Category Archives: Dakwah

Tawakal Terhadap Rezeki



Jakarta

Rezeki atau rizki adalah salah satu perkara yang menjadi rahasia Allah SWT. Disebutkan Allah SWT. dalam ayat Al-Qur’an tentang rezeki bahwa rezeki sama halnya dengan kematian seseorang, umur, dan jodoh. Namun, Allah SWT. juga sudah menegaskan bahwa setiap makhluk di muka bumi telah dijamin rezekinya.

Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ahmad, an-Nasai, Ibnu Majah, ibnu Hibban ) Rasulullah SAW. bersabda, “Dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seandainya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi di waktu pagi dalam keadaan lapar dan kembali di waktu sore dalam keadaan kenyang.”

Hal ini diperkuat oleh firman-Nya surah at-Thalaq ayat 2-3 yang artinya, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”


Menurut Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Tawakal itu jadi sebab terbesar datangnya rezeki.”
Inti dari tawakal adalah benar dalam menyandarkan hati kepada Allah SWT. dalam meraih maslahat atau menolak mudarat, berlaku dalam perkara dunia maupun akhirat seluruhnya. Dalam tawakal, kita menyandarkan seluruh urusan kepada-Nya, kita juga hendaknya merealisasikan iman dengan benar yaitu meyakini bahwa tidak ada yang memberi, tidak ada yang mencegah, tidak ada yang mendatangkan mudarat, tidak ada yang mendatangkan manfaat selain Allah SWT.

Allah SWT. sebagai pemilik hamba-hambanya, Dia tidak ingin mereka ( hambanya ) memberi rezeki diri mereka sendiri. Aku telah mencukupi mereka dengan sebaik-baik pencukupan-Ku dan adanya jaminan dari-Ku. Hal ini sesuai dengan makna firman-Nya dalam surah adz-Dzariyat ayat 57 yang artinya, “Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Aku menciptakan manusia dan jin hanya agar mereka beribadah, bukan agar mereka memberi balasan apa pun kepada-Ku.”
Jelas sekali penegasan ini : Aku tidak menginginkan rezeki dari mereka dan Aku tidak berharap mereka memberi-Ku makan, karena Aku adalah Pemberi rezeki dan pemberi (segala sesuatu). Allah SWT. tidak membutuhkan makhluk-Nya, sebaliknya mereka yang membutuhkan-Nya. Allah SWT. adalah pencipta mereka, Pemberi mereka rezeki dan tidak membutuhkan mereka.

Dikisahkan, orang-orang dari kota Asya’ri, yaitu Abu Musa, Abu Malik, dan Abu Amir pergi bersama-sama untuk menemui Rasulullah SAW. Di tengah perjalanan mereka kehabisan bekal, maka mereka mengirimkan utusan kepada Rasulullah SAW. untuk memintakan bekal kepada mereka. Ketika sampai di rumah Rasulullah SAW, utusan itu mendengar beliau bersabda dari firman-Nya surah Hud ayat 6 yang artinya, “Dan, tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah lah yang memberi rezekinya……..”

Dalam hati utusan itu berkata, “Orang-orang itu sama sekali tidak percaya kepada Allah SWT. ” Akhirnya utusan tersebut langsung kembali, tidak masuk untuk menemui Rasulullah SAW. Setelah bertemu kembali kepada mereka bertiga, utusan itu berkata, “Bergembiralah kalian, telah datang kepada kalian suatu pertolongan.”

Mereka menyangka bahwa utusan itu telah menyampaikan kepada Rasulullah SAW. Selang beberapa waktu, ada dua orang datang membawa mangkuk yang penuh dengan roti dan daging. Mereka ditawari dan makan sesuka hati. Setelah menikmati hidangan tersebut, mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah Rasulullah SAW. Sampai di rumah salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami belum pernah melihat makanan yang lebih enak dan baik daripada makanan yang engkau kirim kepada kami.”
“Aku tidak mengirimkan makanan bagi kalian.” Jawab Rasulullah SAW.

Mereka kaget dan menceritakan bahwa telah mengutus seseorang untuk meminta makanan kepada Rasulullah SAW. Mendengar hal itu, Rasulullah SAW. bertanya kepada utusan dan mendapatkan penjelasan apa saja yang dilakukannya.
Lalu Rasulullah SAW. berkata, “Itu adalah rezeki Allah SWT. untuk kalian. Sehingga kalian makan dengan kenyang.”

Maka camkanlah arti tawakal yaitu, berserah diri (kepada kehendak Tuhan), dengan sepenuh hati percaya kepada Tuhan terhadap penderitaan, cobaan/ujian dan apa pun yang terjadi di dunia ini. Berusaha dengan Sungguh-sungguh. Tawakal bukan berarti pasif dan hanya menunggu keajaiban. Orang yang tawakal tetap berusaha dengan sungguh-sungguh, sambil meyakini bahwa hasil akhirnya ada di tangan Allah SWT. Ridha dengan Kehendak-Nya, menerima segala keadaan, baik suka maupun duka, dengan sikap tawakal.

Sejatinya orang yang bertawakal terhadap rezeki mereka akan bersikap mandiri, tidak cengeng, tidak sering mengeluh, tidak merengek dan minta-minta. Jika seseorang meminta bantuan atau dibantu namun tidak menjalankannya, inilah orang-orang yang tidak tahu diri dan berkhianat. Semoga Allah SWT. selalu membimbing dalam rezeki ini agar tetap bersandar pada-Nya bukan selain-Nya.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Kultum tentang Bulan Muharram Singkat


Jakarta

Kultum tentang Muharram bisa menjadi referensi khatib selama bulan ini. Sebab, Muharram adalah bulan Allah, banyak amalan yang bisa dikerjakan untuk mengisi waktu penuh keutamaan ini.

Salah satu amalan yang bisa dikerjakan umat Islam adalah puasa. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ.


Artinya: “Sebaik-baik puasa setelah bulan Ramadan adalah puasa bulan Allah Muharram dan sebaik-baik salat setelah salat wajib adalah salat malam.” (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Berikut contoh kultum bulan Muharram singkat yang bisa menjadi referensi khatib.

Kultum tentang Muharram: Bulan yang Dimuliakan Allah

Segala puji hanya bagi Allah yang maha berkehendak yang dengan kehendak-Nyalah sehingga pada kesempatan ini kita dapat berkumpul di tempat ini, tempat di mana kita melaksanakan aktivitas-aktivitas mulia yang merupakan rutinitas kita semua.

Shalawat dan salam tetap tercurah kepada baginda yang tercinta Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sosok utusan Allah pembawa risalah kebenaran akhir zaman yang ajaran-ajarannya sungguh dapat membawa kita kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhrat.

Allah subhanahu wata’ala berfirman pada ayat yang ke 36 dari surah At-Taubah yang artinya :

“Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah adalah 12 bulan sebagaimana yang tertulis di dalam ketetapan Allah. Dari 12 bulan tersebut, ada 4 bulan yang mulia. Itulah agama yang lurus maka janganlah kamu berbuat aniaya di dalam bulan-bulan tersebut”.

Ini menunjukkan kepada kita bahwasanya Allah memiliki 4 bulan yang mulia dan Allah sendiri yang memuliakannya.

Empat bulan itu adalah :

Bulan Dzulqa’dah

Bulan Dzulhijjah

Bulan Muharram

Bulan Rajab.

Bulan-bulan ini sangatlah dimuliakan oleh Allah sehingga kita pun wajib untuk memuliakannya dengan cara memperbanyak amal kebaikan dan menjauhi segala macam bentuk kezaliman karena hanya orang-orang berakal dan berimanlah yang akan memuliakan apapun yang dimuliakan oleh Allah.

Salah seorang sahabat Nabi yang bernama Ibnu Abbas pernah berkata bahwa “Allah sangatlah memuliakan 4 bulan tersebut sehingga barang siapa yang melakukan maksiat di dalamnya maka Allah akan melipatgandakan dosanya dan barang siapa yang mengerjakan amal kebaikan maka Allah akan melipat gandakan pahalanya”.

Salah seorang ulama Tabi’in yang bernama Qatadah juga pernah berkata : “Muliakanlah apa yang dimuliakan oleh Allah karena sesungguhnya memuliakan apa yang dimuliakan oleh Allah hanya akan dilakukan oleh orang yang berilmu dan berakal”.

Saat ini kita berada pada salah satu dari 4 bulan tersebut yaitu Bulan Muharram. Olehnya itu, sepatutnyalah kita bersyukur kepada Allah karena Allah masih memberikan kesempatan hidup kepada kita semua sampai saat ini sehingga diharapkan kita mampu memanfaatkan momen Muharram ini dalam rangka meraih rahmat dan ampunan dari Allah subhanahu wata’ala.

Betapa mulianya bulan Muharram ini sampai-sampai Nabi menyebutnya sebagai Bulan Allah.

Karena bulan Muharram ini adalah bulan mulia maka jangan sampai ada diantara kita yang menganggap bahwa bulan Muharram adalah bulan kesialan. Karena tidak mungkin sesuatu yang mulia di sisi Allah akan memberikan kesialan bagi hamba-Nya. Justru bulan Muharram adalah bulan keselamatan terbukti melalui kisah-kisah para Nabi dan Rasul yang mendapatkan keselamatan dari sisi Allah pada bulan Muharram semisal Nabi Musa yang mendapat perintah dari Allah untuk membelah lautan dengan tongkatnya agar selamat dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya, dan ini terjadi di bulan Muharram.

Olehnya itu marilah kita memperbanyak amal kebaikan di bulan ini dan banyak memohon keselamatan kepada Allah sehingga di kehidupan yang sementara ini kita dapat merasakan ketenangan dan kebahagiaan yang in syaa Allah pun demikian bahagia di akhirat kelak.

Demikianlah penyampaian saya pada kesempatan ini. Walaupun singkat, semoga bermanfaat bagi kita semua terkhusus bagi diri saya pribadi.

Shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Naskah kultum tentang bulan Muharram tersebut disadur dari situs Pengadilan Agama Majene.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Kucium Engkau dengan Bismillah…



Jakarta

Usai melaksanakan thawaf mengelilingi Kakbah tujuh kali putaran, pria itu berdiri sejajar dengan Hajar Aswad. Sejarak 15 depa, pandangannya seperti tak ingin berpaling dari batu hitam yang diyakini berasal dari surga itu. Meski beberapa kali pandangannya terhalang oleh puluhan bahkan ratusan jemaah yang berebut ingin menyentuh atau menciumnya.

Ini adalah ketigakalinya pria berusia 44 tahun itu berkesempatan kembali ke tanah suci. Selama itu sebenarnya dia memiliki beberapa kali kesempatan untuk berjuang mencium Hajar Aswad. Namun hal itu tak dia lakukan.

Teringat dia akan perkataan Amirul Mukminin, Umar bin Khattab tentang Hajar Aswad. “Sungguh aku tahu bahwa kau hanya batu, tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat. Sungguh, andai aku tidak melihat Nabi SAW menciummu, niscaya aku pun tidak akan menciummu!” begitu kata Umar bin Khattab seperti yang pernah dibaca pria itu dalam hadits Riwayat Imam Bukhari dan disebut dalam Kitab Ihya ‘Ulumiddin karya Imam Al Ghazali.


Kata-kata Umar inilah yang menjadi alasan pria tersebut tak pernah berusaha semaksimal mungkin untuk mencium Hajar Aswad. Selain itu, dari ustaz pembimbing haji atau umrah dan sejumlah tokoh agama dia dianjurkan untuk tidak memaksakan diri mencium Hajar Aswad. Apalagi jika harus berdesak-desakan dan beradu fisik dengan jemaah lain.

Seorang pembimbing umrah, seingat dia mengatakan, mencium atau sekadar mengusap Hajar Aswad memang sangat dianjurkan. Namun jangan sampai upaya untuk mendekati lalu mencium Hajar Aswad tersebut menyebabkan dirinya atau jemaah lain celaka.

Area mendekat Hajar Aswad selalu padat. Hampir setiap waktu, apalagi ketika musim haji atau umrah lautan manusia akan berdesakan berebut untuk mencium Hajar Aswad. Tak jarang terjadi aksi saling sikut, dorong dan tarik antar jemaah bahkan hingga saling berkelahi atau menyakiti.

Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga diri dari berbagai bentuk ancaman yang membahayakan baik diri sendiri maupun orang lain. Ada sebuah hadits yang cukup popular diriwayatkan oleh HR. Ibnu Majah dan Daruquthni sebagaimana dikutip dari kitab al-Arba’in al-Nawawiyah karya Imam Nawawi yang berbunyi, Laa dharara wa laa dirara.

Arti hadits tersebut kurang lebih, ‘Janganlah memberikan kemudaratan pada diri sendiri, dan jangan pula memudarati orang lain’. Ada juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam al-Tirmidzi, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa melakukan kemudaratan pada seorang Muslim, maka Allah akan menimpakan kemudaratan kepadanya.”

Di sisi lain, pria tersebut juga pernah mendapat penjelasan dari seorang ustaz tentang keutamaan mencium Hajar Aswad. Rasulullah tidak mewajibkan umat Islam untuk mencium Hajar Aswad. Jika memang memungkinkan dibolehkan mencium, tapi kalau tak bisa cukup menyentuh dengan tangan.

Apabila menyentuhpun tidak mungkin, cukup dengan memberi isyarat dari jauh, dengan tangan atau tongkat yang dibawanya, kemudian menciumnya. “Mencium Hajar Aswad mencerminkan sikap kepatuhan seorang Muslim mengikuti sunnah Rasulullah SAW,” kata ustaz tersebut.

Ketika mencium atau menyentuh Hajar Aswad, umat Islam diingatkan untuk mengingat bahwa Allah subḥānahu wataʿālā, adalah satu-satunya Dzat yang patut disembah. Saat mencium Hajar Aswad harus dengan niatan seutuhnya berserah diri dan tunduk kepada Allah SWT.

Sesaat pria tersebut mengalami dilema, antara melanjutkan mencium Hajar Aswad atau tidak. Saat itu persis awal Ramadhan 1445 Hijriyah selepas sholat tarawih. Suasana pelataran Kakbah di Masjidil Haram, Makkah cukup padat. Puluhan bahkan mungkin ratusan orang dengan postur tinggi besar berebut untuk mencium Kakbah.

Nyalinya ciut. Sebab dia harus berhadapan dengan jemaah pria dengan postur tinggi besar dan kuat untuk mendekat ke area Hajar Aswad. Mustahil bisa menyentuh Hajar Aswad tanpa saling sikut, tarik dan menyakiti jemaah lain. Dan kalau pun dipaksakan berdesak-desakan dia yang posturnya kecil pasti kalah.

Beberapa saat lamanya dia terus memandang kerumunan jemaah yang berjubel saling berebut untuk mencium Hajar Aswad. Nyaris tak ada ruang tersisa di dinding Kakbah, dari Rukun Yamani, Hajar Aswad hingga Multazam. Penuh dan padat dengan jemaah.

Tiba tiba dia seperti melihat peluang mendekat ke Hajar Aswad dengan seminimal mungkin menyakiti jemaah lain. Ada ruang yang bisa digunakan untuk secara perlahan lahan mendekat ke Hajar Aswad. Ruang itu bukan dari titik depan sejajar Hajar Aswad, melainkan dari Rukun Yamani atau setelah pintu Hijr Ismail.

Dari Hijr Ismail melawan arah jarum jam berjalan perlahan sambil berusaha merapat ke dinding Kakbah. Setelah bisa merapat ke dinding Kakbah, terus berjalan menuju ke arah Hajar Aswad. Dalam jarak 2 sampai 3 meter menjelang titik di mana Hajar Aswad berada, jemaah akan semakin padat dan aksi saling dorong semakin kuat.

Nah di titik ini pria tersebut melihat bahwa aksi saling dorong dan desak desakan antar jemaah hanya melibatkan bagian dada ke atas. Seperti dada, tangan, lengan dan punggung. Ada titik kosong yakni bagian bawah. Artinya ada peluang mendekat ke Hajar Aswad dengan cara sedikit menunduk.

Dengan sedikit menunduk akan terhindar dari aksi sikut sikutan atau dorongan dari jemaah lain. Hanya diperlukan sedikit pertahanan fisik agar tidak justru terseret menjauh dari Hajar Aswad. “Mesti dicoba,” pikir pria tersebut.

Setelah mengucap Bismillah, sholawat dan yakin bahwa usahanya mencium Hajar Aswad akan berhasil pria tersebut berjalan melawan arah jarum jam menuju Hijr Ismail. Melintasi Hijr Ismail dia sudah berhasil menyentuh dinding Kakbah.

Dia terus berjalan menuju Rukun Yamani lalu Hajar Aswad melintasi puluhan jemaah yang histeris karena berhasil menyentuh dinding Kakbah. Tiba di Rukun Yamani dia berhenti sejenak untuk berdoa. Di titik ini tak begitu padat dan berdesak desakan sehingga dia bisa cukup lama berdoa, hampir 2 menit.

Dari Rukun Yamani dia berjalan sedikit menunduk, dengan posisi di bawah ketiak jemaah lain agar terhindar dari aksi saling dorong. Doa dan usahanya berhasil. Dalam waktu yang tak lama, tanpa perlu menyikut atau mendorong jemaah lain dia berhasil merapat ke Hajar Aswad.

Cukup lama dia menatap Hajar Aswad seolah tak percaya bisa leluasa di depan batu surga itu. Sementara di atas kepalanya puluhan tangan saling sikut, dia bisa sepuasnya berdoa di depan Hajar Aswad.

Bergetar suaranya mengucap takbir dan sholawat berkali kali, lalu diciumnya Hajar Aswad. “Kucium engkau (Hajar Aswad) dengan Bismillah.”

Erwin Dariyanto

Redaktur Pelaksana detikHikmah

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Lima Hal Bagi Pemimpin



Jakarta

Menurut Imam Syafi’i ada lima hal ( karakter ) bagi seorang pemimpin yaitu, bicaranya jujur, pandai menyimpan rahasia, menepati janji, mengawali dalam nasihat, dan menjalankan amanah. Ini karakter pemimpin yang ideal, namun dalam kehidupan nyata seorang pemimpin untuk berbicara jujur saja sangatlah berat apalagi bisa menepati janji yang kadang diobral saat melakukan kampanye. Oleh karena itu, wahai pemimpin negeri maupun rakyat pemilih, selalu berzikirlah untuk mengingat Allah SWT. agar diberi bimbingan untuk menjalankan amanah menuju negeri yang aman, tenteram, damai dan harmonis, yang di dalamnya ada rasa saling menghormati dan saling membantu.

Jujur dalam Bicara. Secara umum, jujur adalah sebuah sifat yang membutuhkan kesesuaian antara perkataan yang diucapkan serta perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Itu artinya, seseorang kemudian dapat dikatakan jujur jika ia mengucapkan sesuatu yang sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi dan disertai dengan tindakan yang seharusnya. Pemimpin merupakan panutan masyarakat, kejujuran adalah keharusan karena dampak dari kejujurannya akan membawa atmosfir yang baik dalam kehidupan masyarakat.

Karena begitu pentingnya sikap jujur ini sampai Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur`an surah at-Taubah ayat 119 yang artinya, “bahwa Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dan bertaqwa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya kemudian Allah perintahkan agar berteman bergaul dan bersama orang-orang yang jujur”
Adapun makna ayat ini adalah Allah SWT. berfirman kepada orang-orang beriman agar bertakwa kepada-Nya dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, dan senantiasa jujur dalam janji, perkataan, dan perbuatan mereka.


Menepati Janji. Dalam Islam, sifat jujur dan menepati janji adalah hal yang harus dipupuk dalam diri. Jika berani mengucap janji, maka harus berani pula untuk menepati dan melaksanakannya sesuai kesepakatan. Sebaliknya, jika mengingkari janji, maka ada konsekuensi yang harus diterima.
Pada masa-masa kampanye biasanya sebagian para calon “memberikan banyak janji” maka pada saatnya hendaknya dipenuhi, jika tidak realisasi maka jatuhlah reputasinya. Sebaiknya para calon pemimpin tidak mengumbar janji, hal ini sama dengan mengumbar hutang.

Adapun perintah Allah SWT. agar setiap orang yang telah berjanji harus memenuhinya, sebagaimana dalam firman-Nya surah an-Nahl ayat 91 yang artinya, “Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah, setelah diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”

Pandai Menyimpan Rahasia. Menyembunyikan rahasia merupakan perintah dalam ajaran Islam. Rahasia adalah penting, jika terbuka maka bisa terjadi keretakan dalam rumah tangga dan dalam sekala besar ( negara ) bisa terjadi peperangan karena bocornya rahasia negara kepada negara lainnya. Sebagaimana dalam firman-Nya surah at-Tahrim ayat 3 yang artinya, “Dan ingatlah ketika secara rahasia Nabi membicarakan suatu peristiwa kepada salah seorang istrinya (Hafsah). Lalu dia menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan peristiwa itu kepadanya (Nabi), lalu (Nabi) memberitahukan (kepada Hafsah) sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain. Maka ketika dia (Nabi) memberitahukan pembicaraan itu kepadanya (Hafsah), dia bertanya, “Siapa yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab, “Yang memberitahukan kepadaku adalah Allah Yang Maha Mengetahui, Mahateliti.”

Pemimpin hendaknya bisa menyimpan rahasia khususnya rahasia negara. Kebijakan yang akan dijalankan tidaklah boleh bocor atau sengaja dibocorkan untuk kepentingan suatu kelompok. Adapun kerahasiaan paling sensitif tentang pertahanan. Oleh sebab itu, pemimpin harus teguh dalam menyimpan kerahasiaan negara.

Amanah dan Bernasihat. Seorang pemimpin yang amanah adalah seseorang yang jujur dan terbuka dalam segala hal. Mereka tidak menyembunyikan informasi penting dari publik dan selalu memegang prinsip kejujuran dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Pemimpin yang amanah selalu bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang mereka ambil. Memangku jabatan sebagai pimpinan, berarti ada amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Pada hakikatnya, dalam Islam kepemimpinan adalah amanat, kepercayaan dari Allah SWT. yang diberikan kepada hamba-Nya untuk membawa kebaikan, hidup sejahtera dan keberkahan.

Di samping seorang pemimpin mengawali sesuatu dengan nasihat. Dalam memberikan nasihat, sebaiknya dengan bertutur lemah lembut seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. dengan memperhatikan waktu dan kondisi yang ada. Beliau sangat memperhatikan kondisi audiens yang akan diberikan nasihat, memberikan rentang waktu yang tepat agar pendengar tidak merasa terbebani dengan nasihat yang baru.m

Semoga Allah SWT. memberikan cahaya-Nya agar para pemimpin negeri dapat menjalan lima karakter di atas.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Beri Khutbah Nikah ke Thariq-Aaliyah, Habib Ja’far Kutip Nasihat Nabi untuk Putrinya



Jakarta

Pasangan selebritas Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid telah sah sebagai suami istri. Habib Husein bin Ja’far memberikan nasihat pernikahan untuk kedua mempelai itu.

Pernikahan Thariq-Aaliyah digelar di Hotel Raffles, Jakarta Selatan pada Jumat (26/7/2024) kemarin.

Dalam tayangan eksklusif yang diunggah melalui YouTube Thariq Halilintar, Habib Ja’far memberikan ceramah singkat usai akad nikah.


Habib Ja’far mengawali nasihatnya dengan mengatakan pernikahan adalah sunnah Rasulullah SAW. Pernikahan juga disebut perjanjian agung yang diabadikan dalam Al-Qur’an bersama dua perjanjian agung lainnya.

“Perjanjian agung ini bukan antara Thariq dan Aaliyah, perjanjian ini menjadi agung bukan tentang Thariq dan Aaliyah beserta kedua saksi yang hadir, perjanjian agung ini bukan pula tentang kedua mempelai dengan KUA,” ujar Habib Ja’far seperti dikutip dari Channel YouTube Thariq Halilintar, Sabtu (27/7/2024).

“Tapi perjanjian agung ini adalah perjanjian antara kalian berdua dengan Allah SWT. Dan perjanjian agung ini begitu agungnya sehingga tidak pernah terjadi kecuali tiga kali sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an,” sambungnya.

Tiga perjanjian agung yang dimaksud Habib Ja’far adalah perjanjian antara Allah SWT dan bani Israil, perjanjian antara Allah SWT dan kelima rasul-Nya, dan perjanjian antara Allah SWT dan dua insan yang menikah.

Habib Ja’far kemudian menjelaskan bahwa pada prinsipnya pernikahan adalah cinta segitiga, antara Allah SWT dan dua mempelai.

“Maka Thariq dan Aaliyah, pada prinsipnya pernikahan adalah tentang cinta layaknya segitiga. Di mana Thariq di sisi kanan bawah dari segitiga itu dan Aaliyah di pojok kiri bawah dari sisi segitiga itu, dan Allah di sisi atas dari segitiga itu,” jelas Habib Ja’far.

Karena itu, kata Habib Ja’far, Rasulullah SAW memberikan nasihat kepada putri tercintanya, Fatimah Az-Zahra RA dan menantunya, Ali bin Abi Thalib RA, agar menikah berlandaskan takwa kepada Allah SWT. Nasihat Rasulullah SAW itu turut Habib Ja’far berikan kepada Thariq dan Aaliyah.

Hubungan atas dasar ketakwaan kepada Allah SWT, kata Habib Ja’far, akan semakin mendekatkan keduanya. Hubungan ini, lanjutnya, juga melahirkan kebahagiaan dunia dan akhirat, sedangkan cinta yang tidak dilandasi ketakwaan maka itu hanya akan memberikan kesenangan.

“Cinta yang tidak dilandaskan oleh ketakwaan maka cinta itu hanya akan memberikan kesenangan tapi tidak kebahagiaan. Kesenangan itu bersifat fluktuasi. Kesenangan itu awalnya tinggi sehingga semakin hari semakin berkurang,” jelas Habib Ja’far.

Habib Ja’far kemudian memberikan dua pegangan penting dalam pernikahan Thariq dan Aaliyah, yakni ketakwaan dan akhlak. Keduanya akan bersifat abadi.

“Karena itu peganglah ketakwaan dan berakhlaklah,” pinta Habib Ja’far.

Tayangan pernikahan Thariq-Aaliyah yang diunggah channel Thariq Halilintar menduduki trending YouTube hingga hari ini.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Pengaturan Allah SWT



Jakarta

Ketahuilah bahwa seluruh kegiatan di dunia dan akhirat ini telah diatur oleh-Nya, sebelum manusia lahir di dunia ( tepatnya masih berada dalam rahim dan tidak tahu apa-apa dan akal belum sempurna ) dan sebelum menentukan aturannya sendiri. Menurut Ibnu Atha’illah as-Sakandari berkata, “Sebagaimana Dia ada sebagai Pengatur bagi manusia sebelum kehadiran manusia dan sama sekali tidak ada peran manusia dalam ikut mengatur urusan-Nya sesudah kehadiran manusia.” Oleh karena itu, Allah SWT. berkuasa untuk mengatur segala sesuatu sebab semua itu sudah ada dalam pengetahuan-Nya.

Allah SWT. telah mengatur diri manusia di setiap langkah dan setiap detik kehidupan. Tatkala di alam ruh, manusia memberikan pengakuan saat bahwa Allah SWT. sebagai Tuhan kami. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam surah al-A’raf ayat 172 yang terjemahannya, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.”

Makna ayat di atas adalah : Membicarakan tentang kisah Nabi Musa dan Bani Israil dengan mengingatkan mereka tentang perjanjian yang bersifat khusus, di sini Allah SWT. menjelaskan perjanjian yang bersifat umum, untuk Bani Israil dan manusia secara keseluruhan, yaitu dalam bentuk penghambaan. Allah SWT. berfirman, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi, yakni tulang belakang anak cucu Adam, keturunan mereka yang melahirkan generasi-generasi selanjutnya. Dan kemudian Dia memberi mereka bukti-bukti ketuhanan melalui alam raya, ciptaan-Nya sehingga dengan adanya bukti-bukti itu secara fitrah akal dan hati nurani mereka mengetahui dan mengakui kemahaesaan Tuhan. Karena begitu banyak dan jelasnya bukti-bukti keesaan Tuhan di alam raya ini, seakan-akan Allah SWT. mengambil kesaksian terhadap ruh mereka seraya berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhan Pemelihara-mu dan sudah berbuat baik kepadamu?”


Mereka menjawab, “Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi bahwa Engkau Maha Esa.” Dengan demikian, pengetahuan mereka akan bukti-bukti tersebut menjadi suatu bentuk penegasan dan, dalam waktu yang sama, pengakuan akan kemahaesaan Tuhan. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari Kiamat kamu tidak lagi beralasan dengan mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini, tidak tahu apa-apa mengenai keesaan Tuhan.”
Ingatlah bahwa Dia telah mengatur urusan manusia sebaik-baiknya pengaturan pada hari ditetapkannya takdir.

Jadi manusia sebagai hamba-Nya tidaklah pantas ikut cawe-cawe dalam pengaturan yang ditetapkan-Nya. Dikisahkan seseorang muda yang dibimbing dan dibina oleh seseorang senior yang berkedudukan. Pada kurun waktu tertentu orang muda ini sudah memperoleh posisi sebagai anggota direksi di perusahaan ia meniti karier. Tatkala bertemu dengan pembimbingnya dan ia berkata, “Saya berterima kasih telah dibimbing, karena Bapak saya diberi amanah sebagai direktur.” Ini sepertinya normal saja, namun keliru karena seakan Bapak pembimbinglah yang menjadikan ia direktur. Jabatan apa pun itu merupakan amanah dari Yang Kuasa bukan dari seseorang. Bapak pembimbing adalah wasilah untuk menuntun jalannya anak muda tersebut. Sebagai pembimbing janganlah bersikap pongah seperti berkata dalam hati, ” Kalau bukan karena saya, engkau belum tentu jadi “orang” ( maksudnya orang yang berkedudukan ).

Dalam waktu tiga sampai empat bulan ke depan, negeri ini akan berpesta demokrasi dengan kegiatan pilkada serentak. Tentu para calon kepala daerah dan teamnya termasuk para pembimbingnya sibuk berstrategi untuk memenangkannya. Untuk bisa menang kadang langkah melemahkan pesaing akan terjadi. Pelemahan pesaing yang sering terjadi adalah “membunuh karakternya.” Hal ini biasa, namun ada yang menarik dan cantik dalam strategi yaitu disundul ke atas. Sehingga yang dilemahkan tidak tersakiti dan ia merasa senang. Kalau kalangan etnis jawa sering disebut sebagai “dipangku”. Ingatlah bahwa semua strategi apa pun yang dijalankan belum tentu hasilnya seperti yang dikehendaki, sebab hasil akhir merupakan milik Allah SWT.

Tatkala manusia lahir ke alam dunia, ia akan menerima karunia dan keadilan-Nya agar bisa mengenali-Nya. Allah SWT. akan memberikan karunia dan anugerah dan adakalanya berwujud keadilan atas sesuatu. Barang siapa menerima kemurahan-Nya, maka itu terjadi berkat karunia-Nya. Dan barang siapa disiksa di dunia atau akhirat, maka itu terjadi karena keadilan-Nya.

Ingatlah ketika orang tuamu sibuk memenuhi kebutuhan hidupmu dengan memberikan kasih sayang. Sikap tersebut merupakan rahmat yang dikirim Allah SWT. kepada hamba-Nya dalam bentuk ayah dan ibu untuk mengenalkan cinta-Nya. Rahmat dari-Nya terbagi dalam seratus bagian. Satu bagian dijadikan di dunia dan sembilan puluh sembilan bagian diperuntukkan di akhirat. Oleh sebab itu, sebagai hamba-Nya janganlah ikutan mengatur, taatilah dan jadilah hamba yang bertakwa.

Ya Allah, perlakukanlah kami dengan karunia-Mu jangan keadilan-Mu, dengan kemurahan hati-Mu bukan hitungan timbangan-Mu.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

3 Contoh Khutbah Jumat Menyambut Hari Kemerdekaan ke-79 RI


Jakarta

Beberapa hari lagi, masyarakat Indonesia akan memperingati Hari Kemerdekaan yang ke-79. Jelang perayaan tahunan itu, biasanya khatib mengusung tema khutbah Jumat menyambut hari kemerdekaan.

Sejatinya, tema hari kemerdekaan menjadi topik tahunan yang diangkat setiap jelang 17 Agustus. Menyampaikan khutbah Jumat dengan tema tersebut dimaksudkan agar muslim dapat merenungkan perjuangan para pahlawan.

Berikut beberapa contoh khutbah Jumat menyambut hari kemerdekaan.


Contoh Khutbah Jumat Menyambut Hari Kemerdekaan

1. Khutbah Jumat Menyambut Hari Kemerdekaan Pertama

Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah,

Tidak henti-hentinya, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Bulan ini pada 79 tahun yang lalu, KH Hasyim Asy’ari dan ulama- ulama terdahulu berkumpul dalam satu meja. Sebelumnya, tak pernah para ulama merasa resah seperti ini. Mereka memiliki suatu tanggung jawab besar yang mereka panggul, yakni merawat dan menjaga kehidupan beragama masyarakat masing-masing.

Tapi hari itu, mereka harus meninggalkan masyarakat sementara waktu. Mereka pergi dari rumah menuju satu titik untuk bertemu dengan ulama lainnya. Apa gerangan yang memaksa mereka meninggalkan tanggung jawab besar itu? Tiada lain adalah mereka telah mendapat tanggung jawab yang lebih besar: menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Negara ketika itu sedang mendapat ancaman serius dari tentara penjajah. Keadaan telah demikian genting. Maka demi kepentingan negara, para ulama rela meninggalkan kewajiban mereka sejenak kepada masyarakat sekitar. Karena menjaga negara sesungguhnya kewajiban paling besar yang ditanggung oleh ulama.

Mencintai Tanah Air, memperjuangkan kedamaian tanah kelahiran adalah bagian dari iman. Tanpa ghirah dan semangat membela negara, mustahil seseorang dianggap sempurna keimanannya. Sudah barang tentu, para ulama, yang memiliki kadar keimanan yang telah tinggi, akan menyerahkan seluruh jiwa raganya untuk memperjuang- kan kedamaian tanah kelahirannya itu.

Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah,

Dari pertemuan itu, dihasilkan sebuah keputusan besar: Fatwa Resolusi Jihad. Fatwa ini menghendaki bahwa setiap muslim berkewajiban untuk melindungi negaranya dari serangan penjajah. Hanya dengan kondisi negara yang aman dan tenteramlah ajaran agama dapat dilestarikan dengan sempurna. Dalam surah Al-Baqarah ayat 190 disebutkan:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang melampaui batas.”

Ayat di atas menegaskan bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan agama Allah. Kita harus memperjuangkan kelestarian agama kita dengan sepenuh jiwa dan raga. Kita bisa menyaksikan bagaimana perjuangan para ulama di zaman dahulu. Mereka rela turun ke medan, menghadapi langsung para musuh.

Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah,

Perjuangan melawan penjajah dalam rangka menjaga kemerdekaan pada saat itu amatlah berat. Para pejuang Indonesia berhadapan dengan musuh yang bersenjatakan lengkap. Bahkan mereka telah mengepung kota dari selu- ruh daratan, laut, dan udara. Meski begitu, para pejuang Indonesia tidak sedikit pun gentar menghadapi musuh. Mengapa? Karena cinta tanah air telah merasuk dalam jiwa mereka, sehingga menjadi kekuatan yang menggebu-gebu.

Karenanya, jangan pernah sekali-kali kita melupakan jasa para ulama. Perjuangan yang mereka lakukan bukan hanya berdiam di masjid, duduk berdzikir, memutar tasbih. Justru mereka adalah para pejuang yang paling gigih, yang tak sedikit pun melirik hal lain dalam memperjuangkan negara, selain bahwa negara harus dibela mati-matian.

Negara adalah harta yang paling berharga bagi mereka. Berkat jasa merekalah, kita bisa hidup di dalam negara yang damai, dan menjalani hidup dengan santun dan tenteram.

Demikian khutbah Jumat perihal menyambut hari kemerdekaan. Semoga bisa membawa manfaat dan keberkahan bagi kita semua dan digolongkan sebagai hamba Allah SWT yang istiqamah dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Aamiin ya rabbal alamin.

Khutbah Jumat menyambut hari kemerdekaan dengan topik mewarisi semangat juang pahlawan tersebut dinukil dari buku Koleksi Khutbah Jumat Inspiratif untuk Pemula dan Umum yang ditulis oleh Abdul Azis Muslim S Ag.

2. Khutbah Jumat Menyambut Hari Kemerdekaan Kedua

Ayyuhal Muslimun,

Untaian terindah yang layak kita persembahkan, di hari yang penuh berkah ini, adalah lantunan pujian dan syukur yang tulus atas segala ragam nikmat yang telah Allah curahkan kepada kita semua. Sehingga, hari ini, baru saja, bangsa Indonesia, memperingati hari Kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke 79 tahun. Maka, hendaknya kita selalu bersyukur atas nikmat kemerdekaan ini.

Kenapa? Karena mensyukuri nikmat adalah gerbang memperoleh nikmat yang lainnya, sedangkan mengkufurinya berarti merangsang datangnya murka Allah SWT. Sebagian ulama mengatakan:

اسْتَعْمَالَ النِّعْمَةُ فِي الطَّاعَةِ لِزِيَادَةِ النِّعْمَةِ

Artinya: Memfungsikan nikmat pada ranah ketaatan akan menambah nikmat itu sendiri.

Salawat nan taslim, semoga tercurah keharibaan, kekasih kita, Nabi Muhammad SAW, sang proklamator sejati, yang telah sukses memerdekakan manusia dari belenggu hawa nafsu dan dari belenggu akhlak yang tidak terpuji.

Ayyuhal muslim,

Marilah kita tancapkan dan kokohkan akar keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah swt. Takwa dalam dimensi, mematuhi, menjalankan semua titah dan perintah Allah serta meninggalkan segala bentuk laranganNya. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan: “Ketahuilah, sesungguhnya seorang hamba hanyalah mampu melalui tahapan-tahapan perjalanan menuju ridha Allah SWT, dengan hati dan keinginan yang kuat. Bukan cuma sekedar dengan perbuatan anggota badannya. Dan takwa yang hakiki adalah takwa yang bersumber dari dalam hati, bukan pada anggota badan.”

Allah SWT berfirman,

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ

Artinya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS Hajj 32)

Ayyuhal muslimun,

Tidak disangka, kemerdekaan Republik Indonesia telah berumur 79 tahun. Dipandang dari sudut usia, tentu ini bukan usia yang muda lagi. Akan tetapi, ironis dan menyedihkan sekali, kemerdekaan yang telah diraih dengan keringat, darah dan bahkan nyawa ini, hari ini hanyalah dikenang saja, bukan untuk disyukuri oleh mayoritas generasi muda bangsa.

Realitas yang kita saksikan hari ini adalah tidak sedikit generasi muda bangsa, yang memaknai kemerdekaan hanya sebatas penciptaan suasana ramai, meriah dan gebyar serta hura-hura, lalu kemudian melupakan semangat juang yang terkandung di dalam peringatan kemerdekaan tersebut. Oleh karena itu, hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-79 ini, menarik dan layak untuk kita renungkan secara bersama.

Ayyuhal muslimun,

Harus kita sadari bahwa kemerdekaan tidak mungkin diraih tanpa adanya kemenangan, kemenangan mustahil didapat tanpa adanya perjuangan, perjuangan tidak akan berarti tanpa adanya kebersamaan dan persaudaraan, persaudaraan tidak mungkin tercapai tanpa adanya ketulusan. Allah SWT berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,”Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al ‘Ankabut: 69)

Ayyuhal muslimun,

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai luhur ketulusan, kebersamaan, persaudaraan, perjuangan, kemenangan dan kemerdekaan. Akan tetapi, kemerdekaan dalam Islam adalah kemerdekaan sejati, yaitu kemerdekaan yang membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia, membebaskan manusia dari kungkungan hawa nafsu, membebaskan manusia dari belenggu pesona dunia, membebaskan manusia dari penghambaan kepada yang semu menuju penghambaan kepada Rabb yang Maha Hidup lagi Perkasa, Allah SWT.

Ayyuhal muslimun,

Kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang begitu berdarah-darah diraih itu, ternyata hanyalah romantisme sejarah semata. Kenapa demikian? Karena hari ini, kita lihat dan rasakan, selama 79 tahun kemerdekaan ini, hanyalah peralihan satu penjajahan kepada berbagai bentuk penjajahan lainnya.

Betapa tidak, dahulu para pahlawan kita hanya menghadapi penjajahan pada aspek militer saja, akan tetapi sekarang ini, bangsa Indonesia menghadapi multi penjajahan, baik penjajahan pada ranah ekonomi, budaya & politik, hokum, pendidikan, moral sampai pemikiran. Bahkan bentuk penjajahan seperti ini lebih besar bahayanya daripada penjajahan ala militer, karena bahaya yang ditimbulkan jauh lebih komplek dan berdaya rusak tinggi. Karena tidak hanya merusak fisik saja, tetapi juga merusak pola pikir dan karakter anak bangsa.

Ikhwatal Islam,

Dalam masalah ekonomi, sampai hari ini, kita belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan kepada pihak asing dan aseng. Dalam ranah budaya, identitas keislaman dan ketimuran bangsa Indonesia terlebur dengan budaya Barat. Dalam ranah moral, mulai dari SD sampai mahasiswa, masyarakat sampai pejabat, tidak jarang kita saksikan tindakan tidak terpuji seperti korupsi, pornografi dan lain sebagainya. Maka benarlah apa yang disabdakan oleh baginda Nabi Muhammad SAW,

“Bersabarlah kalian, maka sesungguhnya tidak akan datang kepada kalian sebuah zaman, kecuali zaman tersebut lebih rusak dari sebelumnya, sampai kalian menemui Rabb kalian.” (HR Bukhari)

Maka menjadi pilihan bagi kita, apakah kita akan mengikuti zaman dengan warna kemaksiatan yang kian dahsyat ini? Atau justru mewarnai zaman ini dengan warna kesalehan dan menjadi manusia merdeka yang terbebas dari nafsu dunia? Pilihannya ada pada diri kita masing-masing.

Ayyuhal muslimun,

Oleh karena itu, dalam memaknai kemerdekaan ini, marilah kita memposisikan diri sebagai hamba Allah yang taat dan beradab, beriang-gembira tanpa harus melupakan esensi kemerdekaan yang hakiki. Sebagai seorang muslim, seharusnya kita mensyukuri nikmat kemerdekaan bukan mengenang kemerdekaan.

Kenapa? Karena kemerdekaan itu adalah nikmat dari Allah SWT. Setiap nikmat itu bisa menjadi pembuka bagi nikmat lainnya. Kita sering menginginkan ditambahnya nikmat, tetapi lupa, lupa mensyukuri nikmat yang telah ada. Mengenang konotasinya adalah terlena dalam romantisme sejarah, sedangkan bersyukur merupakan gairah dan pengundang nikmat yang lebih besar.

Ayyuhal muslimun,

Lantas, bagaimana kita sebagai generasi muda bangsa mengisi kemerdekaan yang telah Allah berikan ini? Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an,

“Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 41).

Maka berdasarkan ayat ini, setidaknya, ada 4 hal yang mesti kita lakukan dalam mengisi kemerdekaan ini. Yang pertama, iqamatus shalah, mendirikan shalat dalam rangka membangun moralitas dan akhlakul karimah.

Ayyuhal muslimun,

Sebuah bangsa akan dapat langgeng, ketika memiliki moralitas dan kredibilitas yang tinggi. Sedangkan kunci membangun moralitas terletak pada pelaksanaan ibadah salat. Allah SWT berfirman:

إنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

“Sesungguhnya salat itu mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” (QS Al Ankabut: 45)

Selain itu, shalat juga menjadi barometer sukses tidaknya seseorang di akhirat kelak. Kenapa? Karena pertama kali yang dihisab dari manusia adalah amaliyah shalatnya. Jika salatnya baik, maka secara otomatis semua amalan yang lain akan dinilai baik, sebaliknya jika kualitas shalatnya buruk, maka dengan sendirinya seluruh perbuatannya dianggap buruk. Oleh karena itu, dengan pelaksanaan shalat yang berkualitas, maka akan mampu membangun manusia yang bermoral dan berakhlakul karimah.

Ayyuhal muslimun,

Yang kedua, itauz zakah, menunaikan zakat sebagai bentuk kepedulian sosial

Agama Islam tidak sebatas mengurusi masalah ruhani dan akhirat saja, tetapi lebih dari itu, agama Islam sangat memperhatikan keseimbangan kehidupan sosial bermasyarakat.

Ayyuhal muslimun,

Yang ketiga, amar ma’ruf nahi munkar, jaminan kepastian dan penegakan hukum.

Kecenderungan kekuasaan, terkadang mendorong pelakunya untuk menyimpang dan menyalahgunakan jabatan yang didudukinya. Fir’aun misalnya, yang berupaya melanggengkan kekuasaannya dengan segala cara. Tingkatan amar ma’ruf dan nahi mungkar sudah diatur dengan jelas dan terang dalam Islam. Yang pertama, yakni, melalui pendekatan kekuasaan bagi mereka yang berwenang, yang kedua, melalui lisan atau nasehat bagi siapapun yang bisa memberi nasehat, jika keduanya tidak bisa dilakukan, maka melalui pengingkaran dalam hati.

Ayyuhal muslimun,

Dalam konteks jaminan kepastian dan penegakan hukum. Dalam konteks jaminan kepastian dan penegakan hukum, pernah ditegaskan oleh Rasulullah SAW, ketika ada usaha dari sahabat untuk minta keringanan hukuman bagi seorang wanita bangsawan yang berzina, namun dengan tegas rasul menolak dan mengatakan,

“Ketahuilah, penyebab kehancuran umat terdahulu adalah karena ketika orang kaya mencuri, maka tidak ditegakkan hukuman. Tetapi, jika yang mencuri itu rakyat kecil, seketika itu hukuman ditegakkan dengan seberat- beratnya. Ketahuilah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti aku sendiri yang akan memotong tangannya,”

Ini memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa, seseorang, apapun strata kehidupannya, harus sama dimata hukum, baik rakyat jelata maupun pejabat negara, namun sering kita saksikan, terkadang hukum di negara kita, hanya subur ke bawah tetapi mandul ke atas. Inilah yang kami katakan bahwa kita memang sudah merdeka secara fisik namun masih dijajah dalam aspek-aspek lainnya.

Ayyuhal muslimun,

79 tahun Indonesia merdeka, bukanlah waktu yang pendek. Namun, kemerdekaan hakiki bangsa ini masih belum menjadi bukti. Memperingati kemerdekaan tidak sekedar perayaan seremonial saja, memperingati kemerdekaan tidak sekedar semarak warna-warni bendera dan umbul-umbul, memperingati kemerdekaan, juga tidak sekedar aneka lomba yang tidak mendidik, tidak.

Memperingati kemerdekaan Indonesia harus lebih dari itu semua. Oleh karena itu, semangat kita harus tetap mengisi kemerdekaan ini dengan sebaik- baiknya sesuai dengan apa yang telah Allah syariatkan dan ketahuilah bahwa perjuangan dalam mengisi kemerdekaan ini belum pernah berhenti. Karena seperti yang kami sampaikan, kita telah merdeka dari satu penjajahan, tetapi kita akan menghadapi penjajahan yang lainnya.

Mudah-mudahan Allah SWT memberikan kemampuan kepada kita untuk bisa mensyukuri dan mengisi kemerdekaan ini, sesuai dengan apa yang telah disyariatkan-Nya. Allah SWT mengampuni dosa kita, dosa orangtua kita, dosa para pahlawan dan pejuang bangsa ini, Allah tempati mereka semua di dalam surgaNya yang penuh dengan kenikmatan. Dan mudah-mudahan Allah SWT mengembalikan kita semua nanti kehadirat-Nya dalam keadaan husnul khatimah.

Naskah khutbah Jumat menyambut kemerdekaan tersebut dikutip dari buku Kumpulan Khutbah Jumat Dilengkapi Khutbah Idul Fitri & Idul Adha susunan Abdul Latif Wabula.

3. Khutbah Jumat Menyambut Hari Kemerdekaan Ketiga

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,

Pada kesempatan yang mulia ini, marilah kita tingkatkan ketakwaan kepada Allah SWT dengan senantiasa menjalankan segala apa yang telah diperintahkan-Nya serta berupaya untuk menjauhi segala larangan-Nya. Perlu disadari bahwa kita sebagai manusia telah diberikan kemuliaan oleh Allah SWT dengan menjadi khalifah dimuka bumi ini.

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,

Cinta terhadap tanah air telah dicontohkan oleh baginda nabi Muhammad SAW. Dalam salah satu kesempatan, tatkala beliau hendak berhijrah ke Madinah, beliau menghadap Makkah seraya berkata:

“Demi Allah SWT, sesungguhnya engkau (Makkah) adalah sebaik-baik bumi Allah Swt yang paling aku cintai. Sungguh, seandainya wargamu tidak mengusirku, tentu aku tidak akan keluar meninggalkanımu.” (HR Tirmidzi dan Nasai)

Begitu juga saat Nabi Muhammad SAW tinggal di Madinah, beliau mencintai tanah Madinah dengan cara selalu melindungi negeri Madinah dari segala hal yang mengganggu, mengancam keamanan dan stabilitasnya. Seperti yang juga pernah dilakukan para pahlawan- pahlawan pendahulu kita.

Dengan semangat yang begitu gigih dan keikhlasan, mereka berani mengorbankan nyawa untuk berperang mengusir para penjajah yang telah mengusik kenyamanan tanah air Indonesia ini. Semua itu mereka lakukan demi upaya untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia sebagai wujud dari cinta tanah air yang mereka miliki.

Kita sebagai penerus bangsa yang tengah menikmati kemerdekaan hasil perjuangan fisik para pahlawan bangsa, hendaknya mampu mewarisi nilai-nilai luhur para pejuang bangsa dengan mengisi hari-hari kita dengan hal yang bernilai positif.

Jika kita seorang pemimpin jadilah pemimpin yang jujur, adil dan amanah. Jika kita seorang pendidik jadilah pendidik yang berjiwa mulia. Jika kita seorang dai contohkanlah apa yang telah diteladankan Rasulullah saw. Jika kita seorang pelajar jadilah pelajar yang berprestasi, mampu menjadi kebangggan keluarga dan mengharumkan nama bangsa. Menjadi apapun kita, jadikanlah ibadah sebagai landasan amal perbuatan. Kemudian junjung tinggilah harkat dan martabat bangsa kita.

Para kiai dan ulama kita mengerti betul bahwa dirinya adalah khalifah dimuka bumi ini. Mereka dengan tegas menyatakan kecintaannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengekspresikan rasa cinta itu bisa dengan berbagai bentuk.

Hadratus Syaikh K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam kitab Muqoddimah Qonun Asasi mengungkapakan tentang bahayanya perpecahan, beliau berkata: “Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan pangkal kehancuran dan kebangkrutan, sumber keruntuhan dan kebinasaan, penyebab kehinaan dan kenistaan.

Betapa banyak keluarga besar semula hidup dalam keadaan makmur, rumah-rumah penuh dengan penghuni, sampai suatu ketika kalajengking perpecahan merayapi mereka, racunnya menjalar meracuni hati mereka dan setan pun melakukan perannya

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,

Oleh sebab itu, mari kita bersama-sama menyadari bahwa dalam hidup ini kita memiliki peran sebagai khalifah Allah Swt yang memiliki tugas penting untuk menciptakan kedamaian dan kebaikan. Terlebih untuk menjaga keutuhan bumi pertiwi dengan selalu menanamkan rasa cinta terhadapnya dan terus berupaya untuk membela bangsa Indonesia. Sebab tidak ada nikmat yang lebih besar dari sebuah bangsa kecuali keamanan dan kenyamanan.

Semoga Allah SWT menjaga tanah air tercinta ini dari perpecah belahan, permusuhan dan pertumpahan darah. Sehingga menjadi negara yang aman dan damai. Amin ya rabbal alamin.

Khutbah Jumat menyambut hari kemerdekaan RI di atas dikutip dari buku Mimbar Dakwah terbitan Lembaga Ittihadul Mubalighin Ponpes Lirboyo Kediri.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Mengutamakan Imu dan Bersikap Sederhana



Jakarta

Kedua hal tersebut yang menjadi judul tulisan ini merupakan dua landasan bagi pemimpin, karena akan muncul kebaikan jika engkau memimpin dengan ilmu dan memimpin dengan sikap sederhana. Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bekal bagi kepemimpinan seseorang, karena tanpa itu niscaya hasil kepemimpinannya akan sia-sia. Adapun sikap sederhana menjadikan ia tidak mempunyai banyak kebutuhan, dengan begitu ia akan menjalankan kepemimpinannya dengan baik. Dengan banyaknya kebutuhan ada kemungkinan ia akan menjalankan kepemimpinannya dengan tidak lurus.

Ingatlah bahwa sejarah telah mencatat, Islam merupakan agama yang tidak berkonfrontasi dengan ilmu pengetahuan. Kitab suci Al-Qur’an telah mendorong umat Islam dan seluruh manusia untuk meningkatkan kualitas diri lewat ilmu pengetahuan. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang sejak awal diturunkan boleh dibaca/dipelajari seluruh pemeluknya. Apakah rakyat kecil, kaum kaya dan miskin, cerdik pandai, orang tua dan anak-anak, semua berhak membaca/mempelajari kitab-Nya, bahkan saat ini telah bermunculan sekolah tahfidz.

Oleh sebab itu, seorang pemimpin hendaknya berilmu, sehingga tatkala menjalankan amanahnya akan efektif. Maka dalam ajaran Islam, mengutamakan ilmu dan ahlinya ( orang yang berilmu ), agama dan pemeluknya, Kitab Suci dan orang-orang yang melaksanakannya. Sebab, perhiasan yang paling baik bagi seseorang ialah pengetahuannya tentang agama Allah SWT, menuntut ilmu dan menerapkan, dan hal-hal yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya.


Ilmu menunjukkan seseorang kepada kebaikan, memerintahkan kepada yang baik, mencegah dari kemungkaran dan perbuatan yang merusak. Dengan pengetahuan dan taufiq dari-Nya, seseorang semakin mengenal Allah SWT. makin bertambah penghormatan kepada-Nya, makin tinggi derajatnya di akhirat. Pemimpin seperti pastilah akan dicintai-Nya, dihormati rakyatnya, pemerintahanmu lebih berwibawa. Dengan ilmu engkau disenangi dan keadilanmu makin mantap.

Allah SWT. memuji orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam firman-Nya surah Ali Imran ayat 18, yang artinya, “Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para Malaikat dan orang-orang yang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana”.
Orang berilmu yang menegakkan keadilan adalah orang yang mengesakan Tuhan dan tidak menyekutukannya.

Adapun landasan berikutnya bagi pemimpin adalah, hidup sederhana. Dengan kesederhanaan seseorang tidak memerlukan banyak kebutuhan. Dengan sedikit kebutuhan maka perjalanan kepemimpinannya akan efektif dan selamat. Adapun keutamaan orang yang hidup sederhana adalah membuat hidup lebih tenang. Sebab, kita tidak perlu mengkhawatirkan beban dari hal-hal yang kurang bermanfaat. Hidup sederhana juga membantu menghilangkan stres dalam menghadapi rencana jangka panjang karena sudah lebih siap.

Agama Islam menganjurkan umatnya agar senantiasa hidup dalam kesederhanaan di semua tindakan, baik sikapnya maupun amalnya. Sehingga sikap sederhana inilah yang menjadi ciri khas umum bagi umat Islam dan salah satu perwatakan utama yang membedakan dari umat yang lain.

Anjuran hidup sederhana dalam Islam juga mencakup dalam gaya hidup atau perilaku sehari-hari. Seorang muslim dilarang untuk menghambur-hamburkan apa pun.
Dalam satu riwayat bahkan melarang muslimin untuk membuang-buang air wudhu walaupun ia sedang berwudhu di pinggir sungai yang airnya terus mengalir. Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah SAW. bersabda,
Artinya: Dari Abdullah bin ‘Amru berkata, Rasulullah SAW. melewati Sa’d yang sedang berwudhu, lalu beliau bersabda, “Kenapa berlebih-lebihan?” Sa’d berkata, “Apakah dalam wudhu juga ada berlebih-lebihan?” Beliau menjawab, “Ya, meskipun engkau berada di sungai yang mengalir.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad).

Sebagai pemimpin muslim, hendaknya berlaku sederhana dalam semua urusan, karena tiada sesuatu yang lebih jelas manfaatnya, lebih aman dan lebih mendatangkan keutamaan selain dari sikap sederhana. Sikap ini akan membimbing perilaku seseorang menjadi lurus. Ingatlah bahwa godaan sebagai pemimpin / penguasa sangatlah besar dan mudah tergelincir. Maka jadikanlah amanah sebagai pemimpin sebagai wasilah mengumpulkan bekal akhirat.

Bersikap sederhana dalam urusan duniawi akan mendatangkan kemuliaan dan menjaga seseorang dari dosa-dosa. Oleh sebab itu, berlakulah sederhana, niscaya semua urusan akan sempurna, mendapatkan kemampuan yang semakin meningkat dan akan memperoleh prestasi yang gemilang.

Ya Allah, berilah kekuatan batin agar tidak hidup berlebihan, selalu merasa ingin menambah ilmu. Engkau yang Mahabesar dan Maha berkehendak, kami mohon perlindungan-Mu agar tidak mengeksekusi atas bisikan setan.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Pangan dan Rasa Aman



Jakarta

Setiap anggota masyarakat yang hidup di belahan bumi manapun, semuanya berkeinginan cukup pangan dan rasa aman. Oleh karena itu, setiap penguasa suatu wilayah selalu berupaya untuk bisa mencukupi kebutuhan pangan sendiri maupun mendatangkan dari tempat lain.

Kebutuhan pangan merupakan salah satu aspek yang harus dicapai oleh setiap makhluk hidup dengan melakukan usaha agar dapat memenuhi serta mempertahankan keberlangsungan dalam aspek kehidupan. Adapun dalam pandangan Islam adalah : Kebutuhan pangan merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh seluruh umat muslim sebab menjadi sarana mendekatkan diri dan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT.

Adapun pengaruh makanan terhadap kehidupan manusia sangat besar pengaruhnya kepada jiwa seseorang, diantaranya akan makbul doanya, membuat jiwa jadi tenang, maka suatu suapan yang haram ke dalam perutnya, maka tidaklah akan diterima amalnya selama empat puluh hari, makanan yang tidak baik akan merusakkan kesehatan dan merusakkan juga bagi akal budi. Oleh karena itu tuntunan Islam adalah disamping halal juga thoyyib, agar hati kita tidak menjadi keras dan tidak mau menerima kebenaran.


Kebutuhan pangan juga perintah agama, terkait hifz an nafs (menjaga jiwa) atau bahkan menjaga hifz ad din (menjaga agama), karena orang yang tidak bisa mengakses pangan biasanya orang miskin, dan kemiskinan, kefakiran itu cenderung kepada kekufuran. Sehingga ketahanan pangan ini sebetulnya juga masalah yang holistik.

Sebagaimana kekuasaan-Nya telah memberikan karunia kepada hamba-hambanya seperti dalam surah Yasin ayat 34-35 yang terjemahannya, “Dan kami telah jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur, dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka apakah mereka tidak bersyukur?”

Kelalaian manusia sering terjadi karena bisikan setan, sehingga kurang bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya. Hal ini terjadi pada kaum Quraisy, padahal mereka diberikan kemampuan berdagang sehingga bisa memenuhi kebutuhan pangannya dengan harapan mereka mengagungkan-Nya dan tidak menyekutukan. Sebagaimana dalam firman-Nya surah Quraisy ayat 3 dan 4 yang terjemahannya, “maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi mereka makanan untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut.”

Makna kedua ayat tersebut adalah : Mereka pergi berniaga tiap tahun dengan aman dan sentosa. Oleh karena itu maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini, yaitu Ka’bah, dengan pengabdian yang hakiki dan tidak mempersekutukan-Nya, sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang telah mereka terima. Tuhan Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar, memenuhi kebutuhan dasar mereka, dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan. Terpenuhinya kebutuhan akan makanan dan rasa aman merupakan dua prasyarat penting yang menjamin kesejahteraan suatu masyarakat. Kemampuan berdagang kaum ini telah terbukti dan itu merupakan anugerah dari-Nya, oleh sebab itu bersyukur dan menyembah-Nya merupakan keharusan.

Wahai para calon pemimpin dan pemimpin, apakah sebagai pemimpin daerah kabupaten/kota, propinsi maupun negara maka penuhilah kebutuhan dasar masyarakat berupa kecukupan pangan dan rasa aman. Keharmonisan dalam kehidupan akan tercipta jika kedua kebutuhan dasar itu telah terpenuhi. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai sifat al-Mukmin yang artinya bisa memberikan rasa aman.

Dalam surah al-An’am ayat 82 yang terjemahannya, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), merekalah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapat petunjuk.”
Ayat ini menjelaskan karena sama sekali tidak ada jawaban dari kaum Nabi Ibrahim yang durhaka tersebut, akhirnya Nabi Ibrahim sendiri menegaskan sebuah prinsip penting bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah Yang Maha Esa dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, yakni syirik. Mereka itulah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah SWT. Mereka adalah orang-orang yang mendapat rasa aman dari Allah SWT. yang mereka sembah, dan mereka mendapat petunjuk secara sempurna.

Adapun kesimpulan untuk mendapatkan rasa aman adalah dengan berserah diri pada-Nya, sikap ini bukanlah pasrah dan pasif namun aktif dengan melakukan upaya-upaya. Berserah diri itu hendaknya diikuti siap taat, siap diatur karena segala kehidupan makhluk diatur oleh-Nya. Dengan bersikap tersebut, seseorang akan optimis dalam masa depan dan tidak bersedih untuk masa lalunya.

Semoga kita termasuk orang-orang yang taat, beriman dan berserah diri, sehingga Allah SWT. akan mencukupkan kebutuhan dan melindungi dengan rasa aman.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com