Category Archives: Kisah

Kisah Perang Badar, Salah Satu Pertempuran Besar dalam Sejarah Islam



Jakarta

Perang Badar terjadi pada 17 Ramadhan tahun kedua Hijriah. Pertempuran ini disebut terbesar yang pertama dalam sejarah Islam.

Kala itu, jumlah pasukan kaum muslimin dan kafir Quraisy tidak seimbang. Penyebab meletusnya sendiri ialah karena perseteruan umat Islam dengan kaum Quraisy yang musyrik, seperti dijelaskan dalam Kitab As-Sirah an-Nabawiyah tulisan Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi.

Kaum Quraisy kerap kali berupaya memerangi Islam. Mereka menghalangi jalan Allah SWT dan membuat berbagai kesulitan terhadap kaum muslimin.


Saat Perang Badar, pasukan muslimin berjumlah 313 orang, sementara tentara Quraisy mencapai 1.000 orang lebih.

Mengutip Ar-Rahiq al-Makhtum-Sirah Nabawiyah karya Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Perang Badar terjadi saat pasukan Madinah menghadang kafilah dagang Quraisy yang pulang dari Syam menuju Makkah.

Kafilah dagang Quraisy itu membawa harta kekayaan penduduk Makkah yang jumlahnya melimpah, yaitu sebanyak 1.000 unta membawa harta benda yang nilainya tidak kurang dari 5.000 dinar emas. Hal ini jadi kesempatan emas bagi pasukan Madinah untuk melancarkan pukulan yang telak bagi orang-orang kafir Quraisy. Ini menjadi serangan dalam bidang politik, ekonomi, dan militer.

Karenanya, Nabi Muhammad SAW mengumumkan kepada orang-orang muslim seraya mengatakan,

“Ini adalah kafilah dagang Quraisy yang membawa harta benda mereka. Hadanglah kafilah itu, semoga Allah SWT memberikan barang rampasan itu kepada kalian.”

Akhirnya, hal tersebut menyebabkan Perang Badar pecah. Tanpa rasa takut, Nabi Muhammad SAW dan pasukannya berangkat dari Madinah menuju medan pertempuran.

Dengan taktik dan siasat dari Rasulullah SAW pasukan Islam sampai terlebih dahulu ke mata air Badar. Hal ini menjadi taktik dan siasat bagi pasukan muslim supaya mereka memiliki cadangan air di tengah lembah gurun Badar.

Hingga akhirnya peperangan pun dimulai. Orang pertama yang menjadi korban ialah Al-Aswad bin Abdul Asad Al-Makhzumi ia adalah seorang laki-laki yang kasar dan buruk akhlaknya.

Ia keluar barisan dan mengancam pasukan muslim, ia datang untuk merebut mata air dan mengambil air minum. Namun kedatangannya langsung disambut oleh Hamzah bin Abdul Muthalib.

Setelah saling berhadapan Hamzah langsung menebas kaki Al-Aswad di bagian betis hingga putus, ia pun lalu merangkak dan tercebur ke dalamnya. Tetapi secepat kilat Hamzah berhasil menyerangnya dan membuatnya meninggal dunia.

Setelah itu, perang pun pecah dan orang Quraisy kehilangan 3 orang penunggang kuda yang merupakan komando pasukan mereka. Hal itu, membuat pasukan Quraisy murka dan menyerang pasukan muslim dengan membabi buta.

Di sisi lain, Rasulullah SAW berdoa kepada Allah SWT dan memohon kemenangan, hingga akhirnya Rasulullah SAW dilanda rasa kantuk. Dalam riwayat Muhammad bin Ishaq disebutkan: “Rasulullah SAW bersabda, “Bergembiralah wahai Abu Bakar. Telah datang pertolongan Allah SWT kepadamu. Inilah Jibril yang datang sambil memegang tali kekang kuda yang ditungganginya di atas gulungan-gulungan debu.”

Orang-orang muslim pun bertempur dengan bantuan para malaikat. Disebutkan dalam riwayat Ibnu Sa’d dari Ikrimah, dia berkata, “Pada saat itu ada kepala orang musyrik yang terkulai, tanpa diketahui siapa yang telah membabatnya. Ada pula tangan yang putus, tanpa diketahui siapa yang membabatnya.” Hingga akhirnya pasukan muslim pun menang dan orang Quraisy mundur dari pertempuran.

Saking pentingnya Perang Badar Allah SWT bahkan menamai hari berlangsungnya pertempuran itu dengan Yaum al-Furqan. Maknanya sendiri ialah hari perbedaan. Kala itu, Allah SWT ingin membedakan antara yang hak dan batil.

Peperangan hebat itu berlangsung selama dua jam. Pasukan muslim berhasil menghancurkan garis pertahanan tentara Quraisy yang menyebabkan mereka mundur secara berurutan.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Zuhudnya Imam an-Nawawi sampai Enggan Menikah


Jakarta

Para ulama terdahulu yang karya-karyanya masih hidup sampai hari ini banyak yang menjalani kehidupannya dengan zuhud. Tak terkecuali Imam an-Nawawi.

Menurut buku Min A’lam As-Salaf karya Syaikh Ahmad Farid yang diterjemahkan Masturi Irham dan Asmu’i Taman, kehidupan Imam an-Nawawi dipenuhi dengan wira’i (menjaga dari perkara yang haram), zuhud, kesungguhan mencari ilmu, amal saleh, nahi munkar, cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Biografi Singkat Imam An-Nawawi

Imam an-Nawawi lahir pada 631 H di Nawa, sebuah daerah yang masih bagian Damaskus. Ia memiliki nama lengkap Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Al-Hizam Al-Haurani Ad-Dimasyqi Asy- Syafi’i.


Imam an-Nawawi kerap dipanggil Abu Zakariya karena namanya Yahya. Ini merupakan tradisi orang Arab ketika memanggil orang yang memiliki nama Yahya dengan maksud meniru Yahya nabi Allah SWT dan ayahnya, Zakariya.

Sementara itu, dalam Syarah Riyadhus Shalihin yang ditulis Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dan diterjemahkan M. Abdul Ghoffar dkk dikatakan, Imam an-Nawawi mendapat panggilan Abu Zakariya karena ia tidak menikah dan termasuk ulama yang membujang hingga akhir hayatnya.

Imam an-Nawawi memiliki gelar Muhyiddin. Namun, dirinya tidak suka dengan gelar ini karena sikap dan rasa tawadhu’nya kepada Allah SWT yang amat besar.

Kisah Zuhud Imam An-Nawawi

Masih diambil dari sumber yang sama, Imam An-Nawawi adalah orang yang sangat zuhud terhadap perkara dunia yang tidak penting.

Zuhud sendiri diartikan sebagai tindakan meninggalkan sesuatu karena tidak butuh dan menganggap remeh terhadap sesuatu tersebut namun senang atau melakukan sesuatu yang lebih baik dari yang ditinggalkannya itu.

Imam An-Nawawi bukan orang yang mudah tergiur dengan dunia beserta perhiasannya yang fana. Sikap zuhud Imam an-Nawawi tercermin dalam kesehariannya. Ia rela makan, minum, dan memiliki pakaian yang sedikit.

Imam An-Nawawi biasanya memakan roti Al-Ka’k dan buah zaitun hauran yang dikirim ayahnya karena ia tidak memiliki waktu untuk memasak atau makan. Hanya makanan-makanan ini saja yang ia makan sehari-hari.

Imam An-Nawawi tidak serakah bahkan sangat sederhana dalam berpakaian. Ia rela memakai pakaian yang ditambal dan menempati asrama yang disediakan untuk para siswa.

Di dalam kamarnya pun dipenuhi dengan kitab-kitab. Apabila ada tamu yang hendak mengunjunginya, ia harus menumpuk kitab-kitab itu agar para tamu bisa memiliki ruang untuk masuk.

Kezuhudan Imam an-Nawawi terhadap dunia juga tampak dari sikapnya yang lain. Ia tidak memasuki kamar mandi umum yang di dalamnya terdapat pemanas air dan tidak memakan buah-buahan karena menjalani wira’i.

Zuhud Imam An-Nawawi sampai pada tahapan tidak punya waktu untuk menikah dengan wanita yang cantik atau memiliki budak perempuan. Ia menggunakan seluruh hidupnya semata-mata untuk nasihat, mendalami ilmu, mengajar, mengarang, ibadah, zuhud, terutama zuhud dari nafsu.

Imam An-Nawawi telah menempatkan dirinya pada posisi yang berbahaya ketika ia menasihati pemerintah kala itu. Ia mengirim surat kepada Ibnu An-Najjar dengan mengatakan, “Alhamdulillah, aku termasuk orang yang suka meninggal dalam keadaan taat kepada Allah SWT.”

Al-Yunini mengatakan, “Perkara yang menyebabkan ia berada di barisan terdepan dari para ulama adalah banyaknya zuhud, taat agama, dan wira’inya di dunia.”

Imam an-Nawawi wafat pada 24 Rajab 676 H dan dimakamkan di kampung halamannya, Nawa. Ia meninggalkan karya-karya menjadi rujukan umat Islam hingga kini.

Beberapa karya Imam an-Nawawi antara lain Syarhu Shahiih Muslim, al-Adzkaar, al-Arba’uun an-Nawawiyyah, al-Isyaaraat ilaa Bayaanil Asmaa’ al-Mubhamaat, at-Taqriib, Irsyaadu Thullaabil Haqaa’iq ilaa Ma’rifati Sunani Khairil Khalaa’iq, Syarhu Shahiih al-Bukhari, Syarhu Sunan Abi Dawud, dan Riyaadhus Shaalihiiin min kalaami Sayyidil Mursaliin.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Saat Nabi Muhammad Bertemu Nabi Adam di Surga


Jakarta

Nabi Muhammad SAW pernah bertemu Nabi Adam AS di surga. Peristiwa ini terjadi saat Rasulullah SAW melakukan Mikraj, perjalanan dari Masjid Al Aqsa ke Sidratul Muntaha.

Kisah pertemuan Nabi Muhammad SAW dan Nabi Adam AS diceritakan Ibnu Katsir dalam Qashash al-Anbiyaa dan diterjemahkan oleh Umar Mujtahid. Ibnu Katsir menyandarkan kisah ini dengan hadits Isra’ dalam kitab Shahihain.

Diceritakan, dalam perjalanan menuju Sidratul Muntaha, Rasulullah SAW bersama Malaikat Jibril melewati setiap lapisan langit. Beliau bertemu Nabi Adam AS di langit paling bawah.


Saat melihat kedatangan Nabi Muhammad SAW, Nabi Adam AS berkata, “Selamat datang anak saleh dan nabi saleh.”

Nabi Muhammad SAW melihat di samping kanan dan kiri Nabi Adam AS ada kumpulan banyak manusia. Saat melihat ke kanan, Nabi Adam AS tertawa dan saat melihat ke kiri, Nabi Adam AS menangis.

Rasulullah SAW bertanya kepada Jibril, “Wahai Jibril, siapa dia?” Jibril menjawab, “Dia Adam, dan mereka itu anak keturunannya. Saat melihat ke sebelah kanan–mereka adalah para penghuni surga, Adam tertawa, dan saat melihat ke sebelah kiri, mereka adalah para penghuni neraka, Adam menangis.”

Terkait Nabi Adam AS, Abu Bakar Al-Bazzar menyebut riwayat dari Muhammad bin Mutsanna, dari Yazid bin Harun, dari Hisyam bin Hassan yang mengatakan, “Akal Adam sama seperti akal seluruh anak keturunannya.”

Dalam riwayat lain dikatakan, Nabi Muhammad SAW melintas di hadapan Nabi Yusuf AS, beliau bersabda, “Aku melintas di hadapan Yusuf, ternyata ia diberi separuh ketampanan.”

Sebagian ulama menafsirkan makna hadits tersebut adalah Nabi Yusuf AS diberi separuh ketampanan Nabi Adam AS. Ibnu Katsir berpendapat makna ini sesuai karena Allah SWT menciptakan Nabi Adam AS dan membentuknya dengan tangan-Nya, meniupkan roh padanya dan makhluk yang Allah SWT ciptakan pasti memiliki keindahan yang paling baik.

Dalam Shahihain juga terdapat riwayat lain dari sejumlah jalur yang menyebut Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, Allah menciptakan Adam sesuai wujud-Nya (sifat-sifat-Nya).” (HR Bukhari)

Nabi Muhammad Bertemu Nabi-nabi Lain

Nabi Muhammad SAW juga bertemu nabi-nabi lain saat melakukan perjalanan menuju Sidratul Muntaha. Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab al-Isra’ wa al-Mi’raj yang diterjemahkan oleh Arya Noor Amarsyah menceritakan, Nabi Muhammad SAW bertemu Nabi Isa AS dan Nabi Yahya AS di langit kedua.

Selanjutnya, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Yusuf AS di langit ketiga dan berjumpa Nabi Idris AS di langit keempat.

Beliau kemudian melanjutkan perjalanan. Saat tiba di langit kelima, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Harun AS dan bertemu dengan Nabi Musa AS di langit keenam.

Terakhir, Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi Ibrahim AS di langit ketujuh. Menurut riwayat Nabi Ibrahim AS saat itu sedang menyandarkan punggungnya di Baitul Ma’mur–Ka’bah-nya para malaikat penduduk langit.

Para nabi terdahulu itu memberikan sapaan hangat kepada Nabi Muhammad SAW dan mendoakan kebaikan untuk beliau.

Kisah bertemunya Nabi Muhammad SAW dengan para nabi terdahulu di setiap lapisan langit itu mengacu pada hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Syaiban ibn Farukh, dari Hamad ibn Salamah, dari Tsabit al-Banani, dari Anas ibn Malik RA yang menceritakan dari Rasulullah SAW. Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan ini adalah hadits yang paling kuat dan tidak diperselisihkan.

Wallahu a’lam.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Ayub dan Kesabarannya Hadapi Beratnya Ujian


Jakarta

Allah SWT mengutus para nabi untuk menyampaikan ajaran tauhid. Para nabi utusan Allah SWT tersebut melewati berbagai ujian selama berdakwah.

Nabi Ayub AS adalah salah satu nabi yang terkenal dengan kesabarannya dalam menghadapi ujian. Berikut kisah Nabi Ayub AS dan kesabarannya menghadapi ujian.

Kisah Kesabaran Nabi Ayub

Dirangkum dari buku Qashash al-Anbiyaa karya Ibnu Katsir yang diterjemahkan oleh Umar Mujtahid, Nabi Ayub AS termasuk salah satu nabi yang diberikan wahyu, seperti yang tertera dalam surah An-Nisa’ ayat 163,


۞ اِنَّآ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ كَمَآ اَوْحَيْنَآ اِلٰى نُوْحٍ وَّالنَّبِيّٖنَ مِنْۢ بَعْدِهٖۚ وَاَوْحَيْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَعِيْسٰى وَاَيُّوْبَ وَيُوْنُسَ وَهٰرُوْنَ وَسُلَيْمٰنَ ۚوَاٰتَيْنَا دَاوٗدَ زَبُوْرًاۚ ١٦٣

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu (Nabi Muhammad) sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya. Kami telah mewahyukan pula kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan keturunan(-nya), Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Kami telah memberikan (Kitab) Zabur kepada Daud.”

Nabi Ayub AS adalah orang yang kaya raya. Ia memiliki berbagai jenis harta, mulai dari binatang ternak, budak, hewan, tanah yang terbentang dari Tsaniyah sampai Hauran. Nabi Ayub AS juga memiliki banyak anak dan istri.

Meski memiliki harta kekayaan yang sangat melimpah, Nabi Ayub AS mendapatkan berbagai ujian pada tubuhnya. Tidak ada satu pun anggota badan yang sehat tanpa penyakit, selain hati dan lisan.

Dengan hati dan lisan, Nabi Ayub AS senantiasa menyebut Allah SWT. Ia menghadapi semua ujian itu dengan sabar dan selalu mengingat Allah SWT.

Lamanya Nabi Ayub AS sakit membuat teman dekatnya merasa jijik. Hingga Nabi Ayub AS diusir dari kampung halamannya. Tidak ada satu orang pun yang merasa iba kepada dirinya, selain istrinya.

Istri Nabi Ayub AS senantiasa menjaga haknya. Ia sering menengok Nabi Ayub AS, merawatnya, dan membantunya untuk buang hajat.

Kondisi istri Nabi Ayub AS mulai lemah dan harta bendanya semakin berkurang. Ia kemudian bekerja pada orang lain untuk sekadar memenuhi kebutuhan makan. Sang istri senantiasa bersabar menghadapi ujian bersama Nabi Ayub AS.

Semua ujian yang menimpa tersebut membuat Nabi Ayub AS senantiasa sabar. Ia selalu mengharap pahala, memuji dan bersyukur, hingga menjadi perumpamaan dalam kesabaran, juga perumpamaan orang yang mendapat berbagai macam ujian.

Namun karena orang-orang sudah mengetahui bahwa istri Nabi Ayub AS yang bekerja bersama mereka, orang-orang tersebut tidak mau menggunakan jasa istri Nabi Ayub AS lagi. Sebab, mereka khawatir akan tertimpa ujian seperti yang dialami Nabi Ayub AS atau tertular penyakitnya.

Kemudian istri Nabi Ayub AS menjual sebagian salah satu kucir rambut pada putri salah seorang terhormat dengan imbalan makanan enak dan banyak. Ia membawakan makanan itu untuk Nabi Ayub AS. Nabi Ayub AS senantiasa berdoa kepada Allah SWT dan mengharap kesembuhan penyakitnya.

Suatu hari, istri Nabi Ayub AS tidak kunjung datang, lalu Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Ayyub AS. Allah SWT berfirman,

اُرْكُضْ بِرِجْلِكَۚ هٰذَا مُغْتَسَلٌۢ بَارِدٌ وَّشَرَابٌ ٤٢

Artinya: “(Allah berfirman,) “Entakkanlah kakimu (ke bumi)! Inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum.” (QS Sad: 42)

Kemudian Nabi Ayub AS mandi dan minum dengan air tersebut. Ketika istrinya datang, Nabi Ayub AS pun menghampirinya. Ujian yang menimpa Nabi Ayub AS telah hilang. Nabi Ayub AS terlihat lebih tampan dari sebelumnya.

Namun karena ketampanan Nabi Ayub AS, istrinya pun bingung dan berkata kepada Nabi Ayub AS, “Hai hamba Allah! Ke mana perginya orang yang tertimpa ujian yang biasa berada di sini? Sepertinya ia telah dibawa pergi anjing atau serigala.”

Nabi Ayub AS pun berkata kepada istrinya, “Bagaimana kau ini? Aku Ayub!” Istrinya berkata, “Apa kau meledekku, wahai hamba Allah?” Nabi Ayub AS kembali berkata, “Bagaimana kau ini? Ini aku, Ayub! Allah telah mengembalikan tubuhku.”

Allah SWT telah menghilangkan penyakit dan gangguan yang ada pada Nabi Ayub AS secara lahir dan batin. Allah SWT menggantinya dengan kesehatan lahir batin, rupa nan elok, dan harta benda yang banyak. Allah SWT juga menurunkan hujan belalang emas padanya dan mengembalikan keluarganya.

Inilah jalan keluar yang Allah SWT berikan bahwa hamba yang bertakwa dan taat kepada-Nya. Terlebih terkait istrinya yang sabar lagi mengharap pahala, pendamping setia, berbakti, dan bertindak dengan benar.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Yazid Al-Busthami dan Pengabdiannya kepada Sang Ibu



Jakarta

Seorang sufi dan ulama ternama pada zamannya, Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Syurusan Al-Busthami, memiliki kisah menyentuh. Kasih sayangnya kepada sang ibu sangat luar biasa dan bisa dijadikan teladan.

Fariduddin Aththar menceritakan kisah itu dalam kitab Tadzkiratul Auliya (Damaskus: Al-Maktabi, 2009), halaman 184-187, sebagaimana dikutip oleh Kemenag.

Diceritakan, Abu Yazid pada saat itu masih muda. Ia sedang mengemban ilmu di sebuah pondok pesantren.


Ketika mengaji tafsir Al-Qur’an, hati Abu Yazid tiba-tiba saja tersentuh mendengar gurunya menjelaskan surat Lukman ayat 14.

اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ

Artinya: “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.”

Hati Abu Yazid yang terguncang langsung mengingatkannya pada sang ibu di rumah. Kemudian Abu Yazid memohon izin kepada gurunya untuk pulang menjumpai ibunya.

Sang guru pun mengizinkan Abu Yazid pulang. Ia kemudian pergi ke rumahnya dengan tergesa-gesa.

Saat melihat kehadiran Abu Yazid di rumah, ibunya merasa terkejut dan heran.

“Thaifur, mengapa kamu kembali?” tanya ibunya.

Abu Yazid kemudian menjelaskan kejadian yang dialaminya. Ketika tengah mengaji hingga mencapai Surat Lukman ayat 14, hatinya tersentuh dan bergetar.

“Aku tak mampu melaksanakan dua ibadah syukur secara bersamaan,” kata Abu Yazid.

Menyaksikan anak tercintanya berada dalam dilema, sang ibu memutuskan untuk membebaskan Abu Yazid dari segala kewajiban terhadapnya. Ia minta Abu Yazid lebih baik menuntut ilmu daripada merawatnya.

“Anakku, aku melepaskan segala kewajibanmu terhadapku dan menyerahkanmu sepenuhnya kepada Allah. Pergilah dan jadilah seorang hamba Allah,” ucap ibunya.

Setelah itu, Abu Yazid meninggalkan kota Bustham dan menjadi “santri kelana,” merantau dari satu negeri ke negeri lain selama 30 tahun. Selama perjalanan itu, ia berguru kepada 113 guru spiritual.

Hari-hari Abu Yazid diisi dengan puasa dan tirakat, hingga akhirnya ia menjadi seorang ulama sufi yang memiliki pengaruh di dunia tasawuf.

Kisah yang berbeda juga dijelaskan dalam kitab yang sama. Abu Yazid pernah memegang tempat minum ibunya selama berjam-jam.

Hal itu terjadi pada suatu malam, sang ibu terbangun dan merasa haus. Namun ternyata stok air minum sudah habis.

Akhirnya Abu Yazid keluar rumah untuk mencari air. Setibanya di rumah, ia menemukan ibunya telah kembali tertidur.

Semenjak itu, Abu Yazid memutuskan untuk melawan rasa kantuknya. Ia begadang semalam suntuk untuk memastikan sang ibu tidak kesulitan mendapatkan air minum.

“Nak, kenapa kamu belum tidur?” tanya sang ibu.

“Jika aku tidur, aku takut ibu tidak menemukan air minum ini,” jawab Abu Yazid.

Dari cerita ini, kita dapat menarik hikmah bahwa persetujuan dan doa orang tua, terutama dari seorang ibu, memiliki nilai yang besar dan dapat mempengaruhi arah hidup seseorang. Berbakti kepada orang tua membawa berkah dan keberuntungan.

Sebaliknya, jika berlaku durhaka terhadap orang tua kita akan mendapatkan keburukan. Baik di dunia maupun di akhirat.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Qais bin Sa’ad, Sahabat Rasulullah yang Dermawan


Jakarta

Para sahabat Rasulullah SAW memiliki perannya masing-masing. Meski demikian, mereka memiliki satu tujuan utama, yaitu untuk menyebarkan agama Islam.

Qais bin Sa’ad RA adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang berperan besar. Ia terkenal dengan sifatnya yang dermawan. Berikut sosok Qais bin Sa’ad RA beserta perannya.

Mengenal Qais bin Sa’ad, Pemuda yang Dermawan

Dirangkum dari buku Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi oleh Muhammad Raji Hasan Kinas, Qais bin Sa’ad bin Ubadah adalah sahabat Nabi SAW yang berasal dari kalangan Anshar keturunan suku Khazraj. Qais bin Sa’ad tumbuh besar di keluarga yang harmonis, santun, dan mulia.


Dalam pertumbuhannya, Qais bin Sa’ad menjadi seorang yang cerdik dan waspada, seperti anak singa yang beranjak dewasa. Sebab ayah dan kakeknya merupakan orang yang sangat dermawan, ia juga mendapatkan warisan kedermawanan tersebut.

Keluarga Qais bin Sa’ad merupakan keluarga yang terpandang. Mereka menjadi penolong-penolong agama Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Dirangkum dari buku The Great Sahaba oleh Rizem Aizid, terdapat beberapa cerita mengenai kedermawanan Qais bin Sa’ad. Salah satunya yaitu ketika Umar RA dan Abu Bakar RA yang membicarakan kedermawanan Qais.

Salah satu dari mereka berkata, “Kalau kita biarkan pemuda ini dengan kemurahan hatinya, niscaya harta ayahnya akan habis tidak tersisa.” Saad bin Ubadah yang tidak jauh dari mereka mendengar percakapan mereka. Kemudian, Sa’ad bin Ubadah berkata kepada mereka dengan tegas, “Siapakah yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakar dan Umar? Mereka mengajarkan kekikiran kepada anakku dengan memperalat namaku.”

Peran Qais bin Sa’ad RA

Dirangkum dari sumber sebelumnya, Qais bin Sa’ad merupakan orang yang sangat dermawan. Selain terkenal dengan sifatnya yang dermawan, Qais bin Sa’ad juga terkenal dengan keberanian dan keperwiraannya.

Qais bin Sa’ad mengikuti berbagai peperangan bersama Rasulullah SAW dan tidak pernah absen dalam berjihad di jalan Allah SWT. Qais bin Sa’ad juga menjadi pengawal yang menemani Rasulullah SAW dimana pun dan kapan pun beliau berada.

Bahkan, setelah Rasulullah SAW wafat, Qais bin Sa’ad tetap senantiasa berjihad di jalan Allah SWT. Ia mengutamakan keberanian yang berlandaskan kebenaran dan kejujuran serta tidak pernah bermain curang apalagi licik.

Ketika tiga peperangan (Perang Shiffin, Jamal, dan Nahrawan) di masa Ali bin Abi Thalib terjadi, Qais menjadi salah satu pahlawan yang berperang tanpa takut dan mati. Sebagai balasan aas jasanya, Ali bin Abi Thalib RA mengangkat Qais bin Sa’ad menjadi Gubernur Mesir.

Setelah Ali bin Abi Thalib RA wafat, Qais memandang Hasan sebagai tokoh yang cocok menurut syariat untuk menjadi Amirul Mukminin. Qais pun berbaiat kepadanya dan berdiri di sampingny sebagai pembela.

Peristiwa pembaiatan tersebut terjadi pada bulan Ramadhan tahun 40 H. Sejak saat itu, Hasan menjadi khalifah dan Qais bin Sa’ad menjadi Amir di wilayah Azerbaijan dengan mengomando 40.000 pasukan.

Wafatnya Qais bin Sa’ad

Dirangkum dari sumber sebelumnya, Qais bin Sa’ad wafat pada 59 H di Madinah karena pembunuhan. Saat itu, Qais sedang bertempur di pihak Hasan melawan Mu’awiyah.

Qais mendapat perintah dari Hasan bin Ali agar berada di barisan terdepan dengan memimpin 12.000 pasukan. Ketika Qais berangkat ke Syam, tiba-tiba ada teriakan lantang yang mengatakan bahwa Qais bin Sa’ad telah terbunuh.

Hal tersebut membuat Hasan dan pasukannya panik dan segera mengemas perbekalan mereka. Mereka juga membongkar dan mengemas tenda yang ditempati Hasan.

Demikianlah akhir hidup dari Qais bin Sa’ad. Semoga Allah SWT senantiasa mengaruniakan rahmat kepadanya. Amin.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Wasiat Nabi Khidir kepada Nabi Musa Jelang Perpisahannya


Jakarta

Nabi Musa AS dikisahkan pernah bertemu Nabi Khidir AS dalam suatu perjalanan spiritualnya. Dalam perjumpaan itu, Nabi Khidir AS memberikan wasiat kepada Nabi Musa AS.

Nabi Khidir AS tidak termasuk dalam 25 nabi dan rasul yang wajib diketahui umat Islam. Meski demikian, ada ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang kisah pertemuannya dengan Nabi Musa AS dan ini diperjelas dalam sejumlah hadits.

Kisah tersebut turut diceritakan Imam Ibnu Katsir dalam kitab Qashash al-Anbiyaa yang diterjemahkan Umar Mujtahid. Dikatakan, Nabi Khidir AS berwasiat kepada Nabi Musa AS setelah mengatakan,


قَالَ هٰذَا فِرَاقُ بَيْنِيْ وَبَيْنِكَۚ سَاُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيْلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَّلَيْهِ صَبْرًا ٧٨

Artinya: “Dia berkata, “Inilah (waktu) perpisahan antara aku dan engkau. Aku akan memberitahukan kepadamu makna sesuatu yang engkau tidak mampu bersabar terhadapnya.” (QS Al Kahfi: 78)

Saat Nabi Musa AS hendak berpisah dengan Nabi Khidir AS, ia berkata, “Beri aku wasiat.” Kemudian, Nabi Khidir AS memberikan wasiat kepadanya dengan berkata, “Jadilah orang yang berguna, dan jangan menjadi orang yang membahayakan, cerialah selalu dan jangan suka marah, tinggalkan gelombang dan jangan menempuh perjalanan yang tidak diperlukan.”

Ibnu Katsir menyandarkan hal ini dengan riwayat Al Baihaqi dari Abu Abdullah Al-Malathi. Dalam riwayat lain dikatakan, Nabi Khidir AS menambah nasihatnya dengan mengatakan, “Dan jangan marah, kecuali saat merasa kagum.”

Wahab bin Munabbih turut meriwayatkan bahwa Nabi Khidir AS berkata, “Wahai Musa! Di dunia, manusia disiksa sebatas pikiran mereka terhadap dunia.”

Adapun, Bisyr bin Harits Al Hafi mengatakan saat Nabi Musa AS meminta nasihat kepada Nabi Khidir AS, Nabi Khidir AS pun menasihati, “Semoga Allah memberikan kemudahan padamu untuk taat pada-Nya.”

Kisah Pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir

Rasulullah SAW pernah menceritakan kisah pertemuan Nabi Musa AS dengan Nabi Khidir AS. Beliau bersabda,

“Saudaraku, Musa, berdoa, ‘Ya Rabb!’ Musa menyebutkan doa yang dimaksud, kemudian ia dihampiri Khidir, ia masih muda, harum aromanya, putih bajunya, dan lengannya dilipat. Khidir kemudian mengucapkan, ‘Assalaamu ‘alaika wa rahmatullah, wahai Musa bin Imran. Rabb-mu titip salam untukmu.’

Musa menjawab, ‘Huwas Saalam wa ilahis salaam (Ia Maha Pemberi keselamatan dan kepada-Nya juga keselamatan kembali), segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam, yang nikmat-nikmat-Nya tiada mampu kuhitung, dan tiada mampu aku mensyukurinya tanpa pertolongan-Nya’.”

Rasulullah SAW melanjutkan ceritanya bahwa setelah itu Nabi Musa AS meminta nasihat kepada Nabi Khidir AS. Nabi Khidir AS pun memberikan nasihat tentang bagaimana semestinya manusia menjalani kehidupan di dunia.

Berikut penggalan nasihatnya,

Wahai penuntut ilmu! Orang yang berkata itu lebih sedikit merasa bosan daripada orang yang mendengar. Karenanya, janganlah engkau membuat teman-temanmu merasa bosan kala kau berbicara pada mereka. Ketahuilah! Hatimu adalah wadah, maka perhatikan isi yang kau masukkan dalam wadahmu itu. Jauhilah dunia dan lemparkan jauh ke belakangmu, karena dunia bukan tempat menetap bagimu, dunia hanya tempat untuk mencari rezeki sekedarnya, tempat mencari bekal untuk hari kiamat, relakan dirimu untuk bersabar, dan lepaskan diri dari dosa!

Kisah tersebut termuat dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan Ibnu Asakir dari jalur Zakariya bin Yahya Al Waqqad. Sayangnya, kata Ibnu Katsir, Zakariya bin Yahya Al Waqqad termasuk salah seorang pendusta besar.

Wallahu a’lam.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Al Mahdi Penuhi Kehidupan Akhir Zaman dengan Keadilan



Jakarta

Umat Islam disebut akan memasuki kehidupan yang penuh keadilan di bawah kepemimpinan Al Mahdi. Hal ini terjadi saat mendekati kiamat.

Kisah keadilan kepemimpinan Al Mahdi ini diceritakan dalam hadits shahih sebagaimana termuat dalam Qashash Al Ghaib Fii Shahih Al Hadits An-Nabawi karya Umar Sulaiman Al-Asyqar yang diterjemahkan Asmuni.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id dan Jabir bin Abdullah, keduanya berkata, “Di akhir zaman adalah seorang khalifah yang membagi-bagikan harta dengan tidak menghitungnya lagi.”


Khalifah yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah Al Mahdi. Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan dari Nabi SAW yang bersabda, “Hadir di tengah-tengah umatku Al Mahdi. Jika masanya sebentar, maka itu berlangsung selama tujuh tahun dan jika tidak, maka selama sembilan tahun. Selama durasi tersebut umatku menikmati kenikmatan yang mereka belum pernah menikmati situasi seperti itu sebelumnya sama sekali. Diberikan segala buah-buahan dan tidak ada di antara umatku yang menyimpannya sedikit pun. Ketika itu harta ditolak, sehingga seseorang berdiri dan berkata, ‘Wahai Mahdi, beri aku sesuatu.’ Maka, dia mengatakan, ‘Ambillah’.”

Terkait hadits tersebut, Umar Sulaiman Al-Asyqar menjelaskan, nama Al Mahdi yang diucapkan Rasulullah SAW adalah seorang khalifah yang menangani segala urusan kaum muslimin di akhir zaman. Dia memenuhi dunia dengan keadilan di tengah dunia yang penuh kedustaaan dan kezaliman,

Allah SWT menguatkan Al Mahdi dengan kemenangan untuk mengalahkan kekuatan jahat dan perusak yang berkuasa. Sosoknya menjadi contoh hakim muslim yang wara’ dan kuat dalam menegakkan keadilan dan menghancurkan kezaliman.

Para ahli ilmu memandang Al Mahdi sebagai seorang khalifah yang banyak mengeluarkan harta pada zamannya. Dia memberikan hartanya kepada siapa pun yang memintanya dan ia tidak pernah menghitungnya lagi.

Menurut penuturan Umar Sulaiman Al-Asyqar, kesejahteraan kaum muslimin di zaman Al Mahdi lebih besar daripada di zaman Khalifah Ar Rasyid Umar bin Abdul Aziz. Kemakmuran di zaman Khalifah Umar sampai pada tingkatan seseorang tidak menemukan orang yang berhak mengambil sedekahnya, sedangkan di zaman Al Mahdi sampai pada kondisi orang-orang bersedekah memberikan hartanya.

Sejarawan dan ahli tafsir, Imam Ibnu Katsir, dalam kitab An Nihayah seperti diterjemahkan Anshori Umar Sitanggal dan Imron Hasan, mengatakan bahwa Al Mahdi merupakan salah seorang Khulafaur Rasyidin dan imam yang mendapat petunjuk Allah SWT (Al-A’immah Al-Mahdiyyin). Menurut riwayat Ummu Salamah, ia Al Mahdi adalah keturunan Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW bersabda,

الْمَهْدِي مِنْ عِتْرَتِي مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ

Artinya: “Al Mahdi itu dari keturunanku, dari anak cucu Fatimah.” (HR Abu Dawud)

Wallahu a’lam.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Kesabaran Nabi Musa AS dan Dua Ekor Burung



Jakarta

Nabi Musa AS dikenal sebagai nabi yang sabar. Semasa hidupnya, ia pernah beberapa kali diberi ujian oleh Allah SWT.

Nabi Musa AS lahir di zaman kepemimpinan Fir’aun, raja yang dzalim terhadap Bani Israil. Firaun zaman Nabi Musa AS terkenal sebagai raja yang sangat biadab dan kejam kepada rakyatnya, terutama kepada Bani Israil.

Beberapa kisah tentang Nabi Musa AS termaktub dalam Al-Qur’an, seperti dalam surat Al Qashash, surat Al Baqarah, dan surah Taha.


Kisah Nabi Musa AS dan Burung

Merangkum dari buku Kisah Orang-orang Sabar oleh Nasiruddin, dikisahkan pada suatu hari, ketika Nabi Musa AS dan Yusya’ bin Nun bepergian, tiba-tiba hinggaplah seekor burung putih di bahu Nabi Musa AS.

Atas kuasa Allah SWT, burung tersebut bisa berbicara. Burung putih ini berkata, “Hai Musa! Jagalah aku pada hari ini dari ancaman maut. Sebab, aku akan dimangsa oleh burung elang.”

Mendengar hal tersebut, Nabi Musa AS mengizinkan burung itu masuk ke dalam bajunya.

Tak lama kemudian, burung elang datang menghadap beliau seraya berkata, “Hai Musa! Jangan kau halangi diriku untuk memangsa buruanku.”

“Bagaimana kalau kusembelihkan domba untukmu?” tanya Nabi Musa AS memberi tawaran.

“Daging domba bukanlah makananku,” jawab elang.

“Bagaimana kalau daging pahaku ini?” tanya Nabi Musa lagi.

“Aku hanya bersedia jika memakan dua biji mata Anda,” jawab elang.

Maka, Nabi Musa AS langsung merebahkan tubuhnya di tanah dan dalam keadaan terlentang. Burung elang lantas hinggap di dada beliau untuk mematuk bola mata beliau dengan paruhnya.

Melihat apa yang dilakukan Nabi Musa AS, Yusya’ bin Nun menyahut, “Hai Musa! Apakah kedua bola matamu itu begitu sepele untuk membela burung itu?”

Ketika itulah burung putih terbang dari bagian lengan baju beliau, dan elang pun memburunya. Anehnya, kedua burung itu tiba-tiba kembali menghadap Nabi Musa AS.

“Sebenarnya aku adalah malaikat Jibril,” kata seekor burung putih.

“Dan aku adalah malaikat Mikail,” jawab burung yang satunya.

“Allah memerintahkan kepada kami berdua untuk menguji sampai sejauh mana kesabaranmu dalam mengabdi ketentuan Allah SWT,” seru keduanya.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Utsman bin Affan Hendak Dibunuh Kaum Quraisy Sebelum Perjanjian Hudaibiyah



Jakarta

Utsman bin Affan pernah diutus Rasulullah SAW untuk mendatangi Makkah dan bertemu kaum Quraisy. Seruannya untuk mengajak pada perdamaian ternyata disambut dengan amarah yang membuat kaum Quraisy hendak membunuh Utsman.

Utsman bin Affan adalah sahabat Rasulullah SAW yang dikenal setia serta berani membela ajaran Islam. Ia bahkan sama sekali tak gentar meskipun dirinya diancam untuk dibunuh.

Mengutip buku 150 Kisah Utsman ibn Affan oleh Ahmad Abdul Al Atl-Thathawi dikisahkan bahwa Rasulullah SAW mengutus Utsman bin Affan untuk menghadapi kaum Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah dan menyeru untuk menghindari peperangan. Rasulullah SAW memanggil Utsman dan berkata,


“Pergilah kepada kaum Quraisy dan beritahu kepada mereka bahwa kita tidak datang untuk memerangi mereka, tetapi kita datang sebagai pengunjung Baitullah dan pengagung kehormatannya. Kita juga membawa hewan sembelihan. Kita akan menyembelihnya, kemudian pergi.”

Peristiwa ini terjadi sebelum disepakatinya Perjanjian Hudaibiyah.

Kaum Quraisy Mencoba Membunuh Utsman

Mendengar perintah dari Rasulullah SAW, Utsman lantas pergi sendirian menyusuri perbatasan Tanah Haram, Makkah untuk menemui penduduk Makkah. Dengan berani Utsman melangkah tanpa rasa takut dan khawatir akan bahaya yang mengintainya.

Di pesisir Makkah dan Lembah Baldah, Utsman bertemu dengan orang-orang bersenjata yang terdiri atas para ksatria Quraisy. Mereka hendak membunuh Utsman yang dianggap telah masuk ke wilayah Quraisy.

Utsman hampir saja dibunuh jika tidak ada Aban ibn Sa’id ibn Al-Ash ibn Abi Al-Ash ibn Umayyah ibn Abd Syam yang memberikan jaminan kepada para petugas yang berjaga. Aban ibn Sa’id memberikan jaminan perlindungan bagi putra dari pamannya itu (Utsman bin Affan).

Dia berseru, ” Wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya Utsman berada dalam perlidunganku. Maka, biarkanlah Utsman!”

Kedatangan Utsman Membawa Pesan Bagi Kaum Quraisy

Utsman tiba di Baldah, sebuah daerah dekat Makkah. Di sana, ia bertemu dengan orang-orang Quraisy. Mereka lantas bertanya, “Hendak ke manakah kamu?”

Utsman menjawab, “Rasulullah SAW telah mengutusku agar menemui kalian untuk menyeru kepada Allah dan Islam. Kalian semua hendaknya masuk agama Allah. Sebab, Allah pasti akan memenangkan agama-Nya dan memuliakan Nabi-Nya. Jika tidak, hendaklah kalian membiarkan kami. Lalu, urusan selanjutnya diserahkan kepada orang-orang selain kalian. Jika mereka berhasil mengalahkan Muhammad, itulah yang kalian inginkan. Namun jika Muhammad yang menang, kalian memiliki pilihan: apakah kalian masuk ke agama Islam atau kalian memerangi kami dengan jumlah kalian yang banyak dan lengkap. Padahal, sesungguhnya peperangan telah menyiksa kalian dan menghilangkan orang-orang terpilih di antara kalian.”

Menurut Al Shalabi dalam buku berjudul Utsman bin Affan, Utsman terus berbicara kepada mereka tentang hal-hal yang sebenarnya tidak ingin mereka dengar. Kaum Quraisy lantas berkata, “Kami telah mendengarkan apa yang kamu ucapkan. Dan hal seperti ini tidak akan pernah terjadi. Dia (Muhammad) tidak akan pernah memasuki Makkah dengan jalan kekerasan. Pulanglah kepada kawanmu itu. Beri tahukan kepadanya bahwa dia tidak akan pernah sampai kepada kami.”

Utsman Membalas Kebaikan Abdullah ibn Sa’aad

Usai menyampaikan pesan kepada kaum Quraisy, Utsman tidak pernah lupa dengan kebaikan Abdullah ibn Saad ibn Abi Al Sarh yang telah memberinya perlindungan dan menjaganya selama di Makkah.

Ketika terjadi pembebasan Makkah, Abdullah ibn Sa’ad bersembunyi di rumah Utsman. Kemudian Utsman membawa dan mengantarkannya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, Abdullah telah berbaiat, lalu dia membatalkan baiatnya (keluar dari Islam).” Beliau pun melihat Abdullah tiga kali. Hal itu menunjukkan bahwa beliau tidak suka. Namun beliau membaiatnya kembali ke dalam Islam setelah melihatnya tiga kali.

Setelah itu, beliau menghadap kepada para sahabat dan bertanya, “Tidakkah di antara kalian ada orang yang mengerti dan menghampiri orang ini untuk membunuhnya ketika aku tidak mengulurkan tanganku untuk membaiatnya?”

Mereka menjawab, “Kami tidak mengetahui apa yang ada di dalam benakmu, wahai Rasulullah. Mengapa engkau tidak memberikan isyarat mata kepada kami?”

Rasulullah menjawab, “Seorang nabi tidak patut memiliki mata yang berkhianat.”

Abdullah ibn Sa’ad adalah salah seorang penulis wahyu. Namun, ia murtad dan melarikan diri ke Makkah. Karena itulah Rasulullah SAW menghalalkan darahnya untuk dibunuh.

Merujuk pada buku Sejarah Kebudayaan Islam karya Fida Abdillah, akhirnya Rasulullah dan kaum Quraisy menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Situasi di Makkah menjadi aman dan tidak ada peperangan. Bahkan, pengikut Nabi Muhammad SAW yang pada awalnya hanya berjumlah 1.400 orang bertambah menjadi hampir 10.000 orang.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com