Category Archives: Dakwah

Makna Imsak Bukan Hanya Berhenti Sahur



Jakarta

Waktu imsak menjadi penanda menjelang habis waktu sahur saat puasa Ramadan. Lebih dari itu, imsak memiliki makna yang lebih luas lagi.

Menurut Habib Ja’far, imsak memiliki dua makna jika dilihat dari sifatnya. Pertama, makna yang bersifat sufistik atau dimensi spiritual dan makna yang sifatnya menjadi sandaran hukum Islam atau fikih.

“Ada dua makna yang paling nggak tentang imsak. Pertama makna yang sifatnya sufistik atau spiritualis. Dan yang kedua makna yang sifatnya hukum atau disebutnya juga fikih,” ucap Habib Ja’far dalam detikKultum detikcom, Senin (27/3/2023).


Habib Ja’far menjelaskan, makna imsak yang pertama secara bahasa bisa digabung dengan kata ‘an atau bi, yakni imsak ‘an dan imsak bi. Jika diartikan, imsak ‘an artinya menahan diri, sedangkan imsak bi artinya berpegang teguh.

“Maka imsak ‘an artinya menahan diri dari segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa kita atau mengotori kita sebagai seorang muslim,” ujarnya.

Beberapa contoh imsak ‘an, kata Habib Ja’far, antara lain makan, minum, mengumbar nafsu dan lain sebagainya. Termasuk mengotori diri kita sebagai seorang muslim, seperti suudzon, sombong, adu domba, dan semacamnya.

Adapun, imsak bi yang artinya berpegang teguh, maksudnya adalah seseorang menahan diri karena berpegang teguh kepada agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang sumbernya dari Allah SWT. Demikian jelas Habib Ja’far.

Sebagai seorang muslim, makna imsak ‘an dan imsak bi tersebut harus digabungkan agar puasanya bernilai ibadah, bukan sekadar merasakan haus dan lapar saja.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

Artinya: “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Selengkapnya detikKultum Habib Ja’far: Makna Imsak Bukan Hanya Berhenti Sahur tonton DI SINI.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Pentingnya Tobat Nasuha, Cara Terbebas dari Dosa



Jakarta

Manusia merupakan ladangnya dosa, tak jarang kita terjerumus ke dalam perbuatan maksiat. Karenanya, untuk mendapat ampunan Allah SWT, seorang muslim diminta bertobat.

Tobat bukan hanya sekedar mengucap istighfar, tetapi juga disertai dengan usaha meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tercela. Dalam kaitannya, ada yang disebut dengan tobat nasuha.

Tobat nasuha merupakan tobat yang dilakukan dengan ikhlas serta jujur. Hal tersebut dijelaskan dalam surat At Tahrim ayat 8, Allah SWT berfirman:


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ يَوْمَ لَا يُخْزِى ٱللَّهُ ٱلنَّبِىَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ ۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَٰنِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَٱغْفِرْ لَنَآ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhah (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu,”

Bersamaan dengan itu, Prof Nasaruddin Umar menuturkan bahwa sebagai hamba Allah, janganlah kita takut dan khawatir ketika berbuat dosa. Apabila kita bertobat nasuha, tentu Allah SWT akan mengampuni segala kesalahan yang kita perbuat, sebab Allah Maha Pengampun.

“Jadi sebesar apapun dosa yang pernah kita lakukan, lalu kita datang (untuk) tobat nasuha, insyaAllah kita akan menjumpai Tuhan yang Maha Pengampun, Pemaaf, Pengasih dan Penyayang,” ujarnya dalam detikKultum detikcom, Senin (27/3/2023).

Dalam hal ini, Prof Nasaruddin Umar mencontohkan kisah nyata seorang algojo yang telah melakukan dosa besar yakni membunuh hingga 99 orang. Kala itu, ia bertanya kepada seorang kyai apakah dosanya bisa diampuni atau tidak oleh Allah SWT.

Sang kyai yang terkejut lantas berkata bahwa membunuh satu orang saja bisa masuk ke dalam neraka, bagaimana sampai 99.

“Dengan ringan tangan, si algojo ini menghunus pedangnya dan menebas leher sang kyai. Jadilah total 100 orang yang telah ia bunuh,” cerita Prof Nasaruddin.

Setelah itu, sang algojo bertanya kepada warga sekitar mengenai keberadaan ulama terkenal lainnya. Salah satu warga mengatakan bahwa banyak ulama terkenal lainnya yang berada di kampung seberang.

Naasnya, ketika algojo tersebut sampai di perbatasan desa ia terjatuh dan meninggal. Datanglah malaikat penjaga neraka dan surga, keduanya berdebat siapa di antaranya yang akan membawa si algojo.

Simak kelanjutan kisah lengkapnya dalam detikKultum Prof Nasaruddin Umar: Pentingnya Tobat DI SINI.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Bahagia saat Buka Puasa Insyaallah Husnul Khatimah



Jakarta

Waktu berbuka yang ditandai dengan kumandang azan magrib menjadi saat yang dinantikan oleh orang yang menjalankan ibadah puasa. Terlebih, berbuka puasa menyimpan sejumlah keutamaan.

Habib Ja’far mengatakan, di balik penantian datangnya waktu magrib ini ada hikmah yang bisa dipetik oleh umat Islam. Salah satunya untuk menjadikannya sebagai waktu paling ditunggu dalam beribadah di awal waktu.

“Hikmahnya adalah coba deh kalau bisa pertahanin excited-nya kita nunggu azan magrib itu bukan hanya saat berpuasa di bulan Ramadan, tapi di bulan-bulan lainnya setiap saat jadikanlah azan magrib dan azan lainnya sebagai waktu yang paling ditunggu untuk kita beribadah, baik salat maupun ibadah-ibadah lainnya di awal waktu,” ucap Habib Ja’far dalam detikKultum detikcom, Selasa (28/3/2023).


Menurut Habib Ja’far, mempertahankan antusiasme dalam menunggu waktu magrib maupun azan lainnya menunjukkan bahwa kita benar-benar hamba yang taat.

Kemudian, Habib Ja’far menjelaskan bahwa orang yang berpuasa akan meraih dua kebahagiaan. Yakni bahagia karena berbuka dan bahagia ketika bertemu Tuhannya. Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda,

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

Artinya: “Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan, kegembiraan ketika berbuka puasa/berhari raya, dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya.” (HR Muslim)

“Karena itu ketika kita berbuka puasa berbahagialah dengan buka puasa kita. Jangan kemudian ketika berbuka puasa kita menjadikan momen itu sebagai momen yang tidak bahagia,” ujar Habib Ja’far.

Habib Ja’far mengatakan, orang yang berbahagia ketika buka puasa Insyaallah akan berbahagia pula ketika bertemu dengan Allah SWT atau meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Mengapa demikian? Selengkapnya detikKultum Habib Ja’far: Bahagia saat Buka Puasa Insyaallah Husnul Khatimah tonton DI SINI.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Menolak Satu Mudharat Lebih Utama dari Mengejar Manfaat



Jakarta

Secara bahasa, mudharat diartikan sebagai kondisi yang sangat berbahaya. Dalam Al-Qurthubi disebutkan bahwa mudharat berarti pelarangan yang sifatnya mutlak karena membahayakan atau menderitakan.

Sementara itu, ahli ushul fikih menyebut pengertian mudharat sebagai perbuatan yang tidak mengandung manfaat dan bahkan bisa melukai seseorang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa mudharat merupakan perbuatan yang tidak berarti dan cenderung berbahaya.

Berkenaan dengan mudharat, Prof Nasaruddin Umar menerangkan bahwa menolak suatu mudharat lebih utama daripada mengejar satu manfaat. Ia mencontohkan perihal pandemi COVID-19 yang sempat merebak di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.


“Kalau orang yang tidak mengerti ushul fikih itu bisa memprovokasi dan menimbulkan salah paham. Seperti pelarangan ke masjid saat pandemi COVID-19 oleh pemerintah,” kata Prof Nasaruddin dalam detikKultum detikcom, Selasa (28/3/2023).

Ia menerangkan, langkah yang diambil pemerintah melakukan pelarangan dinilai tepat, karena ada kaidahnya. Sebab, apabila umat muslim diizinkan pergi ke masjid kala COVID-19 merebak, tentu penularan akan semakin meluas.

“Misal nekat, tidak peduli dan tetap pergi ke masjid saat COVID-19 mengamuk. Dia sehat, tapi begitu sampai rumah, orang tuanya yang rentan terkena virus. Apa yang terjadi? Bapak ibunya meninggal karena dia sholat di masjid,” papar Prof Nasaruddin Umar.

Mencegah musibah lebih penting daripada mengejar manfaat. Contoh lainnya seperti pelaksanaan sholat Jumat. Meskipun wajib, apabila ada sesuatu seperti sakit, musafir, maka boleh diganti menjadi sholat Dzuhur biasa, begitu pun ketika pandemi COVID-19.

Menurut Prof Nasaruddin, hal tersebut tidak melanggar syariat agama dan boleh dilakukan dalam keadaan darurat. Ia mengimbau kaum muslim untuk beragama secara benar, bukan secara nekat.

Lebih lanjut ia memaparkan tentang dua macam hukum yang harus diikuti, yaitu hukum alam (takwini) dan hukum syariah (tasyri’i). Apabila keduanya bertentangan, kita diminta memilih salah satu yang menguntungkan kehidupan kita.

“Contohnya, ulama mengatakan rapatkan shafnya ketika sholat. Tapi dokter mengatakan social distancing, mau ikut dokter atau hadits? Kita harus menyelamatkan tubuh, maka prioritaskan hukum takwini,” kata Prof Nasaruddin.

Selengkapnya detikKultum Prof Nasaruddin Umar: Menolak Satu Mudharat Lebih Utama dari Mengejar Satu Manfaat klik DI SINI.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Generasi Muslim Harus Jadi Pembaca dan Pengamal



Jakarta

Membaca adalah salah satu ibadah dalam Islam. Perintah membaca merupakan wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.

Hal tersebut diungkapkan Habib Ja’far dalam detikKultum detikcom, Rabu (29/3/2023). Habib Ja’far menjelaskan, aktivitas membaca di sini meliputi berbagai hal.

“Apa yang perlu dibaca? Segala hal. Buku, alam semesta, bahkan diri kita sendiri diwajibkan bagi kita untuk membacanya,” kata Habib Ja’far.


Habib Ja’far menjelaskan lebih lanjut, perkara terpenting dalam hal ini adalah membaca atas nama Allah SWT. Sebab, semakin dalam kita membaca, semakin dalam pula kita tunduk pasrah terhadap Allah SWT.

Sebagaimana firman-Nya dalam surah Al ‘Alaq ayat 1,

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ١

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!”

Membaca menjadi perkara yang penting dalam Islam agar kita mengetahui sesuatu yang tidak pernah diketahui sebelumnya. “Karena ketika kita belum tahu, kita tentu tidak akan menghindari sesuatu yang buruk atau menjalankan sesuatu yang baik,” ujar Habib Ja’far.

Setelah membaca, kata Habib Ja’far, kita harus mengamalkannya. Sebab, dalam Islam membaca saja tidak cukup tanpa dilengkapi dengan mengamalkan atas apa yang telah kita baca. Demikian halnya jika hanya mengamalkan tanpa membaca, itu bisa menjadi perkara yang menyesatkan.

Habib Ja’far memberikan contoh perjuangan para ulama yang membaca dengan keterbatasannya kala itu. Selengkapnya detikKultum Habib Ja’far: Generasi Muslim Harusnya Jadi Pembaca dan Pengamal tonton DI SINI.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Tabungan Spiritual sebagai Upaya Penolak Bala



Jakarta

Dalam Al-Qur’an, kata bala diartikan sebagai ujian dari Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Setiap manusia yang hidup di dunia, tidak terlepas dari hal tersebut.

Bala datangnya mutlak dari Allah SWT, ujian tersebut diberikan agar Allah mengetahui mana orang-orang yang bersabar dan mana yang tidak.

Prof Nasaruddin Umar dalam detikKultum detikcom Rabu (29/3/2023) menyampaikan bahwa tolak bala bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui spiritual saving atau tabungan spiritual.


“Amal kebaikan yang kita lakukan dapat menjadi tolak bala bagi kita dan salah satu jalan pertolongan dari Allah SWT,” katanya menerangkan.

Tabungan spiritual tersebut dapat dijadikan kekuatan untuk memohon kepada Allah SWT. Terlebih di bulan Ramadan, momentum tersebut dapat dimanfaatkan dengan amal istimewa yang nantinya akan menjadi tabungan spiritual bagi masing-masing muslim.

Contoh dari spiritual saving sendiri seperti taat kepada kedua orang tua, jujur terhadap pekerjaan, hingga bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Berkaitan dengan tabungan spiritual sebagai upaya penolak bala, Prof Nasaruddin mencontohkan kisah yang pernah disampaikan dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW.

Terdapat tiga orang pemuda yang bekerja sebagai pencari kayu bakar. Kala itu, mereka tengah melakukan pekerjaan seperti biasanya di hutan.

Tiba-tiba terjadi hujan lebat, bersembunyilah mereka di dalam sebuah gua. Sayangnya, hujan tersebut tiba-tiba disertai dengan gempa bumi dan longsor, akibatnya sebuah batu besar menutupi pintu gua tersebut.

Salah satu pemuda yang paling tua berkata bahwa mereka tidak mungkin bisa selamat dari sini, karena batu tersebut terlalu besar dan tidak bisa disingkirkan dengan tangan kosong. Menurutnya, hanya Allah yang bisa menyelamatkan mereka di sana.

Lantas ia bertanya kepada dua pemuda lainnya, adakah di antara mereka yang memiliki amalan istimewa? Saling bertatapan, mereka menjawab tidak ada. Lalu, si pemuda yang paling tua itu memohon kepada Allah SWT.

“Ya Allah, hambamu adalah orang awam yang tidak punya kelebihan apapun, tidak punya maal istimewa, kecuali pernah suatu saat ibu saya sakit keras dan meminta dibelikan susu segar tengah malam,” kata Prof Nasaruddin menceritakan.

Karena waktu itu tengah malam, tentu tidak ada penjual yang bisa dibeli dagangan susu segarnya. Akhirnya si pemuda yang paling tua tersebut mengunjungi satu-satu rumah tetangganya hingga terkumpul satu gelas susu.

Setelahnya, ketika ingin memberikan susu tersebut kepada sang ibu ternyata beliau sudah lebih dulu tidur. Barulah keesokan Subuh ia berikan susu kepada ibunya.

Pemuda tersebut memohon, apabila hal yang ia perbuat waktu itu kepada sang ibu ada manfaatnya, maka tolonglah dibukakan pintu gua tersebut dari batu yang menghalanginya. Atas izin Allah, pintu gua tersebut terbuka sedikit, muncullah celah kecil namun tetap tidak bisa digunakan untuk keluar.

Simak kisah lengkapnya mengenai tiga pemuda tersebut dalam detikKultum Prof Nasaruddin Umar: Tolak Bala DI SINI.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Puasa Jadi Ajang Latih Kejujuran



Jakarta

Ceramah singkat Ramadan dapat digunakan ketika mengisi kultum atau ceramah lainnya ketika dalam nuansa bulan suci Ramadan. Contoh ceramah singkat Ramadan kali ini bertema tentang Ramadan sebagai latihan kejujuran dan moral.

Dalam bulan Ramadan tentunya kita berlomba-lomba dalam mencari pahala serta menuai kebaikan agar mendapatkan ridha-Nya. Oleh karena itu, ceramah dapat menjadi salah satu jembatan untuk bersama-sama saling membantu dalam memberikan pengetahuan baru sekaligus ajakan untuk berbuat baik.

Berikut ini adalah contoh teks ceramah singkat Ramadan mengenai bulan Ramadan sebagai ajang latihan kejujuran dan moral kemanusiaan yang dikutip dari laman Kementerian Agama (Kemenag).


Contoh Teks Ceramah Singkat Ramadan

Assalamualaikum Wr. Wb.

Para hadirin jemaah yang berbahagia.

Manusia dikenal sebagai makhluk moral yang perilakunya menggambarkan keyakinan hidup yang dianut. Dalam ajaran Islam, iman dan amal, keyakinan dan perilaku, harus sejalan. Moral kemanusiaan yang tinggi merupakan manifestasi dari keimanan dalam hati manusia. Tidak ada pondasi moral yang lebih kokoh daripada keimanan kepada Allah. Salah seorang Filsuf Jerman mengatakan, “Barangsiapa mencari sistem moral yang paling kokoh, dia tidak akan menemukannya, kecuali dalam ajaran agama.”

Puasa Ramadan salah satu fungsinya adalah bisa dijadikan ajang melatih umat Islam akan pentingnya sifat jujur dan kejujuran. Secara universal, kejujuran diakui sebagai jantung moralitas kemanusiaan. Siapa saja, bangsa mana pun, dan apapun keyakinannya pasti menghargai kejujuran dan memandang kebohongan sesuatu yang buruk dan tercela. Kejujuran akan tetap bersinar walau di tengah tumpukan kebohongan dan kepalsuan.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah An Nisa ayat 9 yang berbunyi,

فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا …

Artinya: … Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).

وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌۗ …

Artinya: … Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS Al Hadid: 4)

Dalam sebuah hadits, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ جَبَانًا ؟ فَقَالَ: ( نَعَمْ ) ، فَقِيلَ لَهُ: أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ بَخِيلًا ؟ فَقَالَ: ( نَعَمْ ) ، فَقِيلَ لَهُ: أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا ؟ فَقَالَ: ( لَا ).

”Mungkinkah seorang mukmin itu pengecut?”

”Mungkin,” jawab Rasulullah.

”Mungkinkah seorang mukmin itu bakhil (kikir)?”

”Mungkin,” lanjut Rasulullah.

”Mungkinkah seorang mukmin itu pembohong?”

Rasulullah SAW menjawab, ”Tidak!’

Sayyid Sabiq, ulama besar dari Universitas Al-Azhar Cairo dalam bukunya Islamuna ketika menukilkan hadits di atas menulis bahwa iman dan kebiasaan berbohong tidak bisa berkumpul di dalam hati seorang mukmin. Rasulullah SAW berwasiat, agar umat Islam memiliki sifat jujur dan menjauhi sifat pembohong. Sebab, Islam tidak akan tumbuh dan berdiri kokoh dalam pribadi yang tidak jujur.

Para jemaah yang dirahmati Allah,

Dalam sejarah, pribadi besar Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi rasul dengan menerima wahyu pertama dari Allah, telah dikenal lebih dulu sebagai pribadi yang jujur hingga di lingkungannya di Makkah dengtan diberi gelar Al-Amin.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata: Rasulullah bersabda,

”Berpegang-teguhlah dengan kebiasaan berkata benar. Sesungguhnya berkata benar mengantarkan kepada kebaikan. Kebaikan akan mengantarkan ke surga. Seseorang yang selalu berkata benar, dia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang benar. Dan jauhilah kebohongan. Sesungguhnya kebohongan mengantarkan kepada kejahatan. Kejahatan mengantarkan ke neraka. Seseorang yang biasa berbohong, dia akan ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.” (HR Bukhari & Muslim).

Kisah sahabat nabi, yaitu Khalifah Umar bin Khattab ketika menguji kejujuran seorang anak gembala kambing di Madinah lima belas abad yang lampau menarik direnungkan. “Juallah kepadaku seekor anak kambingmu ini, toh tuanmu di balik bukit sana tidak tahu. Katakan saja kepada tuanmu, anak kambing itu telah dimakan serigala”

Si anak gembala menjawab, “Kalau begitu, fa ainallah!” artinya di mana Allah? Khalifah Umar langsung mengajak anak gembala yang telah lulus ujian kejujuran itu untuk bersama-sama menemui tuannya. Khalifah Umar menebus kemerdekaan anak itu dari perbudakan dan menjadikannya manusia merdeka.

Umar berpesan, “Kalimat ini, fa ainallah (di mana Allah), telah memerdekakanmu di dunia. Semoga kalimat ini (pula) akan memerdekakannmu di akhirat kelak.”

Pemerintahan yang bersih dan berwibawa untuk kesejahteraan rakyat membutuhkan tegaknya kejujuran dan mental kenegarawanan pada semua aparatur penyelenggara negara. Kejujuran para ilmuwan sangat dibutuhkan sebagai penunjuk arah kemajuan bangsa dan negara.

Negara hukum yang cita-citakan oleh para pendiri bangsa membutuhkan kejujuran para penegak hukum untuk mewujudkannya. Kehidupan demokrasi yang konstitusional takkan terwujud tanpa kejujuran. Kesepakatan kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia membutuhkan kejujuran pada semua elemen bangsa agar mendatangkan keberkahan dalam kemajuan.

Kaum muslim yang dimuliakan Allah,

Dalam upaya membangun masyarakat yang jujur sebagai landasan terbentuknya bangsa dan negara yang memiliki budaya kejujuran, diperlukan pembentukan pribadi-pribadi jujur sejak dari dalam keluarga. Perbaikan akhlak bangsa haruslah dimulai dari penguatan keimanan dan membudayakan kejujuran.

Krisis kejujuran akan berdampak luas di tengah masyarakat. Krisis kejujuran menyuburkan praktik korupsi yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Karena kelihaian membuat lingkaran kebohongan, sebagian perbuatan korupsi, kolusi dan suap tidak tersentuh hukum. Akan tetapi orang beriman yakin bahwa di akhirat, di Yaumul Mahsyar, semua kebohongan dan kepalsuan akan dibuka di hadapan Mahkamah Allah dan disaksikan oleh sekalian umat manusia.

Salah satu misi dakwah ialah memperbaiki moral kemanusiaan dan akhlak bangsa. Perbaikan moral kemanusiaan dan akhlak bangsa dilakukan dengan memperkuat keimanan dan membangun kultur kejujuran. Setiap orang seyogyanya merasa malu melakukan kejahatan dan pelanggaran, meski tidak diketahui orang lain. Dalam kaitan ini, pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan basis terbentuknya karakter manusia yang beriman dan jujur.

Pembudayaan kejujuran bukan hanya membutuhkan pengetahuan, tetapi perlu keteladanan, keberanian dan integritas yang konsisten. Kejujuran tidak cukup sekadar slogan, tapi harus tertanam menjadi karakter dan kultur masyarakat. Kejujuran tidak selalu berbanding lurus dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan, tetapi menyangkut kualitas pribadi dan karakter.

Ibadah mahdhah yang diwajibkan dalam Islam mendidik setiap muslim menjadi pribadi yang jujur kepada Allah, jujur dengan diri sendiri dan jujur kepada masyarakat sekeliling. Salat, zakat, puasa, dan haji mendidik manusia agar menjadi pribadi yang jujur dan ikhlas.

Sejalan dengan misi kerisalahan Nabi Muhammad SAW untuk memperbaiki akhlak manusia, mari budayakan kejujuran dalam membangun masa depan yang lebih tentram, lebih maju dan lebih sejahtera dari yang dirasakan selama ini.

Sebuah pesan dari sahabat nabi, khalifah Usman bin Affan patut direnungkan, “Tidak seorang pun yang menyembunyikan suatu rahasia di dalam hatinya, kecuali Allah akan menampakkan pada raut wajahnya atau melalui perkataan yang terlontar dari lidahnya.”

Semoga ceramah hari ini bermanfaat bagi diri pribadi sendiri dan bagi kita semua. Aamiin yaa Rabbalalamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Itulah contoh ceramah singkat Ramadan yang bisa dijadikan sebagai referensi ketika mempersiapkan teks ceramah di bulan Ramadan. Semoga ibadah kita semua diterima Allah dan semakin digiatkan di bulan Ramadan ini ya, detikers!

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Niat Baik Tetap Tercatat meski Tak Kesampaian



Jakarta

Niat merupakan perkara yang penting dalam Islam. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menyebut bahwa segala amal bergantung pada niatnya.

Dari Umar bin Khattab ia mendengar Rasulullah SAW bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ


Artinya: Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR Bukhari dan Muslim)

Terkait hadits tersebut, Habib Ja’far menjelaskan, apabila seseorang mengerjakan sesuatu dengan niat ingin mendapat pujian dari orang lain, maka Allah SWT tidak memberikannya pahala. Sebaliknya, apabila niatnya karena Allah SWT, maka Dia menjanjikan pahala berlipat bagi orang tersebut.

“Kalau niatnya lo buat dipuji orang lain, maka Allah gak ngasih pahala buat lo karena niatnya buat orang lain. Ya udah dipuji oleh orang lain enough, cukup, karena niatnya begitu. Tapi kalau niatnya buat Allah, Allah akan janjikan pahala bukan 1 tapi 10 kali lipat, 700 kali lipat, bahkan tidak terbatas,” ujar Habib Ja’far dalam detikKultum detikcom, Kamis (30/3/2023).

Habib Ja’far menyandarkan hal itu pada sabda Rasulullah SAW dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

“Barang siapa yang berniat melakukan kebaikan lalu tidak mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna, dan jika dia berniat mengerjakan kebaikan lalu mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus lipat hingga perlipatan yang banyak.”

Habib Ja’far menjelaskan, jika terdapat kondisi di luar diri seseorang yang membuatnya tidak bisa melakukan apa yang telah diniatkan, Allah SWT akan memberikan satu pahala bagi orang yang sudah berniat tersebut karena rahmat-Nya.

Lantas, bagaimana jika niatnya untuk berbuat buruk? Apakah dosanya juga berkali lipat? Selengkapnya detikKultum Habib Ja’far: Niat Baik Tetap Tercatat meski Tak Kesampaian tonton DI SINI.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Pentingnya Baca Basmalah Sebelum Memulai Kegiatan



Jakarta

Ketika seorang muslim hendak melakukan sesuatu, Allah SWT menganjurkan kita untuk membaca basmalah. Bahkan, hal ini diterangkan dalam sebuah hadits,

“Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan bismillahirrahmanirrahim amalan tersebut terputus berkahnya,” (HR Al Khatib)

Begitu pun saat kita akan menyantap makanan, kita diminta untuk mengucapkan bismillah. Berkaitan dengan itu, Prof Nasaruddin Umar dalam detikKultum detikcom, Kamis (30/3/2023) menjelaskan terkait dua jenis makanan yang dikonsumsi manusia, yaitu makanan lahiriyah dan makanan rohani.


“Makanan lahiriyah itu seperti nasi, kopi, teh dan makanan rohani itu seperti ilmu pengetahuan. Makanan lahiriyah mengenyangkan perut, makanan rohani mengenyangkan batin,” ujarnya memaparkan.

Prof Nasaruddin menerangkan, apabila kita makan tanpa diawali dengan bismillah maka setan akan masuk melalui sela-sela makanan. Ini berlaku untuk makanan lahiriyah maupun rohani.

Tidak hanya makan, ketika hendak berkendara muslim dianjurkan membaca basmalah, memakai baju baca basmalah, menyembelih hewan, hingga ketika hendak melakukan hubungan suami istri.

“Mohon maaf bapak ibu, apabila yang sudah berumah tangga. Apabila ingin melakukan hubungan suami istri, itu juga harus diawali dengan basmalah,” tutur Prof Nasaruddin.

Selain itu, seluruh surat dalam Al-Qur’an juga diawali dengan bismillah, kecuali surat At Taubah. Karenanya, kita diimbau untuk mengawali segala sesuatu dengan basmalah.

Selengkapnya detikKultum Prof Nasaruddin Umar: Awali Semua dengan Basmalah bisa disaksisan DI SINI.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Jangan Salahkan Keadaan, tapi Diri Kita Sendiri



Jakarta

Tak sedikit dari kita mungkin masih ada yang menyalahkan keadaan ketika hal itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Habib Ja’far, yang seharusnya disalahkan adalah diri kita sendiri.

Hal tersebut diungkapkan Habib Ja’far dalam detikKultum detikcom, Jumat (31/3/2023). Habib mengawalinya dengan memberikan contoh orang yang berbuat maksiat saat bulan Ramadan menyebut itu bisa terjadi karena godaan setan. Padahal, menurut Habib, argumen tersebut hanyalah alibi.

“Bulan Ramadan argumen pembelaan itu biasanya disebut alibi ya, pembelaan yang mengada-ngada, bukan kebenaran (tapi) itu pembenaran. Itu dikritik oleh Allah melalui Nabi Muhammad yang mengatakan di bulan Ramadan itu salah satu keberkahannya adalah setan diiket,” ujar Habib Ja’far.


“Jadi, kalau di bulan Ramadan lo masih melakukan maksiat berarti bukan karena keadaan, bukan karena diganggu setan, tapi karena emang gua dan lo itu setannya. Itu the real kesurupan tu itu, bulan Ramadan masih maksiat,” imbuhnya.

Habib Ja’far menjelaskan, hal tersebut lantaran terdapat nafsu dalam diri yang tidak bisa kita kontrol. Sebab, kata Habib Ja’far, Allah SWT memberikan kedaulatan kepada setiap manusia untuk memilih keadaannya, yakni bermaksiat atau ibadah.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya: “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan tiap tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR Bukhari dan Muslim)

Karena hal itulah, kata Habib Ja’far, kita tidak bisa menyalahkan keadaan. Namun, dalam hal ini, yang bisa disalahkan adalah diri kita sendiri, mengapa bisa terbawa keadaan.

Menurutnya, orang yang bisa mengendalikan keadaan adalah orang yang beruntung. Selengkapnya detikKultum Habib Ja’far: Jangan Salahkan Keadaan, tapi Diri Kita Sendiri tonton DI SINI.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com