang zalim yang menyelisihi janji mereka dengan Allah SWT.

Ajaran Islam betul-betul melarang umatnya bersikap pengecut, hal ini terbukti di samping ayat di atas juga dalam surah Al-Maidah ayat 22, surah Al-Ahzab ayat 13 dan 19 dan surah Muhammad ayat 20. Pengecut sangat dekat dengan sifat munafik. Bahkan ada orang menyatakan pengecut dan munafik adalah kata yang sinonim. Munafik ialah orang yang menyembunyikan kebenaran dan atau mendramatisir sesuatu sehingga orang lain terkecoh. Munafik atau hipokrit sangat dicela di dalam Al-Qur’an.

Bagi seorang pemimpin muslim yang mempunyai sikap munafik sangat dibenci oleh Sang Pencipta. Ciri-ciri orang munafik adalah bicaranya dusta, jika berjanji tidak menepatinya, dan jika diberi amanah berkhianat. Sebagaimana firman-Nya dalam surah An-Nisa ayat 145 yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.”

Pembahasan kali ini adalah sifat munafik yang ada di dalam diri seorang calon pemimpin. Sebuah jabatan yang memiliki resiko tingkat tinggi dan berdampak besar bagi masyarakat yang dipimpinnya. Apalagi seorang menjadi pemimpin yang posisi itu berasal dari permintaannya. Orang yang meminta jabatan, maka Allah SWT tidak akan menolongnya. Sebaliknya jika ia diberi jabatan padahal ia tak memintanya, maka Allah SWT akan menolongnya. Oleh karena itu, sepatutnya seorang muslim berlindung diri dari bahaya sifat munafik, terlebih lagi bagi ia yang sedang memangku jabatan sebagai pemimpin.

Sangat ironis, kelak menjelang dunia ini berakhir atau di akhir zaman nanti yang akan menduduki kursi kepemimpinan bukan dari kalangan para ulama, ahli fikih atau orang-orang yang memiliki bekal ilmu agama, akan tetapi yang akan mengisi posisi strategis tersebut adalah kalangan kaum munafik atau istilah lain kepemimpinan akan didominasi oleh para hipokrit. Dari Ibnu Mas’ud ra berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak akan terjadi hari kiamat hingga orang-orang munafik diangkat menjadi pemimpin pada setiap kabilah. Oleh karena itu, aku lebih menginginkan kematian sebelum waktu itu tiba.” (HR Thabrānī dan Musnad al-Bazzār)

Jika kita mempunyai hak pilih untuk seseorang yang akan memimpin, sebaiknya pilihlah orang yang beriman (ia tidak meminta posisi, meraih posisi sebagai wasilah untuk memakmurkan masyarakat yang dipimpin). Hindari memilih yang jelas-jelas memiliki ciri-ciri sikap munafik. Ia bagaikan musuh dalam selimut yang dapat menghancurkan umat Islam dari dalam. Kata-kata yang keluar dari mulut mereka terdengar baik dan masuk akal sehingga tidak sedikit orang yang mendengarkan kalimat-kalimat mereka.

Bagaimana menghadapi mereka?

1. Memberikan nasihat dengan lembut dan menggunakan dalil Al-Qur’an. Mulailah dengan bersikap lembut pada mereka. Jika ingin memberikan nasehat, maka nasehati dengan baik dan penuh ketulusan. Dengan begini, kita juga menunjukkan betapa Islam itu penuh dengan kasih sayang dalam saling mengingatkan. Hal ini sesuai dengan surah al-A’raf ayat 199 yang artinya, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”

2. Bicara sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka. Menggunakan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh mereka. Rasulullah SAW. bersabda, “Kami diperintah supaya berbicara kepada manusia menurut kadar akal mereka masing-masing.” (HR Muslim)

3. Menyikapi dengan sabar dan menahan diri

4. Memberikan nasihat dengan keras. Jika orang munafik tersebut telah membuat kerusakan dan sangat sulit dinasehati dengan baik, maka nasihatilah dengan keras. Allah SWT. berfirman: “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Jahanam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya. (QS Al-Taubah ayat 73)

Ya Allah, berikanlah kami kekuatan dalam memilih pemimpin agar terhindar dari pemimpin yang bersikap pengecut (munafik), berikanlah cahaya-Mu agar kami bisa menemukan pemimpin yang beriman, yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Mu serta rida atas ketetapan-Mu.

———-

*) Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025

Ketua Dewan Pembina HIPSI (Himpunan Pengusaha Santri Indonesia)

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Dua Kunci Agar Selamat dari Siksa Allah Menurut Imam Ghazali



Jakarta

Imam al-Ghazali memberikan kunci agar selamat dari siksa Allah SWT, mendapatkan pahala dan rahmat-Nya, serta masuk dalam surga-Nya. Sang Hujjatul Islam menyebutkan dua hal.

Dua hal tersebut adalah sabar dan sakit. Imam al-Ghazali menjelaskan dalam kitab Mukasyafatul Qulub, siapa pun yang ingin selamat dari siksa Allah SWT hendaknya menahan nafsu demi melampiaskan syahwat duniawi dan hendaklah bersabar dalam menghadapi kesulitan dan musibah dunia.

Allah SWT berfirman dalam surah Ali Imran ayat 146,


وَاللّٰهُ يُحِبُّ الصّٰبِرِيْنَ

Artinya: “Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.”

Imam al-Ghazali menjelaskan, sabar terdiri dari berbagai macam. Di antaranya sabar dalam menjalani ketaatan kepada Allah SWT, sabar dalam menjauhi larangan-Nya, dan sabar dalam menghadapi musibah pada detik pertama.

Salah satu keutamaan sabar dalam menjalankan ketaatan pada Allah SWT, kata Imam al-Ghazali, Allah SWT akan memberikan 300 derajat di surga saat hari kiamat kelak. Tinggi tiap satu derajat seperti jarak antara langit dan bumi.

Adapun, bagi orang yang sabar dalam menjauhi larangan Allah SWT, maka Dia akan memberikan dua kali lipat derajat di surga dari derajat orang yang sabar dalam ketaatan.

“Barang siapa yang bersabar dalam menjauhi hal-hal yang diharamkan Allah, maka pada hari kiamat ALlah akan memberinya 600 derajat. Setiap satu derajat setinggi jarak antara langit dan bumi ketujuh,” kata Imam al-Ghazali seperti diterjemahkan Jamaluddin.

Selanjutnya, bagi orang yang bersabar atas musibah yang menimpanya, maka Allah SWT akan memberinya 700 derajat di surga. Kata Imam al-Ghazali, setiap derajat tingginya seperti jarak antara Arsy dan bumi.

Disebutkan dalam hadits qudsi, Nabi SAW bersabda bahwa Allah SWT berfirman,

“Setiap hamba yang tertimpa musibah, lalu dia menyandarkan diri kepada-Ku, maka Aku akan memberinya sebelum dia meminta kepada-Ku, dan Aku akan mengabulkan permohonannya sebelum dia berdoa kepada-Ku. Setiap hamba yang tertimpa musibah, lalu dia menyandarkan diri kepada makhluk dan bukan kepada-Ku, maka Aku akan mengunci seluruh pintu langit untuknya.”

Imam al-Ghazali juga memaparkan sejumlah hadits tentang kunci agar selamat dari siksa Allah SWT yang kedua, keutamaan sakit. Salah satunya sabda Nabi SAW, “Barang siapa yang mengalami sakit satu malam, lalu dia bersabar dan ridha kepada Allah, maka dia keluar (bersih) dari dosanya seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya. Jika kalian mengalami sakit, maka janganlah mengandaikan kesembuhan.”

Salah seorang sahabat nabi, Mu’adz bin Jabal, pernah mengatakan bahwa orang yang beriman ketika mendapat cobaan berupa sakit, maka malaikat pencatat amal keburukan tidak akan mencatat apa pun darinya dan malaikat pencatat amal baik akan mencatat sebagai pahala perbuatan terbaik seperti yang biasa dilakukan ketika sehat.

Lebih lanjut, Imam al-Ghazali dalam kitabnya berpesan bahwa orang yang berakal wajib bersabar dalam menghadapi berbagai cobaan serta tidak mengeluh. Hal ini dilakukan agar selamat dari siksa dunia dan akhirat. Sebab, kata Imam al-Ghazali, cobaan yang paling berat sesungguhnya dialami para nabi dan wali Allah SWT.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Wasiat Terakhir Rasulullah sebelum Berpulang ke Rahmatullah



Jakarta

Rabiul Awal menjadi bulan kebahagiaan namun juga kesedihan mendalam bagi umat Islam. Pada tanggal 12, Rasulullah SAW lahir dan pada tanggal itu, tepat di usia 63 tahun beliau wafat. Baginda Nabi SAW meninggalkan wasiat kepada umatnya sebelum berpulang.

Kisah menjelang wafatnya Rasulullah SAW dan pesan-pesan terakhir beliau banyak diceritakan dalam sejumlah riwayat dan kitab-kitab Tarikh maupun Sirah Nabawiyah.

Diceritakan dalam Washaaya wa ‘Izhaat Qiilat fi Aakhiril-Hayaat karya Zuhair Mahmud al-Humawi, kala itu hari Rabu, lima hari sebelum Rasulullah SAW berpulang ke Rahmatullah, sakit beliau bertambah parah, suhu badannya tinggi. Beliau merasakan sakit yang amat dahsyat.


Rasulullah SAW sempat tak sadarkan diri untuk beberapa saat. Setelah siuman, beliau bersabda,

“Tuanglah air dari tujuh kantong air yang diisi dari berbagai sumur ke atas badanku. Mudah-mudahan aku sanggup keluar menemui orang-orang dan menyampaikan wasiatku kepada mereka.”

Beliau kemudian didudukkan dan tubuh beliau disiram air tersebut. Setelah merasa badannya menjadi segar, dengan kepala terikat kain, beliau masuk masjid menuju mimbar. Kemudian, beliau menyampaikan sejumlah wasiat.

Di antara wasiat beliau adalah sebagai berikut,

“Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu bersikap baik kepada orang Anshar! Mereka adalah teman kepercayaan dan orang dekatku. Mereka telah menunaikan segala yang wajib mereka laksanakan dan yang tersisa hanyalah apa yang harus mereka terima. Oleh karena itu, sambunglah dengan baik apa yang datang dari orang baik mereka, dan maafkanlah orang yang tidak baik di antara mereka!”

Dalam riwayat lain beliau SAW bersabda,

“Orang-orang akan bertambah banyak, sementara orang-orang Anshar semakin menciut jumlahnya sehingga mereka umpama garam dalam makanan. Barang siapa di antara kalian mengurusi suatu perkara yang memudharatkan atau memberikan manfaat kepada seseorang, hendaklah ia menyambut (segala sesuatu yang datang) dari orang yang baik di antara mereka, dan memaafkan orang yang jahat di antara mereka.” (HR Bukhari)

Kemudian Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya seorang hamba telah diperintahkan oleh Allah untuk memilih yang diberikan oleh Allah kepadanya, yaitu antara bunga dunia berapa pun yang disukainya atau apa yang ada di sisi-Nya. Maka hamba itu memilih apa yang ada di sisi Allah.”

Pada hari-hari setelahnya, keempat, ketiga, kedua, hingga tiba hari terakhir mengemban amanah di dunia, Rasulullah SAW menyampaikan sejumlah wasiat kepada umat Islam. Wasiat terakhir Rasulullah SAW adalah salat.

Jagalah Salat! Jagalah Salat!

Di atas pembaringan, Rasulullah SAW berwasiat kepada seluruh umatnya, “Jagalah salat! Jagalah salat!” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Adnan Hasan Shalih Baharits, penulis buku Mas’uuliyyatul Abilmuslimi fi Tarbiyatil Waladi fi Marhalati Aththufuulah, mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan betapa pentingnya kedudukan salat dalam Islam, lantaran Rasulullah SAW menjadikannya sebagai wasiat terakhir tatkala hendak berpulang ke haribaan Allah.

Ulama Syafi’iyyah Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah-nya turut menukil riwayat yang menerangkan wasiat terakhir Rasulullah SAW. Diceritakan, pada saat akan menghembuskan nafas terakhir, Rasulullah SAW bersabda,

الصَّلَاةُ، اَلصَّلَاةُ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

Artinya: “Salat, salat, dan apa yang menjadi tanggung jawab kalian semua…”

Sayyid Sabiq menerangkan, salat merupakan hal terakhir yang akan hilang dari agama Islam. Jika salat tiada, maka Islam pun sirna. Rasulullah SAW bersabda,

لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تليهَا وَأَوَّهُنَّ نَقْضًا الْحُكمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

Artinya: “Tali (jati diri) Islam akan sirna sedikit demi sedikit. Setiap kali satu tali hilang, maka manusia akan bergantung kepada tali selanjutnya. Tali pertama yang akan hilang adalah hukum, dan tali yang terakhir adalah salat.”

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Dengki



Jakarta

Perselisihan dalam kehidupan saat ini sering terjadi, meski karena hal yang sepele. Seseorang yang berbeda idola saja bisa saling bermusuhan ( khususnya saat pemilihan kepala pemerintahan ), sehingga amarah yang timbul akan membuahkan dendam dan berakhir dengan kedengkian. Dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW. bersabda: “Jauhilah hasad (dengki), karena hasad dapat memakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar.” (H.R. Abu Dawud).

Sikap iri dan dengki pada tetangga yang hidup senang karena curahan anugerah Allah SWT. bahwa sikap kedengkian itu akan melemahkan iman, menjatuhkan kedudukan di hadapan-Nya dan membuat dibenci oleh-Nya. Apakah engkau merasa bagiannya ( tetangga ) merupakan bagianmu? Jika engkau mendengki lantaran anugerah Allah Swt. yang dia dapatkan, maka engkau menyalahi firman-Nya dalam surah al-Zukhruf ayat 32 yang berbunyi, ” Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain.”

Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. Adapun agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain sebagai pekerja. Menurut suatu pendapat, makna ayat ialah agar sebagian dari mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan, karena yang lemah memerlukan yang kuat dan begitu pula sebaliknya.


Oleh karena itu bekerja sama merupakan langkah strategis untuk saling membantu, bukannya atas anugerah pada pihak lain disikapi dengan iri dan dengki. Kedengkian pada orang lain merupakan tindakan menzalimi orang yang diberi karunia oleh Tuhannya. Tahukah bahwa Allah SWT. telah memberi karunia khusus pada orang tersebut bukan pada orang lain. Itu adalah hak-Nya bukan engkau yang mengatur atas pemberian karunia-Nya. Maka firman-Nya dalam surat Qaf ayat 29 yang berbunyi, ” Ayat yang datang dari Kami tidak akan berubah, dan Kami tidak menzalimi hamba-hamba Kami.”

Ayat ini mempertegas bahwa Allah SWT. bersikap adil dan tahu pada siapa yang diberi karunia, jadi janganlah dengki pada orang yang mendapatkan karunia-Nya.

Bagi orang-orang yang iri dan dengki, sesungguhnya Allah SWT. tidak mencabut karunia darimu yang telah ditetapkan-Nya dan tidak memberikan kepada selainmu. Jadi karunia yang Allah SWT. berikan pasti tidak salah sasaran, oleh karena itu jika engkau masih iri, maka berharaplah atau ingin memiliki atas kenikmatan tetangga atau saudaramu. Hal ini disebut ghibthah ( berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang darinya ). Rasulullah SAW. bersabda, ” Seorang mukmin berkompetisi, dan seorang munafik mendengki.”

Dengki merupakan angan agar nikmat pada orang lain hilang, maka dia akan merasa bahagia. Mengharap kepindahan nikmat orang lain kepada dirimu itu dilarang, maka simaklah firman-Nya dalam surah an-Nisa ayat 32 yang berbunyi, ” Dan janganlah kalian mengharapkan sesuatu yang dilebihkan Allah kepada sebagian kalian atas sebagian yang lain.”
Kedengkian akan timbul karena beberapa faktor : permusuhan, perasaan lebih kuat, kemarahan, kesombongan, ujub, takut tidak mendapatkan apa yang diinginkan, adanya hasrat untuk menjadi pemimpin dan kekotoran jiwa. Semua sikap ini tercela dan hendaknya dihindari bagi seorang mukmin.

Dalam waktu yang dekat, hasrat yang berdasarkan nafsu sebagian orang yang ingin menjadi kepala daerah, anggota legislatif, dan pemimpin negeri, akan terlihat maka hati-hatilah karena hasrat itu merupakan cikal bakal muncullah sikap dengki. Jika menjadi seseorang kontestan yang belum berhasil, maka bersikaplah sabar bukan mencaci maki kompetitornya. Tindakan ini hanyalah sia-sia belaka dan hanya memuaskan kekesalannya. Adapun bagi masyarakat, sikapilah atas semaraknya pesta demokrasi dengan hati yang bening agar kita bisa memilih calon dengan benar.

Kelak di saat hari kebangkitan, tetangga / saudaramu yang hidup berlimpah kekayaan dan berjabatan tinggi mengharapkan kedudukanmu yang sepi dari dunia. Sebab orang kaya berkedudukan tinggi dihisab dalam waktu yang lama ( mempertanggung jawabkan selama di dunia ). Sementara engkau selamat dari semua siksa ini di bawah naungan Allah SWT. Akan lebih elok jika engkau diberikan nikmat hidup dan berkuasa, maka jadikanlah wasilah untuk memberi kemanfaatan pada sesama.
Semoga Allah SWT. menjadikan kita orang yang sabar menghadapi musibah dan bersyukur atas rahmat-Nya serta memasrahkan segala urusan pada-Nya.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Cara Menyikapi Orang yang Tak Kunjung Bayar Utang Menurut Islam


Jakarta

Tak kunjung membayar utang meski sudah jatuh tempo terkadang memicu permasalahan baru yang bisa saja mengarah pada jalan setan, seperti benci hingga hilangnya keikhlasan. Syariat Islam telah mengatur cara seorang muslim dalam menyikapi orang yang tak kunjung membayar utangnya.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW berpesan agar berhati-hati dengan utang. Sebab, utang bisa membuat seseorang resah di malam hari dan menjadikan hina pada siang hari. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh si peminjam maupun orang yang memberikan pinjaman.

Ustazah Dede Rosidah atau yang akrab dipanggil Mamah Dedeh dalam tausiyahnya di acara ‘Assalamualaikum Mamah Dedeh’ Trans 7 menjelaskan, orang yang memberikan pinjaman memiliki kewajiban untuk menagih utang sebanyak tiga kali. Jika tak kunjung dibayar, maka ia bisa mendoakannya.


“Kewajiban kita menagih, sekali, dua kali, tiga kali, tidak juga dibayarnya yang dosa dia sama kita. Ya sudah kita doakan yang terbaik,” terang Mamah Dedeh.

Mamah Dedeh menyebut satu per satu doa yang bisa dipanjatkan apabila orang tak kunjung membayar utang padanya. Pertama, kata Mamah Dedeh, jika orang yang berutang itu miskin, maka dapat mendoakan semoga dia punya rezeki untuk membayar utangnya.

Jika orang itu belum juga membayar utang, maka dapat memanjatkan doa agar Allah SWT memberikan rezeki yang lebih banyak dari jumlah yang ia pinjamkan. Seperti dengan lafaz, “Ya Allah, semoga saya diberikan rezeki lebih banyak dari utang dia ke saya.”

Apabila masih tak kunjung membayarnya, Mamah Dedeh menyarankan agar ia berdoa supaya utang yang tak kunjung dibayar itu bisa menghapuskannya dari rezeki yang syubhat dan haram.

Kata Mamah Dedeh, “Ya Allah saya bermohon kepadamu ya Allah, apabila rezeki yang saya terima ini ada yang halal, ada yang haram, ada yang syubhat semoga dengan dia tidak membayarnya, yang syubhat, yang haram, itu terhapus dengan dia tidak membayar (utangnya).”

Terakhir, jika masih belum juga dibayar, orang yang meminjamkan uangnya itu bisa berdoa agar keikhlasannya itu bisa menghapuskan dosa dan kesalahannya. Mamah Dedeh mencontohkan dengan lafaz, “Ya Allah saya sebagai manusia banyak dosa, banyak kesalahan saya, semoga dengan dia tidak membayar semua dosa dan kesalahan saya diampuni oleh Allah SWT.”

Larangan Membicarakan Utang pada Orang Lain

Mamah Dedeh juga menjelaskan, orang yang memberikan pinjaman kepada yang membutuhkan harus benar-benar ikhlas. Ia pun menyebut larangan membicarakan utang seseorang kepada orang lain.

“Kalau orang ngutangin terus ngomong ke sana ke mari, dosa dia. Karena nggak ikhlas,” kata Mamah Dedeh.

Mamah Dedeh berhujjah dengan firman Allah SWT dalam surah Al Bayyinah ayat 5,

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ ٥

Artinya: “Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istikamah), melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus (benar).”

Menurut Mamah Dedeh, lebih baik mencari rezeki yang belum ada daripada mengharapkan orang membayar utang padanya. Sebab, kata Mamah Dedeh, harapan itu akan membuat menderita batin, bahkan bisa menciptakan hal-hal yang mengarah pada jalan setan, seperti membicarakan orang lain.

Utang yang Tak Dibayar Akan Terbawa sampai Mati

Lebih lanjut Mamah Dedeh menjelaskan, utang adalah perkara yang akan terbawa hingga mati. Disebutkan dalam sebuah hadits, orang yang mati sebelum membayar utangnya, akan terkatung-katung hingga utang itu dilunasi. Rasulullah SAW bersabda,

“Roh seorang mukmin (yang sudah meninggal) terkatung-katung karena utangnya sampai utangnya dilunasi.” (HR Tirmidzi)

Mamah Dedeh kemudian menceritakan sebuah riwayat tentang salah seorang sahabat yang mendatangi Rasulullah SAW dan meminta agar menyalatkan temannya yang meninggal dunia. Sebelum mau menyalatkan, Rasulullah SAW menanyakan apakah orang itu punya utang.

Rasulullah SAW baru berkenan menyalatkan seseorang yang tidak memiliki utang, telah melunasi utangnya, atau memiliki harta untuk melunasi utangnya.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Wali Songo dan Wilayah Penyebarannya di Pulau Jawa


Jakarta

Islam masuk dan berkembang di Indonesia melalui berbagai cara. Salah satu kelompok yang berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Indonesia adalah Wali Songo.

Siapa saja Wali Songo? Di mana saja wilayah penyebarannya? Simak uraian berikut ini.

Nama-nama Wali Songo

Dikutip dari buku Wali Songo: 9 Sunan karya Noer Al, sembilan nama dari Wali Songo ini adalah Maulana Malik Ibrahim (Syekh Maghribi atau Sunan Gresik), Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.


Peran Wali Songo di Indonesia

Dikutip dari buku Sejarah Wali Songo karya Zulham Farobi, Wali Songo memiliki peran yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa. Peranan Wali Songo cukup dominan di bidang dakwah, baik dakwah melalui lisan.

Para Wali Songo ini berkeliling dari satu daerah ke daerah lain dalam menyebarkan Islam. Mereka juga berhasil mendirikan pesantren sebagai pusat pendidikan dan dakwah.

Selain dengan dakwah, para Wali ini juga menyebarkan Islam menggunakan pendekatan budaya dengan cara menyerap seni budaya lokal yang dipadukan dengan ajaran Islam, seperti wayang, tembang Jawa, gamelan, upacara-upacara adat yang digabungkan dengan makna-makna Islam dan sebagainya.

Syekh Maulana Malik Ibrahim

Masih mengutip dari buku Wali Songo: 9 Sunan karya Noer Al, Syekh Maulana Malik Ibrahim atau yang juga disebut Syekh Maghribi atau Sunan Gresik ini merupakan yang tertua dari sembilan wali.

Syekh Maulana Malik Ibrahim menyebarkan Islam di wilayah Gresik, Jawa Timur. Beberapa desa yang ditujunya antara lain Desa Sembalo, Desa Tanggulangin, dan Leran.

Ia menyebarkan ajaran Islam dengan cara mendekati masyarakat dengan budi bahasa yang santun dan akhlak mulia, tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan penduduk asli, serta adat istiadat mereka.

Syekh Maulana Malik Ibrahim merupakan seorang tabib yang menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Selain itu, ia juga mengajarkan cara-cara baru dalam bercocok tanam.

Sunan Ampel

Sunan Ampel atau Sayyid Ali Rahmatullah (Raden Rahmat) ini merupakan raja dari Kerajaan Majapahit. Dikutip dari buku Walisongo: Sebuah Biografi karya Asti Musman, Sunan Ampel menyebarkan Islam di wilayah Ampel (Surabaya).

Sunan Ampel berdakwah dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya. Ia juga menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni, dan adat istiadat Jawa dihilangkan karena merupakan bagian dari bid’ah.

Sunan Bonang

Sunan Bonang atau Raden Maulana Makdum Ibrahim menyebarkan Islam di daerah Tuban, Jawa Timur.

Ia menyebarkan ajaran Islam dengan cara berdakwah, mendirikan pondok pesantren, menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa, serta menyisipkan Islam ke dalam cerita wayang dan musik gamelan.

Sunan Giri

Sunan Giri atau Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Giri (Gresik, Jawa Timur). Cara menyebarkan ajaran Islam oleh Sunan Giri yaitu dengan berdakwah, mendirikan pesantren, dan menjadi penasihat.

Sunan Drajat

Sunan Drajat atau Raden Qasim menyebarkan Islam di daerah Lamongan, Jawa Timur. Ia terkenal dengan jiwa sosial dan tema-tema dakwahnya yang selalu berorientasi pada gotong royong.

Sunan Kalijaga

Wilayah penyebaran ajaran Islam oleh Sunan Kalijaga atau Raden Mas Syahid ini tidak terbatas, Ia suka berkeliling dan memperhatikan keadaan masyarakat. Beliau menyebarkan ajaran Islam di sejumlah wilayah di Jawa Tengah.

Beliau berdakwah menggunakan berbagai media seni seperti wayang kulit, gamelan, suara, ukir, pahat, busana, dan kesusastraan.

Sunan Kudus

Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus, Jawa Tengah dengan berdakwah dan menciptakan cerita keagamaan yang berjudul Gending Maskumambang dan Mijil.

Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Said ini menyebarkan ajaran Islam di daerah Gunung Muria, Kudus dan desa-desa terpencil lainnya. Objek dakwah yang digunakannya yaitu pedagang, nelayan, dan rakyat biasa. Beliau juga menciptakan tembang Sinom dan Kinanthi.

Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah ini menyebarkan ajaran Islam di sejumlah wilayah di daerah Jawa Barat seperti Cirebon dan Banten.

Cara berdakwahnya dilakukan dengan pendekatan struktural. Selain mendirikan pesantren, Sunan Gunung Jati juga mendirikan dan memimpin Kesultanan Cirebon dan Banten.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Tokoh Quraisy yang Menentang Dakwah Rasulullah di Bukit Shafa


Jakarta

Dakwah Rasulullah SAW dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari dakwah secara sembunyi-sembunyi, sampai dengan dakwah secara terang-terangan. Sejumlah tokoh Quraisy menentang dakwah Rasulullah SAW ketika beliau mengumpulkan mereka.

Dalam melaksanakan dakwahnya, beliau selalu mendapat banyak cobaan. Seperti dihina, diejek, ditentang, dan bahkan hendak dibunuh. Namun, Allah SWT selalu menyertai hamba yang paling dicintai-Nya tersebut sehingga beliau bisa menegakkan kebenaran dan memberantas kemaksiatan.

Orang-orang yang menentang dakwah Rasulullah SAW, salah satunya adalah kaum kafir Quraisy. Bahkan paman Nabi SAW sendiri juga termasuk di dalamnya.


Tokoh Quraisy yang Menentang Dakwah Nabi Muhammad

Setelah berdakwah secara sembunyi-sembunyi selama kurang lebih tiga tahun, Nabi Muhammad SAW akhirnya mendapat perintah dari Allah SWT untuk melakukan dakwahnya secara terang-terangan, jelas buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti yang ditulis oleh Ahmad Taufik dan Iim Halimah.

Dakwah secara terang-terangan ini dilakukan oleh Rasulullah SAW setelah turun firman Allah SWT dalam surah Al-Hijr ayat 94 yang bunyinya:

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَاَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ

Artinya: “Maka, sampaikanlah (Nabi Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.”

Dengan ayat ini, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat yang sudah masuk Islam mempersiapkan diri untuk melakukan dakwah mereka terhadap kaum Quraisy secara terang-terangan.

Salah satu cara yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk berdakwah secara terang-terangan adalah dengan mengundang tokoh-tokoh penting kafir Quraisy di Bukit Shafa. Namun dakwah itu mendapatkan banyak kecaman dan tentangan dari mereka.

Tokoh Quraisy yang menentang keras dakwah Nabi Muhammad SAW ketika beliau mengumpulkan kaum Quraisy yaitu Abu Lahab, Abu Jahal, dan Umar bin Khattab.

Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyampaikan pidato tentang ajaran Islam kepada kaum Quraisy itu, Rasulullah SAW malah mendapat perlakuan kasar dan hinaan dari mereka. Bahkan paman Rasulullah SAW yang bernama Abu Lahab, menentang keras dakwah tersebut, seperti dikatakan dalam buku Pendidikan Agama Islam: Sejarah Kebudayaan Islam oleh Imam Subchi.

Abu lahab berkata, “Celakalah engkau wahai Muhammad untuk selama-lamanya, untuk inikah engkau mengumpulkan kami semua di sini?”

Setelah Abu Lahab berkata seperti itu, Allah SWT berfirman dalam surah Al-Lahab ayat 1-5, yang artinya:

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan memasuki api yang bergejolak (neraka), (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.”

Ejekan dan hinaan yang keras dari pamannya sendiri tersebut tidak lantas membuat semangat dakwah Nabi Muhammad SAW surut dan bahkan hilang. Hal ini malah membuat Nabi Muhammad SAW lebih gigih, semangat, dan gencar untuk melakukan dakwahnya. Seruan beliau untuk melawan kemusyrikan dan kejahatan terus bergema di pelosok Kota Makkah.

Akhirnya, sedikit demi sedikit orang-orang mulai mau menerima Islam. Terbukti dengan beberapa orang dari golongan lemah seperti budak, orang-orang miskin akhirnya mengakui keislamannya. Tulis sumber sebelumnya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Misi Profetis Nabi Muhammad SAW



Jakarta

Secara historis, terjadi perbedaan pendapat tentang siapa pertama kali yang merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Satu pendapat mengatakan, Salahuddin al-Ayyubi (1193 M), pendiri Dinasti Ayyubiyyah (1171 M), adalah orang pertama yang mengajak umat Islam untuk merayakan Maulid Nabi sebagai upaya mempersatukan dan membangkitkan semangat umat Islam dalam menghadapi dinamika eksternal.

Sebagian lagi berpendapat, Dinasti Fatimiyyah (909-1171 M) yang pertama kali mentradisikan hal itu. Syiah-sebagai mazhab Dinasti Fatimiyyah-memang memiliki kebiasaan memperingati berbagai momentum yang berkaitan dengan ahlul bait, seperti Asyura dan tentu saja Maulid Nabi Muhammad SAW. Tidak penting berdebat mana pendapat yang kuat. Yang jelas, mengikuti dan mencintai Nabi Muhammad SAW merupakan perintah agama Islam kepada pengikutnya.

Tradisi memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW pada masyarakat muslim Indonesia juga sudah menjadi rutinitas yang khas. Tradisi ini tumbuh dan mengakar di hati umat karena ekspresi kecintaannya kepada utusan pembawa risalah Islam. Maulid Nabi juga merupakan luapan kegembiraan umat Islam atas lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tegasnya, peringatan kelahiran Nabi diinspirasi al-Qur’an dan al-Hadits yang memerintahkan umatnya untuk mengikuti jejak dan teladannya dalam semua aspek kehidupan. Peringatan Maulid Nabi merupakan momentum yang tepat untuk menyadarkan kembali pentingnya umat Islam meneladani tokoh agung ini.


Tidak sulit menandai bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW pada masyarakat muslim Indonesia. Jika masjid, musala, pesantren dan masyarakat muslim menggelar berbagai pengajian dan pembacaan sejarah Rasulullah SAW (kitab al-Barjanzi, al-Burdah, Simtud Durar atau yang lainnya), berarti kini umat Islam telah memasuki bulan Maulud (Rabiul Awwal), bulan di mana Nabi Muhammad SAW lahir. Peringatan Maulid Nabi sarat makna dan emosional. Umat Islam diajak menyelami kehidupan tokoh agung dan membayangkan kehadirannya di majelis tersebut. Uraian sejarah perjuangan, sifat-sifat dan keutamaan Nabi Muhammad SAW yang disampaikan para mubalig menggenapi kekhusukan sekaligus menambah pemahaman umat Islam tentang Nabinya. Seorang Rasul panutan yang sempurna (kamal) sifatnya dan indah (jamal) kepribadiaannya. Rasul akhir zaman yang menegaskan bahwa dirinya adalah manusia dan ajarannya selalu memanusiakan manusia.

Menyempurnakan Akhlak

Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa “sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Bukhari, 273). Hadits ini menarik karena menempatkan akhlak sebagai misi utama seorang rasul, bukan meluruskan akidah atau mengoreksi ibadah, seperti kata para ustadz yang sering melontarkan kata kafir, bid’ah, musyrik dan menyalah-nyalahkan orang lain. Masalah akidah dan ibadah sangat penting, tetapi soal akhlak tidak kalah penting, bahkan sangat penting. Akhlak merupakan inti dan pondasi beragama.

Bermula dari perbaikan akhlak, maka soal yang lain lebih mudah dibereskan. Jika akhlaknya benar, maka dimensi ajaran Islam yang lain, seperti akidah, ibadah, dan hukum/ mu’amalah akan mengikuti. Seorang yang berakhlak akan menjaga dengan sekuat tenaga bahwa akidah Islam yang dianut pasti persis sama, sebagaimana ajaran al-Qur’an dan al-Hadits. Akidahnya lurus dan sahih, bukan akidah yang batil. Jika kepada sesama saja, seorang yang berakhlak akan menjaga akhlaknya, lebih-lebih ini menyangkut akhlak kepada Tuhannya, pastilah ia tidak akan mengkhianati ajaran agamanya. Sebab di dalam akidah, terkandung akhlak tertinggi hamba kepada Tuhannya. Dengan akhlaknya, ia berusaha mengenali Tuhannya, memahami sifat-sifat-Nya dan tidak menduakan Tuhannya.

Jika ada orang lain yang akidahnya dianggap kurang tepat akibat kejahilan, ia akan mengingatkannya dengan adab dan akhlak yang baik. Itulah esensi akhlak jika membingkai akidah. Kekakuan akidah yang umumnya berisi prinsip-prinsip Islam yang tidak bisa ditawar dan telah diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW, dapat didakwahkan dengan cara yang santun dan beretika. Harapannya tidak lain, makin banyak orang yang tercerahkan dengan keagungan agama Islam.
Begitu pula dengan ibadah sebagai praktik penghambaan umat Islam kepada Tuhannya. Pada dasarnya, ibadah kita adalah akhlak kita kepada Tuhan Sang Pencipta. Ibadah, baik yang mahdah maupun ghairu mahdah, sudah diatur sedemikian rupa, sehingga yang berakhlak akan mengikuti dan melaksanakan ajaran soal ibadah tersebut.

Ibadah mahdah diatur secara ketat tata caranya. Menambah atau mengurangi ibadah mahdah, dapat dipandang sebagai perilaku tidak sopan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dan secara hukum haram dilakukan. Berbeda dengan ibadah ghairu mahdah yang tata caranya tidak diatur secara rigid. Umat Islam bebas mengekspresikan segala kebaikan dan kemanfaatan kepada sesama, tentu yang tidak melanggar syariat Islam dan dalam bingkai akhlak.

Islam yang Humanis

Islam merupakan agama yang humanis, mudah, tidak memberatkan dan memanusiakan kemanusiaan. Ini merupakan konsekuensi logis dari misi Rasulullah SAW untuk menyempurnakan akhlak. Jika agama ini berat, maka misi menyempurnakan akhlak tidak akan terwujud. Alasannya karena Tuhan tidak ‘memperlakukan’ hamba-Nya dengan baik dan memberikan beban yang berlebihan kepadanya.

Allah SWT telah menegaskan bahwa seluruh kewajiban yang harus dilaksanakan umat Islam berada dalam takaran kemampuan manusia untuk melaksanakan (QS, 2: 286). Jika tidak mampu karena keadaan tertentu, ia boleh mengambil rukhsah (keringanan). Misalnya, shalat fardu wajib dilaksanakan seorang muslim dengan cara berdiri. Jika tidak mampu, ia boleh mengerjakan shalat dengan cara duduk atau berbaring. Jika sedang bepergian atau alasan syar’i lainnya, seorang muslim juga boleh men-jama’ (mengumpulkan dua shalat dalam satu waktu) dan meng-qashar (meringkas shalat dari empat rakaat menjadi dua rakaat). Begitu pula dengan kewajiban berpuasa, zakat dan haji. Seorang muslim boleh meng-qadha puasa di bulan selain Ramadan karena alasan sakit, bepergian dan alasan syar’i lainnya. Bila belum mampu, zakat dan haji bahkan boleh tidak dikerjakan.

Dua prinsip hukum Islam, yaitu menyedikitkan beban (qillatut taklif) dan menghilangkan segala kesulitan (‘adamul haraj) betul-betul menempatkan Islam sebagai agama yang manusiawi. Jika yang wajib saja semudah itu dikerjakan, apalagi amalan yang sunnah. Itu juga menjadi bukti bahwa kewajiban dalam Islam-baik dalam bentuk rukun Islam atau kewajiban bentuk lainnya-diperintahkan dalam frame ‘akhlak ilahi’ di mana manusia itu lemah dan tidak mungkin diberikan beban melebihi kemampuannya.

Demikianlah. Rasulullah SAW menempatkan akhlak sebagai misi utama kerasulannya. Karena itu, umatnya harus menjadikan pula akhlak sebagai pusat ikhtiar untuk menggapai kejayaan Islam dan muslimin. Akhlak dalam pengertian dan konteks yang luas, seperti akhlak dalam studi dan mengembangkan ilmu pengetahuan, akhlak berekonomi, termasuk juga akhlak dalam berpolitik.

Selamat merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW 1445 Hijriah.

Yaqut Cholil Qoumas
Menteri Agama RI

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com