Category Archives: Khazanah

5 Keutamaan Sholat Tahajud, Amalan Istimewa di Sepertiga Malam


Jakarta

Sholat tahajud merupakan salah satu ibadah sunnah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Ibadah ini dikerjakan pada malam hari setelah tidur, terutama di sepertiga malam terakhir.

Dalam Al-Qur’an dan hadits, sholat tahajud memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Ibadah ini menjadi ciri hamba yang dekat dengan Allah, kunci datangnya pertolongan, serta jalan menuju derajat mulia di sisi-Nya.

Mengutip buku Indahnya Tahajud karya Yunus Hanis Syam, ada banyak dalil yang menjelaskan anjuran mengerjakan sholat tahajud. Dalam surat Al-Isra ayat 79, Allah SWT berfirman,


وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا

Artinya: Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.

Ayat ini menjadi bukti bahwa sholat tahajud dapat mengangkat derajat seseorang ke tempat terpuji, baik di dunia maupun di akhirat.

Anjuran mengerjakan sholat tahajud juga dijelaskan Rasulullah SAW dalam beberapa hadits. Rasulullah SAW bersabda,

“Rabb kita turun ke langit dunia setiap malam pada sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku beri. Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku ampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Waktu Sholat Tahajud

Megutip buku Terapi Shalat Tahajud yang ditulis Moh. Sholeh, waktu pelaksanaan sholat tahajud adalah sejak setelah sholat Isya dan tidur malam, hingga menjelang sholat Subuh. Namun waktu terbaiknya adalah pada sepertiga malam terakhir, yaitu sekitar pukul 2.00 hingga menjelang subuh.

Niat Sholat Tahajud

Sholat tahajud diawali dengan niat, berikut bacaan niatnya dalam tulisan Arab, latin dan artinya,

أُصَلِّي سُنَّةَ التَهَجُّدِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin: Ushallī sunnatat-tahajjudi rak’ataini lillāhi ta’ālā

Artinya: “Aku niat sholat sunnah tahajud dua rakaat karena Allah Ta’ala.”

Keutamaan Sholat Tahajud

Merangkum buku Tahajud Energi Sejuta Mukjizat karya Muhammad Thobroni, keutamaan tahajud dijelaskan dalam beberapa dalil Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW.

1. Tahajud Adalah Sholat Paling Utama Setelah Sholat Fardhu

Rasulullah SAW bersabda,
“Sholat yang paling utama setelah sholat wajib adalah sholat malam.” (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa tahajud memiliki kedudukan istimewa di antara seluruh sholat sunnah. Tahajud bukan hanya amalan tambahan, tapi ibadah yang sangat mulia di sisi Allah SWT.

2. Mendekatkan Diri kepada Allah dan Doanya Mustajab

Rasulullah SAW bersabda,

“Tuhan kita turun ke langit dunia setiap malam ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Ia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri, dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjelaskan bahwa waktu terbaik untuk berdoa dan memohon kepada Allah adalah di sepertiga malam terakhir.

3. Tahajud Menjadi Sebab Diampuninya Dosa

Rasulullah SAW bersabda,

“Lakukanlah qiyamullail (sholat malam), karena ia adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, bentuk mendekatkan diri kepada Tuhan kalian, penghapus dosa, pencegah maksiat, dan pengusir penyakit dari badan.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan al-Hakim; hasan shahih)

4. Diangkat Derajatnya di Sisi Allah

Dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan bahwa tahajud adalah jalan untuk mencapai tempat yang tinggi:

Pada surat Al-Isra ayat 79, Allah SWT berfirman,

وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا

Artinya: Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.

5. Menjadi Golongan yang Spesial

Rasulullah SAW bersabda,

“Di surga ada kamar-kamar yang terlihat bagian dalamnya dari luar dan bagian luarnya dari dalam. Allah menyiapkannya untuk orang yang memberi makan, yang berkata baik, yang puasa, dan yang sholat malam saat manusia tidur.” (HR. Tirmidzi)

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

7 Surat Pembuka Rezeki dalam Al-Qur’an, Amalan Mustajab Menjemput Keberkahan


Jakarta

Rezeki merupakan karunia Allah SWT yang tidak terbatas hanya pada harta dan materi, tetapi juga meliputi kesehatan, ketenangan hati, ilmu, dan kebahagiaan hidup. Dalam Islam, ada banyak cara untuk membuka pintu rezeki, salah satunya adalah melalui bacaan ayat suci Al-Qur’an.

Beberapa surat dalam Al-Qur’an diyakini memiliki keutamaan sebagai pembuka rezeki, jika dibaca dengan keyakinan dan diamalkan secara rutin.

Mengutip buku Ayat-Ayat Nasihat karya Mohamad As’adi bin Tawi, semua rezeki yang dinikmati oleh semua makhluk hidup adalah pemberian Allah SWT. Dia sudah membagikan rezeki kepada semua ciptaan-Nya sebelum dilahirkan ke dunia.


Allah SWT sudah menakar seberapa besar rezeki setiap hamba-Nya, dan apa saja rezeki tersebut. Dalam Al-Qur’an surat Huud ayat 6.

۞ وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ

Artinya: Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).

Ayat ini menjelaskan bahwa setiap makhluk sudah memiliki rezeki dari Allah SWT, namun tetap harus dibutuhkan usaha untuk meraihnya. Manusia diwajibkan berikhtiar untuk menjemput rezeki.

Dalam Al-Qur’an surat An-Najm ayat 39 Allah SWT berfirman,

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

Artinya: Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.

7 Surat Al-Qur’an Pembuka Rezeki

Berikut ini tujuh surat dalam Al-Qur’an yang dikenal memiliki keutamaan sebagai pembuka pintu rezeki:

1. Surat Al-Fatihah

Surat pertama dalam Al-Qur’an ini bukan hanya menjadi pembuka mushaf, tapi juga diyakini sebagai pembuka segala urusan, termasuk urusan rezeki. Dalam buku Agar Rezekimu Tak Seret karya Rizem Aizid, disebutkan bahwa membaca Al-Fatihah dengan niat memohon kemudahan akan membuka pintu rezeki dan menyingkirkan berbagai kesulitan hidup.

Al-Fatihah sering disebut sebagai Ummul Kitab (induk Al-Qur’an), dan menjadi syarat sahnya sholat. Maka, membacanya dengan khusyuk setiap hari tidak hanya sebagai ibadah, tetapi juga menjadi wasilah spiritual bagi terbukanya jalan-jalan keberkahan.

2. Surat Al-Ikhlas

Surat pendek namun sarat makna ini adalah pernyataan keesaan Allah SWT. Membaca Al-Ikhlas bukan hanya melipatgandakan pahala, tetapi juga menjadi sebab turunnya rezeki yang tak terduga.

Disebutkan bahwa satu kali membaca surat Al-Ikhlas bernilai sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an. Bila dibaca tiga kali, nilainya sama dengan membaca keseluruhan Al-Qur’an. Bahkan, terdapat anjuran spiritual untuk membacanya hingga 1.000 kali dalam sehari bagi yang ingin membuka pintu rezeki dan dijauhkan dari kekurangan. Wallahu a’lam.

3. Surat Al-Waqi’ah

Banyak orang mengenal surat ini sebagai “surat anti miskin”. Dalam buku Amalan-Amalan Pembuka Pintu Rezeki karya Nasrudin dkk, disebutkan bahwa surat Al-Waqi’ah memiliki keutamaan besar dalam menjaga seseorang dari kefakiran.

Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda,

“Barang siapa membaca surat Al-Waqi’ah tiap malam, maka ia tidak akan tertimpa kefakiran selamanya.” (HR Imam Baihaqi)

4. Surat Al-Mulk

Surat Al-Mulk menanamkan nilai-nilai tauhid dan keyakinan akan kekuasaan Allah dalam mengatur alam semesta. Orang yang membaca, merenungkan, dan mengamalkannya termasuk golongan yang bertawakal. Dalam Islam, tawakal adalah kunci kecukupan.

Allah SWT berfirman dalam surat Ath-Thalaq ayat 3,

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا

Artinya: Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

Surat ini menjadi pengingat bahwa rezeki datang dari arah yang kadang tidak kita sangka, asalkan kita menyerahkan urusan kepada-Nya dengan penuh kepercayaan.

5. Surat Al-Muzzammil

Surat ke-73 dalam Al-Qur’an ini berbicara tentang perintah untuk berdiri malam (qiyamul lail) dan ketekunan dalam ibadah. Dalam surat ini juga tersirat bahwa kedekatan dengan Allah melalui ibadah malam akan memudahkan semua urusan dunia dan akhirat, termasuk urusan rezeki.

6. Surat Al-Lail

Surat ini menegaskan bahwa siapa pun yang berusaha dan bertakwa, maka Allah SWT akan memudahkan jalannya menuju kebahagiaan dan kebaikan. Dalam konteks rezeki, surat ini mengingatkan bahwa ketakwaan adalah syarat penting bagi datangnya kelimpahan dan keberkahan.

7. Surat Al-Insyirah

Surat yang juga dikenal dengan nama Asy-Syarh ini berbicara tentang kelapangan dada dan pengangkatan beban. Dalam hidup, beban batin dan tekanan pikiran sering kali menjadi penghalang datangnya rezeki.

Surat Al-Insyirah mengajarkan bahwa bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Banyak orang mengamalkan surat ini untuk memohon kemudahan urusan, rezeki yang lapang, dan solusi dari berbagai kesulitan hidup.

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Jadwal Puasa Ayyamul Bidh Juli 2025, Lengkap dengan Bacaan Niatnya


Jakarta

Puasa Ayyamul Bidh adalah puasa sunnah yang dilakukan pada tiga hari pertengahan setiap bulan Hijriah, yaitu pada tanggal 13, 14, dan 15. Kata “Ayyamul Bidh” secara harfiah berarti “hari-hari putih”, karena pada malam-malam itu bulan bersinar terang dan tampak bulat penuh di langit.

Dikutip dari buku Rahasia Puasa Sunah karya Ahmad Syahirul Alim, puasa Ayyamul Bidh merupakan amalan sunnah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW karena memiliki banyak keutamaan.

Anjuran puasa ini bersumber dari banyak hadits shahih. Di antaranya, hadits yang bersumber dari para sahabat Rasulullah SAW,


“Kekasihku (Rasulullah SAW) berwasiat kepadaku dengan tiga perkara, aku tidak akan meninggalkannya selama aku hidup; berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, dua rakaat duha, dan tidak tidur sampai aku salat witir.” (HR Bukhari dari Abu Darda)

Dan dalam hadits lain, dijelaskan bahwa tiga hari yang dimaksud adalah tanggal 13, 14, dan 15 bulan Hijriah, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Abu Dzar! Jika kamu ingin berpuasa tiga hari setiap bulan, maka berpuasalah pada tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas.” (HR Tirmidzi, disahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Hadits ini memperjelas bahwa puasa Ayyamul Bidh adalah bagian dari puasa sunnah yang dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW dan diamalkan oleh para sahabat.

Waktu Pelaksanaan Puasa Ayyamul Bidh

Puasa Ayyamul Bidh dilakukan setiap bulan Hijriah, tepatnya pada tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan hijriah. Waktu pelaksanaannya dimulai dari terbit fajar (subuh) hingga terbenam matahari (maghrib) seperti puasa pada umumnya.

Jadwal Ayyamul Bidh Juli 2025

Berdasarkan kalender Hijriah Indonesia 2025 terbitan Kementerian Agama RI, 1 Muharram 1447 H bertepatan dengan 27 Juni 2025. Berikut jadwal lengkap puasa Ayyamul Bidh bulan Muharram 1447 H/Juli 2025 M:

  • 13 Muharram 1447 H: Rabu, 9 Juli 2025
  • 14 Muharram 1447 H: Kamis, 10 Juli 2025
  • 15 Muharram 1447 H: Jumat, 11 Juli 2025

Niat Puasa Ayyamul Bidh

Merujuk buku Siapa Berpuasa Dimudahkan Urusannya karya Khalifa Zain Nasrullah, niat puasa ayyamul bidh diucapkan dalam hati ataupun secara lisan. Waktu membacanya mulai dari malam hari hingga sebelum terbitnya fajar.

Berikut bacaan niat puasa Ayyamul Bidh. dalam tulisan Arab, latin dan artinya:

نَوَيْتُ صَوْمَ أَيَّامِ الْبِيْضِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Arab latin: Nawaitu shauma ayyâmil bîdl lilâhi ta’âlâ.

Artinya: “Saya niat puasa Ayyamul Bidl (hari-hari yang malamnya cerah), karena Allah ta’âlâ.”

Bagi yang lupa atau mendadak ingin melaksanakan puasa Ayyamul Bidh boleh membaca niat pada siang hari asalkan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga munculnya keinginan untuk puasa.

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Salat Syuruq dan Dhuha Apakah Sama?


Jakarta

Salat sunnah Syuruq yang juga dikenal dengan nama salat Isyraq adalah salat sunnah yang dilakukan pada pagi hari setelah terbitnya matahari. Waktu pelaksanaannya dimulai ketika matahari sudah naik setinggi satu tombak di atas ufuk.

Dalam buku Fiqih Salat Sunah karya Ali Musthafa Siregar dan tim, dijelaskan bahwa waktu terbit matahari yang dimaksud adalah ketika matahari telah berada pada posisi setinggi satu tombak di atas ufuk. Salat Syuruq bisa dikerjakan sekitar 15-20 menit setelah matahari terbit, atau setelah waktu syuruq yang tertera di jadwal salat.

Menariknya, salat Dhuha juga ditunaikan di pagi hari dan dapat dimulai pada waktu yang sama dengan salat Syuruq Lantas, apakah salat Syuruq dan salat Dhuha sebenarnya adalah salat yang sama atau justru dua ibadah sunnah yang berbeda?


Apakah Salat Syuruq dan Dhuha Sama?

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai salat Syuruq, sebagian ulama berpendapat bahwa salat ini merupakan salat sunnah yang berdiri sendiri dengan keutamaan dan waktu khusus, sementara sebagian lainnya menganggapnya sebagai bagian dari salat Dhuha.

Sebagaimana dijelaskan oleh David Muhammad dalam buku Shalat-shalat Tathawwu’, sejumlah ulama berpendapat bahwa salat Syuruq tidak berbeda dengan salat Dhuha.

Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak serta didukung oleh Tafsir Imam Ath-Thabari dan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Liqa Al-Bab Al-Maftuh. Menurut mereka, salat Syuruq adalah salat Dhuha itu sendiri yang dikerjakan segera setelah matahari terbit dan naik setinggi tombak.

Jika salat tersebut dilakukan di pertengahan atau akhir waktu pagi, maka disebut salat Dhuha. Namun secara keseluruhan tetap tergolong salat Dhuha.

Berbeda dengan itu, Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa salat Syuruq dan salat Dhuha adalah dua ibadah sunnah yang terpisah.

Perbedaannya terletak pada waktu pelaksanaannya, salat Syuruq dimulai tepat setelah waktu terlarang salat usai, yakni ketika matahari baru saja terbit, sementara waktu salat Dhuha dimulai ketika matahari sudah lebih tinggi hingga menjelang waktu zuhur.

Tata Cara Salat

Salat Dhuha atau Syuruq adalah ibadah sunah yang dikerjakan secara mandiri (tidak berjamaah), dengan jumlah rakaat minimal dua dan maksimal dua belas. Saat memulai salat, niat dibaca dalam hati bersamaan dengan takbiratul ihram.

Mengutip buku Keberkahan Sholat Dhuha, Raih Rezeki Sepanjang Hari karya Ustadz Arif Rahman, berikut tata cara pelaksanaannya:

  1. Membaca niat
  2. Takbiratul ihram
  3. Membaca doa iftitah
  4. Membaca surah Al-Fatihah
  5. Membaca surah Asy-Syams
  6. Rukuk
  7. I’tidal
  8. Sujud pertama
  9. Duduk di antara dua sujud
  10. Sujud kedua
  11. Bangkit dan mengerjakan rakaat kedua
  12. Membaca surah Al-Fatihah
  13. Membaca surah Ad-Dhuha
  14. Rukuk
  15. I’tidal
  16. Sujud
  17. Duduk di antara dua sujud
  18. Tasyahud akhir
  19. Salam

Tata cara ini dapat diulang sesuai jumlah rakaat yang diinginkan. Contoh, empat rakaat dapat dilakukan dalam dua kali salat (2-2), atau enam rakaat dalam tiga kali salat (2-2-2).

Keutamaan Salat Syuruq

Salat Syuruq memiliki sejumlah keutamaan istimewa bagi siapa pun yang menunaikannya dengan penuh keikhlasan. Salah satu keutamaannya adalah ganjaran pahala yang sebanding dengan ibadah haji dan umrah yang sempurna, sebagaimana disampaikan dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW.

مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ

Artinya: “Siapa yang salat Subuh berjamaah, lalu duduk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian salat dua rakaat, ia akan mendapatkan pahala haji dan umrah sempurna (diulang tiga kali).” (HR Tirmidzi)

Dari Abu Umamah RA, Rasulullah SAW bersabda,”Barang siapa yang mengerjakan salat Subuh dengan berjamaah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan salat sunnah Dhuha (di awal waktu, syuruq), maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumrah secara sempurna.” (HR Thabrani)

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Bolehkah Salat Tanpa Menutup Aurat Sempurna? Ini Penjelasannya


Jakarta

Menutup aurat adalah syarat sah salat baik bagi laki-laki maupun perempuan. Terkadang masih dijumpai ada orang yang belum sempurna dalam menutup auratnya. Bagaimana hukumnya dalam Islam?

Menurut penjelasan dalam Syarah Fathul Qulub terbitan Mahad Al-Jamiah Al-Aly UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, secara etimologi aurat artinya kekurangan dan sesuatu yang dianggap buruk. Adapun secara syara’, aurat adalah sesuatu yang wajib tertutup dan haram dilihat baik dalam salat maupun di luar salat.

Dalam salat, menutup aurat termasuk syarat sah ibadah, walaupun salat tersebut dilakukan sendirian atau di tempat gelap. Apabila tak menemukan penutup aurat, seseorang tetap wajib melakukan salat dengan memenuhi rukunnya dan tak harus mengulanginya. Hal ini karena termasuk uzur ‘am dan kadang berlangsung lama.


Semua ulama mazhab sepakat hukum menutup aurat saat salat adalah wajib. Hanya saja mereka berbeda pendapat terkait kesempurnaannya, seperti wajib tidaknya seorang wanita menutup wajah dan telapak tangan atau apakah seorang laki-laki harus menutup selain pusar dan lutut ketika salat.

Penulis kitab fikih perbandingan mazhab, Muhammad Jawad Mughniyah, membahas hal ini dalam kitabnya Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah. Berikut paparannya seperti diterjemahkan Masykur AB dkk.

Pendapat Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi berpandangan wanita wajib menutup belakang dua telapak tangan dan dua telapak kakinya. Sedangkan bagi laki-laki, wajib baginya menutup bagian lutut ke atas sampai pusar.

Pendapat Mazhab Syafi’i dan Maliki

Dalam pandangan mazhab Syafi’i dan Maliki, wanita boleh membuka wajahnya dan telapak tangannya (baik dalam maupun luarnya) ketika salat.

Pendapat Mazhab Hambali

Berbeda dengan tiga mazhab sebelumnya, Hambali berpendapat tidak boleh membuka kecuali wajahnya saja.

Wanita Wajib Mengulangi Salat Jika Auratnya Terbuka

Menurut pendapat sebagian ulama besar seperti Abu Hanifah dan Ahmad, salat seorang wanita tidak sah apabila terlihat rambut, lengan, betis, dada, atau lehernya. Apabila ada sedikit saja bagian rambut atau bagian badannya yang terbuka, ia tak wajib mengulangi salatnya.

Sedangkan apabila sebagian besar auratnya terbuka, wajib baginya mengulang salat sebagaimana pendapat ulama secara umum. Pendapat ini dijelaskan dalam buku Tanya Jawab Seputar Fikih Wanita susunan A.R. Shohibul Ulum.

Syarat Penutup Aurat saat Salat

Semua ulama mazhab sepakat pakaian penutup aurat saat salat wajib suci. Mereka juga sepakat mengharamkan pemakaian sutra dan emas bagi laki-laki, tetapi boleh bagi wanita. Hal ini bersandar pada sabda Rasulullah SAW, “Diharamkan memakai sutra dan emas bagi lelaki yang menjadi umatku, dan dihalalkan bagi wanita-wanita mereka.”

Dalam Syahrul Muhadzhab terdapat kutipan Imam Syafi’i yang menyatakan, “Kalau seorang lelaki salat dengan memakai sutra, maka ia berarti telah melakukan sesuatu yang diharamkan hanya salatnya tetap sah.”

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Bolehkah Muslim Memelihara Hewan Reptil, Burung, atau Anjing?


Jakarta

Di bumi Allah, manusia hidup berdampingan dengan berbagai makhluk ciptaan-Nya, termasuk hewan yang memiliki beragam bentuk dan sifat. Dalam ajaran Islam, kita juga diajarkan untuk menyayangi hewan sebagai salah satu bentuk kasih sayang dan tanggung jawab terhadap makhluk hidup.

Salah satu cara menyayangi hewan adalah dengan merawat dan memeliharanya di lingkungan tempat tinggal. Namun, yang sering menjadi pertanyaan adalah bagaimana hukum memelihara hewan tertentu, seperti reptil, burung, atau anjing dalam pandangan Islam. Bolehkah seorang muslim memelihara hewan-hewan tersebut?

Memelihara Binatang dalam Islam

Islam tidak memberikan larangan bagi umatnya untuk memelihara hewan. Bahkan, merawat dan memperhatikan kesejahteraan binatang bisa menjadi sumber pahala asalkan tidak melanggar ketentuan syariat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah yang berbunyi, “Berbuat baik kepada semua makhluk hidup itu bernilai pahala.” (HR Bukhari)


Lantas, apakah boleh memelihara reptil, burung, atau anjing? Berikut ini penjelasan lengkapnya.

1. Reptil

Potret ular sering menjulurkan lidah.Potret ular sering menjulurkan lidah. (Foto: David Clode/Unsplash)

Reptil merupakan hewan vertebrata berdarah dingin yang tubuhnya dilapisi sisik. Binatang ini sering dikenal sebagai hewan merayap atau hewan melata.

Dalam Islam, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan sebelum memelihara hewan. Dalam bukunya Khutbah Jumat Pelestarian Satwa Langka, Hayu Susilo Prabowo menjelaskan bahwa syariat Islam menetapkan empat syarat, yaitu hewan tersebut tidak najis pada zatnya, tidak membahayakan, tidak digunakan untuk tujuan yang haram, dan wajib diberi makan serta minum.

Dalam konteks memelihara reptil, sebaiknya umat Islam tidak memelihara binatang jenis tersebut. Pasalnya, hewan reptil seperti ular dan buaya merupakan hewan fasik yang bisa menimbulkan bahaya yang besar bagi manusia.

Bahkan, alam beberapa hadits, Rasulullah bahkan menganjurkan umatnya untuk membunuh hewan melata ini. Diriwayatkan dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Lima binatang (fasiq) pengganggu yang boleh dibunuh di tanah halal maupun tanah haram adalah ular, gagak abqa’, tikus, anjing galak, dan elang.” (HR Muslim)

2. Burung

Burung cendrawasih sedang bertengger di dahan pohon. Cendrawasih adalah burung langka yang tidak boleh dipelihara.Burung cendrawasih sedang bertengger di dahan pohon. Cendrawasih adalah burung langka yang tidak boleh dipelihara. (Foto: reza pratama/Flickr/Lisensi CC BY-SA 2.0)

Burung termasuk salah satu hewan peliharaan yang paling digemari banyak orang karena suaranya yang merdu dan warnanya yang indah. Orang yang memelihara burung biasanya menyimpan peliharaannya di dalam sangkar.

Menurut buku Khutbah Jumat Pelestarian Satwa Langka karya Hayu Susilo Prabowo, memelihara burung dalam sangkar diperbolehkan dalam Islam atau hukumnya mubah. Hal ini dapat dipahami dari kisah yang diriwayatkan Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, ketika Rasulullah mengunjungi rumah Ummu Sulaim yang memiliki seorang putra bernama Abu Umair.

Rasulullah sering bercanda dengannya, hingga suatu hari beliau melihat Abu Umair bersedih. Beliau pun bertanya, “Apa yang membuat Abu Umair sedih?” Para sahabat menjawab, “Burung kecil yang biasa dia mainkan telah mati.” Rasulullah pun mendekati Abu Umair yang menangis sambil memegang sangkar burung, kemudian berkata, “Wahai Abu Umair, apa yang terjadi dengan si Nughair?” (HR Bukhari)

Dari riwayat ini, dapat dipahami bahwa Nabi tidak melarang seseorang memelihara burung selama hak-haknya tidak diabaikan. Namun, hukum memelihara burung bisa berubah menjadi haram apabila pemiliknya menyakiti dan menyiksa burung peliharaannya, baik sengaja maupun tidak disengaja.

3. Anjing

Nilo si anjing penjaga pantai SpanyolNilo si anjing penjaga pantai Spanyol Foto: (Miguel Sanchez Merenciano/Instagram)

Anjing juga merupakan salah satu hewan peliharaan favorit karena sifatnya yang setia dan mampu menjadi penjaga rumah yang baik.

Terkait hukum memelihara anjing dalam Islam, berdasarkan keterangan dari laman Kemenag, persoalan ini telah dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim. Rasulullah menyebutkan bahwa seorang muslim yang memelihara anjing tanpa alasan yang dibenarkan akan mendapatkan pengurangan pahala setiap harinya dari Allah SWT.

“Dalam riwayat Muslim, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: ‘Barang siapa yang memelihara anjing bukan untuk memburu, menjaga ternak, atau menjaga kebun, maka pahalanya akan berkurang sebanyak dua qirath setiap hari’.”

Dalam penjelasannya, hadits tersebut menunjukkan bahwa memelihara anjing diperbolehkan, tetapi hanya untuk tujuan tertentu seperti berburu, bertani, atau menjaga ternak.

Dari tiga keperluan itu, para ulama kemudian menetapkan satu ‘illah (alasan hukum), yaitu jika ada manfaat yang dibenarkan syariat sebagaimana disebutkan dalam hadits, maka memelihara anjing diperbolehkan. Maka dari itu, jika ingin memelihara anjing maka harus ada alasan yang jelas yang dibenarkan oleh syariat.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Menikah Bulan Muharram, Boleh atau Dilarang?


Jakarta

Menikah merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan dalam Islam dan menjadi bagian penting dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Namun, di tengah masyarakat, sering kali berkembang berbagai aturan tidak tertulis terkait waktu yang dianggap baik atau buruk untuk melangsungkan pernikahan.

Salah satunya adalah keyakinan bahwa menikah di bulan Muharram atau Suro akan membawa kesialan dan berbagai keburukan bagi pasangan pengantin. Lantas, bagaimana sebenarnya Islam memandang pernikahan yang dilaksanakan di bulan Muharram ini?

Menikah di Bulan Muharram dalam Masyarakat

Memasuki Muharram 1447 Hijriah, salah satu persoalan menarik yang kerap menjadi perbincangan adalah soal pernikahan. Pasalnya, berkembang keyakinan di masyarakat bahwa menikah pada bulan ini pantang untuk dilakukan.


Di Nusantara, khususnya di Jawa, pemilihan waktu pernikahan memang mendapat perhatian yang sangat serius. Jika salah memilih waktu, hal-hal buruk atau negatif dipercaya akan menghantui kehidupan rumah tangga setelah akad nikah.

Salah satu kepercayaan yang paling dikenal luas adalah larangan menikah pada Bulan Suro atau Muharram. Tradisi ini sudah mengakar dalam budaya Jawa sejak masa lampau dan masih diyakini sebagian masyarakat hingga kini.

Dalam buku Misteri Bulan Suro: Perspektif Islam Jawa karya Muhammad Sholikhin dijelaskan, sebenarnya kebiasaan tidak menikah pada Suro atau Muharram bukan didasari oleh dalil larangan agama. Melainkan lebih kepada sikap tidak berani melangsungkan hajatan besar di bulan tersebut.

Sebab, masyarakat Islam Jawa menganggap Suro sebagai bulan yang agung dan mulia, yaitu bulannya Gusti Allah. Dengan keyakinan itu, orang biasa merasa terlalu kecil atau lemah untuk menggelar perayaan, termasuk pernikahan, di waktu yang dianggap suci tersebut.

Dalam buku 79 Hadits Populer Lemah dan Palsu karya Rachmat Morado Sugiarto dijelaskan bahwa menikah pada bulan apa pun dibenarkan dan diperbolehkan.

Terkait keyakinan yang berkembang di masyarakat tentang larangan menikah pada bulan Muharram, khususnya pada hari kesepuluh atau hari Asyura, hal itu sejatinya tidak memiliki dasar dalil yang sahih. Tidak ada nash Al-Qur’an maupun hadits yang menetapkan larangan tersebut.

Dalam buku Indahnya Pernikahan & Rumahku, Surgaku karya Ade Saroni diterangkan bahwa tradisi dan larangan semacam ini ternyata sudah ada sejak masa jahiliah. Masyarakat Arab terdahulu sering meyakini waktu tertentu membawa kesialan atau keberuntungan.

Rasulullah SAW menyanggah keyakinan tersebut melalui sabdanya,

“Tidak ada (wabah yang menyebar dengan sendirinya, tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan tidak ada tanda kesialan pada bulan Shafar, menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.” (HR al-Bukhari)

Hadits ini bertujuan menjelaskan bahwa anggapan suatu waktu dapat mempengaruhi nasib baik atau buruk dengan sendirinya adalah keliru. Semua kejadian di bumi terjadi atas kehendak Allah SWT yang telah ditetapkan sejak zaman azali.

Dalam ajaran syariat Islam, tidak ada konsep yang mengaitkan keburukan dengan waktu tertentu, baik itu hari maupun bulan. Keyakinan bahwa suatu peristiwa atau masa tertentu membawa kesialan dikenal sebagai thiyarah, sebagaimana dijelaskan dalam penelitian berjudul Tinjauan Hukum Islam terhadap Larangan Menikah pada Bulan Muharram karya Erwan Azizi al-Hakim dari IAIN Jember.

Berbahaya sekali jika kita menyimpulkan suatu hal akan membawa nasib baik atau buruk tanpa dasar syariat. Sebab, hal ini bisa menjerumuskan pada dosa syirik, yaitu percaya kepada selain Allah dalam menentukan takdir dan kejadian di hidup kita.

Wallahu a’lam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Apakah Boleh Berdoa dengan Bahasa Indonesia? Ini Jawaban Ustaz


Jakarta

Berdoa adalah cara seorang muslim berbicara kepada Allah dan menyampaikan harapan, kebutuhan, maupun kesulitannya. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk berdoa kepada-Nya dalam surah Ghafir ayat 60.

Allah SWT berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ


Arab latin: Wa qāla rabbukumud’ūnī astajib lakum, innal-lażīna yastakbirūna ‘an ‘ibādatī sayadkhulūna jahannama dākhirīn(a).

Artinya: Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan). Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk (neraka) Jahanam dalam keadaan hina dina.”

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah sangat dekat dengan hamba-Nya yang berdoa. Namun, muncul pertanyaan yang cukup sering ditanyakan oleh umat Islam di Indonesia: apakah boleh berdoa menggunakan bahasa Indonesia, terutama saat sedang menjalankan salat?

Penjelasan mengenai hal ini pernah disampaikan oleh Buya Yahya, pengasuh LPD Al Bahjah Cirebon, dalam kajiannya di kanal YouTube Al Bahjah TV.

Buya Yahya menjelaskan ada waktu-waktu istimewa dalam ibadah, salah satunya adalah ketika sedang sujud dalam salat. Menurutnya, sujud adalah momen paling dekat antara seorang hamba dengan Allah.

“Saat itulah kita sangat dekat kepada Allah, maka di saat seperti itulah perbanyak untuk memohon. Hal ini Nabi yang mengajarkan,” ujar Buya Yahya. detikHikmah telah mendapatkan izin oleh tim Al Bahjah TV untuk mengutip ceramah Buya Yahya.

Dengan demikian, saat sujud menjadi waktu terbaik untuk menyampaikan doa. Banyak orang terkadang melewatkan momen ini dengan terburu-buru, padahal justru saat itulah dianjurkan untuk memohon sebanyak-banyaknya.

Bolehkah Berdoa dalam Bahasa Indonesia saat Salat?

Mengenai penggunaan bahasa Indonesia saat berdoa dalam salat, Buya Yahya menyampaikan pandangan mayoritas ulama.

“Apakah boleh membaca doa menggunakan bahasa Indonesia? Sebagian besar para ulama mengatakan tidak diperkenankan. Karena selain dari bahasa Arab, dianggap ajnabi dan dapat membatalkan salat,” jelas Buya Yahya.

Dalam hal ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa doa dalam salat harus tetap menggunakan bahasa Arab. Penggunaan bahasa lain dianggap tidak sesuai dan bisa membatalkan keabsahan salat itu sendiri. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk mempelajari dan menghafalkan doa-doa yang sah dibaca dalam salat.

Berdoa di Luar Salat Bisa Pakai Bahasa Apa Saja

Bagi yang belum bisa berdoa dalam bahasa Arab, Buya Yahya menganjurkan untuk mempelajarinya secara perlahan. Doa-doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sangat banyak dan bisa dijadikan rujukan utama. Untuk keinginan pribadi yang belum bisa diungkapkan dalam bahasa Arab, sebaiknya disampaikan di luar salat.

Buya Yahya juga menjelaskan bahwa di luar salat, umat Islam boleh berdoa menggunakan bahasa apa saja, termasuk bahasa Indonesia.

“Bacalah doa-doa di dalam salat dengan bahasa Arab, adapun di luar salat, bebas, tapi ingat kaidahnya, sebaik-baik doa adalah doa yang pernah dibaca oleh Nabi,” lanjut ulama kelahiran Blitar itu.

Dengan demikian, tidak ada larangan menggunakan bahasa Indonesia untuk berdoa selama tidak sedang dalam keadaan salat. Namun, sebaiknya tetap mengutamakan doa-doa yang bersumber dari Nabi karena lebih terjamin makna dan keberkahannya.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Bolehkah Niat Puasa Senin Kamis setelah Subuh? Ini Penjelasannya


Jakarta

Bagi umat Islam, ibadah puasa sunah Senin dan Kamis adalah amalan yang sangat dianjurkan. Rasulullah SAW sendiri senantiasa melaksanakannya.

Namun, seringkali muncul pertanyaan tentang waktu niat puasa ini, terutama apakah boleh berniat setelah waktu subuh? Mari kita telaah lebih jauh berdasarkan dalil dan penjelasan para ulama.

Keutamaan Puasa Senin Kamis

Menukil kitab Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq terjemahan Abu Aulia dan Abu Syauqina, puasa Senin Kamis memiliki keutamaan yang besar. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:


إِنَّ الْأَعْمَالَ تُعْرَضُ كُلَّ اثْنَيْنِ وَخَمِيْسٍ فَيَغْفِرُ اللَّهُ لِكُلِّ مُسْلِمٍ أَوْ لِكُلِّ مُؤْمِنٍ إِلَّا الْمُتَهَاجِرَيْنِ فَيَقُولُ : أَخِّرُوهُمَا

Artinya: “Sesungguhnya amal-amal manusia dilaporkan (kepada Allah) pada hari Senin dan Kamis. Lalu Allah mengampuni setiap muslim atau setiap mukmin, kecuali dua orang yang saling menjauh. Allah berkata, ‘Tangguhkanlah untuk keduanya’.” (HR Ahmad dalam Musnad Ahmad)

Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan alasan khusus beliau berpuasa di hari Senin:

ذَاكَ يَوْمَ وُلِدْ فِيهِ، وَأُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ

Artinya: “Itu adalah hari kelahiranku dan diturunkannya wahyu kepadaku.” (HR Muslim dalam Shahih Muslim dan Ahmad dalam Musnad Ahmad)

Keutamaan ini menjadikan puasa Senin Kamis sebagai amalan yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan.

Niat Puasa Senin Kamis

Arba’in an-Nawawi dalam kitab Syarah Hadits Shahih yang diterjemahkan Abd. Rouf mengatakan, dalam setiap ibadah, niat adalah pondasi utama yang menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan. Hal ini ditegaskan dalam hadits terkenal riwayat Umar bin Khattab RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR Bukhari dan Muslim)

Batas Waktu Niat Puasa Senin Kamis: Bolehkah setelah Subuh?

Perbedaan mendasar antara puasa wajib (seperti puasa Ramadan) dan puasa sunnah (seperti Senin Kamis) terletak pada batas waktu niatnya. Fadhlan Fatazka dalam buku Jamuan Ramadhan karya menjelaskan, tanpa niat, puasa seseorang tidak akan sah dan berakhir sia-sia.

Untuk puasa wajib, niat harus dilakukan pada malam hari, yaitu sebelum terbit fajar (waktu subuh). Hadits Rasulullah SAW dengan tegas menyatakan:

“Barang siapa tidak berniat puasa di waktu malam maka tidak ada puasa baginya (tidak sah).” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)

“Barang siapa tidak berniat puasa sebelum terbit fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR Baihaqi dan Addaruquthni)

Namun, hal ini berbeda dengan puasa sunnah. Dijelaskan dalam buku Fikih Puasa karya Ali Musthafa Siregar, waktu niat puasa sunnah dimulai dari tenggelamnya matahari (waktu magrib) hingga tergelincirnya matahari (waktu zuhur) pada hari puasa tersebut.

Syaratnya adalah orang yang berniat tersebut belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak subuh.

Ini berarti, detikers boleh niat puasa Senin Kamis setelah subuh asalkan belum makan, minum, atau melakukan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak subuh hingga waktu niat tersebut.

Sebagai contoh, jika Anda bangun di pagi hari dan lupa berniat puasa Senin Kamis di malam sebelumnya, Anda masih bisa berniat puasa hingga menjelang waktu Zuhur, asalkan Anda belum mengonsumsi apapun sejak subuh.

Mengacu pada jadwal sholat, niat puasa sunnah Senin dapat dilakukan mulai dari waktu magrib di hari Minggu hingga sekitar pukul 12:00 WIB (waktu zuhur) pada hari Senin. Demikian pula untuk puasa Kamis, niatnya bisa dilakukan dari magrib hari Rabu hingga waktu zuhur pada hari Kamis.

Bacaan Niat Puasa Senin Kamis

Berikut adalah bacaan niat untuk puasa Senin dan Kamis:

Niat Puasa Senin

نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitu shauma yaumil itsnaini lillâhi ta’âlâ

Artinya: “Aku berniat puasa sunah hari Senin karena Allah ta’âlâ.”

Niat Puasa Kamis

نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمِ الخَمِيْسِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitu shauma yaumil khamîsi lillâhi ta’âlâ

Artinya: “Aku berniat puasa sunah hari Kamis karena Allah ta’âlâ.”

Dengan memahami perbedaan waktu niat ini, kita bisa lebih tenang dan yakin dalam menjalankan ibadah puasa sunah Senin dan Kamis. Semoga Allah SWT menerima setiap amalan kita.

Wallahu a’lam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Checklist Ibadah Keluarga Selama Bulan Muharram


Jakarta

Bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan yang dimuliakan dalam Islam. Pada bulan ini, kaum muslim dianjurkan memperbanyak amal kebaikan dan menjauhi perbuatan maksiat.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 36:

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ


Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauhulmahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.

Karena kemuliaannya, bulan Muharram menjadi momentum istimewa untuk menghidupkan berbagai ibadah.

Selain beribadah secara pribadi, menjalankan ibadah bersama keluarga memiliki keutamaan tersendiri. Kebersamaan dalam beribadah mempererat hubungan antaranggota keluarga, menciptakan suasana rumah yang lebih harmonis, serta menumbuhkan semangat beribadah, khususnya pada anak-anak. Rasulullah SAW pun mencontohkan banyak ibadah yang dilakukan bersama keluarga sebagai sarana pendidikan dan penanaman nilai-nilai kebaikan.

Mengacu pada buku Kalender Ibadah Sepanjang Tahun karya Ustadz Abdullah Faqih Ahmad Abdul Wahid, berikut adalah checklist ibadah yang dapat dijalankan bersama keluarga selama bulan Muharram:

Checklist Ibadah Bersama Keluarga pada Bulan Muharram

1. Puasa di Penghujung Dzulhijjah dan Awal Muharram

Puasa pada hari terakhir Dzulhijjah dan hari pertama Muharram dianjurkan dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda bahwa orang yang berpuasa pada kedua hari ini akan diampuni dosanya, meskipun dosanya sebanyak dosa lima puluh tahun. Namun, hadits ini dinilai lemah.

Melaksanakan puasa bersama keluarga tidak hanya menambah semangat, tetapi juga menanamkan nilai kesabaran dan kebersamaan.

2. Membaca Doa Akhir Tahun

Pada sore hari terakhir bulan Dzulhijjah, umat Islam dianjurkan membaca doa akhir tahun. Doa ini memohon ampunan atas kesalahan dan dosa yang dilakukan selama setahun penuh. Membaca doa secara bersama-sama dengan keluarga menjadi momen refleksi bersama dan memperkuat ikatan spiritual dalam rumah tangga.

3. Membaca Doa Awal Tahun

Saat memasuki malam 1 Muharram, umat Islam dianjurkan membaca doa awal tahun sebanyak tiga kali. Terdapat riwayat bahwa Allah akan mengutus malaikat untuk menjaga orang yang membaca doa ini dari gangguan setan sepanjang tahun. Membaca doa bersama keluarga menumbuhkan semangat mengawali tahun baru Hijriah dengan penuh harapan dan tekad menjadi pribadi yang lebih baik.

4. Menghidupkan Malam Pertama Muharram

Malam pertama bulan Muharram termasuk malam yang mulia. Beberapa amalan yang bisa dilakukan bersama keluarga antara lain:

  • Membaca Al-Qur’an
  • Berdzikir bersama
  • Mengerjakan salat sunnah seperti Tahajud, Hajat, dan Taubat
  • Salat sunnah seratus rakaat, meskipun tidak wajib dilakukan bagi yang merasa berat
  • Salat sunnah dua rakaat dengan bacaan khusus seperti surat Al-An’am atau Yasin

Kegiatan ini sekaligus menjadi sarana mendidik anak-anak untuk mencintai ibadah malam sejak usia dini.

5. Dzikir setelah Salat Subuh

Sebagian ulama menganjurkan membaca basmalah dan Ayat Kursi masing-masing 360 kali setelah Subuh di bulan Muharram. Jika dilakukan bersama keluarga, bacaan bisa dibagi, sehingga terasa lebih ringan. Amalan ini diyakini membuka pintu rezeki dan melindungi dari berbagai mara bahaya.

6. Puasa Hari Pertama Muharram

Rasulullah SAW bersabda, “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan adalah puasa pada bulan Allah, yaitu Muharram.” Melaksanakan puasa di awal Muharram dapat menjadi awal yang baik dalam memulai tahun baru hijriah bersama keluarga.

7. Puasa Tasu’a (9 Muharram)

Tanggal 9 Muharram dikenal dengan puasa Tasu’a. Rasulullah SAW ingin berpuasa pada hari tersebut agar berbeda dari kebiasaan kaum Yahudi. Puasa ini bisa dijadikan kebiasaan baik bersama keluarga untuk meneladani sunnah Nabi.

8. Puasa Asyura (10 Muharram)

Puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram memiliki banyak keutamaan. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa orang yang berpuasa di hari Asyura akan mendapatkan pahala yang sangat besar, bahkan setara dengan pahala para malaikat, haji, umrah, dan para syuhada.

9. Mengerjakan Amalan di Hari Asyura

Selain berpuasa, amalan lainnya yang dianjurkan di hari Asyura antara lain:

  • Mengusap kepala anak yatim
  • Bersedekah
  • Memberi makan orang yang berbuka
  • Menjalin silaturahmi
  • Membaca surat Al-Ikhlas sebanyak seribu kali
  • Mengajak keluarga melakukan amalan-amalan ini menjadi sarana menanamkan nilai kepedulian dan solidaritas sosial.

10. Membaca Doa Asyura

Doa Asyura dianjurkan dibaca setelah Maghrib pada tanggal 10 Muharram. Doa ini bisa dibaca minimal tujuh kali, atau lebih utama dibaca hingga tujuh puluh kali. Membaca doa bersama keluarga menumbuhkan kekhusyukan dan rasa kebersamaan dalam berdoa kepada Allah SWT.

11. Puasa Tanggal 11 Muharram

Beberapa ulama, termasuk Ibnu Qayyim, menganjurkan puasa pada tanggal 11 Muharram agar berbeda dengan kebiasaan kaum Yahudi. Puasa ini dapat menjadi amalan bersama keluarga yang memperkuat tekad menjalankan sunnah Rasulullah SAW.

12. Puasa Ayyamul Bidh (13, 14, 15 Muharram)

Selain Asyura, umat Islam juga dianjurkan berpuasa pada tanggal 13, 14, dan 15 Muharram. Puasa Ayyamul Bidh adalah salah satu puasa sunnah yang memiliki keutamaan besar. Melakukannya bersama keluarga bisa menjadi latihan disiplin spiritual sekaligus sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Keutamaan Beribadah Bersama Keluarga

Menjalankan ibadah bersama keluarga bukan sekadar melaksanakan ritual agama, tetapi juga memiliki banyak keutamaan, di antaranya:

  • Memperkuat ikatan emosional dan spiritual dalam rumah tangga
  • Menjadi sarana saling mengingatkan dalam kebaikan
  • Menanamkan nilai-nilai agama sejak dini kepada anak-anak
  • Menciptakan suasana rumah yang penuh berkah dan ketenangan
  • Membiasakan kebersamaan dalam melakukan kebaikan

Rumah yang di dalamnya dipenuhi lantunan doa, bacaan Al-Qur’an, dan aktivitas ibadah akan menjadi rumah yang tenteram dan dirindukan para penghuninya. Bulan Muharram menjadi momen yang tepat untuk memulai kebiasaan baik ini.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com