Category Archives: Dakwah

Jangan Mudah Terkecoh oleh Penampilan Orang



Jakarta

Sebagai seorang manusia, sudah sepantasnya kita tidak menilai seseorang hanya dari penampilannya saja. Berkaitan dengan itu, Prof Nasaruddin Umar dalam detikKultum detikcom, Jumat (31/3/2023) mencontohkan sebuah kisah menarik yang didasarkan dari hadits shahih mengenai Abu Hurairah dan seorang pencuri.

Suatu hari, Abu Hurairah selaku penjaga Baitul Mal dipanggil oleh Rasulullah SAW. Beliau mengingatkan Abu Hurairah untuk lebih berhati-hati nanti malam karena sepertinya akan ada pencuri.

Benar saja, seusai tengah malam Abu Hurairah memergoki seorang pemuda yang ingin mencuri harta kekayaan di Baitul Mal. Tertangkap basah, sang pemuda mengaku dirinya bukan pencuri, melainkan terpaksa melakukan hal tersebut karena anaknya menderita sakit keras dan sang istri kelaparan.


Merasa kasihan, dilepaskanlah pencuri tersebut asalkan ia berjanji akan mencari nafkah yang halal. Ketika ditanya oleh Rasulullah keesokan harinya, Abu Hurairah menjelaskan keadaan sang pencuri.

Rasulullah kembali memperingatkan Abu Hurairah untuk berhati-hati di malam berikutnya. Benar saja, pencuri tersebut datang kembali.

Kali ini, pencuri tersebut beralasan anaknya telah pingsan. Kemudian ia mengatakan jika Abu Hurairah bersikeras menangkapnya maka anak dan istrinya akan mati karena ia tidak bisa mencari nafkah.

Kembali merasa iba, lagi-lagi Abu Hurairah melepaskan pencuri tersebut asalkan ia berjanji tidak mencuri lagi. Keesokan malamnya, pencuri itu kembali datang dan tertangkap basah oleh Abu Hurairah.

Si pencuri mengaku bersalah, namun ia ingin memberi hadiah sebagai tanda terimakasih kepada Abu Hurairah yang telah melepaskannya dua hari berturut-turut.

“‘Saya akan mengajarkan kamu wirid, kalau kamu belajar dan baca wirid ini, kamu tidak akan diganggu iblis, setan akan lari terbirit-birit, ‘ Abu Hurairah mau,” ujar Prof Nasaruddin menceritakan.

Setelahnya, Abu Hurairah kembali melepaskan si pencuri dengan syarat ia harus bersumpah tidak akan datang lagi untuk mencuri. Pergilah si pencuri tersebut.

Esoknya, Rasulullah bertanya kepada Abu Hurairah akan keberadaan pencuri tersebut. Betapa terkejutnya beliau ketika tahu bahwa pencuri yang ia lepaskan ternyata adalah iblis.

“Rasulullah bilang, ‘tahu tidak siapa yang kamu tangkap tiga malam berturut-turut? Itu adalah iblis,'” lanjut Prof Nasaruddin mengisahkan.

Selengkapnya detikKultum Prof Nasaruddin Umar: Jangan Terkecoh oleh Penampilan Orang dapat disaksikan DI SINI.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Taat Butuh Kesabaran sampai Terasa Indah



Jakarta

Kesabaran tidak hanya dilakukan ketika seseorang mendapat musibah. Menurut Habib Ja’far, sabar juga dibutuhkan dalam hal ketaatan.

Hal tersebut diungkapkan Habib Ja’far dalam detikKultum detikcom, Sabtu (1/4/2023). Habib mulanya menjelaskan bahwa kebenaran dan kesabaran merupakan dua hal yang disebut secara bersamaan melalui firman Allah SWT dalam surah Al Asr ayat 3.

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ


Artinya: “kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.”

Habib Ja’far menjelaskan, seseorang butuh kesabaran dalam menjalani ujian kebenaran. Hal ini untuk mengetahui apakah orang tersebut menjalankan kebenaran karena musiman atau memang sudah mencapai titik ikhlas.

“Kebenaran harus diuji dengan kesabaran untuk mengetahui ia berada dalam kebenaran itu sifatnya musiman atau memang ia ingin berada dalam kebenaran itu karena menganggap itulah yang indah,” ucap Habib Ja’far.

Habib Ja’far lalu menukil perkataan Imam Al Ghazali bahwasanya sabar itu bukan hanya ketika tertimpa musibah, melainkan juga untuk berada dalam ketaatan dan terhindar dari maksiat juga membutuhkan kesabaran.

“Orang kalau diuji dia harus sabar, bukan hanya itu. Tapi ketika orang jauh dari maksiat dia harus sabar. Sabar dari tarikan lagi tentang misalnya enaknya ketika bermaksiat, nikmatnya ketika bermaksiat, dan lain sebagainya,” ujar Habib Ja’far.

“Juga sabar ketika menjalani ketaatan dari misalnya merasa terbebaninya ketika dia menjalani ketaatan, merasa beratnya dia ketika menjalani ketaatan. Dia harus sabar sampai titik di mana dia kemudian nikmat menjalani ketaatan,” imbuhnya.

Ada banyak kisah tentang kesabaran dalam ketaatan yang terjadi kepada para nabi. Mulai dari Nabi Nuh AS yang berdakwah selama 950 tahun, Nabi Yusuf AS yang harus menerima fitnah selama belasan tahun, hingga Nabi Muhammad SAW dengan berbagai ujiannya.

Selengkapnya detikKultum Habib Ja’far: Taat Butuh Kesabaran sampai Terasa Indah tonton DI SINI.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Amal Kebaikan Menghapus Dosa di Masa Lampau



Jakarta

Allah SWT amat menyukai hamba-Nya yang bertobat. Tobat nasuha berarti upaya meninggalkan perbuatan dosa dan diiringi keinginan kuat untuk tidak mengulanginya lagi.

Dalam surat At Tahrim ayat 8, Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ يَوْمَ لَا يُخْزِى ٱللَّهُ ٱلنَّبِىَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ ۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَٰنِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَٱغْفِرْ لَنَآ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ


Arab latin: Yā ayyuhallażīna āmanụ tụbū ilallāhi taubatan naṣụḥā, ‘asā rabbukum ay yukaffira ‘angkum sayyi`ātikum wa yudkhilakum jannātin tajrī min taḥtihal-an-hāru yauma lā yukhzillāhun-nabiyya wallażīna āmanụ ma’ah, nụruhum yas’ā baina aidīhim wa bi`aimānihim yaqụlụna rabbanā atmim lanā nụranā wagfir lanā, innaka ‘alā kulli syai`ing qadīr

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobatan nasuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Allah SWT adalah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun, segala dosa yang dikerjakan akan diampuni jika manusia benar-benar bertobat. Prof Nasaruddin Umar dalam detikKultum detikcom, Sabtu (1/4/2023) mengatakan bahwa amal kebaikan yang kita perbuat bisa menjadi penghapus dosa di masa lalu.

“Ada sebuah kisah yang sangat menarik dari sebuah hadits,” ujarnya.

Prof Nasaruddin mengisahkan tentang seorang penjahat yang sudah jadi buronan internasional. Saking jahatnya, orang tersebut bahkan dijatuhkan hukuman in absentia, siapa saja yang bertemu dengannya diizinkan untuk membunuh sang penjahat.

Secara tiba-tiba, penjahat itu muncul di majelis Rasulullah. Para sahabat dan orang yang menghadiri majelis refleks mengeluarkan pedang dari sarungnya, mereka berbondong-bondong ingin menghunuskan benda tajam tersebut kepada pemuda itu.

Sebagai seorang rasul utusan Allah, Nabi Muhammad SAW meminta orang-orang untuk tenang dan membiarkan si penjahat untuk berbicara. Betapa terkejutnya, ia mengungkap maksud kedatangannya ke majelis Rasulullah untuk menyerahkan diri.

Penjahat tersebut menyadari ajalnya sudah dekat, sebab dimana pun ia berada semua orang berlomba-lomba untuk membunuhnya. Jadi, sebelum ia meninggal pemuda itu ingin menghibahkan amal kebajikan yang pernah dilakukannya di masa lampau.

“‘Saya kesini untuk menghibahkan amal kebajikan saya tanpa pamrih. Percuma menempel kebajikan itu padaku, karena aku adalah orang jahat, kebaikan itu akan saya hibahkan kepada yang kau tunjuk,’ Bingung sahabat-sahabat, orang seperti itu harus diapakan?” ujar Prof Nasaruddin mengisahkan.

Bersamaan dengan itu, turunlah surat Hud ayat 114, berikut bunyinya:

وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ طَرَفَىِ ٱلنَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ ٱلَّيْلِ ۚ إِنَّ ٱلْحَسَنَٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّٰكِرِينَ

Arab latin: Wa aqimiṣ-ṣalāta ṭarafayin-nahāri wa zulafam minal-laīl, innal-ḥasanāti yuż-hibnas-sayyi`āt, żālika żikrā liż-żākirīn

Artinya: “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat,”

Dengan turunnya ayat tersebut, muncullah pengampunan. Semua orang yang menghadiri majelis Rasulullah SAW sangat terkesan.

Dengan demikian, melalui kisah tersebut Prof Nasaruddin mengimbau agar kita mengakui kesalahan dan berlaku jujur dengan menyerahkan diri secara total. Niscaya Allah SWT juga akan memberi pengampunan, bukan hanya penghargaan dari hakim saja.

“Mari kita meniru pemuda yang sangat gentleman ini, jangan kita sibuk menyembunyikan diri,” katanya.

Selanjutnya, Prof Nasaruddin juga memaparkan sejumlah hal tentang tobat nasuha dari kacamata Imam Al-Ghazali. Simak pembahasan lengkap detikKultum Prof Nasaruddin Umar: Amal Kebaikan Menghapus Dosa Masa Lalu

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Bulan Ramadan Setan Diiket, kok Masih Maksiat?



Jakarta

Bulan Ramadan menyimpan banyak keutamaan. Menurut sebuah riwayat, setan-setan dibelenggu pada bulan ini.

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ


Artinya: “Apabila datang bulan Ramadan, maka dibukalah pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka serta semua setan dibelenggu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Lantas, mengapa masih ada perbuatan maksiat yang terjadi pada bulan Ramadan?

Menurut Habib Ja’far, hal tersebut lantaran sumber dari perbuatan maksiat atau keburukan bukan hanya dari setan, tetapi ada sumber yang berasal dari diri kita sendiri yang disebut nafsu.

“Setan ia adalah pembisik keburukan atau kejahatan dari luar diri kita dan ada pembisik atau pengarah kepada keburukan maupun kejahatan yang berada dari dalam diri kita, yaitu hawa nafsu,” ucap Habib Ja’far dalam detikKultum detikcom, Minggu (2/4/2023).

Habib Ja’far menjelaskan, Alah SWT menciptakan hawa nafsu atas kasih sayang-Nya karena Dia ingin memuliakan manusia melebihi malaikat. Sehingga, Allah SWT memberikan tantangan sebagai ujian yang harapannya masing-masing dari kita bisa berjuang untuk berbuat kebaikan.

Nafsu dalam diri, kata Habib Ja’far tidak pernah diikat. Dalam hal ini, diri kita sendirilah yang bisa mengendalikan nafsu tersebut.

Habib Ja’far memaparkan bahwa nafsu terdiri dari beberapa tingkatan. Tingkatan pertama adalah nafsu ammarah. Ini merupakan nafsu yang tidak terkendali dan membuat orang untuk bermaksiat.

Tingkatan kedua, ada nafsu lawwamah. Nafsu ini masih berpotensi untuk melakukan keburukan, namun relatif terkendali. Contohnya ketika melakukan suatu keburukan kita tidak totalitas atau akan menimbulkan penyesalan begitu selesai melakukan keburukan itu.

Harapannya, kita bisa mencapai nafsu yang muthmainnah atau nafsu yang damai. Nafsu ini, kata Habib Ja’far, tidak lagi mengarahkan pada keburukan, melainkan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi baik.

Bagaimana caranya untuk bisa mencapai tingkatan tersebut? Selengkapnya detikKultum Habib Ja’far: Bulan Ramadan Setan Diiket, kok Masih Maksiat? tonton DI SINI.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Contoh Teks Ceramah tentang Malam Lailatul Qadar



Jakarta

Malam Lailatul Qadar merupakan malam yang sangat istimewa di antara malam-malam yang lain dalam Islam. Untuk menyambut malam yang istimewa ini maka sebaiknya kita melakukan amalan-amalan yang baik, salah satunya dengan mengusung ceramah tentang malam Lailatul Qadar.

Ceramah dapat dijadikan sebagai media belajar bersama. Dikutip melalui buku Khutbah Jum’at karangan Taufiq al Farisi, berikut adalah contoh teks ceramah tentang malam Lailatul Qadar yang membahas mengenai perbedaan malam Lailatul Qadar dengan malam Nuzulul Qur’an.

Contoh Teks Ceramah tentang Malam Lailatul Qadar

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Para hadiri jemaah yang diberi rahmat Allah.

Di antara momentum yang berharga di bulan Ramadan adalah terdapat malam Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar. Keduanya merupakan ruang bersejarah yang menentukan kehidupan kita di dunia selanjutnya.

Hal ini disebabkan lantaran keduanya berhubungan langsung dengan proses turunnya Al Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup umat manusia. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surah Al Baqarah ayat 185,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدىً لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

Artinya: “Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia serta penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan juga sebagai pembeda (antara yang hak dan yang bathil).”

Akan tetapi permasalahannya, seringkali kita salah paham mengenai keterangan antara Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar, bahkan bisa jadi saling tumpang tindih antar keduanya. Jika demikian, lantas apakah perbedaan Nuzulul Qur’an dengan Lailatul Qadar?

Untuk menjawab hal ini ada baiknya kita merujuk pendapat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwa Al Qur’an diturunkan oleh Allah dari Lauh Mahfuz ke Baitul Izzah pada malam Lailatul Qadar secara keseluruhan. Dan kemudian Allah menurunkannya secara berangsur-angsur kepada nabi besar Muhammad saw untuk pertama kalinya pada malam 17 Ramadan di Gua Hira melalui perantara malaikat Jibril.

Dengan demikian malam Nuzulul Qur’an yang diperingati umat muslim di Indonesia pada malam tanggal 17 Ramadan merujuk pada kali pertama Al-Qur’an diturunkan secara berangsur kepada Rasulullah SAW. Adapun lailatul qadar adalah malam diturunkannya Al-Qur’an oleh Allah dari Lauh Mahfuz ke Baitul Izzah, secara keseluruhan.

Hadirin yang berbahagia,

Berbicara Lailatul Qadar, kita perlu memahami makna kata Al Qadar. Dalam hal ini, Syaikh Muhammad Abduh memaknai kata Al Qadar dengan kata takdir. Beliau berpendapat demikian, karena Allah SWT pada malam itu mentakdirkan agama-Nya dan menetapkan khittah untuk Nabi-Nya, dalam menyeru umat manusia ke jalan yang benar. Khittah yang dijalani itu, sekaligus melepaskan umat manusia dari kerusakan dan kehancuran yang waktu itu sedang membelenggu mereka.

Kata Al Qadar diartikan juga sebagai Asy-Syarf yang artinya mulia (kemuliaan dan kebesaran). Maksudnya Allah SWT telah mengangkat kedudukan nabi-Nya pada malam Qadar itu dan memuliakannya dengan risalah dan membangkitkannya menjadi rasul terakhir.

Mengenai hal ini diisyaratkan dalam surah Al Qadr. Bahwa malam itu adalah malam yang mulia, malam diturunkannya Al-Qur’an sebagai kitab suci yang terakhir. Surah Al Qadr itu lengkapnya sebagai berikut:

إِنَّا أَنْزَلْنَهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ. سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadar: 1-5)

Dari ayat tersebut, maka jelaslah Lailatul Qadar adalah malam yang memiliki keistimewaannya sendiri dibanding dengan malam-malam yang lainnya. Dan apabila malam itu digunakan untuk ibadah kepada Allah SWT, maka ia akan mendapatkan pahala berlipat ganda satu berbanding seribu amal kebajikan (ibadah) yang dilakukan di selain malam lailatul qadar.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Tentang kepastian waktu lailatul qadar seolah menjadi misteri bagi setiap hamba yang mencari dan menanti kehadirannya, hanya sedikit orang yang dapat menemukannya, seakan lailatul qadar menjadi rahasia Allah SWT semata, dan hanya hamba-hamba-Nya tertentu yang dikehendaki untuk menemukannya. Mengenai ketentuan waktu kapan Lailatul Qadar itu terjadi, tidak ada ketetapan secara pasti dalam tanggal-tanggal Ramadan.

Tetapi sudah menjadi kesepakatan ulama, bahwa Lailatul Qadar itu ada dalam satu diantara malam-malam bulan Ramadan, dan pendapat ulama yang kuat mengatakan, malam Lailatul Qadar itu terjadi salah satu diantara malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadan (21, 23, 25, 27, dan 29).

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَحَرُّوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Artinya: Dari Aisyah Radhiyallahu anha, ia menyampaikan, “Sesungguhnya Rasulullah SAW, bersabda, ‘Carilah malam Qadar pada malam-malam ganjil pada sepuluh terakhir bulan Ramadan.” (HR Bukhari & Muslim, bersanad shahih)

Demikian ceramah kali ini, semoga kita semua dapat meraih Lailatul Qadar bersama-sama. Ya Allah kami hamba-Mu ini bukanlah orang yang malas untuk beribadah kepada-Mu, tetapi alangkah bersyukurnya kami, jika kau takdirkan kami menjadi hamba-hamba yang shaleh. Aamiin yaa Rabbalalamiin.

Semoga dengan contoh teks ceramah tentang malam Lailatul Qadar ini dapat membantu dalam menyusun teks ceramah dalam berbagai kesempatan.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Jangan Pilih-pilih dalam Menghargai Orang



Jakarta

Islam mengajarkan manusia untuk saling menghargai dan memuliakan satu sama lain. Jika kita ingin dihargai, tentu kita juga harus melakukan hal yang sama terhadap orang lain.

Menurut Prof Nasaruddin Umar dalam detikKultum detikcom, Minggu (2/4/2023), menghargai orang lain bisa dengan cara tidak memandang enteng orang lain. Terlebih, hanya melihat dari penampilan yang sederhana.

“Jangan memandang enteng orang-orang yang tidak muncul tanda kewibawaannya. Boleh jadi Allah SWT menyembunyikan wajah kekasih-Nya pada wajah yang kumuh,” ujarnya.


Bisa-bisa seseorang yang dianggap lusuh, pengemis, tidak berwibawa dan berpenampilan sederhana ternyata merupakan seorang malaikat. Sebab, malaikat bisa mengubah wujudnya untuk menguji manusia.

“Jangan hanya menerima orang-orang yang rapi, sopan, santun. Siapa tau itu iblis di dalamnya,” lanjut Prof Nasaruddin.

Berkenaan dengan itu, ia mencontohkan sebuah kisah mengenai lelaki tua yang berkunjung ke istana raja, cerita ini disampaikan dalam kitab Irsyadul Ibad. Saat itu, lelaki tersebut berpenampilan lusuh, bau dan menggunakan tongkat.

Ketika ia lewat di depan istana, lantas penjaga segera menghalaunya. Mereka menganggap orang tua itu merusak pemandangan karena penampilannya yang kurang layak.

Secara tiba-tiba, lelaki lusuh itu dipukul beramai-ramai oleh para penjaga. Anehnya, ia sama sekali tidak roboh dan kebal.

Penjaga yang heran lantas bertanya kepada lelaki tua itu, siapa dia sebenarnya. Orang tersebut lantas menjawab bahwa dirinya adalah seorang malaikat maut dan hendak mencabut nyawa seseorang di dalam istana.

Mendengar pengakuan sang malaikat maut, para penjaga terbirit-birit lari ketakutan. Akhirnya, lelaki tua itu segera masuk ke pintu gerbang istana yang kedua.

Sayangnya, di gerbang tersebut ia juga diadang oleh penjaga istana yang bertugas. Mereka heran, bagaimana bisa seseorang dengan penampilan kumuh dan lusuh masuk ke dalam istana, diusirlah lelaki tua itu.

Meski diusir, malaikat maut itu enggan untuk pergi. Akhirnya, penjaga istana yang lain lagi-lagi memukuli lelaki tua itu, namun mereka tidak bisa melumpuhkannya.

Merasa heran, penjaga istana bertanya siapa sebenarnya lelaki tua tersebut. Dia kembali mengaku bahwa dirinya adalah seorang malaikat maut, pergilah para penjaga ketakutan dan membiarkan si lelaki tua masuk ke dalam istana.

Lagi-lagi, di dalam istana ada seorang bodyguard. Ia menghadang malaikat maut dengan sigap namun tetap saja tidak bisa dikalahkan.

Sampai akhirnya tibalah si lelaki tua ke dalam kamar raja. Raja yang kaget melihat seseorang berpenampilan kumuh berhasil masuk ke kamarnya, segera mendorong lelaki itu dan dipukulinya menggunakan besi.

Tetap saja, malaikat maut tersebut masih berdiri dengan sigap dan tidak luka sedikitpun akibat pukulan raja. Setelah sang raja mengetahui bahwa malaikat maut itu ingin mengambil nyawanya, ia lantas ketakutan dan memohon agar tidak dicabut.

Kisah selengkapnya dapat disaksikan dalam detikKultum Prof Nasaruddin Umar: Mari Hargai Semua Orang DI SINI.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Puasa Ramadan Latih Kita Jadi Toleran



Jakarta

Setiap bulan Ramadan umat Islam memiliki kewajiban berpuasa. Habib Ja’far menyebut, puasa Ramadan mengajarkan nilai-nilai toleransi kepada sesama muslim maupun antar umat beragama.

“Bulan Ramadan ini ketika kita melakukan ibadah puasa sebenarnya kita dididik juga. Di antara hikmahnya, untuk menjadi pribadi yang toleran, baik terhadap sesama muslim maupun terhadap orang yang berbeda agama,” kata Habib Ja’far dalam detikKultum detikcom, Senin (3/4/2023).

Habib Ja’far menyandarkan hal tersebut pada dalil kewajiban puasa, yakni firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 183.


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa kewajiban puasa sudah ada sejak umat sebelum Islam. Habib Ja’far menafsirkan, artinya kita bisa berbeda dalam hal kebenaran, yakni terkait syariat menjalankan puasa antara umat Islam dan umat-umat sebelum Islam.

“Umat-umat sebelum Islam misalnya, mereka kalau berpuasa tidak pakai makan sahur. Itulah pembeda antara puasa kita dengan puasa orang-orang Yahudi dan Nasrani sebelum Islam pada nabi yaitu pada masa sahurnya,” jelasnya.

Di sisi lain, ada persamaan di antara keduanya bahwasanya puasa itu baik dan itu diwajibkan atas umat-umat lain. “Sehingga, kita bisa berbeda dalam kebenaran tetapi kita harus bersama dalam kebaikan,” terang Habib Ja’far.

Selain itu, puasa Ramadan juga mengajarkan nilai-nilai toleransi antar sesama muslim. Selengkapnya detikKultum Habib Ja’far: Puasa Ramadan Latih Kita Jadi Toleran tonton DI SINI.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Tawakal Sebagai Ciri Orang yang Dicintai Allah SWT



Jakarta

Tawakal artinya berusaha sedemikian rupa sebelum menyerahkan segala sesuatu kepada Allah SWT. Sikap tawakal menjadi ciri dari seseorang yang beriman, karenanya setiap muslim perlu bertawakal agar tidak putus asa dan senantiasa percaya kepada Allah bahwa semua telah diatur melalui rencana-Nya.

Disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 159, Allah SWT mencintai orang yang bertawakal. Berikut bunyi ayatnya:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ


Arab latin: Fa bimā raḥmatim minallāhi linta lahum, walau kunta faẓẓan galīẓal-qalbi lanfaḍḍụ min ḥaulika fa’fu ‘an-hum wastagfir lahum wa syāwir-hum fil-amr, fa iżā ‘azamta fa tawakkal ‘alallāh, innallāha yuḥibbul-mutawakkilīn

Artinya: “Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal,”

Berkaitan dengan itu, Prof Nasaruddin Umar dalam detikKultum detikcom, Senin (3/4/2023) menuturkan bahwa sikap tawakal dibagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu tawakal, taslim, dan tafwidh.

Seperti disebutkan sebelumnya, makna tawakal ialah berserah diri secara total kepada Allah SWT setelah berusaha semaksimal mungkin. Nah, setelah itu ada tingkatan tawakal yang kedua yaitu taslim.

Taslim berarti usaha yang dilakukan seseorang kecil, namun banyak pertolongan yang diberikan. Dalam hal ini, Prof Nasaruddin mencontohkan seorang bayi yang menangis.

“Bayi yang menangis kemudian rebutan tuh ibu, bapak, dan baby sitter. Jadi hanya berteriak sedikit, tapi orang berebut untuk membantunya,” katanya.

Tingkatan terakhir adalah tafwidh, artinya tidak ada usaha sama sekali selain pasrah kepada Allah SWT. Contoh nyata dari tingkatan tawakal tafwidh adalah janin yang berada di dalam kandungan sang ibu.

Janin tidak perlu berteriak, tidak melakukan macam-macam, namun Allah menyediakan segala sesuatu seperti nutrisi ketika lapar. Tafwidh menjadi tingkatan tawakal yang paling sejati.

Prof Nasaruddin mengimbau, bulan suci Ramadan menjadi momentum bagi para muslim untuk belajar tawakal. Menurutnya, tawakal mampu mengangkat martabat seseorang baik di dunia maupun akhirat.

“Sedapat mungkin kita meningkatkan kualitas tawakal kita,” pungkasnya.

Selengkapnya detikKultum Prof Nasaruddin Umar: Ciri Orang yang Dicintai Allah SWT bisa disaksikan DI SINI.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Tarawih di Masjid Vs di Rumah, Baik Mana?



Jakarta

Salat Tarawih merupakan ibadah sunnah yang dikerjakan pada malam Ramadan. Ibadah ini bisa dilakukan secara berjamaah di masjid atau di rumah. Mana yang lebih baik di antara keduanya?

Menurut Habib Ja’far, hal tersebut tergantung pada kondisi masing-masing. Secara umum, laki-laki lebih baik salat berjamaah di masjid dan perempuan salat di rumah. Hal ini berlaku untuk salat fardhu maupun salat sunnah seperti salat Tarawih.

“Untuk salat sunnah begitu juga bagi laki-laki sebaiknya dilakukan di masjid, tapi bagi perempuan sebaiknya di rumah. Termasuk di dalamnya adalah salat Tarawih,” ujar Habib Ja’far dalam detikKultum detikcom, Selasa (4/4/2023).


Habib Ja’far menjelaskan, salat Tarawih lebih baik dikerjakan secara berjamaah di masjid karena termasuk salat sunnah yang disunnahkan untuk berjamaah. Seperti halnya salat Id dan salat istisqa.

Meski demikian, laki-laki tetap boleh salat di rumah jika memang secara kemaslahatan lebih baik dilakukan di rumah. “Contohnya istri kita sedang butuh kita untuk menjadi imam salat karena dia sekaligus mau belajar salat Tarawih dengan baik, mau sekalian lanjut belajar mengkaji al quran dan lain sebagainya,” ujar Habib Ja’far.

Begitu juga dengan perempuan. Jika baginya memang ada kemaslahatan ketika dilakukan di masjid dan telah mendapatkan izin dari walinya, maka baik baginya mengerjakan salat Tarawih berjamaah di masjid.

Namun, jika justru ke masjid menimbulkan mudharat, maka kata Habib, perempuan tetap lebih baik salat Tarawih di rumah.

“Menghindari kemudharatan itu jauh lebih utama daripada mencari kemanfaatan. Begitu dalam filsafat hukum Islam atau ushul fiqih. Hindari dulu mudharatnya jangan sibuk nyari manfaat ” terangnya.

Habib Ja’far kemudian menukil sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW salat Tarawih di masjid hanya dua hari pertama di bulan Ramadan. Selanjutnya beliau memilih salat di rumah. Sebab, beliau khawatir salat Tarawih akan diwajibkan bagi umat Islam.

Selengkapnya detikKultum Habib Ja’far: Tarawih di Masjid Vs di Rumah, Baik Mana? tonton DI SINI.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

3 Ustaz akan Isi Kajian Bulan Suci di Mutiara Ramadan, Catat Waktunya Ya!



Jakarta

Hari-hari terakhir bulan Ramadan menjadi salah satu momen istimewa bagi umat Islam. Terlebih ada malam ganjil 10 hari terakhir Ramadan. Alangkah baiknya bila muslim bisa mengisi sisa waktu Ramadan dengan menyaksikan tayangan kajian Mutiara Ramadan bersama para ustaz hanya di detikcom dan detikHikmah.

Deni Darmawan dalam buku Keajaiban Ramadan, menjelaskan keberadaan malam kemuliaan di bulan Ramadan yang dikenal dengan Lailatul Qadar. Menurut sebuah riwayat, malam Lailatul Qadar terletak pada 10 hari terakhir bulan Ramadan, tepatnya pada malam-malam ganjil. Rasulullah SAW bersabda,

تَحَرَّوْا وفي رواية : الْتَمِسُوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ


Artinya: “Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain, Aisyah RA mengatakan, “Bila masuk sepuluh (hari terakhir bulan Ramadan Rasulullah SAW mengencangkan kainnya menjauhkan diri dari menggauli istrinya), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR Bukhari)

Pada malam tersebut pula, disebut lebih baik daripada seribu bulan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Al Qadr.

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ࣖ

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatul Qadar. Tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik daripada seribu bulan Pada malam itu turun para malaikat dan Rūḥ (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam) itu sampai terbit fajar.”

Bersamaan dengan keistimewaannya ini, tentunya muslim juga perlu menambah ilmu agama agar senantiasa mendapatkan pahala yang berlipat dari Allah SWT. Tahun ini, detikcom dan detikHikmah kembali menghadirkan Mutiara Ramadan dengan membawa tiga nama ustaz sebagai pengisi kajian.

Ketiga ustaz yang akan mengisi tayangan Mutiara Ramadan tersebut adalah Ustaz Adiwarman Karim, Ustaz Oni Sahroni, dan Ustaz Zacky Mirza. Para ustaz ini akan menemani sisa-sisa hari Ramadan detikers dengan kajian yang sayang untuk dilewatkan pada sore dan malam hari.

Mutiara Ramadan bersama Ustaz Adiwarman Karim akan dimulai besok, Rabu, 5 April hingga 14 April 2023 pada pukul 19.45 WIB. Hari berikutnya kemudian diisi oleh kajian dari Ustaz Oni Sahroni yang berlangsung dari 12 hingga 16 April 2023 pada pukul 15.00 WIB.

Sebagai penutup, Ustaz Zacky Mirza akan mengisi kajian di Mutiara Ramadan pada 17-21 April 2023 untuk pukul 19.45. Catat waktunya dan jangan sampai ketinggalan untuk menyaksikan Mutiara Ramadan hanya di detikcom dan detikHikmah. Cek teaser-nya DI SINI, ya!

(rah/lus)



Sumber : www.detik.com