Category Archives: Kisah

Muadzin Terbaik di Zaman Rasulullah yang Dijamin Masuk Surga



Jakarta

Muadzin terbaik di zaman Rasulullah SAW adalah Bilal Bin Rabah, seorang budak berkulit hitam. Ia menjadi muadzin pertama yang diperintahkan untuk mengumandangkan adzan sebagai seruan sholat.

Dikisahkan dalam buku Sejarah Ibadah karya Syahruddin El-Fikri, Bilal bin Rabah termasuk salah seorang yang pertama kali masuk Islam sehingga dijuluki sebagai as-sabiqun al-Awwalun.

Awalnya, Bilal merupakan budak milik keluarga bani Abduddar yang diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir. Ketika keislamannya diketahui oleh sang majikan, Bilal mendapat siksaan yang sangat berat.


Ia pernah dicambuk, dijemur di bawah terik matahari, bahkan tubuhnya ditindih dengan batu agar meninggalkan agama Islam. Meskipun demikkian, Bilal tetap tak goyah dan teguh menyatakan keimanannya kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Penderitaan yang dialami Bilal baru berakhir setelah Abu Bakar As-Shiddiq RA membelinya dan memerdekakannya. Ia kemudian menjadi muslim yang taat dan ikut dalam rombongan hijrah ke Madinah.

Turunnya Perintah Adzan dan Ditunjuknya Bilal Sebagai Muadzin

Melansir dari buku Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, pada awal-awal Rasulullah SAW tinggal di Madinah, kaum muslimin mengerjakan sholat lima waktu bersama beliau tanpa adanya panggilan atau seruan.

Nabi SAW pernah bermaksud membuat terompet besar seperti terompet orang Yahudi untuk memanggil para sahabat menunaikan sholat, tetapi beliau tidak menyukainya.

Abdullah bin Zaid bin Tas’alabah menjadi orang yang mendengar seruan adzan dalam mimpinya, lantas bergegas mendatangi Rasulullah SAW dan berkata,

“Wahai Rasulullah, tadi malam aku bermimpi didatangi oleh seseorang. lalu seorang lelaki yang mengenakan dua potong baju berwarna hijau melintasiku dengan membawa lonceng. Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng ini?’

Orang itu bertanya, ‘Untuk apa lonceng ini?’ Aku menjawab, ‘Untuk memanggil orang supaya sholat.’ Kemudian orang itu berkata, ‘Maukah kutunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada lonceng ini?’ Aku balik bertanya, ‘Apa itu?’ Orang itu kembali menjawab, ‘Ucapkanlah:

Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Allahu Akbar, Allâhu Akbar.

Asyhadu an lâ ilâha illallah. Asyhadu an lâ ilâha illallâh. Asyhadu anna Muhammadan Rasûlullah. Asyhadu anna Muhammadan Rasûlullah.

Hayya ‘alash shalah, hayya ‘alash shalâh.

Hayya ‘alal falah, hayya ‘alal falah.

Allahu Akbar, Allâhu Akbar, Lâ ilâha illallâh.'”

Mengetahui hal itu, Rasulullah SAW bersabda, “Insya Allah ini mimpi yang benar. Temui Bilal dan sampaikan kepadanya seruan itu, lalu suruh ia mengumandangkannya. Sesungguhnya, suaranya lebih merdu darimu.”

Berdasarkan riwayat tersebut, Bilal menjadi muadzin terbaik di zaman Rasulullah SAW sebab ia memiliki suara merdu dibandingkan dengan sahabat lainnya.

Bilal bin Rabbah Muadzin Terbaik Rasulullah SAW

Disebutkan dalam buku The Great Sahaba karya Rizem Aizid, Bilal bin Rabah dikenal sebagai muadzin pertama umat islam yang diberi gelar Muadzin ar-Rasul. Sebagai muadzin Rasulullah SAW, nama Bilal diabadikan untuk selama-lamanya.

Hingga saat ini, muadzin di masjid-masjid juga dipanggil dengan julukan ‘bilal’. Sosok Bilal bin Rabah memang seorang berkulit hitam, tetapi ia memiliki suara yang sangat nyaring dan jernih hingga mampu menjangkau seluruh negeri Madinah.

Saat Bilal mengumandangkan adzan, kaum muslimin yang tinggal di Madinah langsung datang ke Masjid. Rizem Aizid dalam bukunya menyebutkan, tidak ada satupun sahabat yang memiliki kemampuan dalam mengumandangkan adzan melebihi Bilal bin Rabbah.

Salah satu keistimewaan Bilal bin Rabah, yaitu derap langkahnya telah terdengar di surga sehingga ia termasuk orang yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT.

Hal ini sebagaimana diterangkan dalam sebuah riwayat, dari Abu Hurairah RA, ia bercerita bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Bilal bin Rabah setelah menunaikan sholat Subuh:

“Wahai Billa, beritahukanlah kepadaku tentang perbuatan-perbuatanmu yang paling engkau harapkan manfaatnya dalam islam. Sebab, sesungguhnya tadi malam aku mendengar suara terompahmu di depanku di surga.”

Bilal menjawab, “Tidak ada satu perbuatan pun yang pernah aku lakukan, yang lebih kuharapkan manfaatnya dalam Islam dibandingkan dengan (harapanku terhadap) perbuatanku yang senantiasa melakukan sholat (sunnah) yang mampu aku lakukan setiap selesai bersuci (wudhu) dengan sempurna pada waktu siang ataupun malam.” (HR Muslim).

Itulah sepenggal kisah Bilal bin Rabbah, seorang sahabat yang menjadi muadzin terbaik di zaman Rasulullah SAW. Semoga dapat menjadi teladan dan menambah wawasan ya, detikers!

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Dakwah Rasulullah SAW di Thaif, Alami Penolakan hingga Dilempari Batu



Jakarta

Sebagai seorang nabi dan rasul, Nabi Muhammad SAW berdakwah untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Selain di Madinah dan Makkah, Rasulullah SAW juga sempat berdakwah di Kota Thaif.

Letak Kota Thaif ini berada di sebelah Makkah dan berjarak sekitar 75 mil atau sekitar 120,7 kilometer. Nama Thaif diambil dari adanya pagar atau tembok yang mengelilingi kota tersebut, seperti dijelaskan dalam Sirah Nabawiyah susunan Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi.

Kala itu, Rasulullah berdakwah di Thaif selama 10 hari. Banyak ujian dan cobaan yang beliau dapatkan saat di Thaif.


Mengutip dari buku Saat-saat Rasulullah Bersedih oleh Majdi Muhammad Asy-Syahawi, dikisahkan mengenai dakwah Nabi Muhammad di Thaif. Kisah ini diriwayatkan dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im.

Seusai wafatnya Abu Thalib, orang-orang Quraisy tak segan menyakiti Rasulullah. Karenanya, beliau memutuskan pergi ke Thaif untuk berdakwah dengan ditemani Zaid bin Haritsah RA.

Ketika di Thaif, Rasulullah SAW mendatangi para pemuka dan menyampaikan dakwahnya. Sayangnya, tak seorang pun dari mereka yang memenuhi dakwah beliau.

Selain berdakwah, kedatangan Nabi Muhammad SAW di Thaif juga bertujuan memohon perlindungan kepada suku Tsaqif dari tekanan yang ia peroleh di Makkah sepeninggal Abu Thalib. Menurut buku 113 Al-Qur’an Stories susunan Vanda Arie, datangnya Nabi Muhammad di kota tersebut karena Thaif menjadi pusat kekuatan serta kepemimpinan kedua setelah Makkah. Selain itu, bisa paman-paman beliau juga berasal dari Bani Tsaqif.

Rasulullah SAW ditolak keras oleh suku Tsaqif. Mereka bahkan tega menghina beliau, membujuk orang-orang bodoh dan budak-budaknya untuk meneriaki serta melempari Nabi Muhammad dengan batu.

Zaid bin Haritsah yang menemani Rasulullah bahkan berusaha melindungi beliau dari lemparan batu tersebut. Sayangnya, batu-batu itu tetap mengenai tubuh sang rasul hingga berdarah-darah.

Bersama Zaid, Nabi Muhammad kemudian beristirahat di bawah pohon kurma. Apa yang dirinya alami di Thaif justru lebih berat ketimbang di Makkah.

Lalu, keduanya kembali ke Makkah. Peristiwa tersebut menjadi awal pergerakan hijrah Rasulullah bersama sahabat dan penduduk muslim Makkah lainnya menuju Madinah.

Rasulullah merasa sangat sedih sepulang dari Thaif. Di perjalanan pulang, beliau memanjatkan doa. Dinukil oleh Imam at-Thabrani dalam al-Mujam al-Kabir, al-Baghdadi dalam al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, berikut bunyinya,

اللّهُمّ إلَيْك أَشْكُو ضَعْفَ قُوّتِي ، وَقِلّةَ حِيلَتِي ، وَهَوَانِي عَلَى النّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرّاحِمِينَ ! أَنْتَ رَبّ الْمُسْتَضْعَفِينَ وَأَنْتَ رَبّي ، إلَى مَنْ تَكِلُنِي ؟ إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهّمُنِي ؟ أَمْ إلَى عَدُوّ مَلّكْتَهُ أَمْرِي ؟ إنْ لَمْ يَكُنْ بِك عَلَيّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِي ، وَلَكِنّ عَافِيَتَك هِيَ أَوْسَعُ لِي ، أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِك الّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِي غَضَبَك أَوْ يَحِلّ عَلَيّ سُخْطُكَ، لَك الْعُتْبَى حَتّى تَرْضَى وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوّةَ إلّا بِك

Arab latin: Allahumma ilaika asykuu dho’fa quwwatii, wa qillata hiilatii wa hawaani ‘alan naas yaa arhamar raahimiin. Anta rabbal mustadh’afiina wa anta rabbii ilaa man takilunii ilaa ba’iidin yatajahhamunii am ilaa ‘aduwwu mallaktuhu amrii in lam yakun bika ‘alayya ghadhabun falaa ubaalii wa lakinna ‘aafiyatika hiya auw sa’ulii a’uudzu binuuri wajhikal ladzii asyraqat lahudh dhulumaatu wa sholuha ‘alaihi amrud dunyaa wal aakhiroti mn an tunzila bii ghadhabika ‘alayya sukhtuka lakal ‘utbaa hattaa tardhoo walaa haula walaa quwwata illa bika

Artinya: “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maharahim, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan karena itu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan yang akan Engkau timpakan kepadaku. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha kepadaku. Dan, tiada daya upaya melainkan dengan kehendak-Mu,”

Menyaksikan hal itu, Malaikat Jibril merasa terluka. Ia lalu berkata kepada Nabi Muhammad, “Allah mengetahui apa yang terjadi padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat-malaikat di gunung-gunung untuk menaati perintahmu,”

Alih-alih memberi penduduk Thaif pelajaran, Nabi Muhammad justru menjawab dengan lembut, “Tidak. Aku mohon mereka diberi tangguh waktu. Ke depannya, mudah-mudahan Allah berkenan melahirkan dari mereka generasi yang akan menyembah-Nya tanpa mempersekutukan dengan sesuatu apa pun,” seperti dikutip dari buku Kelengkapan Tarikh Rasulullah susunan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.

Alasan pemilihan Thaif sebagai tempat tujuan dakwah Rasulullah disebabkan wilayah tersebut sangat strategis bagi masyarakat Quraisy. Bahkan, kaum Quraisy sangat ingin menguasai Thaif.

Thaif memiliki sumber daya pertanian yang sangat kaya. Tak sedikit orang-orang kaya di Makkah yang memiliki simpanan harta di Thaif.

Selain itu, untuk mengisi waktu-waktu rehat di musim panas kaum Quraisy mengunjungi Thaif. Karenanya, jika Rasulullah berhasil dakwah di sana maka bisa membuat kaum Quraisy terancam.

Prof Dr M Yunan Yusuf melalui bukunya yang berjudul Dakwah Rasulullah menyebut Thaif mulai mengalami islamisasi sesudah Fathu Makkah, yaitu berakhirnya perang Hunain pada tahun kedelapan Hijriah. Sejak saat itu, Thaif dan penduduknya suku Tsaqif menjadi kaum yang beriman.

(aeb/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, Ditikam pada Waktu Subuh



Jakarta

Ali bin Abi Thalib RA merupakan salah satu sahabat Rasulullah SAW yang juga termasuk ke dalam Assabiqunal Awwalun, yaitu orang-orang yang pertama memeluk Islam. Ali lahir di Makkah pada 13 Rajab, tepatnya tahun ke-32 dari kelahiran Nabi Muhammad. Ada juga yang menyebut Ali lahir pada 21 tahun sebelum hijriah.

Ayah Ali merupakan paman dari Rasulullah SAW, yaitu Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Sementara ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf.

Mengutip dari buku Akidah Akhlak susunan Drs H Masan AF M Pd, sejak umur Ali menginjak 6 tahun dia sudah tinggal bersama Nabi Muhammad. Karenanya, sifat-sifat yang ada pada Ali ia teladani dari Rasulullah SAW.


Selain itu, Ali juga dikenal sebagai orang yang sangat cerdas. Saking cerdasnya, Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, dan Khalifah Utsman kerap mendatanginya untuk membantu memecahkan permasalahan yang sulit.

Ali bin Abi Thalib sendiri baru menjadi khalifah usai wafatnya Khalifah Utsman bin Affan. Ali terpilih menjadi pengganti Utsman sehingga pada tahun 35 Hijriah dia dinobatkan sebagai khalifah keempat, seperti dinukil dari buku Sejarah Peradaban Islam tulisan Akhmad Saufi dan Hasmi Fadhilah.

Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah selama 5 tahun, mulai dari 35 Hijriah sampai beliau wafat pada 40 Hijriah. Kisah wafatnya Ali cukup tragis.

Diceritakan dalam buku Kisah 10 Pahlawan Surga oleh Abu Zaein, usai Khalifah Utsman bin Affan wafat banyak terjadi fitnah di kalangan umat Islam. Karenanya, masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib tergolong sebagai waktu-waktu yang sulit.

Banyak pemberontak menyebarkan berita bohong bahwa seharusnya yang menjadi khalifah ialah Mu’awiyah, bukan Ali bin Abi Thalib. Penyebar fitnah itu ialah Abdurrahman Amru atau Ibnu Muljam, Alburak bin Abdullah Attamimi, dan Ambru bin Bakar Attamimi.

Ibnu Muljam kala itu pergi menuju Kufah untuk menjalankan rencana kejinya. Dengan pedang yang ia bawa, ia melukai Ali bin Abi Thalib yang kala itu hendak pergi ke masjid untuk sholat Subuh.

Dalam buku 150 Kisah Ali bin Abi Thalib yang ditulis oleh Ahmad Abdul ‘Al Al-Thahthawi, Muhammad ibn Al Hanafiyyah menuturkan,

“Tiba-tiba aku melihat kilatan cahaya dan mendengar seseorang berkata, ‘Hukum hanya milik Allah, bukan milikmu, wahai Ali, bukan pula milik sahabat-sahabatmu!’ Aku melihat pedang, lalu disusul pedang kedua. Aku mendengar Ali berteriak, ‘Tangkap orang itu!’ Orang-orang pun mengepungnya dari segala penjuru,”

Setelah Ibnu Muljam diringkus, orang-orang datang menemui Hasan dengan panik. Mereka membawa Ibnu Muljam dengan tangan yang diborgol.

Tiba-tiba Ummu Kultsum binti Ali berteriak sambil menangis seraya berkata, “Wahai musuh Allah, ayahku pasti akan baik-baik saja dan Allah akan menghinakanmu,”

Ibnu Muljam lalu menyahut, “Lalu, untuk siapa kau menangis?! Demi Allah, aku membeli pedang itu seharga seribu, lalu aku bubuhi racun seharga seribu juga. Seandainya tebasan itu mengenai seluruh penduduk kota ini, niscaya mereka akan mati semua!”

Usai peristiwa tragis itu, Abdullah ibn Malik mengatakan para tabib dikumpulkan untuk mengobati luka Ali. Ketika itu, Atsir ibn ‘Amr Al-Sukuni sebagai tabib yang paling hebat dan berasal dari Kirsi, memeriksa kondisi Ali bin Abi Thalib.

Atsir meminta paru-paru kambing yang masih hangat untuk diambil uratnya, lalu diletakkan pada luka yang diderita Ali. Atsir kemudian meniup urat itu dan mengeluarkannya dari luka Ali.

Atsir menemukan bahwa ternyata luka Ali telah sampai pada bagian otak. Dengan demikian, nyawa Ali tidak dapat tertolong.

Ali bin Abi Thalib meninggal dunia pada Jumat, 17 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Ali meninggalkan 33 anak, 15 laki-laki dan 18 perempuan.

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

Juhainah, Sosok yang Membuat Semua Penghuni Neraka Menangis



Jakarta

Ketika malaikat memanggil nama Juhainah, semua penghuni neraka menangis. Juhainah adalah orang terakhir yang keluar dari neraka dan paling akhir pula masuk ke surga.

Seluruh penduduk neraka akan menangis karena Juhainah telah dipanggil masuk ke surga terakhir kalinya sekaligus menjadi pertanda bahwa mereka yang tersisa akan kekal di dalam neraka.

Tidak ada harapan lagi bagi penduduk neraka setelah Juhainah dipanggil oleh malaikat. Kisah Juhainah ini telah diterangkan dalam hadits yang dinukil dari Kitab An-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim oleh Ibnu Katsir.


Ad-Daruquthni meriwayatkan dalam kitabnya, “Para perawi dari Malik dan al-Khathib al-Baghdadi dari Abdul Malik bin Hakam, Malik menuturkan kepada kami dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‘Sesungguhnya, orang yang terakhir masuk surga adalah seorang lelaki dari suku Juhainah bernama Juhainah.’ Penghuni surga lalu berkata, ‘Juhainah memiliki kabar yang yakin. Tanyakanlah kepadanya, apakah masih ada yang tersisa dari para makhluk?'”

Namun, riwayat tersebut dikatakan tidak sah disandangkan kepada Imam Malik sebab tidak diketahui para perawinya. Demikian pula as-Suhaili menyebutkan hadits tersebut dalam kitabnya dan tidak menganggapnya lemah.

Justru pendapat lain yang disebutkan dari as-Suhaili, bahwa orang yang terakhir keluar dari neraka tersebut bernama Hanad.

Dikisahkan dalam riwayat, bahwa penduduk neraka akan menangis karena Juhainah telah dipanggil masuk ke surga. Hal itu menjadi pertanda bahwa penduduk neraka yang tersisa akan kekal di dalamnya dan tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk berpindah menuju surga.

Imam Syamsuddin Al-Qurthubi dalam Kitab At-Tadzkirah Jilid 2 turut menerangkan orang orang yang terakhir keluar dari neraka sekaligus terkahir masuk surga.

Menurut hadits riwayat Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya aku benar-benar tahu penghuni neraka yang terakhir kali keluar darinya, dan penghuni neraka yang terakhir kali masuk surga, yaitu seorang lelaki yang keluar dari neraka dengan merangkak. Maka Allah Ta’ala berkata, “Pergilah dan masuk ke surga.”

Orang itu pun datang ke surga, tetapi terbayang olehnya bahwa surga telah penuh. Maka ia berkata, “Ya Tuhanku, hamba dapati surga telah penuh.” Allah SWT berkata lagi, “Pergilah dan masuk ke surga.”

Ia pun datang ke surga dan terbayang lagi bahwa surga telah penuh, maka ia balik serata berkata, “Ya Tuhanku, hamba dapati surga telah penuh.”

Maka, (sekali lagi) Allah SWT berkata, “Pergilah dan masuk ke surga. Sesungguhnya kamu akan memperoleh sepuluh kali lipat dunia.”

Kemudian orang itu berkata, “Apakah Engkau mengejekku?” Atau, “Engkau menertawakan hamba, padahal Engkau Raja?”

Abdullah bin Mas’ud RA menambahkan dengan berkata, “Saya sungguh-sungguh melihat Rasulullah SAW tertawa sampai tampak gigi-gigi gerahamnya, beliau bersabda,

“Mengenai orang itu dikatakan, ‘Itulah ahli surga yang paling rendah derajatnya.'” (HR Muslim)

Itulah kisah Juhainah, seseorang yang membuat semua penghuni neraka menangis tatkala malaikat memanggil namanya. Sebab, ia menjadi sosok terakhir yang dikeluarkan dari neraka dan tak ada lagi penghuni lain yang keluar setelahnya.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Para Pemuda Kaum Musyrik yang Gagal Mencelakai Nabi di Gua Tsur



Jakarta

Rasulullah SAW bersama sahabat Abu Bakar As-Shiddiq RA pernah bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari. Kala itu, mereka sedang dalam perjalanan untuk hijrah secara sembunyi-sembunyi dari Makkah menuju Madinah.

Perjalanan hijrah beliau mendapat ancaman dari Kaum Quraisy yang berniat membunuhnya. Karena itulah, Rasulullah SAW bersembunyi di Gua Tsur karena takut Kaum Quraisy akan mencarinya kemana-mana.

Disebutkan dalam buku 25 Kisah Nabi & Rasul karya Aan Wulandari Usman, kaum musyrik terus menerus mencari Rasulullah SAW hingga mereka mengadakan sayembara. Barang siapa berhasil menemukan Nabi SAW dan Abu Bakar RA, maka orang tersebut akan diberi hadiah berupa 200 ekor unta.


Namun, para pemuda kaum musyrik gagal mencelakai Nabi di Gua Tsur. Mengapa hal itu bisa terjadi? Berikut ini kisahnya.

Kisah Kaum Musyrik yang Gagal Mencelakai Nabi di Gua Tsur

Kaum musyrik gagal mencelakai Nabi Muhammad SAW di Gua Tsur karena mereka melihat ada sarang laba-laba di tempat tersebut. Tak hanya itu, pemuda kaum musyrik juga melihat ada dua ekor burung dara hutan di lubang gua sehingga mereka yakin tidak ada orang di dalamnya.

Dikisahkan dalam buku 99 Kisah Menakjubkan dalam Al-Qur’an karya Ridwan Abqary, awalnya kaum musyrik Quraisy begitu marah ketika menyadari telah tertipu Ali bin Abi Thalib yang menyamar menjadi Rasulullah SAW. Nabi SAW kala itu sudah tidak lagi ada di rumahnya ataupun di Makkah.

Mereka mendapati Ali bin Abi Thalib yang tidur di atas kasur Rasulullah SAW. Kaum musyrik pun panik kehilangan sosok yang menjadi buruan mereka. Akhirnya, pencarian pun dilakukan di setiap jengkal Kota Makkah dan daerah sekitarnya.

Semua tempat diperiksa dengan teliti hingga akhirnya mereka melihat ada sebuah gua, yaitu Gua Tsur. Lalu pemuda dari kaum musyrik berjalan ke arahnya dan melihat Abdullah sedang menggembalakan kambing-kambingnya di dekat gua itu.

Pemuda dari kaum musyrik itu bertanya sambil menunjuk ke arah Gua Tsur, “Wahai penggembala, apakah engkau melihat ada seseorang di dalam gua itu?”

“Sudah beberapa hari ini saya menggembala di sini, tetapi tak seorang pun saya lihat masuk ke gua itu,” jawab Abdullah.

Percakapan Kaum Quraisy dengan Abdullah itu begitu keras hingga Nabi SAW dan Abu Bakar mendengarnya dari dalam gua. Beliau tak henti-hentinya berdoa kepada Allah SWT untuk memohon perlindungan dan pertolongan-Nya. Hanya kepada Allah SWT mereka menyerahkan semua nasib yang menimpanya.

Salah seorang pemuda kaum musyrik bertanya, “Apakah kita akan masuk ke gua ini?”

“Aku yakin tidak ada seorang pun yang masuk ke gua,” timpal seorang pemuda yang lainnya.

“Lihatlah, ada sarang laba-laba menutupi mulut gua. Sarang laba-laba itu sepertinya sudah lama ada di sana. Mungkin sebelum Muhammad lahir pun, sarang laba-laba itu sudah ada.”

Sepasang burung merpati terbang ketika melihat pemuda dari kaum musyrikin hendak masuk ke dalam Gua Tsur. Para pemuda itu juga melihat ada sebutir telur di sarang burung yang terletak di mulut gua.

“Tidak mungkin ada orang yang masuk ke sana. Buktinya, burung merpati itu bisa bertelur di mulut gua,” ucap salah seorang pemuda kaum musyrikin lagi.

Kafir Quraisy yang sedang mencari-cari Nabi SAW pun merasa yakin beliau tidak mungkin ada di dalam Gua Tsur. Apalagi, mereka juga melihat ada sebatang dahan pohon yang terkulai menghalangi mulut gua. Siapapun yang masuk ke dalamnya, harus menyingkirkan dahan-dahan pohon tersebut.

Akhirnya, para pemuda kaum musyrik pun gagal mencelakai Nabi di Gua Tsur karena mereka berangsur-angsur mundur dari tempat itu dan pergi menjauh.

Nabi SAW dan Abu Bakar yang sudah merasa ketakutan di dalam gua pun langsung mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah melindunginya dari serangan orang-orang musyrik.

Atas mukjizat dan kekuasaan-Nya, laba-laba datang dan menganyam sarangnya agar dapat menghalangi pandangan ke dalam gua. Kemudian dua ekor burung merpati juga hinggap dan bertelur di pintu masuk gua. Sebatang pohon pun tumbuh di tempat yang sebelumnya tidak ditumbuhi pepohonan sama sekali. Wallahu ‘alam bish shawab.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Juraij, Ahli Ibadah yang Durhaka terhadap Ibunya



Jakarta

Ada seorang ahli ibadah yang dikisahkan durhaka pada ibunya karena melalaikan panggilan dari sang ibu. Kisahnya bahkan diabadikan dalam riwayat hadits yang pernah diceritakan oleh Rasulullah SAW.

Juraij namanya. Ia adalah sosok lelaki dari Bani Israil yang dikisahkan rajin beribadah bahkan disebut sebagai sosok pemilik rumah ibadah. Kisah tersebut bersumber dari Abu Hurairah RA yang pernah mengutip cerita dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengisahkan,

“Tidak ada seorang bayi pun yang dapat berbicara ketika sedang digoyang dalam buaian, kecuali Isa ibnu Maryam dan bayi yang disebut dalam cerita tentang Juraij,”


Lalu, dikutip dari buku Shahih Adabul Mufrad oleh Imam Bukhari, ada yang bertanya, “Wahai Nabi Allah, bagaimana cerita tentang Juraij?”

Rasulullah SAW menjawab, “Juraij adalah seorang yang selalu beribadah di tempat ibadahnya. Di bawah tempat ibadahnya ada seorang penggembala sapi, dan seorang perempuan dari desa tersebut berzina dengan penggembala sapi tersebut.”

Suatu hari, ibu Juraij datang saat Juraij sedang beribadah dan memanggilnya dengan nama ‘Juraij’ ketika dia sedang beribadah. Juraij merasa ragu antara menjawab ibunya atau melanjutkan salatnya.

Namun, pada akhirnya, Juraij memilih untuk melanjutkan salatnya. Ibunya memanggilnya kedua kalinya, dan Juraij kembali memilih salatnya.

Ibunya kemudian memanggil untuk ketiga kalinya dan dalam hatinya Juraij berpikir, “Ibuku atau salatku?’ Sekali lagi, dia memilih untuk melanjutkan salatnya.

Karena Juraij tidak kunjung menjawab panggilannya, ibunya marah dan berdoa, “Semoga Allah tidak mematikanmu, wahai Juraij, kecuali jika engkau melihat wajah perempuan-perempuan pelacur.” Setelah itu, ibunya pergi.

Pada suatu hari, tiba-tiba, seorang wanita yang melahirkan anak hasil perzinahan dihadapkan kepada seorang raja. Raja bertanya, “Siapa yang menghamilimu?”

Wanita itu menjawab, “Dari Juraij.” Raja bertanya lagi, “Pemilik tempat ibadah itu?” Wanita itu menjawab, “Ya.”

Raja kemudian memerintahkan bawahannya untuk menghancurkan tempat ibadah itu. Ia juga meminta bawahannya untuk membawa Juraij kepadanya.

Masyarakat kemudian menghancurkan tempat ibadah itu dengan berbagai macam alat seperti martil dan kapak, hingga tempat ibadah itu roboh. Juraij kemudian diikat dan ditarik melewati para wanita pelacur sambil tersenyum dan para pelacur itu ditampilkan di hadapannya di tengah kerumunan orang.

Sang raja berkata, “Apa yang mereka tuduhkan kepadamu?”

Juraij menjawab, “Apa yang mereka tuduhkan terhadapku?”

Raja berkata, “Mereka menuduhmu sebagai ayah anak ini.”

Juraij bertanya, “Di mana bayi itu?” Mereka menjawab, “Itu, bayi yang ada di pangkuannya.”

Juraij mendekati bayi itu dan bertanya, “Siapa ayahmu?’

Bayi itu menjawab, “Penggembala sapi.”

Setelah itu, sang raja pun merasa bersalah terlalu gegabah menuduh Juraij. Hingga ia pun menawarkan, “Apakah kami harus membangun kembali tempat ibadahmu dari emas?”

Juraij menjawab, “Tidak.” Sang raja bertanya lagi, “Dari perak?”

Juraij menjawab, “Tidak.” Lalu sang raja berkata, “Lalu dengan apa kami harus mengganti tempat ibadahmu?”

Juraij menjawab, “Kembalikan tempat ibadah itu seperti semula.” Namun, setelahnya, Juraij tersenyum seakan teringat sesuatu.

Sang raja bertanya, “Kenapa engkau tersenyum?”

Juraij menjawab, “(Aku tertawa) karena suatu perkara yang sudah kuketahui, yaitu terkabulnya doa ibuku terhadap diriku,”

Begitulah kisah Juraij, Allah SWT mengabulkan doa orang tua kepada anaknya dan menolong Juraij dengan mukjizat bayi yang bisa bicara agar menjadi pelajaran bagi umat muslim semua.

Kisah ini memiliki kaitan erat dengan bagaimana mustajabnya doa kedua orang tua apalagi yang dizalimi atau didurhakai. Rasulullah SAW dalam haditsnya pernah bersabda, “Terdapat tiga doa yang tidak pernah diragukan kemustajabannya, yaitu, doa orang orang yang dizhalimi (dianiaya), doa orang musafir, dan doa kedua orang tua kepada anaknya.”

Wallahu’alam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Musa Membelah Laut Merah, Tenggelamkan Firaun dan Bala Tentaranya



Jakarta

Nabi Musa termasuk ke dalam 25 nabi dan rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Sebagai utusan Allah SWT, tentu Nabi Musa dikaruniai mukjizat.

Mukjizat diberikan oleh Allah SWT kepada utusan-Nya untuk membuktikan kenabian atau kerasulan mereka. Dalam bahasa Arab, mukjizat berasal dari kata a’jaza yang artinya melemahkan atau menjadikan tidak mampu, seperti dikutip dari buku Aqidah Akhlak susunan Taofik Yusmansyah.

Salah satu mukjizat Nabi Musa yang paling terkenal ialah membelah Laut Merah. Hal ini dijelaskan dalam surat Thaha ayat 77-79,


وَلَقَدْ اَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اَنْ اَسْرِ بِعِبَادِيْ فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيْقًا فِى الْبَحْرِ يَبَسًاۙ لَّا تَخٰفُ دَرَكًا وَّلَا تَخْشٰى (77

فَاَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ بِجُنُوْدِهٖ فَغَشِيَهُمْ مِّنَ الْيَمِّ مَا غَشِيَهُمْ (78 ۗ

وَاَضَلَّ فِرْعَوْنُ قَوْمَهٗ وَمَا هَدٰى (79

Artinya: “Sungguh, telah Kami wahyukan kepada Musa, “Pergilah bersama hamba-hamba-Ku (Bani Israil) pada malam hari dan pukullah laut itu untuk menjadi jalan yang kering bagi mereka tanpa rasa takut akan tersusul dan tanpa rasa khawatir (akan tenggelam).” Firaun dengan bala tentaranya lalu mengejar mereka (Musa dan pengikutnya), tetapi mereka (Firaun dengan bala tentaranya) digulung ombak laut (yang dahsyat) sehingga menenggelamkan mereka. Fir’aun telah menyesatkan kaumnya dan tidak memberi (mereka) petunjuk,” (QS. Taha: 77-79)

Dikisahkan dalam buku Agama Islam yang ditulis oleh Hj Hindun Anwar, wahyu yang pertama kali diterima Nabi Musa ialah langsung dari Allah. Wahyu tersebut menjadi tanda kenabian pada diri nabi Musa.

Bukit Thursina merupakan lokasi Musa berdialog dengan Allah SWT. Dalam surat Al Qashash ayat 31, Allah berfirman,

وَأَنْ أَلْقِ عَصَاكَ ۖ فَلَمَّا رَءَاهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَآنٌّ وَلَّىٰ مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ ۚ يَٰمُوسَىٰٓ أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ ۖ إِنَّكَ مِنَ ٱلْءَامِنِينَ

Artinya: “Dan lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah dia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Kemudian Musa diseru): “Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman,”

Mukjizat Nabi Musa sampai ke telinga Firaun. Ia lantas menentang sang nabi dan mengundang ahli sihir untuk melawan kekuatan Nabi Musa AS.

“Hai Musa, jika kamu memang benar, coba kamu buktikan pada ahli sihir ini,” kata Firaun.

Para ahli sihir memperlihatkan kemampuan mereka masing-masing. Mereka berhasil mengubah tali menjadi ular, namun Nabi Musa tidak takut dengan ancaman Firaun.

Tanpa ragu, Nabi Musa melemparkan tongkatnya. Atas izin Allah SWT, tongkat tersebut berubah menjadi ular yang besar dan memakan ular-ular kecil milik para ahli sihir.

Menyaksikan mukjizat Nabi Musa, para ahli sihir sangat terkejut. Setelah kejadian itu, mereka menjadi pengikut Musa dan beriman kepada Allah SWT.

Usai kejadian itu, pengikut Nabi Musa semakin banyak. Firaun semakin murka mengetahui hal tersebut hingga memerintahkan tentaranya untuk mengejar Musa sampai di Laut Merah.

Kala itu, Nabi Musa bingung. Sebab, tidak ada jalan selain melintasi Laut Merah, sementara bala tentara Firaun mengejar mereka di belakang.

Allah SWT segera memberi perintah kepada Nabi Musa untuk memukulkan tongkatnya. Atas kuasa Allah, Laut Merah tersebut terbelah hingga membentuk jalan.

Nabi Musa dan pengikutnya segera berjalan melewati laut tersebut sampai tiba di seberang lautan. Bala tentara Firaun tidak menyerah, mereka terus mengejar Musa dan pengikutnya melalui jalan di laut yang muncul akibat pukulan tongkat Sang Nabi.

Setelah Nabi Musa dan pengikutnya sampai di seberang lautan, dipukulkan lagi tongkat itu ke laut. Seketika, Laut Merah kembali menutup dan menyebabkan Firaun beserta tentaranya tenggelam.

Kisah mengenai Nabi Musa yang membelah Laut Merah diabadikan dalam surat Al Baqarah ayat 50,

وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ ٱلْبَحْرَ فَأَنجَيْنَٰكُمْ وَأَغْرَقْنَآ ءَالَ فِرْعَوْنَ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Firaun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan,”

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kekalahan Pasukan Muslim di Perang Uhud, Apa Penyebabnya?


Jakarta

Pasukan muslim sempat menelan kekalahan ketika Perang Uhud. Peristiwa yang terjadi pada Syawal 3 H itu berlangsung di kaki Bukit Uhud, tepatnya sebelah utara Kota Madinah.

Perang Uhud termasuk ke dalam salah satu peperangan besar dalam Islam. Rasulullah SAW memimpin langsung pasukan muslim pada perang ini.

Menurut buku Sang Panglima Tak Terkalahkan Khalid Bin Walid karya Hanatul Ula Maulidya, kala itu jumlah pasukan muslim hanya 1.000, sementara tentara kafir Quraisy mencapai 3.000 pasukan. Rincian pasukan muslim terdiri atas gabungan masyarakat Makkah dan Madinah.


Sementara itu, pasukan Quraisy mencakup 200 tentara berkuda, 700 pasukan berkendara unta, dan sisanya pasukan pemanah serta pejalan. Namun, ketika dalam perjalanan menuju Gunung Uhud, Abdullah bin Ubah yang merupakan pemimpin bani terbesar di kaum Quraisy membelot, ia lantas membawa 300 pasukan muslimin.

Dengan demikian, prajurit muslim hanya tersisa 700 orang. Dengan jumlah yang sedikit itu, kaum muslimin tetap harus mengalahkan pasukan kafir Quraisy.

Perang Uhud dilatarbelakangi kekalahan pasukan kafir Quraisy dalam Perang Badar yang menyebabkan munculnya dendam terhadap kaum muslimin. Menurut As-Sirah An-Nabawiyah susunan Ibnu Hisyam, ketika kaum Quraisy kalah pada Perang Badar, tentara yang tewas dimasukkan ke dalam sebuah sumur sedangkan sisanya yang hidup kembali ke Makkah.

Karenanya, pada Perang Badar ini kafir Quraisy merencanakan serangan besar-besaran kepada pasukan muslim. Bahkan, Abu Sufyan dan para saudagar mengumpulkan harta bersama dengan golongan Ahabisy, yaitu kabilah-kabilah Arab di luar Quraisy yang telah sepakat menyerah Nabi Muhammad SAW.

Lantas, apa penyebab kekalahan pasukan muslim di Perang Uhud?

Penyebab Kalahnya Prajurit Muslim pada Perang Uhud

Mengutip dari buku Islam at War yang ditulis oleh George F Nafziger, meski jumlah antara pasukan muslim dan kafir Quraisy berbanding terbalik, ketika peperangan berlangsung kaum muslimin sempat unggul. Bahkan pasukan Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan terlihat kewalahan.

Keunggulan ini disebabkan strategi Rasulullah SAW yang menempatkan 150 pasukan pemanah di atas bukit untuk melindungi pasukan yang berada di bawah bukit. Nabi Muhammad SAW menginstruksikan pasukan pemanah dalam Perang Uhud untuk tidak berpindah dari posisi mereka dan selalu waspada, apapun yang terjadi.

Sayangnya, imbauan beliau tidak dihiraukan. Ketika pasukan Quraisy kewalahan dan korban berjatuhan, pemanah muslimin justru berbondong-bondong turun dari bukit dan berebut harta rampasan perang. Padahal, Rasulullah SAW sudah menginstruksikan mereka untuk tetap pada posisi.

Hal tersebut lantas mengakibatkan pasukan Quraisy yang sebelumnya sudah mundur menjadi kembali karena aman dari ancaman pemanah. Korban dalam Perang Uhud tercatat menjadi yang terbanyak selama Rasulullah SAW masih hidup, yaitu 72 orang.

Dalam Perang Uhud, sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib ikut gugur. Ia dibunuh oleh Wahsyi bin Harb, seorang budak Quraisy yang kemudian masuk Islam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Ibrahim Berdebat dengan Kaumnya soal Tuhan yang Berhak Disembah



Jakarta

Nabi Ibrahim AS adalah rasul ulul azmi yang mempunyai kisah hidup yang luar biasa apalagi selama masa kenabiannya. Kisah Nabi Ibrahim AS ini turut diceritakan dalam Al-Qur’an, salah satunya ketika ia berdebat dengan kaumnya.

Sosok Nabi Ibrahim

Dikutip dari Qashash Al-Anbiyaa tulisan Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa nama Nabi Ibrahim AS adalah Ibrahim bin Tarikh. Ia berasal dan keluarga Nahur, Sarugh, Raghu, Faligh, ‘Abir, Syalih, Arfakhsyadz, Sam, dan Nuh. Informasi ini didapatkan dari penjelasan Ahli Kitab dalam kitab mereka.

Al-Hafizh Ibnu Asakir, dalam kitab Tarikh-nya, menceritakan tentang biografi Nabi Ibrahim Khalilullah. Ia merujuk pada Ishaq bin Basyar al-Khalili, penulis kitab Al-Mubtada, yang menyebutkan bahwa nama ibunda Ibrahim adalah Amilah.


Al-Kalabi juga menyebutkan bahwa nama ibunda Nabi Ibrahim AS adalah Buna binti Karbita bin Kartsi, yang berasal dari Bani Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh. Ibnu Asakir juga meriwayatkan melalui jalur riwayat lain dari Ikrimah, yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim AS memiliki gelar Abu adh-Dhaifan.

Beberapa orang berpendapat bahwa saat Tarikh berusia 75 tahun, Ibrahim, Nahur, dan Haran dilahirkan. Kemudian Haran memiliki seorang putra bernama Luth.

Ada juga pendapat bahwa Nabi Ibrahim AS sebenarnya adalah al-Ausath, sementara Haran meninggal di tanah kelahirannya saat ayah mereka masih hidup. Tanah kelahiran mereka berada di wilayah Kaldaniyyun, di kawasan Babilonia.

Pendapat terakhir ini lebih diterima dan populer di kalangan ahli sejarah dan ahli biografi. Ibnu Asakir membenarkan pendapat ini setelah meriwayatkannya melalui jalur riwayat Hisyam bin Imar, al-Walid, Sa’id bin Abdul Aziz, Makhul, dan Ibnu Abbas. Mereka mengatakan bahwa Ibrahim dilahirkan di Ghauthah, Damaskus, di sebuah desa yang disebut Barzah, yang terletak di Gunung Qasiyun.

Selanjutnya, Ibnu Abbas berkata, “(Pendapat) yang benar adalah Ibrahim dilahirkan bertepat di Babilonia. Dinisbatkannya Babilonia sebagai tempat kelahiran Ibrahim adalah dari dalih bahwa beliau pernah mengerjakan shalat di sana ketika beliau mengunjungi Luth (keponakannya).”

Kisah Nabi Ibrahim Berdebat dengan Kaumnya

Perihal kisah ini diceritakan dalam Al-Qur’an, tepatnya pada surah Al-An’am. Allah SWT berfirman,

“Demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin.

Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka, ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.”

Kemudian, ketika dia melihat bulan terbit dia berkata (kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku.” Akan tetapi, ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk kaum yang sesat.”

Kemudian, ketika dia melihat matahari terbit dia berkata (lagi kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.” Akan tetapi, ketika matahari terbenam dia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari yang kamu persekutukan.”

Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (hanya) kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan (mengikuti) agama yang lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.

Kaumnya membantah. Dia (Ibrahim) berkata, “Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada yang kamu persekutukan dengan-Nya, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?”

Bagaimana mungkin aku takut kepada yang kamu sekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut menyekutukan sesuatu dengan Allah yang Dia (sendiri) tidak pernah menurunkan kepadamu alasan apa pun. Maka, golongan yang manakah dari keduanya yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka) jika kamu mengetahui?”

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), merekalah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapat petunjuk.

Itulah keterangan yang Kami anugerahkan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan orang yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS Al An’am: 75-83)

Dijelaskan lebih lanjut oleh Ibnu Katsir bahwa dialog di atas adalah sanggahan yang diajukan oleh Nabi Ibrahim AS kepada kaumnya. Dalam dialog tersebut, Nabi Ibrahim AS menyanggah keyakinan kaumnya yang menyembah benda-benda langit seperti bintang-bintang.

Nabi Ibrahim AS menjelaskan bahwa benda-benda langit tersebut tidak layak dijadikan sebagai Tuhan, karena mereka adalah makhluk yang diciptakan, diatur, dan ditundukkan oleh Tuhan yang menciptakannya. Meskipun benda-benda langit tersebut muncul dan tenggelam, lenyap dari alam ini, Tuhan tetap kekal dan abadi. Tidak ada Tuhan selain Allah dan tidak ada yang pantas disembah kecuali Dia.

Pertama-tama, Nabi Ibrahim AS menjelaskan kepada kaumnya bahwa bintang-bintang tidak mungkin dijadikan sebagai Tuhan. Ada yang menyebutkan bahwa bintang yang dimaksud adalah Lucifer (Bintang Fajar).

Selanjutnya, Nabi Ibrahim AS meningkatkan penjelasannya kepada bulan yang memiliki cahaya yang lebih besar daripada bintang. Kemudian, penjelasan Ibrahim semakin meningkat pada matahari yang memiliki sinar paling terang di antara benda langit lainnya.

Nabi Ibrahim AS menjelaskan bahwa semua benda tersebut tunduk, digerakkan, dan dikuasai berdasarkan kehendak Tuhan, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT,

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah menyembah matahari maupun bulan, tetapi sembahlah Allah yang menciptakannya, jika hanya Dia yang pantas untuk disembah.” (QS Fushshilat: 37)

Karenanya, Allah berfirman,

“Kemudian, ketika dia melihat matahari terbit dia berkata (lagi kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.” Akan tetapi, ketika matahari terbenam dia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari yang kamu persekutukan.”

Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (hanya) kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan (mengikuti) agama yang lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.

Kaumnya membantah. Dia (Ibrahim) berkata, “Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada yang kamu persekutukan dengan-Nya, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?” (QS. Al-An’am: 78-80)

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, dalam ayat tersebut Nabi Ibrahim AS menyampaikan bahwa ia tidak mempedulikan tuhan-tuhan yang kaumnya sembah selain Allah. Ia menjelaskan bahwa semua tuhan sembahan mereka tidak memiliki manfaat sedikit pun, tidak dapat mendengar, dan tidak memiliki akal. Mereka hanyalah benda-benda yang diatur dan dikendalikan oleh Tuhan, seperti bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya.

Hal tersebut juga merupakan sanggahan terhadap pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim AS mengungkapkan hal itu ketika ia keluar dari sebuah lorong saat masih kecil, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Ishaq dan lainnya berdasarkan kabar-kabar israiliyat yang tidak dapat dipercaya dan bertentangan dengan kebenaran.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Umar bin Khattab Bentak Malaikat Munkar-Nakir di Alam Barzakh


Jakarta

Umar bin Khattab RA adalah salah satu sahabat Nabi SAW yang dikenal setia dan pemberani. Salah satu kisah Umar bin Khattab RA yang menunjukkan keberaniannya adalah saat ia membentak malaikat.

Keberanian Umar RA tetap terlihat saat dia berhadapan dengan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur. Setiap individu yang meninggal akan mengalami fase alam kubur.

Di dalam alam ini, ada dua malaikat yang bernama Munkar dan Nakir yang memiliki tugas untuk mengajukan pertanyaan kepada individu yang meninggal.


Tugas Malaikat Munkar dan Nakir dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah, di mana Rasulullah SAW bersabda,

إِذَا قُبِرَ الْمَيِّتُ أَوْ قَالَ أَحَدُكُمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ يُقَالُ لأَحَدِهِمَا الْمُنْكَرُ وَالآخَرُ النَّكِيرُ ، فَيَقُولَانِ : مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ ؟ فَيَقُولُ مَا كَانَ يَقُولُ

Artinya: “Apabila jenazah atau salah satu dari kalian dikubur, maka dua malaikat yang berwujud hitam dan biru, salah satunya bernama Munkar dan yang lain bernama Nakir, akan datang dan bertanya: ‘Apa pendapatmu tentang orang ini (Nabi Muhammad)?’ Lalu orang tersebut akan menjawab sebagaimana yang dia katakan di dunia…” (HR Tirmidzi)

Setiap orang yang beriman akan dengan mudah menjawab pertanyaan dari Malaikat Munkar dan Nakir. Namun, bagi orang yang berlaku zalim, mereka akan kesulitan menjawabnya. Wallahu a’lam.

Umar bin Khattab RA pun mendapatkan pertanyaan dari kedua malaikat tersebut. Namun, ia justru balik bertanya. Berikut kisah Umar bin Khattab RA membentak malaikat yang dikutip dari buku Akidah Akhlak Madrasah Ibtidaiyah tulisan Fida’ Abdillah dan Yusak Burhanudin.

Kisah Umar Membentak Malaikat

Suatu ketika Rasulullah SAW membicarakan Malaikat Munkar dan Nakir kepada para sahabat. Beliau menggambarkan bahwa Malaikat Munkar dan Nakir akan mendatangi seorang mayat di kuburan dalam bentuk yang menyeramkan; berkulit hitam, garang, keras, dengan sifat-sifat buruk dan menakutkan lainnya.

Setelah mendengar penjelasan Rasulullah SAW, Sayyidina Umar RA bertanya, “Ya Rasulullah, apakah di alam kubur nanti aku akan menjadi seperti sekarang ini?”

Rasulullah SAW menjawab, “Ya, engkau akan tetap dalam keadaan seperti sekarang.”

Mendengar itu, Sayyidina Umar RA dengan tegas menyatakan, “Demi Allah, aku akan melawan kedua malaikat itu!”

Menurut riwayat, setelah Sayyidina Umar bin Khattab RA meninggal dunia, putranya yang bernama Abdullah bermimpi bertemu dengannya. Dalam mimpinya, Abdullah menanyakan tentang keadaan ayahnya di alam kubur.

Umar menjelaskan bahwa dia didatangi oleh dua malaikat. Malaikat-malaikat tersebut bertanya kepadanya, “Siapakah Tuhanmu? Siapakah nabimu?” Umar menjawab dengan tegas, “Tuhan saya adalah Allah dan nabiku adalah Muhammad.” Lalu Umar pun bertanya kepada kedua malaikat, “Siapakah Tuhan kalian berdua?” Mendengar pertanyaan itu, kedua malaikat saling pandang. Salah satu dari mereka berkata, “Ini adalah Umar bin Khattab.”

Setelah itu, kedua malaikat itu pergi meninggalkannya.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com