Category Archives: Kisah

Kisah Rabiah Al Adawiyah, Wanita Cantik Bersuara Merdu yang Cinta kepada Allah



Jakarta

Kisah Rabiah Al Adawiyah tidak bisa dilewatkan ketika kita membahas tentang wanita solehah. Ceritanya begitu menarik dan inspiratif sebab ia tidak tertarik pada kehidupan duniawi.

Rabiah Al Adawiyah adalah seorang wanita yang terkenal di dunia tasawuf. Dirinya banyak diketahui karena ia memilih untuk tidak menikah hingga akhir hayatnya demi beribadah dan mendekat kepada Allah SWT.

Diambil dari arsip detikHikmah, Rabiah Al Adawiyah adalah seorang wanita yang lahir pada tahun 713 Hijriah di Basrah, Irak. Ia sudah menjadi sebatang kara setelah ditinggal orang tuanya wafat dan ketiga kakaknya yang juga wafat karena wabah kelaparan.


Oleh sebab itu, Rabiah Al Adawiyah sudah harus hidup sendiri dan jauh dari masyarakat. Dirinya menghidupi diri sendiri dengan bekerja menjadi budak.

Ketika ia punya waktu luang atau tidak sedang bekerja, maka ia memilih untuk menghabiskan waktunya untuk bermeditasi.

Rabiah Al Adawiyah hidup dalam kemiskinan. Harta yang ia punya hanyalah sebuah tikar lusuh, sebuah periuk tanah, dan sebuah batu bata.

Meski demikian, hidup Rabiah Al Adawiyah penuh dengan kemuliaan. Setiap hari, dia senantiasa berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT tanpa mempedulikan urusan dunianya. Tujuannya hanya satu, yaitu surga-Nya yang amat dirindukan.

Besarnya Cinta Rabiah Al Adawiyah kepada Allah SWT

Rabiah Al Adawiyah begitu beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Takwanya bahkan sudah mencapai tahap cinta yang besar kepada Sang Khalik. Dirinya memilih dalam kesederhanaan, meskipun bisa hidup mewah mengandalkan parasnya yang cantik dan suaranya yang merdu.

Dalam sebuah buku yang berjudul Rabiah Al Adawiyah karya Makrum Gharib disebutkan pernyataannya mengenai cintanya yang besar kepada Allah SWT bisa mengalahkan rasa takutnya kepada Dia.

“Aku tidak menyembah Allah karena takut akan neraka, tidak juga karena mengharap surga. Jika aku menyembah-Nya karena takut neraka atau mengharap surga maka aku seperti buruh yang buruk yang bekerja karena rasa takut. Aku menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya.”

Kecintaan Rabiah Al Adawiyah yang besar kepada Allah SWT ini biasa dikenal dengan istilah “mahabbah,” jelas Abrar M. Daud Faza dalam bukunya yang berjudul Moderasi Beragama Para Sufi.

Bagi Rabiah Al Adawiyah, mahabbah adalah cinta yang besar yang dilandasi rasa iman yang sangat tulus dan ikhlas, sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat manusia menuju Allah SWT.

Mahabbah yang dimiliki Rabiah Al Adawiyah sudah memenuhi aspek makhluk dan Khalik. Ketika itu, dirinya bermunajat kepada Allah SWT dengan berbicara, “Tuhanku, akankah kau bakar kalbu yang mencintai mu oleh api neraka?”

Tiba-tiba saja, ada sebuah suara yang menjawabnya dengan berkata, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.” Hal ini sebagaimana dinukil dari buku Risalah Al-Qusyairiyah.

Mahabbah yang diajarkan oleh Rabiah Al Adawiyah menunjukkan betapa besarnya cintanya kepada Allah SWT sampai-sampai tidak ada perasaan benci sedikitpun kepada yang lainnya, baik alam maupun manusia.

Semua hal yang berkaitan dengan Rabiah Al Adawiyah dipenuhi dengan cinta dan kasih atau mahabbah. Konsep mahabbahnya juga sangat berkaitan erat dengan konsep aulawiyah atau mendahulukan yang prioritas.

Rabiah Al Adawiyah pasti mendahulukan sesuatu yang menjadi prioritas atau yang lebih penting. Salah satu contohnya adalah ketika ada dua pemuka agama yang kelaparan hendak bertamu ke rumah Rabiah Al Adawiyah.

Di sana, keduanya sudah mendapati dua buah roti di atas meja. Mereka sudah senang akan segera mendapat roti tersebut. Namun, ternyata ada seorang pengemis datang untuk meminta makanan.

Maka, Rabiah Al Adawiyah pun memberikan kedua roti tadi kepada si pengemis. Dua orang pemuka agama tadi kecewa karena tentunya mereka tidak jadi mendapat makanan.

Lalu, ternyata ada seorang pelayan datang ke rumah Rabiah Al Adawiyah dengan membawa dua buah roti yang baru saja matang. Maka ia langsung memberikan roti itu kepada kedua tamunya.

Tentunya, Rabiah Al Adawiyah memberikan roti kepada pengemis tadi bukan karena ingin mengecewakan tamunya. Namun, ia tahu mana yang lebih menjadi prioritas.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah, Gantikan Utsman bin Affan



Jakarta

Ali bin Thalib adalah salah satu sahabat yang juga merupakan sepupu Rasulullah SAW. Nama lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutalib bin Hasyim bin Abdul Manaf.

Ali menjabat sebagai khalifah menggantikan Utsman bin Affan. Masa kekhalifahannya tidak lama karena hanya berjalan selama 5 tahun sebelum ia wafat.

Menukil Pendidikan Agama Islam: Sejarah Kebudayaan Islam untuk Madrasah Tsanawiyah Kelas VII oleh Dr H Murodi MA, setelah Utsman bin Affan meninggal kaum muslimin merasa bingung seakan-akan kehilangan tokoh yang akan menggantikan beliau. Pada situasi itu, Abdullah bin Saba yang merupakan seorang pemimpin di Mesir mengusulkan agar Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah.


Usulan tersebut lantas disetujui oleh mayoritas masyarakat muslim kecuali mereka yang berada di sisi Muawiyah bin Abi Sufyan. Ali bin Abi Thalib mulanya menolak usulan tersebut dan tidak ingin menerima jabatan karena situasinya kurang tepat. Kala itu banyak terjadi kerusuhan di berbagai tempat.

Menurutnya, situasi demikian harus diatasi terlebih dahulu sebelum membicarakan masalah kepemimpinan. Namun, para pengikutnya kian mendesak Ali bin Abi Thalib sehingga ia menerima tawaran tersebut dan menjabat sebagai khalifah pada 23 Juni 656 M.

Sejak saat itu, Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah menggantikan kedudukan Utsman bin Affan. Dijelaskan dalam buku Parlemen di Negara Islam Modern oleh Prof Dr Ali Muhammad Ash Shallabi, pada dasarnya pembaiatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dilakukan oleh mayoritas masyarakat dan sebagian besar dari mereka memilih secara langsung .

Masyarakat umum dan anggota dewan perwakilan berpartisipasi bersama-sama dalam pembaiatan tersebut. Alasannya karena Ali bin Abi Thalib menolak pembaiatan kecuali dilaksanakan di masjid secara terbuka dan di hadapan semua orang.

Saat masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, ia meneruskan cita-cita Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Selain itu, ia juga mengembalikan semua kekayaan yang diperoleh para pejabat melalui cara-cara yang tidak baik ke dalam perbendaharaan negara atau Baitul Mal.

Kemudian, Ali bin Abi Thalib juga bertekad mengganti semua gubernur yang ia anggap tidak mampu memimpin dan tidak disenangi masyarakat. Ia mencopot jabatan gubernur Basrah dari tangan Abu Bakar bin Muhammad bin Amr dan digantikan oleh Utsman bin Hanif.

Mengutip buku Sejarah Peradaban Islam karya Akhmad Saufi dan Hasmi Fadhilah, Ali bin Abi Thalib merupakan sosok pemimpin yang berakhlak baik. Ia sering berkeliling hanya untuk menantikan siapa saja yang menghampirinya untuk meminta bantuan atau bertanya.

Suatu ketika, pada siang yang terik Ali tiba di pasar. Sang khalifah mengenakan dua lapis pakaian, gamis sebatas betis, sorban melilit tubuhnya, dan bertumpu pada sebatang tongkatnya. Ali berjalan menyusuri pasar untuk berdakwah, mengingatkan manusia agar senantiasa bertakwa pada Allah SWT dan melakukan transaksi jual beli dengan baik.

Dirinya memiliki kebiasaan berjalan ke pasar seorang diri. Umumnya ia menasehati orang yang tersesat, menunjukkan arah pada orang yang kehilangan, menolong orang yang lemah, serta menasehati para pedagang dan penjual sayur.

Meski masa kepemimpinannya sebagai khalifah cukup singkat, ada sejumlah prestasi yang Ali capai. Salah satunya ialah memajukan bidang ilmu bahasa.

Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad ad Duali untuk mengembangkan pokok-pokok ilmu nahwu, yaitu ilmu yang mempelajari tata bahasa Arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu orang-orang non-Arab dalam mempelajari sumber utama agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits.

Pada bidang pembangunan Ali juga berhasil membangun Kota Kuffah secara khusus. Mulanya, kota tersebut disiapkan sebagai pusat pertahanan oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan, namun pada akhirnya Kota Kuffah berkembang sebagai pusat ilmu tafsir, hadits, nahwu, dan ilmu pengetahuan lainnya.

Ali bin Abi Thalib wafat pada Jumat, 17 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Ia meninggalkan 33 anak yang terdiri atas 15 laki-laki dan 18 perempuan. Penyebab kematiannya ialah ditikam ketika hendak salat Subuh.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Sosok Burung Elang Hari Uhud yang Jadi Perisai Rasulullah


Jakarta

Burung elang hari Uhud adalah julukan salah satu sahabat nabi yang berperan besar dalam Perang Uhud. Ia tak gentar melawan musuh dan sigap melindungi Rasulullah SAW.

Sosok yang menjapat julukan Burung elang hari Uhd adalah Thalhah bin Ubaidillah RA. Thalhah RA merupakan salah satu sahabat Rasulullah SAW yang dijamin masuk surga.

Lantas, bagaimana Thalhah RA bisa dijuluki dengan burung elang hari Uhud? Berikut kisahnya.


Gelar Thalhah bin Ubaidillah

Dirangkum dari buku Ensiklopedia Sahabat Nabi karya Muhammad Raji Hasan Kinas dan buku Al Akhbar Titisan yang Tertulis karya Tebyan A’maari Machalli, Thalhah bin Ubaidillah RA adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang berasal dari suku Quraisy keturunan Bani Tayyim. Thalhah RA termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga.

Thalhah RA adalah pemuda yang berprofesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah RA memiliki kelebihan dalam strategi berdagang. Ia sosok yang cerdik dan pintar, sehingga dapat mengalahkan pedagang-pedagang lain yang lebih tua.

Rasulullah SAW memberikan gelar untuk Thalhah RA saat Perang Dzatil Asyirah, “Thalhah al-Fayyadh” yang artinya yang berlimpah kebaikan. Saat Perang Uhud, Rasulullah SAW memberikannya gelar “Thalhah al-Khayr” yang artinya pemilik kebajikan. Saat Perang Hunain, Rasulullah SAW juga memberinya gelar “Thalhah al-Jud” yang artinya sang dermawan.

Keislaman Thalhah bin Ubaidillah

Thalhah RA termasuk salah satu dari delapan orang yang lebih dulu memeluk Islam. Suatu ketika, Thalhah RA datang menemui Abu Bakar As Siddiq RA. Mereka saling bercerita. Setelah giliran Thalhah RA bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta Bushra, Abu Bakar As Siddiq RA tercengang. Lalu Abu Bakar RA mengajak Thalhah RA untuk menemui Rasulullah SAW.

Di hadapan Rasulullah SAW, Thalhah RA langsung mengucapkan dua kalimat syahadat. Ketika Thalhah RA dan al-Zubair RA memeluk Islam, Rasulullah SAW mempersaudarakan mereka di Makkah. Setelah hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan Thalhah RA dengan Abu Ayyub al-Anshari RA.

Banyak rintangan yang dihadapi oleh Thalhah RA setelah ia masuk Islam. Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh Thalhah RA. Bahkan ibunya sendiri mencaci makinya.

Tak hanya itu, seorang lelaki Quraisy yang bernama Naufal bin Khuwailid menyeret dan mengikat Abu Bakar RA dan Thalhah RA dan mendorong mereka ke algojo sehingga darah mengalir dari tubuh mereka. Maka dari itulah mereka mendapatkan gelar “Al-Qarinain” yang artinya sepasang sahabat yang mulia.

Dari banyaknya siksaan yang menimpa Thalhah RA, ia tetap mempertahankan dan menegakkan Islam. Hal ini menyebabkan Thalhah RA memiliki banyak gelar dan sebutan.

Kisah Thalhah Dapat Julukan Burung Elang Hari Uhud

Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, Thalhah RA mendapat kehormatan untuk menyertai mereka. Beberapa saat kemudian, Perang Uhud terjadi.

Saat itu barisan kaum Muslimin terpecah belah dan kocar-kacir dari sisi Rasulullah SAW. Hanya sebelas orang Anshar dan Thalhah RA yang tersisa.

Rasulullah SAW dan orang-orang yang mengawal beliau naik ke bukit, namun mereka dihadang oleh kaum musyrikin.

Rasulullah SAW berseru, “Siapa berani melawan mereka, dia akan menjadi temanku kelak di surga.” Thalhah bin Ubaidillah RA berkata, “Aku Wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW kemudian menahannya dan berkata, “Tidak, jangan engkau, kau harus berada di tempatmu.”

Salah satu prajurit Anshar berkata, “Aku wahai Rasulullah.” Rasulullah SAW berkata, “Ya, majulah.” Kemudian prajurit Anshar itu maju melawan prajurit kafir. Pertempuran yang tak seimbang mengantarkannya menemui kesyahidan.

Thalhah RA selalu menjadi orang pertama yang mengajukan diri, namun Rasulullah SAW menahannya agar untuk tetap ditempat. Hingga sebelas prajurit Anshar gugur menemui syahid dan tinggal Thalhah RA bersama Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW berkata, “Sekarang engkau, wahai Thalhah.” Kemudian dengan semangat jihad yang berkobar, Thalhah RA menerjang menyerang kafir agar tidak menghampiri Rasulullah SAW. Hingga tak sedikit orang kafir yang tewas.

Ketika Abu Ubaidah bin Jarrah RA hampir sampai di dekat Rasulullah SAW, Rasulullah SAW memerintahkan untuk membantu Thalhah RA. Thalhah RA ditemukan tergeletak dan berlumuran darah. Tak kurang dari 79 luka bekas pedang, lembing, hingga panah.

Kaum musyrikin mengira bahwa Rasulullah SAW telah tewas. Akhirnya mereka pergi meninggalkan medan perang.

Kemudian Rasulullah SAW bersama Thalhah RA naik ke bukit di ujung medan pertempuran. Thalhah RA menciumi tangan, tubuh, dan kaki Rasulullah SAW seraya berkata, “Aku tebus engkau Ya Rasulullah dengan ayah ibuku.” Rasulullah SAW tersenyum dan berkata, “Engkau adalah Thalhah kebajikan.”

Di hadapan para sahabat, Rasulullah SAW bersabda, “Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh…” Yang dimaksud Rasulullah SAW adalah memperoleh surga. Sejak peristiwa Uhud itulah Thalhah RA mendapat julukan “Burung elang hari Uhud.”

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Muhammad Al-Fatih Penakluk Konstantinopel


Jakarta

Muhammad Al-Fatih atau Sultan Mehmed II selalu identik dengan kisahnya yang menaklukan Konstantinopel. Beliau merupakan anak dari Sultan Murad II yaitu khalifah sebelum Muhammad Al-Fatih.

Dikatakan ketika sedang menunggu proses kelahiran putranya, Sultan Murad II menenangkan dirinya dengan membaca Al-Qur’an dan lahir anaknya saat bacaan sampai di surat Al-Fath, surat yang berisikan janji-janji Allah akan kemenangan kaum muslim.

Merujuk buku yang berjudul Muhammad Al-Fatih karya Abdul Latip Talib, beliau dilahirkan oleh permaisuri Aishah, istri Sultan Murad II pada 27 Rajab 835 H bertepatan dengan tanggal 29 Maret 1432 M di Adrianapolis, yang sekarang lebih dikenal dengan kota Edirne (perbatasan Turki – Bulgaria), setelah 8 tahun pengepungan kota Konstantinopel oleh ayahnya.


Syaikh Ramzi Al-Munyawi dalam bukunya Muhammad Al-Fatih Penakluk Konstantinopel mengatakan, Muhammad Al-Fatih diberi gelar sebagai khalifah atau sultan pada saat usianya 19 tahun. Beliau menjadi sultan ketujuh dari silsilah para sultan Dinasti Utsmani.

Sejarah Singkat Muhammad Al-Fatih

Muhammad Al-Fatih diangkat menjadi gubernur Amasya saat umurnya baru menginjak 6 tahun. Setelah dua tahun memimpin Amasya, Muhammad Al-Fatih dipindah tugaskan ke Manisa oleh ayahnya.

Mengutip buku Muhammad Al-Fatih 1453 karya Felix Y. Siauw, saat di Manisa, Muhammad Al-Fatih dikelilingi oleh ulama-ulama terbaik pada zamannya dan mempelajari berbagai disiplin ilmu. Baik itu yang berkaitan dengan Al-Qur’an maupun ilmu-ilmu lainnya seperti tsafaqah Islam, ilmu fiqh, bahasa, astronomi, matematika, kimia, fisika, serta teknik perang dan militer.

Sultan Murad II mengetahui jika anaknya memiliki sifat yang keras. Tetapi beliau menganggap bahwa sifat yang dimiliki anaknya bisa menjadi modal utama dalam belajar dan menjadi pemimpin.

Guru Muhammad Al-Fatih yang pertama adalah Syaikh Ahmad Al-Kurani. Di bawah bimbingan beliau, Muhammad Al-Fatih mulai menghafal Al-Qur’an dan mempelajari etika belajar pada usia 8 tahun.

Saat belajar, Syaikh Ahmad Al-Kurani tidak berperilaku istimewa dan mencium tangannya, seperti yang dilakukan ulama-ulama lain. Beliau justru tidak segan menegur Muhammad Al-Fatih dengan keras jika melanggar syariah Allah.

Guru kedua Muhammad Al-Fatih adalah Syaikh Aaq Syamsudin. Berbeda dengan guru pertamanya, Syaikh Aaq Syamsudin adalah ulama yang berpengaruh dalam membentuk mental Muhammad Al-Fatih. Beliau tidak hanya mendidik Muhammad Al-Fatih dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya, melainkan juga senantiasa mengingatkannya akan kemuliaan ahlu bisyarah yang akan membebaskan Konstantinopel, ibukota Romawi Timur (Bizantium).

Syaikh Aaq Syamsudin setiap hari menceritakan kisah perjuangan Rasulullah SAW dan pengorbanannya dalam menegakkan Islam. Syaikh Aaq Syamsudin senantiasa meyakinkan dan mengulang-ngulang perkataannya kepada Muhammad Al-Fatih bahwa dirinya adalah pemimpin yang dimaksud dalam hadits Rasulullah SAW sebagai penakluk Konstantinopel.

Setelah Sultan Murad II wafat, pemerintahan kerajaan Turki Utsmani dipimpin oleh Muhammad Al-Fatih atau Sultan Mehmed II. Dirinya berusaha membangkitkan kembali sejarah umat Islam sampai dapat menaklukan Konstantinopel.

Usaha penaklukan Konstantinopel pertama dilancarkan pada tahun 44 H di zaman Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kemudian pada zaman khalifah Ummayah, Abbasiyah, zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid pada tahun 190 H, akan tetapi semua mengalami kegagalan.

Usaha awal umat Islam untuk menguasai kota Konstantinopel dengan mendirikan benteng Bosporus. Benteng ini didirikan umat Islam pada zaman Sultan Mehmed II dan dijadikan sebagai pusat persediaan perang untuk menyerang kota Konstantinopel.

Akhirnya kota Konstantinopel berhasil jatuh di tangan umat Islam pada 29 Mei 1453 M. Setelah memasuki Konstantinopel di sana terdapat gereja Hagia Sophia yang kemudian dijadikan masjid bagi umat Islam.

Sultan Muhammad Al-Fatih kemudian tutup usia pada saat mempersiapkan untuk menaklukan Roma 3 Mei 1481 dalam usia 49 tahun. Bagi umat Islam, wafatnya Sultan Mehmed II adalah kehilangan yang sangat besar.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pemboikotan Kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim



Jakarta

Nabi Muhammad SAW merupakan penutup para nabi bagi umat Islam. Selama menjalani tugasnya untuk menegakkan agama Islam, Nabi Muhammad menghadapi banyak tantangan.

Pemboikotan kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim menjadi salah satu tantangan besar yang dihadapi Rasulullah SAW.

Pemboikotan Quraisy terhadap Bani Hasyim

Dirangkum dari buku Sirah Nabawiyah karya Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi, Islam mulai tersebar di berbagai kabilah. Kaum Quraisy pun mengadakan pertemuan dan merencanakan untuk menulis surat kesepakatan untuk memboikot Bani Hasyim dan Bani Muthalib.


Kaum Quraisy sepakat untuk tidak mengadakan pernikahan dan tidak melakukan jual beli dengan kedua kaum tersebut. Hasil pertemuan mereka ditulis dalam sebuah lembaran sebagai surat perjanjian yang akan dipatuhi bersama. Mereka menggantungkan surat tersebut di dalam Kakbah dalam rangka memperoleh legitimasi.

Ketika pemboikotan dilaksanakan, Bani Hasyim dan Bani Muthalib berpihak kepada Abu Thalib. Mereka masuk bersama Abu Thalib ke dalam kelompok yang diboikot. Hal ini terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 dari kenabian.

Sedangkan Abu Lahab bin Abdul Muthalib menyatakan keluar dari Bani Hasyim. Ia memilih bergabung dengan kaum Quraisy.

Kaum Bani Hasyim yang bertahan harus merasakan kepayahan karena sempitnya blokade. Mereka memakan daun samur, anak-anak mereka kejang karena kelaparan, hingga tangisan mereka terdengar dari jauh.

Mereka berada dalam pemboikotan selama tiga tahun. Rasulullah SAW tetap melakukan dakwah kepada kaumnya baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Kaum Bani Hasyim pun tetap bersabar dan mempertimbangkan segala sesuatunya.

Rusaknya Kesepakatan dan Berakhirnya Pemboikotan

Beberapa orang dari kaum Quraisy yang memiliki kedudukan dan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi beraksi. Di antara mereka yang menonjol adalah Hisyam bin ‘Amr bin Rabi’ah.

Mereka beraksi karena jiwa mereka bertentangan dengan surat keputusan Quraisy. Mereka tidak setuju dengan surat yang bersifat menzhalimi tersebut.

Hisyam adalah lelaki dari kaum Quraisy yang gandrung akan perdamaian. Ia memiliki kedudukan tinggi di kalangan kaumnya.

Ia membangkitkan perasaan empati dan harga diri sebagai kaum laki-laki. Mereka yang berjumlah lima orang itu berkumpul dan sepakat untuk menghapuskan surat pemboikotan.

Keesokan harinya saat kaum Quraisy berada di majelis pertemuan mereka, Zuhair bin Abi Umaiyah berkata, “Wahai penduduk Makkah! Apakah kita akan memakan makanan dan memakai pakaian, sedangkan Bani Hasyim dalam keadaan menderita, tidak boleh mengadakan hubungan jual beli dengan kita? Sungguh, aku tidak akan duduk hingga surat pemboikotan yang jahat itu hancur.”

Abu Jahal yang hendak ikut campur dalam pembicaraan tersebut tidak diperkenankan. Kemudian al-Muth’im bin ‘Adi bangkit dan mendatangi surat pemboikotan itu untuk merobeknya.

Namun al-Muth’im menemukan bahwa hampir seluruh surat pemboikotan tersebut telah dimakan rayap. Hanya kalimat “bismikallahumma” (dengan nama-Mu, ya Allah) yang tersisa.

Ketika itu, Rasulullah SAW telah mengetahui hal tersebut dan memberitahukannya kepada Abu Thalib. Maka, lembaran surat tersebut dihancurkan dan seluruh isinya tidak berlaku.

Dampak Pemboikotan yang Dilakukan Kaum Quraisy

Dirangkum dari buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih karya M. Quraish Shihab, pemboikotan oleh kaum Quraisy sangat merugikan kaum Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Bukan hanya dalam aspek kesehatan, tetapi juga pada perkembangan dakwah islamiyah. Bahkan Abu Thalib dan Khadijah yang mendampingi Nabi SAW pun wafat setelah masa pemboikotan tersebut.

Meskipun sangat merugikan, pemboikotan tersebut tidak seluruhnya berakibat negatif. Pemboikotan oleh kaum Quraisy tersebut membuka mata masyarakat secara umum tentang kehadiran satu ajaran baru yang mengajak kepada keluhuran budi pekerti, yang penganutnya bersedia berkorban demi mempertahankan agamanya atau karena simpati terhadap penganjurnya.

Kaum Bani Hisyam dan Bani Muthalib mendapatkan bagian tertentu dari harta rampasan perang, apalagi mereka tidak dibenarkan menerima zakat. Kedua kaum ini memperoleh hak tersebut sebagai ganjaran Ilahi atas dukungan mutlak kepada Nabi Muhammad SAW.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

4 Keteladanan Sahabat Nabi Umar bin Khattab dan Contoh Kisahnya


Jakarta

Selain meneladani sifat-sifat Rasulullah SAW, umat Islam juga bisa mencontoh perilaku dan kebaikan para sahabat nabi. Salah satu sahabat nabi yang patut dicontoh adalah Umar bin Khattab RA.

Umar bin Khattab RA adalah seorang sahabat Rasulullah SAW yang memiliki sikap bijaksana. Ia lahir pada tahun 581 M dari salah satu keluarga suku Quraisy, seperti dikutip dari buku Pendidikan Agama Islam: Sejarah Kebudayaan Islam untuk Madrasah Tsanawiyah Kelas VII oleh Murodi.

Ayah Umar bin Khattab RA bernama Nufail bin Abdul ‘Uzza Al-Quraisyi yang berasal dari suku Bani ‘Adi. Sedangkan ibunya bernama Hantamah binti Hasyim bin Mughairah bin Abdillah.


Ketika Umar bin Khattab RA masih muda, ia dikenal sebagai pemuda yang gagah perkasa, tegap, dan pemberani. Setelah masuk Islam, sikap kerasnya mulai melemah apabila menghadapi sesama muslim. Namun masih bersikap keras bila menghadapi musuh.

Banyak sekali sikap dan keteladanan Umar bin Khattab RA yang bisa dicontoh oleh kaum muslimin. Apa sajakah keteladanan tersebut?

4 Keteladanan yang Dimiliki Sahabat Nabi Umar bin Khattab RA

Ada sejumlah keteladanan yang dimiliki sahabat nabi Umar bin Khattab RA. Harjan Syudaha dan Fida’ Abdilah dalam bukunya yang berjudul Akidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah Kelas IX menyebutkan ia merupakan seorang pemimpin yang terkemuka.

Sikapnya sangat pemberani dan tidak takut mati apabila harus membela sebuah kebenaran. Keteladanan Umar bin Khattab RA antara lain adalah sebagaimana berikut:

  • Sikap berani dan tegas dalam menegakkan kebenaran
  • Pandai dalam menyelesaikan perselisihan
  • Berani mempertaruhkan nyawa untuk membela kebenaran
  • Tegas dalam memisahkan antara yang hak dan yang batil

Sahabat Umar bin Khattab RA ketika menjabat sebagai khalifah untuk umat Islam terkenal sebagai pemimpin yang meletakkan dasar-dasar demokrasi dalam Islam. ia sangat mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadinya.

Dalam pemerintahannya, ia memilih pejabat yang benar-benar dapat dipercaya. Umar bin Khattab RA juga selalu membuka diri untuk menerima saran langsung dari rakyatnya.

Kisah Keteladanan Umar bin Khattab RA

Kisah keteladanan Umar bin Khattab RA pernah diceritakan oleh pelayannya yang bernama Aslam. Ia berkata bahwa suatu malam ia dan Umar bin Khattab RA keluar menelusuri Kota Madinah.

Dari kejauhan, keduanya melihat ada segerombolan musafir yang kedinginan dan kemalaman. Keduanya pun segera menghampiri gerombolan musafir itu.

Sesampainya di tempat musafir itu, betapa terkejutnya Umar bin Khattab RA dan Aslam melihat seorang perempuan bersama anak-anaknya yang menangis. Mereka duduk di depan sebuah periuk yang dimasak di atas api.

Umar bin Khattab RA bertanya, “Apa yang terjadi?”

Wanita itu menjawab, “Kami kemalaman dan kedinginan,”

“Lalu mengapa anak-anakmu menangis?” tanya Umar bin Khattab RA lagi.

“Mereka lapar,” jawab wanita itu.

Umar RA heran sebab ia melihat wanita itu seakan-akan memasak di dalam sebuah periuk di depannya. Lalu mengapa anak-anak itu tetap menangis dan tidak segera diberi makanan di dalamnya.

Namun, ternyata wanita itu berkata, “Di periuk itu hanya ada air, aku sengaja memasaknya agar mereka bisa tenang hingga tertidur. Allah akan menjadi hakim antara kami dan Umar.”

Wanita tadi tidak tahu jika yang diajak berbicara adalah Umar bin Khattab RA. Lalu beliau berkata, “Semoga Allah merahmatimu, sedangkan Umar tidak mengetahui keadaanmu.”

Wanita itu berkata, “Ia mengatur kami, memimpin kami, tetapi melupakan kami,”

Tanpa pikir panjang, Umar bin Khattab RA langsung mengajak Aslam untuk pulang dan mengambil sekarung gandum dengan seember daging. Ia segera memberikan semua itu kepada wanita dan anak-anaknya tadi.

Tak sampai di situ saja, Umar bin Khattab RA bahkan bersedia untuk memasakkan bahan makanan tadi untuk mereka sehingga mereka merasa kenyang dan aman.

Wanita tadi lalu berkata kepada Umar bin Khattab RA, “Semoga Allah membalas kebaikanmu, sungguh engkau lebih mulia dibanding Amirul Mukminin (Umar bin Khattab RA).”

Umar bin Khattab RA pun menjawab, “Bicaralah yang santun, jika engkau menemui Amirul Mukminin, Insyaallah engkau akan mendapatiku di sana.” Kemudian ia menjauhi wanita itu.

Setelah wanita dan anak-anaknya tadi tertidur dalam keadaan perut kenyang, Umar bin Khattab RA pergi dari sana bersama Aslam. Ia pun berkata kepada pelayannya tersebut,

“Wahai Aslam, sesungguhnya rasa lapar membuat anak-anak itu tidak bisa tidur dan menangis. Aku tidak akan pergi sebelum memastikan mereka sudah tidur dan tidak menangis lagi.”

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Yusuf AS Menafsirkan Mimpi, Salah Satu Mukjizat dari Allah SWT



Jakarta

Nabi Yusuf AS diberi ilmu berupa kemampuan menafsirkan mimpi. Ilmu ini termasuk ke dalam mukjizat yang diberikan oleh Allah SWT.

Yusuf AS adalah anak dari Yaqub AS yang juga merupakan keturunan Nabi Ibrahim AS, dari anaknya yaitu Ishaq AS. Dirinya diperintahkan berdakwah untuk bangsa Kan’an dan Firaun di Mesir, kisah mengenai Nabi Yusuf AS tercantum dalam surat Yusuf.

Mengutip dari buku Takdir dan Mukjizat Manusia Tertampan Yusuf Alaihi Salam oleh Sulistyawati Khairu, dakwah Nabi Yusuf AS kali pertamanya terjadi di dalam penjara. Penyebab sang nabi dijebloskan ke dalam penjara sendiri dikarenakan terlalu tampan dan membuat majikannya Al-Aziz tidak nyaman.


Ketika di penjara, Nabi Yusuf AS bertemu dengan dua orang pegawai istana Raja, mereka saling bercerita dan berbagi kisah. Kepribadian Yusuf AS yang baik menyebabkan dirinya dapat berteman akrab dengan kedua pekerja itu.

Dahulu, mereka adalah pelayan kerajaan, namun karena dituduh memasukkan racun ke dalam makanan dan minuman akhirnya mereka dimasukkan ke dalam penjara. Suatu malam, saat semua orang dalam penjara itu tertidur, kedua orang bekas pelayan kerajaan itu mendapat sebuah mimpi yang sungguh menakjubkan.

Keduanya sama-sama bermimpi memiliki kaitan dengan pekerjaan mereka sebelum masuk penjara. Karena merasa ada hal yang aneh, maka mereka menceritakan perihal mimpi itu kepada Nabi Yusuf AS.

Melalui mukjizat yang Allah SWT berikan kepada Nabi Yusuf AS, beliau mengetahui arti mimpi dari kedua bekas pelayan itu. Namun, Yusuf AS tidak menceritakan secara langsung, melainkan menggunakan kesempatan tersebut untuk berdakwah dan mengajarkan kepada mereka untuk menyembah Allah SWT.

Kemampuan Yusuf AS dalam menafsirkan mimpi ini juga menjadi penyelamat bagi dirinya. Dikisahkan dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 43, seorang Raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus, tujuh tangkai gandum yang hijau, dan tujuh tangkai lainnya yang kering.

Tidak ada seorang pun yang dapat menafsirkan mimpi sang raja. Akhirnya, salah seorang pemuda yang mengingat kemampuan Nabi Yusuf AS mengusulkan kepada raja.

وَقَالَ ٱلْمَلِكُ إِنِّىٓ أَرَىٰ سَبْعَ بَقَرَٰتٍ سِمَانٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَسَبْعَ سُنۢبُلَٰتٍ خُضْرٍ وَأُخَرَ يَابِسَٰتٍ ۖ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْمَلَأُ أَفْتُونِى فِى رُءْيَٰىَ إِن كُنتُمْ لِلرُّءْيَا تَعْبُرُونَ

Artinya: “Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering”. Hai orang-orang yang terkemuka: “Terangkanlah kepadaku tentang ta’bir mimpiku itu jika kamu dapat menabirkan mimpi’

Raja Mesir itu kemudian memanggil Nabi Yusuf AS dan memintanya menafsirkan mimpi serba tujuh itu. Jadi, tujuh sapi gemuk mewakili kebaikan dan kesuburan, sedangkan tujuh sapi kurus menandakan keburukan dan kekeringan. Nabi Yusuf memaknainya sebagai tujuh tahun musim panen dan tujuh tahun kekeringan panjang.

Sementara itu, biji gandum mewakili hasil pertanian. Menurut Nabi Yusuf, selama tujuh tahun musim panen dan tanah sedang subur, pemerintah dan rakyat perlu berhemat dengan menyimpan sebagian hasil pertanian untuk tujuh tahun berikutnya.

Setelahnya, sang raja langsung memerintahkan anak buahnya untuk membuat lumbung. Lumbung tersebut digunakan untuk menyimpan bahan makanan perbekalan yang sekiranya cukup untuk tujuh tahun kemarau panjang seperti yang diramalkan.

Berkat mukjizatnya itu, Nabi Yusuf AS dibebaskan dari penjara dan diangkat menjadi bendahara kerajaan.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Nabi Musa Pernah Sakit Gigi, Begini Kisahnya



Jakarta

Nabi Musa Alaihissalam pernah mengalami sakit gigi yang luar biasa. Ia sampai mengeluh kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala saking tak kuat menahan kesakitan tersebut.

Mengutip laman Kemenag, Nabi Musa yang merasakan sakit gigi itu memohon doa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar sakit giginya segera sembuh. Pada saat itu juga, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk menyembuhkan sakit giginya dengan menggunakan tanaman obat.

“Ambillah rumput itu dan letakkan di gigimu,” perintah Allah kepada Nabi Musa, sebagaimana dikisahkan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Nurudh Dholam.


Setelah menerima petunjuk dari Allah, Nabi Musa melaksanakan perintah-Nya dengan memetik tanaman obat dan meletakkannya di giginya yang sedang bermasalah. Pada saat itu juga, sakit giginya segera sembuh berkat penggunaan tanaman obat sebagai wasilah.

Beberapa waktu setelahnya, Nabi Musa mengalami kekambuhan sakit gigi. Tanpa mengeluh atau berdoa kepada Allah seperti sebelumnya, ia langsung memetik tanaman obat dan meletakkannya di gigi yang sakit.

Tindakan tersebut dilakukan oleh Nabi Musa dengan keyakinan bahwa tanaman obat sebelumnya telah terbukti berkhasiat dalam menyembuhkan sakit gigi.

Namun sayang, usahanya tidak membuahkan hasil. Sebaliknya, sakit gigi Nabi Musa justru semakin parah.

Dalam buku Genius Dari Syurga karya Ainizal Abdul Latif, Nabi Musa bertanya kepada malaikat mengapa sakit giginya tak hilang meskipun sudah banyak daun yang dikunyahnya. Malaikat mengatakan bahwa dulu ia meletakkan seluruh kepercayaannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tapi kali ini Nabi Musa meletakkan kepercayaannya kepada daun.

Di tengah keadaan tersebut, Nabi Musa segera mencurahkan keluhannya dan berdoa kembali kepada Allah. Kemudian Allah berfirman:

“Ya Musa, Aku adalah Dzat yang memberi kesembuhan, Dzat yang memberikan kesehatan, Dzat yang memberikan bahaya, Dzat yang memberikan manfaat. Pada sakit pertama kamu datang menghadap kepada-Ku maka Aku hilangkan penyakitmu. Kali ini, kamu tidak datang kepada-Ku tapi kamu datang kepada tanaman obat itu.”

Dari kisah ini, setidaknya dapat diambil dua hikmah. Pertama, Allah memiliki sifat Jaiz yang memberikan-Nya kebebasan untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya.

Allah dapat meningkatkan atau menurunkan derajat seseorang sesuai kebijakan-Nya. Selain itu, Allah juga memiliki kuasa untuk menimpakan penyakit atau memberikan kesembuhan kepada siapa pun sesuai dengan kehendak-Nya.

Kedua, Allah adalah pemilik segala yang ada di langit dan bumi, termasuk kesehatan dan kesembuhan. Oleh karena itu, tindakan yang perlu dilakukan oleh umat Islam ketika sakit adalah memohon kesehatan dan kesembuhan kepada Allah melalui doa.

Selain itu, mereka diwajibkan untuk tetap melakukan usaha nyata seperti penggunaan obat dan berbagai bentuk pengobatan, sambil meyakini bahwa hal tersebut hanya sebagai wasilah atau perantara untuk mencapai kesehatan dan kesembuhan.

Wallahu a’lam.

(hnh/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Masa Kecil Umar bin Khattab, Terlahir di Keluarga Bangsawan


Jakarta

Umar terlahir dengan nama lengkap Umar bin Khattāb bin Nufail bin abd al Uzza bin Rabah bin Abdullah bin Qursth bin Razah bin Adiy bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib Al-Quraisi Al Adawi. Umar bin Khattab lahir sekitar tahun 586 M.

Nama lengkap ayahnya adalah Al Khattāb bin Nufail dan ibunya bernama Hatamah binti Hasyim bin Mughiroh.

Kakek moyangnya Nufail bin Abd Al Uzza adalah seorang hakim, dimana orang Quraisy memercayainya untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang terjadi di antara mereka. Ditambah lagi moyangnya Ka’ab bin Luay, adalah orang yang terpandang di kalangan bangsa Arab. Dari situlah di kemudian hari nanti Umar selalu mendapat posisi yang strategis di kalangan masyarakat Quraisy.


Jika dirunut, nasab Umar bertemu dengan Nabi Muhammad dari Ka’ab dan Luay.

Mengutip buku Jejak Langkah Umar bin Khattab oleh Abdul Rohim dijelaskan bahwa Umar kecil lahir di tengah keluarga bangsawan di Makkah.

Umar Tumbuh Menjadi Anak yang Keras dan Tegas

Sejak kecil Umar tumbuh seperti anak-anak Quraisy pada umumnya. Ia menghabiskan separuh perjalanan hidupnya dimasa Jahiliyah yang penuh dengan adat masyarakat yang tidak beradab.

Umar juga dikenal sebagai anak yang suka belajar dan cerdas, dia tumbuh menjadi anak yang bertanggung jawab. Meskipun hidup di tengah keluarga yang kaya, Umar bukanlah anak yang suka bermewah-mewah.

Umar juga terkenal mempunyai watak yang keras, hal ini karena pola asuh yang diterapkan sejak dini oleh sang ayah yang menempatkannya di dunia gembala. Di dunia inilah sosok Umar mulai terbentuk, mental

kerasnya terbentuk dari perlakuan keras sang ayah yang mewariskan sikap-sikap keras dan tegas pada diri Umar.

Diceritakan oleh Abdurrahman bin Hathib dalam suatu riwayat, “Suatu ketika, aku pernah bersama Umar bin Khattab di bukit Djanan. Umar bercerita, “Dulu, aku menggembalakan unta milik Al-Khattāb di tempat ini. Ia adalah orang yang kasar dan keras tutur katanya. Terkadang aku disuruh Al-Khattāb menggembala unta dan terkadang mengumpulkan kayu bakar.”

Suatu hari ketika Umar bin Khattãb sudah menjadi seorang khalifah pun memori tentang perjalanan kecilnya yang keras sebagai seorang penggembala kambing ia ceritakan kepada kaum muslimin, dengan tujuan untuk mengukur dirinya sendiri.

Muhammad bin Umar AI Makzumi merawikan dari ayahnya, ia bercerita “Suatu hari Umar mengumandangkan adzan shalat, setelah orang-orang berkumpul dan melakukan shalat berjamaah, ia naik ke atas mimbar. Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah dan shalawat kepada Nabi, ia menyampaikan kepada hadirin,

“Wahai hadirin sekalian, tadi malam aku bermimpi menggembala kambing dan unta milik beberapa bibi dari Bani Mahkzum. Mereka memberi bekal segenggam kurma dan kismis. Aku masih mengenang masa lalu ku itu.”

Setelah itu Umar turun dari mimbar. “Wahai Amirul mukminin mengapa Anda mencela dirimu sendiri?” kata Abdurahman bin Auf.

Umar menjawab “Celakalah Anda wahai bin Auf! Sungguh aku telah mencoba melupakan kenangan itu, tapi hati kecilku berkata padaku, “Anda adalah Amirul mukminin, siapa lagi yang paling hebat selain diri Anda.” Karenanya maka aku ingin mengenalkan tentang jiwaku tentang hakikatku sebenarnya.”

Dalam riwayat yang lain, Umar mengatakan, “Kutemui ganjalan dalam hatiku, maka aku ingin merasa kecil darinya.”

Dari riwayat-riwayat tersebut tergambar jelas bahwa pekerjaan menggembala kambing dan unta yang keras telah menempa hidup Umar bin Khattab sehingga memunculkan sikap yang luhur yang dimiliki Umar, seperti bertanggung jawab, tegar dan berani menghadapi sesuatu.

Pada masa Jahiliyah, Umar bin Khattab tidak hanya pernah menjadi seorang penggembala. Ia juga terampil dalam berbagai olahraga seperti berkuda.

Di samping itu Umar juga ahli dalam menciptakan syair dan mendendangkannya. Ini sangat sesuai dengan budaya yang terkenal di jazirah Arab dengan keunggulan sastranya dan para penyairnya. Pada masa Jahiliyyah, Umar juga tidak bisa dilepaskan dengan budaya kesusastraan tersebut.

Rasa ingin tahu yang tinggi serta minat belajar yang sejak kecil tertanam dalam diri Umar, memikat perhatiannya pada masalah sejarah dan urusan-urusan kaum Quraisy. Hal ini membuat Umar gemar mengunjungi pasar-pasar besar bangsa Arab seperti, pasar Ukazh, pasar Majannah, dan pasar Dzu Al-majaz.

Kunjungannya ke berbagai tempat umum ini selain ia gunakan untuk mempelajari sejarah bangsa Arab, ia juga gunakan untuk berdagang dan mengetahui berbagai kejadian yang sedang terjadi, kontes pembangunan keturunan, dan persengketaan di antara suku.

Dari sini juga Umar sering melihat persaingan antarsuku di Pasar Ukazh yang telah menyulut perang saudara selama empat kali.

Umar Mahir Berdagang

Di dunia perdagangan Umar tergolong sebagai pedagang yang sukses, ia meraih keuntungan yang sangat besar dari kunjungan dagangnya di berbagai tempat di jazirah Arab.

Saat musim panas, Umar berdagang ke wilayah Syam, dan pada musim dingin ke daerah Yaman. Hal ini yang menghantarkan Umar menjadi salah satu orang terkaya dan terpandang di kota Makkah.

Sebagai orang kaya di kota Makkah, Umar juga mendapatkan posisi strategis di tengah masyarakat.

Umar juga dikenal sebagai orang yang adil dan mampu menyelesaikan konflik yang terjadi.

Ibnu Sa’ad mengatakan, “Sebelum masa Islam, Umar sudah terbiasa menyelesaikan berbagai sengketa yang terjadi di kalangan bangsa Arab.” Selain menjadi orang yang dipercayai masyarakat untuk menjadi hakim, Umar juga sering dijadikan delegasi bagi suku Quraisy dan menjadi wakil dalam membanggakan keturunan mereka dengan suku-suku yang lainnya.”

Ibnu Jauzi mengatakan “Umar bin Khattab menempati posisi sebagai duta atau delegator. Bila terjadi peperangan di antara suku Quraisy dengan suku-suku yang lain, maka mereka akan mengutus Umar sebagai delegasi yang menangani konflik di antara mereka. Mereka dengan suka rela mempercayakan urusan semacam ini kepada Umar.”

Keterlibatan Umar yang memberikan kontribusi yang sangat signifikan di tengah masyarakat Quraisy membuat Umar sangat dicintai masyarakat Makkah. Dan sebaliknya Umar juga mencintai masyarakatnya. Sehingga apa pun yang menggangu kelangsungan kehidupan masyarakat, dia menjadi tokoh pertama yang akan membela dan mempertahankan apa yang sudah diyakini tersebut.

Keteguhan Umar bin Khattab ini membuat proses dakwah pertama yang dilakukan Nabi Muhammad mengalami kesulitan. Umar menjadi salah satu tokoh yang paling semangat menentang agama Islam.

Umar merasa khawatir terhadap kehadiran Islam pada saat itu, kalau merusak tatanan sosial, politik masyarkat Makkah yang sudah mapan. Bahkan Umar termasuk tokoh yang paling kejam menyiksa para pengikut Islam di awal keberadaanya.

Kisah Kerasnya Umar Menentang Islam

Sebelum mengenal dan memeluk Islam, Umar dikenal sebagai orang yang sangat menentang Islam dan Nabi Muhammad. Umar pernah memukul seorang hamba sahaya perempuan yang telah menganut agama Islam sampai kedua tangannya letih dan cambuk yang ia gunakan terjatuh dari tangannya.

Ia berhenti memukul sahaya perempuan tersebut setelah ia mengalami kelelahan. Saat itu, Abu Bakar lewat dan melihat Umar sedang memukuli hamba sahaya perempuan tersebut. Abu Bakar kemudian membelinya dan memerdekakannya.

Dari kisah ini dapat dilihat bahwa Umar adalah sosok orang yang sangat teguh dalam memegang pendirian dan mempunyai watak yang kasar. Apalagi di dalam situasi
masyarakat yang Jahiliyah saat itu yang penuh akan kerusakan moral tidak tahu akan perbuatan yang haq dan yang batil, membuat Umar nampak sebagai seorang yang sangat kejam dan tidak punya perasaan.

Setelah menerima hidayah dan akhirnya masuk Islam, Umar menjadi pembela Islam yang sangat loyal, dan pengetahuan yang didapatkan dari ajaran Islam tentang akhlak yang baik membuat Umar menjadi sosok yang bisa membedakan akan kebenaran dan
kebatilan. Sehingga Umar dijuluki sebagai Al-Faruq yang artinya sang pembeda.

Setelah memeluk Islam, Umar menjadi salah satu sahabat setia Rasulullah SAW. Hingga pada akhirnya Umar bin Khattab terpilih menjadi Khalifah pada 634 hingga tahun 644. Ia menjadi Khulafaur Rasyidin kedua menggantikan Khalifah Abu Bakar.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Sumur Zamzam Digali Kembali oleh Abdul Muthalib, Kakek Rasulullah SAW


Jakarta

Abdul Muthalib, kakek Rasulullah SAW, memiliki jasa yang besar dalam penggalian kembali sumur zamzam. Ia berhasil menemukan kembali sumur yang sebelumnya sempat tertimbun.

Sumur zamzam menjadi sumur yang tidak pernah kering. Air dari sumur ini bahkan memiliki banyak keutamaan sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa hadits.

Dalam sejarahnya, kemunculan air zamzam bermula dari kegelisahan Siti Hajar bersama putranya, Ismail, yang ditinggal Nabi Ibrahim AS di sebuah padang tandus. Cerita Siti Hajar yang ditinggal Nabi Ibrahim ini diabadikan Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Ibrahim ayat 37.


رَّبَّنَآ إِنِّىٓ أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِى بِوَادٍ غَيْرِ ذِى زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ ٱلْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجْعَلْ أَفْـِٔدَةً مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهْوِىٓ إِلَيْهِمْ وَٱرْزُقْهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Artinya: Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

Siti Hajar dan bayi Ismail kehabisan bekal, ia kemudian berusaha mencari makanan atau orang-orang yang kemungkinan berada di sekitarnya. Siti Hajar berlari ke Bukit Marwah, kemudian ke Bukit Shafa, dan kembali lagi ke Bukit Marwah. Tercatat, tujuh kali dirinya bolak-balik bukit Shafa-Marwah.

Apa yang dilakukan Siti Hajar itu kini menjadi salah satu rukun haji yang wajib dilaksanakan umat Islam yang melaksanakan haji, yaitu sai.

Setelah lelah bolak-balik dari bukit Shafa ke Marwah, Siti Hajar mendengar perintah untuk melihat putranya yang sedang menangis dan mengentak-entakkan kakinya ke tanah. Ternyata, entakan kaki Ismail AS berhasil mengeluarkan air yang berlimpah. Siti Hajar pun kemudian berkata, “Zamzam
(berkumpullah),” hingga akhirnya air berkumpul dan dinamakan Zamzam.

Munculnya air dari bekas entakan Nabi Ismail ini kemudian memicu hadirnya serombongan burung-burung di sekitarnya. Melihat adanya burung ini, para kafilah yang juga sedang mencari air segera menuju tempat burung-burung beterbangan itu. Inilah kisah singkat awal mula munculnya sumur Zamzam.

Nazar Abdul Muthalib

Merangkum buku Situs-Situs Dalam Al-Qur’an: Dari Banjir Nabi Nuh hingga Bukit Thursina oleh Syahruddin El-Fikri dijelaskan bahwa sumur zamzam digali kembali setelah sekian ribu tahun tertimbun.

Kakek Nabi Muhammad SAW, Abdul Muthalib, bernazar untuk menggalinya kembali apabila dirinya dikaruniai banyak anak dan akan mengurbankan salah satunya.

Doanya dikabulkan Allah SWT dan ia mempunyai 10 orang anak. Kemudian, Abdul Muthalib melaksanakan nazarnya. Namun, ia ragu siapa yang akan dijadikan kurban.

Lalu, diundilah hingga kemudian muncul nama Abdullah, ayah Nabi Muhammad SAW. Keraguan makin memuncak karena ia sangat menyayangi putra bungsunya ini.

Setelah berkali-kali mencoba melakukan undian, nama Abdullah terus muncul. Kemudian ada yang mengusulkan agar nama Abdullah diundi dengan onta. Dan, setelah berkali-kali diundi, selalu muncul nama Abdullah, jumlah onta yang akan dijadikan kurban ditambah hingga 100 ekor onta. Dan, pada undian berikutnya, akhirnya muncullah nama onta yang akan dikurbankan.

Karena doanya dikabulkan dan Abdul Muthalib melaksanakan nazarnya, dia pun menggali sumur Zamzam tersebut. Karena itu, sumur Zamzam disebut pula dengan sumur gali.

Abdul Muthalib Menggali Kembali Sumur Zamzam

Makkah ditinggali oleh suku Jurhum dan Qathura’. Suatu hari, dua suku berkonflik dan berperang berebut posisi penguasa Makkah.

Imam Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyyah menceritakan bahwa kemudian ‘Amr bin al-Harits bin Mudladl al-Jurhumu keluar Makkah dengan (membawa) dua (patung) kijang Kakbah dan batu tiang, lalu menimbunnya dalam (sumur) Zamzam. Dia pun pergi bersama orang-orang Jurhum yang bersamanya menuju Yaman. Sumur zamzam pun tertimbun.

Setelah beratus-ratus tahun lamanya tertimbun, sumur Zamzam ditemukan kembali keberadaannya oleh Abdul Muttalib melalui isyarat mimpi. Dia pun menggali sumur tersebut sesuai dengan yang dilihatnya dalam mimpi.

Mengutip buku Sejarah Arab Sebelum Islam oleh Dr. Jawwad Ali, sumur zamzam berhasil ditemukan dan digali kembali oleh Abdul Muthalib. Ini menjadi jasa yang abadi hingga sekarang.

Ketika Abdul Muthalib menemukan dan menggalinya, semua jamaah haji memanfaatkan airnya dan tidak lagi memakai sumur-sumur yang ada sebelumnya.

Ketika menggali sumur zamzam, Abdul Muthalib menemukan harta karun yang terpendam di dalamnya, berupa dua patung unta dari emas. Harta itu dipendam oleh suku Jurhum.

Selain itu, juga terdapat pedang-pedang tanpa sarung dan baju perang lengkap. Pedang-pedang itu lalu dilebur menjadi bahan pintu Kakbah, kemudian salah satu patung unta tadi disepuhkan pada pintu Kakbah.

Selanjutnya, pintu Kakbah dibuat khusus dari emas. Ini merupakan emas pertama yang menjadi perhiasan Kakbah.

Sebelumnya bangsa Quraisy melarang Abdul Muthalib menggali sumur zamzam. Namun, ia bersikukuh melakukannya.

Ada pula riwayat lain yang menyebutkan bahwa Abdul Muthalib menggali sumur Zamzam itu karena adanya perintah yang didapatkan ketika beliau tertidur di Hijir Ismail. Maka, perintah itu beliau laksanakan.

Setelah sumur zamzam kembali ditemukan, masyarakat Makkah memanfaatkan airnya untuk berbagai keperluan sehari-hari. Hingga saat ini air zamzam masih terus mengalir deras, bahkan menjadi salah satu oleh-oleh yang dibawa oleh jemaah umroh dan haji.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com