Category Archives: Dakwah

4 Strategi Dakwah Rasulullah di Madinah, Termasuk Bangun Masjid



Jakarta

Periode dakwah Rasulullah SAW terbagi menjadi dua periode yakni Makkah dan Madinah. Selama di Madinah, ada strategi dakwah yang dilancarkan Rasulullah SAW.

Sejatinya, Rasulullah SAW melakukan hijrah ke Madinah dilandasi dengan beberapa alasan. Salah satunya adalah bahwa penduduk Madinah lebih terbuka terhadap Islam.

Namun, dengan keterbukaan ini tidak serta-merta membuat dakwah Rasulullah SAW berjalan mudah yang membuat Rasulullah SAW harus melancarkan sejumlah strategi. Dikutip melalui buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas X karya Abu Achmadi dan Sungars berikut ini merupakan strategi dakwah Rasulullah di Madinah.


4 Strategi Dakwah Rasulullah di Madinah

1. Mempersatukan Dua Umat

Mempersatukan dua umat yang penting pada awal masa hijrah yaitu Kaum Muhajirin dengan Kaum Anshar. Hal ini dilakukan agar kedua umat ini dapat terikat dengan kuat dan tidak ada unsur kesukuan kecuali atas nama Islam semata.

2. Mengembangkan Pendidikan

Mengembangkan pendidikan dan akar dakwah. Dalam melakukan strategi dakwah, Rasulullah SAW membutuhkan orang-orang yang juga pandai membaca dan menulis.

Selain itu, diperlukan pemahaman juga oleh orang-orang tersebut akan agama Islam itu sendiri. Oleh karena itu, dibuatlah beberapa rincian dalam strategi ini, yaitu:

  • Menggunakan orang-orang yang pandai membaca dan menulis. hal ini dilakukan untuk produksi dan penyebaran ayat-ayat Al-Qur’an dengan cepat.
  • Menyebarkan Islam yang dilandasi ajaran dunia seperti hukum, ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan yang berlandaskan ayat-ayat Al-Qur’an
  • Rasulullah menjadi suri tauladan dengan menjadi Al-Qur’an berjalan. Artinya, setiap pelajaran langsung dapat diambil dari perilaku dan keteladanan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Hal ini membuat dakwah yang dilakukan Rasulullah SAW dapat masuk ke hati masyarakat nonmuslim dengan cepat dan damai.

3. Membangun Masjid

Masjid menjadi objek vital bagi penyebaran islam oleh Rasulullah SAW. Hal inilah yang juga menjadi perhatian baginya saat berdakwah di Madinah.

Rasulullah SAW mendirikan masjid di atas tanah tempat penjemuran kurma milik Sahal bin Suhail bin Amr. Tujuan membangun masjid ini adalah sebagai tempat ibadah, pendidikan, berunding, konsultasi masyarakat, dan pembahasan strategi dakwah.

4. Bangun Kekuatan Politik

Rasulullah SAW berani dan bisa menyatukan golongan Yahudi dari berbagai bani, yaitu Bani Qainuqa, bani Quraidah, dan Bani Nadir. Rasulullah SAW membentuk perjanjian yang membuat kerukunan dan fungsi masyarakat Madinah secara umum tetap berjalan.

Sebagai informasi tambahan, berikut adalah inti dari isi perjanjian yang dikenal sebagai Piagam Madinah.

a. Kaum Yahudi bersama muslim wajib turut serta dalam peperangan untuk mempertahankan Madinah.

b. Kaum Yahudi dari Bani Auf diperlakukan sama adilnya dengan muslim.

c. Kaum Yahudi tetap dengan agama Yahudi mereka dan demikian pula dengan kaum muslim, artinya bisa hidup berdampingan tanpa saling merusuh satu dengan lain.

d. Semua kaum Yahudi yang berasal dari semua suku serta kabilah di Madinah diperlakukan sama dengan kaum Yahudi Bani Auf.

e. Kaum Yahudi dan muslim harus senantiasa saling berbuat kebajikan dan saling mengingatkan ketika terjadi penganiayaan atau kezaliman, sama seperti peradaban yang baik pada umumnya,

f. Semua penduduk Madinah akan dijamin bersama keselamatannya, hal ini mendapat pengecualian bagi orang yang berbuat jahat.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Jemput Ramadan dengan Persiapan yang Matang



Jakarta

Ramadan merupakan bulan suci yang paling dinantikan oleh seluruh umat Islam. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya, pahala yang didapatkan seorang muslim pada bulan Ramadan akan dilipatgandakan oleh Allah SWT.

Ketika bulan Ramadan tiba, kita harus menjemputnya dengan baik. Saking mulianya Ramadan, para nabi bahkan merasa iri terhadap Nabi Muhammad SAW.

Berkaitan dengan itu, Prof Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa ada sebuah hadits yang menyebutkan jika nabi-nabi sebelum Muhammad diberi kesempatan hidup kembali, maka mereka ingin menjadi umat Rasulullah karena terdapat bulan penuh ampunan, yaitu Ramadan.


Sebagai umat Rasulullah SAW, rasanya sayang apabila kita tidak bersungguh-sungguh untuk memanfaatkan bulan Ramadan. Terlebih pada bulan tersebut ada malam lailatul qadar, sebuah malam yang lebih istimewa dari seribu bulan.

“Angka yang paling tinggi pada saat turunnya Al-Qur’an adalah seribu. Seandainya ada angka triliun, mungkin ayat itu berbunyi malam lailatul qadar lebih mulia daripada satu triliun tahun,” tutur Prof Nasaruddin dalam detikKultum detikcom, Kamis (23/3/2023).

Ia menjelaskan, pada bulan Ramadan hampir semua peristiwa-peristiwa penting terjadi di bulan tersebut, seperti pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang ditandai dengan nuzulul Qur’an. Bahkan, dari segi sejarah pun banyak momen-momen yang terjadi di bulan Ramadan.

“Kita bisa lihat dalam sejarah, Perang Badar terjadi dahsyat sekali dan dimenangkan Rasulullah pada bulan suci Ramadan,” tambah Prof Nasaruddin.

Tak hanya itu, peristiwa kemerdekaan Indonesia juga berlangsung ketika bulan suci, tepatnya pada tanggal 9 Ramadan. Kemenangan kerajaan-kerajaan lokal di Indonesia juga banyak ditaklukan di bulan Ramadan.

“Contohnya kerajaan Bone di Indonesia bagian timur, kerajaan besar, itu ditaklukan terakhir pada bulan suci Ramadan,” paparnya.

Menurut Prof Nasaruddin, bulan Ramadan menentukan warna sejarah Islam. Karenanya, ia mengajak seluruh umat Islam untuk lebih melakukan persiapan yang matang dalam menyambut bulan suci.

Apalagi, di tahun ini kita bisa beribadah dengan maksimal karena pandemi COVID-19 telah usai. Untuk itu, Prof Nasaruddin mengimbau kaum muslimin untuk lebih memakmurkan masjid di bulan suci Ramadan 2023.

“Mari kita menjadikan bulan suci Ramadan ini bulan penyelamat, saya sungguh sangat yakin bapak ibu sekalian sudah siap menjalani Ramadan tahun ini. Tidak ada Covid-19 yang menghalangi seperti tahun-tahun sebelumnya,” pungkasnya.

Selengkapnya detikKultum bersama Prof Nasaruddin Umar: Menjemput Ramadan DI SINI.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

detikKultum Habib Ja’far: Ramadan Adalah Bulannya Sedekah



Jakarta

Ramadan merupakan bulan yang baik untuk memperbanyak amal ibadah. Salah satunya dengan bersedekah.

Habib Ja’far menyebut, Ramadan adalah bulannya sedekah. Sebab, Rasulullah SAW paling banyak bersedekah pada bulan tersebut, bahkan dikatakan sedekah beliau sampai berkali-kali lipat.

“Di bulan Ramadan diceritakan oleh Sayyidah Aisyah kedermawanan Nabi Muhammad itu berkali-kali lipat lebih tinggi lagi. Lebih sering sedekah, lebih banyak lagi karena bulan Ramadan itu adalah bulannya sedekah,” ucap Habib Ja’far dalam detikKultum detikcom, Jumat (24/3/2023).


Habib Ja’far menjelaskan, sedekah tidak harus berupa harta. Ia mencontohkan, dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,

تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ

Artinya: “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah bagimu.” (HR At-Tirmidzi)

“Membahagiakan orang lain dengan cara-cara yang baik itu adalah sedekah. Jadi, segala hal menjadi sedekah jikalau diberikan kepada orang lain dengan tujuan baik, cara yang baik, dan niat yang baik,” jelasnya.

Oleh karena itu, kata Habib Ja’far, sedekah harus menjadi identitas utama di bulan Ramadan karena begitu dahsyatnya pahala sedekah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Artinya: “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR Ahmad)

Ia menjelaskan lebih lanjut, sedekah merupakan satu dari tiga identitas orang bertakwa. Sebagaimana Allah SWT berfirman,

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ ١٣٤

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran: 134)

Dalam hal ini, sedekah tidak harus menunggu kaya. Mengapa? Selengkapnya detikKultum Habib Ja’far: Ramadan Adalah Bulannya Sedekah tonton DI SINI.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Islam & AS: Overlapped



Jakarta

Iamam Faisal Abdul Rauf, Imam Masjid Al-Farah, terletak hanya 12 blok dari bangunan WTC, New York City, yang pernah dihancurkan oleh teroris pada tgl 11/9/2001, menulis buku berisi 314 halaman berjudul: “What’s Right With Islam Is What’s Right With America” (Apa Yang Benar Menurut Islam itu juga Yang Benar Menurut Amerika).

Tokoh muslim AS ini meyakinkan warga mayoritas non-muslim AS untuk percaya bahwa aksi segelintir orang, yakni para teroris, yang memperatasnamakan diri sebagai aksi Islam sama sekali tidak bisa dibenarkan. Warga AS juga membuktikan diri sebagai manusia yang matang dan dewasa sama sekali tidak melakukan aksi balas dendam secara brutal terhadap komunitas muslim di AS.

Bahkan yang bermunculan ialah komunitas masyarakat yang secara spontan memberikan perlindungan terhadap komunitas muslim di AS. Penulis bersama isteri dan anak-anak juga bekerja di Georgetown University, Washington DC, sebagai Visiting Scholars belum lama kejadian mengerikan itu terjadi. Tentu saja orang lain mencemaskan kehadiran kami di AS saat itu, akan tetapi saya bersama keluarga samasekali tidak merasa terganggu.


Bahkan kami menempati IMAAM Center, Islamic Center untuk komunitas masyarakat Indonesia, bertetangga dengan sebuah gereja besar di Veirsmill Maryland, kami rukun damai di dalam menjalankan ibadah kami masing-masing. Tamu-tamu kami diberi kesempatan untuk memarkir kendaraan di halaman parrkir gereja yang amat luas. Ketika Hurrycan, badai, menerjang kota kami, pohon ratusan tahun itu bertumbangan ke arah gereja, kami sekeluarga juga ikut membantu memindahkan pohon-pohon itu. Ketika kami bersama keluarga meninggalkan AS pendeta gereja itu melepas kami dengan linangan air mata.

Selama kita memegang substansi ajaran Islam selama itu umat lain akan pasti menerima, karena Islam sesungguhnya adalah dipadati dengan ajaran kemanusiaan. Apa yang dikatakan oleh Imam Faisal dalam bukunya itu adalah benat dan terbukti benar. Presiden Obama juga pernah mentakan:”… janganlah ada keraguan: Islam adalah bagian dari Amerika. Dan saya percaya bahwa Amerika memegang kebenaran dalam dirinya bahwa terlepas dari ras, agama, dan posisi dalam hidup, kita semua memiliki aspirasi yang sama – untuk hidup dalam damai dan keamanan; untuk memperoleh pendidikan dan untuk bekerja dengan martabat; untuk mengasihi keluarga kita, masyarakat kita, dan Tuhan kita.

Ini adalah hal-hal yang sama-sama kita yakini. Ini adalah harapan dari semua kemanusiaan”. “Islam bukan bagian dari problem yang mengajarkan kekerasan secara ekstri. Sebaliknya Islam adalah sebuah agama yang selalu mengajarkan perdamaian”. Pernyataan senada juga sering kita dengar keluar dari tokoh-tokoh AS lainnya. Obama bahkan sangat fasih mengutip intisari salah satu ayat Al-Qur’an: “Siapa yang membunuh orang tak bersalah, maka ia seperti telah membunuh semua umat manusia; dan siapa yang menyelamatkan satu orang; maka ia telah menyelamatkan semua umat manusia”. Ayat ini terletak di dalam Q.S. al-Maidah/5:32).

Thomas Jefferson juga pernah mengingatkan: “Saya berharap kebijakan kita akan bertambah sejalan dengan kekuatan kita, dan mengajarkan kita bahwa semakin sedikit kita menggunakan kekuatan, justru semakin besar kekuatan itu.” Pernyataan Jefferson ini sejalan dengan sejumlah ayat dalam Al-Qur’an, antara lain: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-Baqarah/2:195). Dalam ayat lain juga ditegaskan: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” (Q.S. al-Baqarah/2:256). Dengan demikian tidak ada alasan umat Islam membenci AS sebagai sebuah negara dan sebaliknya AS juga tidak tepat mendiskreditkan umat Islam karena agama yang dianutnya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Sikap Mulia



Jakarta

Sikap mulia yang lebih mementingkan orang lain dalam kerangka persaudaraan. Sikap ini menunjukkan kerelaannya dalam membantu, meskipun dirinya memerlukannya. Dikisahkan Amirul Mukminin Umar bin Khathab menyediakan uang sebanyak 400 dinar, dimasukkan ke dalam kantong. Dia berkata kepada pembantunya, ” Serahkan uang ini kepada Abu Ubaidah bin Jarrah ! Tunggu sebentar seolah engkau masih ada urusan lain dengannya, hingga engkau mengetahui apa yang diperbuat dengan uang ini !”

Sampai di rumah Abu Ubaidah, pembantu tersebut berkata, ” Aku datang kepadamu dengan membawa uang dari Amirul Mukminin. Dia memerintahkan agar engkau menggunakan uang ini untuk kebutuhanmu.” Jawab Abu Ubaidah, ” Semoga Allah tetap menyertai Umar dan merahmatinya !” Sesudah itu dia berkata kepada pembantunya, ” Bagikan uang ini kepada si A sebanyak tujuh dinar, kepada si B sebanyak lima dinar dan kepada si C,D dan seterusnya hingga jumlah tersebut tidak ada sisa sama sekali.

Pembantu tersebut segera kembali dan menceritakan kepada Umar apa yang dilihatnya. Kemudian Umar menyediakan sejumlah uang untuk diserahkan kepada Mu’adz bin Jabal, seperti ketika memberikan uang pada Abu Ubaidah dan berkata, ” Amirul Mukminin berpesan agar uang yang kuserahkan ini kau pergunakan untuk memenuhi kebutuhanmu.” Hal yang sama dilakukan oleh Mu’adz bahwa uang tersebut dibagikan pada orang-orang yang lebih membutuhkan. Kemudian istrinya datang dan berkata, ” Demi Allah kita juga orang miskin. Sisakan uang itu untuk kita.” Ternyata masih ada sisa 2 dinar dan diserahkan pada istrinya. Kemudian pembantunya segera kembali kepada Umar dan menceritakan apa yang dilihatnya. Amirul Mukminin merasa gembira dan berkata, ” Mereka semua bersaudara. Antara satu dan yang lain saling membantu.”


Kedua kisah tersebut di atas bukanlah kisah perorangan, tetapi sikap itu merupakan hakikat masyarakat Islam. Di dalam kisah itu mengandung gambaran yang melukiskan persaudaraan, kebiasaan hidup bergotong-royong dan meringankan satu sama lain, serta lebih mengutamakan kawan daripada dirinya sendiri. Seperti firman Allah dalam surah al-Hasyr ayat 9, ” Dan orang-orang yang telah menempati kota Madina dan telah beriman ( Anshar ) sebelum ( kedatangan ) mereka ( Muhajirin ); dan mereka mengutamakan ( orang-orang Muhajirin ) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan ( apa yang mereka berikan itu ). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Kebiasaan bergotong royong dan saling membantu meringankan, merupakan idaman dalam kehidupan bermasyarakat. Kebiasaan ini sudah terkikis sehingga kehidupan bermasyarakat lebih mementingkan dirinya sendiri. Alhamdulillah, Pada akhir-akhir ini mulai timbul gerakan untuk membantu anggota masyarakat yang lebih memerlukan, seperti ada kedai makan dengan gratis, dengan membayar seikhlasnya dan muncul gerakan sedekah jum’at berkah berupa nasi bungkus. Disamping itu adanya kesadaran dalam memenuhi kebutuhan sendiri untuk memproduksi barang-barang keperluan sehari-hari di kalangan umat Islam. Maka bersatulah dalam sektor ekonomi, agar tidak tergantung pada pihak lain. Rasa bangga, rasa cinta untuk menggunakan produk-produk dari kalangan sendiri. Kebersamaan dalam sektor ekonomi ini akan memunculkan kekuatan baru dan akan menjadikan keseimbangan yang berasa lebih adil. Selama ini kita hanyalah menjadi sasaran sebagai target pasar ( konsumen ), maka mulailah bangkit membangun ekonomi dengan niat untuk membantu pelaku ekonomi sekala mikro. Di desa dan kota, pelaku sekala mikro ini bertebaran, bersatulah laksana sapu lidi sebagai pengikat berupa mall, pasar retail virtual. Sebagai pelaku pasar retail ini tentu kontennya mendorong dan merangsang para anggotanya.

Sikap mulia lainnya adalah berlaku adil, meskipun terhadap musuh yang telah ditaklukkan. Peradilan adalah kewajiban asasi dan sunah yang harus diikuti. Dalam ajaran Islam, tiada membedakan perlakuan terhadap pihak-pihak yang berperkara. Sama ratakan pihak yang berperkara dalam majelis, dalam pandangan dan dalam keadilan. Hal ini dimaksudkan agar bagi orang-orang berkedudukan tinggi tidak membuat keadilan memperlakukan khusus dan bagi orang-orang lemah ( musuh yang takluk ) tidak putus asa. Ada kisah peradilan antara seorang Nasrani melawan Amirul Mukminan Ali bin Abu Thalib tentang baju besi. Ringkas cerita karena Amirul Mukminin tidak mempunyai bukti kepemilikan maka dimenangkan pada orang yang digugat. Orang itu mengambil baju besi sambil berkata, ” Aku mengakui bahwa ini adalah keputusan para Nabi. Amirul Mukminin mengadukanku pada Hakim, lalu dipertimbangkan dan Hakim memenangkanku. Sekarang aku bersaksi : Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba utusan-Nya. Demi Allah, baju besi ini benar kepunyaanmu, wahai Amirul Mukminin. Ia terjatuh ketika engkau dalam perjalanan menuju Shifin.” Ali berkata,” Karena engkau telah memeluk Islam, maka baju besi itu kuberikan kepadamu.”

Inilah kemuliaan sikap dan tidak mau diperlakukan khusus dalam peradilan oleh hakim. Padahal saat ini Dia sebagai pemimpin suatu negara. Sikap ini menjadikan timbulnya rasa simpati lawan peradilannya dan akhirnya mengikuti keyakinan Amirul Mukminin. Semoga kita semua dapat mencontoh sikap mulia tersebut dan menggapai keridha’an-Nya.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025

Ketua Dewan Pembina HIPSI ( Himpunan Pengusaha Santri Indonesia)

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Alasan di Balik Keistimewaan Ibadah Malam Ramadan



Jakarta

Ramadan adalah bulan suci yang penuh keberkahan dan kemuliaan, terutama di malam hari. Bahkan pada bulan Ramadan terdapat malam yang lebih mulia dari seribu bulan, yaitu lailatul qadar.

Prof Nasaruddin Umar menjelaskan, peristiwa-peristiwa penting dalam Islam pun banyak yang terjadi di malam Ramadan, seperti turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW. Kejadian penting itu terjadi di malam ke-17 bulan Ramadan.

“Pertanyaannya kenapa bukan di siang hari? Nah, itulah rahasia Allah SWT,” ujarnya dalam detikKultum detikcom pada Jumat (24/3/2023).


Waktu malam, lanjut Prof Nasaruddin Umar, dalam Islam sangatlah esensial. Terlebih, manusia dianjurkan untuk bersujud di malam hari bukan siang hari.

Allah SWT menetapkan malam hari untuk mendaki langit, sedangkan siang hari sebagai tempat menjadi khalifah yang baik. Ini disebabkan malam hari merupakan waktu yang paling baik untuk beribadah kepada Allah.

Bahkan, salat pun banyak yang disyariatkan pada malam hari, seperti waktu Maghrib, Isya, hingga Tarawih. Ini disebabkan jika salat lebih banyak dilakukan di siang hari, maka kaum muslim lebih sulit fokus.

“Coba kalau salatnya lebih banyak di siang hari, pasti jadi tidak khusyuk,” tambah Prof Nasaruddin Umar.

Allah SWT berfirman dalam surat Al Muzzammil ayat 6,

إِنَّ نَاشِئَةَ ٱلَّيْلِ هِىَ أَشَدُّ وَطْـًٔا وَأَقْوَمُ قِيلًا

Arab latin: Inna nāsyi`atal-laili hiya asyaddu waṭ`aw wa aqwamu qīlā

Artinya: “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan,”

Prof Nasaruddin Umar mencontohkan ketika waktu Dzuhur tak jarang kaum muslim sulit fokus untuk salat karena pekerjaannya, seperti melihat tumpukan map di meja. Oleh karenanya, malam hari menjadi waktu yang paling bagus untuk beribadah.

“Kapasitas manusia paling nikmat itu menjadi hamba di malam hari. Bisa basah sajadah karena air mata tobat, mengenang dosa-dosa di malam hari dan melakukan muhasabah,” paparnya.

Muhasabah pun paling baik dilakukan di malam hari, sebab ketika malam emosi kita yang aktif. Lain halnya di siang hari yang lebih banyak mengandalkan akal.

Selain itu, Prof Nasaruddin Umar juga mengimbau umat Islam untuk memanfaatkan momentum malam-malam di bulan Ramadan dengan meratapi dosa-dosa lampau.

Simak selengkapnya detikKultum Prof Nasaruddin Umar: Keutamaan Malam Suci Ramadan DI SINI.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Sukses Dunia-Akhirat dengan Menghargai Waktu



Jakarta

Waktu merupakan harta yang paling berharga bagi umat manusia dalam menjalankan kehidupannya di dunia. Orang yang bisa mengendalikan waktu akan sukses di dunia dan selamat di akhirat.

Hal tersebut diungkapkan Habib Husein Ja’far dalam detikKultum detikcom, Sabtu (25/3/2023).

Habib Ja’far menyebut, saking berharganya waktu, peradaban-peradaban besar di muka bumi memiliki semboyan atas waktu. Misalnya orang Arab jahiliyah yang kerap berperang, menyebut waktu itu seperti pedang.


Begitu halnya dalam Islam. Allah SWT kerap bersumpah atas nama waktu dalam mengawali beberapa firman-Nya. Contohnya,

وَالْفَجْرِۙ ١

Artinya: “Demi waktu fajar, (QS Al Fajr: 1)

وَالْعَصْرِۙ ١

Artinya: “Demi masa.” (QS Al Asr: 1)

“Karena pentingnya waktu, maka kemudian Allah dan Nabi Muhammad mencoba secara praktis mendidik kita agar mengendalikan waktu,” terang Habib Ja’far.

“Sebab, orang yang sukses adalah orang yang berhasil mengendalikan waktu dan orang yang gagal adalah orang yang dikendalikan oleh waktu. Sukses di dunia maupun di akhirat,” imbuhnya.

Allah SWT juga telah menentukan segala sesuatu memiliki waktunya sendiri, salah satunya salat. Sebagaimana Dia berfirman dalam surah An Nisa ayat 103,

اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

Artinya: “Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin.”

Lantas, apa hikmah di balik ketentuan Allah SWT atas waktu tersebut? Selengkapnya detikKultum Habib Ja’far: Sukses Dunia-Akhirat dengan Menghargai Waktu tonton DI SINI.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

3 Tingkatan Iman Seorang Muslim, Kamu yang Mana?



Jakarta

Iman merupakan kepercayaan bagi pemeluk agama Islam. Pengertian iman juga dijelaskan dalam sebuah hadits dari Umar bin Khatthab RA, ia berkata Rasulullah SAW didatangi oleh malaikat Jibril. Beliau bertanya kepada Rasulullah,

“Beritahukanlah kepadaku apa itu iman,” Rasulullah menjawab, “Iman itu artinya engkau beriman kepada Allah, para malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk,” (HR Muslim).

Berkaitan dengan itu, Prof Nasaruddin Umar mengungkapkan bahwa iman memiliki tiga tingkatan, yaitu Ahlul Tho’a, Ahlul Ibadah, dan Ahlullah. Lebih lanjut, ia menerangkan makna masing-masing dari tingkatan tersebut.


“Ahlul Tho’a adalah menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah namun sebatas formalitas,” ujarnya dalam detikKultum detikcom, Sabtu (25/3/2023).

Muslim yang memiliki tingkatan iman Ahlul Tho’a menjalankan ibadah secara terpaksa. Semua dilakukan hanya semata-mata takut terjerumus ke dalam neraka tanpa memaknai tiap-tiap ibadah yang dikerjakan.

Lain halnya dengan Ahlul Ibadah yang beribadah kepada Allah karena cinta. Segala sesuatu ia kerjakan karena mencintai ibadah.

“Tapi kalau meningkat lagi, ada yang disebut Ahlul Ibadah. Menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah karena cinta. Kenapa kamu berpuasa? Karena aku mencintai puasa,” lanjut Prof Nasaruddin Umar.

Naik satu tingkat lagi, yakni Ahlullah. Tingkatan iman yang paling tinggi tersebut melakukan ibadah kepada Allah karena semata-mata untuk mengharapkan keridhaan-Nya.

Lantas, apa saja ciri-ciri dan contoh nyata dari pemilik masing-masing tingkatan iman? Selengkapnya saksikan detikKultum Prof Nasaruddin Umar: Tiga Tingkatan Iman DI SINI.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Rahasiakan Kebaikanmu Seolah Itu Aibmu



Jakarta

Ramadan menjadi bulan untuk memperbanyak amal kebaikan. Termasuk, mengajarkan bagaimana sikap kita atas kebaikan yang telah kita lakukan.

Habib Ja’far mengatakan, puasa Ramadan mengajarkan kepada umat Islam untuk merahasiakan kebaikan. Puasa merupakan ibadah yang sifatnya rahasia atau sirriyah, hanya hamba tersebut dan Tuhan yang mengetahuinya.

“Intinya puasa mengajarkan kepada kita untuk rahasiakan kebaikanmu. Jangankan kebaikan, aib aja dilarang bagi kita untuk mengumbarnya apalagi kebaikan,” ujar Habib Ja’far dalam detikKultum detikcom, Minggu (26/3/2023).


“Begitu juga harta, itu bukan untuk di-flexing, tapi untuk didermakan kepada orang lain setelah kita menggunakannya untuk kebutuhan kita,” imbuhnya.

Habib Ja’far menjelaskan, kebaikan yang tidak dirahasiakan berpotensi menghanguskan pahala bahkan menjadi kecelakaan bagi pelakunya lantaran riya. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah Al Maun,

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ ٤ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ ٥ الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ ٦ وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ ࣖ ٧

Artinya: “Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu) yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberi) bantuan.” (QS Al Maun: 4-7)

Ada banyak kisah tentang bagaimana orang-orang alim merahasiakan kebaikannya. Salah satunya, seperti dicontohkan oleh Habib Ja’far, adalah cicit Rasulullah SAW yang bernama Sayyidina Ali Zainal Abidin.

Semasa hidupnya, Sayyidina Ali Zainal Abidin membagikan sedekahnya untuk orang miskin pada malam hari saat semua penerimanya tidur. Amal kebaikan Sayyidina Ali Zainal Abidin tersebut baru diketahui orang-orang ketika ia wafat.

Sebab, sejak saat itu, sedekah yang biasanya didapat pada waktu subuh sudah tidak ada lagi dan di punggung Sayyidina Ali Zainal Abidin terdapat bekas lebam akibat memikul sedekahnya untuk orang miskin di sekitarnya.

Lantas, apakah kebaikan tidak boleh diperlihatkan sama sekali? Selengkapnya detikKultum Habib Ja’far: Rahasiakan Kebaikanmu Seolah Itu Aibmu tonton DI SINI.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Jauhi Ghuluw, Sikap Berlebihan dalam Beragama



Jakarta

Berlebih-lebihan dalam beragama disebut dengan ghuluw dan dilarang oleh Islam. Allah SWT bahkan tidak menyukai tindakan tersebut.

Larangan sikap ghuluw ini tercantum dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan Ibnu Majah.

“Jauhkan diri kalian dari berlebih-lebihan (ghuluw) dalam agama. Sesungguhnya berlebih-lebihan dalam agama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian,” (HR An Nasa’i & Ibnu Majah).


Dalam Al-Qur’an pun ghuluw tersemat pada surat An Nisa ayat 71, Allah SWT berfirman:

يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ وَلَا تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ اِلَّا الْحَقَّۗ

Artinya: “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar,”

Berkaitan dengan itu, Prof Nasaruddin mengatakan bahwa beribadah yang melampaui batas akan menyiksa diri seseorang.

“Orang beribadah tapi melampaui batas, menyiksa diri,” katanya dalam detikKultum detikcom pada Minggu (25/3/2023).

Prof Nasaruddin mencontohkan sifat ghuluw yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah SAW, seperti tidak pernah makan siang karena berpuasa setiap hari, tidak pernah tidur malam karena selalu melaksanakan salat, serta tidak menggauli sang istri.

Hal tersebut tentu dilarang. Memang sudah semestinya kita memberikan yang terbaik kepada Allah SWT, namun dalam batas-batas yang wajar. Jangan sampai terjadi pemaksaan dalam beribadah hingga melampaui batas.

“Jadi mari kita beragama secara wajar,” lanjut Prof Nasaruddin Umar.

Di akhir, ia mengimbau para umat muslim untuk tidak beribadah secara berlebihan. Sebab, hal itu dapat merusak badan hingga menzalimi diri sendiri.

Selengkapnya detikKultum Prof Nasaruddin Umar: Jangan Melampaui Batas dalam Beragama DI SINI.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com