Category Archives: Kisah

Kisah Nabi Sulaiman yang Berhasil Penjarakan Iblis



Jakarta

Nabi Sulaiman mendapatkan banyak mukjizat dari Allah SWT. Semasa hidup, ia bisa berkomunikasi dengan hewan dan bangsa jin, ia juga berhasil menjadi raja yang kaya. Termasuk mukjizat dari Allah SWT yakni keberhasilan Nabi Sulaiman menangkap dan memenjarakan iblis.

Mengutip buku The Leadership of Sulaiman oleh Ibnu Mas’ud, dikisahkan dalam sebuah riwayat yang menyebutkan sebutkan bahwa Nabi Sulaiman pernah memohon kepada Allah untuk menangkap iblis.

“Ya Allah, Engkau telah menundukkan bagiku manusia, jin, binatang buas, burung-burung, dan para malaikat. Ya Allah, aku ingin menangkap iblis, memenjarakan, merantai serta mengikatnya, sehingga manusia tidak melakukan dosa dan maksiat lagi,” pinta Nabi Sulaiman kepada Allah SWT.


Tujuan Nabi Sulaiman menangkap iblis hanya satu, yaitu agar tidak ada lagi yang mengganggu manusia.

Allah SWT sebenarnya melarang Nabi Sulaiman menangkap iblis, karena perbuatan tersebut tidak ada gunanya. Tetapi, Nabi Sulaiman bersikukuh ingin menangkap dan memenjarakan iblis.

Allah SWT: “Wahai Sulaiman, tidak ada gunanya jika iblis ditangkap.”

Nabi Sulaiman: “Ya Allah, keberadaan makhluk terkutuk ini tidak ada kebaikan di dalamnya.”

Allah SWT: “Jika iblis ditangkap, maka banyak pekerjaan manusia yang akan ditinggalkan.”

Nabi Sulaiman: “Ya Allah, aku ingin menangkap makhluk terkutuk ini beberapa hari saja.”

Setelah mendapat izin dari Allah SWT, Nabi Sulaiman pun menangkap iblis dan memenjarakannya. Setelah iblis ditangkap, Nabi Sulaiman memerintahkan anak buahnya pergi ke pasar untuk menjual tas hasil kerajinan kerajaan.

Uang hasil penjualan tas ini akan digunakan untuk membeli gandum. Nabi Sulaiman memang dikenal sebagai raja yang kaya raya namun ia tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.

Dalam buku Perjumpaan Dengan Iblis oleh Muhammad Syahir Alaydrus, dijelaskan ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa setiap hari di dapur (istana) Nabi Sulaiman dimasak 4.000 ekor unta, 5.000 ekor sapi, dan 6.000 ekor kambing. Meski demikian, Nabi Sulaiman tetap membuat tas dan menjualnya ke pasar untuk mencari makan.

Sayangnya saat hendak menjual tas, anak buah Nabi Sulaiman mendapati pagi itu pasar tutup. Tidak ada satu pun orang yang berjualan.

Atas kejadian tersebut, dilaporkanlah hal tersebut kepada Nabi Sulaiman. Nabi Sulaiman bertanya, “Kenapa bisa begitu? Apa yang terjadi?” Tidak ada jawaban.

Setelah peristiwa itu berlangsung beberapa hari, Nabi Sulaiman akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada Allah SWT, “Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa orang-orang tidak bekerja mencari nafkah?”

Dan, Allah SWT menjawab, “Wahai Sulaiman, engkau telah menangkap iblis itu, sehingga akibatnya manusia tidak bergairah bekerja mencari nafkah. Bukankah sebelumnya telah Aku katakan padamu bahwa menangkap iblis tidak mendatangkan kebaikan?”

Iblis yang ditangkap Nabi Sulaiman berhenti menggoda manusia sehingga manusia tidak lagi bersemangat mencari hal yang sifatnya duniawi.

Akhirnya, Nabi Sulaiman pun segera melepaskan iblis. Keesokan harinya, orang-orang kembali pada aktivitasnya di pasar. Membuka kios, bekerja dan mencari nafkah untuk kehidupan duniawi.

Demikianlah kisah kehebatan Nabi Sulaiman. Sebagai manusia beriman, ia diberi kelebihan oleh Allah SWT mampu menangkap iblis, menguasai jin, menundukkan angin dan binatang, dan menjadi raja atas manusia. Dengan kekuatan dan mukjizat tersebut Nabi Sulaiman tetap takwa kepada Allah SWT dan bersikap bijaksana.

(dvs/nwk)



Sumber : www.detik.com

Diterimanya Tobat Nabi Adam pada Hari Asyura, Begini Kisahnya



Jakarta

Hari Asyura yang jatuh pada 10 Muharram menyimpan sejumlah peristiwa dalam sejarah para nabi. Dikatakan, Allah SWT menerima tobat Nabi Adam AS pada hari tersebut.

Kisah tobatnya Nabi Adam AS ini diceritakan dalam Qashash Al-Anbiyaa karya Ibnu Katsir. Dikisahkan, ketika berada di surga, Nabi Adam AS dan istrinya, Hawa, melakukan sebuah kesalahan berupa memakan buah dari pohon terlarang akibat bujuk rayu iblis. Ulama berbeda pendapat terkait apakah ini merupakan sebuah kiasan.

Allah SWT berfirman,


فَدَلّٰىهُمَا بِغُرُوْرٍۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْءٰتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفٰنِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَّرَقِ الْجَنَّةِۗ وَنَادٰىهُمَا رَبُّهُمَآ اَلَمْ اَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَاَقُلْ لَّكُمَآ اِنَّ الشَّيْطٰنَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ٢٢

Artinya: “Ia (setan) menjerumuskan keduanya dengan tipu daya. Maka, ketika keduanya telah mencicipi (buah) pohon itu, tampaklah pada keduanya auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (di) surga. Tuhan mereka menyeru mereka, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (QS Al A’raf: 22)

Lebih lanjut ditafsirkan, akibat perbuatan tersebut Allah SWT mengeluarkan Nabi Adam AS dan Hawa dari surga. Al-Hafizh ibnu Asakir meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata, “Allah memerintahkan dua malaikat untuk mengeluarkan Adam dan Hawa dari sisi-Nya. Jibril melepas mahkota dari kepala Adam sementara Mikail melepas tanda kehormatan dari jidatnya.

Selanjutnya, benda-benda berharga itu digantungkan pada sebatang dahan. Adam menyangka hukuman akan disegerakan baginya sehingga beliau menundukkan kepalanya seraya berkata: ‘Maafkan aku. Maafkan aku.’ Allah lalu berfirman kepada beliau: ‘Engkau hendak lari dari-Ku?’ Adam menjawab: ‘Tidak, tetapi aku malu pada-Mu, wahai Tuhanku’.”

Menurut riwayat yang berasal dari Abu Hurairah, peristiwa turunnya Nabi Adam AS dan Hawa ke bumi terjadi pada hari Jumat. Rasulullah SAW bersabda,

“Sebaik-baik hari yang padanya matahari terbit adalah hari Jumat. Pada hari itu Adam diciptakan. Pada hari itu juga beliau dimasukkan ke surga dan pada hari itu pula beliau diturunkan dari surga, dan pada hari itu juga akan terjadi kiamat.” (HR Ahmad)

Atas peristiwa tersebut, Nabi Adam AS dan Hawa bertobat, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ٢٣

Artinya: Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Al A’raf: 23)

Hingga pada akhirnya Allah SWT menerima tobat Nabi Adam AS dan Hawa sebagaimana Dia berfirman,

فَتَلَقّٰٓى اٰدَمُ مِنْ رَّبِّهٖ كَلِمٰتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّهٗ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ ٣٧

Artinya: “Kemudian, Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al Baqarah: 37)

Menurut sebuah riwayat, Allah SWT menerima tobat Nabi Adam AS pada hari Asyura (10 Muharram). Imam Baihaqi dalam Kitab Fadha ‘Ilul Quqat mengeluarkan riwayat yang panjang terkait diterimanya tobat Nabi Adam AS pada hari Asyura. Berikut penggalan haditsnya,

“…Allah menciptakan Adam pada hari Asyura. Demikian halnya dengan Hawa. Allah menciptakan Ibrahim di hari Asyura dan pada hari itu pula Allah menyelamatkannya dari api dan mengganti (sembelihannya). Allah menenggelamkan Firaun pada hari Asyura, Allah mengangkat Idris AS pada hari Asyura, Allah menyembuhkan Ayyub pada hari Asyura, Allah mengangkat Isa bin Maryam juga pada hari Asyura, demikian juga ia dilahirkan pada hari Asyura. Allah menerima tobat Adam pada hari Asyura…”

Imam Baihaqi juga menyebutkan hadits serupa dalam redaksi yang lebih singkat dari Imam Ali, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada seorang laki-laki,

“Jika kamu ingin berpuasa sebulan selain puasa Ramadan, maka puasalah di bulan Muharram, sesungguhnya di sana terdapat hari di mana Allah menerima tobat kepada suatu kaum dan akan memberikan ampunan bagi kaum yang lain.” (HR Al-Baihaqi dalam Kitab Fadha ‘Ilul Quqat)

Wallahu a’lam.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Keberanian Nabi Ibrahim AS Menghancurkan Berhala Raja Namrud



Jakarta

Nabi Ibrahim termasuk ke dalam 25 nabi dan rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Ia tergolong sebagai rasul ulul azmi, sebuah gelar yang Allah berikan bagi rasul-Nya dengan kedudukan tinggi.

Ibnu Katsir melalui Qashash Al-Anbiyaa mengatakan bahwa nama Nabi Ibrahim AS adalah Ibrahim bin Tarikh. Beliau berasal dari keluarga Nahur, Sarugh, Raghu, Faligh, ‘Abir, Syalih, Arfakhsyadz, Sam, dan Nuh. Nama ibunya adalah Buna binti Karbita bin Kartsi yang berasal dari Bani Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh.

Disebutkan dalam buku Ibrahim Alaihissalam susunan Abu Haafizh Abdurrahmad, Nabi Ibrahim AS adalah ayahanda dari para nabi atau dijuluki Abul Anbiya. Putra Ibrahim juga merupakan seorang nabi yaitu Ismail AS.


Sebagai seorang rasul, tugas Nabi Ibrahim AS sangatlah berat. Ia dilahirkan di tengah masyarakat jahiliyah penyembah berhala dan tinggal pada masa Kerajaan Babilonia yang dikuasai oleh Raja Namrud.

Berkaitan dengan itu, ada kisah menarik mengenai Ibrahim yang menghancurkan berhala-berhala menggunakan kapaknya. Diceritakan dalam buku Kisah 25 Nabi dan Rasul For Kids oleh Yudho Pramuko, suatu hari Raja Namrud dan pengikutnya pergi keluar dari kampung halaman.

Mereka hendak melakukan upacara keagamaan, sehingga suasana gedung tempat berhala menjadi sepi. Kesempatan itu lantas digunakan oleh Ibrahim untuk menghancurkan berhala-berhala yang ada di dalamnya.

Sebelumnya, Ibrahim AS memang sudah berencana untuk menghancurkan para berhala. Hal ini dimaksudkan agar mereka berhenti menyembah berhala dan beriman kepada Allah SWT.

Akhirnya, Nabi Ibrahim AS memasuki gedung tempat berhala-berhala itu bersemayam. Dengan penuh semangat, Ibrahim AS menghancurkan satu persatu hingga menyisakan satu berhala yang paling besar.

Setelahnya, Nabi Ibrahim AS meletakkan kapaknya di leher berhala besar itu dalam keadaan menggantung. Ia lalu pulang kembali pulang ke rumahnya.

Ketika Raja Namrud dan para pengikutnya kembali, mereka sangat terkejut melihat berhala-berhala yang mereka sembah justru hancur. Mengetahui Ibrahim yang menghancurkan berhala tersebut, Raja Namrud kemudian memerintahkan para prajurit untuk menangkapnya.

Setelah berhasil ditangkap, Nabi Ibrahim dibawa ke pengadilan raja yang disaksikan oleh masyarakat umum. Sidang itu terbuka dengan tujuan rakyat mengetahui jalannya persidangan pelaku penghancuran berhala-berhala yang mereka sembah.

Raja Namrud bertanya, “Hai Ibrahim! Apakah kamu yang menghancurkan berhala-berhala itu?”

“Bukan,” jawab Nabi Ibrahim cepat.

Raja Namrud yang geram lantas mendesak Ibrahim, “Jangan mungkir, hai Ibrahim! Akui saja perbuatanmu itu,”

“Tidak!” ujar Nabi Ibrahim sambil bersikukuh.

Jawaban itu justru memancing kemarahan sang raja. Akhirnya, Ibrahim AS melanjutkan ucapannya, “Baiklah, kita sama-sama berakal. Persoalan saat ini adalah mencari pelaku penghancuran berhala itu. Siapa yang telah memperlakukan berhala-berhala seperti itu. Sebetulnya, buktinya sudah ada. Sekarang di hadapan kita ada satu patung besar dan di lehernya tergantung kapak besar. Mungkin dialah pelakunya!”

Ucapan Nabi Ibrahim AS semakin membuat Raja Namrud marah. Ia berkata, “Hai Ibrahim! Kau banyak akal. Kau pikir aku dan rakyatku sebodoh itu? Mana mungkin patung bisa aku ajak bicara dan aku tanyakan siapa pelakunya. Kau terlalu bodoh, hai Ibrahim!”

“Hai Raja Namrud! Rupanya yang bodoh bukan aku, tapi engkau dan seluruh rakyatmu. Buktinya, patung yang tidak berdaya apa–apa, tidak bisa bicara, tidak bisa dimintai pertolongan, dan tidak bisa mendatangkan kebaikan dan kejelekan itu, engkau sembah dan engkau puja,” kata Ibrahim AS menanggapi Raja Namrud.

Ia lalu melanjutkan, “Kalau engkau dan rakyatmu sudah tahu bahwa patung dan berhala yang kalian sembah itu tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, dan tidak bisa dimintai pertolongan, mengapa kalian sembah dan kalian puja? Di hadapannya, kalian berdoa. Kalian meminta kebaikan dan keselamatan. Sudah jelas, patung-patung yang kalian sembah itu tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari bahaya kehancuran,”

Mendengar jawaban Nabi Ibrahim AS, Raja Namrud dan para pengikutnya merasa terpojok. Ucapan beliau memang masuk akal, sehingga mereka tidak bisa berkata-bata.

Namun, akhirnya secara serentak mereka menangkap Nabi Ibrahim AS dan hendak membakarnya. Seketika itu juga, Raja Namrud menyuruh rakyatnya mencari kayu bakar.

Atas izin Allah, ketika api dinyalakan justru Nabi Ibrahim AS tidak merasa panas. Sebaliknya, api tersebut malah menyejukkan Ibrahim. Hal ini termasuk ke dalam salah satu mukjizat yang Allah SWT berikan kepada beliau.

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Muhammad SAW Menggembala Kambing di Masa Kecil



Jakarta

Nabi Muhammad SAW pernah menggembala kambing semasa kecil. Beliau menjadi salah satu nabi yang memiliki kambing dan merawatnya bersama Halimah, ibu susuannya.

Mengutip buku Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Volume 1 oleh Moenawar Khalil, kisah Nabi Muhammad SAW menggembala kambing dijelaskan dalam beberapa hadits.

Nabi Muhammad SAW telah ditinggal sang ayah, ketika beliau masih berusia dua bulan dalam kandungan ibunya, Aminah. Ketika meninggal dunia, sang ayah, Abdullah bin Abu Muthalib tidak meninggalkan harta benda yang banyak, kecuali lima ekor unta, beberapa ekor kambing, dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman yang kemudian menjadi perawat dan pengasuh pribadi beliau yang amat setia di rumah ibunya.


Sejak dilahirkan sebagai anak yatim, Nabi Muhammad SAW tidak pernah memiliki harta benda dan perhiasan dunia sebagaimana kebiasaan anak-anak bangsawan Quraisy lainnya.

Ketika beliau berusia kurang lebih empat tahun, yaitu waktu berada di bawah asuhan Halimah di dusunnya, dengan kehendak sendiri telah ikut menggembala kambing milik ibu susuannya, Halimah, bersama-sama dengan anak Halimah.

Mengutip buku Nabi Muhammad SAW – Kisah Manusia Paling Mulia di Dunia oleh Neti S, Aisyah Fad dan Endah W dikisahkan suatu saat, Muhammad kecil sedang menggembala kambing bersama sama saudara sepersusuannya kemudian datanglah malaikat Jibril menghampiri Muhammad dalam wujud manusia.

Malaikat Jibril memegang tangan mungil Muhammad. Hal itu membuat Muhammad kecil kaget dan pingsan.

Jibril membaringkan Muhammad di atas batu. Kemudian, ia membelah dada Muhammad dan mengeluarkan segumpal darah berwarna hitam dari hati Muhammad. Mereka membuang gumpalan darah hitam itu dari hati Muhammad.

Hati Muhammad dicuci hingga bersih dengan air zamzam dalam bejana emas. Setelah itu, Jibril menempatkan kembali hati tersebut di tempat semula.

Saudara-saudara susuan Muhammad ketakutan ketika melihat Muhammad dibelah dadanya oleh dua laki-laki jelmaan malaikat itu.

Mereka berlari pulang mengadukan hal tersebut kepada ibunya, Halimah.

“lbu…Ibu…Muhammad….dibunuh! Muhammad dibunuh!” jerit mereka ketakutan sambil menunjuk-nunjuk ke arah padang gembalaan.

“Ada apa dengan saudaramu?” tanya Halimah cemas.

“Muhammad…, ada orang yang ingin mencelakainya,” jawab anak itu terbata-bata.

Halimah terkejut dan cemas mendengar kabar yang disampaikan oleh anak-anaknya. Dengan perasaan cemas ia berlari menyusul Muhammad ke padang gembalaan kambing mereka.

Ketika sampai ke sana, Halimah tidak melihat sesuatu yang mengkhawatirkan telah terjadi pada diri Muhammad. la menemui Muhammad yang sedang asyik menggembalakan kambing dalam kondisi baik-baik saja. Muhammad terlihat sehat, bahkan rona wajahnya terlihat lebih cerah dari biasa.

“Apa yang telah terjadi padamu, wahai anakku?” tanya Halimah sambil merangkul Muhammad kecil.

“Dua orang laki-laki berjubah putih telah mengambil sesuatu dari tubuhku,” jawab Muhammad dengan lugu sambil memeluk ibu susunya itu.

“Apa itu?” tanya Halimah dengan wajah khawatir.

“Aku tidak tahu,” jawab Muhammad

“Kamu tidak apa-apa?” Halimah masih lemah sambil memeriksa tubuh anak susuannya itu. Namun, ia tidak menemukan kejanggalan apa pun pada diri Muhammad.

Karena khawatir, Halimah segera membawa Muhammad dan anak-anaknya pulang. Halimah kemudian membawa Muhammad kembali ke rumah ibunya, Aminah.

Nabi Muhammad kecil juga dikenal sebagai penggembala kambing milik penduduk Makkah.

Selanjutnya, setelah Nabi Muhammad kecil ditinggal wafat oleh ibunya. Beliau diasuh oleh sang kakek yang pada masa itu memegang kekuasaan di Makkah. Meskipun demikian, beliau tidak merasa malu untuk bekerja menggembala kambing sebagai buruh penggembala kambing milik
orang Makkah. Dari pekerjaan ini, Nabi Muhammad SAW memperoleh upah.

Riwayat pekerjaan sebagai penggembala kambing milik orang Makkah itu, oleh beliau sendiri pernah dinyatakan dengan sabdanya kepada sebagian sahabat ketika beliau telah menjadi nabi dan rasul Allah, yang bunyinya menurut riwayat sebagai berikut,
“Allah tidak mengutus seorang Nabi melainkan dia pernah menggembala kambing. “Para sahabat bertanya, “Dan engkau, ya Rasulullah?” Beliau bersabda. “Dan, aku sudah pernah juga menggembala kambing milik orang Makkah dengan menerima upah yang tidak seberapa banyaknya.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain, beliau bersabda,

“Nabi Musa diutus dan dia seorang penggembala kambing, dan Nabi Daud diutus dan dia seorang penggembala kambing, dan aku diutus dan aku juga menggembala kambing ahliku (keluargaku) di kampung Jiyad.” (HR. an Nasa’i)

Selanjutnya setelah berusia dua belas tahun, Nabi Muhammad ikut pamannya, Abu Thalib, untuk berniaga ke negeri Syam untuk berjualan. Tetapi, karena ada hal-hal yang sangat mencemaskan pamannya, pamannya tidak lagi berangkat ke negeri Syam untuk berniaga.

Itulah kisah singkat Nabi Muhammad SAW yang pernah menggembala kambing sewaktu kecil.

(dvs/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Cucu Nabi Muhammad SAW di Bulan Muharram


Jakarta

Kisah wafatnya cucu Rasulullah SAW pada bulan Muharram dianggap sebagai salah satu kejadian paling kelam pasca wafatnya Rasulullah SAW dalam sejarah Islam. Hal ini diterangkan melalui beragam riwayat.

Salah satu riwayat yang menerangkan akan kengenasan peristiwa ini adalah dari Imam as-Suyuthi yang mengutip dari hadits riwayat Tirmidzi tentang kisah Salma yang bertemu dengan Ummu Salamah RA, yang saat itu masih hidup (Ummu Salamah wafat pada tahun 64 H, sedangkan Husain terbunuh pada tahun 61 H). Dalam riwayat tersebut, Salma bertanya, “Mengapa Anda menangis?”

Ummu Salamah RA menjawab, “Semalam, aku bermimpi melihat Rasulullah SAW, kepala dan jenggot beliau terlihat berdebu. Aku bertanya, ‘Mengapa engkau, wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Aku baru saja menyaksikan pembunuhan Husain.'”


Meskipun para ulama memiliki pandangan yang berbeda tentang waktu terbunuhnya Sayyidina Husain RA. Namun mayoritas ulama, seperti Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, dan Ibnu Hajar al-Asqalani, cenderung yakin bahwa Husain wafat pada hari Asyura bulan Muharram tahun 61 H.

Sementara usianya juga menjadi perdebatan, ada yang menyebutkan 58 tahun, 55 tahun, dan 60 tahun. Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa usia Sayyidina Husain RA yakni 56 tahun.

Kisah Wafatnya Cucu Nabi Muhammad di Bulan Muharram

Kisah berawal dari Husain RA yang diuji dengan penderitaan yang sangat berat. Satu per satu orang yang dicintainya meninggalkan dunia ini.

Kakeknya, Rasulullah SAW, wafat karena sakit. Ibunya, Fatimah Az-Zahra RA, juga meninggal karena sakit. Sementara ayahnya, Ali bin Abi Thalib RA, tewas dibunuh saat sedang menjalankan salat subuh. Kakaknya, Hasan bin Ali RA, wafat sebagai syuhada.

Namun, Husain RA menghadapi semua ujian tersebut dengan penuh kesabaran.

Dikisahkan bahwa ketika Yazid bin Mu’awiyyah RA dinobatkan sebagai khalifah, Husain RA menolak tunduk kepadanya. Demikian pula dengan kaum muslimin lainnya. Sebab Yazid RA merupakan seorang yang korup. Dia gemar minum khamar dan menikmati kesenangan duniawi seperti bermain dengan kera dan anjing-anjingnya.

Namun, Yazid RA berhasil menduduki posisi kepemimpinannya karena mewarisi jabatan ayahnya, Mu’awiyyah bin Abu Sufyan RA. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Rasulullah SAW.

Ketika berada di Makkah, Husain RA menerima banyak surat dukungan dari penduduk Kufah. Surat-surat itu penuh dengan harapan untuk kehadirannya di Kufah dan menjadi khalifah.

Husain saat itu berada di Madinah, ia menolak sumpah setia kepada Yazid RA karena kelakuan buruknya.

Akhirnya, Husain RA mengutus saudara sepupunya, Muslim bin Aqil RA, sebagai duta atau wakilnya untuk pergi ke Kufah. Husain RA meminta agar saudara sepupunya tinggal bersama orang-orang yang paling setia di Kufah.

Pada akhirnya, Muslim bin Aqil RA tinggal bersama Al Mukhtar. Rakyat Kufah pun menyambut kedatangannya dengan antusias. Namun, ternyata semua itu hanyalah kepalsuan belaka.

Menurut buku Sejarah Agung Hasan dan Husain karya Ukasyah Habibu Ahmad, Husain RA tetap pada pendiriannya untuk menuju Kufah. Setelah tiba di daerah Bathnur Rummah, ia mengirim surat kepada penduduk Kufah untuk memberitahukan bahwa dirinya sudah sampai di Bathnur Rummah.

Ia mengutus Qais bin Mashar as-Saidawi RA, namun nahas, Qais bin Mashar as-Saidawi RA tertangkap oleh pasukan Ubaidillah bin Ziyad RA dan kemudian dibunuh. Namun, Husain RA tetap melanjutkan perjalanannya hingga tiba di Zarud.

Ketika hendak meninggalkan wilayah tersebut, ia baru menerima berita bahwa Muslim bin Aqil RA dan Hani’ bin Urwah RA telah terbunuh. Selain itu, ia juga mendapatkan informasi tentang pengkhianatan dari orang-orang Kufah.

Setelah menyadari semua itu, Husain RA memutuskan untuk pulang. Namun, orang-orang Bani Aqil berpendapat, “Bagi kami, hidup tidak ada artinya setelah Muslim bin Aqil terbunuh. Kami tidak akan kembali sampai mati.”

Mendengar hal tersebut, Husain RA berkata, “Lalu, apa gunanya aku hidup setelah mereka mati?”

Husain RA memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan memperbolehkan rombongannya untuk memilih kembali atau tetap bersamanya. Ketika sampai di Zubalah, ia dan rombongannya bertemu dengan Umar bin Sa’ad dan Ibnul Asy’ats yang membawa surat dari Muslim bin Aqil RA yang berisi ketidakpedulian penduduk Kufah terhadap dirinya.

Meskipun sempat dihadang oleh al-Hurru bi Yazid at-Tamimi atas perintah Ubaidillah bin Ziyad RA, Husain RA akhirnya tiba di Karbala pada 2 Muharram 61 H. Kedatangannya disambut dingin oleh penduduk setempat yang konon mencapai 100.000 orang yang siap menyatakan janji setia kepada Husain RA. Ternyata kekhawatiran keluarga dan sahabat Husain RA menjadi kenyataan.

Pada akhirnya, Husain RA bersama rombongan dikepung selama beberapa hari, tepat pada tanggal 10 Muharram 61 H. Sebanyak 5.000 pasukan yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad bin Abi Waqash RA menyerbu rombongan Husain RA.

Tujuan pengepungan ini adalah atas perintah Ubaidillah bin Ziyad RA yang hendak memaksa Husain RA untuk mengakui kekuasaan Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah RA.

Menurut sejarawan, rombongan Husain RA hanya berjumlah 72 orang, terdiri dari 32 prajurit berkuda dan 40 pejalan kaki, sementara sisanya adalah anak-anak dan perempuan. Dengan jumlah yang tidak seimbang seperti itu, tentu saja pasukan Husain RA kalah telak. Dalam pertempuran itu, akhirnya hanya menyisakan dirinya dan sebagian keluarganya yang terdiri atas wanita dan anak-anak.

Ibnu Katsir dalam Kitab Al-Bidayah wan Nihayah mencatat bahwa pada 10 Muharram, pasukan Ubaidillah bin Ziyad RA memukul kepala Husain RA dengan pedang hingga berdarah. Husain RA membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya.

Balutan kain tersebut cepat dipenuhi oleh darah. Husain RA menerima luka di lehernya ketika seorang penembak melepaskan panah. Meskipun lehernya terluka, Husain RA tetap hidup dan berjalan menuju sungai karena merasa haus.

Namun, pasukan tidak mengizinkannya minum dan menghalangi Husain RA untuk mendapatkan air. Ibnu Katsir juga menyebutkan bahwa Husain RA terbunuh oleh Sina bin Anas bin Amr Nakhai, yang menusuk lehernya dengan tombak, kemudian menyampaikan kepala Husain kepada Khawali bin Yazid.

Meskipun ada perbedaan pendapat tentang waktu tewasnya Husain RA, mayoritas ulama meyakini bahwa ia wafat pada hari Asyura bulan Muharram tahun 61 H, pada usia sekitar 56 tahun.

Menurut Rizem Aizid dalam bukunya, Mahar Bidadari Surga, Husain RA meninggal sebagai syuhada dalam jihad fisabilillah. Sehingga jenazahnya tidak perlu dimandikan atau diberi kain kafan, cukup dikubur dengan pakaian yang ia kenakan ketika berjuang di medan perang.

Karenanya, Husain RA tidak mendapatkan kain kafan dari Malaikat Jibril, karena kehormatan syahidnya dalam berjuang di jalan Allah SWT.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Baiat Ridwan di Bawah Pohon Rindang Usai Utsman Diisukan Wafat



Jakarta

Rasulullah SAW melakukan baiat bersama para sahabat usai tersiar kabar bahwa Utsman bin Affan RA telah dibunuh. Baiat tersebut dikenal dengan Baiat Ridwan, isinya berbeda dengan Baiat Aqabah.

Baiat Ridwan adalah sumpah yang diikrarkan para sahabat di hadapan Rasulullah SAW di bawah pohon rindang, sebagaimana dijelaskan dalam buku The Great Sahaba karya Rizem Aizid. Baiat Ridwan berlangsung sebelum Perjanjian Hudaibiyah.

Diceritakan dalam Kitab Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah karya Said Rahman Al-Buthy, sebelum Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah SAW mengutus Utsman bin Affan RA untuk menemui orang-orang Quraisy guna merundingkan rencana kedatangan Rasulullah SAW ke Makkah. Dalam sumber lain dikatakan, kedatangan ini dalam rangka menunaikan haji.


Ketika menemui orang-orang Quraisy, mereka justru menawan Utsman bin Affan RA selama beberapa saat. Kabar bahwa Utsman bin Affan RA telah dibunuh pun tersiar setelah itu dan terdengar sampai ke telinga Rasulullah SAW.

“Kita tidak akan pergi dari sini sampai kita memerangi mereka,” sabda Rasulullah SAW kala itu. Kemudian, beliau mengajak para sahabat untuk berbaiat. Baiat itu diikrarkan tepat di bawah sebatang pohon rindang yang kemudian dikenal dengan baiat Ridwan.

Dalam baiat itu, Rasulullah SAW menggamit tangan salah seorang sahabat yang juga menggamit tangan sahabat lainnya secara bersambungan. Rasulullah SAW menumpangkan salah satu tangannya di atas tangan yang lain seraya berkata, “(Tangan) ini untuk Utsman.” Mereka lantas berbaiat untuk tidak akan meninggalkan tempat itu.

Usai baiat dilakukan, terdengar kabar bahwa terbunuhnya Utsman bin Affan RA hanyalah isapan jempol belaka.

Orang yang Hadir dalam Baiat Ridwan

Menurut Sayid Mundzir al-Hakim dkk dalam Al-Imam al-Hasan al-Mujtaba as, dua cucu Rasulullah SAW, Hasan dan Husain menghadiri Baiat Ridwan. Keduanya turut serta bersama Rasulullah SAW.

“Nabi SAW memandang Hasan dan Husain–walaupun usianya masih sangat belia–layak dan siap memikul tanggung jawab besar tersebut,” jelas Sayid Mundzir al-Hakim dkk.

Baiat Ridwan disebut dihadiri oleh ratusan sahabat. Menurut Adz-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam Juz II, 700 orang yang hadir dalam Baiat Ridwan mengikuti Perang Jamal di pihak Amirul Mukminin.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Jahal, Musuh Islam yang Tamak



Jakarta

Nama Abu Jahal Al Makhzumi telah terpahat dalam lembaran sejarah Islam. Julukan “Abu Jahal,” yang artinya “bapak kebodohan,” digunakan untuk menggambarkan masa ketika masyarakat Arab berada dalam keadaan yang kurang mengenal dan tidak beriman kepada Allah SWT, sebagian besar dari mereka menyembah berhala.

Dikutip dari Buku Get Smart Pendidikan Agama Islam tulisan Udin Wahyudin, dijelaskan bahwa Abu Jahal Al Makhzumi adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di suku Quraisy, suatu kelompok masyarakat terkemuka di Makkah pada masa itu. Namun, reputasinya lebih banyak dikenal karena sikapnya yang sangat menentang dan memusuhi Nabi Muhammad SAW.

Tidak hanya dikenal sebagai seorang yang menentang ajaran Islam, Abu Jahal Al Makhzumi juga memiliki sifat sombong. Sikap angkuhnya dan perasaan bahwa dirinya lebih unggul dari yang lain, semakin memperkuat image Abu Jahal sebagai tokoh yang dzalim.


Perang Badar menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam, di mana para pemeluk agama Islam berhasil mempertahankan diri dan memenangkan pertempuran melawan para penentang. Dalam perang Badar, Abu Jahal ikut terlibat di dalamnya.

Meskipun Abu Jahal Al Makhzumi terus berusaha menghalangi dakwah Islam, sejarah membuktikan bahwa ajaran Islam terus berkembang pesat.

Kisah Abu Jahal

Dikutip dari Buku Dahsyatnya Tobat: 42 Kisah Orang yang Bertobat dikisahkan terdapat seorang raja di Makkah yang merasa berterimakasih kepada Rasulullah SAW karena telah membuatnya beriman. Singkat cerita, Rasulullah SAW membuatnya beriman dengan mukjizat membelah bulan dan menyatukannya kembali.

Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah dan penghargaan kepada Rasulullah SAW, raja ini kemudian memberikan hadiah yang sangat melimpah kepada Rasulullah SAW.

Dia menyiapkan lima ekor unta yang membawa emas, perak, dan kain untuk dihadiahkan kepada Rasulullah SAW, serta beberapa budak untuk diberikan kepadanya. Namun, ketika rombongan pengantar hadiah mendekati kota Makkah, Abu Jahal menghadang mereka dan bertanya untuk siapa barang-barang tersebut.

Salah seorang dari rombongan menjawab bahwa semua barang ini ditujukan kepada Rasulullah, namun Abu Jahal menolak dan ingin merebutnya. Akhirnya, terjadi pertengkaran antara rombongan pengantar hadiah dan Abu Jahal beserta kawanannya.

Keributan ini baru mereda setelah warga Makkah dan paman-paman Rasulullah turun tangan. Para budak yang dihadiahkan kepada Rasulullah menyatakan bahwa harta tersebut memang untuk Nabi Muhammad.

Namun, Abu Jahal masih bersikeras bahwa hadiah itu sebenarnya ditujukan untuk dirinya, mencoba mengklaimnya sebagai miliknya. Rasulullah SAW yang juga hadir berbicara kepada warga Makkah, menanyakan apakah mereka masih mempercayainya. Mereka menjawab bahwa mereka masih percaya kepadanya.

Lalu, Rasulullah mengusulkan agar masalah ini diselesaikan dengan cara menanyakan langsung kepada unta-unta yang membawa hadiah. Jika mereka adalah hadiah untuk Nabi Muhammad, maka unta-unta itu akan memberikan jawaban yang jujur.

Namun, Abu Jahal menolak usulan itu dan meminta agar masalah ini ditunda hingga esok hari. Rasulullah setuju dengan usulan tersebut.

Keesokan harinya, Abu Jahal pergi ke kuil berhala dan berdoa dengan penuh kesungguhan kepada berhala-berhalanya sampai pagi hari, berharap untuk mendapatkan dukungan dari berhala-berhalanya.

Namun, ketika matahari terbit, seluruh penduduk Makkah berkumpul di tempat hadiah-hadiah dari sang raja. Rasulullah juga hadir di sana. Abu Jahal tampil dengan penuh percaya diri dan meminta unta-unta itu untuk berbicara atas nama berhala-berhalanya, yaitu Latta, Uzza, dan Manat.

Tidak ada satu pun dari unta-unta itu yang memberikan jawaban seperti yang diminta oleh Abu Jahal. Bahkan, salah satu unta secara luar biasa berbicara dengan suara yang nyaring dan dapat dipahami oleh semua orang yang hadir. Ia mengatakan bahwa mereka adalah hadiah dari sang raja yakni Habib bin Malik untuk Muhammad SAW.

Setelah itu, unta tersebut dibawa oleh Rasulullah ke Gunung Abu Qubais. Semua isi muatan emas, perak, dan kain dielu-elukan menjadi satu tumpukan. Rasulullah menyatakan kepada tumpukan hadiah yang berharga itu, “Jadilah kalian tanah.” Lalu, dengan ajaib, emas, perak, dan kain yang berasal dari hadiah Habib bin Malik berubah menjadi tanah, dan keajaiban itu masih menjadi kenyataan sampai saat ini.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perang Hunain, Saat Pasukan Muslim Nyaris Menelan Kekalahan



Jakarta

Perang Hunain menjadi salah satu bentuk teguran dan peringatan bagi kaum muslimin. Pertempuran itu terjadi setelah peristiwa Fathu Makkah, tepatnya pada bulan Syawal tahun ke-8 Hijriyah.

Menurut buku Manhaj Dakwah Rasulullah karya Prof Dr Muhammad Amahzun, pada awal perang berlangsung kaum muslimin sempat mengalami kekalahan. Mereka lari dan mundur seribu langkah ke belakang tiap kali berhadapan dengan kaum musyrikin yang bersenjata lengkap dengan strategi jitu.

Namun, atas pertolongan Allah SWT maka kaum muslimin berhasil mengalahkan mereka. Dijelaskan dalam buku Para Panglima Perang Islam oleh Rizem Aizid, Perang Hunain juga disebut kebalikan dari Perang Uhud.


Pada Perang Uhud, kaum muslimin sempat mengalami kemenangan dan diakhiri dengan kekalahan. Sebaliknya, di Perang Hunain justru banyak pasukan muslim yang terbunuh karena kepanikan dan keraguan mereka sendiri.

Peristiwa Perang Hunain diabadikan dalam surat At Taubah ayat 25-27 yang berbunyi,

لَقَدْ نَصَرَكُمْ اللّٰهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً وَضَاقَتْ عَلَيْكُمْ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ (٢٥) ثُمَّ أَنزَلَ اللّٰهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنزَلَ جُنُوداً لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ (٢٦) ثُمَّ يَتُوبُ اللّٰهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللّٰهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٢٧)

Artinya, “Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Dia menurunkan bala tentara (para malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menimpakan azab kepada orang-orang kafir. Itulah balasan bagi orang-orang kafir. Setelah itu Allah menerima tobat orang yang Dia kehendaki. Allah maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS At Taubah: 25-27)

Ketika perang berlangsung, Nabi Muhammad SAW mengirim pasukan sebanyak 12.000 orang. Dari 12.000 itu, sebanyak 2.000 tentara merupakan kaum Quraisy yang baru masuk Islam setelah peristiwa Fathu Makkah.

Rasulullah SAW menunjuk Khalid bin Walid menjadi pimpinan pasukan garis depan yang bertugas sebagai pasukan pengintai. Sayangnya, Khalid gagal menjalankan tugas, hampir seluruh prajuritnya melarikan diri.

Perang Hunain sempat kacau karena pasukan muslim termakan sifat sombong. Mereka merasa tidak akan kalah karena berjumlah banyak ketimbang musuhnya, karenanya banyak pasukan yang lari tunggang langgang dari medan perang.

Walau begitu, Perang Hunain diakhiri dengan kemenangan pasukan muslim. Hal ini juga disebutkan oleh Anas bin Malik dalam sebuah riwayat.

Anas bin Malik berkata,

“Pada Perang Hunain, musuh Islam terdiri atas Hawazin, Ghathfan, dan suku lainnya. Mereka datang dengan membawa harta dan budak-budak mereka. Sedangkan Rasulullah SAW membawa 10.000 pasukan ditambah dengan orang-orang Makkah yang baru masuk Islam. Pada perang itu, para sahabat melarikan diri meninggalkan Rasulullah SAW sendirian. Akhirnya beliau menengok ke arah kanan, dan berkata, ‘Wahai muslimin Anshar!’ Mereka menjawab, ‘Bergembiralah, wahai Rasulullah, kami selalu bersamamu,’ Kemudian, beliau menengok ke arah kiri, dan berkata, ‘Wahai muslimin Anshar!’ Yang dipanggil menjawab, ‘Bergembiralah, wahai Rasulullah, kami selalu bersamamu,’ Lalu, beliau turun dari bagal putihnya, dan berkata, ‘Aku ini hamba Allah dan Rasul-Nya,” (HR Bukhari)

Situasi saat itu terbilang genting. Nabi Muhammad SAW bersama sekelompok muslimin yang salah satunya Ali bin Abi Thalib tetap bertahan di barisan depan. Lalu, beliau berteriak memanggil para pasukannya yang lari kocar-kacir itu, “Akulah Rasulullah, mari bergabung bersamaku!”

Kemudian, Nabi SAW memerintahkan pamannya yang bernama Abbas untuk menyeru kaum muslimin, karena suaranya lantang. Maka, Abbas berseru, “Wahai kelompok Anshar, wahai mereka yang berbaiat di bawah pohon! Rasulullah bersama orang-orang beriman yang benar sedang bertempur dengan dahsyat,”

Demikianlah, kaum muslimin menepis rasa takut yang menghantui mereka. Setelahnya, prajurit muslim berkumpul mengelilingi Nabi SAW yang berhasil mengubah kekalahan mereka menjadi kemenangan.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Masuk Islamnya Ali bin Abi Thalib ketika Melihat Nabi SAW Salat



Jakarta

Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu sahabat sekaligus sepupu Rasulullah SAW. Ia termasuk ke dalam Assabiqunal Awwalun yang berarti orang-orang pertama masuk Islam.

Mengutip buku Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib susunan Dr Musthafa Murad, nama lengkapnya ialah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Ia lahir 33 tahun setelah kelahiran Nabi SAW, tepatnya pada 13 Rajab.

Ali sendiri memeluk agama Islam saat usianya masih anak-anak. Menukil dari buku Biografi Ali bin Abi Thalib oleh Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi, diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, suatu ketika setelah Khadijah memeluk Islam, Ali bin Abi Thalib menghampiri Rasulullah SAW, ia mendapati keduanya tengah melaksanakan salat.


Lalu Ali bertanya, “Ini apa, wahai Muhammad?”

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Ini adalah agama Allah yang telah Allah pilih dengan kehendak-Nya, dengannya Dia mengutus rasul-Nya. Saya ajak engkau wahai Ali untuk bersaksi terhadap Allah yang Maha Esa dan untuk menyembah-Nya. Dan agar engkau mengingkari Latta dan Uzza,”

Ali berkata kepada Nabi SAW, “Ini adalah perkara yang aku belum pernah mendengarnya sama sekali sebelum hari ini, tetapi aku bukanlah orang yang memiliki keputusan atas perkaraku sehingga aku harus berbicara dulu kepada Abu Thalib,”

Namun, Nabi Muhammad SAW tidak ingin Ali menceritakan rahasianya kepada siapa pun, termasuk ayahnya, sebelum Allah SWT memerintahkan untuk menceritakan hal itu. Rasulullah lalu berkata kepada Ali,

“Wahai Ali, jika engkau tidak berkenan masuk Islam maka jaga rahasia ini,”

Ali pun berdiam selama satu malam. Atas kuasa dan izin Allah SWT, ia mendapat hidayah Islam. Hingga pada suatu pagi, Ali menghadap kepada Rasulullah dan berkata,

“Apa yang engkau perintahkan kepadaku wahai Muhammad?”

Rasulullah bersabda, “Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan tidak menyekutukannya serta engkau mengingkari Tuhan Latta dan Uzza, serta melepaskan diri dari segala bentuk penentangan kepada Allah,”

Ali pun melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah dan menyatakan diri masuk Islam. Ada yang menyebut hal ini merupakan pengorbanan dan rasa terima kasih Ali RA atas jasa Nabi SAW yang telah mengasuh serta mendidiknya.

Menukil dari buku Barisan Pemuda Pembela Nabi SAW karya Imron Mustofa, ada perbedaan pendapat terkait usia berapa Ali bin Abi Thalib masuk Islam. Ada yang menyebut 7 tahun, 8 tahun, dan 10 tahun. Namun, dari perbedaan pendapat itu dapat disimpulkan bahwa Ali memeluk Islam ketika usianya masih belia.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Saat Surga dan Neraka Berdebat soal Siapa Penghuninya



Jakarta

Surga dan neraka diyakini sebagai tempat tinggal yang kekal setelah berakhirnya kehidupan dunia. Diceritakan dalam sebuah riwayat, dua tempat akhir tersebut saling berdebat tentang siapa penghuninya.

Riwayat tentang perdebatan antara surga dan neraka ini dikeluarkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Zhilaalul Jannah. Dikatakan, neraka akan dimasuki oleh orang-orang yang perkasa, sedangkan surga akan dihuni oleh orang-orang yang lemah.

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,


“Surga dan neraka saling berbangga diri. Neraka berkata, ‘Aku diberi prioritas sebagai tempat orang-orang yang sombong dan orang-orang perkasa yang bengis.’ Surga berkata, ‘Aku hanya akan dimasuki orang-orang yang lemah, orang-orang yang tidak cinta dunia, dan orang-orang yang baik.’

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada surga, ‘Sesungguhnya kamu hai surga, adalah rahmat-Ku yang denganmu Aku memberikan rahmat kepada hamba-hamba-Ku yang Aku kehendaki.’

Lalu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada neraka, ‘Sesungguhnya kamu hai neraka, adalah siksa-Ku yang denganmu Aku menyiksa hamba-hamba-Ku yang Aku kehendaki. Dan masing-masing di antaramu akan memiliki penghuni.’

Neraka tidak akan pernah penuh hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menginjakkan kaki-Nya. Setelah itu, neraka akan berkata, ‘Cukup! Cukup! Cukup!’ Itu berarti neraka menjadi penuh sesak dengan injakan tersebut, hingga para penghuninya saling berhimpitan. Allah tidak akan berbuat zalim kepada hamba-Nya. Selain itu, Allah juga akan menciptakan surga untuk para penghuninya.”

Imam an-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menyebut riwayat tentang perdebatan antara surga dan neraka tersebut dari Abu Sa’id al-Khudri RA, dari Nabi SAW, dengan redaksi berikut,

اخْتَحتَ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَقَالَتِ النَّارُ : فِي الجارُونَ وَالْمُنكَرُونَ، وَقَالَتِ الْحَةٌ فِي ضُعَفَاءُ النَّاسِ وَمَسَاكِينُهُم فَقَضَى اللَّهُ بَيْنَهُمَا: إِنَّكِ الْجَنَّةُ رحْمَنِي أَرْحَمُ بِكَ مَنْ أَشَاءُ وَإِنَّكَ النَّارُ عَذَابِي أُعَذِّبُ بك مَنْ أَشَاءُ وَلَكِلَيْكُمَا عَلَيَّ مِلْوهَا

Artinya: “Surga dan neraka itu berbantah-bantahan. Neraka berkata, ‘Di dalamku ada orang-orang yang sewenang-wenang dan orang-orang yang congkak.’ Surga berkata, ‘Di dalamku ada manusia yang lemah dan kaum fakir miskin.’ Lalu Allah memutuskan perdebatan mereka itu dan berfirman, ‘Engkau, surga, adalah rahmat-Ku. Denganmu Aku merahmati siapa saja yang Kukehendaki. Kau, neraka, adalah azab-Ku. Denganmu Aku menyiksa siapa saja yang Aku hendaki. Aku-lah yang menentukan isi bagi kalian berdua.” (HR Muslim. Imam At-Tirmidzi turut mengeluarkan hadits ini dalam Sunan-nya dan ia menyebutnya hasan shahih)

Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Riyadhus Shalihin, yang dimaksud dengan orang-orang lemah dan miskin dalam hadits tersebut adalah orang-orang yang fitrah mereka selamat dari makar atau intrik, tidak bertindak kejahatan, dan tidak berpura-pura lemah dan miskin untuk menarik simpati manusia terhadap mereka.

Dijelaskan pula bahwasanya Allah SWT membiarkan manusia bebas memilih amal apa yang disukainya. Dia telah mengetahui bahwa ada kelompok yang akan memilih jalan kejahatan dan nasib akhirnya menjadi penghuni neraka, serta ada kelompok yang memilih jalan kebaikan sehingga kelak berakhir di surga.

Wallahu a’lam.

(kri/nwk)



Sumber : www.detik.com