Category Archives: Kisah

Kisah Nu’aiman, Sahabat Nabi yang Menyembelih Unta Tamu



Jakarta

Nu’aiman adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang jenaka. Salah satu kisah lucunya, ia pernah menyembelih unta milik tamu Rasulullah SAW.

Kisah Nu’aiman menyembelih unta tamu ini diceritakan Abu as-Syaikh al-Ashbahani dalam Akhlaq an-Nabi wa Adabuhu dengan bersandar riwayat Hisyam ibn Urwah dari ayahnya.

Diceritakan, seorang Arab pedalaman datang mengendarai untanya hingga berhenti di depan pintu Masjid Nabawi. Kemudian dia masuk menemui Nabi Muhammad SAW. Sementara itu, Hamzah ibn Abdul Muthalib sedang duduk bersama beberapa Muhajirin dan Anshar, di antaranya adalah Nu’aiman.


Mereka pun berkata kepada Nu’aiman, “Hebat, untanya itu gemuk. Maukah kamu menyembelihnya karena kita benar-benar ingin makan daging? Andaikan kamu melakukannya, pastilah Rasulullah SAW akan berutang untuk membayarnya, dan kita pun bisa makan daging.”

Nu’aiman berkata, “Tapi jika aku melakukannya dan kalian memberitahukan perbuatanku kepada Rasulullah SAW, pastilah beliau memarahiku.”

“Kamu (kami anggap) tidak melakukan apa-apa!” sahut mereka.

Nu’aiman pun bangkit dan menyembelih leher unta itu, lalu pergi buru-buru. Dia melewati Miqdad bin Amru yang baru saja selesai menggali sebuah lubang dan mengeluarkan tanah dari dalamnya.

Nu’aiman berkata, “Wahai Miqdad, sembunyikanlah aku di dalam lubang ini. Tutupilah aku dan jangan tunjukkan tempatku kepada siapa pun karena aku telah melakukan sesuatu.” Miqdad pun melakukannya

Ketika orang Arab pedalaman itu keluar, dia melihat untanya (yang sudah mati) dan berteriak histeris. Maka Nabi Muhammad SAW. keluar dari rumah dan bertanya, Siapakah yang melakukan ini?”

“Nu’aiman,” jawab para sahabat. Nabi Muhammad SAW bertanya, “Ke manakah dia pergi?”

Beliau lantas mencarinya bersama Hamzah dan para sahabatnya yang lain, hingga mereka mendatangi Miqdad. Beliau bertanya kepadanya, “Apakah engkau melihat Nu’aiman?”

Miqdad diam seribu bahasa. Beliau pun bersabda, “Beritahukanlah kepadaku di mana dia?”

“Aku tidak tahu apa-apa tentangnya,” jawab Miqdad sambil menunjuk ke tempat persembunyian Nu’aiman.

Maka beliau mengungkap persembunyian Nu’aiman dan bersabda, “Wahai musuh bagi dirinya sendiri, apakah yang telah mendorongmu melakukan perbuatanmu itu?”

Nu’aiman menjawab, “Demi Dia yang mengutusmu membawa kebenaran yang telah menyuruhku melakukannya adalah Hamzah dan teman-temannya. Mereka mengatakan begini dan begitu.”

Beliau pun meminta orang Arab pedalaman itu untuk merelakan untanya. Beliau bersabda, “Unta ini menjadi urusan kalian (harus kalian bayar), dan mereka pun memakannya.”

Apabila Rasulullah SAW mengingat kelakuan Nu’aiman itu maka beliau tertawa sampai-sampai gigi geraham beliau tampak.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Tukang Sol Sepatu, Jadi Haji Mabrur Padahal Tak Berhaji ke Makkah



Jakarta

Setiap umat Islam tentunya memiliki keinginan untuk bisa menunaikan ibadah haji dan mendapat predikat haji mabrur. Namun, tahukah detikers bahwa ada kisah seorang menyandang predikat haji mabrur, padahal dia tidak berangkat ke Baitullah di Makkah. Seperti apa kisahnya?

Kisah Seorang Haji Mabrur Padahal Tidak Berangkat ke Baitullah

Kisah ini dikutip dari Buku Koleksi Hadits dan Kisah Teladan Muslim tulisan Ahmad Saifudin dan tulisan Mahdi berjudul Kisah Diterimanya Ibadah Haji Seorang Hamba Meski Tidak Berangkat ke Tanah Suci dalam situs resmi Kemenag.

Kisah ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Al Mubarak, bahwa pada suatu masa setelah menyelesaikan ritual ibadah haji, Abdurrahman Abdullah bin Al Mubarak beristirahat dan tidur. Saat tidur, dia bermimpi melihat dua Malaikat turun dari langit dan mendengar percakapan mereka.


Salah satu Malaikat bertanya kepada yang lain, “Berapa banyak orang yang datang untuk berhaji tahun ini?”.

“Mereka adalah enam ratus ribu jamaah,” jawab Malaikat yang ditanya.

Lalu, Malaikat pertama bertanya lagi, “Berapa banyak dari mereka yang haji mereka diterima?”.

“Tidak ada satupun,” jawab Malaikat yang pertama.

Percakapan itu membuat Abdullah Al Mubarak merasa gemetar.

“Dalam mimpiku,” dia menangis, “Apakah semua orang ini datang dari tempat-tempat jauh dengan perjuangan dan kelelahan, melewati gurun pasir yang luas, hanya untuk semua usahanya menjadi sia-sia?”.

Sambil gemetar, dia terus mendengarkan percakapan kedua malaikat itu.

“Namun ada seseorang yang meskipun tidak berhaji, amal perbuatan hajinya diterima oleh Allah dan semua dosanya diampuni. Berkat dia, seluruh jamaah haji diterima oleh Allah.”

“Bagaimana bisa begitu?” tanya Malaikat pertama.

“Itu adalah kehendak Allah.”

“Siapa orang itu?” tanya Malaikat pertama lagi.

“Orang itu adalah Ali bin Al Muwaffaq, tukang sol sepatu di Kota Damaskus.”

Setelah mendengar ucapan itu, Abdullah Al Mubarak terbangun dari tidurnya. Setelah pulang dari ibadah haji, dia tidak langsung kembali ke rumahnya, tetapi pergi langsung ke Damaskus, Syria. Hatinya masih gemetar dan penuh pertanyaan.

Ketika dia sampai di sana, dia mencari tukang sol sepatu yang disebutkan oleh Malaikat dalam mimpinya. Dia bertanya kepada hampir semua tukang sol sepatu apakah ada seorang tukang sol sepatu bernama Ali bin Al Muwaffaq.

“Ada, di tepi kota,” jawab salah seorang tukang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya.

Setelah mencapai tempat itu, dia menemukan seorang tukang sol sepatu yang berpakaian sangat sederhana. “Apakah Anda Ali bin Al Muwaffaq?” tanya bin Al Mubarak.

“Iya, tuan. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya ingin tahu apa yang telah Anda lakukan sehingga Anda berhak mendapatkan pahala haji yang diterima oleh Allah, padahal Anda tidak berangkat haji.”

“Saya sendiri tidak tahu, tuan.”

“Ceritakanlah kehidupan Anda selama ini.”

Ali bin Al Muwaffaq pun menceritakan, “Selama puluhan tahun, setiap hari saya menyisihkan sebagian uang dari penghasilan saya sebagai tukang sol sepatu. Saya menabung sedikit demi sedikit hingga akhirnya pada tahun ini, saya memiliki 350 dirham, jumlah yang cukup untuk berhaji. Saya sudah siap untuk berangkat haji.”

“Tapi Anda tidak berangkat haji.”

“Benar.”

“Apa yang terjadi?”

“Pada saat itu, istri saya hamil dan sedang mengidam. Ketika saya hendak berangkat, dia sangat mengidamkan aroma masakan yang lezat.”

“Suamiku, bisakah kau mencium aroma masakan yang sedap ini?”

“Iya, sayang.”

“Cobalah cari siapa yang memasak, aroma masakannya begitu lezat. Tolong mintakan sedikit untukku,” pintanya.

“Akhirnya, saya mencari sumber aroma masakan itu. Ternyata berasal dari gubuk yang hampir roboh. Di sana, ada seorang janda dan enam anaknya. Saya mengatakan kepadanya bahwa istri saya menginginkan masakan yang dia masak, meskipun hanya sedikit. Janda itu diam dan memandang saya, jadi saya mengulangi kata-kata saya,” ungkap Ali bin Al Muwaffaq.

Akhirnya, dengan sedikit ragu, dia mengatakan, “Tidak boleh, tuan.”

“Apa pun harganya, saya akan membelinya.”

“Makanan ini tidak dijual, tuan,” katanya sambil meneteskan air mata.

“Mengapa?” tanya Ali.

Dengan berlinang air mata, janda itu menjawab, “Makanan ini halal bagi kami, tapi haram bagi tuan.”

Dalam hatinya, Ali bin Al Muwaffaq bertanya, “Bagaimana mungkin ada makanan yang halal bagi dia, tapi haram bagi saya, padahal kita sama-sama muslim?” Karena itu, dia mendesaknya lagi, “Kenapa?”

“Selama beberapa hari ini, kami tidak memiliki makanan. Di rumah kami tidak ada makanan sama sekali. Hari ini, kami melihat seekor keledai mati, jadi kami mengambil sebagian dagingnya untuk dimasak dan dimakan,” janda itu menjelaskan dengan terisak.

Mendengar cerita itu, saya menangis dan pulang ke rumah. Saya menceritakan kejadian tersebut kepada istri saya, dan dia juga menangis. Akhirnya, kami memasak makanan dan pergi ke rumah janda tersebut.

“Kami membawa makanan untukmu.”

Saya memberikan 350 dirham, uang yang saya kumpulkan untuk berhaji, kepada mereka. “Gunakan uang ini untuk keluarga Anda. Gunakan untuk usaha agar Anda tidak kelaparan lagi.”

Mendengar cerita itu, Abdullah Al Mubarak tidak bisa menahan air mata. Ternyata, inilah amal yang dilakukan oleh Sa’id bin Muhafah sehingga Allah menerima amalan hajinya, meskipun dia tidak berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Nawas Mencari Neraka di Siang Hari



Jakarta

Abu Nawas adalah seorang penyair Arab klasik dan terkenal. Meski populer dan kerap disapa dengan Abu Nawas, sebetulnya panggilan tersebut bukanlah nama aslinya.

Mengutip dari buku Abu Nawas Sufi dan Penyair Ulung yang Jenaka susunan Muhammad Ali Fakih, julukan Abu Nuwas ia peroleh karena rambutnya yang ikal dan panjang sebahu. Nama lengkapnya ialah Abu Ali al-Hasan bin Hani’ al-Hakami.

Abu Nawas lahir di provinsi Ahwaz sekitar Khuzistan, barat daya Persia tahun 757 M. Walau begitu, banyak perbedaan pendapat terkait tahun lahir Abu Nawas.


Disebutkan dalam buku Kisah Lucu Kecerdasan Abu Nawas yang ditulis oleh Sukma Hadi Wiyanto, ketika beranjak dewasa Abu Nawas membantu sang paman bekerja sebagai pembuat minyak wangi. Seusai bekerja, ia sering pergi ke masjid untuk belajar berbagai ilmu agama dan pengetahuan lain, seperti syair, fikih, dan ilmu hadits. Abu Nawas terkenal sebagai murid yang cerdik dan antusias dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

Suatu hari, Abu Nawas bertemu dengan Abu Usamah yang merupakan ahli sastra sekaligus pujangga terkenal. Ia sangat terkesima dengan kemampuan Abu Nawas membuat syair hingga diajarkan berbagai ilmu mengenai syair.

Dikenal sebagai sosok yang jenaka dan cerdas, banyak kisah menarik mengenai Abu Nawas, salah satunya ketika ia bersikeras mencari neraka. Kala itu, Abu Nawas merupakan seorang staf ahli dari Khalifah Harun Al-Rasyid.

Pada suatu siang, Abu Nawas membawa lampu minyak dan menggoyangkannya sembari berhenti pada setiap sudut rumah. Setelahnya, ia kembali berjalan dengan lampu yang masih dipegangnya.

Tingkah Abu Nawas menggegerkan penghuni Baghdad. Mereka heran, bagaimana bisa orang secerdas Abu Nawas berjalan di siang hari ketika sinar Matahari menyorot sambil membawa lampu?

“Abu Nawas mulai gila,” kata salah seorang warga Baghdad yang tengah memperhatikan Abu Nawas.

Walau begitu, Abu Nawas tidak peduli. Keesokan harinya ia melakukan hal yang sama, hanya saja kali ini lebih pagi sambil tetap membawa lampu minyak. Tanpa bersuara, Abu Nawas menoleh ke kanan dan kiri.

Beberapa orang yang menyaksikan tingkah Abu Nawas lantas bertanya kepada Abu Nawas. Apa yang sebenarnya ia cari di siang hari dengan lampu di tangannya?

Abu Nawas lalu menjawab, “Saya sedang mencari neraka,”

Dari situlah, para warga mulai berpikiran bahwa Abu Nawas gila. Bahkan di hari ketiga ia masih melakukan hal yang sama dan membawa lampu minyak yang digoyang-goyangkan.

Warga Baghdad yang tidak sabar akan perilaku Abu Nawas, lantas menangkapnya. Di Baghdad, ada sebuah undang-undang yang melarang orang gila berkeliaran.

Sejumlah musuh politik Harun Al-Rasyid justru gembira melihat Abu Nawas ditangkap. Mereka menganggap ketidakwarasan Abu Nawas bisa dijadikan sebagai senjata untuk menyudutkan wibawa sang khalifah.

Malu bukan main atas perilaku Abu Nawas, Khalifah Harun Al-Rasyid bertanya dengan nada tinggi,

“Abu Nawas, apa yang kamu lakukan dengan lampu minyak itu siang-siang?”

“Hamba mencari neraka, paduka yang mulia,” jawab Abu Nawas lancar, tidak ada tanda-tanda bahwa dirinya gila.

“Kamu gila, Abu Nawas. Kamu gila!”

“Tidak paduka, merekalah yang gila,”

“Siapa mereka?”

Abu Nawas kemudian meminta orang-orang yang tadi menangkap dan menggiringnya menuju istana untuk dikumpulkan. Setelah berkumpul di depan istana, Abu Nawas didampingi khalifah Harun mendatangi mereka.

“Wahai kalian orang yang mengaku waras, apakah kalian selama ini menganggap orang lain yang berbeda pikiran dan berbeda pilihan dengan kalian adalah munafik?” tanya Abu Nawas.

“Benar!” jawab orang-orang itu yang berjumlah ribuan.

“Apakah kalian juga yang menyatakan para munafik itu sesat?”

“Betul, dasar sesat!”

“Jika mereka munafik dan sesat, apa konsekuensinya?”

“Orang munafik pasti mereka masuk neraka! Dasar munafik, kamu!”

Mendengar itu, Abu Nawas kembali menimpali, “Baik, jika saya munafik, sesat, dan masuk neraka, di mana neraka yang kalian maksud? Punya siapa neraka itu?”

Saat berucap demikian, Abu Nawas mengangkat tinggi-tinggi lampu di tangannya. Ini dilakukan seakan-akan dirinya sedang mencari sesuatu.

Jawaban Abu Nawas membuat orang-orang yang berada di depan khalifah Harun habis kesabaran. Mereka merasa diledek dengan mimik Abu Nawas.

“Hai Abu Nawas, tentu saja neraka ada di akhirat dan itu milik Allah. Kenapa kamu tanya?”

“Paduka mohon maaf. Tolong sampaikan pada mereka, jika neraka ada di akhirat dan yang punya neraka adalah Allah, kenapa mereka di dunia ini gemar sekali menentukan orang lain masuk neraka?” tanya Abu Nawas.

“Apakah mereka asisten Allah yang tahu bocoran catatan Allah? Atau jangan-jangan merekalah yang gila?” lanjutnya.

Ucapan Abu Nawas membuat khalifah Harun Al-Rasyid tertawa. Sungguh jenaka sosok Abu Nawas di mata khalifah Harun, ia lalu berkata sambil masih tergelak, “Abu Nawas, besok siang lanjutkan mencari neraka. Jika sudah ketemu, jebloskan orang-orang ini ke dalamnya,”

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Haji Pertama Rasulullah Sekaligus yang Terakhir



Jakarta

Rasulullah SAW melaksanakan haji sekali seumur hidup. Beliau menunaikan haji pertama sekaligus terakhirnya pada 10 H.

Sebelum itu, belum diwajibkan dan Nabi Muhammad SAW juga tidak pernah melaksanakan haji setelah Haji Wada. Hal itu sebagaimana dijelaskan Said Ramadhan al-Buthy dalam Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah Ma’a Mujaz Litarikh al-Khilafah ar-Rasyidah.

Sementara itu, dalam Jawami as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hazm al-Andalusi dikatakan, Rasulullah SAW berhaji dan berumrah berkali-kali sebelum kenabian dan setelahnya, tetapi sebelum hijrah. Setelah hijrah ke Madinah, beliau hanya berhaji satu kali.


Para sahabat menyebut haji yang dilaksanakan Rasulullah SAW sebagai Hajjatul Islam (haji pertama dalam Islam) atau Hajjatu Rasulillah (haji wajib yang dilaksanakan Rasulullah SAW).

Kisah haji pertama dan terakhir Rasulullah SAW yang juga disebut dengan Haji Wada ini juga dijelaskan dalam Ar-Rahiq al-Makhtum-Sirah Nabawiyah karya Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dan Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam.

Diceritakan, memasuki bulan Zulkaidah, Rasulullah SAW bersiap-siap untuk melaksanakan ibadah haji dan memerintahkan kaum Muslimin untuk mempersiapkan perbekalan.

Ibnu Ishaq mendengar dari Abdurrahman bin Qasim, dari ayahnya, Qasim bin Muhammad, dari Aisyah, istri Nabi yang mengatakan, “Rasulullah berangkat untuk menunaikan ibadah haji pada tanggal 25 Zulkaidah.”

Pada saat itu, Rasulullah SAW mengangkat Abu Dujanah as-Saidi sebagai pemimpin sementara di Madinah. Pendapat lain mengatakan bahwa yang ditunjuk adalah Siba bin Urfuthah al Ghifari.

Allah SWT menghendaki Rasulullah SAW bisa menyaksikan buah dakwah yang beliau perjuangkan melawan beragam kesulitan selama lebih dari dua puluh tahun. Maka beliau mengumpulkan berbagai kabilah Arab di pinggiran Kota Makkah untuk ditanyai tentang syariat dan hukum-hukum agama.

Beliau minta persaksian mereka bahwa beliau telah menunaikan amanah, menyampaikan risalah, dan menasihati umat. Nabi mengumumkan niatnya untuk melaksanakan Haji Wada yang mabrur.

Mendengar pengumuman itu, orang-orang berdatangan ke Madinah Mereka semua ingin ikut bersama Rasulullah SAW. Pada hari Sabtu, lima hari sebelum berakhirnya bulan Zulkaidah, Nabi berkemas siap untuk berangkat. Beliau menyisir rambut, memakai jubah, dan memakai minyak wangi. Beliau membawa unta dan berangkat selepas zuhur

Setelah fajar menyingsing, beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Malam ini aku didatangi oleh utusan Tuhanku. la berkata, ‘Salatlah di lembah yang diberkahi ini dan katakan, umrah beserta haji.'” (HR Bukhari dari Umar)

Sebelum salat Zuhur, beliau mandi untuk berihram. Aisyah RA lalu memercikkan minyak dzariyah dan minyak yang bercampur kesturi di tubuh dan kepala Nabi Muhammad SAW hingga kilaunya terlihat di kening dan jenggot beliau.

Wewangian itu dibiarkan saja dan tidak dibasuh. Setelah itu, beliau memakai jubah dan selendang. Perjalanan Rasulullah sampai di dekat Makkah. Beliau bermalam di Dzu Thuwa lalu memasuki Makkah setelah shalat subuh dan mandi pada hari Ahad 4 Zulhijah 10 H.

Perjalanan ini ditempuh selama delapan hari, setelah memasuki Masjidil Haram, beliau tawaf di Baitullah dan melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah.

Beliau tidak bertahallul karena yang dilakukan adalah haji qiran. Dalam rombongan itu digiring pula hewan-hewan kurban. Selanjutnya beliau beristirahat di Hajun dan tidak lagi melakukan thawaf kecuali thawaf untuk haji.

Para sahabat yang tidak membawa hewan kurban diperintahkan agar menjadikan ihramnya sebagai umrah. Lalu mereka melakukan tawaf berkeliling Ka’bah, disusul melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah kemudian bertahallul dengan sempurna.

Setelah itu, Rasulullah SAW melanjutkan ibadah hajinya, memperlihatkan kepada mereka tata cara ibadahnya, mengajari mereka sunnah-sunnah haji, dan berpidato di depan orang banyak untuk menjelaskan segala sesuatu yang perlu dijelaskan.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nuaiman dan Hadiah Madu untuk Rasulullah SAW



Jakarta

Nabi Muhammad SAW memiliki sahabat yang terkenal jahil dan sering membuat orang lain tertawa. Nu’aiman bin Ibnu Amr bin Raf’ah namanya, ia merupakan sahabat Rasulullah yang berasal dari kalangan Anshar.

Dalam beberapa catatan sejarah, dijelaskan bahwa Nabi Muhammad kerap tertawa dan gembira bila berada di dekat Nu’aiman saking jenakanya pria tersebut. Berkaitan dengan itu, ada sebuah kisah lucu mengenai Nu’aiman memberikan hadiah madu untuk Rasulullah.

Mengutip dari buku Janibal Ma’rifat tulisan Dafiq Rohman, suatu hari Nu’aiman membeli madu dari seorang Badui. Tanpa membayarnya, dia mengajak orang tersebut menghadap Rasulullah SAW dan menyerahkan madu tersebut kepada beliau sebagai tanda hadiah.


Tanpa sepengetahuan Rasulullah dan orang lain yang hadir, Nu’aiman berkata kepada orang Badui tersebut, “Mintalah bayarannya di sini,”

Setelah menerima hadiah itu, Nabi Muhammad pun merasa senang. Terlebih madu merupakan makanan kesukaan beliau.

Hadiah dari Nu’aiman itu kemudian dibagikan kepada orang yang hadir sampai habis. Sementara orang Badui yang menjual madu menunggu pembayaran madu yang dibeli Nu’aiman, tetapi hal itu tak kunjung ia terima hingga akhirnya bertanyalah dia kepada Rasulullah,

“Apa maduku tidak akan dibayar?”

Mendengar pertanyaan orang Badui tersebut, Rasulullah tersadar bahwa tidak ada yang berani melakukan hal ini kecuali sahabatnya yang usil, yaitu Nu’aiman. Beliau lalu menghampiri Nu’aiman dan bertanya mengapa dia melakukan hal tersebut.

“Aku ingin berbuat baik kepadamu, tetapi aku tidak memiliki apa-apa,” jawab Nu’aiman.

Alih-alih marah, Nabi Muhammad justru tertawa mendengar jawaban sahabatnya yang jahil itu. Beliau lalu segera membayar madu yang telah habis dibagikan itu.

Di kesempatan yang lain, ada juga kisah mengenai Nu’aiman yang menyembelih unta milik tamu Nabi Muhammad SAW. Menurut kisah yang diceritakan oleh Abu as-Syaikh al-Ashbahani dalam Akhlaq an-Nabi wa Adalubuhu, suatu ketika ada ada orang Arab pedalaman yang datang mengendarai untanya dan berhenti di depan pintu Masjid Nabawi.

Setelahnya, orang tersebut masuk menemui Rasulullah. Sementara Hamzah ibn Abdul Muthalib tengah duduk bersama beberapa Muhajirin dan Anshar, Nu’aiman menjadi salah satunya.

Kemudian, mereka berkata kepada Nu’aiman, “Hebat, untanya itu gemuk. Maukah kamu menyembelihnya karena kita benar-benar ingin makan daging? Andaikan kamu melakukannya, pastilah Rasulullah SAW akan berutang untuk membayarnya, dan kita pun bisa makan daging,”

Mendengar itu, Nu’aiman berkata, “Tapi jika aku melakukannya dan kalian memberitahukan perbuatanku kepada Rasulullah SAW, pastilah beliau memarahiku,”

“Kamu (kami anggap) tidak melakukan apa-apa!” jawab mereka.

Tanpa pikir panjang, Nu’aiman segera menyembelih unta tersebut lalu pergi buru-buru. Dia melewati Miqdad bin Amru yang baru selesai menggali sebuah lubang, ia berkata

“Wahai Miqdad, sembunyikan aku di dalam lubang ini. Tutupilah aku dan jangan tunjukkan tempatku kepada siapa pun karena aku telah melakukan sesuatu,”

Miqdad menuruti Nu’aiman, ketika orang Arab itu keluar, betapa terkejutnya ia mendapati untanya sudah mati. Rasulullah lalu keluar dari rumahnya dan bertanya siapa yang melakukan hal tersebut.

Para sahabat lantas menjawab bahwa itu perbuatan Nu’aiman. Kemudian Rasulullah dan para sahabat mencari Nu’aiman, setelah ditemukan ia lantas berkata,

“Demi Dia yang mengutusmu membawa kebenaran yang telah menyuruhku melakukannya adalah Hamzah dan teman-temannya. Mereka mengatakan begini dan begitu,”

Nabi Muhammad lalu meminta orang Arab pedalaman itu agar merelakan untanya, ia juga bersabda:

“Unta ini menjadi urusan kalian (harus kalian bayar), dan mereka pun memakannya,”

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

Bukit Shafa dan Marwah, Saksi Perjuangan Siti Hajar demi Nabi Ismail



Jakarta

Bukit Shafa dan Marwah adalah dua buah bukit yang menjadi tempat dilaksanakannya salah satu rukun haji yaitu sa’i. Tempat tersebut menyimpan kisah perjuangan ibunda Nabi Ismail AS, Siti Hajar.

Hepi Andi Bastoni dalam buku Umrah Sambil Belajar Sirah Menapak Tilas Sejarah Rasulullah menjelaskan bahwa letak Bukit Shafa dan Marwah dekat dengan Ka’bah (Baitullah).

Bukit Shafa dan Marwah yang berjarak sekitar 450 meter ini menjadi tempat melaksanakan ibadah Sa’i saat melaksanakan haji maupun umrah.


Terdapat suatu alasan mengapa Bukit Shafa dan Marwah menjadi tempat suci sekaligus tempat melaksanakan salah satu rukun haji.

Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam Kitab Qashash al-Anbiyaa bahwa alasan mengapa sa’i dilakukan di Bukit Shafa dan Marwah yaitu berkaitan dengan kisah Siti Hajar dan Nabi Ismail AS.

Siti Hajar adalah istri kedua Nabi Ibrahim AS. Dari pernikahan keduanya lahirlah Nabi Ismail AS. Adapun, istri pertama Nabi Ibrahim AS adalah Siti Sarah.

Saat itu, Nabi Ibrahim AS membawa Siti Hajar dan Nabi Ismail AS yang saat itu masih bayi untuk pergi ke Makkah. Hal ini dikarenakan Siti Sarah cemburu dengan Siti Hajar karena ia telah melahirkan seorang anak.

Siti Sarah meminta kepada Nabi Ibrahim AS untuk membawa Siti Hajar dan Nabi Ismail AS pergi menuju suatu tempat. Nabi Ibrahim AS menempatkan Siti Hajar dan Ismail di Baitullah dekat pohon besar.

Pada saat itu, tidak ada seorang pun yang berada di Makkah dan sama sekali tidak ada air di sana. Sebelum meninggalkan Siti Hajar dan Nabi Ismail AS, Nabi Ibrahim AS meletakkan geribah yang berisi kurma dan bejana yang terisi air di sisi Siti Hajar dan putranya.

Ketika Nabi Ibrahim AS hendak beranjak pergi, Siti Hajar mengikutinya dan seraya berkata, “Wahai Ibrahim, engkau hendak pergi ke mana? Apakah engkau hendak pergi meninggalkan kami sementara di lembah ini tidak ada seorang pun manusia dan tidak ada makanan sama sekali?”

Hajar melontarkan pertanyaan itu berkali-kali, namun Nabi Ibrahim AS tidak bergeming. Siti Hajar kemudian kembali bertanya, “Apakah Allah SWT memerintahkan hal ini kepadamu?” Nabi Ibrahim AS menjawab, “Ya.”

Lalu Siti Hajar berkata, “Jika demikian, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.” Setelah Nabi Ibrahim AS pergi, Siti Hajar mulai menyusui Nabi Ismail AS ketika air yang ada di dalam bejana sudah habis, Siti Hajar dan Nabi Ismail AS mulai merasa kehausan.

Siti Hajar melihat putranya lemas dan tidak berhenti menangis karena kehausan dan sesekali kakinya menendang-nendang. Siti Hajar yang melihatnya tidak tega, ia segera pergi untuk mencari air supaya air susunya kembali keluar untuk menyusui Nabi Ismail AS.

Ia mencari sumber air ke Bukit Shafa yang letaknya paling dekat, ia lalu menaiki Bukit Shafa dan melihat lembah di bawahnya barangkali saja ada orang yang lewat. Namun, ternyata tidak ada seorang pun yang dilihatnya.

Hingga akhirnya Hajar pun kembali turun, ia terus berusaha sekuat tenaga hingga ia berhasil melewati lembah.

Selanjutnya, ia mendaki Bukit Marwah dan berdiri di atasnya. Hajar kembali melihat-lihat ke bawah berharap ada orang yang lewat namun ternyata tidak ada seorang pun.

Setelah itu, Siti Hajar berjalan mondar-mandir antara Bukit Shafa dan Marwah hingga tujuh kali. Ibnu Abbas berkata, “Nabi Muhammad SAW bersabda: “Oleh sebab itu, manusia melakukan sa’i (lari-lari kecil) di antara kedua bukit itu (dalam pelaksanaan ibadah haji)’.”

Kemudian saat mendekati Bukit Marwah, Siti Hajar mendengar suara “Diamlah”. Siti Hajar yang menyadarinya pun langsung terdiam dan ternyata ia bersama dengan malaikat yang kemudian menghentakkan kakinya ke tanah hingga membentuk kolam kecil.

Kemudian Siti Hajar menciduk air tersebut dan memasukkannya ke dalam bejana, ia pun meminum air itu yang kemudian di beri nama zamzam dan kembali menyusui Nabi Ismail AS.

Mengenai Bukit Shafa dan Marwah merupakan tempat suci ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya,
۞ اِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ اَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ اَنْ يَّطَّوَّفَ بِهِمَا ۗ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًاۙ فَاِنَّ اللّٰهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ ١٥٨

Artinya: “Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah. Maka, siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya. Siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri, lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 158)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kala Paman Rasulullah Berdoa Meminta Turunnya Hujan



Jakarta

Abbas bin Abdul Muthalib namanya. Paman nabi yang satu ini disebut sebagai orang yang paling kesepian usai wafatnya Rasulullah SAW.

Abbas merupakan saudara bungsu dari ayah Nabi Muhammad. Mengutip dari buku Abbas bin Abdul Muthalib yang ditulis oleh Arief Priambudi, perbedaan umur Abbas dan Rasulullah hanya berkisar dua sampai tiga tahun.

Keduanya sangat akrab, terlebih usia mereka tidak terpaut jauh. Sosok Abbas dikenal sebagai seorang yang pemurah, selalu menjaga dan menghubungkan tali silaturahmi.


Selain itu, Abbas juga disebut sebagai orang yang cerdas. Saking cerdasnya, Abbas memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan Quraisy, ia tak gentar membela Nabi Muhammad dari berbagai bencana dan kejahatan kaum Quraisy.

Berkaitan dengan Abbas, ada sebuah kisah menarik. Diceritakan dalam buku Dahsyatnya Ibadah, Bisnis, dan Jihad Para Sahabat Nabi yang Kaya Raya susunan Ustaz Imam Mubarok Bin Ali, pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab terjadi paceklik yang hebat bersamaan dengan kemarau ganas.

Masyarakat berbondong-bondong datang kepada khalifah Umar untuk mengadukan kesulitan dan kelaparan yang menimpa daerahnya masing-masing. Umar lantas meminta para kaum muslimin untuk membantu sesama, penguasa di berbagai daerah diperintahkan mengirim kelebihan daerah ke pusat.

Ka’ab lalu menemui Umar bin Khattab sambil berkata, “Wahai amirul mukminin! Biasanya Bani Israil kalau menghadapi bencana semacam ini, mereka meminta hujan dengan kelompok para nabi mereka,”

Mendengar hal itu, Umar lalu menjawab, “Inilah paman Nabi Muhammad SAW dan saudara kandung ayahnya. Lagi pla, ia adalah pimpinan Bani Hasyim,”

Paman Rasulullah yang dimaksud ialah Abbas bin Abdul Muthalib. Selanjutnya, Umar segera pergi menemui Abbas dan menceritakan kesulitan yang dialami oleh masyarakat.

Setelah itu, Umar dan Abbas naik ke atas mimbar seraya berdoa, “Ya Allah, kami menghadapkan diri kepada-Mu bersama dengan paman nabi kami dan saudara kandung ayahnya, maka turunnkanlah hujan-Mu dan janganlah kami sampai putus asa,”

Kemudian, Abbas memulai berdoa dengan memuja Allah SWT,

“Ya Allah, Engkau yang mempunyai awan, dan Engkau pula yang mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan turunkanlah air-Mu kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuhan dan suburkanlah semua air susu. Ya Allah, Engkau tidak mungkin menurunkan bencana kecuali karena dosa, Engkau tidak akan mengangkat bencana kecuali lantara taubat. Kini, umat ini sudah menghadapkan diri kepada-Mu, maka turunkanlah hujan kepada kami,” (HR Bukhari dari Anas bin Malik).

Atas izin dan kuasa Allah, setelah doa tersebut dipanjatkan turunlah hujan lebat. Orang-orang lalu bersyukur dan mengucapkan selamat kepada Abbas, “Selamat kepadamu wahai Saqi Haramain yang mengurusi minuman orang di Makkah dan Madinah!”

Dijelaskan dalam buku Pelajaran Agama Islam yang ditulis oleh Hamka bahwa memohon kepada Allah SWT dengan memakai seseorang sebagai perantara diperbolehkan. Hal ini disebut dengan wasilah yang artinya perantara.

Dalam surat Al Maidah ayat 35, Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱبْتَغُوٓا۟ إِلَيْهِ ٱلْوَسِيلَةَ وَجَٰهِدُوا۟ فِى سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Arab latin: Yā ayyuhallażīna āmanuttaqullāha wabtagū ilaihil-wasīlata wa jāhidụ fī sabīlihī la’allakum tufliḥụn

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan,”

Hal inilah yang juga mendorong Umar bin Khattab untuk mempersilahkan Abbas selaku paman Rasulullah untuk membacakan doa permohonan turunnya hujan. Doa tersebut diriwayatkan dari hadits riwayat Bukhari.

Itulah kisah mengenai paman Nabi Muhammad yang diminta Umar untuk berdoa agar hujan turun. Semoga cerita di atas dapat mempertebal keimanan kita, Aamiin.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Saat Rasulullah Menegur Sahabat Akibat Panjangnya Bacaan Salat



Jakarta

Menurut keterangan hadits, diketahui ternyata Rasulullah SAW pernah menegur salah seorang sahabatnya. Teguran itu bermaksud mengingatkan sahabatnya akan panjangnya bacaan surah saat menjadi imam.

Hadits tersebut bersumber dari Jabir bin Abdullah RA. Berdasarkan riwayatnya, sahabat yang bernama Muadz bin Jabal tersebut bahkan membuat seorang makmum memisahkan diri dari barisan salat berjamaah.

Dikisahkan, Mu’adz pernah salat bermakmum kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, dia lalu mendatangi kaumnya dan mengimami mereka salat dengan membaca surah Al Baqarah.


Jabir berkata, “Saat itu lalu ada seorang makmum yang memutuskan diri dari berjamaah, lalu mengerjakan salat sendirian secara ringkas,” sebagaimana dikutip dari Shalatul Mu’min Bab Imamah karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani.

Kejadian ini pun lalu sampai kepada Mu’adz. Ia pun berkata, “Sungguh dia itu munafik,”

Omongan Mu’adz ini lalu sampai kepada laki-laki tersebut. Laki-laki itu lalu mendatangi Nabi Muhammad SAW dan mengadukan hal itu pada beliau. Ia berkata,

“Ya Rasulullah, sesungguhnya kami ini adalah orang yang bekerja dengan tangan kami sendiri dan kami menyirami sendiri tanah kami dengan bantuan unta, dan sesungguhnya semalam Mu’adz mengimami kami salat dengan membaca surah Al-Baqarah, kemudian aku memisahkan diri, kemudian dia mengatakan bahwa aku munafik (bagaimana ini?),”

Rasulullah SAW yang mendengar kisah dari lelaki tersebut pun mendatangi Mu’adz. Beliau pun menegurnya dengan lembut mengingatkan Mu’adz untuk mempertimbangkan kondisi makmum dalam salat.

“Wahai Mu’adz, apakah engkau seorang yang suka menimbulkan kesulitan kepada orang lain? Apakah engkau seorang yang suka menimbulkan kesulitan kepada orang lain? Apakah engkau seorang yang suka menimbulkan kesulitan kepada orang lain? Oleh karena itu, bacalah surat Asy-Syams dan Al-A’la atau surat lain yang kurang lebih sama panjangnya.” (HR Bukhari)

Kisah ini juga termaktub dalam Shahih Muslim dengan redaksi serupa. Berikut hadits selengkapnya.

“Dia (Mu’adz) pernah mengerjakan salat Isya’ bersama Rasulullah. kemudian mendatangi kaumnya dan mengimami mereka salat tersebut.

Suatu malam ia mengerjakan salat Isya’ bersama Nabi Muhammad SAW, kemudian mendatangi kaumnya dan mengimami mereka dengan membaca surat Al Baqarah, lalu ada seseorang yang membatalkan salatnya, kemudian mengerjakan salat sendirian dan setelah itu ia lalu pergi…” (HR Muslim)

Dalam hadits Anas RA seperti yang dikeluarkan Imam Ahmad juga menyampaikan kisah serupa. Anas berkata.

فَلَمَّا رَأَى مُعَاذَا طَوَّلَ تَجَوَّزَ فِي صَلَاتِهِ وَحَقَ بِنَخْلِهِ يَسْقِيهِ….

Artinya: “Ketika orang tersebut mengetahui Mu’adz memanjangkan bacaannya, dia lalu memperpendek salatnya, berpaling dari salat berjamaah itu, lalu bergegas untuk menyirami tanaman kurmanya…” (HR Ahmad)

Dijelaskan Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani, makmum memisahkan diri hal lantaran imam terlalu memanjangkan bacaan salatnya adalah termasuk uzur syar’i.

Perawi hadits Imam Ahmad dalam buku Panduan Shalat Praktis & Lengkap oleh Ustaz Ust. Syaifurrahman El-Fati juga berpendapat , seorang imam salat sebaiknya membaca membacakan surat pendek. Tujuannya, agar amalan ibadah tidak memberatkan jamaah lainnya. Dengan catatan, ukuran berat ringannya bacaan surat Al-Qur’an tergantung kebiasaan imam dan makmum di daerah tersebut.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Utsman bin Affan dan Kedermawanannya dalam Berbagi



Jakarta

Utsman bin Affan merupakan sosok sahabat Rasulullah SAW yang dikenal akan kedermawanannya. Dia juga termasuk ke dalam golongan yang pertama memeluk Islam atau biasa disebut Assabiqunal Awwalun.

Usia Utsman dengan Nabi Muhammad terpaut 6 tahun lebih muda. Dirinya juga merupakan sosok pemimpin ketiga setelah Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab.

Utsman memeluk Islam atas ajakan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Saat Rasulullah SAW diangkat menjadi nabi, usia Utsman kala itu masih 34 tahun.


Nama lengkapnya Utsman bin Affan bin Abil Ash bin Umaiyah bin Abdusy Syams bin Abdul Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luwa’i bin Ghaib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’addu bin Adnan. Ia lahir di Thai kawasan Hijaz, sebuah wilayah bagian barat laut Arab Saudi.

Sebagai sosok yang dermawan, Utsman bin Affan tidak pernah ragu dalam menyumbangkan hartanya di jalan Allah dan membantu sesama. Dijelaskan dalam buku Utsman bin Affan RA susunan Abdul Syukur al-Azizi, Syurahbil bin Muslim RA menuturkan bahwa Utsman pernah memberi makan banyak orang dengan makanan para bangsawan.

Setelahnya, Utsman masuk ke rumahnya untuk makan cuka dan minyak samin. Dia memberikan makanan yang baik-baik kepada orang lain sementara dirinya hanya memakan cuka dan minyak samin.

Mengutip dari buku Kisah Edukatif 10 Sahabat Nabi yang Dijamin Masuk Surga tulisan Luthfi Yansyah, kedermawanan dan kemurahan hati Utsman tidak ada yang menandingi. Ketika masjid Nabawi terasa sempit karena banyak jemaah yang ikut salat, Rasulullah SAW bermaksud membeli tanah milik seorang sahabat untuk keperluan perluasan masjid, beliau berkata:

“Siapa yang membeli tanah keluarga Fulan lalu menambahkannya ke masjid, maka dia akan memperoleh kebaikan dari tanah itu di surga,”

Tanpa pikir panjang, Utsman segera membelinya dari harta pribadi senilai 25 ribu dinar. Dia juga membeli sebuah sumur yang dinamai Sumur Rumah seharga 1000 dirham.

Sumur itu lantas diserahkan kepada kaum muslimin dari berbagai kalangan, baik itu kaya, sederhana, miskin, ataupun mereka yang kehabisan bekal perjalanan. Begitu dermawannya sosok Utsman bin Affan.

Pernah pada suatu ketika di masa kekhalifahan Umar bin Khattab terjadi musim paceklik. Sawah dan ladang menjadi kering sampai-sampai masa itu disebut sebagai tahun Ramadah atau debu.

Kaum muslimin merasa sangat kesulitan hingga banyak nyawa manusia yang terancam. Umar berkata kepada mereka,

“Bersabarlah dan berharap pahala-lah kalian kepada Allah! Aku amat berharap semoga Allah memudahkan kesulitan kalian pada petang ini,”

Di penghujung hari, datanglah kabar bahwa kafilah Utsman bin Affan datang dari Syam dan rombongan tersebut tiba di Madinah pada pagi hari. Usai salat Subuh, masyarakat berbondong-bondong menyambut kedatangan mereka.

Tak disangka-sangka, rombongan yang terdiri dari 1000 unta itu membawa gandum, minyak, dan anggur kering. Kafilah unta tersebut berhenti di depan pintu rumah Utsman.

Bersamaan dengan itu, para budak menurunkan muatan yang ada di punggung unta. Para pedagang segera menemui Utsman dan berkata kepadanya,

“Juallah kepada kami segala yang kau bawa, wahai Abu Amr (panggilan Utsman)!”

Ia lalu menjawab, “Aku akan menjualnya dengan senang hati kepada kalian, akan tetapi berapa harga yang hendak kalian tawarkan kepadaku?”

“Setiap dirhak yang engkau bayarkan akan kami ganti dua dirham!”

“Aku akan mendapatkan lebih dari itu,” ujar Utsman.

Para pedagang akhirnya menambahkan harga tawaran mereka. Namun, Utsman berkata, “Sesungguhnya aku akan mendapatkan lebih dari harga yang kalian tambahkan,”

“Wahai Abu Amr, sesungguhnya tidak ada pedagang lain di Madinah selain kami. Dan tidak ada seorang pun yang mendahului kami datang ke tempat ini. lalu siapa yang telah memberikan tawaran kepadamu melebihi harga yang kami tawarkan?”

“Allah SWT akan memberikan 10 kali lipat dari setiap dirham yang aku bayarkan. Apakah kalian dapat membayar lebih dari ini?” jelas Utsman.

Pedagang itu kemudian menjawab, “Kami tidak sanggup untuk membayarnya, wahai Abu Amr!”

Lalu, Utsman langsung berkata, “Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku akan menjadikan semua barang bawaan yang dibawa oleh kafilah ini sebagai sedekah untuk kaum fakir dan miskin. Aku tidak pernah berharap satu dirham ataupun satu dinar sebagai gantinya,”

Saking dermawannya Utsman, ia rela memberikan bantuan pangan yang ada pada 1000 unta itu. Dia tidak mengharapkan uang sebagai ganti, melainkan ridha dan balasan dari Allah SWT.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Perjuangan Uwais Al Qarni Gendong Ibunya dari Yaman untuk Naik Haji



Jakarta

Uwais al Qarni adalah seorang pemuda fakir yang berbakti kepada sang ibu. Ia menggendong ibunya dari Yaman ke Makkah agar bisa menunaikan haji.

Merujuk dari buku Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah karya Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Uwais al Qarni memiliki nama lengkap Uwais bin Amir bin Jaza’ bin Malik al Qarni. Ia dilahirkan di tengah-tengah keluarga besar Qarn, salah satu silsilah keluarga dari bani Murad di Yaman.

Ia memang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW tetapi tidak pernah bertemu dengan beliau. Mengenai Uwais al Qarni, Rasulullah SAW pernah berkata kepada Umar bin Khattab RA,


“Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama dengan pasukan bantuan dari bani Murad, kemudian dari Qarn. Ia adalah orang yang menderita penyakit kusta, lalu penyakitnya sembuh, kecuali tempat seluas mata uang dirham. Ia adalah orang yang sangat berbakti kepada ibunya. Jika kamu bisa memintanya untuk memohon ampunan untukmu, maka lakukanlah!”

Ketika banyak pembebasan wilayah baru pada masa pemerintahan Umar bin Khattab RA, Uwais datang bersama dengan beberapa orang dari Yaman dalam rangka untuk berjihad di jalan Allah SWT. Ketika Umar bin Khattab RA bertemu dengan Uwais ia memintanya untuk memohon ampunan kepada Allah SWT lalu Uwais pun melakukannya.

Mengenai Uwais, salah seorang warga Kufah pernah berkata, “Ia hidup sangat sederhana dan bersahaja. Ia suka bergabung bersama kami dalam halaqah dzikir. Jika ia berdzikir menyebut nama Allah, maka dzikirnya tersebut sangat merasuk dalam hati sanubari kami.”

Ia hidup di Kufah di tengah-tengah komunitas awam. Tidak seorang pun di antara mereka yang mengenal identitasnya. Bahkan, terkadang di antara mereka tidak ada yang mengenal Uwais al Qarni. Bahkan di antara mereka ada yang suka mengejeknya, hingga akhirnya Umar bin Khattab RA menceritakan tentang jati diri Uwais.

Setelah itu, identitas Uwais diketahui oleh publik luas, kemudian ia pergi meninggalkan Kufah, dan bergabung bersama Ali bin Abi Thalib RA dalam Perang Shiffin.

Mengenai kebaktian Uwais al-Qarni ini dijelaskan pula dalam buku Unconditional Marriage karya Mega Anindyawati.

Uwais Al-Qarni adalah seorang pemuda dari Yaman yang begitu taat kepada ibunya. Semua permintaan sang ibu yang buta dan lumpuh selalu ia penuhi. Namun, ada satu keinginan ibunya yang belum bisa dikabulkan yaitu ingin pergi haji ke Makkah.

Uwais yang merupakan seorang pemuda miskin tidak memiliki biaya untuk memberangkatkan haji ibunya. Sehingga setiap hari ia menggendong seekor kambing yang ia gembala untuk naik turun bukit. Orang-orang banyak yang mengira bahwa ia sudah gila.

Ternyata, saat musim haji tiba Uwais yang sudah lebih kuat dan berotot menggendong ibunya untuk pergi ke Makkah. Ia menempuh jarak ratusan kilometer selama berhari-hari demi baktinya kepada sang ibu. Hal itulah yang membuat Uwais al Qarni menjadi seseorang yang tidak terkenal di bumi namun terkenal di langit.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com