Category Archives: Dakwah

Watak Pemimpin jadi Panutan



Jakarta

Dzul Qarnain ditanya, “Apa yang paling membuat anda senang?

Jawabnya,”Dua hal. Pertama, adil dan jujur. Kedua, membalas kebaikan seseorang lebih besar dari kebaikannya.”
Siapakah dia ? Dalam surat Al-Kahfi. Zulkarnain ( Dzul Qarnain ) adalah seorang raja Romawi dan Persia. Dirinya dinamai demikian sebab memiliki dua tanduk di kepalanya. Sebagian percaya, nama ini didapat karena ia sudah berhasil menguasai bumi bagian timur dan barat.

Jujur merupakan syarat utama bagi seorang pemimpin, karena ia semestinya menjalankan amanah dengan kejujuran. Adapun sikap jujur ini menjadikan seorang pemimpin menuju adil. Kejujuran berarti memberikan bimbingan yang benar kepada orang yang memerlukannya. Islam memerintahkan kita sebagai umat Islam untuk jujur kepada orang lain dan diri kita sendiri . Seorang muslim diperintahkan oleh Allah SWT. untuk jujur dalam perkataan dan perbuatannya, baik secara pribadi maupun di depan umum. Jujur pada diri sendiri tersirat dengan menaati hukum dan perintah-Nya.


Inilah perintah bersikap jujur sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Ahzab ayat 70 yang terjemahannya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”

Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. dan Rasulullah SAW, bertakwalah kepada-Nya dalam segala urusan kalian dan selalu berusahalah berkata benar, niscaya Allah SWT. akan memperbaiki dan menerima amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa yang senantiasa mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya maka dia akan meraih kemenangan yang besar.

Orang yang jujur pada dirinya ( yaitu menaati perintah dan larangan-Nya ) adalah orang-orang yang selalu berkata dalam hatinya, “Tiada Tuhan selain Allah SWT.” Ia telah menjadi orang yang ikhlas. Pemimpin yang akan membawa masyarakat menuju kebaikan adalah pemimpin yang adil. Keadilan itu tidak memandang tingkatan status sosial, kekerabatan dan golongan. Jika ikatan-ikatan itu lepas, maka pemimpin tersebut dengan mudahnya menerapkan keadilan dalam menjalankan amanah.

Adapun perintah adil dalam firman-Nya surah al-Maidah ayat 8 yang terjemahannya, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Menurut orang bijak, “Watak dan perangai rakyat merupakan buah atau hasil dari watak dan perangai para pemimpinnya. Sebab kebaikan dan keburukan yang dilakukan orang awam hanyalah meniru dan mengikuti perbuatan para pemimpinnya. Orang awam belajar dari mereka dan meniru watak serta kebiasaan mereka.

Diceritakan bahwa Walid ibn Abdul Malik, salah seorang Khalifah Daulah Umawiyah, memusatkan perhatiannya dibidang pembangunan dan kemajuan pertanian. Sedangkan Sulaiman ibn Abdul Malik hanya mementingkan soal makan dan memenuhi segala kebutuhan dan kepentingan hawa nafsu. Sementara pusat perhatian Umar ibn Abdul Aziz adalah ibadah dan kehidupan zuhud.

Muhammad ibn Ali ibn Fadhal berkata,” Aku kurang yakin watak rakyat akan bekerja sama sebagaimana watak para pemimpinnya sampai aku melihat bahwa masa Walid orang yang begitu sibuk dengan persawahan dan perkebunan. Mereka juga mementingkan pembangunan gedung-gedung dan perumahan.”

“Sedang pada masa Sulaiman ibn Abdul Malik, aku melihat orang-orang hanya mementingkan soal makan, dan mencari makan yang paling lezat. Sampai-sampai seseorang bertanya-tanya kepada rekannya, jenis makanan apa yang harus aku buat dan makan. Sementara pada masa Umar ibn Abdul Aziz, kulihat orang-orang menyibukkan diri beribadah membaca Al-Qur’an hingga khatam, melakukan amal kebajikan dan memberikan sedekah. Dalam masa pemerintahannya yang relatif singkat telah menjadikan rakyatnya makmur, hingga tidak ditemukan orang meminta-minta ( miskin ).

Penulis berharap setiap ada pergantian Pemerintahan dijalankan dengan amanah dari rakyat dengan jujur dan adil. Dengan sikap tersebut, semoga Allah SWT. memberikan hidayah taufiq agar masa pemerintahan ke depan bisa memberikan kecukupan pangan melalui swasembada, ekonomi nasional tumbuh dg baik, orang miskin turun drastis dan kehidupan yang harmonis.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Nabi Muhammad Dakwah di Makkah dan Madinah 23 Tahun, Terapkan Banyak Strategi


Jakarta

Dakwah Nabi Muhammad SAW adalah perjalanan penuh makna yang mengubah sejarah umat manusia. Nabi Muhammad SAW berdakwah di Makkah dan Madinah, totalnya selama 23 tahun. Ini dibagi dalam dua waktu berbeda.

Perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW bukanlah hal yang singkat dan mudah. Banyak peristiwa penting terjadi selama periode tersebut, yang menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam hingga hari ini.

Periode dakwah Nabi Muhammad SAW terbagi menjadi dua, periode Makkah dan Madinah. Berikut penjelasan lengkapnya.


Periode Dakwah Nabi Muhammad di Makkah

Periode ini menjadi tahap awal dalam perjalanan dakwah yang penuh dengan tantangan dan ujian. Dijelaskan dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam karya H. Fida’ Abdilah, Yusak Burhanudin, periode dakwah di Makkah dimulai setelah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu yang kedua, yaitu surah Al-Muddassir ayat 1-7:

يٰٓاَيُّهَا الْمُدَّثِّرُۙ ١ قُمْ فَاَنْذِرْۖ ٢ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْۖ ٣ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْۖ ٤ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْۖ ٥ وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُۖ ٦ وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْۗ ٧

Artinya: “Wahai orang yang berselimut (Nabi Muhammad), bangunlah, lalu berilah peringatan! Tuhanmu, agungkanlah! Pakaianmu, bersihkanlah! Segala (perbuatan) yang keji, tinggalkanlah! Janganlah memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak! Karena Tuhanmu, bersabarlah!”

Ayat ini menandai dimulainya tugas Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran Islam, mengingatkan seluruh umat manusia untuk menyembah dan mengesakan Allah SWT. Setelah menerima wahyu tersebut, Nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya di Makkah yang berlangsung selama 13 tahun.

Menurut riwayat Ibnu Abbas RA sebagaimana terdapat dalam Ringkasan Shahih Muslim yang disusun Al-Albani, Nabi Muhammad SAW dakwah di Makkah selama 13 tahun. Ibnu Abbas RA berkata, “Rasulullah tinggal di Makkah selama 13 tahun sejak beliau menerima wahyu, dan tinggal di Madinah selama 10 tahun. Beliau wafat dalam usia 63 tahun.” (HR Muslim)

Strategi Dakwah Nabi Muhammad di Makkah

Dakwah Nabi Muhammad SAW di Makkah bukanlah perjalanan yang mudah. Berbagai rintangan dan tantangan dari kaum Quraisy menjadi bagian dari perjuangan tersebut. Namun, di balik segala kesulitan itu, Nabi Muhammad SAW memiliki strategi dakwah yang luar biasa. Seperti apa strategi yang beliau terapkan selama berdakwah di Makkah?

Dakwah Nabi Muhammad secara Sembunyi-sembunyi

Dikutip dari sumber sebelumnya, pada masa-masa awal dakwahnya, Nabi Muhammad SAW menyebarkan ajaran Islam secara diam-diam dan beribadah di lokasi-lokasi tersembunyi agar tidak diketahui oleh kaum Quraisy.

Periode dakwah tersebut berlangsung selama tiga tahun. Hal ini dilakukan karena jumlah pengikut Islam saat itu masih sedikit. Selain itu, beliau belum memiliki kekuatan yang cukup besar untuk tampil di tengah masyarakat yang mayoritasnya adalah penyembah berhala dan penganut tradisi nenek moyang yang jauh dari konsep ketauhidan.

Nabi Muhammad SAW memulai dakwahnya dengan menyampaikan ajaran Islam kepada orang-orang terdekatnya, seperti keluarga dan sahabat. Istri beliau, Khadijah, menjadi orang pertama yang menerima ajakan tersebut. Setelah itu, Nabi Muhammad SAW menyebarkan dakwahnya kepada kerabat dekat, para pemuda yang merasa resah dengan situasi masyarakat Makkah, serta mereka yang miskin dan tertindas.

Nabi Muhammad SAW melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi dengan tujuan mencari sosok-sosok yang mau mendukung perjuangannya. Mereka inilah yang dipersiapkan untuk menjadi penyebar ajaran Islam bersama Nabi Muhammad SAW. Akhirnya, mereka menjadi pendukung setia dalam misi dakwah beliau.

Dakwah Nabi Muhammad secara Terang-terangan

Langkah awal Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah secara terang-terangan dimulai dengan mengumpulkan seluruh anggota keluarga besarnya, yaitu keturunan Abdul Muthalib bin Abdi Manaf. Sebanyak 45 orang hadir memenuhi undangan tersebut, namun mereka meninggalkan tempat sebelum Nabi Muhammad SAW sempat berbicara.

Dalam pertemuan selanjutnya, Nabi Muhammad SAW berhasil menyampaikan ajaran Islam, namun seluruh paman dan saudara yang hadir menolak. Hanya Abu Thalib yang menunjukkan dukungan terhadap upaya dakwah Nabi Muhammad SAW, meskipun ia tetap teguh pada keyakinan nenek moyangnya.

Untuk ketiga kalinya, Nabi Muhammad SAW melakukan dakwah secara terbuka. Kali ini, beliau memilih Bukit Shafa sebagai tempatnya. Di hadapan penduduk Makkah yang berkumpul, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa dirinya adalah utusan Allah SWT, yang diberi tugas untuk memberikan peringatan kepada seluruh umat manusia. Beliau mengajak mereka meninggalkan penyembahan berhala dan kembali menyembah Allah SWT, serta menjelaskan tentang kehidupan akhirat, surga, dan neraka.

Dakwah yang dilakukan secara terang-terangan oleh Nabi Muhammad SAW membuat ajaran Islam mulai dikenal luas dan menjadi bahan pembicaraan di seluruh penjuru Makkah, terutama di kalangan suku Quraisy yang banyak menentang. Para penentang ini menggunakan berbagai cara untuk menghentikan penyebaran dakwah tersebut. Keberanian kaum muslimin untuk menyebarkan ajaran Islam secara terang-terangan semakin bertambah kuat setelah Umar bin Khattab memeluk Islam.

Sebelum memeluk Islam, Umar bin Khattab dikenal sebagai salah satu penentang utama dakwah Nabi Muhammad SAW. Meski menghadapi berbagai ancaman, Nabi Muhammad SAW dan para pengikut setianya tidak gentar. Perlahan namun pasti, dakwah Islam terus berlanjut.

Periode Dakwah Nabi Muhammad di Madinah

Setelah menghadapi berbagai tantangan di Makkah, Nabi Muhammad SAW memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Perpindahan ini bukan sekadar perubahan lokasi, tetapi juga awal dari fase baru dalam dakwah beliau. Lantas, bagaimana periode dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah dan apa saja perubahan yang terjadi?

Perjuangan Rasulullah SAW dalam menyebarkan dakwah di Madinah bukanlah hal yang mudah. Selama masa hijrah di tempat baru ini, berbagai fitnah dan tantangan kerap menghadang upaya beliau dalam menyebarkan ajaran Islam.

Mengacu sumber yang sama, sikap antipati dari kaum Yahudi, kebencian kaum munafik, serta permusuhan dari kaum Quraisy sering kali memicu konflik yang kemudian berkembang menjadi peperangan di tengah masyarakat Madinah.

Rasulullah SAW berhasil mengatasi berbagai tantangan selama menyebarkan dakwah di kota yang dahulu dikenal sebagai Yatsrib itu. Akhirnya, beliau sukses menaklukkan Madinah dan memasukkannya ke dalam wilayah kekuasaan Islam.

Sebagian besar penduduk Madinah adalah para pendatang yang menetap di wilayah tersebut. Mereka terbagi menjadi dua kelompok utama, yakni Arab dan Yahudi. Bangsa Arab berasal dari wilayah selatan, sementara kaum Yahudi datang dari arah utara.

Penduduk Arab mendominasi wilayah Madinah dan terbagi menjadi dua kelompok utama, yaitu bani Aus dan bani Khazraj. Meski berasal dari etnis yang sama, kedua kelompok ini kerap berselisih dan berperang demi memperebutkan kekuasaan di Madinah. Di sisi lain, kaum Yahudi dikenal karena sifat mereka yang arogan, menganggap diri mereka sebagai bangsa pilihan Tuhan.

Dua kelompok yang tinggal di Madinah ini terus bersaing demi pengaruh dan kekuasaan. Mereka bahkan kerap saling mengancam akan berperang dan berusaha mengusir satu sama lain dari wilayah Madinah.

Kehadiran Rasulullah SAW di Madinah pada 12 Rabiul Awwal tahun pertama Hijriah menandai permulaan penyebaran dakwah Islam di Kota Madinah. Berdasarkan hadits sebelumnya juga dijelaskan, Rasulullah SAW berdakwah selama 10 tahun sepanjang masa kenabiannya hingga akhir hayatnya di Madinah.

Strategi Dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah

Hijrah ke Madinah menjadi titik balik bagi perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW. Situasi dan kondisi yang berbeda membuat Nabi Muhammad SAW perlu menerapkan pendekatan baru dalam menyebarkan ajaran Islam. Lalu, strategi apa saja yang digunakan Nabi Muhammad SAW dalam dakwahnya di Madinah?

Menurut buku Pendidikan Agama Islam susunan Bachrul Ilmy, Rasulullah SAW memiliki empat substansi dakwah selama periode dakwah beliau di Madinah, di antaranya:

  1. Penguatan akidah, ibadah, dan muamalah bagi kaum muslim melalui masjid sebagai pusat kegiatan.
  2. Membangun ukhuwah (persaudaraan) antara kaum Muhajirin dan Anshar untuk menyatukan umat Islam.
  3. Melatih kader-kader perjuangan guna mempertahankan wilayah dan mendukung para juru dakwah.
  4. Merumuskan aturan pertahanan dan sosial untuk menjaga stabilitas di Madinah.

Sedangkan strategi dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah memiliki 5 strategi dakwah, berikut adalah strategi dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah yang dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam yang ditulis oleh Elfa Tsuroyya:

1. Mendirikan Masjid

Langkah awal yang diambil oleh Rasulullah SAW adalah membangun sebuah masjid yang kemudian dikenal sebagai Masjid Nabawi. Di tempat inilah beliau mulai menyebarkan dakwah dengan mengadakan sholat berjamaah, mengenalkan dan menanamkan nilai-nilai ibadah mahdhah, muamalah, serta berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Akibatnya, area sekitar masjid pun menjadi semakin hidup dan ramai.

2. Menyatukan Suku Aus dan Khazraj

Dua suku yang sebelumnya sering berselisih ini akhirnya dipersatukan dan kemudian dikenal sebagai kaum Anshar, yang membantu Rasulullah SAW saat hijrah. Langkah ini diambil untuk memperkuat persatuan di antara mereka serta dengan suku-suku lainnya yang tinggal di Madinah.

3. Mempersaudarakan Kaum Muhajirin dan Anshar

Rasulullah SAW menjalin ikatan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar, dengan landasan agama yang menggantikan persaudaraan berdasarkan garis keturunan. Langkah ini menciptakan suasana yang lebih damai dan aman. Dengan menyatukan keduanya melalui keimanan, persatuan di antara mereka pun semakin kuat dan kokoh.

4. Mengajarkan Nilai-nilai Moral

Rasulullah SAW juga mengajarkan kepada masyarakat tentang tata krama dalam mencintai sesama, menjalin persaudaraan, menjunjung tinggi keagungan, kemuliaan, serta pentingnya ibadah dan ketaatan.

5. Membuat Tatanan Sosial Masyarakat

Rasulullah SAW menyatukan kaum Yahudi yang terdiri dari bani Qainuqa, bani Nadhir, dan bani Quraizhah. Beliau kemudian merumuskan sebuah perjanjian yang melindungi hak-hak asasi manusia di Madinah, yang dikenal sebagai Piagam Madinah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Ketaatan kepada Pemimpin



Jakarta

Figur pemimpin yang patut mendapatkan ketaatan warganya (rakyatnya) adalah pemimpin yang baik seperti dicontohkan Rasulullah SAW. Keempat sifat kepemimpinannya ( siddiq, amanah, tabligh, fathonah ) sering dibahas dan terbukti membuahkan hasil yang luar biasa.

Sebelum datangnya Islam, umat manusia kehilangan daya dan selera hidupnya dalam semua hal. Mereka dipaksa untuk berkorban, menanggung dan menghadapi berbagai persoalan yang berat di luar keinginannya sendiri. Mereka tidak menyukai pemimpin-pemimpinnya dan sebaliknya. Mereka mengorbankan jiwa dan harta untuk kepentingan orang yang mereka tidak sukai. Maka padamlah semangat yang membara dalam hati dan membekulah jiwa dan perasaan mereka. Akhirnya mereka menjadi manusia-manusia penjilat dan bersifat munafik.

Maka di tengah umat manusia yang sedang kebingungan dan kezaliman, datanglah Rasulullah SAW. melepaskan belenggu yang mengungkung kehidupan umat manusia. Ajarannya telah meniupkan semangat dan jiwa baru, menghidupkan masyarakat yang hatinya telah membeku, dan membuka matanya yang telah membuta. Rasulullah SAW. dikarunia oleh Allah SWT. sifat-sifat yang serba indah dan sempurna, disertai nilai-nilai kebajikan yang tinggi.


Adapun orang-orang yang menyaksikan sendiri menceritakan sebagai berikut ,” Pada masa sebelum dan sepeninggal Rasulullah SAW., aku belum pernah melihat ada manusia seperti beliau. Setiap orang menumpahkan kecintaan yang sungguh-sungguh kepada beliau laksana tumpahan air terjun di lereng yang curam. Jiwa dan hati setiap orang tertarik kepada beliau, bagaikan sekerat besi tertarik pada magnet. Beliau dicintai oleh umatnya, ditaati dan dipatuhi sepenuhnya.”

Keutamaan sifatnya adalah kejujuran. Sebagaimana hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, “Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta.”

Taat kepada pemimpin merupakan kekuatan yang digerakkan oleh mahabbah ( kecintaan ) yang muncul secara sadar dan suka rela. Bukan ketaatan dan kepatuhan karena ancaman atau karena kekuasaan yang besar. Ingatlah, dan sering terjadi seseorang yang berkedudukan tinggi akan menciptakan kondisi ketaatan atas kekuasaannya bukan kecintaan padanya. Pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya dengan sepenuh hati pasti ditaati oleh mereka dengan segenap kekuatan dan tenaga.

Contoh pemimpin yang ditaati, telah diceritakan oleh Sa’ad bin Mu’adz tentang dirinya dan orang-orang Anshar sebelum terjadi Perang Badar. Ia berkata kepada Rasulullah SAW.,”Ya Rasulullah, aku berbicara atas nama orang-orang Anshar dan menjawab atas nama mereka juga. Ya Rasulullah, kemana saja Anda hendak pergi, hubungilah siapa saja yang Anda sukai. Ambillah harta kekayaan kami sesuka Anda. Berilah kami apa yang Anda mau berikan. Apa yang Anda ambil dari kami, lebih kami sukai daripada jika Anda tinggalkan. Apa saja yang hendak Anda perintahkan kepada kami, perintah itu akan kami laksanakan. Demi Allah, seandainya Anda mengajak kami pergi bersama-sama mengarungi samudera, kami akan terjun kedalamnya bersama Anda.”

Perintah menaati Rasul-Nya sebagaimana dalam surah an-Nisa Ayat 80 yang terjemahannya, “Siapa yang menaati Rasul [Muhammad], maka sungguh telah menaati Allah. Siapa yang berpaling, maka Kami tidak mengutus engkau [Nabi Muhammad] sebagai pemelihara mereka.”
Makna ayat ini : Barang siapa menaati Rasul dan mengikuti ajaran-ajarannya, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah karena Allah yang telah mengutusnya. Dan barangsiapa berpaling dari ketaatan itu, maka ketahuilah bahwa Kami tidak mengutusmu, wahai Nabi Muhammad, untuk menjadi pemelihara mereka sebagai orang yang bertanggung jawab dan menjamin mereka untuk tidak berbuat kesalahan.

Kondisi riil saat ini, sebagian elite menerapkan kepemimpinan agar masyarakat taat padanya karena kekuasaan, masih jarang ditemukan pemimpin yang dicintai rakyatnya. Ketaatan karena kekuasaan itu bersifat jangka pendek, karena saat kekuasaan sirna atau habis masanya maka bersamaan hilangnya ketaatan padanya. Hal yang berbeda saat ketaatan itu datangnya dari kecintaan padanya. Ada seloroh yang umum terjadi di Jawa Timur. Jika seseorang bertanya, “Siapa Gubernur Jatim ? Maka dijawab, “M. Noer. Kemudian yang bertanya protes, ” Itu yang saat ini menjabat Ibu Khofifah.” Di jawab lagi, “Itu kan penggantinya.”

Di balik seloroh tersebut menggambarkan bahwa Gubernur Muhammad Noer pada saat itu, merupakan sosok yang sangat dicintai oleh masyarakat Jawa Timur. Wahai para pemimpin yang saat ini masih memegang kekuasaan, jadikanlah dirimu sebagai pemimpin yang dicintai, dan ingatlah kekuasaan itu tidak bisa engkau genggam seterusnya karena akan lepas pada saatnya. Jagalah diri saat berkuasa, jika engkau lalai dan nafsumu menguasai maka tidak lama lagi engkau tergelincir.

Ya Allah, jagalah hati para penguasa agar tetap kokoh dan bisa melawan nafsunya dan berikan cahaya-Mu agar mereka menjadi pemimpin yang dicintai dan memberikan rasa keadilan.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Pengertian, Hukum, Unsur-unsur dan Keutamaannya



Jakarta

Dakwah umumnya digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam kepada orang lain, dan bertujuan untuk mengajak mereka memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama. Namun, apa sebenarnya arti dakwah?

Pengertian Dakwah

Dikutip dari buku Sejarah Dakwah karya Jamaluddin secara etimologi kata dakwah berasal dari bahasa arab دَعَا يَدْعُوا دَعْوَةً (da’a yad’u da’watan) yang berarti memanggil, mengajak, menyeru, dan meminta.

Menurut istilah, pengertian dakwah ialah mengajak manusia dengan cara bijaksana menuju jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah SWT demi kebahagiaan dunia dan akhirat.


Salah satu pengertian dakwah secara etimologi adalah menyeruh manusia kejalan keselamatan, ini sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surah Yunus ayat 25,

وَ اللَّهُ يَدْعُوْا إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Arab Latin: wallâhu yad’û ilâ dâris-salâm, wa yahdî may yasyâ’u ilâ shirâthim mustaqîm

Artinya: “Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga) dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”

Menurut buku Pengantar Studi Ilmu Dakwah karya Abu Al-Fath Al -Bayanuni, para ulama bersepakat tentang kewajiban berdakwah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu, maka dengan hatinya. Itulah iman yang paling lemah.”

Dikutip dari buku pengantar Ilmu Retorika Dakwah karya Ahmad Hawassy, tujuan utama dan satu-satunya dakwah adalah agar umat manusia beribadah hanya kepada Allah SWT semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun selain-Nya, dengan meniti syariat sesuai perintah Rasulullah SAW sebagai pedoman hidup mereka.

Sebagaimana dikisahkan oleh Abu Sufyan bin Harb kepada Kaisar,

“Dia (Nabi Muhammad SAW) memerintahkan kami untuk menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan ia melarang kami menyembah apa-apa yang biasa disembah oleh nenek moyang kami….”

Unsur-unsur Dakwah

Adapun unsur-unsur dakwah yang dikutip dari sumber sebelumnya adalah sebagai berikut:

1. Dai: Juru dakwah yang berperan sebagai penyampai ajaran, pemimpin, dan penasihat yang memberikan nasihat dengan baik.

2. Maddatu Al Dakwah (Pesan Ilahi): Ajaran Islam yang diambil dari Al-Quran dan hadits, serta rumusan para ulama, yang harus disampaikan oleh dai.

3. Tariqatu Al Dakwah (Metode): Cara-cara yang digunakan dai untuk berdakwah, yang berlandaskan hikmah dan kasih sayang.

4. Wasilah (Media): Sarana yang digunakan untuk berdakwah, baik langsung (tatap muka) maupun jarak jauh (telepon, televisi, radio, dan sebagainya.)

5. Mad’u (Sasaran Dakwah): Individu atau kelompok yang menjadi target dakwah.

6. Atsar (Efek): Dampak yang ditimbulkan pada mad’u setelah menerima dakwah.

Keutamaan Berdakwah

Masih merujuk pada buku Pengantar Ilmu Retorika Dakwah, dakwah memiliki berbagai keutamaan, di antaranya adalah:

1. Dakwah Adalah Muhimmatur Rusul (Tugas Utama Para Rasul)

Para rasul adalah orang yang diutus oleh Allah SWT untuk melakukan tugas utama mereka yakni berdakwah. Keutamaan dakwah terletak pada disandarkannya kerja dakwah ini pada manusia yang paling utama dan mulia yaitu Rasulullah SAW dan saudara-saudara beliau para nabi dan rasul.

2. Dakwah adalah Ahsanul A’mal (Amal yang terbaik)

Dakwah adalah amal yang terbaik, karena dakwah memelihara amal islami dalam pribadi dan masyarakat.

Membangun potensi dan memelihara amal saleh adalah amal dakwah, sehingga dakwah merupakan aktivitas dan amal yang mempunyai peranan penting di dalam menegakkan Islam. Tanpa dakwah ini maka amal saleh tidak akan berlangsung.

3. Para Dai Akan Memperoleh Balasan Yang Besar Dan Berlipat Ganda

Sabda Rasulullah SAW kepada Ali bin Abi Thalib,

“Demi Allah, sesungguhnya Allah SWT menunjuki seseorang dengan (dakwah)mu, maka itu lebih baik bagimu dari unta merah”. (Bukhari, Muslim & Ahmad)

Hadits ini menunjukkan bahwa usaha seorang da’ï menyampaikan hidayah kepada seseorang adalah sesuatu yang amat besar nilainya di sisi Allah SWT, lebih besar dan lebih baik dari kebanggaan seseorang terhadap kendaraan merah miliknya.

4. Dakwah Dapat Menyelamatkan Manusia dari Azab Allah (An-Najatu Minal ‘Adzab)

Dakwah yang dilakukan oleh seorang dai akan membawa manfaat bagi dirinya sebelum manfaat itu dirasakan oleh orang lain yang menjadi objek dakwah. Manfaat itu antara lain adalah terlepasnya tanggung jawabnya dihadapan Allah SWT sehingga ia terhindar dari azab Allah SWT.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Galau



Jakarta

Penulis mulai dari firman-Nya dalam surah al-Qashash ayat 83 yang terjemahannya, “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Kesudahan (yang baik, yakni surga) itu (disediakan) bagi orang-orang yang bertakwa.”

Makna ayat ini menerangkan bahwa kebahagiaan dan segala kenikmatan di akhirat disediakan untuk orang-orang yang tidak takabur, tidak menyombongkan diri, dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi seperti menganiaya dan sebagainya. Mereka itu bersifat rendah hati, tahu menempatkan diri kepada orang yang lebih tua dan lebih banyak ilmunya. Kepada yang lebih muda dan kurang ilmunya, mereka mengasihi, tidak takabur, dan menyombongkan diri.

Orang yang takabur dan menyombongkan diri tidak disukai Allah SWT. akan mendapat siksa yang amat pedih, dan tidak masuk surga di akhirat nanti, sebagaimana firman-Nya : Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Allah akan menyempurnakan pahala bagi mereka dan menambah sebagian dari karunia-Nya. Sedangkan orang-orang yang enggan (menyembah Allah) dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih. Dan mereka tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah. (an-Nisa’ ayat 173) Sabda Rasulullah SAW, “Tidak akan masuk surga orang yang ada di dalam hatinya sifat takabur, sekalipun sebesar zarah”. (Riwayat Muslim dan Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud) Ayat 83 ini ditutup dengan penjelasan bahwa kesudahan yang baik berupa surga diperoleh orang-orang yang takwa kepada Allah SWT. dengan mengamalkan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, tidak takabur dan tidak menyombongkan diri seperti Fir’aun dan Karun.


Ketahuilah, sesungguhnya orang yang mencintai pangkat dan kedudukan adalah orang yang hatinya telah dikuasai hasrat terhadap jabatan, sebagaimana hati orang yang mencintai harta telah dikuasai hasrat untuk memiliki segala. Jika para pemilik kedudukan dan harta menjadikan kedudukan dan harta sebagai wasilah untuk suatu tujuan yang kekal ( akhirat ), maka pemilik hati akan menjadikan hatinya sebagai wasilah untuk menuju tujuan itu. Itulah kemuliaan hidup seseorang. Sebaliknya jika para pemilik kedudukan dan harta kekayaan itu sudah menjadi tujuan hidupnya, maka sengsaralah ia saat kehilangan kedudukan dan hartanya.

Pada masa akhir periode jabatan, seseorang akan terlihat pada dua keadaan :
1. Ikhlas, ia sadar bahwa jabatan itu merupakan amanah dan anugerah dari Allah SWT. sebagaimana dalam firman-Nya surah ali-Imran ayat 26. Adapun inti ayat tersebut adalah : Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak seorang pun mampu mengangkat derajat orang lain dan memuliakannya kecuali atas izin-Nya, dan tidak seorang pun mampu menjatuhkan kekuasaan orang lain dan menghinakannya kecuali atas izin-Nya. Jika seseorang berkedudukan tinggi dan menyadari sepenuhnya atas ayat ini, maka ia berbahagia dan senang saat mengakhiri jabatannya.

2. Galau. Ini merupakan ciri-ciri orang yang berkedudukan mengalami post power syndrome. Ia berharap berumur panjang dan berangan-angan seterusnya merasakan nikmatnya dunia. Kedudukan yang yang berkelanjutan dan pelayanan prima yang ia peroleh merupakan kenikmatan yang diharapkan. Ketenaran dan ketersanjungan yang merupakan buah dari kedudukan yang ia selalu dambakan dan nikmati. Ingatlah bahwa semua itu adalah fana ( tidak kekal ) dan sesungguhnya Allah SWT. pemilik karunia sudah mengingatkan bahwa kepemimpinan/kedudukan itu selalu dipergilirkan. Jika engkau galau menghadapi kondisi ini, itu merupakan lemahnya iman dan keyakinanmu.

Wahai para pejabat yang akan mengakhiri jabatannya, segeralah mendekatkan diri kepada Tuhanmu. Ingatlah kebahagian seseorang itu bisa diperoleh dengan mengetahui Yang Mahakuasa dan menaati-Nya, mengerjakan perintah-Nya secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan serta meninggalkan larangan-Nya berupa kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan. Maka mulailah dengan memperbaiki hati, karena hati merupakan sumber semua kebaikan dan sumber segala dosa serta permusuhan.

Baik tidaknya hati terbagi dua sebagai berikut : Pertama, terbatas pada diri sendiri, seperti pengetahuan dan keyakinan. Kedua, meluas pada orang lain, seperti keinginan untuk berderma dan berbuat baik. Untuk itulah, jagalah hati agar tetap baik ( bersih ) dan lawanlah bisikan-bisikan setan agar nafsumu ikut menolak bisikan itu. Ketahuilah ada dua jalan untuk menghilangkan cinta pada jabatan yaitu jalan ilmu dan jalan amal ( Imam Ghazali ).

Jalan ilmu. Ingatlah bahwa ilmu adalah penguasaan hati. Jika seseorang telah menguasai hatinya maka ia akan mati dalam keadaan selamat. Adapun jalan amal atau tindakan, dengan mengasingkan diri dan merendahkan diri. Dalam bermasyarakat kita hendaknya tetap bergaul namun hatimu telah mengasingkan diri agar tidak tergoda dengan pesona jabatan. Merendahkan diri merupakan upaya untuk tidak merasa diri lebih tinggi dari orang lain. Ingatlah ketinggian derajat duniawi tidaklah menjadi ukuran Allah SWT. kecuali hanya ketaatan dan ketakwaannya.

Ya Allah, bimbinglah kami agar selalu mengingat-Mu dan tuntunlah agar kami beribadah dengan-Mu yang benar. Jauhkanlah kami dari tujuan akhir pada dunia dan kokohkan iman kami untuk selalu mengingat akhirat.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Post Power Syndrome



Jakarta

Post power syndrome adalah suatu kondisi kejiwaan yang umumnya dialami oleh orang-orang yang kehilangan kekuasaan atau jabatan yang diikuti dengan menurunnya harga diri. Post power syndrome adalah kondisi ketika seseorang masih membayangkan pencapaiannya pada masa lalu dan membandingkannya dengan masa kini. Hal ini dapat menurunkan rasa percaya diri dan menyebabkan depresi. Kondisi ini umumnya dialami oleh orang yang baru pensiun dari pekerjaannya maupun orang yang berakhir masa jabatannya. Sebagian orang menilai pekerjaan sebagai bentuk kepuasan atau pencapaian diri. Tidak sedikit pula orang yang menganggap pekerjaan sebagai identitasnya, atau kesempatan untuk bersosialisasi dan mengasah kemampuan berpikir. Jangan lupa jabatan atau kedudukan itu memuaskan hatinya karena bisa menikmati pelayanan atas kedudukan tersebut.

Kebanyakan dari kita tentu mengharapkan kesuksesan dan kebahagiaan di usia muda. Kemudian, kita tentu juga menginginkan hal tersebut dapat bertahan menggenapi kehidupan kita hingga tua dan berpulang ke Dzat Yang Maha Agung, Allah SWT. Pertanyaannya, sebenarnya apa itu yang disebut bahagia? Bagaimana ukuran bahagia pada diri manusia, khususnya pada mereka yang sudah genap berusia lanjut (usia dewasa akhir > 60 tahun)? Bahagia menurut hemat penulis dapat diartikan sebagai bentuk reaksi pada perasaan manusia yang positif terhadap apa yang dialami dalam diri dan kehidupannya. Nah, bahagia sejatinya adalah hak siapa saja dan menurut hemat penulis, bahagia adalah suatu yang hendaknya diraih, di manapun dan dalam kondisi apapun. Bagi orang beriman bahagia itu tidaklah sulit karena ia akan bersyukur saat memperoleh anugerah dan bersabar saat memperoleh ujian.

Orang-orang yang sabar lagi bersyukur kepada Allah SWT. Maka Dia akan memberinya petunjuk di dunia dan di akhirat.
Menurut para Ulama, “Iman itu ada dua bagian, sebagian adalah sabar dan sebagian lagi adalah syukur.” Para Ulama salaf berkata, “Sabar adalah sebagian dari iman.” Allah SWT. mengumpulkan sabar dan syukur sebagaimana firman-Nya dalam surah asy-Syura ayat 33 yang terjemahannya, “Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda ( kekuasaan-Nya )bagi orang yang selalu bersabar dan banyak bersyukur.”


Adapun makna ayat di atas adalah : Orang-orang yang dapat mengerti dan menyadari hal ini ialah orang-orang yang mempunyai pandangan luas, sabar dan patuh kepada perintah-Nya senantiasa mensyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah SWT. kepadanya. Adanya bencana yang terjadi pada suatu tempat berupa gempa bumi, tanah longsor, ombak yang menghanyutkan dan membinasakan, dan lain-lain dianggap oleh sebagian orang hanya kejadian alam yang tidak ada hubungan sedikit pun dengan kekuasaan Allah SWT. Ingatlah Firman-Nya, Dan berapa banyak tanda-tanda (kebesaran Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, namun mereka berpaling daripadanya. (Yusuf ayat 105) Ayat ini merupakan kelanjutan ayat sebelumnya (asy-Syura 32), bahwa setelah berhasil mengapung di atas air, kapal tradisional memerlukan energi angin sebagai penggerak. Dengan adanya angin kapal layar dapat terdorong dan dengannya dapat pula dikendalikan melalui penggunaan layar dan kemudi. Apabila hembusan angin terhenti maka praktis kapal tidak dapat bergerak. Dengan tidak adanya angin gelombang laut pun akan terhenti pula.

Kembali kepada tujuan hidup bahagia dan sukses. Bagi orang beriman, sukses dalam kehidupan itu berakhir dengan husnul khatimah, bukan berharta banyak, hidup megah dan bukan berkedudukan tinggi. Untuk itu penulis bersenandung tentang bahagia :

Sesuatu yang abstrak.
Tiada bisa dihitung dan dilihat.
Tidak bisa disimpan dalam kotak, dan tidak bisa dibeli.
Berapapun banyak hartamu, kau takkan mampu membeli.
Betapapun senangnya dengan anak-anakmu, kau tiada bisa menggantinya.
Kau kuasai ilmu dan teknologi, belum tentu dapat kau gapai bahagia.
Seorang suami marah pada istri, ” akan aku cabut kebahagianmu,”
” Kau takkan mampu mencabut” tantang istri.
Kebahagianku bukan pada nafkah, busana dan perhiasan.
Kebahagianku bukan yang kau miliki, tak bisa kau kuasai.
Karena kabahagianku ada pada keimananku.
Keimanan ada dalam hatiku.
Tiada yang bisa kuasai hatiku kecuali Allah SWT.
Iman adalah sumber keamanan lahir dan batin.
Tiada iman hanya fatamorgana.

Maka ingatlah selalu, ” Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik ( hayatan thayyibah ).” ( an-Nahl : 97 ).

Jabatan dan kedudukan tinggi bukan segalanya, karena hal itu bersifat sementara ( fana ). Tidak ada seseorang menjabat seterusnya ( selama-lamanya ) paling tidak ia berakhir saat meninggal dunia. Kembali kepada-Nya merupakan suatu kepastian dan waktunya tidak maju maupun mundur ( sepenuhnya menjadi kewenangan Allah SWT. surah Luqman ayat 34 ). Oleh karena itu, khusus bagi para pejabat yang berkedudukan tinggi ingatlah selalu akan kematian. Dengan mengingat kematian, engkau akan menghindarkan keinginan keduniawian dan akan memperbanyak bekal untuk akhirat.

Jika kondisi seseorang sudah mencapai tahap bersyukur saat memperoleh anugerah dan bersabar saat ada ujian serta menyadari bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya adalah kehendak-Nya. Disamping itu, husnul khatimah sudah menjadi ukuran kesuksesan maka ia akan jauh dari post power syndrome. Semoga Allah SWT. memberikan penerangan agar tujuan hidup kita tidak tersesat.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Amanah



Jakarta

Amanah mengandung makna bahwa sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain karena yakin dan percaya, bahwa di tangannya sesuatu yang diserahkan itu akan aman dan terpelihara dengan baik. Kepercayaan ini dapat berupa hal yang tidak terlihat, seperti jabatan ataupun benda yang terlihat, seperti misalnya harta. Menurut pakar tafsir Al-Razi, amanah terbagi menjadi tiga bentuk yakni amanah dengan Tuhan, amanah dengan sesama manusia, dan amanah dengan diri sendiri.

Pada hari Senin tanggal 21 Oktober 2024, di negeri tercinta ini para pembantu Presiden ( Menteri, Wakil Menteri dan Pejabat setingkat Menteri ) mulai bekerja. Mereka ini telah memperoleh amanah untuk memimpin Kementerian dari Presiden. Inilah yang disebut Al-Razi sebagai amanah sesama manusia. Memegang amanah seperti memimpin Kementerian selalu melekat adanya tanggung jawab dan kekuasaan. Melaksanakan tujuan dari Kementerian akan efektif jika kekuasaan di jalankan dengan rasa keadilan dan tentu pelaksanaan tersebut harus dipertanggungjawabkan.

Jadi, ingatlah selalu bagi yang menerima amanah bukan disikapi dengan bersenang-senang berkumpul dengan keluarga dan lain sebagainya, maka bersikaplah sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 156 yang terjemahannya, “yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali).”


Allah SWT. memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW. agar memberitahukan ciri-ciri orang-orang yang mendapat kabar gembira yaitu orang yang sabar, apabila mereka ditimpa sesuatu musibah mereka mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ) (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Dengan begitu para penerima amanah akan selalu memgingat-Nya dan menunaikan tugasnya dengan bimbingan Allah SWT.

Dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin Kementerian hendaknya selalu mengingat bahwa, kepemimpinan yang engkau jalankan merupakan / adalah keteladananmu. Kisah Umar bin Khathab mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, tentang berbagai persoalan yang menyangkut kepemimpinan. Inilah isi suratnya :

Sesungguhnya, manusia itu punya hak untuk berpaling dari penguasa mereka. Maka, aku mohon perlindungan kepada Allah dari yang demikian itu.

Hindarilah sikap membabi buta dan dengki, mengikuti hawa nafsu dan sikap lebih mengutamakan dunia. Dan tegakkanlah hukum itu, walaupun hanya sesaat pada siang hari.

Apabila menghadapi dua perkara, yang satu untuk Allah dan yang satunya lagi untuk dunia, maka utamakanlah bagianmu untuk akhirat daripada bagianmu untuk dunia. Sebab, dunia itu akan lenyap, sedangkan pahala akhirat adalah kekal selamanya. Takutlah engkau kepada Allah SWT. dan takut-takutilah orang-orang fasik. Jadikanlah tangan dan kaki mereka terbelenggu, agar tidak dapat mengadakan kegiatan kefasikan.

Abadikanlah nikmat dengan bersyukur, abadikanlah ketaatan dengan berlemah lembut, abadikanlah kekuasaan dan kemenangan dengan bersikap tawadu’ serta cinta kepada sesama manusia.

Tengoklah orang-orang muslim yang sakit, dan antarkan jenazahnya sampai ke kuburnya. Bukalah pintumu untuk mereka, dan urusi sendiri perkara mereka, karena engkau termasuk salah seorang dari mereka. Hanya saja Allah SWT. menjadikanmu orang paling berat tanggungannya.

Ketahuilah, bahwa seorang pemimpin itu akan kembali kepada Allah SWT. Maka apabila pemimpin itu menyeleweng rakyatpun pasti menyeleweng. Sesungguhnya, orang yang paling celaka ialah orang yang menjadi sebab sengsaranya rakyat.

Inti dari pesan seorang Amirul Mukminin tersebut meliputi :

1. Tidak mengikuti hawa nafsu.
2. Menegakkan hukum.
3. Mengutamakan bagian untuk akhirat.
4. Bersyukur dan tawadu.’
5. Menengok orang yang sakit dan mengantarkan jenazah sampai ke kuburnya.
6. Memberikan keteladanan.

Penulis berpesan sebagai seorang pemimpin hendaklah memegang teguh tentang :

1. Sabar. Seorang pemimpin yang mempunyai sikap sabar, tentu segala urusan akan diseleseikan dengan baik. Hal ini sesuai dengan perintah-Nya dalam surah an-Nahl ayat 127 yang terjemahannya, “Bersabarlah. Kesabaranmu itu tak lain adalah berkat pertolongan Allah.”
2. Syukur. Seorang pemimpin yang bersyukur, maka ia tidak berpanjang angan-angan. Hal ini dapat menjadikan sia-sia. Dalam surah Ibrahim ayat 17, intinya adalah perintah bersyukur dan janganlah mengingkari nikmat dari-Nya.
3. Tawakal. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah adalah menyerahkan seluruh perkara kepada Allah, bersandar pada kekuasaan-Nya dalam mengatur siklus alam semesta, mendahulukan perbuatan-Nya ketimbang perbuatan kita, dan mengitamakan kehendak-Nya diatas keinginan kita.

Ketiga faktor inilah yang menjadikan seorang pemimpin berjiwa besar. Semoga Allah SWT. selalu membimbing dan memberikan cahaya-Nya agar para pembantu Presiden dapat menjalankan amanah dengan efektif.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Pembiaran



Jakarta

Istidraj yaitu nikmat yang diberikan Allah SWT kepada orang-orang yang membangkang atau jauh terhadap-Nya. Ini merupakan hukuman dari Allah SWT agar orang tersebut terus terjerumus dalam kesesatan. Hal ini menjadikan seseorang yang diberikan nikmat tetapi diarahkan menuju kebinasaan oleh Allah SWT.

Adapun nikmat ada dua jenis yaitu nikmat hasil jerih payah dan nikmat istidraj. Seseorang yang bekerja keras maupun bekerja cerdas akan memperoleh kenikmatan dari-Nya, ini berlaku bagi mukmin maupun kafir. Allah SWT tidak menyia-nyiakan atas jerih payah hamba-Nya. Orang beriman akan menikmati hasil usaha duniawinya di dunia, dan selain itu menikmati di akhirat. Adapun orang kafir akan menikmati hasil usahanya di dunia saja. Sebagaimana dalam firman-Nya surah Hud ayat 15 yang terjemahannya, “Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan kepada mereka (balasan) perbuatan mereka di dalamnya dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan.”

Makna ayat ini adalah: Menerangkan bahwa penyebab orang musyrik mendustakan Al-Qur’an adalah karena dorongan hawa nafsu yang cenderung mengutamakan urusan duniawi. Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dengan pangkat, kemewahan, serta kenikmatan hidup, dan menginginkan pula perhiasannya seperti harta kekayaan yang melimpah, fasilitas hidup yang lengkap dan mewah, pasti Kami akan berikan balasan penuh atas pekerjaan dan jerih payah mereka selama di dunia dengan sempurna. Itulah ketetapan Allah SWT yang berlaku bagi siapa saja yang bekerja akan mendapatkan hasil dari jerih payahnya, dan mereka di dunia tidak akan dirugikan oleh hasil usaha mereka sendiri.


Oleh karena itu ketika kita memperoleh kenikmatan, maka renungkanlah apakah nikmat itu karena jerih payah atau nikmat istidraj?

Dikisahkan Umar bin Khatab saat diberikan ghanimah (harta ramasan perang) Qadisiah ke hadapannya, Umar menangis karena khawatir kemenangan yang telah dicapai itu merupakan istidraj Allah SWT untuknya. Dia menangis sambil berkata, ” Ya Allah, Engkau tahu bahwa Muhammad SAW lebih baik dariku, tapi Engkau tidak memberikan ini kepadanya. Engkau tahu bahwa Amirul Mukminin Abu Bakar lebih baik dariku, tapi Engkau tidak memberikan ini kepadanya. Maka, aku berlindung kepada-Mu supaya semua ini tidak berubah menjadi fitnah bagi agamaku.”

Adapun yang membedakan nikmat anugerah dengan nikmat istidraj adalah kondisi seseorang saat menerima nikmat tersebut. Jika ia menerimanya dengan rasa syukur kepada Allah SWT lalu istiqamah dalam syukurnya, maka itu pertanda bahwa nikmat yang tercurah itu merupakan pesan cinta dan anugerah. Namun, jika ia menerimanya tapi ia lupa dengan Sang Pemberi Nikmat, lupa pada-Nya yang mengaruniainya, kemudian menggunakan nikmat itu dengan cara dan pada jalan yang tidak diridhai-Nya, disebabkan keberpalingannya dari rasa syukur. Orang semacam ini akan menjalani kehidupan yang sempit, sebagaimana firman-Nya dalam surah Thaha ayat 124 yang terjemahannya, “Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”

Makna pada ayat ini Allah SWT memberi peringatan dan ancaman bagi mereka yang berpaling dari petunjuk-Nya. Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku dan enggan mengikuti petunjuk-Ku, maka sungguh dia akan mendapat balasan dengan menjalani kehidupan yang sempit sehingga selalu merasa kurang meski sudah memperoleh banyak rezeki di dunia, dan Kami akan mengumpulkannya kelak pada hari kiamat dalam keadaan buta sehingga tidak dapat meniti jalan ke surga.

Dalam kehidupan saat ini, penulis kadang menemukan seseorang yang memperoleh nikmat namun ia tidak bersyukur bahwa itu merupakan anugerah-Nya. Hal ini terlihat bahwa orang itu haus jabatan meskipun sudah berderet posisi yang disandangnya, haus harta kekayaan meskipun sudah memiliki rumah besar dan mewah serta kendaraan kelas atas. Ia akan menjalani kehidupan yang sempit dan dalam keadaan buta saat dikumpulkan pada hari kiamat.

Keserakahan atau kerakusan pada dunia (kekuasaan, harta kekayaan, ketenaran, ketersanjungan) saat ini sudah menggejala kepada para elite. Untuk itu, selalu ingatlah pada firman-Nya dalam surah al-An’am:

1. Ayat 43 yang terjemahannya, “Akan tetapi, mengapa mereka tidak tunduk merendahkan diri (kepada Allah) ketika siksaan Kami datang menimpa mereka? Bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menjadikan terasa indah bagi mereka apa yang selalu mereka kerjakan.”

2. Ayat 44,”Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”

Makna kedua ayat tersebut adalah: Ketika telah ditawarkan pintu tobat, mereka tetap mengingkarinya dan hati mereka menjadi keras. Pada saat itu Allah SWT tetap memberikan kesenangan pada mereka (pembiaran) dan mereka tidak menyadarinya kalau kenikmatan itu merupakan istidraj dari-Nya. Mereka akan menerima siksa yang sekonyong-konyong, hingga mereka terdiam dan berputus asa.

Jika kita cermati kondisi sebagian elite negeri yang selama ini menerima nikmat dari-Nya dan mereka tidak bersyukur dan beranggapan nikmat itu dari usahanya sendiri, maka itu pertanda istidraj. Wahai para pemimpin, segeralah bertobat kepada-Nya. Semoga Allah SWT memberikan bimbingan agar kita semua (para pemimpin) agar dihindarkan dari nikmat istidraj.

Aunur Rofiq
Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

10 Kultum Menarik Mulai dari Tema Kejujuran



Jakarta

Kultum singkat adalah kependekan dari “kuliah tujuh menit,” sebuah bentuk ceramah atau pesan keagamaan yang disampaikan secara ringkas, biasanya disampaikan dalam waktu sekitar tujuh menit.

Kultum singkat hadir sebagai sarana bagi pendengar untuk mendapatkan inspirasi dan nilai-nilai moral tanpa memakan banyak waktu, cocok untuk disampaikan dalam berbagai situasi, seperti di masjid, sekolah, atau acara keagamaan.

Kultum singkat menjadi pilihan tepat bagi remaja dan masyarakat yang mencari inspirasi serta pesan kehidupan secara padat dan menarik. Tidak hanya membahas tentang agama, kultum juga merangkum berbagai topik kehidupan, mulai dari motivasi, etika, hingga panduan untuk menjalani hidup lebih bermakna.


10 Contoh Kultum Singkat

Dengan format yang ringkas, kultum memungkinkan kita untuk mendalami pesan-pesan berharga secara efisien. Berikut ini 10 contoh materi kultum singkat yang bisa Anda gunakan untuk berbagai tema dan acara yang dikutip dari buku Kumpulan Kultum Terlengkap Sepanjang Tahun karya Hasan el-Qudsy.

1. Sukses Berbisnis Niat

الْحَمْدُ لِلَّهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ وَمَنْ وَالَاهُ أَمَّا بَعْدُ

Jamaah yang dimuliakan Allah,

Sukses berbisnis niat? Apakah niat bisa dibisniskan? Lalu dengan siapa niat dibisniskan? Niat, sebagaimana telah kita ketahui, adalah penentu kualitas suatu amal. Di samping itu, pada hakikatnya niat juga merupakan aktivitas jiwa. Karenanya niat bisa menjadi “komoditi” yang dibisniskan. Tentunya bisnis ini hanya bisa berlaku dan legal apabila dilakukan dengan Allah semata.

Lalu bagaimana membisniskannya? Perlu diketahui bahwa barang siapa berniat, serius untuk mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah, ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seseorang itu berniat hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi dilakukan, maka dalam hal ini, orang itu pun tetap menerima pahala. Ini berdasarkan hadits yang berbunyi: “Niat seseorang itu lebih baik daripada amalannya.” (HR. ath-Thabarâni, no. 5942, 6/185). Maksudnya, meniatkan sesuatu yang tidak jadi dilakukan sebab adanya halangan yang tidak dapat dihindarkan itu adalah lebih baik daripada suatu amalan yang benar-benar dilaksanakan, tetapi tanpa disertai niat yang benar.

Di samping itu, dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti tidur, makan-minum, jalan-jalan, atau bertamasya, maka jika perbuatan tersebut disertai niat agar kuat untuk beribadah atau bisa melihat keagungan kekuasaan Allah dan menyenangkan keluarga, tentulah amalan tersebut mendapat pahala. Sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, atau bersenang-senang, maka tidak akan mendapatkan pahala apa-apa. Ini sesuai dengan hadits Nabi, “Sesungguhnya tiada suatu nafkah yang engkau berikan dengan niat untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau pasti akan diberi pahalanya, sekalipun sesuatu yang engkau berikan untuk makanan isterimu.” (HR. al-Bukhari, no. 3643, Muslim, no. 3076).

Bahkan satu pekerjaan yang mubah dapat dilipat-lipatkan niatnya, sehingga pahala yang diperoleh akan sesuai dengan lipatan niat yang telah ia niatkan. Misalkan ketika kita mau pergi ke masjid, bisa diniatkan untuk iktikaf, berzikir, ketemu sesama saudara muslim, mendengar ceramah agama, menaruh infak di masjid dan lain sebagainya. Begitu pula ketika kita mau makan, bisa kita niatkan agar mampu shalat, mampu bekerja, mampu menolong orang lain, mampu memberi ceramah, atau beribadah secara umum. Maka, sesuai jumlah amal yang kita niatkan, sejumlah itu pula pahala yang akan kita dapatkan. Jadi, pandai-pandailah kita meniatkan suatu amalan, walaupun tidak semua yang telah kita niatkan bisa terlaksana semuanya karena beberapa hal, maka ia tetap mendapatkan pahala. Begitulah rahasia berbisnis niat.

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: Dari Rasulullah tentang apa yang diriwayatkan dari Allah, bahwa Allah berkalam, “Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan dan kejelekan.” Kemudian beliau (Rasulullah) menerangkan, “Barang siapa yang berniat melakukan kebaikan, tetapi tidak jadi mengerjakannya, maka Allah mencatat niat itu sebagai satu kebaikan penuh di sisi-Nya. Jika ia meniatkan perbuatan baik dan mengerjakannya, maka Allah mencatat di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat, hingga kelipatan yang sangat banyak. Kalau ia berniat melakukan perbuatan jelek, tetapi tidak jadi melakukannya, maka Allah mencatat hal itu sebagai satu kebaikan yang sempurna di sisiNya. Jika ia meniatkan perbuatan jelek itu, lalu melaksanakannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu kejelekan.” (HR.Muslim).

Jamaah yang berbahagia,

Kegagalan atau keberhasilan kita dalam berbisnis niat ini tentunya kembali kepada kepiawaian kita. Kepiawaian kita ini tergantung pada kedalaman ilmu kita. Semakin dalam ilmu agama seseorang, maka dia semakin tahu bagaimana menginvestasikan dan membisniskan niat. Di sinilah letak kecerdasan spiritual sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas niat seseorang. Tidak jarang orang yang gagal dalam bisnis ini, tetapi juga tidak sedikit mereka yang berhasil. Keberhasilan tersebut, selain adanya unsur kepiawaian, juga lebih banyak dipengaruhi keikhlasan dan kebersihan jiwa. Sehingga keberhasilan bisnis yang sudah dicapai selama hidup, tidak sia-sia dengan riya’, ujub, sum`ah, atau virus lainnya yang bisa merusak kesuksesan amal dan niat. Wallâhul Musta’ân.

2. Bagaimana Mencintai Rasulullah SAW

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَعَلَ طَاعَةَ رَسُوْلِهِ طَاعَةَ اللَّهِ وَمَعْصِيَتَهُ مَعْصِيَةً اللَّهِ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلَّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ وَ مَنْ وَلَاهُ أَمَّا بَعْدُ:

Di setiap bulan Rabiul awal, sudah menjadi tradisi mayoritas umat Islam Indonesia melaksanakan peringatan Maulid Nabi. Berbagai kegiatan dan acara dilakukan untuk perhelatan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah peringatan tersebut benarbenar mencerminkan kecintaan kaum muslimin kepada Nabi mereka? Ataukah itu hanya cinta sesaat yang sering kali pudar dan sirna bersamaan dengan selesainya peringatan tersebut? Lalu apakah hanya setahun sekali kita mengungkapkan rasa cinta kepada Rasullullah ? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang seharusnya kita renungkan pada setiap pelaksanaan peringatan Maulid Nabi.

Jamaah yang berbahagia,

Tidak dipungkiri bahwa kita semua merasa mencintai Rasulullah. Dari cinta itu kita semua berharap mendapat syafaat beliau kelak di akhirat. Namun sekedar pengakuan tentu tidaklah cukup. Setiap cinta membutuhkan bukti, dan bukti cinta kita kepada Rasulullah adalah menjadikan Rasulullah sebagai rujukan dan suri teladan dalam kehidupan kita seharihari. Mendahulukan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya daripada yang lainnya merupakan landasan keimanan kita. Dalam surat Ali Imran, ayat 31-32 disebutkan,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُوْرٌ رَّحِيمُ (31) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُوْلَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosadosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak beriman seseorang di antara kalian, hingga aku lebih dicintai olehnya daripada bapak-bapaknya, anak-anaknya, dan manusia seluruhnya.”

Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh,

Klaim atau pengakuan cinta kepada Rasulullah perlu realisasi nyata dalam perilaku kita sehari-hari. Mustahil kita akan mendapatkan buah cinta kepada Rasulullah berupa syafaat kelak di akhirat, kalau perbuatan kita sehari-harinya jauh dari apa yang diinginkan oleh Rasulullah. Hal ini nantinya akan terbongkar kelak di akhirat, di mana ketika semua umat Muhammad diberi kesempatan untuk meminum telaga Kautsar milik beliau apabila seseorang telah meminumnya, niscaya tidak akan merasa dahaga selama-lamanya namun ternyata ada sekelompok umatnya yang tertolak dikarenakan mereka melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah Rasulullah ajarkan. (HR. Muslim).

Dengan demikian, yang dimaksud oleh sabda Rasulullah “Anta ma’a man ahbabta” (Kamu akan dikumpulkan bersama orang yang kamu cintai) (HR. al-Bukhari), adalah kebersamaan yang diiringi pelaksanaan amal yang mampu menjadikan kita bersama dengan orang yang kita cintai. Ketika kita mencintai Rasulullah, maka kita harus beramal sesuai apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah, sehingga kelak di akhirat kita dapat bersama beliau.

Oleh karena itu, saya mengajak diri saya dan kaum muslimin untuk mencintai Rasullah secara benar, dengan cara mengikuti apa yang telah diajarkannya dan menjadikan sunnahsunnahnya sebagai pegangan dan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Jauh dari bidah dan kultus individu yang dilarang oleh Rasulullah. Karena perbuatan bidah ini lebih disukai iblis daripada perbuatan maksiat lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh Sufyân ats-Tsauri,

الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ الْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لَا يُتَابُ مِنْهَا. (شرح أصول الاعتقاد للالكاني

“Perbuatan bidah itu lebih disukai iblis daripada perbuatan maksiat. Karena kemaksiatan terkadang ditobati, sementara bidah tidak ditobati.” (Syarh Ushûl al-l’tiqâd, karya al-Lâlikâ’i, 1/132).

Kenapa demikian? Karena pelakunya merasa tidak bersalah, maka otomatis ia merasa tidak perlu untuk bertobat darinya. Bahkan justru sebaliknya, ia akan tetap melaksanakan amalan tersebut terus menerus, dan menyebarkannya, bertolak dari keyakinannya akan kebenaran amalan tersebut. Wal ‘iyâdzubillah.

3. Antara Iman dan Amal

الْحَمْدُ لِلَّهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ وَمَنْ وَالَاهُ أَمَّا بَعْدُ

Kaum muslimin rahimakumullâh,

Iman berasal dari bahasa Arab, âmana, yang berarti mempercayai atau membenarkan (tashdiq). Dalam pengertian syarak, iman diartikan sebagai pembenaran dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dipraktikkan dengan anggota badan terhadap ajaran Islam. Dengan demikian, keimanan seseorang bisa dikatakan benar apabila mencakup 3 unsur. Pertama, adalalah keyakinan yang teguh dan kuat di dalam hati. Artinya bahwa hati betul-betul menerima, mengakui, dan meyakini segala hal yang harus diimani sesuai perintah agama. Keyakinan ini harus utuh dan tanpa ada sedikit pun pencampuran dan keraguan dalam imannya. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah, ayat 42, “Janganlah engkau mencampuraduk kebenaran dengan kebatilan, dan janganlah engkau menyembunyikan kebenaran, padahal engkau mengetahuinya.” Kedua, keyakinan dalam hati ini diikrarkan dengan pengakuan dan ucapan lisan atau isyarat. Pengikraran ini disimbolkan dengan pengucapan dua kalimat syahadat. Ketiga, adalah realisasi dan pembuktian keimanan, atau dalam bahasa Al-Qur’an adalah “wa amilush shalihât”, amal yang saleh dan perilaku yang baik. Atau dengan kata lain, mengamalkan al-Islam secara kaffah.

Seorang dikatakan benar-benar beriman, ketika lahiriahnya sesuai dengan batiniahnya, benar dalam keimanan, dan ikhlas dalam melakukan amalan. Merekalah yang dikatakan sebagai golongan ‘ash-Shadiqûn’ (orang-orang yang benar dalam keimanannya), sebagaimana Allah firmankan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (al-Hujurât: 15). Oleh karena itu, syarat diterimanya amalan adalah keberadaan iman. Para ulama mengatakan bahwa antara iman dan Islam tidak mungkin bisa dipisahkan. Pembedaan antara keduanya tidak lain hanyalah pembagian dalam pembahasan. Adapun orang yang mengklaim beriman dengan lisannya, tetapi iman itu tidak meresap ke dalam hatinya, maka dia merupakan orang munafik. Ciri-ciri munafik itu ialah antara kata mulutnya selalu beda dengan kata hatinya, dan orang-orang munafik adalah para penghuni dasar api neraka (an-Nisa’: 145).

Jamaah yang berbahagia,

Sebagaimana telah kita kita ketahui, Islam adalah adDin yang berintikan iman dan amal. Jika iman itu diibaratkan “pokok”nya, maka dari pokok itulah keluar cabang-cabangnya. Cabang-cabang tersebut, dalam kaca mata Islam, meliputi semua bidang kehidupan. Maka seorang mukmin harus sadar dengan segala konsekuensi keimanannya. Karena ketika iman lemah, maka yang menjadi pendorong adalah hawa nafsu yang akan menggiring dirinya kepada maksiat, meski tidak sampai membuatnya senantiasa berbuat maksiat dan melanggar seluruh konsekuensi iman tersebut. Tentunya, semakin kuat dan sempurna iman seseorang, semakin besar pengaruhnya untuk melakukan amal perbuatan yang sesuai dengan keimanannya.

Oleh karena itu, ketika seseorang mengucapkan kedua kalimat syahadat, ia harus sadar dan tahu apa yang terdapat di balik kedua kalimat syahadat itu. Di dalamnya terkandung semua perintah dan larangan. Bahkan semua tuntutan agama terkandung di dalamnya. Inilah sebabnya kaum kafir Quraisy enggan menerima dan mengucapkan kedua kalimat syahadat. Mereka sadar atas semua konsekuensi dari kedua kalimat tersebut.

Orang yang sudah mengucapkan kedua kalimat syahadat, secara syar’i dia dihukumi muslim. Harta, darah, dan kehormatannya dijaga oleh Islam. Oleh karena itu, kedua kalimat syahadat adalah dasar teori dan praktek dari semua yang tercakup dalam Islam. Sehingga ketika seseorang tidak mau mengikrarkan kedua kalimat syahadat, maka baginya tidak ada kewajiban untuk melaksanakan Islam. Namun apabila seseorang telah mengikrarkannya, maka dia mempunyai sebuah kewajiban untuk mengimplementasikan Islam secara menyeluruh dalam kehidupannya (al-Baqarah: 208).

Kedua kalimat syahadat ini seharusnya menjadi roh kehidupan dunia, sebagaimana dikatakan Sayyid Quthb, bahwa kalimat tauhid adalah pedoman kehidupan. Keimanan terhadap kalimat tauhid akan menciptakan keselarasan antara manusia dan sunnatullah di alam ini. Oleh karena itu, apabia dunia ini dipenuhi kekufuran terhadap kalimat tauhid, maka yang terjadi adalah kehancuran dan kerusakan, karena sudah tidak ada lagi keserasian dengan alam yang semua takluk dan tunduk kepada pengakuan kalimat tauhid. Wal ‘iyâdzu billâh.

4. Kedudukan Akhlak dalam Islam

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَدَبَ رَسُولَهُ فَأَحْسَنَ تَأْدِيبَهُ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مَنْ أُرْسِلَ لِتَأْدِيبِ أُمَّتِهِ لِتُصْبَحَ خَيْرَ الْأُمَّةِ. صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ أَمَّا بَعْدُ.

Ma’âsyiral muslimin rahimakumullâh,

Akhlak atau budi pekerti dalam Islam menempati posisi yang sangat tinggi. Hal ini terlihat dari pujian Allah kepada Rasulullah karena ketinggian akhlaknya. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Qalam, ayat 4: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Bahkan beliau sendiri menegaskan bahwa kedatangannya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang ada pada diri manusia, “Aku hanyalah diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Ahmad dan disahihkan al-Albâni). Di samping itu, akhlak menjadi tolok ukur kesempurnaan iman seorang hamba, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di antara mereka, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istri-istrinya.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan disahihkan oleh al-Albâni). Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang terbaik akhlaknya.”

Bahkan kelak di hari kiamat, akhlak ternyata menjadi sesuatu yang sangat berharga. Karena ternyata amal perbuatan yang paling berat di hari Kiamat adalah akhlak yang baik. Rasulullah bersabda, “Sesuatu yang paling berat dalam mizan (timbangan amal) adalah akhlak yang baik.” (HR. Abu Daud dan Ahmad, disahihkan al-Albâni). Tidak hanya itu, orang yang berakhlak mulia, kelak di surga akan berdampingan dengan baginda Rasulullah. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling saya kasihi dan yang paling dekat padaku majelisnya di hari Kiamat ialah yang terbaik budi pekertinya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

Dengan memerhatikan dalil di atas, sudah sepantasnya setiap muslim mengambil akhlak yang baik sebagai perhiasannya. Karena akhlak ataupun budi pekerti memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Akhlak yang baik akan membedakan antara manusia dengan hewan. Manusia yang berakhlak mulia, dapat menjaga kemuliaan dan kesucian jiwanya, dapat mengalahkan tekanan hawa nafsu syahwat setan, dan berpegang teguh kepada sendi-sendi keutamaan. Akhlak yang baik akan mengangkat manusia ke derajat yang tinggi dan mulia. Sedang akhlak yang buruk akan membinasakan seorang insan dan juga akan membinasakan umat manusia. Sebagaimana Allah isyaratkan dalam kalam-Nya, “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 7-10).

Oleh karena itu, akhlak merupakan salah satu pilar agama yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan tidak ada iman dan Islam kecuali dengan akhlak, karena akhlak mulia merupakan cerminan dari kualitas keimanan dan kebenaran Islam seseorang. Semakin baik iman dan Islam seseorang, maka semakin baik pula akhlaknya.

Jamaah yang berbahagia,

Di antara pokok akhlak dalam Islam adalah sifat malu. Sebagaimana Rasulullah sabdakan, “Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.” (HR. Ibnu Majah). Dalam riwayat Muslim dijelaskan, “Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata.” Malu yang dimaksud dalam hal ini adalah malu mengerjakan sesuatu yang yang tidak pantas menurut pandangan norma umum masyarakat dan tidak bertentangan dengan syariat. Adapun malu mengerjakan kebaikan, maka hal tersebut amat tercela dan tidak dibenarkan oleh agama. Dengan memiliki sifat malu, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya, Riyadhush Shâlihîn, seseorang akan mampu menahan dirinya dari perkaraperkara yang jelek dan menghalangi dirinya dari perbuatan maksiat, serta mencegahnya dari melalaikan kewajiban.

Orang yang masih memiliki rasa malu, tidak mungkin korupsi, mengambil hak orang lain, telanjang di depan umum, atau melakukan tindakan yang tidak pantas. Karena semua perbutannya akan selalu terlihat oleh Allah. Namun apabila rasa malu sudah hilang, maka yang ada adalah perilaku hewan. Tidak ada bedanya antara manusia dengan hewan. Semua menjadi halal. Sungguh benar apa yang sabdakan Rasulullah, Jika kamu tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari). Semoga kita semua mampu meningkatkan kualitas akhlak kita dan mampu memperkokoh perasaan malu kepada Allah Amin.

5. Ibadah Anti Korupsi

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَبِهِ نَسْتَعِينُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِينَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ أَمَّا بَعْدُ

Kaum muslimin rahimakumullâh,

Akhir-akhir ini, kejahatan korupsi mendapat sorotan tajam dan perhatian khusus dari seluruh elemen masyarakat. Tidak ketinggalan para tokoh agama turut prihatin dan menjadi sorotan balik oleh sebagian pihak. Bukan karena korupsinya para tokoh agama, melainkan peran ajaran agama yang mereka ajarkan.

Perlu kita renungi kembali sebagai bangsa yang mayoritas penduduk muslimnya terbesar di dunia. Renungan yang mampu mengembalikan jati diri kita sebagai manusia yang berketuhanan. Tuhan mengajari kita berbagai ritual ibadah. Tentu Tuhan tidak bermaksud dengan ritual tersebut “hanya” untuk memuaskan rongga batin yang sangat sulit diukur dan dibuat data statistik. Layaknya laporan keuangan yang mudah dimanipulasi dalam simbol angka yang penuh teka-teki. Ritual ibadah yang dimaksudkan Tuhan tidak hanya untuk diri-Nya saja, tetapi ritual yang mampu membawa kepada perubahan diri dan sosial. Karena Tuhan tidak membutuhkan apa pun dari diri kita. Allah Mahakaya, dan seluruh makhluk di alam semesta semuanya fakir, butuh kepadanya (Fâthir: 15). Artinya kita jangan sampai mempunyai pemahaman yang salah ketika melaksanakan ibadah, bahwa itu berarti Allah butuh kepada kita. Tentu, tidak. Ibadah itu dimaksudkan untuk kita sendiri. Baik untuk kehidupan dunia dan akhirat. Untuk akhirat, jelas kita semua mengharapkan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan dunia ini, yaitu surga yang penuh dengan kebaikan. Adapun untuk kehidupan di dunia, maka hal inilah yang perlu kita sikapi kembali.

Jamaah yang dimuliakan Allah,

Di antara sekian ritual ibadah yang diwajibkan bagi seluruh umat Islam yang telah balig tanpa terkecuali dan dalam kondisi apa pun, adalah ibadah shalat lima waktu. Ibadah yang dikatakan sebagai tiang agama (HR. Turmudzi, no. 2825). Siapa yang mendirikan shalat, berarti ia menegakkan tiang agama, dan barang siapa menyia-nyiakan shalat, berarti ia merobohkan agama. Shalat juga dikatakan sebagai pembeda antara muslim sejati dan muslim KTP. Artinya, dalam KTP boleh saja sama tertulis beragama Islam, tetapi yang membedakan di antara mereka adalah kualitas shalatnya.

Kenapa shalat begitu penting dalam kehidupan beragama bagi umat Islam? Hal itu karena Islam ingin menanamkan kepada umatnya tentang nilai “muraqabatullah” (baca: pengawasan Allah) kepada hamba-Nya. Selalu ingatatas pengawasan Tuhannya yang tidak pernah tidur (Thâhâ: 14). Minimal nilai itu muncul dalam lima waktu. Antara rentang-rentang lima waktu itulah manusia diharapkan mampu melakukan swamuraqabah (baca: pengawasan sendiri) yang bersumber dari”muraqabatullah” ketika ia melakukan shalat. Karena manusia itu lemah (an-Nisa’: 28) dan mudah tergoda serta tertipu dengan berbagai fatamorgana dunia (Ali Imran: 14), maka diperlukan akses “muraqabatullah” sesering mungkin, minimal lima kali dalam sehari. Individu yang mampu mengakses “muraqabatullah” dengan baik dan sempurna dalam shalatnya, kemudian mampu mentranformasikannya ke dalam swamuraqabah dan sosialmuraqabah (baca: pengawasan sosial) dalam pekerjaannya, maka sudah bisa dipastikan ibadah itu akan menjelma menjadi ibadah anti korupsi. Bagaimana tidak, ketika seseorang punya niat untuk melakukan korupsi, ia akan selalu merasa diawasi, baik oleh dirinya, masyarakatnya, dan Tuhannya.

Dengan demikian, ibadah tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan spiritualitas pribadi, tetapi juga bagaimana mampu menjelma dalam hubungan pola interaksi sosial. Maka, shalat bukan sekedar kepuasan ritual batin, atau bahkan hanya ritual politik panggung, guna menepis anggapan Islam KTP atau abangan. Yang terakhir ini kelihatannya mudah kita temui pada saat pemilu digelar, di mana para tokoh politik ber”hijau” ria untuk mencitrakan dirinya sebagai calon-calon pembela umat yang pantas untuk dipilih. Namun ketika sudah terpilih, mereka tidak sungkan-sungkan untuk menggelar sederetan sandiwara pembohongan dan penggarongan harta rakyat. Berangkat dari pencitraan diri yang dibuat-buat, bukan ikhlas karena Tuhan-Nya, maka tidak mengherankan jika banyak kita temukan fenomena pejabat kelihatan rajin shalat bahkan haji tiap tahun, tetapi rajin juga korupsi dan memanipulasi angka anggaran negara. Sesungguhnya orang yang demikan itu pada hakikatnya adalah fi shalâtihim sâhûn (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (al-Mâ’ûn: 5). Lalai kalau Allah selalu melihatnya dan mencatat seluruh amal perbuatannya.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita berlatih menjadikan ibadah kita sebagai sarana untuk mendidik kepribadian diri, keluarga, dan sosial masyarakat. Sehingga ibadah tidak berhenti hanya sebatas ritual tanpa makna.

Contoh Kultum Singkat 6-10 >>>

6. Kejujuran dalam Berbisnis

الْحَمْدُ لِلَّهِ وَكَفَى وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ الْمُصْطَفَى وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الصِّدْقِ وَالْوَفَاءِ أَمَّا بَعْدُ:

Jamaah yang berbahagia,

Allah berkalam,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (atTaubah: 119).

Dalam ayat tadi, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk bertakwa dan bersama orang-orang yang sidik. Makna sidik dalam bahasa kita dimaknai jujur, dapat dipercaya, dan ia merupakan lawan kata dari kata kidzb yang berarti kebohongan. Perkataan bisa dikatakan benar atau jujur apabila sesuai kenyataan yang terjadi. Bisa dikatakan bohong apabila perkataan tersebut tidak sesuai dengan realita yang terjadi. Begitu pula dengan keyakinan dan perilaku seseorang. Untuk itu, antara kejujuran dan kebohongan tidak mungkin bersatu dalam satu obyek. Karena apabila terjadi, akan menjelma menjadi sebuah kemunafikan. Yaitu perilaku yang lahirnya terlihat jujur, namun batinnya dipenuhi dengan kebohongan. Dalam hadits Rasulullah dijelaskan bahwa, “Tanda orang munafik itu tiga walaupun ia puasa dan salat serta mengaku dirinya muslim. Yaitu jika ia berbicara, ia berdusta, jika berjanji, ia menyalahi, dan jika dipercaya, ia khianat.” (HR. Muslim).

Sayyid ath-Thantawi (2061), ketika mengomentari ayat di atas (at-Taubah: 119) menjelaskan bahwa kebenaran atau kejujuran itu meliputi segala aspek kehidupan, baik dalam niat, ucapan, dan perilaku. Niat atau motivasi yang ada dalam diri seseorang dikatakan benar apabila sesuai dengan tuntunan syariat. Begitu pula halnya dengan ucapan dan perilaku. Karena pada dasarnya seorang mukmin sejati meyakini bahwa, “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (al-Isra’: 36).

Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh,

Seorang pebisnis muslim yang taat, tentu akan selalu berusaha jujur dalam segala kehidupannya. Dimulai dari niat ketika berbisnis, modal yang digunakan, transaksi yang dipakai, bahkan sampai cara pemasaran dan pengelolaan laba. Dengan kata lain, dari hulu sampai hilir, ia akan selalu berusaha jujur, agar yang dilakukan dalam bisnisnya sesuai dengan ketentuan syariat. Jika seorang pebisnis telah mampu meletakkan kerangka kejujuran dalam semua lini usahanya secara profesional dan istiqamah, maka label syariah baru pantas disematkan kepadanya.

Selain diperintahkan berbuat jujur, dalam ayat di atas juga terkandung perintah kepada seorang mukmin untuk membentuk komunitas kejujuran. Sebagaimana Allah perintahkan: “wa kûnû maash-shâdiqîn” yang artinya: “dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (at-Taubah: 119). Ayat ini mengisyaratkan bahwa kejujuran perlu dibangun bersama dan membutuhkan komunitas untuk menyuarakan dan membentuk opini. Dengan kata lain, seorang mukmin tidak cukup dirinya telah berbuat jujur, tetapi ia bersama orang lain, ia harus menjalankan kejujuran. Sehingga kejujuran menjadi gerakan masa dan mampu membentuk komunitas kejujuran. Karena kejujuran individual akan sangat mudah terobang-ambing, bahkan bisa jatuh, jika komunitas lingkungannya tidak mendukungnya. Seperti yang terjadi pada saat sekarang ini. Banyak orang yang dulunya dikenal jujur dan menyuarakan kejujuran, tiba-tiba tenggelam lenyak, bahkan terbawa arus kebohongan, tidak lain karena ia jauh dari komunitas kejujuran. Oleh karena itu, Allah memerintahkan orang yang jujur untuk bergabung dangan orang yang jujur, agar dapat saling menguatkan dan saling mengingatkan dalam kejujuran.

Dalam membentuk komunitas kejujuran, strategi yang dilakukan oleh Rasulullah adalah memulai dari diri sendiri, kemudian mengajak keluarga atau teman terdekat dan masyarakatnya. Jika komunitas kejujuran sudah terbentuk dalam masyarakat, maka setiap individu akan merasa mudah dalam menjalankan bisnisnya. Roda perekonomian akan bergerak dengan cepat. Karena seseorang tidak lagi curiga ketika menyerahkan pengelolaan modal kepada pihak lain yang kekurangan modal. Pihak yang menyerahkan akan selalu merasa aman karena pihak yang diserahi selalu bertindak jujur. Inilah, menurut penulis, salah satu isyarat yang terdapat dalam surat al-Lail, ayat 6-7, bahwa Allah akan memberikan kemudahan bagi orang yang memiliki karakter jujur.

Ketika seorang pelaku bisnis dapat berbuat jujur, sesungguhnya ia telah menanamkan modal saham terbesarnya dalam berbisnis. Berbagai kemudahan akan ia dapatkan dalam kehidupannya. Di samping itu, kejujuran akan membawa keberkahan hidup dan harta. Karena tanpa keberkahan, harta tidak akan banyak membawa manfaat bagi si empunya.

7. Kenapa Harus yang Halal?

الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالشُّكْرُ لِلَّهِ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، وَالصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ.

أَمَّا بَعْدُ:

Jamaah yang berbahagia,

Mencari dan mengonsumsi rezeki yang halal adalah kewajiban setiap muslim. Karena ia menjadi salah satu syarat mutlak diterimanya semua amal ibadah. Sungguh, Allah tidak akan menerima kecuali sesuatu yang baik. Rasulullah bersabda, “Wahai para manusia, sesungguhnya Allah Mahasuci dan tidak akan menerima kecuali yang suci.” (HR. Muslim). Dalam kitab Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam karya Ibnu Rajab, disebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas berkata, “Allah tidak akan menerima shalat seseorang yang di dalam perutnya ada sesuatu yang haram.” Disebutkan juga, bahwa salah satu ulama salaf yang bernama Wahb bin al-Ward berkata, “Sekalipun kamu berdiri bagaikan tiang, itu tidak ada gunanya bagimu sampai kamu memerhatikan apa saja yang kamu masukkan ke dalam perutmu, halalkah atau haramkah?”

Selain menjadi salah satu syarat diterimanya ibadah, mengonsumsi rezeki yang halal juga menjadi penyebab terkabulnya doa. Sebaliknya, berlarut-larut dalam perbuatan haram akan menghalangi seseorang dari terkabulnya doa. Walaupun dia dalam kondisi orang yang termasuk mudah terkabul doanya, misalnya seorang musafir. Rasulullah menyebutkan dalam sebuah hadits, tentang seorang lelaki yang berpergian jauh, hingga penampilannya menjadi kusut, lalu ia menengadahkan kedua tangannya ke langit sambil berdoa, “Ya Rabb, Ya Rabb,” sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dahulu ia diberi makan dari makanan yang haram, maka mana mungkin permohonannya dikabulkan? (HR. Muslim).

Jamaah yang berbahagia,

Mengonsumsi yang halal tentu membahwa manfaat yang besar baik di dunia maupun akhirat. Di akhirat, jelas akan terselamatkan dari api neraka. Karena tidak ada daging yang tumbuh dari harta haram kecuali daging tersebut lebih berhak masuk ke dalam neraka, sebagaimana Rasulullah sabdakan, “Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka lebih layak baginya.” (HR. ath-Thabarâni).

Adapun manfaat di dunia, sebagaimana diterangkan oleh para ulama, di antaranya adalah, Pertama, harta halal akan melahirkan amal saleh dan amal yang bermanfaat bagi diri maupun sesama. Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat:

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَ تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mu’minûn: 51). Beliau menjelaskan, “Pada ayat ini, Allah memerintahkan para rasul ‘alaihimussalâm agar makan makanan yang halal, dan beramal saleh. Disandingkannya dua perintah ini mengisyaratkan bahwa makanan halal adalah pembangkit amal saleh. Dan sungguh, mereka benar-benar telah menaati kedua perintah ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/477).

Berangkat dari pemahaman ini, sekiranya kita perlu introspeksi diri, jika suatu saat badan terasa berat dan malas untuk melakukan sebuah amal kebaikan, bisa saja hal tersebut karena makanan dan minuman yang kita konsumsi adalah dari harta yang haram.

Hadirin wal hadirat yang dimuliakan Allah,

Manfaat lain dari mengonsumsi rezeki yang halal adalah dapat menjadi obat berbagai penyakit. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Jarîr ath-Thabari ketika menafsirkan kalam Allah,

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang baik lagi baik akibatnya.” (an-Nisa: 4). Ibnu Jarîr mengatakan, “Makna kalam Allah: فَكُلُوهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا adalah: “Maka makanlah pemberian itu, niscaya menjadi obat yang menawarkan.” (Tafsir Ibnu Jarîr, 7/560). Adapun dalam tafsir al-Qurthubi dijelaskan bahwa: “Al-hanî ialah yang baik lagi enak dimakan dan tidak memiliki efek negatif, sedangkan al-mari ialah yang tidak menimbulkan efek samping pasca dimakan, mudah dicerna, dan tidak menimbulkan penyakit atau gangguan.” (Tafsir al-Qurthubi, 5/27).

Dengan alasan-alasan yang telah disebutkan, maka tidak ada alasan lagi bagi seorang mukmin untuk tidak mencari rezeki yang halal dan mengonsumsi rezeki yang halal. Karena yang halal itu berkah dan selalu memberikan ketenangan pada jiwa.

8. Ilmu Pengetahuan Dalam Perspektif Islam

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ الْإِنْسَانَ عَلَّمَهُ الْبَيَانَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى صَاحِبِ الْبُرْهَانِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ نَهَجَ مَنْهَجَهُ إِلَى يَوْمِ الْفُرْقَانِ، أَمَّا بَعْدُ:

Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh,

Dalam surat ar-Rahmân, Allah menjelaskan bahwa diriNya adalah pengajar (‘allamahul bayân) bagi umat manusia. Sedang ayat pertama yang diturunkan Allah adalah surat al-‘Alaq, “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menjadikan.” Ayat inilah yang memastikan bahwa Muhammad adalah seorang nabi dan rasul. Ayat ini juga yang diperdengarkan pertama kali kepada telinga beliau. Wahyu pertama ini menegaskan kepada umat manusia tentang kedudukan ilmu dalam agama Islam. Kalau kita perhatikan bersama, dalam surat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk membaca dan belajar. Allah juga mengajarkan kita dengan qalam yang sering kita artikan sebagai ‘pena. Namun sebenarnya kata qalam juga dapat dipahami sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mentransfer ilmu kepada orang lain. Termasuk di dalamnya adalah alat percetakan, komputer, internet, dan lain sebagainya. Di luar itu, surat al-‘Alaq juga mengisyaratkan tentang pentingnya ilmu dan kewajiban untuk mentransferkan ilmu tersebut kepada generasi berikutnya.

Dalam ajaran Islam, baik dalam ayat Al-Qur’an maupun hadits, ilmu pengetahuan memiliki kedudukan paling tinggi melebihi hal-hal lain. Bahkan salah satu sifat Allah adalah Dia memiliki ilmu, yang Maha Mengetahui. Asy-Syauqi, seorang penyair besar Islam mengungkapkan bahwa kekuatan suatu bangsa berada pada ilmu. Saat ini kekuatan tidak bertumpu pada kekuatan fisik dan harta, tetapi kekuatan dalam hal ilmu pengetahuan. Bahkan orang yang tinggi derajatnya di hadapan Allah adalah mereka yang berilmu. Karena dengan ilmu itu seseorang dapat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Dengan ilmu yang benar, seseorang mampu memperoleh keimanan yang benar. Tanpa ilmu yang benar, keimanan seseorang akan mudah untuk dipermainkan. Begitu pula ilmu yang tidak didasari keimanan yang benar, akan mudah membuat orang memperjualbelikan ilmunya dengan nilai-nilai materi yang tidak ada nilainya di sisi Allah. Antara iman dan ilmu adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, apabila kita berharap dari ilmu tersebut lahir sebuah kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.

Kaum muslimîn rahimakumullâh,

Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad ﷺ menganjurkan kita untuk menuntut ilmu sampai ke liang lahat. Tidak ada Nabi lain yang begitu besar perhatiannya kepada kewajiban menuntut ilmu sedetail Nabi Muhammad. Maka tidak heran jika sejarah mencatat masa keemasan peradaban Islam, di mana umat Islam telah mampu memegang peradaban penting dalam ilmu pengetahuan. Semua cabang ilmu pengetahuan waktu itu didominasi para ulama Islam. Menyebar mulai kota Madinah, Baghdad, Kairo, sampai Spanyol, dan Cordova di benua Eropa. Berbagai perguruan tinggi dibangun untuk memperkuat pembelajaran dan penelitian keilmuan. Di masa itu, dunia Eropa masih dipenuhi dengan kegelapan dan tidak ada satu pun perguruan tinggi didirikan.

Tugas kita sekarang adalah mengembalikan kejayaan tersebut. Dengan kembali memupuk semangat belajar, penelitian dan pengembangan keilmuan yang berdasarkan kepada nilai-nilai AlQur’an dan As-Sunnah. Karena tanpa nilai tersebut, ilmu tidak akan mampu menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan untuk umat manusia, seperti yang terjadi sekarang. Secara materi, ilmu pengetahuan begitu pesat perkembangannya, namun ternyata ilmu tersebut tidak mampu ‘memanusiakan’ manusia secara jujur dan adil. Ketimpangan tersebut bermula dari ketimpangan niat yang dimiliki para ilmuwan ketika belajar.

Jamaah yang berbahagia,

Ada sementara orang yang niat mencari ilmu itu adalah: al-‘ilmu lil ‘ilmi, yaitu mencari ilmu karena ilmu semata-mata. Dia sangat senang dan mabuk dengan ilmu. Orang semacam ini cenderung menjadi budak ilmu dan tidak memerhatikan etika dan akhlak. Ada juga yang disebut dengan al-‘ilmu lillah, yaitu orang yang menuntut ilmu karena perintah Allah, dengan tujuan agar dapat mengamalkan ilmu sebagai bentuk pengabdian dan pendekatan diri kepada Allah. Ilmuwan semacam ini akan menggunakan ilmunya untuk membangun kehidupan manusia seutuhnya. Semuanya dengan tujuan agar dapat melindungi iman, memperkuat syariat, dan mengumandangkan kalimatullah. Mereka adalah ilmuwan yang bertakwa. Mereka akan mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah, sebagaimana Allah janjikan dalam Al-Qur’an yang artinya, “..niscaya Allah akan meninggikan orangorang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Mujadilah: 11)

9. Pendidikan Generasi Muslim

الْحَمْدُ لِلَّهِ وَكَفَى، وَ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى النَّبِيِّ الْمُصْطَفَي، وَ عَلَى آلِهِ وَصَحَابَتِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْمُصَفَّى أَمَّا بَعْدُ:

Jamaah yang dimuliakan Allah,

Setiap manusia yang diciptakan oleh Allah telah diberi misi dan tanggung jawab masing-masing untuk meneruskan kehidupan di atas muka bumi ini, di mana setiap tugas dan tanggung jawab tersebut merupakan amanah yang harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Termasuk di dalamnya adalah memastikan terciptanya generasi muslim yang beriman, bertakwa, dan berkualitas. Tentunya menjalankan amanah bukanlah sesuatu yang mudah. Rasulullah bersabda, “Seberatberat agama ialah memelihara amanah. Sesungguhnya tidak ada agama bagi orang yang tidak memelihara amanah, bahkan tidak ada salat dan zakat baginya (tidak diterima).” (HR. al-Bazzar).

Jika kita perhatikan kehidupan anak-anak sekarang, banyak aspek akhlak dan moral anak-anak yang memprihatinkan. Seperti masalah aurat yang serba terbuka, kelahiran anak di luar nikah, pergaulan bebas, narkoba, serta budaya pornografi dan pornoaksi. Semua ini menunjukkan lemahnya pendidikan agama dan kendornya ikatan akidah dan akhlak pada diri anak, di samping sulitnya anak mendapatkan suri teladan yang benar dari lingkungannya.

Salah satu konsep hidup yang ditegaskan oleh Rasulullah adalah keteladanan dan pendidikan terhadap anak-anak. Pendidikan anak bermula dari individu-individu yang menjadi ibu dan bapak itu sendiri. Seorang bapak maupun ibu harus mengerti tujuan kita dihidupkan Allah di dunia ini, apa tugas dan kewajiban mereka, dan bagaimana pertanggungjawabannya kelak di sisi Allah? Tanpa memahami perkara-perkara ini, mustahil lahir sebuah generasi yang bertakwa dan mampu memiliki kecemerlangan di dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Ma’asyiral muslimîn rahimakumullâh,

Anak merupakan amanah dari Allah yang hendaknya dipelihara dan dibimbing sesuai dengan pesanan dan panduan syariat Allah dan Rasul-Nya. Jika ini tidak dilaksanakan dengan betul, maka ia bisa menjadi penyebab orang tuanya terseret ke lembah neraka di akhirat dan mendapat malu di dunia. Amaran ini dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya dalam surah atTahrim, ayat 6: “Peliharalah diri kamu dan ahli keluarga kamu dari neraka.”

Zaman telah berubah, perkembangan dan kemajuan kehidupan sedikit banyak telah mengubah nilai-nilai murni kehidupan dan keimanan kita. Maka sebagai ibu bapak, kita hendaklah banyak memberi bekal keimanan kepada anak-anak kita agar tidak hanyut dan lenyap ditelan perkembangan zaman. Sejak kecil, anak-anak seharusnya menerima asupan nutrisi pendidikan agama yang cukup. Mulai dari dalam kandungan, setelah lahir, hingga dewasa. Pendidikan agama sejak dini sangat besar pengaruhnya dalam membentuk kepribadian anak. Hal ini diakui sendiri oleh ilmu pengetahuan modern yang mengatakan, bahwa masa yang paling dominan untuk membentuk kepribadian manusia adalah masa kanak-kanak. Rasulullah bersabda yang maksudnya, “Sesungguhnya setiap anak dilahirkan atas fıtrah (kesucian agama yang sesuai dengan naluri) sehingga lancar lidahnya, maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan dia beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. ath-Thabarâni).

Jamaah yang berbahagia,

Berbicara tentang bagaimana cara mendidik anak, kita dapat menengok pendidikan yang dilakukan Luqman kepada anaknya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, yaitu mencakup asas pendidikan tauhid, akhlak (norma dan etika), shalat (ibadah), pendidikan amar makruf nahi mungkar (kepekaan sosial), bersikap tabah dalam menghadapi kehidupan bermasyarakat (interaksi sosial). Pokok-pokok pendidikan dasar ini harus ditanamkan orang tua kepada anak sejak dini. Sudah barang tentu, orang tua harus berusaha menjadi teladan yang bisa ditiru oleh anak. Karena inti utama pendidikan anak adalah keteladanan. Oleh karena itu, saleh atau tidaknya seorang anak menjadi pertanda berhasil atau gagalnya orang tua dalam mendidik anak. Sabda Rasulullah, “Dan bahwasanya anakanak itu termasuk hasil usahamu.” (HR. al-Bukhari).

Adalah menjadi harapan setiap orang tua agar dikaruniai anak-anak yang saleh. Anak saleh adalah investasi tanpa rugi bagi setiap orang tua. Di dunia ia memuliakan, dan di akhirat menyelamatkan dari siksaan Allah. Rasulullah bersabda, “Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).

10. Seks dan Islam

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ

Saudaraku yang dimuliakan Allah,

Membahas masalah seks tidak akan pernah habis. Pembahasan masalah ini akan terus mengalir dan menarik selama manusia masih menghuni planet bumi ini. Hal ini karena kebutuhan manusia terhadap seks merupakan kebutuhan mendasar dan fitrah, seperti kebutuhan makan dan minum. Islam adalah agama yang sempurna (al-Ma’idah: 3). Tidak ada masalah dalam kehidupan manusia kecuali Islam telah mengaturnya. Tidak ada secuil permasalahan, termasuk masalah seksual, kecuali Islam telah membahasnya dan memberikan petunjuk yang benar bagi kehidupan manusia. Rasulullah menjelaskan dalam sebuah hadits, “Tidak bersisa satu hal pun yang dapat mendekatkan seseorang kepada surga dan menjauhkannya dari neraka, yang belum dijelaskan kepada kalian.” (HR. al-Haitsami dalam Majma’uz-Zawa’id).

Berbicara tentang seks, Islam sama sekali tidak pernah ragu-ragu, atau menolaknya, apalagi menutup-nutupinya. Permasalahan seks dalam Islam merupakan satu kesatuan dalam syariat. la tidak bisa dipisahkan dari akidah, ibadah, dan akhlak. Oleh karena itu, banyak ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah yang secara gamblang telah membahas masalahmasalah seksualitas. Sebagai contoh, lihat saja kalam Allah dalam surat al-Baqarah, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. (al-Baqarah: 187). Dalam hadits sahih, Rasulullah bersabda, “Apabila ia duduk di antara empat pangkal (kedua tangan dan kedua kaki) dan khitannya (alat kelamin) menyentuh khitan lainnya maka wajiblah mandi.” (HR. Muslim).

Jamaah yang berbahagia,

Ketika Islam memperbolehkan seseorang melakukan hubungan seksual, Islam tidak melepasnya seperti hewan tanpa kontrol. Karena yang akan terjadi adalah pengumbaran hawa nafsu serta merebaknya dekadensi moral. Di sisi lain, Islam juga tidak mencegah atau menghilangkan naluri seksual yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia. Islam memandang bahwa keberadaan naluri seksual sangat dibutuhkan sebagai sarana untuk mempertahankan keberadaan dan keberlangsungan manusia di muka bumi sebagai khalifah. Dengan adanya naluri birahi inilah, manusia bisa menjaga eksistensinya di muka bumi. Oleh karenanya, Islam mengatur dan mendudukkan permasalahan kebutuhan seksual ini di bawah kebijaksanaan syariat dan kesucian jiwa. Maka disyariatkan pernikahan antara lakilaki dan perempuan dengan tujuan mendapatkan keturunan, di samping untuk memenuhi kebutuhan seksual secara halal. Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya “Pendidikan Anak Menurut Islam” menjelaskan bahwa salah satu tujuan pernikahan adalah untuk melindungi kelangsungan manusia. Dengan pernikahan, umat manusia akan semakin banyak dan berkesinambungan. Oleh karena itu, Islam tidak mengenal sistem kerahiban atau kepasturan. Karena hal ini bertentangan dengan fitrah, naluri, dan kecenderungan manusia normal. Sebagaimana Rasulullah terangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, “Sesungguhnya Allah telah mengganti pola hidup kerahiban (kependetaan) kita dengan ajaran agama yang lurus dan mudah.” Dalam hadits lain, Rasulullah menyabdakan, “Barang siapa mampu menikah, namun ia tidak menikah, maka tidaklah dia termasuk golonganku.” (HR. al-Baihaqi).

Kaum muslimin yang berbahagia,

Pandangan dan realita seksualitas dalam Islam, jauh berbeda dengan apa yang pernah dialami dan berkembang di dunia barat. Pada abad pertengahan masehi, di barat berkembang sebuah pemahaman di mana masalah seksual dianggap kotor, jijik, dan tidak pantas dibicarakan oleh agama. Maka muncul istilah “Rahbaniyyah” di mana seorang pastur atau pendeta tidak diperbolehkan menikah. Wanita dianggap sebagai makhluk yang kotor, jahat, hina, dan penyebab semua kerusakan di dunia. Akibat dari keengganan agama dalam membahas seksualitas, berbagai penyelewengan seksual dan dekadensi moral di barat berkembang pesat.

Pandangan semacam itu jelas berbeda dengan Islam. Islam sejak awal telah membicarakan seks dan meletakannya sesuai petunjuk Allah sebagai Pencipta fitrah manusia. Di samping itu, dalam pandangan Islam, hidup mati manusia adalah untuk pengabdian diri kepada Allah. Sebagaimana Allah firmankan “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzâriyât: 56). Oleh karena itu, sejak awal Islam memandang kegiatan seksual adalah bagian dari pengabdian dan ibadah kepada Allah. Dengan demikian, semua harus tunduk di bawah aturan Allah, sehingga kenikmatan itu membawa keberkahan di dunia dan akhirat.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Nasihat Orang Bijak



Jakarta

Orang bijak ditanya, “Apa yang paling dekat?”

Jawabnya, “Ajal.”
Ditanya lagi, “Apa yang paling jauh?”
Dijawab, “Angan-angan.”
Kematian pasti datang, keyakinan akan datangnya ajal menjadikan seseorang berhati-hati dalam menjalani kehidupan, ia selalu taat atas perintah Tuhan dan selalu berupaya menjauhi yang dilarang.

Aisyah ra. bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, apakah kelak pada hari kiamat kami akan dikumpulkan dengan para syuhada?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya, yaitu orang-orang yang mengingat kematian dalam sehari-semalam sebanyak dua puluh kali.” ( HR. as-Syaukani ).


Menurut Imam Ghazali manfaat mengingat kematian :
* Akan menjauhkan diri dari kenikmatan dunia yang serba menipu
* Akan mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian
* Mengosongkan hati dari hal-hal keduniawian dan mengkonsentrasikan hati dan pikiran hanya untuk kematian
* Mengingat kematian akan membantu seorang muslim untuk meningkatkan kualitas ibadah dan menjauhi larangan Allah SWT

Orang yang selalu mengingat kematian, In-Syaa’Allah akan terhindar dari perbuatan maksiat seperti korupsi memperkaya diri dengan hidup bermewah-mewahan. Dia sadar semua itu adalah tipuan setan karena kenikmatan dunia sifatnya fana.

Adapun angan-angan adalah suatu perbuatan yang sia-sia. Panjang angan, disebut juga thulul amal, adalah banyak mengangankan perkara dunia dan cinta dunia. Disebutkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW. bersabda, ” Hati orang yang sudah tua akan senantiasa seperti anak muda dalam menyikapi dua hal: cinta dunia dan panjang angan-angan.” (HR. Bukhari).

Panjang angan-angan ini betul-betul berdampak buruk karena akan merusak hati, dan Sang Baginda Muhammad SAW. mengingatkan bahwa hati orang yang sudah tua akan seperti anak saat cinta dunia dan panjang angan-angan. Betapa beratnya ujian bagi orang yang sudah tua, semestinya mengumpulkan bekal perjalanan kekalnya masih bersikap ( hatinya ) seperti anak muda karena cintanya pada dunia.

Oleh sebab itu, selalu mengingat mati agar nantinya engkau pada hari kiamat dapat bersama-sama ( kumpul ) dengan para syuhada. Juga janganlah membuang-buang waktu dengan panjang angan karena ini perbuatan sia-sia.

Pada zaman dahulu, ada orang bijak yang biasa berkeliling kota setiap tahun. Ia mengajarkan enam kalimat berikut ini :
1. Barangsiapa tidak memiliki ilmu, ia akan terhina di dunia dan di akhirat.
2. Barangsiapa tidak memiliki sifat sabar, maka ia tak akan selamat dalam beragama.
3. Orang bodoh amalnya sia-sia.
4. Orang yang tidak bertakwa, tiada kemuliaan di mata Allah SWT.
5. Barangsiapa tiada memiliki kedermawanan, maka ia tidak akan mempunyai bagian apa-apa dari hartanya.
6. Barangsiapa tidak takwa, tiada daya di hadapan-Nya.

Perbuatan yang bermanfaat bisa diketahui dari hasil yang diraih dan berguna untuk sesama, maka muncullah kesucian jiwa dan pelaksanaannya bersih dari cela. Tahukah bahwa perbuatan yang bermanfaat dalam memperoleh kenikmatan agung dan abadi hendaknya berdasarkan ilmu. Karena ilmu itu yang pertama dan perbuatan itu yang kedua. Semua perbuatan yang berlandaskan ilmu akan sangat berguna dan berbeda dengan perbuatan dengan sedikit atau tanpa ilmu. Ibadah akan sah setelah mengetahui Dzat yang disembah. Beribadah dengan tidak tahu siapa yang disembah tentu pelaksanaannya tidak akan khusyu.’ Oleh karena itu, orang bodoh maka amalnya akan sia-sia.

Orang yang sabar akan terhindar dari kesalahan yang bersumber dari sikap emosional. Orang sabar akan memperoleh manfaat seperti, gugurnya dosa-dosa yang ada dalam dirinya, keutamaan sabar adalah diberikan kemenangan oleh Allah SWT. Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa, sabar dapat mendatangkan kemenangan yang diimpikan umat Muslim.

Adapun hikmah utama dari sikap sabar adalah lebih mudah untuk melihat sisi baik dari sebuah kejadian. Mereka akan lebih bersyukur dengan apa yang terjadi. Jadi bersyukur tidak hanya saat berhasil tapi juga ketika mengalami kegagalan. Saat kegagalan, itu sebetulnya pilihan-Nya maka yakinlah bahwa pilihan-Nya lebih baik dari pilihanmu ( hamba ).

Sedangkan seorang yang mempunyai sifat kedermawanan, maka Allah SWT. akan selamatkan dari berbagai bencana dan musibah. Rasulullah SAW “Orang yang dermawan itu dekat dengan-Nya. Dekat dengan syurga, dekat dengan manusia dan jauh dari api neraka dan orang yang bakhil jauh dengan-Nya, jauh dengan syurga, jauh dengan manusia dan dekat dengan api neraka”.

Terakhir nasihat di atas adalah ketakwaan, ini pamungkas karena orang yang takwa adalah orang yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Syekh Abdul al-Jailani dalam bukunya FUTUHAL GHAIB mengatakan tiga hal yang wajib diperhatikan seorang mukmin dalam keadaan apa pun, yaitu melaksanakan perintah dan menghindari larangan-Nya, dan ridha atas segala ketetapan-Nya.

Semoga kita semua terhindar dari perbuatan maksiat dan selalu taat menjalankan perintah-Nya.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com