Category Archives: Kisah

Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Sahabat Nabi SAW yang Dijuluki Kepercayaan Umat



Jakarta

Abu Ubaidah bin al-Jarrah namanya. Sahabat Nabi Muhammad SAW yang satu ini dikenal dengan pribadinya yang cerdas dan pemalu.

Mengutip dari 99 Kisah Menakjubkan di Alquran oleh Ridwan Abqary, Abu Ubaidah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Dirinya merupakan sosok yang baik hati, taat beribadah, serta rendah hati.

Abu Ubaidah berasal dari suku Quraisy keturunan Fihir. Karena keberaniannya itu, ia tidak pernah tertinggal saat umat Islam dan kafir Quraisy berperang.


Abu Ubaidah terus membela umat Islam dengan gagah untuk menjunjung kebenaran. Ia menjadi orang pertama yang digelari Amirul Umara yang artinya Perdana Menteri.

Dikisahkan dalam buku Ensiklopedia Biografis Sahabat Nabi susunan Muhammad Raji Hasan Kinas, Abu Ubaidah menjadi orang yang berdiri tegap di barisan Nabi Muhammad SAW saat Perang Badar berlangsung. Sementara itu, sang ayah yang bernama Abdullah bin Al Jarrah berada di barisan pasukan musyrikin.

Meski demikian, Abu Ubaidah terus menghindari sang ayah saat peperangan berlangsung. Sayangnya, ia ditakdirkan berhadapan dengan ayahnya sendiri dan harus mengalahkannya.

Sosoknya yang berani ini juga terlihat saat dirinya mengikuti Perang Uhud. Abu Ubaidah menolong Rasulullah SAW yang terkena serpihan besi akibat lemparan musuh.

Dengan gagah, Abu Ubaidah mencabut serpihan besi itu dengan giginya. Ini menyebabkan kedua giginya tanggal. Setelah kejadian ini, Abu Ubaidah digelari Amin al-Ummah yang berarti kepercayaan umat oleh Nabi Muhammad SAW.

Julukan lainnya yang diperoleh Abu Ubaidah adalah al-Qawiy al-Amin yang artinya yang kuat yang terpercaya. Gelar tersebut ia dapatkan karena mengikuti seluruh peperangan bersama sang rasul.

Abu Ubaidah juga sering ditunjuk sebagai pemimpin. Diceritakan oleh Urwah bin Az Zubair RA, ketika Perang Dzatus Salasil, Nabi Muhammad SAW mengangkat Amr bin Ash sebagai komandan pasukan.

Pasukan tersebut memasuki Syam dari arah Bala. Sementara itu, satu pasukan lainnya menyusul dari arah Qudha’ah. Melihat jumlah musuh yang sangat banyak membuat Amr bin Ash mengirim utusan menghadap Rasulullah SAW untuk meminta bantuan.

Mendengar hal itu, Nabi SAW lalu mengirim pasukan yang terdiri dari orang-orang Muhajirin. Di antara pasukan tersebut, sang rasul menunjuk Abu Ubadiah sebagai komandan.

Ketika pasukan Abu Ubadiah bertemu pasukan Amr, maka Amr bin Ash berkata,

“Aku adalah komandan karena aku yang meminta pasukan tambahan kepada Rasulullah SAW,”

Mendengar hal itu, orang-orang Muhajirin tidak setuju. Mereka lalu berkata,

“Bolehlah engkau menjadi komandan pasukanmu, tapi Abu Ubaidah tetap menjadi komandan pasukan Muhajirin,”

Amr lalu membantah, “Kalian adalah bala bantuan yang kuminta,”

Di tengah ketegangan itu, Abu Ubaidah menenghi mereka seraya berkata,

“Wahai Amr, harap engkau ketahui bahwa Rasulullah SAW berpesan kepadaku, ‘Jika engkau sudah bertemu rekanmu, hendaklah kalian saling mematuhi.’ Kalau memang engkau tidak mau patuh padaku, akulah yang akan patuh kepadamu,”

Selanjutnya, Abu Ubaidah menyerahkan kepemimpinan kepada Amr bin Ash. Sosok Abu Ubaidah yang lembut itu menandakan dirinya bijak dan tidak egois.

Abu Ubaidah wafat karena sakit kolera. Diterangkan dalam buku 125 Sahabat Nabi Muhammad oleh Mahmudah Mastur, ketika terjadi penaklukan negeri Syam, Abu Ubaidah juga ditujuk sebagai pemimpin.

Di sana, ia menetap cukup lama sebelum akhirnya wabah kolera merebak. Umar bin Khattab memerintahkannya untuk segera keluar dari sana, tapi Abu Ubaidah mengirim surat kepada Umar yang berisi:

“Wahai Umar, aku tidak ingin memikirkan diriku sendiri, sementara banyak orang lain yang tertimpa penyakit. Aku tidak ingin meninggalkan mereka sampai Allah putuskan perkara ini,”

Umar bin Khattab menangis membaca surat dari Abu Ubaidah. Setelahnya, ia meninggal dunia akibat kolera yang dideritanya.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Masa Kecil dan Remaja hingga Wafat


Jakarta

Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat Rasulullah yang namanya sangat masyhur. Sejak kecil, Umar mempunyai tubuh tinggi besar dan watak yang keras.

Umar lahir dari suku Quraisy, sehingga pada awalnya ia sangat membenci dan menentang agama baru yang diajarkan Rasulullah SAW. Pada suatu ketika, Umar juga sempat berniat untuk membunuh Rasulullah SAW karena geram.

Namun, masuknya Umar di agama Islam memberikan dampak yang begitu besar bagi perkembangan umat Islam selanjutnya. Komitmen Umar yang begitu teguh dan tulus untuk mengkokohkan tiang-tiang agama Islam ini pernah ia sampaikan ke Rasulullah SAW.


Masa Kecil dan Remaja Umar bin Khattab

Menurut buku Fashlu al-Khathab fii Siirat ibnu al-Khathab ‘Umar bin al-Khathab karya Ali Muhammad Ash-Shalabi yang diterjemahkan Khoirul Amru Harahap dan Akhmad Faozan, Umar bin Khattab lahir pada tahun 13 setelah tahun Gajah. Ia adalah putra Al-Khathab bin Nufail. Kakek Umar, Nufail bin Abd Al-‘Uzza adalah seorang hakim kaum Quraisy.

Kaum keluarga Umar sangat disegani karena selalu bertindak sebagai juru damai jika terjadi sengketa. Pengaruh mereka terhadap suku-suku lain sangat besar, maka tidak mengherankan jika dalam perundingan mereka tampil sebagai pembuat keputusan yang adil.

Merangkum buku Umar bin Khattab karya K. Usman, Umar memiliki tubuh yang besar, kelar dan kuat, tubuhnya bongsor meskipun masih kecil. Umar terkenal paling berani di antara anak-anak kecil lainnya.

Meskipun bermain di antara anak bangsawan kaya raya suku Quraisy, Umar tidak iri hati. Sebab, ia memiliki hal yang dapat dibanggakan yaitu, otak yang cerdas, berani, tegas, pandai bercerita dan memiliki tubuh yang bongsor.

Saat remaja, Umar sering disebut ‘si garang’ oleh teman-teman sebayanya. Bila bepergian, ia membawa pedang yang digantungkan di bahu kirinya yang bidang.

Sewaktu Umar remaja, sudah memasuki tahun ke-6 kenabian Rasulullah SAW. Ia adalah salah seorang yang menentang agama baru yang dibawa dan diajarkan Rasulullah SAW.

Umar sangat geram pada Rasulullah SAW, sebab agama baru yang diajarkan Rasulullah SAW telah memecah belah kesatuan suku Quraisy. Umar sempat membentak dan memaki Lubainah, budak yang ada di rumahnya saat mengetahui Lubainah telah memeluk Islam.

Kisah Keislaman Umar bin Khattab

Meski sosok Umar memiliki watak yang keras, tubuh yang tinggi dan besar sehingga nampak kasar, namun pada nurani terdalamnya sosok Umar adalah manusia yang penuh dengan kasih sayang. Hal ini dapat terlihat dalam kisah proses Umar merasakan cahaya keislaman.

Merangkum buku Jejak Langkah Umar bin Khattab oleh Abdul Rohim, suatu hari, Umar hendak pergi untuk membunuh Rasulullah SAW. Tapi di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah yang menasehati Umar untuk mengurungkan niatnya.

Nu’aim dan Umar saling berpendapat dengan keras dan nada yang semakin meninggi. Ketika Nu’aim melihat bahwa emosi Umar belum berakhir, ia memberitahukan kalau Fatimah, adiknya Umar dan suaminya Fatimah telah memeluk Islam. Saat Umar mendengar bahwa adik perempuannya dan suaminya telah memeluk Islam, dia menjadi sangat marah dan langsung mendatangi mereka.

Singkat cerita, saat tiba di rumah Fatimah dan suaminya, Umar mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an dan melihat mereka memegang kitab Al-Qur’an. Bacaan tersebut membuat hatinya luluh dan memutuskan bertemu dengan Rasulullah SAW untuk menyatakan ingin memeluk Islam.

Jasa-Jasa Umar bin Khattab sebagai Khalifah

Salah satu dari banyak jasa yang dilakukan Umar bin Khattab sebagai khalifah yakni penetapan kalender Hijriah. Sebelum meninggal, Abu Bakar Ash-Shiddiq menulis wasiat bahwa ia menyerahkan wewenang kekhalifahan kepada Umar bin Khattab.

Mengutip buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas X karya Abu Achmadi dan Sungarso, Umar bin Khattab RA dipilih karena memiliki akhlak dan akidah yang sangat baik. Selain itu, ia selalu menjadi penasihat bagi Khalifah Abu Bakar RA selama memimpin umat Islam.

Akhirnya, setelah Abu Bakar wafat, Umar langsung dibaiat untuk dikukuhkan menjadi khalifah umat Islam. Selama menjabat sebagai khalifah, Umar dikenal sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana.

Dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah Kelas VII karya Fida’ Abdilah dan Yusak Burhanudin, dijelaskan bahwa Umar menyumbang banyak sekali jasa kepada umat Islam dan pemerintahannya. Berikut jasa-jasa Umar bin Khattab:

  • Perluasan wilayah Islam.
  • Perbaikan sistem pemerintahan.
  • Penetapan kalender Hijriyah.
  • Menjaga Al-Qur’an.
  • Salat tarawih 20 rakaat pertama.

Wafatnya Umar bin Khattab

Menukil dari buku Kisah Hidup Umar bin Khattab oleh Mustafa Murrad, wafatnya Umar bin Khattab disebabkan karena dendam pribadi seorang budak yang fanatik yaitu Abu Lukluk Fairuz. Umar bin Khattab meninggal dunia setelah diserang oleh Abu Lukluk saat sedang memimpin salat Subuh pada Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H. Ada yang berpendapat tanggal 4 atau 3 Dzulhijjah tahun 23 H.

Abu Lukluk adalah seorang Persia yang memeluk Islam setelah wilayah Persia ditaklukkan oleh Umar bin Khattab dalam upaya perluasan wilayah Islam. Pembunuhan tersebut dipicu oleh rasa sakit hati Abu Lukluk atas kekalahan Persia, negara adidaya pada saat itu.

Sementara, Afdhal dkk dalam bukunya yang berjudul Sejarah Peradaban Islam mengatakan, sebelum Abu Lukluk melancarkan aksinya, terdapat penyebaran konspirasi yang dirancang oleh musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi dan Persia. Menurut berbagai sumber, Umar bin Khattab ditusuk dengan belati beracun.

Dalam Tarikh Abu Zur’ah terdapat riwayat dari Jarir Al-Bajali dari Mu’awiyahdan dia berkata, “Rasulullah SAW wafat pada usia 63 tahun, Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, dan Umar dibunuh pada usia 63 tahun.”

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Ketika Nabi Ibrahim Berdebat dengan Kaumnya Soal Tuhan yang Harus Disembah



Jakarta

Nabi Ibrahim AS merupakan satu dari 25 nabi dan rasul yang wajib diketahui kaum muslimin. Sebagai utusan Allah SWT, banyak pelajaran dan hikmah dari kisah hidupnya selama menjadi nabi dan rasul.

Menurut Qashash al-Anbiyaa oleh Ibnu Katsir yang diterjemahkan Saefullah MS, nama lengkap Nabi Ibrahim AS adalah Ibrahim bin Tarikh. Ia merupakan keturunan dari keluarga Nahur, Shrug, Raghu, Faligh, ‘Abir, Syalih, Arfakhsyadz, Sam, dan Nuh.

Nabi Ibrahim AS juga disebut sebagai rasul ulul azmi yang mana gelar ini diberikan bagi rasul Allah SWT yang kedudukannya tinggi. Selain itu, ia juga dijuluki Abun Anbiya yang artinya ayahanda para nabi.


Ada kisah menarik terkait Nabi Ibrahim AS yang dikisahkan dalam surah Al An’Am ayat 75-83. Ini mengenai Ibrahim AS yang berdebat dengan kaumnya terkait Tuhan yang berhak disembah.

Allah SWT berfirman,

“Demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin.

Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka, ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.”

Kemudian, ketika dia melihat bulan terbit dia berkata (kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku.” Akan tetapi, ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk kaum yang sesat.”

Kemudian, ketika dia melihat matahari terbit dia berkata (lagi kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.” Akan tetapi, ketika matahari terbenam dia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari yang kamu persekutukan.”

Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (hanya) kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan (mengikuti) agama yang lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.

Kaumnya membantah. Dia (Ibrahim) berkata, “Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada yang kamu persekutukan dengan-Nya, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?”

Bagaimana mungkin aku takut kepada yang kamu sekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut menyekutukan sesuatu dengan Allah yang Dia (sendiri) tidak pernah menurunkan kepadamu alasan apa pun. Maka, golongan yang manakah dari keduanya yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka) jika kamu mengetahui?”

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), merekalah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mendapat petunjuk.

Itulah keterangan yang Kami anugerahkan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan orang yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS Al An’am: 75-83)

Ibnu Katsir menafsirkan, dialog di atas dalam surah Al An’am merupakan sanggahan yang Nabi Ibrahim AS ajukan kepada kaumnya terkait keyakinan mereka yang menyembah benda-benda langit seperti bintang. Ibrahim AS menjelaskan bahwa benda-benda tersebut tidak layak dijadikan Tuhan karena mereka makhluk ciptaan Allah SWT.

Benda-benda langit itu bisa muncul dan tenggelam serta lenyap dari alam ini. Sementara Tuhan yang Maha Esa kekal dan abadi, tidak ada Tuhan yang layak disembah selain Allah SWT.

Nabi Ibrahim AS mengatakan kepada kaumnya bahwa bintang-bintang tersebut tidak mungkin dijadikan Tuhan. Ada yang menyebut bintang yang dimaksud adalah Lucifer atau Bintang Fajar.

Lebih lanjut Ibrahim AS juga menerangkan tentang bulan yang bercahaya lebih besar daripada bintang. Penjelasan ia tingkatkan lagi pada matahari yang bersinar paling terang di antara benda langit lain.

Nabi Ibrahim AS menjelaskan seluruh benda langit itu tunduk, digerakkan, dan dikuasai berdasarkan kehendak Tuhan sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Fushilat ayat 37.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah menyembah matahari maupun bulan, tetapi sembahlah Allah yang menciptakannya, jika hanya Dia yang pantas untuk disembah.” (QS Fushshilat: 37)

Dalam surah Al An’am ayat 78-80, Allah SWT berfirman:

“Kemudian, ketika dia melihat matahari terbit dia berkata (lagi kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.” Akan tetapi, ketika matahari terbenam dia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari yang kamu persekutukan.”

Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (hanya) kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan (mengikuti) agama yang lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.

Kaumnya membantah. Dia (Ibrahim) berkata, “Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal Dia benar-benar telah memberi petunjuk kepadaku? Aku tidak takut kepada yang kamu persekutukan dengan-Nya, kecuali Tuhanku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?” (QS. Al-An’am: 78-80)

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, melalui ayat tersebut Nabi Ibrahim AS menyampaikan bahwa ia tidak peduli tuhan-tuhan yang kaumnya sembah kecuali Allah SWT. Ia mengatakan semua tuhan yang kaumnya sembah tidak memiliki manfaat, tidak dapat mendengar, dan tidak memiliki akal. Mereka hanyalah benda-benda yang diatur dan dikendalikan oleh Tuhan layaknya seperti bintang dan benda langit lainnya.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perjalanan Hijrah Nabi SAW, Sembunyi di Gua Tsur Bersama Abu Bakar



Jakarta

Perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah penuh rintangan. Beliau kala itu sampai bersembunyi di Gua Tsur bersama Abu Bakar. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kejaran kaum kafir Quraisy.

Diceritakan dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Volume 1 susunan Moenawar Khalil, banyak tantangan yang dilalui Rasulullah SAW saat berdakwah di Makkah. Kaum kafir Quraisy tak segan mengusir umat Islam dari kota tersebut dengan harapan Rasulullah SAW berubah pikiran.

Dalam buku Kisah Teladan dan Inspiratif 25 Nabi & Rasul oleh Anita Sari dkk, dikisahkan bahwa suatu ketika kondisi di Makkah dirasa sudah tidak aman bagi umat Islam. Rasulullah SAW lalu memerintahkan kaum muslim berhijrah ke Madinah. Mulanya, beliau berangkat secara diam-diam ditemani oleh Abu Bakar RA.


Dalam perjalanannya ini, beliau bersembunyi di dalam Gua Tsur dari kejaran kaum kafir Quraisy. Atas izin Allah, muncul laba-laba dan burung merpati di gua tersebut.

Ribuan laba-laba secara tiba-tiba membuat sarang di muka Gua Tsur. Begitu pula dengan burung merpati liar yang bersarang dan bertelur di gua tersebut.

Kondisi Gua Tsur yang seperti itu menyebabkan kafir Quraisy yang mengejar Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar mengurungkan niat untuk masuk ke Gua Tsur. Meski jejak kaki sang rasul dan sahabatnya berhenti di depan gua tersebut, mereka beranggapan jika keduanya berada di dalam seharusnya sarang laba-laba hancur dan telur-telur merpati pecah.

Salah seorang kafir Quraisy berkata, “Kita perlu mencoba masuk bersama-sama, coba marilah!”

Seseorang bernama Ummayah bin Khalaf membalas, “Mengapa kamu hendak masuk ke dalamnya? Kalau Muhammad telah masuk, tentu sarang laba-laba itu telah luluh bukan? Ya, kalau di dalam gua itu tidak ada binatang liar dan buas atau ular berbisa. Kalau ada, tentu akan mencelakakan kamu bukan?”

Mendengar itu, kaum kafir Quraisy mengurungkan niat untuk masuk ke Gua Tsur. Abu Bakar lalu mengangkat kepalanya ke atas gua dan berkata, “Oh, jika mereka melihat kakinya ke bawah atau menundukkan kepalanya ke bawah, tentu dengan segera melihat kita ada di sini bukan?”

Rasulullah SAW pun berkata, “Janganlah engkau menyangka bahwa aku ini sendirian bersama engkau, tetapi sesungguhnya Allah selalu bersama kita, selamanya Ia akan melindungi kita. Adapun jika mereka nanti masuk ke dalam gua ini dengan jalan melalui pintu gua itu, nanti kita melepaskan diri melalui ini (Nabi menunjukkan jarinya ke sebelah belakang).”

Allah SWT berfirman dalam surah At Taubah ayat 40,

إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ ٱللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ثَانِىَ ٱثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِى ٱلْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَٰحِبِهِۦ لَا تَحْزَنْ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَنَا ۖ فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُۥ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱلسُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ ٱللَّهِ هِىَ ٱلْعُلْيَا ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya: “Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekkah) mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita”. Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,”

Dengan kuasa Allah SWT, ketika Abu Bakar menoleh ke belakang terlihat pintu lebar di belakang gua yang dapat digunakan untuk melarikan diri. Padahal, sebelumnya gua itu tidak berpintu.

Wallahu a’lam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Sahabat Nabi yang Menyesal saat Sakaratul Maut



Jakarta

Terdapat kisah inspiratif mengenai sahabat Nabi Muhammad SAW yang bernama Sya’ban RA. Meski namanya tidak menonjol seperti sahabat-sahabat lain, Sya’ban merupakan sosok yang memiliki kebiasaan unik.

Menukil buku Fikih Madrasah Ibtidaiyah Kelas III oleh Yusak Burhanudin dan Muhammad Najib, Sya’ban selalu datang ke masjid sebelum waktu salat tiba. Ia mengambil posisi paling pojok di masjid saat salat berjamaah karena tidak ingin menghalangi orang yang ingin beribadah di masjid. Rasulullah SAW dan para sahabat lainnya mengetahui kebiasaan Sya’ban RA.

Suatu hari, Sya’ban tidak kunjung datang saat para sahabat dan Rasulullah SAW melaksanakan salat berjamaah. Nabi Muhammad SAW merasa heran dan sempat menunggu Sya’ban, tetapi batang hidungnya tak kunjung terlihat.


Setelah menunaikan salat Subuh berjamaah dengan para sahabat, Rasulullah SAW meminta seorang sahabat untuk mengantarnya ke rumah Sya’ban. Sesampainya di sana, sang istri memberitahukan bahwa Sya’ban telah wafat.

Istri Sya’ban memberitahukan soal teriakan suaminya saat sakaratul maut. Saat itu, Sya’ban berteriak, “Aduh, kenapa tidak lebih jauh. Aduh, kenapa tidak yang baru. Aduh, kenapa tidak semua,”

Mengutip buku Iman dan Taqwa susunan Dirman, ternyata Sya’ban ditampakkan masa lalunya oleh Allah SWT. Nabi Muhammad SAW lalu mengisahkan bahwa ketika sakaratul maut Allah SWT memperlihatkan pahala setiap langkah menuju masjid, saking besarnya pahala melangkah menuju masjid untuk salat lima waktu, maka Sya’ban menyesal sambil berharap, “Ya Allah, andaikan saja jarak rumahku dan masjid masih jauh, tentu pahala setiap langkah semakin banyak,”

Sya’ban menyesal tidak memiliki rumah yang lebih jauh dari masjid. Sebab, setiap langkah muslim ke masjid dihitung sebagai pahala.

Sementara itu teriakan, “Aduh, kenapa tidak yang baru,” dikarenakan ia menyesal tidak memberikan baju baru kepada orang yang pernah ditemuinya. Saat itu, cuacanya sangat dingin hingga Sya’ban harus mengenakan dua mantel.

Sya’ban memakai pakaian lusuh pada lapisan luar dan pakaian baru di dalam. Ia memberikan pakaian lusuh itu kepada orang tersebut.

Adapun, terkait penyesalan ketiga yang ia ucapkan, “Aduh, kenapa tidak semua,” dikarenakan Sya’ban menyesal hanya memberi sebagian roti yang ia miliki pada pengemis yang kelaparan. Ia menyesal, seandainya roti tersebut ia berikan seluruhnya maka kebaikan yang diperbuatnya menjadi lebih sempurna.

Wallahu a’lam.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Belajar dari Sa’id bin Amir RA, Gubernur yang Adil dan Dermawan



Jakarta

Sa’id bin Amir RA merupakan seorang mukmin yang memiliki kesabaran, keimanan mendalam, serta selalu mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Tetapi meski begitu beliau pernah dihadapkan oleh tuduhan serius yang mencoreng nama baiknya.

Mengutip buku Mukjizat Sabar Syukur Ikhlas karya Badrul Munier Buchori, Sa’id bin Amir RA merupakan sahabat yang memeluk Islam sebelum pembebasan Khaibar. Lalu pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, Said diangkat menjadi Gubernur Syam yang berpusat di Hims.

Sa’id bin Amir RA Gemar Sedekah

Pada awal perjalanannya, Umar bin Khattab membekali dirinya dengan sejumlah harta supaya dia dan keluarga bisa mencukupi kehidupannya nanti saat di Hims. Istrinya bermaksud menggunakan modal pemberian Khalifah untuk keperluan hidup, dan sebagiannya disimpan.


Ternyata Sa’id bin Amir RA mempunyai rencana lain untuk penggunaan harta yang diberikan kepadanya, dirinya bermaksud menjadikan harta itu sebagai modal, supaya mereka bisa berkembang di Hims.

Setelah beberapa waktu, istrinya menyadari bahwa harta tersebut tidak dijadikan sebagai modal, melainkan telah digunakan semuanya oleh suaminya untuk disedekahkan. Menurutnya investasi terbaik adalah berdagang dengan Allah SWT.

Kisah Sa’id bin Amir RA Diprotes Rakyatnya

Mengutip buku Sirah 60 Sahabat Nabi Muhammad saw karya Ummu Ayesha, ketika penduduk Hims protes kepada Khalifah Umar bin Khattab RA terkait kinerja Sa’id bin Amir RA.

“Kami mengeluhkan empat perkara, yang pertama, karena dia baru keluar siang hari untuk menemui rakyatnya. Kedua, dia tidak melayani siapapun di malam hari. Ketiga, setiap bulan ada dua hari di mana dia tidak melayani rakyat-nya dan kami tidak bisa menemuinya sama sekali. Dan yang keempat adalah, kami sering melihatnya tiba-tiba pingsan. Sungguh ini membuat kami khawatir walau itu tidak mengganggu kami,” ujar seorang pria yang mewakili masyarakat kota Hims.

Saat itu Khalifah hanya menunduk, dia berbisik pelan, “Ya Allah, aku tahu dia adalah hamba-Mu yang terbaik. Maka, semoga firasatku ini tidak salah.”

Setelah pernyataan itu, giliran Sa’id bin Amir RA melakukan pembelaannya, meski tidak ingin menyampaikannya, dia tetap melakukannya atas perintah Khalifah.

“Mengenai keluarnya aku saat hari sudah siang, hmm… sebenarnya aku tidak ingin menyebutkannya. Kami tidak punya pembantu, maka akulah yang membuat roti untuk keluargaku. Dari mulai mengaduk adonan hingga roti itu siap dimakan. Setelah itu aku berwudhu untuk salat Dhuha. Barulah aku keluar menemui mereka.” Ujarnya.

Wajah Umar terlihat gembira, “Lalu yang kedua?”

“Demi Allah, aku benci mengatakan ini dihadapan manusia. Tapi, baiklah. Siang hari aku sudah mengurusi mereka sebagai bagian dari amanahku. Maka, malam hari aku gunakan untuk Allah. Itulah alasanku tidak mau melayani mereka saat malam hari.” Ucapnya lagi.

Umar terlihat makin senang. Wajahnya makin berseri.

“Mengenai dua hari dalam sebulan itu, karena aku tidak memiliki pembantu untuk mencuci pakaianku sementara aku pun tidak memiliki pakaian yang banyak hingga bisa gonta- ganti sesuka hati. Karena itulah aku mencuci dan menunggu pakaianku hingga kering. Hingga aku bisa menemui mereka di sore harinya.”

“Sedang keluhan mereka yang keempat, adalah karena ingatanku pada saat aku belum beriman. Dulu aku melihat Khubaib Al-Anshari tewas di tangan orang musyrik dan aku tidak bergerak sedikit pun menolongnya. Sungguh aku takut akan siksa Allah kelak, hingga aku pun pingsan.”

Khalifah yang mendengar penjelasan Sa’id bin Amir tak bisa menahan keharuan yang terpancar dari matanya. “Alhamdulillah, firasatku tidak meleset,” seru Khalifah dengan suara bergetar. Khalifah pun memberikan 1.000 dinar pada Sa’id bin Amir, “Pergunakan uang itu untuk menunjang tugas-tugasmu.”

Lagi-lagi Sa’id menunjukkan kecemerlangan jiwanya. Saat istrinya bermaksud membelanjakan uang itu untuk membeli beberapa baju yang layak dan perabotan rumah tangga, Sa’id malah mengusulkan rencana yang lebih baik. Sa’id menawarkan investasi yang tidak pernah mengenal kata rugi pada istrinya. “Lebih baik harta ini kita titipkan pada seseorang yang bisa membuatnya berkembang dan bertambah.”

“Betulkah? Apa dia tidak akan membawa kita pada kerugian?” Istrinya terlihat masih ragu.

“Tenanglah, aku jamin tidak akan rugi,” Sa’id kembali meyakinkan istrinya.

Sa’id pun pergi ke pasar, membeli keperluan hidup yang dibutuhkan. Lalu sisa uang itu dibagikan kepada orang-orang miskin yang membutuhkan.

Demikianlah pembahasan mengenai kisah Sa’id bin Amir RA, gubernur yang memenuhi tugas dan tanggung jawabnya kepada rakyat dan Allah SWT. Serta mengajarkan kepada kita investasi terbaik ialah dengan melakukannya di jalan keimanan.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Dhimad Al-Azdi, Dukun yang Masuk Islam Setelah Bertemu Rasulullah SAW



Jakarta

Di zaman Rasulullah SAW, banyak dukun dan tukang sihir yang mengklaim dirinya bisa mengobati penyakit. Termasuk salah satunya bernama Dhimad Al-Azdi.

Dhimad dikenal sebagai dukun yang tinggal di Azad Syanuah, daerah sekitar Yaman. Dhimad bermaksud bertemu dengan Rasulullah SAW karena mendengar kalangan dukun yang membicarakan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang terkena gangguan sihir. Para dukun ini tidak percaya bahwa ajaran yang dibawa Rasulullah SAW merupakan firman Allah SWT.

Merangkum buku Syama’il Rasulullah oleh DR. Ahmad Mustafa Mutawalli dijelaskan, Ibnu Abbas berkata, Dhimad datang ke Mekkah. Ia dikenal sebagai seorang yang terbiasa mengobati penyakit sihir.


Kedatangan Dhimad ke Makkah disambut kabar dari orang-orang Quraisy yang berkata, “Sesungguhnya Muhammad telah gila.”

Merasa dirinya memiliki ilmu yang mumpuni untuk mengobati penyakit sihir, Dhimad bertekad menemui Rasulullah SAW. “Akan ku temui orang ini, semoga Allah menyembuhkannya melalui tanganku,” ujar Dhimad.

Setelah bertemu dengan Rasulullah SAW, ia lantas berkata, ‘Aku dapat menyembuhkan penyakit gilamu dengan izin Allah, maka ke marilah (aku obati).”

Mendengar perkataan Dhimad, Rasulullah SAW berkata, “Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya. Kita memohon pertolongan serta ampunan-Nya. Kita berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan amal buruk kita. Barangsiapa mendapat hidayah Allah maka tiada yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa disesatkan oleh Allah maka tiada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”

Mendengar ucapan Rasulullah SAW ini, Dhimad terkesima dan meminta untuk diulangi lagi. “Bacalah sekali lagi,” ujar Dhimad.

Rasulullah SAW pun mengulangi ucapannya.

Dhimad berkata, “Demi Allah wahai Muhammad, aku telah mendengar perkataan para dukun, penyihir, dan ahli syair, tetapi aku tidak pernah mendengar perkataan seindah ini. Kalimat-kalimat ini melampaui segalanya. Ulurkanlah tanganmu dan aku akan berbaiat atas nama Islam.”

Setelah peristiwa ini, Dhimad pun memeluk Islam dan mengikuti ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. Ia termasuk orang-orang yang pertama memeluk Islam di masa awal dakwah Rasulullah SAW. MasyaAllah!

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Nabi Ibrahim Jadi Bapak Para Nabi Bergelar Khalilullah, Ini Alasannya


Jakarta

Nabi Ibrahim AS disebut sebagai bapaknya para nabi. Selain itu, beliau juga diberi gelar Khalilullah yang artinya kekasih Allah SWT.

Menukil Ibrahim Khalilullah Da’iyah At-Tauhid wa Din Al-Islam wa Al-Uswah Al-Hasanah susunan Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shallabi yang diterjemahkan Muhammad Misbah, Nabi Ibrahim AS merupakan bapak ketiga karena bapak pertama umat manusia adalah Adam AS dan yang kedua adalah Nuh AS.

Nabi Ibrahim AS lahir di wilayah Mesopotamia, sekarang dikenal sebagai Irak. Ia berkembang di tengah masyarakat yang menyembah bintang dan berhala.


Ibrahim AS tumbuh besar di tengah lingkungan penyembah berhala. Menurut beberapa riwayat, keluarganya bekerja sebagai pembuat berhala.

Meski demikian, Nabi Ibrahim AS terjaga fitrahnya. Akidahnya tidak pernah tercemari oleh kesyirikan dan pemikirannya pun bersih.

Allah SWT memuliakan Nabi Ibrahim AS dengan menjaganya dari kemusyrikan sejak kecil. Sang Khalik memberi Ibrahim AS petunjuk kepada kebenaran Allah SWT, sebagaimana firman-nya dalam surah Al Anbiya ayat 51.

۞ وَلَقَدْ ءَاتَيْنَآ إِبْرَٰهِيمَ رُشْدَهُۥ مِن قَبْلُ وَكُنَّا بِهِۦ عَٰلِمِينَ

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)-nya.”

Alasan penyebutan Bapak Para Nabi yang diberikan kepada Ibrahim AS karena banyaknya keturunan beliau yang menjadi nabi dan rasul. Beberapa di antaranya diterangkan dalam surah Al Ankabut ayat 27,

وَوَهَبْنَا لَهُۥٓ إِسْحَٰقَ وَيَعْقُوبَ وَجَعَلْنَا فِى ذُرِّيَّتِهِ ٱلنُّبُوَّةَ وَٱلْكِتَٰبَ وَءَاتَيْنَٰهُ أَجْرَهُۥ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَإِنَّهُۥ فِى ٱلْءَاخِرَةِ لَمِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ

Artinya: “Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Ya’qub, dan Kami jadikan kenabian dan Al Kitab pada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya balasannya di dunia; dan sesungguhnya dia di akhirat, benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.”

Nama-nama Anak Nabi Ibrahim AS

Dijelaskan oleh Adil Musthafa Abdul Halim dalam Al-Aabaa wal Abnaa fil Qur’anil Karim terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Nabi Ibrahim AS diketahui memiliki 13 orang anak dari keempat istrinya. Berikut nama-namanya,

  1. Nabi Ismail AS
  2. Nabi Ishak AS
  3. Madyan
  4. Zumraan
  5. Sajar
  6. Yagtsaan
  7. Nasyaq
  8. Seorang anak laki-laki yang tidak sempat diberikan nama, ia lahir dari istri Nabi Ibrahim AS yang bernama Qanthhuur binti Yaqthun al Kan’aani.
  9. Kiisaan (putra dari istrinya yang bernama Hajuun)
  10. Saruuj
  11. Umaim
  12. Luuthaanis
  13. Naanis, lahir dari istri Nabi Ibrahim AS yang bernama Hajuun binti Amiin

Diberi Gelar Khalilullah

Selain gelar Bapak Para Nabi, Ibrahim AS juga disebut sebagai Khalilullah. Allah SWT berfirman dalam surah An Nisa ayat 125,

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَٱتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبْرَٰهِيمَ خَلِيلًا

Artinya: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.”

Menurut Kitab Manaqib Al Anshar yang diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam Al-Lu’lu’ wal Marjan 3, pemberian gelar Khalilullah dikarenakan loyalitas Ibrahim AS terhadap Allah SWT. Ibrahim AS dijadikan sebagai kekasih atau kesayangan-Nya yang semakna dengan Allah SWT menolong serta menjadikannya sebagai pemimpin nabi setelahnya.

Julukan yang disematkan pada Nabi Ibrahim ini sempat dipertanyakan oleh para malaikat. Dalam salah satu riwayat, Malaikat Jibril bertanya pada Allah SWT alasan di balik pemberian gelar Khalilullah tersebut.

“Ya Allah, mengapa Engkau memberi gelar Khalilullah kepada Ibrahim, padahal ia sibuk dengan kekayaan dan keluarganya? Dengan demikian, bagaimana mungkin ia pantas menjadi Khalilullah?”

Allah SWT menjawab, “Jangan kalian menilai secara lahiriah, tapi lihatlah hati dan amal baktinya. Karena tiada di hatinya rasa cinta selain kepadaKu. Bila kalian ingin menguji, ujilah dia.”

Hingga Malaikat Jibril kemudian turut menguji Nabi Ibrahim AS dan hasilnya terbukti bahwa kekayaan dan keluarganya tidak sedikit pun membuat Nabi Ibrahim AS lalai dalam mengabdi kepada Allah SWT.

Terdapat juga dalam hadits dari Jundub RA bahwa Rasulullah SAW bersabda terkait pemberian gelar Khalilullah kepada Ibrahim AS,

“Sesungguhnya Allah menjadikan aku sebagai Khalil sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai Khalil.” (HR Imam Abu Abdullah Al-Hakim An-Nisaburi)

Termasuk Rasul Ulul Azmi

Selain itu, Ibrahim AS juga merupakan salah satu rasul Ulul Azmi yang memiliki kedudukan istimewa di mata Allah SWT. Para rasul Ulul Azmi itu terdiri dari Nabi Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS dan Rasulullah SAW.

Terkait rasul Ulul Azmi ini turut diterangkan dalam ayat suci Al-Qur’an tepatnya pada surah As Syura ayat 13,

۞ شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى ٱلْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ ٱللَّهُ يَجْتَبِىٓ إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِىٓ إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ

Artinya:” Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”

Wallahu a’lam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Bilal bin Rabbah, Sahabat Nabi yang Dijuluki Muadzin Ar-Rasul



Jakarta

Bilal bin Rabah adalah sahabat Rasulullah SAW yang berasal dari Habasyah atau Ethiopia. Ia merupakan seorang budak dari bani Jumhin.

Menukil dari buku Kisah-kisah Inspiratif Sahabat Nabi oleh Muhammad Nasrulloh, status sosial Bilal yang lemah menyebabkan dirinya menjadi bulan-bulanan kaum kafir Quraisy. Majikannya yang berasal dari bani Jumhin bahkan menyiksa Bilal habis-habisan begitu tahu Bilal memeluk Islam.

Sehari-hari, Bilal dijadikan layaknya mainan bagi kaum kafir Quraisy. Lehernya dikalungi tali dan dibuat seolah-olah ia adalah binatang.


Majikannya yang bernama Umayyah bin Khalaf bahkan menyeret Bilal keluar pada waktu siang terik. Bilal dipaksa keluar dari agama Islam, namun lidahnya selalu mengucap nama Allah SWT.

Merasa geram, Umayyah terus memaksa Bilal menyebut al-Latta dan al-Uzza. Tetapi hal itu tidak menghentikannya menyebut nama Allah SWT.

Bilal terus mengalami penyiksaan. Ia bahkan dipakaikan baju besi dan dibiarkan berjemur di bawah matahari. Dadanya juga ditimpa batu besar.

Meski dengan kondisi seperti itu, iman Bilal tidak runtuh. Berita penyiksaan Bilal ini sampai ke telinga Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga akhirnya ia memerdekakan Bilal dengan harga sembilan uqiyah emas seperti diterangkan dalam buku Bilal bin Rabah susunan Abdul Latip Talib.

Setelah merdeka, Bilal dipilih sebagai muazin. Dikisahkan dalam buku The Great Sahaba susunan Rizem Aizid, Bilal selalu berada di samping Rasulullah SAW ketika salat.

Saking dekatnya, Bilal kerap dijuluki sebagai bayangan Nabi Muhammad SAW. Bahkan, sang rasul sendiri yang menunjuk Bilal sebagai muazin karena suaranya terdengar kencang ke seluruh Madinah. Bilal juga digelari Muadzin ar-Rasul.

Walau begitu, selepas kepergian Nabi Muhammad SAW, Bilal bin Rabah memutuskan pensiun menjadi muazin. Saat Khalifah Abu Bakar RA meminta Bilal bin Rabah supaya menjadi muazin kembali, Bilal berkata dengan sedih, “Aku hanya menjadi muazin Rasulullah. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muazin siapa-siapa lagi.”

Sejak itulah Bilal tidak lagi mengumandangkan azan kecuali hanya sebanyak dua kali. Setelah itu, Bilal bin Rabah meninggalkan Madinah dan tinggal di Homs, Syria.

Menurut kitab Hadil Arwah ila Biladil Afrah oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah yang diterjemahkan Sholihin, Bilal menjadi sosok yang mendahului Nabi Muhammad SAW masuk ke surga. Kisah ini bersandar pada hadits dari Buraidah ibn Hushaib.

Ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW memanggil Bilal, “Bilal! Bagaimana kau mendahului yang lain ke surga. Ketika aku hendak masuk surga kudengar suara di depanku. Semalam aku memasukinya dan kudengar suaramu di depanku.

Aku mendatangi istana segi empat yang sangat indah terbuat dari emas. Aku pun bertanya, ‘Milik siapakah istana ini?’ Para malaikat menjawab, ‘Milik seorang lelaki Arab.’

Aku menukas, ‘Aku orang Arab. Milik siapakah ia?’ Malaikat menjawab, ‘Milik lelaki Quraisy.’ Aku katakan, ‘Aku lelaki Quraisy. Milik siapakah ia?’ Mereka menjawab, ‘Milik lelaki umat Muhammad.’

Aku berkata, ‘Aku Muhammad. Punya siapakah ia?’ Para malaikat menjawab, ‘Milik Umar ibn Khaththab.’ Bilal pun menyahut, ‘Ya Rasulullah! Aku melantunkan azan setelah melakukan salat dua rakaat. Setiap kali berhadas, aku segera berwudhu. Aku bermimpi, Allah SWT menghargai salat dua rakaat itu.'”

Rasulullah SAW bersabda, “Dengan dua rakaat itu, engkau mendahuluiku masuk surga.” (HR Ahmad dan At-Tirmidzi)

Dijelaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Bilal mendahului Rasulullah SAW karena berdoa lebih dulu kepada Allah SWT sebelum azan. Oleh sebab itu, azan Bilal terdengar di depan Rasulullah SAW.

Wallahu a’lam

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Sepenting Ini Habluminannas! Ahli Tahajud Pun Tak Dijamin Surga


Jakarta

Dalam Islam, kita tidak hanya harus menjaga hubungan baik dengan Allah (habluminallah), tetapi juga harus menjaga hubungan baik dengan sesama manusia atau yang disebut habluminannas.

Bahkan terdapat kisah ahli tahajud bernama Abu bin Hasyim yang tidak diberi jaminan masuk surga karena melupakan habluminannas. Seperti apa kisahnya?

Simak artikel ini untuk mengetahui kisah pertemuan Abu bin Hasyim dengan malaikat, lengkap dengan perintah untuk menjaga hubungan baik dengan sesama manusia.


Kisah Ahli Tahajud yang Tak Dijamin Masuk Surga

Dikutip dari buku Keajaiban Tahajud, Subuh, dan Dhuha untuk Hidup Berkah, Bergelimang Harta, Sukses dan Bahagia yang disusun Fery Taufiq El Jaquene, dikisahkan ada seorang ahli tahajud yang bernama Abu bin Hasyim. Dia orang yang selalu menjalankan sholat tahajud selama 20 tahun.

Pada suatu hari, saat dia hendak berwudhu, tampak sesosok pria di depan pekarangannya, sehingga membuatnya terkejut. Abu bin Hasyim pun bertanya, “Wahai hamba Allah, siapakah engkau?”

Orang itu tersenyum dan berkata, “Aku adalah malaikat utusan Allah.” Abu bin Hasyim kemudian bertanya lagi, “Apa yang engkau lakukan di sini?” Malaikat menjawab, “Aku diberitahu untuk menemukanmu, pelayan Allah.”

Malaikat itu terlihat memegang buku yang cukup tebal, hingga membuat Abu bin Hasyim bertanya-tanya, “Oh malaikat, buku apa yang engkau bawa?” Malaikat menjawab, “Ini adalah koleksi nama-nama kekasih Allah.”

Karena taat beribadah dan tidak meninggalkan tahajud, Abu bin Hasyim pun yakin dirinya termasuk kekasih Allah yang tentunya akan dijamin masuk surga. Dia lalu menanyakan apakah namanya tercatat dalam buku tersebut, “Oh malaikat, apakah namaku tertera dalam buku yang kamu bawa?”

Malaikat kemudian membuka buku besar tersebut. Namun setelah mengurutkan nama-nama dari awal sampai akhir, ternyata nama Abu bin Hasyim tidak ada di dalamnya.

Abu bin Hasyim kembali meminta malaikat untuk mencari namanya. Malaikat kembali meneliti pelan-pelan dengan cermat dan berkata, “Itu benar, namamu tidak ada di dalam buku ini!” Abu bin Hasyim pun bergetar lalu terjatuh di depan malaikat.

Bahkan Abu bin Hasyim menangis dan mengeluarkan air mata karena merasa ibadahnya sia-sia, “Kehilangan diri saya yang selalu berdiri setiap malam di tahajud dan bermunajat tapi nama saya tidak ada di dalam kelompok pecinta Allah,” keluhnya dengan menangis sesenggukan.

Malaikat berkata lagi, “Wahai Abu Hasyim! Aku tahu engkau bangun setiap malam saat yang lain tidur, wudhu dengan air dingin saat yang lain tertidur di tempat tidur. Tapi tangan saya dilarang Allah menuliskan namamu.”

Abu bin Hasyim penasaran dan bertanya, “Apa penyebabnya?”

Dan malaikat lalu menjelaskan, “Engkau bersedia pergi kepada Allah, tapi engkau bangga pada diri sendiri dan bersenang-senang memikirkan diri sendiri. Tetanggamu ada yang sakit atau kelaparan tapi kau bahkan tidak melihat atau memberi makan. Bagaimana mungkin kami bisa menjadi kekasih Tuhan jika kau sendiri tidak pernah mencintai makhluk yang diciptakan Allah?” kata sang malaikat.

Abu bin Hasyim serasa disambar petir. Dia baru menyadari bahwa hubungan pemujaan manusia tidak hanya untuk Allah SWT, tetapi juga untuk sesama manusia.

Pentingnya Habluminannas

Selain beribadah kepada Allah, manusia harus menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah An Nisa Ayat 36 sebagai berikut:

۞ وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا ۖ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا وَبِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْجَارِ ٱلْجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلْجَنۢبِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

Arab latin: Wa’budullāha wa lā tusyrikụ bihī syai`aw wa bil-wālidaini iḥsānaw wa biżil-qurbā wal-yatāmā wal-masākīni wal-jāri żil-qurbā wal-jāril-junubi waṣ-ṣāḥibi bil-jambi wabnis-sabīli wa mā malakat aimānukum, innallāha lā yuḥibbu mang kāna mukhtālan fakhụrā

Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”

Tafsir Surah An Nisa Ayat 36

Dilansir dari Al-Qur’an Kemenag, tafsir Surah An Nisa Ayat 36 berkaitan dengan ibadah yang langsung kepada Allah dan dengan sesama manusia. Dalam ayat ini, ibadah yang dimaksud adalah meninggalkan kesyirikan dan beribadah dengan ikhlas mengakui keesaan-Nya.

Ibadah kepada Allah pun harus diwujudkan dalam amal perbuatan setiap hari, seperti mengerjakan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, seperti salat, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya.

Selain ibadah khusus di atas, ada juga ibadah umum, seperti berbakti kepada kedua orang tua, membantu fakir miskin, menolong dan memelihara anak yatim, tetangga dekat dan tetangga jauh walaupun mereka nonmuslim, teman sejawat, ibnu sabil. Kemudian juga mengajar orang, menunjukkan jalan kepada orang yang sesat dalam perjalanan, menyingkirkan hal-hal yang dapat mengganggu orang di tengah jalan dan sebagainya.

Dijelaskan pula bahwa Allah tidak menyukai dan tidak melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada orang yang sombong dan membanggakan diri di hadapan orang lain.

Dari kisah Abu bin Hasyim dan Surat An Nisa ayat 36 di atas, kita bisa mengetahui pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, di samping tetap menjalankan ibadah langsung kepada Allah. Wallahu a’lam.

(bai/row)



Sumber : www.detik.com