Category Archives: Dakwah

Modal Pemimpin



Jakarta

Bagi seorang pemimpin, modal awal dalam menjalankan amanahnya adalah mensyukuri nikmat. Sebagaimana dalam firman-Nya surah Ibrahim ayat 34 yang artinya, “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”

Allah SWT telah memberi kalian segala yang kalian butuhkan dan yang kalian minta berupa kenikmatan-kenikmatan yang tidak terhitung banyaknya. Sungguh manusia sangat zalim dan banyak melupakan kenikmatan-kenikmatan tersebut. Oleh sebab itu, sebagai pemimpin yang beriman bersyukurlah atas nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya. Dengan mensyukuri nikmat engkau sebagai pemimpin akan jauh dari serakah dan zalim. Ingatlah, Rasulullah SAW. bersabda, “Manusia yang paling Allah cintai dan paling dekat kepada-Nya, ialah pimpinan yang adil. Sedang yang paling Ia benci dan jauh kepada-Nya, ialah pimpinan yang culas.” (HR Tirmidzi).

Sesuai dengan hadis di atas, maka jadilah sebagai pemimpin yang adil dan engkau akan dicintai-Nya.


Dalam kontestasi biasanya para calon menyampaikan visi misi yang merupakan janji kepada rakyat. Mari kita simak firman-Nya dalam surah al-Fath ayat 10 yang artinya, “Sesungguhnya, orang-orang yang berjanji setia kepadamu sebenarnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka, barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri. Dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”

Makna ayat di atas adalah: maka barang siapa yang merusak perjanjian (janjinya) itu maka akibatnya akan kembali pada dirinya sendiri, dan barang siapa memenuhi perjanjian itu (memenuhi janjinya) maka Allah SWT akan memuliakannya dengan surga. Maka menepati janji bagi seorang pemimpin yang beriman adalah keharusan. Menepati janji merupakan sifat orang beriman. Setiap janji adalah utang, sedangkan utang harus ditunaikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang ingkar janji sama halnya dengan tidak membayar utang.

Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa salah satu tanda orang munafik adalah mengingkari janji. Ketahuilah orang yang berjanji itu tidak berdosa, akan tetapi orang yang melanggar janjinya akan dikenakan dosa besar. Maka dari itu, menepati janji hukumnya wajib. Hal ini diperkuat dengan firman-Nya dalam surah al-Isra’ ayat 34 yang artinya, “Dan sempurnakanlah (laksanakanlah) janji, karena janji itu akan ditanyakan.”

Adapun modal yang lain adalah dapat mengendalikan nafsu. Sedangkan cara yang paling efektif dan ampuh ialah dengan berpuasa, di samping dengan melakukan zikir, salat, sedekah dan sebagainya. Orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu berarti dapat memenangkan jihad al-akbar (jihad yang lebih besar). Adalah sangat berbahaya jika seorang pemimpin yang semua produk kebijakannya dilandasi hawa nafsu.

Sebagaimana dalam firman-Nya surah al-Khaf ayat 28 yang artinya, “Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari ingat kepada Allah serta menuruti hawa nafsunya. Mengikuti hawa nafsu akan menghalangi seseorang untuk berbuat adil bahkan menjadi awal kerusakan,”

Makna ayat di atas adalah: Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, sebab keengganannya mengikuti tuntunan yang Kami wahyukan serta menuruti keinginannya yang teperdaya oleh kesenangan duniawi dan keadaannya yang demikian itu sudah melewati batas. Inilah jelas sekali bahwa larangan untuk mengikuti seseorang/ hamba yang lalai dan mengutamakan hawa nafsunya. Ingatlah bahwa nafsulah yang melakukan kemaksiatan atas seruan setan. Seruan setan tidak berdampak dosa jika nafsu dikalahkan dan tidak melaksanakan seruan tersebut.

Adapun modal selanjutnya adalah Zikrul Maut (ingat mati). Banyak mengingat mati dan memikirkan apa yang bakal terjadi sesudahnya serta menyiapkan keperluan untuk menghadapinya. Maka janganlah berebut dunia dan seolah-olah ahli dunia itu kekal. Janganlah menukar yang berharga dan kekal (akhirat) dengan sesuatu yang murah dan tidak kekal (dunia). Jika hal itu terjadi laksana usaha/ bisnis itu mengalami kebangkrutan dan itu merupakan tindakan yang sia-sia. Sebagaimana hadis riwayat Athabrani: Seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, pesankan sesuatu kepadaku yang akan berguna bagiku dari sisi Allah.” Nabi SAW lalu bersabda: “Perbanyaklah mengingat kematian maka kamu akan terhibur dari (kelelahan) dunia, dan hendaklah kamu bersyukur.”

Jika seorang pemimpin yang beriman yang selalu bersyukur, bersikap adil, menepati janji, bisa mengendalikan hawa nafsu dan selalu mengingat mati, insyaallah kepemimpinannya akan membawa negeri yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Semoga Allah SWT. selalu melindungi negeri ini dari kerusakan dan memberikan hidayah pada pemimpin negeri.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Mengapa Abrahamic Religions di AS Kompak?



Jakarta

Fenomena Abrahamic Religions atau agama-agama yang lahir dari anak-anak cucu Nabi Ibrahim, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam, kelihatannya sangat kompak. Bahkan mungkin paling kompak di antara negara-negara lain. Kalau di tempat lain, Yahudi dan Islam atau Yahudi dan Kristen sering terjadi konflik bahkan perang terbuka, maka di AS penampilan ke tiga agama yang biasa disebut dengan Semitic Religions (agama-agama Semit) ini sangat akur. Ketiga agama ini sering saling mengundang satu sama lain jika ada acara khusus atau momen-momen penting. Tokoh-tokoh ketiga agama ini, tentu saja dengan tokoh-tokoh agama lain, sangat akrab satu sama lain. Secara pribadi kadang saling mengunjungi dan sering berkomunikasi lewat telpon.

Sering ditemukan satu keluarga tetapi mempunyai agama yang berbeda-beda. Ada yang beragama Yahudi, Kristen, dan Islam. Di kantor-kantor tidak sedikit karyawan bekerja dengan akrab satu sama lain tanpa risih dengan perbedaan agama yang dianutnya. Bahkan ketiga agama ini memiliki hubungan emosional (chemistry) satu sama lain. Mungkin karena mereka sebagai masyarakat yang gemar membaca, sehingga mereka tahu kalau agama-agama yang mereka anut bersumber dari satu nenek moyang yang sama yaitu Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahi melahirkan dua anak dari dua ibu yang berbeda. Isteri pertamanya bernama Siti Sarah melahirkan Nabi Ishak yang kemudian turunannya melahirkan nabi Musa yang di tangannya agama Yahudi diturunkan dengan Kitab Sucinya Taurat, dan Nabi Isa, di sana disebut Yesus Kristus, yang ditangannya lahir agama nashrani atau Kristen dengan Kitab Sucinya Injil. Dari Isteri keduanya, Sitti Hajar, lahir dari turunannya Nabi Muhammad SAW yang di tangannya lahir agama Islam dengan Kitab Sucinya Al-Qur’an. Ketiga agama ini sesungguhnya memiliki titik persamaan (encounters) lebih banyak dari pada perbedaan.

Dalam Alkitab terutama dalam Kitab Kejadian (Genesis) yang terdiri atas sekitar 5000 ayat banyak sekali mengungkap persamaan antara Al-Qur’an dan Hadis. Hanya saja terjadi perbedaan secara linguisti-semantik karena faktor jarak waktu yang yang sangat berjauhan satu sama lain. Sebagai contoh, dalam Bibel disebut Adam-Eva, Noh, Loth, Yosep, David, Salomom, Abraham, Moses, Yesus Kristus, Fir’an, Gabril, tetapi dalam Al-Qur’an dan Hadis dikenal Adam-Hawa, Nuh, Lut, Daud, Sulaiman, Ibrahim, Musa, Isa, Fir’aun, dan Jibril.


Substansi kisah-kisah di dalamnya banyak persamaannya. Bahkan seringkali ditemukan dalam kitab-kitab tafsir populer (al-mu’tabarah) seperti kitab Tafsir Al-Thabari, Tafsir Al-Qurthubi, dan kitab-kitab Tafsir lainnya mengintrodusir riwayat-riwayat Israiliyyat yang sesungguhnya berasal dari sumber-sumber tradisi Al-Kitab, khususnya dari kitab Talmud, yaitu kitab tafsirnya kitab Taurat. Kitab Talmud Babilonia lebih dari 10 jilid paling banyak berisi sumber-sumber Israiliyat. Contoh penafsiran kitab Talmud tentang kitab Kejadian (Genesis) banyak sekali persamaannya dengan riwayat-riwayat Israiliyat tentang asal-usul kejadian Adam dan Hawa. Dalam Kitab Kejadian pasal 1-23 sangat bersesuaian dengan tentang kisah penciptaan Adam dan Hawa dilam kitab-kitab Tafsir Mu’tabarah. Adam diciptakan dari tanah dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk kiri paling bawah dan bengkokdari Adam. Demikian pula drama kosmos, kisah jatuhnya Adam-Hawa dari langit kebahagiaan ke surga penderitaan, dalam kitab-kitab kuning sering kali sangat bersesuaian dengan kitab-kitab Talmud, baik Talmud Babilonia maupun talmu Palestina.

Adalah wajar secara konsepsional jika umat ketiga kelompok Abrahamic Religions ini akur satu sama lain, karena sesuangguhnya “bersepupuan”. Yang tidak wajar jika antara ketiga kelompok agama ini berkonflik, apalagi berperang satu sama lain. Pola pembinaan AS tentang antar umat beragama perlu menjadi referensi buat kita semua. Allahu a’lam.

Nasaruddin Umar
Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Penguasa



Jakarta

Menurut Plato, tanda seorang penguasa yang berjaya dan dapat mengalahkan musuh, ialah seorang raja fisiknya kuat, diamnya bermakna, pendapatnya selalu direnungkan dan dipertimbangkan dengan hati, bersikap rasional dalam pemerintahannya, hatinya mulia, dicintai rakyatnya, sayang terhadap para pegawainya, belajar dari sejarah dan konsisten terhadap agama dan keputusannya. Setiap penguasa yang memiliki sifat-sifat di atas, dan direalisasikan dalam kenyataan, ia akan berwibawa dan ditakuti oleh semua musuh, dan tak seorangpun dapat menemukan peluang untuk mengkritik dan memakinya.

Dalam kehidupan bernegara, kadangkala kebijakan yang diambil memicu kritik maupun makian. Hal ini menandakan bahwa penguasa itu belum termasuk sifat-sifat di atas. Jika kritikan tersebut dibalas dengan banyak bicara, maka peluang terjadi polemik makin membesar. Kewibawaan bukan berarti ketakutan, hal yang sangat berbeda. Kewibawaan akan tampak jika pola kepemimpinan menyerap aspirasi rakyatnya dan tidak banyak bicara. Menghargai pendapat para cerdik pandai dan sering meminta nasihat para ulama.

Jika seorang raja memandang segala daya dan upayanya bergantung pada kekuasaan Allah yang Mahakuasa, dia akan memperoleh kemenangan, kendatipun musuhnya jauh lebih kuat. Hal ini sebagaimana yang diabadikan oleh-Nya dalam surah Al-Baqarah ayat 249 yang artinya, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”


Ayat di atas merupakan kisah perang dengan pimpinan Thalut melawan pasukan Jalut. Ini kisahnya :
Ketika Thalut keluar dengan pasukannya dari Baitul Maqdis untuk berperang melawan musuh, ia berkata: “Allah akan menguji kesabaran dan ketaatan kalian dengan sebuah sungai yang akan kalian seberangi. Barangsiapa yang meminum air sungai itu maka dia bukan termasuk dari pengikutku, dan barangsiapa yang tidak meminumnya maka dia adalah pengikutku; adapun orang yang hanya meminumnya secakupan tangan, maka tidak mengapa baginya.”

Namun mereka meminum air sungai itu kecuali sebagian kecil dari mereka saja yang berjumlah 300 an orang, sesuai dengan jumlah pasukan pada perang Badar. Setelah Thalut menyeberangi sungai itu dan orang yang tersisa bersamanya hanya sedikit sedangkan musuh mereka berjumlah besar, sebagian mereka berkata: “Kita tidak akan mampu mengalahkan Jalut yang kejam yang memiliki pasukan besar.”

Dan sebagian orang-orang yang beriman dengan firman Allah SWT. menjawab kekhawatiran mereka: “Betapa banyak pasukan kecil yang sabar dapat mengalahkan pasukan besar dengan izin Allah. Allah Bersama orang-orang yang sabar dengan pertolongan dan taufik-Nya.

Al-Barra’ berkata: “Para sahabat Nabi yang mengikuti perang Badar berkata kepadaku, bahwa jumlah mereka sesuai dengan jumlah pasukan Thalut yang dapat menyeberangi sungai, yaitu 300 sekian orang.” Al-Barra’ melanjutkan: “Demi Allah, tidaklah pasukan yang dapat menyeberangi sungai dengan Thalut kecuali orang-orang yang mukmin.”

Hasan Basri berkata, “Setiap raja yang menghormati urusan agama? Ia akan tampak wibawa dan agung di mata rakyatnya. Barangsiapa mengenal Allah, manusia kenal karenanya dan mereka pun terdorong menjadi medium pengenalan-Nya.” Hal ini seperti yang dikatakan seorang penyair sebagai berikut :

Barangsiapa mengenal Allah dan asma-Nya,
Maka setiap orang akan terpengaruh oleh pengenalan-Nya
Berbahagialah orang yang dapat mengenal Allah,
Sebagai pengetahuan yang mula-mula digapainya

Mengenal Allah SWT itu berarti seseorang itu beriman, jika raja atau pemimpin suatu negeri termasuk orang yang beriman maka seluruh tindakannya tidak akan menyimpang dari ketentuan ajaran agamanya.

Mu’awiyah bertanya kepada Ahnaf ibn Qais, “Hai Abu Yahya, bagaimana situasi masa kini?”
Jawabnya, “Zaman adalah engkau. Jika engkau baik, zaman pun baik, dan jika engkau rusak, zaman pun rusak.” Ahnaf melanjutkan, “Sesungguhnya dunia menjadi maju karena keadilan, dan ia bisa hancur karena tindak kezaliman. Sebab cahaya keadilan itu terang, dan sinarnya dapat menjangkau jarak seribu farsakh. Sedang gelapnya aniaya dapat menggumpal dan menyelimuti perjalanan seribu farsakh.”

Yang terpenting bagi penguasa adalah menerapkan keadilan dan bersikap sabar dalam menghadapi persoalan. Adil itu dirasakan bukan diucapkan, maka penguasa yang adil itu telah dirasakan oleh rakyatnya. Oleh sebab itu raja yang ingin jaya dalam pemerintahannya sangatlah berbeda dengan raja yang ingin memerintah seterusnya. Kejayaan kepemimpinan itu telah dibahas dalam tulisan ini di depan, sedangkan kepemimpinan yang terus menerus tidaklah diajarkan dalam Islam. Kepemimpinan itu dipergilirkan, seorang pemimpin ada masanya ( waktunya ).

Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada para penguasa agar dapat menunaikan amanah yang diberikan rakyatnya.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(erd/hnh)



Sumber : www.detik.com

Fenomena Mark A.Gabril dan AS



Jakarta

Tentu saja ada sekelompok orang yang tidak senang melihat Islam berkembang di AS. Mereka selalu mem-blow-up setiap kasus yang menjelekkan Islam, termasuk dalam tahun 2000-an karya-karya murtad Ibn Warraq (nama samaran) yang pindah ke agama Keristen (atau ateis?) memublikasikan banyak buku yang menohok keaslian Kitab Suci Al-Qur’an. Akan tetapi provokasinya menjadi absurd setelah karya-kaya kemukjizanan Al-Qur’an bermunculan di AS yang ditulis oleh orang-orang Barat sendiri yang tadinya non-muslim menjadi muslim. Banyak orang yang tadinya membenci Islam dan menyerang kitab suci Al-Qur’an kemudian berubah pikiran. Di antaranya ialah Garry Wills, mantan pendukung berat Presiden Donald Trump, menulis sebuah buku yang mengejutkan dan kini menjadi penyandang The New York Times Bestselling. Buku itu ialah What the Qur’an Meant and It Matters. Tadinya begitu negative pandangannya terhadap Al-Qur’an tetapi setelah membaca secara keseluruhan Al-Qur’an maka lahirlah buku ini yang begitu kuat simpatinya terhadap kandungan isi Al-Qur’an.

Jika Allah SWT akan memberi hidayah kepada hamba-Nya maka sekeras apapun anti keislaman Umar ibn Khattab, yang pernah berencana membunuh Nabi Muhammad Saw tiba-tiba menjadi pembela setia ajaran Islam. Sebaliknya jika Allah SWT membutakan hati seseorang, sekalipun dari TK sampai DR dan Gurubesar di Universitas Al-Azhar tetap saja tergelincir, seperti yang menimpa Mark A.Gabriel, yang sekarang menjadi fenomenal di AS. Ia lahir sebagai muslim dari keluarga fanatik, mengecap pendidikannya sejak taman kanak-kanak sampai ke jenjang S3 Fakultas Adab di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Ia sempat menjadi profesor Sejarah Peradaban Islam di Universitas terkemuka ini. Ia termasuk pemikir muda yang moderat.

Suatu saat ia diculik kelompok garis keras dan ditahan di tahanan bawah tanah di Mesir. Ia disiksa dengan berbagai macam siksaan, termasuk kukunya dicopot satu persatu. Ia dianggap sebagai kelompok liberal dan antek Barat. Suatu ketika ia berhasil lolos di malam hari dan kembali ke rumahnya. Bukannya mendapat sambutan dari ayahnya, ia pun didamprak oleh ayahnya dan diusir karena pikirannya dianggap terlalu “maju”. Ibunya memberi kunci mobil dengan uang seadanya agar lari sejauh-jauhnya. Ia pun menancap gas tanpa tujuan dan tidak terasa memasuki jalur lintas Afrika. Terakhir ia terdampar di salah satu kota di Afrika Selatan. Di sana ia berkenalan dengan seorang pendeta Kristen dan di sana ia memutuskan untuk pindah. Entah bagaimana caranya akhirnya ia sampai ke AS dan di sana ada sekelompok orang memberi peluang untuk menulis dan berbicara di berbagai forum, meskipun kalangan intelektual AS tidak langsung merespon positif mental-kepribadian orang seperti Max Gabrill, karena masih sangat labil.


Ia menulis buku yang pernah menjadi The Best seller di AS dengan judul: “Islam and Terrorism” diterbitkan oleh Charisma House A Srang Company (2002). Kesimpulan dalam buku itu ialah Islam berada di balik terorisme, bukan orang Islam. Teroris muslim hanyalah korban dari agamanya yang menganjurkan terorisme. Di antara pokok-pokok pikiran Mark dalam buku ini antara lain: Surat al-Qital (Muhammad) sebagai Legitimator Perang. Surah ini seperti genderang perang untuk kaum kafir. Ia juga menilai Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad untuk lebih memprioritaskan membunuh musuh ketimbang menjadikannya tawanan perang.

Hal demikian tersebut dalam Q.S. al-Anfal [8]: 67. Ia tidak mau tahu kalau ayat-ayat itu memiliki sabab nuzul tersendiri. Pandangan Mark ini sangat berlebihan karena doktrin jihad dalam al-Qur’an tidak pernah bersifat pre emptive, mendahului dalam memerangi. Fakta sejarah membuktikan bahwa masyarakat Islam di Madinah tetap bersahabat dengan pemeluk agama lain dari kalangan Yahudi dan Kristen. Sungguh tidak berdasar jika menyebut al-Qur’an memusuhi ahl al-kitab. Bukankah al-Qur’an juga menceritakan bahwa di antara ahl al-kitab tersebut terdapat orang yang dapat diamanati harta yang banyak, akan menjaga keutuhannya hingga dikembalikan kepada pemiliknya (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 75). Konon Mark Gabrill saat ini sedang bingung dengan keputusannya sendiri dan banyak menutup diri.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Sahabat



Jakarta

Syekh Abu Abbas al-Mursi berkata, “Seorang Arif ( yang bijaksana ) tidak memiliki dunia karena dunianya untuk akhirat dan akhiratnya untuk Tuhannya.”

Seperti itulah para sahabat Rasulullah SAW. generasi salaf dan orang-orang shalih. Setiap mereka memperoleh dunia yang diupayakan akan digunakan untuk memdekatkan diri kepada Allah SWT. dan dijadikan jalan untuk meraih ridha-Nya. Mereka tetap berikhtiar tidak untuk menikmati perhiasan dunia dan kelezatannya, namun mereka gunakan untuk ta’at dan mendekatkan diri pada-Nya.

Seperti yang digambarkan di atas tercermin dalam firman-Nya :


1. Surah al-Fath ayat 29 yang artinya, “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud.” Dalam ayat ini Dia adalah Dzat yang melihat rahasia-rahasia terdalam mereka dan mengetahui rahasia mereka yang tersembunyi dan nyata. Bahwa mereka tidak mengejar dunia dalam hal yang mereka kerjakan kecuali semata-mata demi keridhaan dan kemurahan-Nya. Ingatlah bahwa dunia itu sangatlah gemerlap dan menarik, seseorang bisa lupa diri dan berbohong demi dunia, bisa bernafsu meraih dengan cara apa pun juga demi dunia.

2. Surah an-Nur ayat 36-37 yang artinya, “( Cahaya itu ) di rumah-rumah yang disana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih ( menyucikan ) nama-Nya pada waktu pagi dan petang, orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang ( hari Kiamat ). Dalam ayat ini menjelaskan bahwa Cahaya ini bersinar di masjid-masjid. Allah SWT. memerintahkan agar mengagungkan bangunan, penjagaan, dan pemakmurannya bagi orang-orang yang shalat; di dalamnya disebutkan nama Allah dengan azan, bacaan al-Qur’an, dan zikir-zikir berupa tasbih dan tahmid pada pagi dan sore hari yang memenuhi timbangan amal. Dan termasuk orang yang tidak dilalaikan karena perniagaan dari mengingat-Nya.

3. Surah al-Ahzab ayat 23 yang artinya, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah : maka diantara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada ( pula ) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah ( janjinya ).” Sekelompok orang-orang inilah yang dipilih-Nya untuk menemani Rasulullah SAW. dan menjadi objek bicara beliau saat wahyu diturunkan. Berkat mereka ( para sahabat ) hukum-hukum dan syariat dari Rasulullah SAW. sampai kepada kita. Itulah jasa-jasa mereka dan kita sejatinya beruntung dan berutang pada mereka. Oleh sebab itu, bayarlah utang itu dengan meneladani sikap para sahabat tersebut.

Maka sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah SAW. dalam sabdanya, “Para sahabatku seperti bintang-bintang, kepada siapa pun di antara mereka kalian ikut, kalian akan mendapatkan petunjuk.”
Mengikuti mereka ( sahabat ) tidaklah ada kerugian maupun kesia-sia-an justru akan memperoleh petunjuk. Sebagaimana dalam firman-Nya surah al-Kahfi ayat 28 yang artinya, “Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.

Mereka bersabar dan menunggu-nunggu dan tidak mengubah janjinya pada Allah SWT. untuk tetap ta’at dan berharap keridhaan-Nya. Dalam ajaran Islam tidak ada larangan dalam perniagaan dan jual beli, namun dalam pelaksanaannya tidaklah melupakan untuk selalu mengingat-Nya. Dalam pengelolaan perniagaan itu layaknya orang-orang berakal. Perintah berdagang sebenarnya tersirat dari firman-Nya dalam surah al-Anbiya’ ayat 73 yang artinya, “Melaksanakan shalat dan menunaikkan zakat, hanya kepada Kami mereka menyembah.”

Dalam ayat diatas ada kalimat menunaikan zakat, mewajibkan zakat kepada mereka ( para sahabat ) tentulah sebagian mereka adalah orang yang kaya. Kekayaan mereka tidak mengeluarkan mereka memperoleh pujian Allah SWT, jika mereka tetap menunaikan hak-hak-Nya.

Abdullah bin Utbah menceritakan para sahabat meninggalkan harta kekayaannya seperti :
1. Utsman bin Affan, ia memiliki tabungan 150.000 dinar, dan 1.000.000 dirham, tanah di daerah Sarawis, Khaibar, dan Wadi al-Qura yang nilainya setara dengan 200.000 dinar.
2. Zubair bin Awwam, ia meninggalkan 50.000 dinar, 1.000 ekor kuda dan seribu budak.
3. Amr bin Ash, ia meninggalkan harta warisan sebanyak 300.000 dinar.
4. Para sahabat lainnya termasuk Abdurrahman bin Auff dan lainnya.

Artinya ajaran ini tidak melarang orang menjadi kaya, meski tidak lalai terhadap hak-hak Tuhannya. Para sahabat yang kaya ini menjadikan harta bukan tujuan akhir, mereka menjadikan wasilah untuk tetap berada pada jalan-Nya. Sebagaimana yang diceritakan oleh Syekh Abu Hasan ady-Syafdzili berkata, “Aku bertemu dengan Abu Bakar ash-Shiddiq di dalam tidurku. Dia berkata, ‘Apakah kamu tahu tanda-tanda keluarnya cinta dunia dari hati?’ Aku menjawab, ‘Tidak tahu.’ Lalu beliau berkata, ‘Tanda-tanda keluarnya cinta dunia dari hati adalah munculnya perasaan hina ketika mendapatkan dunia dan ada perasaan tenang ketika kehilangan dunia.”

Semoga Allah memberikan cahaya-Nya agar kita bisa mengikuti jejak para sahabat Rasulullah SAW. tetap berikhtiar dengan mengisi kehidupan dunia dan tidak lalai menunaikkan hak-hak Allah SWT.

Aunur Rofiq
Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

6 Syarat Khutbah Jumat Menurut 4 Imam Mazhab


Jakarta

Salat Jumat merupakan ibadah wajib bagi kaum muslim laki-laki yang telah baligh, berakal, dan merdeka. Selain salat, khutbah menjadi bagian penting dalam ibadah Jumat.

Di dalamnya, terdapat pesan-pesan ilahi yang disampaikan oleh khatib untuk menuntun umat muslim agar senantiasa berjalan di jalan yang benar. Namun, untuk menyampaikan pesan dengan sempurna, khatib perlu memperhatikan beberapa syarat khutbah Jumat.

6 Syarat Khutbah Jumat

Terdapat beberapa syarat yang perlu dipenuhi untuk melaksanakan khutbah Jumat. Dikutip dari buku Dialog Lintas Mazhab oleh Asmaji Muchtar, berikut ini adalah syarat khutbah jumat menurut berbagai mazhab.


1. Dilakukan sebelum Salat Jumat

Sebab apabila diakhirkan maka ibadah Jumat tidak dihitung menurut mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali. Menurut Mazhab Maliki, jika khutbah diakhirkan cukup salat Jumat yang diulangi.

Khutbah tersebut dihukumi sah dan tidak perlu diulang dengan syarat salat Jumat diulangi sebelum keluar dari masjid tanpa ditunda. Jika tidak demikian, khutbah harus diulang.

2. Berniat Khutbah

Apabila khutbah tanpa niat maka tidak dihitung menurut mazhab Hanafi dan Hanbali. Di sisi lain, Mazhab Syafi’i dan Maliki mengatakan bahwa niat bukan syarat sahnya khutbah Jumat.

Hanya saja, ulama Syafi’iyah mensyaratkan agar khatib tidak menyimpang dari khutbah.

3. Disampaikan Bahasa Arab

Syarat ini menjadi salah satu syarat khutbah yang diperselisihkan. Menurut mazhab Hanafi, khutbah boleh disampaikan dalam bahasa selain Arab, baik yang mendengarkan khutbah adalah orang Arab maupun bukan.

Adapun menurut mazhab Hanbali, tidak sah khutbah selain bahasa Arab bagi orang yang mampu berbahasa Arab.

Namun jika tidak mampu, boleh menggunakan bahasa selain Arab yang dikuasai selama ayat yang termasuk rukun khutbah harus diucapkan dalam bahasa Arab.

Menurut mazhab Syafi’i, rukun khutbah harus diucapkan dengan bahasa Arab.

Apabila menggunakan selain bahasa Arab, menurutnya tidak cukup, terlebih jika bahasa tersebut memungkinkan untuk dipelajari. Jika tidak memungkinkan, khutbah dilakukan dengan selain bahasa Arab.

Hal ini berlaku jika khutbah diperdengarkan untuk bangsa Arab, tetapi jika jemaahnya tidak berbangsa Arab, maka tidak disyaratkan membaca rukun khutbah dengan bahasa Arab, kecuali ayat Al-Qur’an.

Mazhab Maliki mengatakan, khutbah harus dengan bahasa Arab walaupun diperdengarkan kepada warga yang bukan berbangsa Arab. Jika tidak ada yang mampu berkhutbah dengan bahasa Arab, kewajiban salat Jumat menjadi gugur.

4. Disampaikan pada Waktunya

Waktunya pelaksanaannya adalah waktu Zuhur. Jika khatib berkhutbah sebelum waktunya dan melaksanakan salat Jumat pada waktunya, hukumnya tidak sah. Seluruh imam mazhab bersepakat akan hal ini.

5. Mengeraskan Suara

Mazhab Hanafi mengatakan disyariatkan membaca khutbah dengan keras sehingga orang yang hadir dapat mendengarnya, jika tidak ada penghalang. Akan tetapi, apabila terdapat penghalang, misalnya karena tuli atau jauh maka mendengarnya tidak disyaratkan.

Menurut mazhab Syafi’i, disyaratkan membaca rukun khutbah dengan keras sehingga dapat didengar empat puluh orang yang menjadikan sahnya salat Jumat.

Menurut mazhab Hanbali, disyaratkan membaca khutbah dengan keras sekiranya orang-orang wajib melakukan salat Jumat mendengar rukun-rukunnya, ketika tidak ada penghalang.

Mazhab Maliki mengatakan, termasuk syarat khutbah adalah membaca dengan keras, sebab apabila dibaca perlahan maka tidak dihitung. Para hadirin tidak disyaratkan untuk mendengar, meskipun hal ini diwajibkan atas mereka.

6. Tidak Memisah Khutbah dan Salat Terlalu Lama

Mazhab Syafi’i mengatakan, disyaratkan adalah muwalah (berturut-turut) antara rukun khutbah dan antara khutbah dengan salat Jumat.

Muwalah terjadi apabila waktu yang memisahkan hal-hal di atas tidak cukup untuk melakukan salat dua rakaat dengan melakukan rukun salat saja. Jika cukup untuk itu atau lebih maka khutbah batal, kecuali waktu yang lebih digunakan untuk memberi nasihat.

Mazhab Maliki mengatakan, disyaratkan menyambung dua khutbah dengan salat dan menyambung satu khutbah dengan khutbah lainnya. Sementara itu, waktu sedikit yang memisahkan keduanya menurut ‘urf dimaafkan.

Menurut Mazhab Hanafi, disyaratkan tidak memisah antar dua khutbah dan salat dengan pemisah yang tidak memiliki hubungan sama sekali, seperti makan. Adapun pemisah yang memiliki hubungan, seperti mengqadha salat dan memulai salat sunah di antara keduanya, tidak membatalkan khutbah, meskipun yang lebih utama adalah mengulanginya.

Menurut Mazhab Hanbali, khutbah sah bila disyaratkan adanya muwalah antara bagian-bagiannya dan antara khutbah dan salat. Muwalah adalah tidak adanya waktu lama yang memisahkan keduanya menurut ‘urf.

Wallahu a’lam.

(hnh/rah)



Sumber : www.detik.com

Khutbah Idul Adha 2024 tentang Kurban dan Kisah Nabi Ibrahim


Jakarta

Khutbah Idul Adha termasuk rangkaian salat Id. Berikut contoh naskah khutbah yang bisa disampaikan oleh khatib.

Dijelaskan dalam buku Fikih karya Yusak Burhanudin dan Muhammad Najib, khutbah Idul Adha disampaikan setelah salat Id. Dalam buku-buku fikih disebutkan, khutbah tidak wajib tapi mengerjakannya akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Berikut contoh khutbah Idul Adha mengenai kurban dan kisah Nabi Ibrahim AS yang dikutip dari buku Kumpulan Naskah Khutbah Idul Fitri & Idul Adha terbitan Kemenag RI.


Contoh Khutbah Idul Adha

Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. Salawat dan salam semoga tercurahkan keharibaan Rasulullah SAW, para sahabat dan keluarganya, serta umat Islam generasi penerus yang mampu melanjutkan nilai-nilai pengorbanan.

Hari ini kita merayakan ldul Adha. Kita diajak untuk menyertai secara kejiwaan peristiwa haji di Tanah Suci dengan menyembelih hewan kurban di Tanah Air. Berkurban bukan semata-mata dituntut untuk membahagiakan fakir miskin dengan daging yang dibagi-bagikan, tetapi hendaknya kita mampu mengambil ‘ibroh tentang makna dan manifestasi nilai pengorbanan dalam kehidupan personal dan komunal.

Berkumpulnya kita di tempat ini pada hakikatnya untuk mengenang peristiwa yang bersejarah, yakni ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim AS untuk melakukan penyembelihan terhadap putra kesayangannya, Nabi Ismail AS. Peristiwa ini menakjubkan dan penuh dengan hikmah sehingga patut menjadi teladan sepanjang masa, karena perintah Allah SWT ini tergolong aneh, sulit diterima akal sehat.

Paling tidak, terdapat empat hikmah dari ajaran kurban.

Pertama, ibadah kurban menegakkan ibadah tertua, seiring dengan perjalanan hidup manusia yaitu dari era Nabi Adam AS kemudian berlanjut pada masa Nabi Ibrahim AS dan diteladani oleh Rasullah SAW sampai kiamat tiba.

Kedua, ibadah kurban menegakkan ujian iman. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 124.

وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْ

Artinya: “(Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, ‘Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.’ Dia (Ibrahim) berkata, ‘(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.’ Allah berfirman, ‘(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim’.”

Ujian yang dilalui Nabi Ibrahim AS berawal dari kediktatoran penguasa pada era itu, Raja Namrud. Kemudian pertentangan akidah dengan ayahnya yang musyrik, membersihkan Ka’bah dari berhala, dan ujian yang paling berat adalah ketika diperintah Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail AS.

Ketiga, ibadah kurban pada hakikatnya mengandung dua dimensi nilai, yaitu nilai ilahiyah dan nilai insaniyah. Nilai ilahiyah atau bukti ketundukan kepada Allah SWT dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Hajj ayat 37.

لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya: “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin.”

Adapun nilai insaniyah atau bukti kemesraan dengan sesama manusia ditegaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Hajj ayat 36.

وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِّنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَاۤفَّۚ فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya: “Unta-unta itu Kami jadikan untukmu sebagai bagian dari syiar agama Allah. Bagimu terdapat kebaikan padanya. Maka, sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya, sedangkan unta itu) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Lalu, apabila telah rebah (mati), makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta. Demikianlah Kami telah menundukkannya (unta-unta itu) untukmu agar kamu bersyukur.”

Keempat, ibadah kurban menghadapkan kita pada dua pilihan, apakah mau berkorban atau jadi korban. Ketika kita memilih pada pilihan cerdas yaitu mau berkorban berarti kita harus istiqamah pada pendirian kita. Pilihan cerdas dan tegas itu akan membawa tiga konsekuensi,

Pertama, akidah tak kenal toleransi. Hal ini dikisahkan dalam Al-Qur’an surah Maryam ayat 45-48, yaitu dialog antara Nabi Ibrahim AS dengan ayahnya yang berujung dengan pengusiran Nabi Ibrahim AS dari rumah orang tuanya.

Kedua, pentingnya pembinaan generasi. Nabi Ibrahim AS adalah sosok orang tua teladan yang melahirkan generasi sukses. Istri keduanya, Siti Hajar melahirkan Ismail sebagai generasi Bani Ismail yang berakhir kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun istri pertamanya, Siti Sarah melahirkan lshaq sebagai generasi Bani lsrail yang berakhir kepada Nabi lsa AS.

Ketiga, hidup yang dihadapi penuh dengan pengorbanan, di antaranya pengorbanan materi yang mampu menumbuh suburkan akidah, pengorbanan perasaan agar terlepas dari perpecahan, dan pengorbanan jiwa agar mampu mewariskan kebaikan kepada generasi penerus.

Dari uraian tentang hikmah ajaran kurban di atas seyogyanya kita mampu memanifestasikan nilai-nilai pengorbanan itu dalam kehidupan kita. Andaikan saja dalam sebuah keluarga, ada ayah yang serupa dengan Ibrahim, ibu yang mirip dengan Siti Hajar dan Siti Sarah, serta anak-anak yang menyerupai Ismail dan lshaq. Niscaya keluarga itu adalah keluarga yang didambakan yang apabila berkembang menjadi komunitas yang lebih luas, bagaikan menjadi suatu bangsa, dapat dipastikan bangsa hebat itu mampu mengatasi krisis multi dimensi.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Raudah Dirindu, Raudah Jangan Keliru!



Jakarta

Raudah, nama yang sangat populer bagi jemaah calon umrah, calon haji. Berjuang untuk masuk ke Raudah, bukan hanya bagi para jemaah yang sudah di Madinah. Bahkan para calon jemaah umrah atau haji sudah menanyakannya sejak masih di tanah air.

Raudah adalah lokasi antara maqburah Nabiy dan mimbar Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masuk dan berdoa di sini merupakan program ‘wajib’ bagi jemaah calon umrah atau haji.

Pada era ini, masuk ke Raudah memiliki jadual khusus. Kalau jadwal laki dan perempuan berbeda, itu sudah dari dulu. Tapi setelah Covid-19 kemarin, jemaah harus antri, sesuai jadwal yang diberikan oleh pemerintah.

Bahkan, sejak tahun 2023 akhir, jemaah hanya dibolehkan masuk ke Raudah sekali dalam setahun. Jadi, jika ada jemaah berhaji, atau berumrah setahun lebih sekali maka, dia hanya diijinkan ke Raudah lagi setahun setelah masuk Raudah yang sebelumnya.


Hakikat Raudah

Mengapa jemaah begitu antusias masuk, shalat, berdoa bahkan menangis lama di Raudah? Tempat ini setidaknya diyakini sangat makbul. Tempat segala pinta mendekati 100% diterima. Atau, sebagian karena merasa bisa lebih dekat dengan posisi Rasulullah berada. Juga merupakan lokasi di mana Rasulullah berlalu lalang dari rumah Beliau ke mimbar, tempat Beliau menjadi imam para sahabat untuk melakukan salat jemaah lima waktu.

Lokasi demikian sangatlah wajar jika diyakini sebagai lokasi yang sangat berkah. Antara lain karena di sanalah bekas jejak kaki Rasulullah yang penuh berkah berulang-ulang melintas. Persoalannya adalah, apakah setiap jemaah yang masuk ke Raudah selalu menghasilkan keberkahan itu? Atau, apakah yang tidak mampu, dengan segala alasannya, masuk ke Raudah adalah mereka yang ‘pasti’ tidak mampu menerima berkah itu?

Sebentar dulu, kita pahami makna berkah. Ia merupakan kata yang setidaknya memiliki makna kemanfaatan yang luas. Semakin berkah semakin luas manfaat yang dihasilkan.

Nah, terkait dengan keberkahan yang dihasilkan, kepada para jemaah yang berhasil masuk Raudah pantas diberikan pertanyaan. Apakah setelah masuk ke Raudah mereka menjadi lebih baik? Lebih baik bermakna antara lain jika kebaikan itu terkait dengan salat, maka boleh jadi salatnya makin khusyu. Sebelumnya jarang salat berjemaah ke masjid setelah dari Raudah semakin rajin. Jika dulunya masih kurang dermawan setelah dari Raudah jauh lebih tajir. Jika sebelumnya kurang mudah menahan emosi setelah dari Raudah lebih sabar, dan seterusnya.

Lalu, bagaimana jika semua kebaikan, kesempurnaan akhlak ini justru digapai oleh orang yang belum berhasil ke Raudah? Apakah pantas mereka disebut kehilangan berkah Raudah?

Kalau dilihat dari hasilnya: siapa pun, entah ke Raudah atau belum, jika akhlaknya semakin mulia maka dialah yang memperoleh berkahnya ibadah. Walau belum berhasil ke Raudah. Sedangkan mereka yang berhasil ke Raudah tetapi belum mampu membuat akhlaknya semakin sempurna, sebaiknya istighfar. Mengapa? Karena bagaimana bisa, tempat yang berkahnya sangat luar biasa belum mampu mengganti akhlaknya yang kurang baik menjadi lebih sempurna?

Jadi ayo kita berpacu bisa ke Raudah. Namun jangan lupa, perubahan menuju akhlak yang lebih mulia merupakan tujuan utama yang harus digapai melalui ibadah apa pun. Termasuk ke Raudah!

Abdurachman
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, pemerhati spiritual medis dan penasihat beberapa masjid di Jawa Timur.
Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Red)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Dua Rakaat Sebelum Subuh, untuk Apa?



Jakarta

“Dua rakaat sebelum salat subuh itu lebih baik daripada dunia dan segala isinya.” (HR Muslim). Demikian sabda Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beberapa persepsi muncul menanggapi maksud hadits ini. Sebagian besar menduga bahwa dua rakaat sebelum subuh akan mengantar pelakunya untuk menggapai harta yang banyak, uang yang melimpah, kekayaan tak berbatas, bahkan termasuk jabatan yang super tinggi.

Mereka memahami hadits ini secara sepintas. Sementara beberapa muballigh, menyampaikan bahwa hadits ini mengingatkan kita, jika besok di akhirat dua rakaat sebelum subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya. Terutama sujud pada dua rakaat sebelum subuh.


Ada segolongan lain ragu, belum sependapat dengan pemahaman yang pertama. Golongan ini menyadari bahwa secara obyektif manusia memang fitrahnya diciptakan bersifat kikir.

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir” (al Ma’aarij 70:19). Bahkan “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya. Dan adalah manusia itu sangat kikir” (al Isra’ 17:100).

Di samping itu bagi manusia, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik” (al Imran 3:14).
.
Mereka, golongan ini, menyadari bahwa orang-orang yang sesuai dengan ayat-ayat di atas memiliki harapan kepemilikan besar akan dunia. Harapan itu antara lain mereka upayakan melalui pengamalan dua rakaat sebelum subuh. Oleh karenanya, orang-orang yang memiliki pemahaman demikian memandang hadits di atas sebagaimana yang tertulis.

Segolongan muballigh melihat bukti di kehidupan nyata. Mereka melihat bahwa para beliau yang istiqamah mengamalkan dua rakaat sebelum subuh jarang yang hidup bergelimang harta. Hidup memiliki pangkat yang tinggi dan yang lainnya. Oleh karenanya golongan kedua ini menghindar dari pandangan sebelumnya. Mereka menyampaikan bahwa keutamaan dua rakaat sebelum subuh, pada nilai kemuliaannya di akhirat.

Dari sisi pandang ini, mereka mengajukan alasan antara lain, bahwa sujudnya saja pada dua rakaat sebelum subuh di akhirat bernilai sangat tinggi.

Pendapat ini menimbulkan pertanyaan. Jika sujud dijadikan alasan nilai sunnah ini melebihi dunia dan seisinya, bukankah sujud-sujud di salat fardlu adalah lebih utama? Lalu mengapa hadits ini menghkhususkan sujud di dua rakaat sebelum subuh? Lagi pula, jika dampak dua rakaat sebelum subuh menunggu nanti di akhirat lalu keutamaannya sekarang di dunia apa? Sedangkan semua orang yang sekarang mengerjakan sunnah itu, mereka sedang hidup, perlu memperoleh buktinya secara nyata. Salat apa pun, yang dilakukan pada saat manusia hidup di dunia wajib menunjukkan dampak positif di dunia ini, sekarang!

Dari sini ada golongan yang melihat dari sisi pandang lain. Bahwa siapa pun yang istiqamah dalam mengamalkan dua rakaat sebelum subuh, memiliki nilai jiwa yang tinggi. Mereka melihat bahwa dua rakaat sebelum shubuhnya saja sangat berharga apalagi shalat subuhnya.

Padahal untuk bangun subuh saja, belum mudah bagi sebagian besar orang. Apalagi untuk bisa melakukan dua rakaat sebelum subuh, orang pasti harus bangun jauh sebelum shubuh tiba. Mereka siap menjemput subuh melalui dua rakaat salat sunnah. Ini menjadi pertanda jelas kekuatan iman seseorang. Bukankah tidak mudah untuk melakukan persiapan dan pelaksanaan salat shubuh apalagi sunnah sebelum subuh?

Nabi bersabda, “Salat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah salat isya dan salat subuh” (Muttafaq ‘alaih).

Sedangkan sifat munafik, berbanding terbalik dengan sifat iman. Semakin mudah seseorang menegakkan salat subuh, terlebih dua rakaat sebelum subuh, imannya semakin berkualitas. Iman yang tinggi tak akan mudah goyah dengan cobaan apa pun. Bahkan seluruh cobaan yang melebihi nilai dunia dan seluruh isinya.

Dari sisi pandang ini jelas bahwa, dua rakaat sebelum subuh memang lebih baik dari dunia dan seisinya. Bahwa bagi orang-orang yang imannya kuat, antara lain ditandai dengan istiqamah melaksanakan sunnah dua rakaat sebelum subuh, segala cobaan yang bernilai melebihi seluruh dunia dan seisinya sekalipun, tak mampu mengoyangkan imannya. Iman kepada Allah dan hari akhir.

Nabi juga bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika salatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika salatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi”. Salat menjadi indikator kualitas kebaikan seseorang.

Salat dan amal perbuatan saling berkaitan. Amal-amal yang baik mengantar para pelakunya mampu salat khusyu. Sedangkan salat yang dilakukan dengan khusyu mengantar pelakunya berperilaku baik (al Ankabut 29:45). “…Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar…”.
“Barangsiapa yang salatnya tidak mampu mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar maka tidak ada salat baginya” (al Hadits).

Jika demikian maka, dua rakaat sebelum subuh, merupakan indikator kualitas kebaikan seseorang. Sehingga godaan senilai dunia dan seisinya tak akan mampu menggoyang nilai keimanannya.

Kualitas tinggi dari kebaikan seseorang sangat penting terutama bagi pemimpin. Alasannya, karena mereka adalah panutan para yang dipimpin. Pemimpin negara menjadi panutan bagi rakyatnya.

Mereka yang dimaksud para pemimpin antara lain adalah: presiden, gubernur, bupati sampai pada siapa pun yang mengemban amanah sebagai pemimpin. Termasuk pemimpin rumah tangga.

Manusia yang memiliki kualitas sangat baik sangat diperlukan untuk dijadikan para wakil rakyat. Merekalah yang antara lain bertugas merancang dan mengesahkan peraturan perundangan. Peraturan yang akan mengikat tata kehidupan rakyat dan negara.

Siapa pun yang dua rakaat sebelum subuhnya hebat, insyaAllah tidak akan pernah: memanipulasi jabatan, korupsi, nepotisme, kolusi dan yang lain.
Salat harus dijadikan indikator penting dalam memilih personil penegak hukum.

Mereka tidak boleh terpengaruh oleh sebesar apa pun nilai duniawi. Terutama di dalam memberikan keputusan yang adil. Semoga kita mampu menjadikan setiap diri kita sebagai manusia-manusia yang sangat berkualitas baik. Ini antara lain bisa diupayakan melalui istiqamah mengamalkan dua rakaat sunnah sebelum salat subuh!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan menjadi penasihat beberapa masjid di Surabaya.

Artikel ini adalah tulisan pembaca detik.com. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab pengirim. (Terimakasih – Red)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Ada Khutbah dan Dakwah, Ini Perbedaannya Menurut Syariat Islam


Jakarta

Timbul pertanyaan mengenai perbedaan khutbah dan dakwah menurut syariat Islam. Padahal dakwah sebagai syiar adalah perintah Rasulullah SAW untuk menyebarkan agama Islam. Jika kita tidak bisa menjadi penceramah, kita dapat berdakwah dengan menunjukkan nilai-nilai islami yang baik.

Perintah untuk berdakwah disampaikan oleh Allah SWT langsung melalui firmannya surah Al-Nahl ayat 125:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ


Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”

Mengutip buku Ketika Notaris Berdakwah karya H.R. Daeng Naja dijelaskan bahwa ayat di atas memerintahkan kepada umat Islam untuk berdakwah, dalam kaidah usul fikih maka dakwah merupakan kewajiban yang bersifat umum.

Pengertian Khutbah

Arif Yosodipuro dalam buku Buku Pintar Khatib dan Khutbah Jumat menjelaskan pengertian khutbah berasal dari bahasa Arab yang akar katanya sama seperti khatib, yakni khatab, yakhtubu, dan khutbatan. Maka Khutbatan dalam bahasa Indonesia artinya ceramah atau pidato.

Bersama khutbah ada khatib yang artinya orang yang melakukan khutbah, orang berkhutbah dengan menyampaikan pesan-pesan Islami kepada umat Islam.

Khutbah memiliki urutannya, bila salah satunya terlewat atau tidak diamalkan, maka khutbah dinyatakan tidak sempurna. Berikut ini rukun khutbahnya:

· Hamdalah

· Syahadat

· Shalawat

· Berwasiat

· Membaca Al-Qur’an

· Berdoa untuk jemaah

Pengertian Dakwah

Rahmat Ramdhani dalam buku Pengantar Ilmu Dakwah menjelaskan pengertian dakwah secara bahasa dan etimologis.

Dalam bahasa Al-Qur’an dakwah berasal dari kata Daaa (Yaduu )بدعو (Da’watan )دعوة (. Secara bahasa/etimologis kata dakwah berarti menyeru, memanggil, mengundang, mengajak, mendorong, dan memohon.

Secara etimologis dakwah merupakan usaha menyampaikan sesuatu kepada orang lain (baik perorangan atau kelompok) mengenai agama Islam.

Sementara itu, mengutip buku Ilmu Dakwah Suatu Pengantar karya Daniel Rusyad disebutkan dakwah memiliki nama lainnya dalam Al-Qur’an, diantaranya, yaitu:

Tabligh

Berarti menyampaikan, disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat.” (HR. Bukhari)

Nabi di dalam Khutbatul Wada’, “Fal-yuballighis syaahid al ghaaiba, rubba muballigin aw’a min saami’in” (hendaknya mereka yang hadir menyampaikan pesan ini kepada yang tidak hadir, betapa banyak orang yang menyampaikan (muballigh) itu menjadi lebih memahami dari mereka yang hanya mendengarkan).

Tadzkir

“Insan” dan “Manusia” mempunyai akar kata yang sama dengan “Nisyan”, keduanya berasal dari kata fiil tsulatsi “nasiya-yansa” berarti lupa. Maka wajar bila manusia memiliki sifat pelupa.

Untuk itu tadzkir yang berarti mengingatkan. Oleh karena itu, jika tabligh berhubungan kepada yang belum mengenal Islam, maka tadzkir ditujukan kepada mereka yang lupa pesan dari dakwah yang pernah sampai kepadanya.

Nasihat

Nushulul insan lil insan bil bayaan, artinya seseorang menasihati orang lain dengan lisannya, maka penasihat itu harus memberikan nasihat, motivasi, atau dorongan kepada jiwa maupun psikisnya. Nasihat memiliki posisi yang mulia di dalam Islam.

Diriwayatkan Imam Muslim dari Tamim bin Aus ad Dariy berkata, bahwa Nabi bersabda, “Ad dien an nashihah (agama adalah nasihat), Ad dien an nashihah, Ad dien an nashihah” (beliau ucapkan tiga kali). Kami berkata, “Bagi siapa ya Rasulullah?” Nabi bersabda, “Bagi Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-Nya, bagi para pemimpin umat Islam dan rakyatnya.”

Dikatakan pula bahwa bai’at para sahabat kepada Nabi didasari perintah untuk saling menasihati. Diriwayatkan Imam Bukhari dari Jarir bin Abdullah berkata, “Saya telah membaiat Nabi di atas (perintah untuk) mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan nasihat untuk setiap muslim”.

Irsyad

Irsyad berasal dari kata “Arsyada-Yursyidu” artinya adalah petunjuk. Irsyad juga bermakna hidayah, berarti memberikan petunjuk kepada orang yang tersesat, atau jalan hidayah baginya.

Hasil dari irsyad adalah pola pikir, sikap, perilaku, dan mental yang sesuai dengan ajaran luhur agama Islam.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Secara etimologis dua kata di atas berarti menyuruh pada perkara ma’ruf dan melarang perkara munkar.

Ma’ruf berarti diketahui kebaikan dan keunggulannya, atau sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk dikerjakan, sedangkan munkar tidak diketahui manfaat dan faedah yang terkandung di dalamnya.

Sebagian ulama berpendapat amar ma’ruf nahi munkar ditunjukan untuk semua umat Islam yang sama-sama memahami perkara ma’ruf dan munkar.

Selain itu, Rahmat Ramdhani dalam buku Pengantar Ilmu Dakwah menjelaskan bahwa Khutbah yang pelakunya disebut khatib artinya berpidato. Merupakan dakwah/tabligh yang disampaikan secara lisan pada upacara keagamaan seperti Khutbah Jumat.

Perbedaan Khutbah dan Dakwah

Berdasarkan penjelasan di atas, khutbah adalah ceramah atau pidato yang memiliki urutan tertentu dan disampaikan dalam acara keagamaan pada waktu yang telah ditetapkan. Sementara itu, dakwah merujuk pada aktivitas menyeru, memanggil, mengundang, mengajak, mendorong, dan memohon yang dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja.

Maka dapat disimpulkan, bahwa lingkup dakwah sangat luas, bahkan khutbah termasuk ke dalam dakwah, dan dakwah tidak hanya menyampaikan kebenaran Islam melalui lisan, bisa juga dengan berbuat kebaikan, dan menjauhi larangannya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com