Category Archives: Dakwah

Doa Seorang Nasrani untuk Tim PPIH Jelang Wukuf di Arafah



Jakarta

Hari ini, adalah Jum’at (14/6) terakhir menjelang detik-detik memasuki waktu wukuf di Padang Arafah. Waktu yang ditunggu-tunggu para jemaah haji dan seluruh umat Islam di dunia. Wukuf di Arafah menjadi penanda syara’ bahwa seorang calon haji akan secara formal telah diakui oleh syariat bahwa ia telah menunaikan ibadah haji.

Sedang bagi umat Islam di luar kawasan Arafah, wukuf adalah penanda telah masuknya waktu untuk puasa Arafah. Puasa sunnah yang sangat dianjurkan.

Setelah sekian jam, sekiah hari, sekian minggu, sekian bulan dan sekian tahun menunggu, Padang Arafah akhirnya akan benar-benar menjadi Padang Kurusetra antara suara hati dan suara hawa nafsu.


Di Padang ini jemaah akan berhadap-hadapan dengan Tuhan Yangmaha Perkasa. Menghadap untuk mengakui segala alpa, lalai, lupa, abai, maksiat, pengkhianatan atas janji suci, perlawanan kepada Tuhan dengan prilaku buruk dan menyimpang dari-Nya.

Mengakui segala kekurangan, semua keburukan yang telah disembunyikan dari manusia, segala keculasan yang disimpan di pojok-pojok hati supaya terhindari dari pandangan orang lain.

Seluruh dendam, dengki, hasud, fitnah, tamak, serakah, kejam, tega hati, hati sulit tersentuh, sukar jatuh iba, gampang berkata kasar, ringan tangan, gemar merampas hak orang lain, suka menutup akses pihak lain dan semua jenis kejahatan lain.

Kini Mari Wukuf!

Setelah mengisi jiwa dengan hal-hal buruk; senang jika tetangga gagal dalam pekerjaan, senang jika teman sekantor dapat surat peringatan, senang jika bisa mengakali komitmen dengan rekan bisnis, senang jika bisa melanggar janji.

Senang jika melihat mobil tetangga mogok, senang jika tetangga masuk rumah sakit, senang jika dapat memotong karir kawan seiring, senang jika sukses menfitnah sesama jemaah masjid, senang jika mendengar tetangga kena PHK. Senang jika manusia lain melarat.

Kini Saatnya Wukuf!

Wukuf, antara lain bermakna “berhenti”. Berjanji di Tanah Arafah. Apa gerangan Arafah? Ia berarti “mengetahui atau menyadari”. Setelah mengetahui semua keburukan. Setelah mengakui semua pengkhiatan diri di hadapan Allah, kini tiba saatnya berhenti.

Setelah mengetahui bahwa selama ini kita mengabaikan hak-hak orang tua, hak-hak suami/isteri, hak-hak anak-anak, hak-hak sanak kadang, hak-hak sahabat, hak-hak tetangga, dan hak-hak semua anak Adam, marilah wukuf di Arafah.

Mari berhenti!

Jangan mengulangi dan melakukan semua kejahatan itu lagi. Kini kita dan para jemaah sedang berhenti di hadapan Dia Yangmaha Apa Saja. Setelah mengakui itu semua, di Padang Kurusetra ini, kita memohon kepada Allah agar di sisa-sisa usia yang teramat pendek ini, Allah berkenan membekali kita senjata pamungkas.

Senjata yang akan jadi pelindung diri dalam menaklukkan pasukan dan tentara hawa nafsu yang telah membuat kita terjatuh ke jurang kenistaan. Lubang tanpa dasar.

Jika usia masih tersisa di Padang Arafah, mari memohon kepada Allah, di atas tanah yang tandus, gersang, dan di bawah langit yang membentang tiada terbatas, dalam pelukan sinar matahari yang menyengat dan membakar kulit, di tengah gelombang suara tangisan para jemaah haji yang sekarat.

Di bawah tatapan mata para malaikat yang menyaksikan dari tempat-tempat tak terlihat mata, semoga Allah ampuni kita dan menghapus semua dosa akibat segala maksiat.

Memohon agar di sisa usia kita, kita akan selalu tawaf, mengelilingi Rumah Tuhan, Baitullah. Selalu berada di orbit dan lintasan orang-orang suci seperti para Nabi, para shiddiqin, para syuhada dan para kekasih Allah SWT.

Memohon agar sisa usia kita menjadi usia berkah, usia yang kita perbantukan untuk orang-orang yang membutuhkan. Untuk semua orang yang selama ini kita sakiti, sengaja atau tidak.

Usia yang kita donasikan untuk ikut mengantar semua anak manusia menuju gerbang keridhaan Allah. Gerbang yang akan dilewati manusia-manusia suci. Para pemuja Allah dalam kesendirian atau dalam alam malam.

*****

Di tengah munculnya gugatan doa lintas iman yang tengah mencuat di Tanah Air, seorang Nasrani, berkirim doa untuk para Petugas Penyelenggaran Ibadah Haji (PPIH). Namanya Hein Izac Hetaria. Dia dan keluarga tinggal di sebuah komplek perumahan sangat sederhana (rss) di desa Pasirangin, Cileungsi. Asal Ambon.

Doa yang dia kirim via layanan chating Whatsapps. Doa diawali dan ditujukan kepada saya pribadi dan keluarga. Tapi lantas berkembang. Doanya untuk semua tim petugas haji Indonesia.

Doa dan harapan baik Mas Hein Hetaria di detik-detik menjelang wukuf, laksana halilintar di siang bolong. Datang dari belahan angkasa yang terik, menyelinap di sela-sela aksi penolakan kegiatan saling doa di antara umat manusia dengan dalih menciderai nilai-nilai luhur agama.

Doa Hein Hetaria untuk para petugas haji Indonesia, adakah yang tega dan sampai hati menilainya telah mengganggu kesucian Tuhan dan keluhuran agama. Entah kenapa, suara hati saya menjawab doa itu dengan kata milik alam semesta : AAMIIN…

Mas Hein! Terima kasih telah menyentuh hatiku di saat diri sedang rapuh, jiwa sedang berguncang, menunggu saat-saat dan waktu perjumpaan dengan Tuhan Semesta Alam.

*****

Setelah arafah mari wukuf.

Ishaq Zubaedi Raqib adalah Petugas Haji PPIH Arab Saudi.

(hnh/hnh)



Sumber : www.detik.com

Menuju Arafah, KepadaNya Kita Berpasrah



Jakarta

Ramai menjadi bahan perbincangan. Di sebuah group WhatsApp masyarakat terpandang. Terpandang dari tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat pemahan agama. Maklum, para mereka golongan masyarakat yang strata pendidikannya memerlukan kualitas logika yang menantang.

“Kalau saya lebih baik duit digunakan untuk membantu masyarakat Palestina, atau masyarakat kurang mampu yang masih membutuhkan”, ujar salah seorang mengomentari anggota group yang berulang ke tanah haram. “Daripada mengunjungi tanah haram berulang-ulang. Bukankah kewajiban haji hanya sekali seumur hidup?” lanjutnya meminta persetujuan para anggota group sekalian.

“Ia, padahal masyarakat kita masih banyak yang membutuhkan. Bukankah uang segitu banyak, lumayan untuk memberi para mereka makan. Menutup berbagai kebutuhan?” sambut yang lain.


Rupanya yang ditujukan kepadanya komentar tak beranjak dari diam. Ia seolah pasrah dijadikan pesakitan. Menundukkan pandangan. Terus fokus memohon ridlo Tuhan. Agar ibadahnya bisa terus mudah, lancar. Tak bermaksud menuai pujian. Juga tidak menghindar dari olokan teman.

Satu, dua, tiga, lagi dan lagi. Kok bisa? Sekian banyak sudah komentar para kawan agar menggeser saja dana untuk ibadah ke tanah haram untuk membantu saudara-saudara di Palestina. Atau untuk kemanfaatan yang lebih besar. Di

dalam negeri kan lebih utama. Terlebih bagi keluarga dekat, tetangga, para masyarakat yang terhadap kebutuhan masih sangat berminat.

Logika simple yang sederhananya harus dibenarkan. Tapi eh tunggu dulu. Coba kita simak pengalaman salah seorang jemaah. Begini kisahnya.

Ia merasa berulang terheran-heran. Mengapa dirinya sering memandang dari arah belakang. Terhadap sekian orang dalam sekian kali pengamatan. Orang-orang yang tidak asing karena menggunakan atribut merah putih. Masyarakat negara asalnya. Bukan negara tetangga.

Terlihat padanya, entah di ujung escalator, entah selama berjalan menuju lokasi shalat di dalam masjid. Entah juga di beberapa lokasi yang padat lalu-lalang orang.
Tak sengaja dilihatnya tangan-tangan mereka lincah menyampaikan uang real. Yang terbanyak receh 10an real. Konversi rupiahnya hampir 50 ribuan.

Mereka sisipkan kepada cleaning service, atau kepada siapa pun yang mereka pandang berpeluang memperoleh sumbangan pendapatan.
Baju sederhana, tampilan bukan orang berada, tapi soal menyodorkan uang, mereka tidak kesulitan.

Timbul gumam dalam hatinya. Jangan-jangan para jemaah yang seperti ini yang sering berulang beribadah ke tanah haram. Kedermawanannyakah yang mengantar mereka berpeluang datang berulang-ulang. Ke Madinah, Makkah,

Arafah dan Mina? Boleh jadi ibadah bagi-bagi uang, sambil sembunyi tangan itu. Merupakan bukti mereka benar-benar rajin sembahyang. Betapa tidak, bukankah shalat, atau sembahyang harus menghasilkan bukti jiwa yang gemar menyenangkan orang di jalan Tuhan?

Kepo atas kedermawanan orang. Ia mendekatinya dengan sopan, sambil bertanya. Tentang apa yang telah diperhatikannya sejak tadi.
Alhamdulillah, kepo-nya ternyata bisa dibuang. Ketika yang ditanya berkenan menerangkan.
Bahwa, upaya untuk menghadirkan kedermawanan. Memang sudah diniatkannya sejak dari tanah air. Semenjak dirinya meniatkan untuk memenuhi undangan Tuhan.

Uang yang dia bagikan itu, adalah bagian yang akan ditebarkannya di tanah haram.
Untuk di Indonesia. Hasil usahanya dibaginya begini. Separuh lebih untuk berbagai keperluan di jalan Tuhan. Membantu saudara, kerabat, tetangga, yatim, piatu, orang-orang miskin, dan kegiatan yang semacam. Selebihnya ia kumpulkan untuk keperluan keluarganya. Sebagian dari itu diupayakannya untuk menghadirkan dirinya, saudara-saudarannya, karyawannya, bahkan tetangganya, beribadah ke tanah haram. Makkah dan Madinah.

Oh, ternyata dia bukan orang yang seringkali disangka tak memiliki perhatian. Terhadap kepentingan orang-orang yang membutuhkan.

Ia meneruskan lamunan bayangnya sambil menyimpan kekaguman mendalam.”

Duhai saudaraku yang sama memiliki pandangan. Boleh jadi karena kegigihannya membelanjakan uang di jalan Tuhan. Yang Maha Pemurah mengundangnya berulang ke tanah haram. Dengan gampang.
Bukankah ini satu pilihan dalam memandang kawan yang berulang beribadah di tanah haram?

Boleh jadi sejak sekarang, mari kita kembangkan. Perilaku dermawan yang tak perlu dipublikasikan. Agar para kita pun sama berpeluang. Mudah menunaikan ibadah ke tanah haram. Sedang Tuhan terus melimpahkan ridloNya kepada setiap kita. Karena semuanya berpacu di dalam kebaikan.

Rabb, hari Arafah ini dekat. Hanya kepada Engkau kami berpasrah dan memohon selamat. Jauhkan kami dari simpulan yang belum tentu tepat.

Semoga setiap siapa pun yang beribadah haji di tahun 1445 H. ini, mampu menempuh Jalan Cerah Menuju Arafah. Memperoleh predikat haji mabrur di dalam ridloi Allah SWT., aamiin.

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya.
Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Contoh Khutbah Idul Adha Singkat, Padat, dan Mengharukan


Jakarta

Pada Hari Raya Idul Adha, umat Islam dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong menuju masjid atau lapangan untuk menunaikan ibadah salat Id. Setelah salat Id, umat Islam mendengarkan khutbah Idul Adha yang disampaikan khatib.

Berikut contoh khutbah Idul Adha mengenai sejarah kurban yang mengharukan, dinukil dari buku Kumpulan Naskah Khutbah Idul Fitri & Idul Adha terbitan Kemenag RI.

Contoh Khutbah Idul Adha tentang Sejarah Kurban

Alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya, sehingga kita semua dapat melaksanakan salat ldul Adha di masjid yang penuh berkah ini dalam keadaan sehat walafiat. Ada tiga macam nikmat, apabila ketiga macam nikmat tersebut bertemu secara bersamaan, hidup ini menjadi semakin sempurna, yaitu nikmat iman, kesehatan dan kesempatan.


Tidak semua orang mendapatkan ketiga nikmat tersebut. Alhamdulillah kita di sini mendapatkannya, karena hanya dengan ketiga nikmat itulah kita bisa berkumpul di sini dengan tetap berpegang teguh kepada kalimat tauhid, La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah.

Maka dari itu kita harus lebih meningkatkan rasa syukur kepada Allah SWT yaitu dengan menambah ketakwaan kita kepada-Nya yang kita wujudkan dengan terus berusaha untuk senantiasa menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Dalam perjalanan hidup manusia tentu dituntut adanya semangat pengorbanan. Tanpa semangat itu, mustahil keberhasilan atau kesuksesan dapat diraih. Salah satu contoh pengorbanan yang luar biasa telah dilakukan oleh sosok Nabi Ibrahim AS bersama keluarganya, Siti Hajar RA dan Ismail AS.

Kisah Nabi Ibrahim AS sarat akan pesan-pesan moral. Nabi Ibrahim AS adalah simbol bagi manusia yang rela mengorbankan apa saja untuk memperoleh rida Allah SWT.

Pengorbanan yang tulus dari sosok khalilullah Nabi Ibrahim AS bersama keluarganya ini dijadikan oleh Allah SWT sebagai patron untuk menjadi teladan bagi seluruh umat manusia sepanjang. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surah Al-Mumtahanah https://www.detik.com/hikmah/quran-online/al-mumtahanah ayat 4.

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهٗۚ اِذْ قَالُوْا لِقَوْمِهِمْ اِنَّا بُرَءٰۤؤُا مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۖ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاۤءُ اَبَدًا حَتّٰى تُؤْمِنُوْا بِاللّٰهِ وَحْدَهٗٓ اِلَّا قَوْلَ اِبْرٰهِيْمَ لِاَبِيْهِ لَاَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَآ اَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ شَيْءٍۗ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَاِلَيْكَ اَنَبْنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ

Artinya: “Sungguh, benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu pada (diri) Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya ketika mereka berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Kami mengingkari (kekufuran)-mu dan telah nyata antara kami dan kamu ada permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja’. Akan tetapi, (janganlah engkau teladani) perkataan Ibrahim kepada ayahnya, ‘Sungguh, aku akan memohonkan ampunan bagimu, tetapi aku sama sekali tidak dapat menolak (siksaan) Allah terhadapmu’. (Ibrahim berkata,) ‘Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkau kami bertawakal, hanya kepada Engkau kami bertobat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali’.”

Semangat berkurban yang tulus yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS yaitu ketika ia diperintahkan untuk mengorbankan (menyembelih) putranya yang tercinta, Nabi lsmail AS.

Padahal Nabi lsmail AS itu dianugerahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS ketika ia telah mencapai usia lanjut (dalam suatu riwayat usianya 80 tahun), dan telah lama sekali mendambakan keturunan. Namun, demi memperoleh rida Allah SWT dan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, seorang ayah dan anak itu tunduk dan patuh, seperti yang direkam dalam Al-Qur’an surah As-Saffat https://www.detik.com/hikmah/quran-online/as-saffat/ayat-101-120 ayat 100-111.

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ. فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ. فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ. فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ. وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ. ۙقَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ. اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ. وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ. وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى الْاٰخِرِيْنَ ۖ. سَلٰمٌ عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ. كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya: “(Ibrahim berdoa,) ‘Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (keturunan) yang termasuk orang-orang saleh’. Maka, Kami memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak (Ismail) yang sangat santun. Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar’. Ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) meletakkan pelipis anaknya di atas gundukan (untuk melaksanakan perintah Allah), Kami memanggil dia, ‘Wahai Ibrahim, sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu’. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar. Kami mengabadikan untuknya (pujian) pada orang-orang yang datang kemudian, ‘Salam sejahtera atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat kebaikan. Sesungguhnya dia termasuk hamba-hamba Kami yang mukmin.”

Begitulah tentang kisah seorang ayah dan anak, yang amat mengharukan yang tentunya dapat dijadikan teladan bagi umat manusia tentang bagaimana menaati perintah Allah SWT demi memperoleh rida-Nya. Memang biasanya manusia akan diuji dengan apa yang paling ia cintai dalam hidupnya.

Jika bukan karena iman yang tangguh yang dimiliki oleh Ibrahim dan Ismail maka tentu sangat sulit nurani Ibrahim sebagai seorang ayah mengorbankan putra tercintanya, begitupun Ismail tidak bersedia mempertaruhkan nyawanya. Namun, karena ini adalah perintah Allah SWT dan mereka ingin mendapatkan rida-Nya maka perintah tersebut dilaksanakannya.

Makna kurban berasal dari bahasa Arab dari akar kata qaraba-yaqrabu-qurban, artinya dekat/pendekatan. Melakukan kurban adalah melakukan sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah SWT, yakni mendekatkan diri kepada tujuan hidup untuk mencapai mardlatillah.

Ali Syariati mengatakan dalam buku “AI-Hajj” bahwa lsmail adalah sekedar simbol dari segala yang dimiliki dan dicintai manusia dalam hidup ini. “lsmail”-nya Nabi Ibrahim AS adalah putranya sendiri dan setiap orang memiliki “Ismail” yang identik dengan harta, jabatan, dan materi yang berlimpah.

Kecintaan kepada “Ismail” itulah yang kerap membuat iman seseorang goyah atau lemah untuk mendengar dan melaksanakan perintah Allah SWT. Kecintaan kepada “lsmail” yang berlebihan juga akan membuat seseorang menjadi egois, mementingkan diri sendiri, dan serakah tidak mengenal batas kemanusiaan.

Pelajaran yang sangat berharga adalah dengan melihat keteladanan pengorbanan yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim AS. Apapun lsmail kita, apapun yang kita cintai, jangan sampai membuat kita lupa akan tujuan hidup yang hakiki, yaitu memperoleh rida Allah SWT, karena dalam rida-Nya lah kita akan memperoleh kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang kekal dan abadi, seperti yang dikatakan kaum Sufi, “Ya Illahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tujuanku dan rida-Mu lah yang kucari).”

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Berkurban, Hidup Lebih Dekat Kepada Tuhan



Jakarta

Nenek viral

Viral sudah di berbagai laman media sosial. Di Media Televisi maupun laman YouTube. Kisah para pecinta, perindu hari raya kurban. Sementara mereka bukan orang yang memiliki uang dengan gampang. Tetapi melalui perjuangan berdurasi panjang. Tahunan. Hanya demi seekor kambing untuk dijadikan sembelihan, sebagai ibadah di hari raya kurban.

Salah satunya adalah nenek pemulung, di suatu kota di pinggiran jalan. Datang membawa cucunya ke penjualan hewan kurban. Di tepian jalanan daerah perkotaan.


Sampai pada salah satu kumpulan kambing yang dijual untuk kurban. Nenek dan cucunya mulai menebar tatapan, meluaskan pandangan. Demi menjuruskan pandangan ke seekor kambing yang sesuai dengan sejumlah uang yang ada di tangan.

Lama ragu akan kecukupan jumlahnya uang. Nenek bertanya kepada penjual kambing. Berapaan harga kambing yang di seluruh kandang ini. Penjual pun menuturkan variasi harga. Mulai dari yang kisaran harga murah, sampai harga paling larang.

Kembali nenek tak putus harapan. Ia menanyakan harga yang paling rendah dari seluruh isi kandang. Si penjual mematok harga pas, dua juta rupiah. Harga seekor kambing termurah yang dia jual.

Memancar rasa puas di raut wajah nenek. Wajah keriput beralaskan tulang. Akibat tahunan memaparkan diri. Pada sinar terang matahari si setiap tepian jalanan.

Sadar akan tabungannya yang sesuai harga jual. Asa-nya bagai terdongkrak terbang. Harapan untuk mendapat hewan kurban sempurna menjadi kenyataan. Uang tabungan pas sama dengan penawaran sang penjual hewan kurban. Dua juta rupiah.

Sontak nenek itu menyetujuinya. Dompetnya besar. Maklum dari kantong plastik, mungkin hasil memungut bekas orang membuang.

Sambil gugup penuh haru penjual kambing menghitung sejumlah banyak uang. Ada seribuan, dua ribuan, selebihnya uang recehan.
Sampai pada koin terakhir, fantastis. Nilai uang itu ternyata pas dua juta rupiah.

Sambil merinding menahan haru. Penjual hewan kurban pergi menuju lokasi kambing yang besar. Harganya empat juta. Sembari dia mengantarnya kepada nenek dan cucunya. Sang nenek tak lagi dapat menahan bungah yang berkelimpahan. Dipeluk dan diciumnya kambing itu berulang-ulang.

Tak terhitung berapa kali kalimat syukur yang ia bilang. Kepada penjual kambing terlebih kepada Tuhan. Lalu ia berlalu bersama cucunya mengantarnya ke panitia hewan kurban.

Sikap, Kuat Ikat Harta
Sudah jamak di semua pendapat. Bahwa terhadap harta manusia kuat mengikat. Pasti kecuali mereka yang selamat.

Karena cinta kepadaNya, menariknya kepada nikmat yang teramat sangat. Kebahagiaan dan kesenangan dunia-akhirat.

Ketika keuangan masih merambat. Ada saja alasan yang menghambat untuk biaya kurban. Padahal kelimpahan rahmatNya memikat.

Masih jelas terngiang tausiyah Bapak Kiyai. Yang sering memberi ingat. Bahwa berkurban di hari raya Ied Adha adalah ibadah yang mengundang nikmat. Nikmat dunia akhirat.

Seluruh upaya untuk berkurban, secara detail semuanya dihitung Tuhan. Setidaknya, akan menjadi alasan Tuhan untuk menganugerahkan pahala bagi yang melaksanakan. Pahala antara lain berupa kehidupan yang lebih lapang, nyaman, bahagia sejahtera penuh harapan, agar hidup selalu senang.

Duh, kalau melihat hitungan balasan pahala berkurban. Jejak kaki hewan kurban diperhitungkan. Makanan yang dimakan. Daging, darah, tulang, kulit, bahkan setiap jumlah bulu hewan kurban pun diperhitungkan. Demikian Maha Sempurna Tuhan yang Maha Raja di Hari Pembalasan.

Kaya Dunia, Kaya Jiwa
Kekayaan, biasa digambarkan dengan rumah mewah berhalaman lapang. Merk kendaraan tak banyak dipunyai orang. Butiran berlian asli yang menyilaukan. Jam tangan miliaran, tas-tas koleksi disainer terpandang. Semuanya mengundang mata dunia tak bosan menyapu pandang. Boleh jadi mengundang impian semua orang.

Di sisi lain, hati mulia dermawan demi orang lain. Apalagi dirinya sangat kesulitan. Dipastikan dia memiliki kualitas jiwa yang tak mudah ditandingkan.

Apalagi, itu dibuktikannya di ‘depan’ Tuhan. Melalui disembelihnya hewan kurban. Hasil mengumpulkan uang sebilang-demi sebilang. Pastilah bukan hal yang gampang.

Sudahkah kita menyiapkan kurban untuk lebaran menjelang? Allaahumma seluruhkan cinta di hati ini hanya kepada Engkau. Ikhlash-kan setiap kami untuk menghaturkan hewan kurban. Di hari lebaran 10, 11, 12, 13 Zulhijjah, 1445 H.

Bukti asli kedekatan hamba (kami) kepada Tuhan, aamiin.

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya.
Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Berkurban, Bukti Cintai Dia, Sudahkah Kita?



Jakarta

Syair Cinta

“Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga!
Hai begitulah kata para pujangga”. Itu sebagian lirik lagu cinta.
Betapa indah hidup berderai cinta. Hidup bagai di taman bunga. Hati selalu bahagia seolah memiliki segala. Selamanya! Siapa suka?

Jangan pernah katakan cinta. Kepada siapa saja. Jika belum ada buktinya. Cintakah kita kepadaNya. Sudahkah membuktikannya?


Kisah Nabi Ibrahim as.
Adalah beliau Ibrahim as. menyembelih ratusan ekor unta dan ribuan ekor domba. Beliau terkenal sangat dermawan. Atas kebiasaannya itu ada yang berujar, “Jumlah fantastis untuk ukuran sedekah ya Ibrahim”.

“Jangankan sedekah unta dan domba untuk mendekat kepada Allah, anak pun kalau ada aku sembelih, jika Allah perintahkan,” ujar beliau spontan.
Beliau a.s, belum dikarunia keturunan ketika itu.

Tiba masanya Nabi Ibrahim as. memperoleh anugerahNya. Seorang anak laki yang sangat shaleh. Akhlaknya sangat mulai. Wajahnya menuai haru bangga. Tampan tak ada dua. Bagi Ibrahim as. pastilah nikmat anugerahnya ini melebihi segala hartanya. Tak kan ada satu pun orang tua yang tidak menginginkannya. Bahkan di seluruh dunia!

Namanya Isma’il. Anak ini tumbuh menuju remaja. Ibrahim dan Hajar as. sungguh sangat bahagia.
Seketika perintah Allah pun tiba. “Sembelih anakmu!”. PerintahNya dalam mimpi.

Dalam ragunya Ibrahim as. menduga. Itu bukan perintahNya. Sekedar mimpi saja.
Berikutnya Ibrahim bermimpi pula. Mimpi yang kedua. Mimpi itu pun ditepisnya karena sementara itu logikanya masih menduga mimpi biasa.
Namun, setelah yang ketiga. Kali ini Ibrahim mengerti bahwa mimpinya adalah wahyuNya semata.

Dikuatkan seluruh dayanya untuk melakukan titahNya. Menata diri untuk sempurna ikhlash melakukannya. Sambil terus menjauhkan tipu daya iblis. Makhluk itu berusaha terus memperdayainya, memperdaya istrinya, memperdaya putranya, Ismai’l.

Berulang lemparan batu menjauhkan si penggoda. Berlambang jumratul ulaa, wustha, dan ‘aqabah pada ibadah haji di hari raya Iedul Adha.

Ibrahim, Hajar, Isma’il as. selamat dari tipudaya penggoda. Isma’il as. Allah ganti dengan seekor domba. Ibrahim pantas memperoleh cintaNya. Ia berkurban, seorang putra yang nilainya luar biasa, demi cintaNya semata. Adakah kurban kita memiripinya?
Ibrahim khalilullah, Ibrahim sang kekasih Allah. Cintanya memang berbukti nyata.

Buktikan cinta kita!
“Aku jatuh cinta
Walau berat jalanku tertahan
Aku tak ingin berhenti
BersamaMu, aku bahagia
Aku jatuh cinta”.
Cinta dalam untaian lirik lagu. Semoga menjadi senandung cinta seorang hamba kepadaNya semata.

Ketika ahli surga ditanya kekurangannya apa. Tak satu pun mereka bicara tentang yang masih kurang dirasa. Surga, lambang kebahagiaan tiada tara. Bahagia melampaui nikmatnya rasa cinta di dunia. Bahagia selama-lamanya. Hampir tak berhingga.

Tahukah kita ketika Dia membuka tabir wajahNya. Seketika para ahli surga mendadak tak hirau akan setiap detail nikmat di dalamnya.
Menatap wajahNya adalah cinta tak berhingga.
Mari kita berkurban, buktikan kita memang iya, cinta kepadaNya!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya.
Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Idul Adha sebagai Lompatan Spiritualitas, Refleksi Kemanusiaan



Jakarta

Idul Adha yang kita peringati tiap tahun, adalah limpahan keberkahan dan kegembiraan yang luar biasa. Meski, pada akar sejarahnya, Idul Adha diselimuti kesedihan dari proses pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail: kepasrahan dan ketundukan paripurna kepada Allah.

Setiap tahun, kita merayakan Idul Adha dengan penuh kekhidmatan. Hari raya yang juga dikenal sebagai Hari Raya Haji ini bukan hanya sekadar perayaan, tetapi sebuah momen yang mengajarkan nilai-nilai spiritual yang mendalam. Ibadah kurban yang menjadi inti dari Idul Adha bukan hanya tentang pengorbanan hewan, tetapi juga tentang pengorbanan diri untuk kebaikan sesama dan hubungan yang lebih erat dengan Sang Pencipta.

Ibadah kurban mengajarkan kita untuk tidak hanya memperhatikan kebutuhan pribadi, tetapi juga kebutuhan orang lain di sekitar kita. Ketika seseorang memilih untuk berkurban, ia mengorbankan sebagian dari harta yang dimilikinya untuk diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya berbagi rezeki dan menjalin kepedulian sosial dalam masyarakat. Dalam konteks ini, Idul Adha tidak hanya menjadi momen untuk merayakan kebesaran Allah, tetapi juga untuk merenungkan bagaimana kita dapat berkontribusi lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan bersama.


Hari raya kurban atau biasa kita sebut Idul Adha yang selalu kita peringati, akar sejarahnya tertaut dengan kisah Nabi Ibrahim sebagaimana terekam dalam Surat ash-Shaffat ayat 99-111. Meskipun, praktik kurban sebenarnya sudah dilaksanakan putra Nabi Adam yakni Qabil dan Habil.

Dikisahkan bahwa kurban yang diterima adalah kurban Habil bukan Qabil. Itu pun bukan daging atau darah yang Allah terima namun ketulusan hati dan ketakwaan dari si pemberi kurban. Hal ini tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 37:

“Lan yanaala Allahu luhumuha walaa dimaauha walakin yanaaluhu at-taqwa minkum”.

(Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya, QS Al-Hajj: 37).

Menuju Puncak Spiritualitas

Spiritualitas Idul Adha juga tercermin dalam kesiapan seseorang untuk mengorbankan yang dicintainya demi menaati perintah-Nya. Kisah Nabi Ibrahim yang siap untuk mengorbankan putranya, Ismail, atas perintah Allah, menunjukkan tingkat kepatuhan dan kepercayaan yang luar biasa. Meskipun pada akhirnya Allah menggantinya dengan seekor domba, peristiwa tersebut menegaskan pentingnya taat kepada-Nya bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun. Dalam kehidupan sehari-hari, kepatuhan seperti ini mengajarkan kita untuk menerima ujian dengan lapang dada dan menguatkan ikatan spiritual kita dengan Allah.

Lebih dari sekadar ritual keagamaan, Idul Adha mengajarkan bahwa cinta kepada Allah tidak hanya tercermin dalam doa-doa kita, tetapi juga dalam tindakan nyata untuk kebaikan umat manusia. Ibadah kurban memberi pelajaran tentang pentingnya menumbuhkan rasa empati dan kepedulian terhadap orang lain, terutama mereka yang kurang beruntung. Dengan berbagi rezeki melalui kurban, kita tidak hanya menghidupkan semangat gotong royong, tetapi juga meneguhkan ikatan sosial dan spiritual dalam komunitas.

Namun, di balik keindahan dan kekhidmatan Idul Adha, terdapat tantangan-tantangan baru dalam menjalani ibadah tersebut di tengah dinamika masyarakat modern. Globalisasi dan perkembangan teknologi membawa perubahan signifikan dalam cara kita memahami dan melaksanakan ibadah ini.

Lalu, bagaimana kita mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan konteks zaman now menjadi suatu pertanyaan yang penting. Penting untuk menjaga keseimbangan antara tradisi dan adaptasi dengan perkembangan zaman agar makna spiritualitas dari ibadah kurban tetap relevan dan bermakna dalam kehidupan kita sehari-hari.

Selain itu, semangat pengorbanan dalam ibadah kurban juga dapat diartikan sebagai simbol perjuangan untuk mengatasi egoisme dan keserakahan dalam diri. Ketika seseorang rela mengorbankan bagian dari harta yang dimiliki untuk orang lain, itu adalah bukti nyata bahwa nilai-nilai kemanusiaan masih kuat di dalamnya. Dalam konteks ini, Idul Adha mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya diperoleh dari kesenangan materi, tetapi juga dari kepuasan batin yang timbul dari rasa kasih sayang dan kedermawanan kepada sesama.

Sebagai sebuah lompatan spiritualitas, Idul Adha mengundang kita untuk merenungkan makna kehidupan yang lebih dalam. Dalam berbagai aspeknya, ibadah kurban memberikan pelajaran berharga tentang keteguhan hati, rasa syukur, dan tanggung jawab sosial. Ia juga mengajarkan kita untuk selalu bersikap rendah hati dalam menghadapi kesulitan hidup, serta menumbuhkan semangat untuk saling menguatkan dalam komunitas.

Idul Adha bukanlah sekadar hari raya yang diwarnai oleh tradisi dan kebiasaan belaka, tetapi lebih dari itu, ia adalah cerminan dari kekuatan spiritualitas yang mendalam dalam agama Islam. Dengan merayakan Idul Adha, kita menghormati warisan spiritual yang diberikan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail, serta meneguhkan komitmen untuk mengikuti jejak keteladanan mereka dalam menjalani kehidupan ini dengan penuh ketulusan dan keikhlasan.

Menjadi Pribadi Paripurna: Berkorban dan Melayani Sesama

Kita semua perlu merefleksikan, bahwa Idul Adha adalah momentum berharga untuk merayakan nilai-nilai ibadah kurban yang mengajarkan tentang pengorbanan, kepatuhan, empati, dan cinta kasih. Semangat spiritualitas yang tercermin dalam ibadah ini mengajak kita untuk terus meningkatkan kualitas kehidupan spiritual dan sosial kita, serta menjaga kebersamaan dan persatuan umat manusia di tengah dinamika perubahan zaman. Dengan demikian, mari kita sambut Idul Adha dengan hati yang lapang dan semangat yang membara untuk menjadikannya sebagai momen transformasi spiritual yang bermakna bagi kita semua.

Puncak spiritualitas umat manusia sejatinya ketika kita berani dan mampu untuk berkorban: menyingkirkan emosi, egoisme, nafsu kekuasaan, hingga kerasukan atas harta. Untuk mendekati Nur Ilahi dan Nur Muhammad, manusia perlu membersihkan diri, mengorbankan nilai-niali negatif menuju pribadi yang punya Kompas moral, pribadi yang berkhidmah, melayani dan berbakti untuk sesama. Bahwa segala kekuasaan yang kita miliki, muaranya adalah untuk kebaikan umat manusia dan sebagai sarana beribadah kepada Allah. Inilah puncak dari spiritualitas: berkhidmah dan melayani kemanusiaan. (*).

Dr. M. Hasan Chabibie

Penulis adalah Kepala BKHM Kemendikbudristek; Penjabat Bupati Kudus-Jawa Tengah; Ketua Umum MATAN

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Inovasi Dalam Layanan dan Manasik Haji



Jakarta

Setiap tahun, Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas, selalu menghadirkan hal-hal baru dalam pelayanan kepada jemaah haji Indonesia. Makan tiga kali sehari selama tinggal di Makkah, merupakan kebijakan yang pertama kali diluncurkan pada dua tahun lalu. Sebelumnya, Jemaah haji hanya mendapatkan dua kali makan.

Keputusan penting dalam hal konsumsi ini sangat membantu Jemaah. Mereka dapat fokus dalam hal ibadah dan tidak direpotkan dengan tetek bengek urusan perut. Beban logistik yang biasa memenuhi koper jemaah, secara signifikan terkurangi. Mereka cukup membawa lauk spesial tambahan saja, tanpa harus membawa beras, lauk pauk, dan peralatan masak. Resiko kebakaran akibat memasak di kamar hotel juga tidak terjadi.

Tahun 2024, kebijakan konsumsi untuk jemaah kembali diperbaiki dan disempurnakan. Tahun lalu, dua hari sebelum dan tiga hari setelah puncak ibadah haji, jemaah haji tidak mendapatkan konsumsi karena faktor distribusi yang tidak mungkin dilakukan. Kota Makah sangat macet.


Tahun ini, Jemaah haji mendapatkan konsumsi di tanggal 7 dan pagi hari di tanggal 8 Dzul Hijjah. Selebihnya mendapatkan konsumsi di Arafah. Begitu pula konsumsi pasca puncak haji, yaitu tanggal 12 siang dan malam serta tanggal 13 Dzul Hijjah pagi hari, Jemaah haji mendapatkan lauk dan atau makanan siap saji di hotel. Selebihnya, konsumsi regular untuk jemaah haji sudah dapat diberikan secara normal seperti biasa.

Haji ramah lansia (HRL) menjadi prioritas haji 2023 dan tahun ini dilanjutkan dan disempurnakan. Fakta bertahun-tahun menyatakan lebih dari 30% jemaah lansia. Tentu saja ini bukan salah jemaah tetapi karena panjangnya antrian haji. Jemaah lansia memiliki Riwayat penyakit yang beragam dan tergolong jemaah dengan resiko tinggi (risti), termasuk tingkat kematian. HRL merupakan terobosan penting dalam pelayanan, pembinaan dan pelindungan jemaah dengan kategori khusus.

Puluhan tahun, fakta ini dilihat sebagai given saja dan tidak mendapat perhatian yang serius. Dampak kebijakan HRL sangat signifikan dan diharapkan dapat mengurangi jumlah angka kematian. Kebijakan HRL ini juga dibarengi dengan kebijakan istitha’ah (kemampuan atau al-iradah al-muqtadhiyah lil qudrah) kesehatan yang diperketat. Screening kesehatan jemaah haji dilakukan sebanyak dua kali, setelah dinyatakan lolos baru dilakukan pelunasan biaya haji. Bukan sebaliknya, lunasi dulu baru screening kesehatan.

Pada tahun yang sama, Menteri Agama RI juga gelisah dengan ekonomi haji yang sangat besar, namun kecil sekali yang kembali ke tanah air. Indonesia hanya mendapatkan sangat sedikit bagian dalam putaran uang yang nilainya puluhan triliun rupiah saat musim haji berlangsung.
Maskapai penerbangaan nasional hanya sanggup melayani separuh dari total jemaah yang berangkat ke tanah suci. Hanya transportasi udara saja, yang mampu dikapitalisasi itupun tidak maksimal. Selebihnya, kita hanya menjadi konsumen dan bahkan penonton saja, mulai dari konsumsi dan bahan mentahnya, hingga transportasi, akomodasi dan berbagai kebutuhan haji lainnya.

Menteri Agama RI melakukan banyak inisiatif dan pertemuan dengan kementerian dan pihak terkait untuk memastikan bahwa Indonesia harus mendapatkan manfaat ekonomi dalam setiap penyelenggaraan ibadah haji. Tahun ini, inisiatif itu mulai membuahkan hasil.

Sekarang semua pengusaha katering di Saudi Arabia wajib menggunakan bumbu, makanan dan lauk siap saji yang didatangkan dari Indonesia. Di berbagai hotel di Makkah yang menjadi tempat menginap jemaah, tersedia makanan khas nusantara yang disediakan pengusaha Indonesia. Tentu saja masih sangat sedikit bagian dari ekonomi haji yang seharusnya dapat dimaksimalkan manfaatnya oleh pengusaha nasional. Ke depan, inisiatif ini harus dilanjutkan dan semestinya lebih baik lagi.

Terobosan yang diambil oleh Menteri Agama RI juga menyentuh aspek petugas yang melayani Jemaah. Sejak tahun pertama penyelenggaraan haji di bawah Gusmen, ada nomenklatur baru dalam struktur PPIH untuk memperkuat layanan ibadah kepada jemaah. Struktur baru itu, ada yang disebut konsultan ibadah dan adapula musytasyar dini (penasihat keagamaan).

Khusus musytastar dini, mereka terdiri dari para ahli agama (ulama) yang bertugas membuat analisis, memberikan arahan dan kajian serta rekomendasi terkait aspek ibadah dan manasik haji. Untuk kebutuhan internal dalam rangka mendisplinkan petugas, tahun 2024 ini juga dilahirkan istilah pengendalian petugas (dalgas).

Kebijakan Murur

Insiden Muzdalifah pada penyelenggaraan haji 2023 memberikan banyak pelajaran, khususnya pada manasik haji. Waktu itu, jemaah terlambat didorong ke Mina karena faktor kemacetan di Muzdalifa-Mina yang sangat parah. Paling akhir jam 8 pagi 10 Dzulhijjah, seharusnya semua jemaah sudah meninggalkan Muzdalifah. Tetapi kenyataannya, sebagian jemaah masih banyak yang tertinggal di sana, bahkan hingga siang hari. Padang Muzdalifah sangat panas dan tanpa tenda.
Puncak haji yang dimulai dari wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan di Mina merupakan waktu dan situasi yang kritis (critical momentum), baik dari segi syariah maupun pelayanan kepada jemaah. Dibandingkan Arafah dan Mina, mabit di Muzdalifah memiliki critical point yang khas, utamanya soal sempitnya lahan dan fasilitas di Muzdalifah yang tidak ada apa-apa, kecuali toilet saja. Tidak ada tenda dan sangat panas, jika jemaah terlambat didorong ke Mina.

Menurut hitungan Ditjen PHU Kemenag RI, luas lahan Muzdalifah untuk jemaah haji Indonesia (213.320 jemaah ditambah petugas 2.747 orang) hanya sekitar 82.350 m2. Itupun sekarang dikurangi untuk toilet seluas 20.000 m2. Praktis, perjemaah hanya mendapat 0,29 m2. Nyaris hanya cukup untuk menaruh pantat saja.
Atas dasar ini, Menteri Agama RI mengeluarkan kebijakan murur di Muzdalifah untuk lansia, jemaah sakit atau risti dan penyandang disabilitas serta pendampingnya. Tentu saja, kebijakan ini dirilis setelah mendengar masukan dan pandangan fiqh dari para ulama, baik dari musytasyar diny maupun kalangan ormas Islam.

Murur merupakan makharij fiqhiyyah dalam fikih manasik haji. Murur sesuai dengan prinsip maqashid al-syariah (tujuan ditetapkannya Syariat Islam), khususnya dalam menjaga jiwa jemaah (hifz al-nafs). Kebijakan murur baru saja dilaksanakan dalam penyelenggaraan haji 2024 ini. Dengan penuh syukur, pada pukul 07.34 WAS, seluruh jemaah sudah keluar dari Muzdalifah dan berada di Mina.

Fiqh Alternatif

Salah satu wajib haji adalah mabit (bermalam) di Muzdalifah. Sebagian ulama tidak menyebut mabit melainkan al-wujud (berada) di sana (al-Sayyid Muhammad, 2003: 63). Dua istilah ini, memiliki konsekuensi yang berbeda, setidaknya seperti terlihat dalam arti literalnya. Jemaah yang meninggalkan wajib haji, maka hajinya tetap sah namun wajib menyembelih dam.

Di kalangan ulama mazhab, terdapat perbedaan pendapat tentang mabit di Muzdalifah. Menurut Imam Malik, Syafi’i dan Malik, hukum mabit di Muzdalifah adalah wajib. Menurut Imam Abu Hanifah dan salah satu pendapat ulama mazhab Syafi’i, mabit di Muzdalifah hukumnya sunnah. Bagi yang meninggalkannya, tidak memiliki konsekuensi hukum apa-apa. Bahkan siapapun boleh murur, apalagi yang sedang sakit, lansia atau penyandang disabilitas.
Bagi ulama yang mewajibkan mabit di Muzdalifah, murur yang dilakukan oleh lansia, orang yang sakit atau risti, penyandang disabilitas dan pendamping merupakan rukhsah (keringanan) bagi mereka. Hajinya sah dan tidak dikenakan dam. Pendapat ulama musytasyar dini dan ulama ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, MUI, Persis dan lain-lain, membolehkan murur seperti di atas. Hal ini makin meyakinkan jemaah bahwa meskipun murur, haji mereka tetap sah dan tidak membayar dam.

Pada masa depan, jika tidak ada perubahan yang signifikan di Muzdalifah, murur mungkin saja bukan hanya menjadi rukhsah (keringanan) bagi jemaah lansia, sakit dan ristis, penyandang disabilitas serta pendamping, tetapi dapat menjadi ‘azimah (hukum yang berlaku umum) dalam pelaksanaan manasik haji. Murur dapat menjadi fikih alternatif dan kini menjadi istilah baru dalam manasik haji yang lahir dari fukaha Indonesia. Murur selain hajinya sah juga menyelamatkan jemaah.

Abu Rokhmad

Penulis adalah Koordinator Tim Monev PPIH 2024
Staf Ahli dan Plt. Dirjen Pendis Kemenag RI

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Bekal Berhaji, Bekal Taqwa Itu Pilihan!



Jakarta

Kisah Viral

Viral ketika seorang presenter senior ternama di Indonesia melansir kisahnya. Kisah heroik, kisah spirit, disampaikan apa adanya. Begini sekelumit kisahnya itu;

‘Ketika itu ia mengikuti antrian panjang untuk memasuki Raudhah. Tempat mustajabah di masjid Nabawi, Madinah. Demi melihat antrian sangat panjang, dirinya bingung apa yang hendak dimunajatkan. Terbetik di hatinya akankah keluar saja dari antrian. Paling tidak dirinya akan mengurangi jatah antrian orang lain yang memang benar-benar memiliki kepentingan.


Tiba-tiba dilihatnya ada tempat kosong. Agak aneh karena di sekitarnya orang-orang berjejal-jejal. Dirinya masuk ke situ lalu berulang timbul kebingungan. Doa apakah yang akan dipanjatkan. Kembali dirinya ingin berbagi kesempatan. Kepada orang-orang yang sedang berjejalan.

Sebelum tiba-tiba ada orang berwajah tampan. Menyapanya dengan bahasa Palembang. Padahal dia jelas orang Arab tampan yang beraroma semerbak harum.

Tak cukup menyapa, ia memberikan buku kumpulan doa mustajabah khusus Raudhah. Berbahasa Indonesia yang gampang.

Namun sayang. Ketika dirinya pulang ke Indonesia. Bukunya tak lagi ditemukan.
Alamat orang tampan yang di Palembang pun ternyata bukan alamat betulan’.

Mengapa disebut heroik? Karena setiap kali dirinya enggan melanjutkan upaya penuh jerih payah. Adalah perasaan jangan-jangan orang lain kurang peluang. Hanya karena dirinya merasa, jangan-jangan ia menjadi penghalang orang lain untuk menemukan kelapangan tempat. Heroik, karena dirinya tidak egois. Heroik karena perhatiannya yang lebih kepada bukan dirinya.

Mengapa disebut spirit? Karena semuanya serba di luar logika normal. Ada orang tampan beraroma harum. Langsung menyapanya padahal belum pernah kenalan. Di tempat yang pastinya penuh kesulitan untuk mendapatkan lokasi walau hanya sejengkal. Di Raudhah. Tempat yang diagungkan. Bagi yang berumrah mau pun berhaji.

Orang tampan itu berkebangsaan Arab tapi fasih berbahasa Palembang. Segera menyerahkan buku berbahasa nasional. Bahasa Indonesia yang gampang. Buku yang berisikan doa-doa sesuai kebutuhan di tempat yang bersangkutan.

Orang tampan mengajukan alamat yang tak disebutkan lisan. Alamat yang tercantum di halaman buku. Setelah dicek ternyata alamatnya bukan alamat betulan. Bukunya pun tak dapat lagi ditemukan.

Ketika yang bersangkutan sampai di negara asal. Banyak sudah urutan alasan yang tak satu pun bisa dipecahkan dengan logika yang wajar. Semuanya di luar nalar yang normal.

Sungguh belum mudah dinalar. Ia pergi ke suatu tempat mustajabah (Raudhah), tanpa persiapan pemahaman. Awam dari bahasa Arab terkait doa. Awam tentang permohonan apa yang sewajarnya dipanjatkan. Entah awam apalagi yang semuanya menjadi alasan untuk membalikkan badan. Batal munajat walau sudah terlanjur lewati antrian sangat panjang.

Kebaikan Langka Yang Termasuk Taqwa. Mengutamakan orang lain daripada dirinya, adalah perilaku yang selalu disanjung pujian dalam Islam. Ada ayat alQuran yang jelas menyanjung ulung mereka yang mampu melakukannya (al Hasyr: 9) “Mereka lebih mengutamakan (orang lain) daripada dirinya, sekalipun mereka sendiri butuh.”

Pernah di masa Rasulullah saw. seorang perantauan kehabisan bekal. Ia datang
ketika hari petang menjelang malam. Bukan hanya habis bekal. Ia pun mengeluh
lapar.

Demi di rumah Rasulullah tidak tersedia makanan. Beliau menawarkan kepada para sahabatnya siapa yang berkenan menjamu musafir itu.

Spontan satu orang mengacungkan tangan, Abu Thalhah al-Anshari. Ia berkenan menyiapkan makan untuk sang musafir.

Diajaklah orang asing itu ke rumahnya. Sesampai di rumah, ia menyampaikan pesan kepada istrinya, Ummu Sulaim agar menyiapkan makan.

Namun sayang, istrinya bilang makanan yang ada hanya cukup untuk satu orang. Untuk anaknya yang juga belum makan.

Sontak Abu Thalhah menyiapkan strategi pengamanan. Istrinya diminta menidurkan putranya lebih awal. Agar ketika sampai jam makan, putranya sudah ketiduran.

Piring satu disiapkan untuk tamu. Abu Thalhah siapkan piring tampa isi makanan. Ada sendok sebagai strategi pengaburan.

Agar berbunyi seolah dirinya menemani makan sang musafir yang telah diundangnya makan.

Lampu dimatikan. Strategi gampang agar tak menjadikan tamu paham kalau tuan rumah siapkan piring tampa isi makanan.

Tamu lahap menyantap hidangan. Sementara Abu Thalhah, istrinya, berikut putranya lewatkan malam tampa secuil makanan.

Esok harinya Abu Thalhah menuju Rasulullah untuk melaporkan kejadian semalam. Namun sebelum Abu Thalhah berbincang kejadian semalam. Sambil tersenyum
Rasulullah berujar, “Wahai Abu Thalhah, Allah SWT kagum dengan perbuatanmu menjamu tamu semalam.”

Allah berkenan kepada Abu Talhah dan keluarganya atas perbuatan mereka tadi malam. Malaikat Jibril as. menyampaikan
berita itu kepada Rasulullah sebelum Abu Thalhah datang.

Karakter, akhlak biasa mendahulukan kepentingan orang lain dalam kebaikan, adalah perbuatan taqwa. Bekal taqwa menjadikan orang terselamatkan. Siapa yang berbekal taqwa mudah menggapai tujuan, mudah memperoleh bantuan tepat pada waktu yang dibutuhkan di mana pun dan kapan pun. Tidak harus melalui logika yang biasa dipahamkan orang. Presenter senior kenamaan itu menceritakan bukti apa adanya.

Perilakunya selaras dengan tauladan Abu Thalhah dan keluarganya. Gemar mendahulukan orang lain, menjadi dasar perilaku shalehnya. Perilaku taqwa. Perilaku yang diridlai Tuhan. Ia memperoleh sekian banyak kemudahan yang sulit dilogikakan.

Siapa pun kita, kemana pun arah kita menuju, taqwa adalah pilihan utama sebagai bekal. Terlebih dalam berhaji, bekal taqwa merupakan bekal yang dipilihkan Tuhan.

Hayo kita upayakan, untuk selalu berbekal taqwa dalam setiap perjalanan. Utamakan orang lain daripada diri sendiri untuk setiap keperluan maslahat di jalan Tuhan.

Kita berlatih dan terus latihan. InsyaAllah kita pun bisa disayang Tuhan. Ditolong Tuhan kapan pun kita memerlukan!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya.
Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Shalawat untuk Kaya, Kok Bisa?



Jakarta

“Berkat shalawat Nabi, sampean tahu? Saya bangun pondok sampai tiga tingkat. Nggak pernah minta dukungan dana masyarakat. Nggak pernah mengedarkan proposal. Modalnya hanya shalawat. Uang yang datang, nggak habis-habis. Itu berkat shalawat,” ujar Kiai Achmad Masduqie Machfudh. Rais Syuriyah PBNU periode 2010-2015. Pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Nurul Huda Mergosono, Malang.

“Orang yang kikir adalah orang yang namaku disebut di hadapannya tetapi dia tidak membaca shalawat kepadaku,” sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits shahih (HR At-Tirmidzi).

Di dalam suatu kisah, ada seorang yang sangat kaya. Saking kayanya, gamis luarnya berharga ratusan juta. Orang yang menatapnya, menatap kagum sampai sulit mengungkapkannya. Ada orang yang tidak punya, tapi dengan lugu memuji orang kaya itu. “Duh betapa bagus baju yang Anda pakai,” celetuknya dengan nada polos. “Ehm, bagaimana seandainya ini menjadi milik Saudara?” tanya si orang kaya mencoba ‘mengusap’ kekaguman si orang tak berpunya itu. “Ah, mana mungkin cocok, kan saya bukan orang yang pantas memakainya”, lanjutnya tak ada harap. Serentak si orang kaya melepaskan gamis dari tubuhnya, memakaikannya kepada orang tak berpunya tadi. Tampak kedermawanan yang mengagumkan!


Eh tapi tunggu dulu. Andai orang kaya dengan ‘kedermawanannya’ itu tidak menyambut shalawat ketika disebut nama Rasulullah, maka ia pun termasuk golongan kikir.

Dalam sarah hadits (kalau hadits = sarah; kalau Al-Qur’an = tafsir) jika orang tidak bershalawat disebut kikir (lawwazimul ma’nanya = konsekuensi maknanya) maka yang bershalawat disebut dermawan. Semakin rajin bershalawat maka semakin dermawan orang itu. Nah, tidak pernah ada teori yang mengatakan orang dermawan menjadi kekurangan. Yang benar, orang dermawan pasti semakin kaya. Kita simak kisah dermawan umat nabi Musa AS ini!

Ada sepasang suami istri, hidup dalam kemiskinan selama bertahun-tahun di zaman Nabi Musa AS. Suatu hari, dalam keadaan tenang, sang istri berkata kepada suaminya, “Bang, bukankah Musa itu Nabi Allah dan bisa berbicara dengan-Nya?” “Benar,” ujar sang suami.

“Kenapa kita tidak coba pergi kepadanya, bercerita tentang kondisi kita? Kita minta dia berbicara kepada Tuhannya agar kita diberi kekayaan, agar kita bisa hidup senang dan berkecukupan.”

Besoknya, mereka mendatangi Nabi Musa, menyampaikan maksudnya. Lalu, Nabi Musa bermunajat menghadap Allah, memohonkan keinginan suami istri itu. Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, tidak ada satu pun yang tersembunyi dari-Nya, di langit mau pun di bumi. Allah berfirman: “Wahai Musa, sampaikan kepada mereka bahwa Aku telah mengabulkan permintaan mereka. Aku akan memberi mereka kekayaan, tapi hanya satu tahun. Setelah itu, Aku akan kembalikan mereka menjadi orang miskin.”

Sontak, ketika mendengar kabar dari Nabi Musa, pasangan suami istri ini gembira luar biasa. Tepat beberapa hari berselang, rezeki melimpah dari arah yang tidak mereka duga. Menjadikan mereka kaya raya. Mereka hidup senang dan bahagia. Sang istri berujar kepada sang suami, “Bang, ingat loh ya, kita diberi kekayaan hanya satu tahun. Setelah itu kita akan miskin lagi.” “Benar,” jawab sang suami. “Kalau begitu, kita gunakan saja kekayaan ini untuk membantu banyak orang. Paling tidak dalam setahun ini, kita akan siapkan makan orang-orang fakir dan menyantuni anak yatim.” Sang suami setuju. Lalu mereka membangun rumah singgah untuk membantu para musafir. Rumah itu dibangun dengan tujuh pintu, masing-masing pintu menghadap ke jalan yang berjumlah tujuh persimpangan. Keluarga ini pun mulai menyambut setiap musafir yang datang dan memberi mereka makan dan tempat singgah gratis, siang malam. Mereka terus sibuk melayani orang yang membutuhkan selama berbulan-bulan. Setahun berlalu sepasang suami istri ini tetap sibuk membantu para musafir dan memuliakan tamu yang berdatangan. Kehidupan mereka pun tetap kaya. Mereka lupa dengan tenggat waktu yang ditetapkan Allah tersebut.

Melihat itu, Nabi Musa pun heran, lalu bertanya kepada Allah seraya berkata: “Wahai Rabb, Engkau telah menetapkan syarat kepada mereka hanya satu tahun. Sekarang, sudah satu tahun lebih, tetapi mereka tetap hidup kaya?” Allah berfirman: “Wahai Musa, Aku membuka satu pintu di antara pintu-pintu rezeki kepada keluarga tersebut, lalu mereka membuka tujuh pintu untuk membantu hamba-hamba-Ku. Wahai Musa! Aku merasa malu kepada mereka. Wahai Musa! Apakah mungkin hamba-Ku lebih dermawan dari-Ku?” Nabi Musa menjawab: “Maha Suci Engkau Ya Allah, Maha Mulia urusan-Mu dan Maha Tinggi kedudukan-Mu”

Salah satu manfaat membaca shalawat adalah menjadikan orang lebih meneladani Rasulullah. Antara lain sifat beliau yang sangat dermawan. Kalau demikian, semakin banyak bershalawat semakin tinggi pula tingkat kedermawanan seseorang. Semakin dermawan seseorang, insyaallah pastilah semakin kaya orang itu. Kisah sepasang suami istri yang sangat dermawan di jaman nabi Musa as. adalah buktinya. Memperbanyak membaca shalawat mengantar seseorang menjadi semakin dermawan. Kita perbanyak shalawatan yuk!

Abdurachman

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Pemerhati spiritual medis dan penasihat sejumlah masjid di Surabaya.

Artikel ini adalah kiriman dari pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Perjumpaan Democracy dan Shuracracy (1)



Jakarta

Murad Wilfried Hofmann, seorang muallaf dan mantan Dubes Jerman di Algeria dan Marocco, serta mantan Direktur Informasi NATO, mendalami dan mengidentifikasi apa yang dimaksud dengan konsep musyawarah (syura) dalam Fikih Siyasah Islam atau yang dijelaskan dalam Q.S. Ali Imran/3:159 dan al-Sura/42:38, dan sejumlah hadis yang senapas dengan ayat tersebut. Ia juga mendalami fakta sejarah dunia Islam yang menyuguhkan model-model suksesi yang amat beragam dipraktekkan dalam lintasan sejarah dunia Islam.

Ia berpendapat konsep demokrasi sebagaimana diperkenalkan dalam pemikiran platonisme tidak identik dengan konsep syura yang diperkenalkan di dunia Islam. Menurutnya, yang lebih tepat ialah syuracracy (dari kata syura dan cracy). Dalam artikelnya yang berjudul “Democracy or Shuracracy”, ia mengesankan sistem politik di dalam Islam, yang ia eksplorasi sendiri dari dalam Al-Qur’an, Hadis, dan para pemikir Islam, tidak persis sama dengan teori dan penerapan demokrasi sebagaimana yang berkembang di barat. Namun ia juga tidak setuju pendapat sejumlah pemikir fundamental muslim yang mempertentangkan Islam dengan konsep demokrasi, kemudian menggagas konsep teodemokrasi sebagaimana digagas oleh Al-Maududi dkk.

Ketika demokrasi dinilai gagal menjadi solusi terhadap problem kemasyarakatan, apalagi nilai-nilai demokrasi dianggap berbenturan dengan nilai-nilai kearifan lokal, maka pada saat itu resistensi demokrasi akan semakin kuat di dalam masyarakat tersebut. Dalam kondisi seperti ini masyarakat akan memunculkan konsep alternatif. Demokrasi di dalam berbagai konsep selalu mendasarkan pandangannya kepada hak-hak dan kebebasan manusia, baik individu maupun masyarakat. Demokrasi yang lebih menekankan pentingnya kebebasan individu di dalam negara biasa disebut demokrasi liberal. Sedangkan demokrasi yang lebih menekankan pentingnya masyarakat di dalam negara biasa disebut demokrasi sosial. Demokrasi liberal mempunyai prinsip bahwa kebebasan individu harus ditempatkan di atas segala-galanya oleh negara. Berbeda dengan demokrasi sosial yang mempunyai prinsip bahwa masyarakat sebagai kumpulan individu dan keluarga harus lebih diutamakan dan negara harus menjamin dan melindungi hak dan eksistensi masyarakat tersebut.


Sementara di dalam Islam, menurut Hofmann, individu dan masyarakat masing-masing memiliki unsur dan potensi yang sama dan sebangun dan tak bisa dinafikan eksistensinya satu sama lain. Individu memberikan dan sekaligus memperoleh pengaruh dari masyarakat. Demikian pula sebaliknya, masyarakat memberikan dan sekaligus memperoleh pengaruh dari individu. Kedaulatan mutlak di dalam negara tidak otomatis berada pada individu dan masyarakat (sovereignty of people), karena masih ada hukum-hukum Tuhan yang lebih tinggi (sovereignty of God). Kedaulatan individu atau masyarakat di dalam negara hanya sejauh yang diizinkan oleh Sang Pemegang Kedaulatan Tertinggi (Tuhan) yang dapat diketahui melalui kitab suci-Nya (Al-Qur’an dan Hadis). Al-Maududi dan sejumlah pemikir Islam lainnya menyebut konsep semacam ini dengan Divine Democracy atau theo-democracy. Yang lebih rumit lagi ialah konsep teokrasi, yang seolah-olah menafikan unsur manusia dan masyarakat di dalam kepemimpinan umat. Mereka berpendapat keseluruhan proses politik kenegaraan itu harus berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis, walaupun di dalam penjabarannya kemudian sesungguhnya tidak lain adalah penafsiran tokoh-tokoh mereka terhadap sejumlah ayat dan hadis. Kelompok inilah yang selalu mengidealisir terwujudnya apa yang disebutnya dengan Negara Islam (Daulah al-Islamiyyah).

Kehadiran umat Islam di AS, sebagaimana halnya umat-umat agama lain, langsung atau tidak langsung, ikut memperkaya konsep demokrasi yang dianut dan yang berkembang di AS. Kita tidak bisa menyebut AS adalah negara demokrasi sejati yang tidak memberikan ruang terhadap nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Piagam pendirian negara AS dan lambang-lambang negara ini selalu akrab dengan nilai-nilai agama, sampai mata uangnya pun mencantumkan: In God We Trust.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com