Category Archives: Kisah

Kisah Keledai Nabi Uzair Hidup Lagi Meski Tinggal Tulang Selama Ratusan Tahun



Jakarta

Kisah Nabi Uzair dan keledainya diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 259. Keledai Nabi Uzair yang telah menjadi tulang belulang bisa kembali hidup dan utuh.

Kisah ini termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 259,

أَوْ كَٱلَّذِى مَرَّ عَلَىٰ قَرْيَةٍ وَهِىَ خَاوِيَةٌ عَلَىٰ عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّىٰ يُحْىِۦ هَٰذِهِ ٱللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا ۖ فَأَمَاتَهُ ٱللَّهُ مِا۟ئَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُۥ ۖ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ ۖ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۖ قَالَ بَل لَّبِثْتَ مِا۟ئَةَ عَامٍ فَٱنظُرْ إِلَىٰ طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ ۖ وَٱنظُرْ إِلَىٰ حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ ءَايَةً لِّلنَّاسِ ۖ وَٱنظُرْ إِلَى ٱلْعِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا ۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُۥ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ


Artinya: Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari”. Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minuman yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging”. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Dijelaskan dalam buku 99 Kisah Menakjubkan dalam Al-Quran karya Ridwan Abqary, Uzair adalah seorang nabi dari kaum bani Israil. Kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an dan disebutkan sebagai orang yang tertidur selama 100 tahun lamanya.

Tidurnya Nabi Uzair ini terjadi atas kuasa Allah SWT. Bersama Nabi Uzair, ada seekor keledai yang mati. Setelah 100 tahun, tulang belulang keledai ini kembali berkumpul, terlapisi daging dan kembali hidup atas kehendak Allah SWT. Peristiwa ini disaksikan oleh Nabi Uzair.

Nabi Uzair Tertidur 100 Tahun

Merangkum kitab Qashash al-Anbiyaa karya Imam Ibnu Katsir yang diterjemahkan Dudi Rosyadi, suatu hari Nabi Uzair berteduh usai memetik buah-buahan, ia ditemani seekor keledai.

Nabi Uzair beristirahat di sebuah tempat tua sambil menikmati sepotong roti dan air perasan anggur yang baru saja ia petik. Sambil menyandarkan kaki, ia merenungi pemandangan rumah yang atap-atapnya hampir roboh karena ditinggal penghuninya.

Ia juga melihat tulang belulang yang tergeletak di sana seraya berkata, “Bagaimana Allah SWT menghidupkan kembali (negeri) ini setelah hancur?” Ia tidak meragukan bahwa Allah dapat menghidupkan kembali negeri itu. Ia berkata seperti itu karena merasa takjub dengan kuasa Allah SWT.

Di saat itu juga, Allah SWT mengutus malaikat maut untuk mencabut nyawanya, lalu ia dimatikan selama seratus tahun. Keledai Nabi Uzair pun mati beberapa hari setelahnya karena ia tak mendapatkan makan dan minum sementara ia diikat dengan kuat.

Kisah Keledai Nabi Uzair

Dalam kurun waktu 100 tahun itu, banyak peristiwa yang telah terjadi. Kemudian Allah SWT mengutus kembali malaikat untuk menghidupkan Nabi Uzair.

Semua anggota tubuh Nabi Uzair mulai dihidupkan kembali. Pertama akalnya agar ia dapat berpikir, lalu matanya agar ia dapat melihat bagaimana Allah SWT menghidupkan kembali orang yang sudah mati.

Malaikat yang bertugas menghidupkan Nabi Uzair lantas berseru, “Sekarang lihatlah keledaimu.” Lalu Nabi Uzair segera melihat ke arah keledainya yang ternyata tinggal tulang belulang.

Malaikat tersebut berseru kepada tulang belulang itu untuk bersatu kembali, lalu tulang belulang itu pun menyatu dan membentuk seekor keledai.

Makailat itu menunggangi tulang belulang yang membentuk seekor keledai, sementara Uzair memperhatikannya.

Keledai itu kemudian dibungkus dengan urat-urat syaraf, lalu dibungkus dengan daging, kemudian dibungkus lagi dengan kulit dan bulu, kemudian ditiupkan kembali nyawanya. Keledai itu pun dapat bergerak lagi dan langsung menghadapkan kepala dan kedua telinganya ke atas langit karena mengira Hari Kiamat telah tiba.

Firman Allah SWT, “Tetapi lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang belulang). Dan agar kami jadikan engkau tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.”

Peristiwa ini membuat Nabi Uzair kemudian berkata, “Saya mengetahui bahwa Allah SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Wallahu a’lam.

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Orang-orang Jurhum yang Menimbun Sumur Zamzam


Jakarta

Sumur Zamzam terletak sekitar 21 meter dari lokasi Ka’bah. Kedalaman sumur ini mencapai 30 meter yang terbagi dalam tiga bagian, dari arah bukit Shafa, Ka’bah dan bukit.

Sumur Zamzam pernah ditimbun oleh penguasa Jurhum yang kalah dalam peperangan melawan Khuza’ah agar musuh mereka tidak dapat memanfaatkannya. Dilansir dalam buku Haji dan Umrah Bersama MQS yang ditulis oleh M Quraish Shihab dijelaskan bahwa Zamzam baru ditemukan kembali oleh kaki Nabi SAW, Abdul Muththalib.

Beberapa sejarawan, seperti halnya Ibnu Hisyam, meriwayatkan bahwa ‘Abdul Muththalib suatu ketika berbaring dekat Hijr Ismail dan bermimpi bahwa ia diperintahkan untuk menggali Zamzam sambil ia diisyaratkan lokasinya. “Penimbunan Zamzam oleh Jurhum dan penemuannya kembali oleh Abdul Muththalib adalah sekitar 300 tahun,” tulis Quraish Shihab dalam bukunya.


Dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam yang ditulis Abu Muhammad dan diterjemahkan oleh Fadhli Bahri diceritakan tentang orang-orang Jurhum dan penimbunan sumur Zamzam.

Pengelola Baitullah Berasal dari Keturunan Ismail

Ibnu Hisyam berkata, “Pembahasan tentang orang-orang Jurhum, penimbunan Sumur Zamzam oleh mereka, kepergian mereka dari Makkah, dan pihak yang menguasai Makkah sepeninggal mereka hingga Abdul Muththalib menggali Sumur Zamzam adalah seperti yang dikatakan kepada kami oleh Ziyad bin Abdullah Al-Bakkai dari Muhammad bin Ishaq yang berkata, bahwa ketika Ismail bin Ibrahim wafat, maka sepeninggalnya Baitullah dikelola anaknya yang bernama Nabit bin Ismail selama jangka waktu tertentu, kemudian pengelolaan Baitullah sesudahnya dilanjutkan Mudzadz bin Amr Al-Jurhumi.”

Ibnu Hisyam berkata, “Konon ada yang mengatakan, Midzadz bin Amr Al-Jurhumi.”

Konflik antara Jurhum dengan Qathura’

Karena kebiasaan orang-orang Yaman, jika mereka keluar dari Yaman, mereka tidak keluar kecuali dipimpin orang yang mengurusi segala persoalan mereka.

Ibnu Ishaq berkata, “Anak-anak Ismail, anak-anak Nabit bersama kakek mereka, Mudzadz bin Amr, paman-paman mereka dari jalur ibu dari Jurhum, Jurhum, dan Qathura’ adalah penduduk Makkah ketika itu.”

Jurhum dan Qathura’ adalah saudara misan dan datang dari Yaman. Keduanya ikut rombongan musafir.

Orang-orang Jurhum dipimpin Mudzadz bin Amr, dan orang-orang Qathura’ dipimpin As-Samaida’. Salah seorang dari mereka, tiba di Makkah.

Jurhum dan Qathura’ melihat daerah yang kaya air, Mudzadz bin Amr dan orang-orang Jurhum yang ikut bersamanya singgah di Makkah atas, tepatnya di Qu’aiqi’an dan tidak keluar darinya.

Sedangkan As-Samaida’ singgah di Makkah bawah, tepatnya di Jiyad dan tidak keluar daripadanya.

Mudzadz memungut uang sepersepuluh bagi orang yang masuk Makkah dari Makkah atas. As-Samaida’ juga memungut uang sepersepuluh bagi siapa saja yang memasuki Makkah dari Makkah bawah. Masing-masing dari keduanya berada di kaumnya masing-masing dan tidak masuk kepada yang lain.

Dalam perjalanan waktu, Jurhum dan Qathura’ saling serang terhadap yang lain dan bersaing memperebutkan jabatan raja. Ketika itu, Mudzadz didukung anak keturunan Ismail dan anak keturunan Nabit. Mudzadz mempunyai hak mengelola Baitullah dan bukannya As-Samaida’.

Sebagian dari mereka berjalan menuju sebagian yang lain. Mudzadz bin Amr berangkat dari Qu’aiqi’an bersama pasukannya dengan tujuan As-Samaida’. Pasukannya bersenjatakan tombak, perisai, pedang, dan tempat anak panah yang menimbulkan suara gemerincing.

Konon Qu’aiqi’an dinamakan Qu’aiqi’an karena kejadian tersebut (suara gemerincing). As-Samaida’ juga keluar dari Jiyad dengan membawa kuda dan pasukannya.

Konon, Ajyad tidak dinamakan Ajyad melainkan karena keluarnya kuda-kuda bersama As- Samaida’ dari Ajyad. Kedua belah pihak bertemu di Fadhih, kemudian mereka bertempur dalam perang yang sengit.

As-Samaida’ tewas dalam pertempuran tersebut dan orang-orang Qathura’ dikecam habis-habisan. Konon Fadhih tidak dinamakan Fadhih kecuali karena kecaman tersebut.

Setelah itu, kedua belah pihak mengajak berdamai. Mereka berjalan hingga tiba di Al-Mathabikh, jalan di antara dua bukit di Makkah atas.

Mereka berdamai di sana dan menyerahkan permasalahannya kepada Mudzadz. Ketika pengelolaan Makkah diserahkan kepada Mudzadz, dan ia menjadi raja di Makkah, ia menyembelih hewan untuk manusia, memberi mereka makan, menyuruh manusia masak, dan makan.

Konon, Al-Mathabikh tidak dinamakan Al-Mathabikh melainkan karena kejadian tersebut. Sebagian orang-orang berilmu menduga, bahwa Al-Mathabikh dinamakan Al-Mathabikh, karena orang-orang Tubba’ (Yaman) menyembelih hewan di tempat tersebut, memberi makan warganya, dan tempat tersebut adalah tempat kediaman mereka. Apa yang terjadi antara Mudzadz dengan As-Samaida’ adalah kezaliman pertama di Makkah, menurut sebagian besar orang.

Kemudian Allah SWT menyebarkan anak keturunan Ismail di Makkah, dan paman-paman mereka dari Jurhum menjadi pengelola Baitullah dan penguasa di Makkah tanpa ada satu pun dari anak keturunan Ismail yang memprotesnya, karena orang-orang Jurhum adalah paman mereka, dan kerabat mereka, serta karena menjaga keagungan Makkah agar tidak terjadi pelanggaran dan peperangan di dalamnya.

Ketika Makkah terasa sempit bagi anak keturunan Ismail, mereka berpencar-pencar ke banyak negeri. Jika mereka diperangi musuh, Allah SWT menolong mereka karena agama mereka hingga mereka berhasil mengalahkan musuh-musuhnya dan menguasai negeri mereka.”

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Cerita Aminah Selama Mengandung Nabi, Disebut Tak Kelelahan


Jakarta

Aminah binti Wahab dinikahkan dengan seorang lelaki bernama Abdullah. Pernikahan sah keduanya melahirkan seorang nabi panutan umat Islam yakni Nabi Muhammad SAW.

Menurut Sirah Nabawiyah Jilid 1 oleh Ibnu Hisyam terjemahan Fadhli Bahri, saat itu, Abdul Muthalib pergi bersama putranya, Abdullah, ke kediaman Wahb bin Abdu Manaf. Dia adalah sosok bani Zuhrah terhormat yang paling baik nasabnya.

Abdul Muthalib kemudian menikahkan putranya dengan putri dari Wahb bin Abdu Manaf, Aminah binti Wahb. Tak lama setelah keduanya menikah, Aminah mengandung seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Muhammad.


Banyak riwayat yang mengisahkan selama Aminah mengandung dan melahirkan Rasulullah SAW. Salah satunya diriwayatkan dari Yazid bin Abdillah bin Wahab bin Zam’ah yang meriwayatkan dari bibinya. Dia bercerita bahwa Aminah pernah berkata padanya saat sedang mengandung Rasulullah SAW.

Saat Aminah Mengandung Rasulullah SAW

Dinukil dari Shifatush Shafwah Edisi Indonesia oleh Ibnu Al Jauzi yang diterjemahkan Wawan Djunaedi Soffandi, Aminah mengaku tidak pernah merasa kesulitan sebagaimana wanita hamil pada umumnya. Aminah berkata,

“Sesungguhnya aku tidak merasa kalau sedang mengandung, sebab aku sama sekali tidak merasakan berat sebagaimana yang dirasakan kebanyakan wanita yang sedang hamil. Hanya saja, aku tidak bisa mengingkari terputusnya darah haidku (sebagai tanda kehamilan).”

Aminah kemudian bercerita, ada seseorang yang datang kepadanya saat dia berada di antara kondisi terjaga dan tidur. Orang tersebut bertanya padanya apa yang dirasakan Aminah selama mengandung.

Hingga kemudian orang tersebut berkata, “Sesungguhnya kamu sedang mengandung sayyid dan nabinya umat ini.”

Singkat cerita, pada masa persalinan hampir tiba, orang tersebut kembali mendekati Aminah. Ia berkata, “Ucapkanlah lafaz Uiidzuhu bil waahidish-shamad min syarri kulli haasid (aku memohon perlindungan terhadap bayi ini kepada Dzat Yang Maha Tunggal lagi Dzat yang menjadi tempat bergantung dari kejahatan segala sesuatu yang memiliki sifat hasud)’.”

Riwayat lainnya menyebut, Aminah didatangi orang misterius tersebut di dalam mimpinya. Ia berkata, “Sesungguhnya engkau mengandung pemimpin umat ini. Jika engkau melahirkannya, ucapkan, ‘Aku meminta perlindungan untuknya kepada Allah Yang Mahakuasa dari keburukan semua pendengki dan beri nama dia Muhammad’.”

Selama mengandung Rasulullah SAW, Aminah juga bersaksi ia melihat seberkas sinar keluar dari perutnya. Dengan sinar-sinar tersebut, Aminah bisa melihat istana Busra di Syam.

Sayangnya, belum sempat sang suami menyaksikan kelahiran putranya, ajal sudah lebih dulu menjemput Abdullah. Tepatnya saat usia kandungan Aminah menginjak ke- 6 bulan. Ibnu Ishaq berkata,

“Tidak lama kemudian, Abdullah bin Abdul Muthalib, ayahanda Rasulullah SAW meninggal dunia ketika ibunda Rasulullah SAW sedang mengandung beliau.”

Menurut Syekh Shafiyur Rahman al-Mubarakpuri dalam Sirah Nabawiyah terjemahan Abd Hamid, Abdullah pergi ke Yatsrib (Madinah) atau Syria untuk urusan perdagangan. Namun, saat perjalanan pulang, Abdullah menderita sakit hingga kemudian meninggal dunia di Yatsrib dan dimakamkan di Nabgha Dzabyani.

Lahirnya Rasulullah SAW

Menurut riwayat Ibnu Ishaq, Rasulullah SAW lahir pada Senin, 12 Rabiul Awal tahun gajah. Aminah pun mengutus seseorang kepada mertuanya, Abdul Muthalib, untuk mengabarkan berita kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Abdul Muthalib pun bergegas mendatangi Aminah. Setelahnya, Aminah bercerita kepada Abdul Muthalib apa pun yang dilihatnya selama mengandung Rasulullah SAW hingga perintah untuk menamai bayi tersebut dengan nama Muhammad.

Dikisahkan Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam kitab Hadza al Habib Muhammad Rasulullah Ya Muhibb terjemahan Iman Firdaus, Rasulullah SAW dilahirkan dalam kondisi telah dikhitan. Ia tidak perlu dikhitan seperti layaknya anak-anak lain. Abdul Muthalib, sang kakek, turut merasa aneh dan heran. Ia pun berkata,

“Anakku ini kelak akan membawa perkara besar, dengannya aku akan mendapatkan kedudukan yang paling mulia.”

Nabi Muhammad SAW dilahirkan di Dar al-Maulid yang dikenal sebagai rumah Muhammad ibn Yusuf, saudara al-Hajjaj ibn Yusuf. Saat ini, rumah tersebut dijadikan Maktabah ‘Ammah (perpustakaan umum) di Makkah.

(rah/kri)



Sumber : www.detik.com

Saat Dakwah Nabi Nuh Dicemooh oleh Umatnya Sendiri


Jakarta

Dalam sejarah Islam, cerita Nabi Nuh AS dikenal sebagai salah satu Rasul yang menghadapi tantangan terbesar dalam menyebarkan ajaran tauhid. Selama ratusan tahun, beliau berdakwah dengan penuh kesabaran, namun sayangnya, hanya sedikit orang yang bersedia mengikuti ajarannya dan beriman kepada Allah SWT.

Umatnya sering kali mencemooh dan menolak pesan-pesan yang disampaikannya, menganggap dakwahnya sebagai sebuah kebodohan.

Kisah Nabi Nuh Berdakwah

Nabi Nuh AS memiliki nama lengkap Nuh bin Lamik bin Muttawsyalakh bin Khanukh (Idris AS) bin Yarid bin Mahylayil bin Qanin bin Anusy bin Syaits bin Adam AS dan lahir 146 tahun setelah wafatnya Nabi Adam AS.


Diceritakan dalam buku Mutiara Kisah 25 Nabi dan Rasul oleh M. Arief Hakim, bahwa kaum Nabi Nuh AS, yang dikenal sebagai bani Rasib, terkenal dengan sifat congkak dan zalim.

Mereka terperangkap dalam kemewahan yang dikaruniakan oleh Allah SWT dan menjadikan kekayaan sebagai ukuran utama martabat dan harga diri manusia. Pada masa itu, kaum fakir miskin sering diremehkan dan mengalami penindasan.

Bahkan, saking besarnya kesombongan mereka, para budak dan hewan pun menjadi saksi dari ketidakadilan tersebut. Meski begitu, Nabi Nuh AS tetap berdakwah dengan penuh kesabaran untuk mengajak kaumnya kembali kepada ajaran tauhid.

Menurut Ibnu Katsir dalam Qashash Al-Anbiyaa yang diterjemahkan oleh H. Dudi Rosyadi, Nabi Nuh AS diutus untuk menghapus kesesatan dan kegelapan yang melanda kaumnya, bani Rasib, yang juga menyembah patung-patung orang saleh seperti Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr, serta meminta berkah dan rezeki dari mereka.

Dakwah Nabi Nuh AS berlangsung sangat lama, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Ankabut ayat 14.

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَلَبِثَ فِيْهِمْ اَلْفَ سَنَةٍ اِلَّا خَمْسِيْنَ عَامًا ۗفَاَخَذَهُمُ الطُّوْفَانُ وَهُمْ ظٰلِمُوْنَ ١٤

Artinya: “Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian, mereka dilanda banjir besar dalam keadaan sebagai orang-orang zalim.”

Selama 950 tahun, Nabi Nuh AS berdakwah dengan segala usaha, tanpa mengenal waktu, baik siang maupun malam, dalam keadaan sepi atau ramai, dengan membawa kabar gembira maupun peringatan. Meskipun demikian, kaum Nuh AS tetap saja berada dalam kesesatan dan berlaku kejam.

Banyak di antara mereka yang justru menolak Nabi Nuh AS. Merasa putus asa, Nabi Nuh AS akhirnya berdoa kepada Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam surah Asy-Syu’ara ayat 117-118.

قَالَ رَبِّ اِنَّ قَوْمِيْ كَذَّبُوْنِۖ ١١٧ فَافْتَحْ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُمْ فَتْحًا وَّنَجِّنِيْ وَمَنْ مَّعِيَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ١١٨

Artinya: Dia (Nuh) berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah mendustakanku. Maka, berilah keputusan antara aku dan mereka serta selamatkanlah aku dan orang-orang mukmin bersamaku.”

Akhirnya, Allah SWT memerintahkan Nabi Nuh AS untuk membangun sebuah bahtera besar agar beliau dan para pengikutnya dapat diselamatkan dari azab yang akan diturunkan. Selama proses pembangunan bahtera, Nabi Nuh AS terus-menerus mendapatkan ejekan dan cemoohan dari bani Rasib.

Meskipun begitu, beliau tidak pernah merasa putus asa dan tetap bersemangat menyelesaikan kapal tersebut.

Setelah bahtera itu selesai, Allah SWT memenuhi janji-Nya. Bahtera yang besar itu tidak hanya membawa kaum muslimin, tetapi juga berbagai jenis hewan.

Kemudian, Allah SWT menurunkan hujan deras dari langit selama 40 hari 40 malam, dan memerintahkan bumi untuk mengeluarkan air dari segala penjuru sehingga seluruh permukaan bumi tertutup oleh air. Banjir yang sangat besar ini menyebabkan air naik tinggi hingga membentuk gelombang seperti gunung. Bahtera itu terombang-ambing di tengah banjir yang menenggelamkan kaum kafir.

Istri dan Anak Nabi Nuh yang Durhaka

Nabi Nuh AS memiliki istri dan anak yang durhaka, keduanya menolak ajaran tauhid yang dibawanya. Meskipun Nabi Nuh AS berusaha sekuat tenaga untuk mengajak mereka ke jalan yang benar, mereka tetap berpaling dan tidak mau menerima dakwahnya.

Dikutip dari buku Ulumul Qur’an: Kajian Kisah-kisah Wanita dalam Al-Qur’an karya Muhammad Roihan Nasution, kisah pembangkangan istri Nabi Nuh diceritakan Allah SWT dalam surah At-Tahrim ayat 10:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

Artinya: “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): ‘Masuklah ke dalam jahanam bersama orang-orang yang masuk (neraka jahanam)’.”

Istri Nabi Nuh AS yang durhaka juga melahirkan anak yang membangkang kepada ayahnya. Anak Nabi Nuh AS, seperti yang diceritakan dalam Al-Qur’an, menolak untuk naik ke dalam bahtera, sehingga ia akhirnya terseret dalam banjir besar. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Hud ayat 43:

قَالَ سَـَٔاوِىٓ إِلَىٰ جَبَلٍ يَعْصِمُنِى مِنَ ٱلْمَآءِ ۚ قَالَ لَا عَاصِمَ ٱلْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ ٱللَّهِ إِلَّا مَن رَّحِمَ ۚ وَحَالَ بَيْنَهُمَا ٱلْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ ٱلْمُغْرَقِينَ

Artinya: “Anaknya menjawab ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!’ Nuh berkata ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang’. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.”

(hnh/rah)



Sumber : www.detik.com

Sosok Nabi yang Punya Mukjizat Air Zamzam-Sosok Penunggang Kuda Pertama


Jakarta

Nabi Ismail AS adalah nabi dan rasul yang wajib diimani dalam Islam. Beliau merupakan keturunan seorang nabi juga yaitu Ibrahim AS.

Menukil dari Ibrahim Khalilullah: Da’iyah At-Tauhid wa Din Al-Islam wa Al-Uswah Al-Hasanah oleh Ali Muhammad Ash-Shallabi yang diterjemahkan Muhammad Misbah, ibu dari Ismail AS adalah Siti Hajar. Kala itu, Nabi Ibrahim AS belum juga dikaruniai keturunan meski sudah puluhan tahun pindah ke Palestina.

Sang nabi lalu berdoa sebagaimana tercantum dalam surah Ash-Shaffat ayat 100-101. Berikut bunyinya,


رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّلِحِينَ * فَبَشَّرْنَهُ بِغُلَمٍ حَلِيمٍ

Artinya: “(Ibrahim berdoa), ‘Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (keturunan) yang termasuk orang-orang saleh.” Maka, Kami memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak (Ismail) yang sangat santun.”

Kelahiran Nabi Ismail AS

Kelahiran Nabi Ismail AS disambut dengan bahagia. Meski demikian, kelahirannya ini juga menjadi ujian bagi Ibrahim AS dan sang istri.

Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim AS untuk membawa Siti Hajar dan Ismail AS bayi ke sebuah lembah tandus, yaitu Makkah. Kala itu, Makkah masih belum berpenghuni.

Saking tandusnya, lembah itu bahkan tanpa tanaman dan air. Hanya ada batu dan pasir kering yang terlihat di sana.

Siti Hajar dan Nabi Ismail AS diuji dengan rasa haus karena tak adanya air. Pada kondisi tersebut, Siti Hajar berlari-lari antara bukit Shafa dan Marwah untuk mencari air hingga akhirnya malaikat Jibril tiba dan air zamzam memancar dari tanah dekat kaki Ismail AS.

Perintah Menyembelih Nabi Ismail AS

Masih dari sumber yang sama, Nabi Ibrahim AS menerima wahyu lainnya dari Allah SWT dalam mimpi. Ia diperintahkan menyembelih sang putra, Nabi Ismail AS yang masih remaja.

Mendengar hal itu, Nabi Ismail AS rela menerima nasib sebagai bentuk kepatuhan terhadap Allah SWT. Kisah ini termaktub dalam surat As Saffat ayat 102,

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Ibrahim AS lantas membawa Ismail AS ke tempat yang ditentukan. Ketika ia hendak menyembelih putranya, tiba-tiba Allah SWT mengganti Nabi Ismail AS dengan seekor hewan. Peristiwa tersebut menjadi asal muasal ibadah kurban yang kini dilakukan oleh umat Islam.

Diterangkan dalam Qashashul Anbiya oleh Ibnu Katsir yang diterjemahkan Umar Mujtahid, ulama nasab dan sejarah peperangan mengatakan bahwa Nabi Ismail AS adalah orang pertama yang naik kuda. Sebelumnya, kuda merupakan hewan liar dan dijinakkan oleh Ismail AS untuk ditunggangi.

Sa’id bin Yahya Al-Umawi menuturkan dalam Al Maghazi sebagai berikut, “Seorang syaikh Quraisy bercerita kepada kami, Abdul Malik bin Abdul Aziz bercerita kepada kami, dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW bersabda: “Pergunakan kuda (sebagai tunggangan) naiklah secara bergantian , karena ia adalah warisan ayah kalian, Ismail.”

Wafatnya Nabi Ismail AS

Nabi Ismail AS semasa hidupnya membimbing suku Amalika di Yaman. Selama lebih dari 50 tahun masa kenabian beliau, Ismail AS menyampaikan firman Allah SWT kepada orang-orang musyrik. Ia mengajak mereka untuk memeluk Islam dan mempercayai keberadaan Allah SWT.

Berkat jasanya itu, Islam menyebar luas di Yaman. Beliau lalu kembali ke Makkah setelah sebagian besar masyarakat Yaman memeluk Islam.

Nabi Ismail AS wafat pada usia 137 tahun, tepatnya pada 1779 SM di Makkah, Arab Saudi. Beliau dimakamkan di dekat ibunya.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Muhammad SAW Membelah Bulan dalam Al-Qur’an


Jakarta

Nabi Muhammad SAW dianugerahi sejumlah mukjizat di sepanjang kenabiannya oleh Allah SWT. Salah satunya adalah mukjizat membelah bulan dengan jarinya yang dijelaskan dalam Al-Qur’an.

Menurut surah Al Qamar ayat 1-3, Allah SWT menurunkan firman-Nya mengenai keajaiban ini:

(1) اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ


(2) وَاِنْ يَّرَوْا اٰيَةً يُّعْرِضُوْا وَيَقُوْلُوْا سِحْرٌ مُّسْتَمِرٌّ

(3) وَكَذَّبُوْا وَاتَّبَعُوْٓا اَهْوَاۤءَهُمْ وَكُلُّ اَمْرٍ مُّسْتَقِرٌّ

Artinya: Hari Kiamat makin dekat dan bulan terbelah. Jika mereka (kaum musyrik Makkah) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, “(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.” Mereka mendustakan (Nabi Muhammad) dan mengikuti keinginan mereka, padahal setiap urusan telah ada ketetapannya.”

Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsir Jilid 7 yang diterjemahkan Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Atsari, ayat di atas menceritakan tentang penduduk Makkah pernah meminta Rasulullah SAW untuk menunjukkan tanda kekuasaan Allah SWT. Untuk itulah, bulan pernah terbelah menjadi dua pada masa Rasulullah SAW.

Meski demikian, para golongan kafir Quraisy di Makkah menolak tunduk atau meyakini tanda-tanda yang sudah ditunjukkan kepada mereka. Sebaliknya, mereka beranggapan bahwa tanda tersebut semata hanya pertunjukkan sihir.

Kisah Nabi Muhammad SAW Membelah Bulan

Diceritakan dalam buku 115 Kisah Menakjubkan dalam Kehidupan Rasulullah SAW karya Fuad Abdurahman, kisah ini bermula saat Abu Jahal mengirim surat undangan kepada Habib ibn Malik, seorang raja di Syam. Habib berangkat bersama 12.000 pasukan berkuda menuju Makkah.

Saat tiba, Abu Jahal beserta para pembesar Quraisy menyambutnya dengan memberikan budak dan perhiasan.

Setelah duduk berhadapan, Habib bertanya kepada Abu Jahal tentang Nabi Muhammad SAW, namun Abu Jahal membantahnya, “Tuan, bertanyalah tentang bani Hasyim!” pinta Abu Jahal.

Habib menukas, “Siapakah Muhammad?”

Pembesar Quraisy yang menemui Abu Jahal menjawab, “Kami mengenalnya sejak kecil sebagai orang yang jujur dan bisa dipercaya. Saat berusia 40 tahun, ia berbalik menghina dan merendahkan Tuhan kami. Ia dakwahkan agama baru yang berbeda dari agama kami!”

“Bawalah ia ke hadapanku dengan suka rela! Bila tidak mau, paksalah!” kata Habib.

Kemudian, seseorang pergi memanggil Rasulullah SAW yang tanpa rasa takut sedikit pun datang menemui Habib ditemani sahabat setianya, Abu Bakar, dan istrinya, Khadijah.

Ketika Rasulullah SAW tiba di hadapan Habib, wajah beliau tampak bercahaya sehingga Habib tertegun dan berkata, “Hai Muhammad, engkau tahu bahwa setiap nabi memiliki mukjizat. Apakah kau juga memilikinya?”

“Apa yang engkau inginkan?” tanya Rasulullah SAW.

Habib berkata, “Aku ingin kau membuat matahari terbenam dan bulan merendah ke bumi, terbelah menjadi dua. Kemudian bulan itu bersatu lagi di atas kepalamu dan bersaksi atas kerasulanmu! Setelah itu, bulan kembali lagi ke langit dan bercahaya seperti purnama dan selanjutnya terbenam kembali serta matahari muncul seperti sedia kala!”

Mendengar permintaan Habib, Abu Jahal tersenyum jahat dan berkata, “Sungguh benar apa yang Tuan katakan! Permintaan Tuan sungguh luar biasa!”

Rasulullah SAW pergi meninggalkan Habib menuju Jabal Abu Qubaisy dan mendirikan salat dua rakaat. Setelah itu, beliau berdoa kepada Allah SWT.

Kemudian, Jibril datang dan berkata, “Assalamualaikum, ya Rasulullah. Allah menyampaikan salam kepadamu dan berfirman, ‘Kekasihku, janganlah kau bersedih dan bersusah hati! Aku selalu bersamamu. Pergilah temui mereka! Kuatkan hujahmu. Ketahuilah, Aku telah menundukkan matahari dan bulan, juga siang dan malam’.”

Saat itu hari beranjak sore dan matahari condong ke barat hingga akhirnya terbenam di ufuk barat. Semesta diliputi kegelapan, kemudian muncul bulan purnama.

Setelah bulan berada tepat di atas Rasulullah SAW, beliau memberi isyarat dengan jarinya. Bulan itu bergerak turun dan berhenti di hadapan beliau.

Lalu ia terbelah dua bagian. Selanjutnya, bulan berpadu lagi di atas kepala beliau dan bersaksi, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Setelah itu bulan kembali naik ke langit dan matahari muncul kembali seperti semula, karena saat itu belum datang waktunya untuk terbenam.

Meskipun mukjizat ditampakkan begitu nyata di hadapan Abu Jahal, tetap saja Abu Jahal dan para pengikutnya menganggapnya sebagai sihir. Mereka tetap tak mau beriman.

Dikutip dari buku Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW karya Abdurrahman bin Abdul Karim, kisah ini juga diriwayatkan dalam salah satu hadits,

“Pada zaman Rasulullah SAW, bulan terbelah menjadi dua. Orang-orang kafir Makkah ikut menyaksikannya.” (HR Bukhari)

Dilansir dari buku Misteri Kedua Belah Tangan dalam Shalat, Dzikir, dan Doa karya Dr. KH. Bachruddin Hasyim Subky, untuk menjawab semua keraguan tentang kemungkinan terjadinya peristiwa luar biasa ini Imam Razi berpendapat dari berbagai hadits bahwa peristiwa tersebut mirip dengan gerhana bulan, di mana separuh bulan tampak di langit.

Namun, para ulama sepakat bahwa tidak ada alasan untuk meragukan kebenaran hadits-hadits Nabi tentang pembelahan bulan menjadi dua bagian. Wallahu a’lam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perang Mu’tah, Pertempuran Dahsyat Tentara Muslim dan Pasukan Heraklius



Jakarta

Perang Mu’tah adalah salah satu pertempuran dalam sejarah Islam. Perang ini terjadi pada 629 M pada Jumadil Awwal tahun ke-8 Hijriyah.

Menurut buku Para Panglima Perang Islam tulisan Rizem Aizid, Perang Mu’tah dilatarbelakangi dengan terbunuhnya utusan Rasulullah SAW oleh seseorang bernama Shurabhil bin Amr. Mendengar kabar itu, umat Islam yang sudah berada di Madinah marah. Nabi Muhammad SAW lantas mengirim sejumlah pasukan untuk menyerang pasukan Ghassanid.

Diterangkan dalam Jami’us Sirah oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang diterjemahkan Abdul Rosyad Shiddiq, utusan Rasulullah SAW itu bernama Al-Harits bin Umair Al-Azdi. Ia merupakan salah seorang dari keluarga besar bani Lahab yang pergi ke Syam.


Al-Harits mengantarkan sepucuk surat kepada penguasa Bushra yang tunduk kepada penguasa Romawi, seperti dikutip dari Ghazawat Ar-Rasul Durus Wa ‘Ibra Wa Fawa ‘Id karya Ali Muhammad Ash-Shallabi terjemahan Masturi Irham.

Sayangnya, ia dicegat dan diringkus oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani, seorang gubernur Ghassanid di bawah Kekaisaran Bizantium kala itu. Menurut Sirah Nabawiyah oleh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri yang diterjemahkan Suchail Yuti, Syurahbil adalah penguasa yang mendapat mandat dari Kaisar atas Provinsi Balqa’, salah satu daerah Syam.

Al-Harits diborgol dan dihadapkan kepada Kaisar yang kemudian menebas batang lehernya. Padahal, pembunuhan terhadap utusan atau delegasi termasuk bentuk kriminal paling keji dan melebihi pernyataan kondisi perang pada saat itu.

Dalam Perang Mu’tah, Nabi Muhammad SAW menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai komandannya. Namun, sebelum pasukannya berangkat ia berpesan,

“Kalau nanti terjadi sesuatu pada Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib yang akan menggantikan posisinya sebagai komandan pasukan. Dan jika terjadi sesuatu kepada Ja’far, maka kan diambil alih Abdullah bin Rawahah.”

Sebanyak 3.000 pasukan muslim siap berperang. Mereka bergerak sampai berhenti di daerah Ma’an. Di situlah tentara muslim mendengar informasi bahwa Heraklius yang merupakan kaisar tertinggi Byzantium Romawi sudah berada di daerah Balqa’ dengan membawa 100.000 pasukan Romawi.

Selain itu, orang-orang dari suku Lakham, suku Jadzam, suku Balqin, suku Bahra’, dan suku Billi ikut bergabung dengan pasukan Heraklius yang jumlahnya 100.000. Secara total, tentara Heraklius ini berjumlah 200.000 yang mana sangat jauh berbeda dengan pasukan umat Islam.

Mengetahui hal itu, pasukan umat Islam memilih tinggal di daerah Ma’an selama dua hari untuk menunggu perkembangan apa yang akan terjadi. Salah seorang dari mereka mengatakan,

“Kita harus menulis surat kepada Rasulullah SAW untuk melaporkan besarnya pasukan musuh. Kita berharap beliau mengirimkan tambahan pasukan, dan kita tunggu apa perintahnya lebih lanjut kepada kita.”

Singkat cerita, pada Perang Mu’tah sahabat-sahabat yang diamanahkan Nabi Muhammad SAW untuk memimpin semuanya wafat. Pasukan muslim awalnya bingung menunjuk pemimpin perang, lalu seorang tentara muslim bernama Tsabit bin Arqam maju mengambil bendera Islam dan menunjuk Khalid bin Walid sambil berkata,

“Ambillah wahai Khalid. Sebab engkau yang lebih tahu mengenai strategi dalam perang dan tahu tentang muslihat peperangan. Dan demi Allah, aku tidak akan mengambilnya kecuali aku serahkan kepadamu!”

Tsabit bin Arqam kemudian berteriak ke arah pasukan muslim, “Bersediakah kalian wahai pasukan muslimin berada di bawah pimpinan Khalid?”

Mendengar hal itu, para tentara muslim menyetujui penunjukkan Khalid bin Walid untuk memerangi tentara Heraklius. Sebagaimana diketahui, Khalid adalah salah satu panglima ternama dan selalu memenangi peperangan.

Waktu itu, Perang Mu’tah adalah pertempuran pertama yang diikuti Khalid setelah memeluk Islam. Dengan sigap ia menata barisan pasukan muslim dan menyusun strategi dengan melakukan tipu muslihat.

Khalid bin Walid memerintahkan tentara muslim di barisan belakang agar pindah ke depan dan pasukan sayap kiri berpindah ke sayap kanan, begitu sebaliknya. Pasukan di belakang terus bergerak menuju depan sampai debu-debu berterbangan dan mengganggu penglihatan musuh.

Akibatnya, musuh pada Perang Mu’tah mengira tentara muslim sebagai pasukan mereka. Oleh sebab itu, tentara Heraklius tidak gegabah menggempurnya.

Akhirnya Perang Mu’tah dimenangkan oleh pasukan muslim. Qutbah bin Qatadah yang merupakan komandan sayap kanan tentara membunuh jenderal pasukan musuh yaitu Ghasan Malik. Kematiannya menyebabkan tentara Heraklius menahan serangan, ini jadi peluang pasukan tentara muslim melakukan konsolidasi. Secara perlahan dan tertata, pasukan muslim mengundurkan diri dari peperangan akibat jumlah yang tak seimbang.

Pasukan musuh tidak berani mengejar sampai memutuskan untuk menghentikan pertempuran. Setibanya di Madinah, Rasulullah SAW menyampaikan rasa bangganya kepada pasukan muslim karena telah berhasil mengalahkan musuh.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Nabi Syits, Sosok yang Diwasiatkan Jaga Nur Rasulullah SAW


Jakarta

Nabi Syits AS adalah putra dari Nabi Adam AS. Tapi, Nabi Syits AS tidak termasuk dalam 25 Nabi dan Rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an.

Menukil buku Akidah dan Akhlak untuk Kelas VII MTs oleh Taofik Yusmansyah, sebenarnya jumlah Nabi dan Rasul lebih dari 25. Pada sebuah riwayat dikatakan, jumlah Nabi dan Rasul mencapai 124 ribu, 312 di antaranya adalah rasul.

Dari Abi Dzar Al-Ghifari RA, Rasulullah SAW bersabda ketika ditanya tentang jumlah para nabi. “(Jumlah para nabi itu) adalah seratus dua puluh empat ribu (124.000) nabi.”


Para sahabat bertanya lagi, “Lalu berapa jumlah rasul di antara mereka?” Beliau menjawab, “Tiga ratus dua belas (312).” (HR At Tirmizi)

Mengutip dari buku Qashash al-Anbiyaa yang diterjemahkan oleh Saefullah MS, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa makna nama Syits adalah anugerah dari Allah SWT. Nama itu diberikan oleh Nabi Adam dan istrinya, Hawa, kepada Nabi Syits yang baru lahir setelah terbunuhnya Habil di tangan saudara sendiri.

Meski tidak setenar nabi lain, Nabi Syits AS mendapatkan 50 lembar suhuf dari Allah SWT agar disampaikan kepada umat manusia. Suhuf adalah kumpulan lembaran yang berisi firman Allah SWT.

Awal Kehidupan Nabi Syits AS

Mengutip buku Akhlak Para Nabi oleh Taj Langroodi, ketika Nabi Syits AS dilahirkan, Nabi Adam AS sudah berusia 930 tahun.

Nabi Adam AS sengaja memilih Nabi Syits AS untuk melanjutkan perjuangannya, sebab anak Nabi Adam AS yang satu ini memiliki kelebihan dari segi keilmuan, kecerdasan, ketakwaan, dan kepatuhan dibandingkan anak lainnya.

Nabi Syits AS adalah pelaksana wasiat Nabi Adam setelah beliau kehilangan putra kesayangannya, Habil. Ia lahir lima tahun setelah Qabil membunuh Habil, tepatnya 235 tahun setelah Nabi Adam AS diturunkan dari langit ke bumi.

Nabi Syits AS memilih bertempat tinggal di Makkah, tempat dia bisa secara terus menerus melaksanakan haji kecil (umrah) dan haji besar di sana. Ia membangun kembali Ka’bah menggunakan lumpur kental dan tumpukan batu.

Diwasiatkan Menjaga Nur Nabi Muhammad SAW

Nabi Syits AS adalah penerus setelah Nabi Adam AS dan Hawa yang dipercaya untuk menjaga nur Nabi Muhammad SAW.

Menukil buku Kumpulan Tanya Jawab Keagamaan karya Kyai Abdullah Alif, pada sebuah riwayat dikatakan bahwa Allah SWT pertama kali menciptakan nur Nabi Muhammad sebelum Dia menciptakan Adam, Hawa, alam semesta beserta isinya.

Syekh Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam Kitab Hujatullah menyebutkan bahwa sebelumnya nur Nabi Muhammad SAW selalu tampak bersinar di wajah Nabi Adam, bercahaya seperti matahari yang bersinar terang.

Kemudian, Allah SWT mengambil sumpah perjanjian dari Nabi Adam AS agar selalu menjaga nur tersebut. Nabi Adam AS menerimanya dengan suka cita, kemudian nur itu bersemayam di dalam diri Siti Hawa.

Setelah itu, lahirlah seorang putra yang bernama Nabi Syits.

Awalnya nur yang berada di dalam diri Hawa kemudian dipindahkan ke dalam Nabi Syits AS. Nur tersebut tampak pada wajah Nabi Syits AS, sehingga Nabi Adam AS selalu memperhatikan dan menjaga Nabi Syits AS.

Nabi Syits AS tumbuh menjadi pribadi dengan akhlak yang mulia. Bahkan, Allah SWT mengirimkan seorang bidadari yang cantik dan rupawan untuknya.

Mengacu pada buku The Prophet: Kisah Hikmah 25 Nabi Allah karya Diah Noviyanti, wafatnya Nabi Syits AS terjadi ketika beliau jatuh sakit. Sebagai gantinya, ia menunjuk putranya yang bernama Anush untuk melaksanakan wasiatnya.

Nabi Syits AS meninggal pada usia 912 tahun dan dimakamkan di samping makam kedua orang tuanya, yaitu di Gua Gunung Abu Qubais.

(hnh/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Burung Hudhud dan Nabi Sulaiman yang Diabadikan dalam Al-Qur’an


Jakarta

Kisah burung hudhud dan Nabi Sulaiman AS tidak hanya memiliki cerita yang menarik tetapi juga mengandung hikmah. Dalam kisah ini, burung hudhud berperan penting kepada Nabi Sulaiman AS.

Kisah tersebut tercantum dalam surah An-Naml ayat 20-28 dan dijelaskan para ulama tafsir dalam kitabnya. Berikut selengkapnya.

Burung Hudhud Bawa Kabar pada Nabi Sulaiman

Dikutip dari Qashash al-anbiyaa karya Ibnu Katsir yang diterjemahkan Umar Mujtahid, Nabi Sulaiman AS adalah seorang raja yang dianugerahi Allah SWT dengan berbagai keistimewaan, termasuk kemampuan untuk memahami bahasa binatang. Di antara pasukannya, terdapat sekelompok burung yang bertugas seperti prajurit pada umumnya.


Salah satu burung yang memiliki peran penting adalah hudhud, yang menurut riwayat Ibnu Abbas, memiliki tugas khusus untuk mencari sumber air. Allah SWT memberi burung hudhud kemampuan istimewa untuk mendeteksi keberadaan air di dalam tanah, sehingga sangat berguna bagi pasukan Nabi Sulaiman AS saat melakukan perjalanan di padang pasir.

Suatu hari, Nabi Sulaiman AS tidak melihat burung hudhud di antara pasukannya. Ia pun bertanya, “Mengapa aku tidak melihat hudhud, apakah ia termasuk yang tidak hadir?”

Nabi Sulaiman AS kemudian mengancam akan menghukum burung hudhud jika tidak memiliki alasan yang jelas atas ketidakhadirannya. Ia berkata, “Pasti akan kuhukum ia dengan hukuman yang berat atau kusembelih ia, kecuali jika ia datang kepadaku dengan alasan yang jelas.”

Tidak lama kemudian, burung hudhud kembali dengan membawa berita penting. Ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang belum engkau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba’ membawa suatu berita yang meyakinkan.”

Burung hudhud melaporkan bahwa ia menemukan sebuah kerajaan dari negeri yang sangat jauh. Tak hanya itu, negeri itu pun juga sangat luas, makmur, dan aman. Diketahui negeri itu bernama Saba’.

Negeri Saba’ dipimpin oleh seorang ratu bernama Balqis. Namun, yang mengejutkan adalah ratu dan rakyatnya menyembah matahari, bukan Allah SWT.

Merujuk pada sumber sebelumnya, Ats-Tsa’labi meriwayatkan dari jalur Sa’id bin Basyir dari Qatadah, dari Nadhr bin Anas, dari Basyir bin Nahik, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Salah satu di antara kedua orang tua Balqis berasal dari bangsa jin.”

Mendengar laporan dari burung hudhud, Nabi Sulaiman AS memutuskan untuk menguji kebenaran perkataan burung hudhud dengan memerintahkannya untuk membawa surat kepada Ratu Balqis. Isi surat tersebut mengajak Ratu Balqis dan rakyatnya untuk berserah diri kepada Allah SWT dan tidak berlaku sombong.

Di sinilah peran burung hudhud yang kedua ditampakkan. Dirinya selain menjadi pembawa berita adanya kerajaan yang penuh kemusyrikan, ia juga berperan sebagai pengantar surat yang menghubungkan Nabi Sulaiman AS dengan Ratu Balqis.

Tawaran Ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman

Setelah menerima pesan dari Nabi Sulaiman AS melalui Hud-hud, Ratu Balqis menawarkan solusi damai kepada Nabi Sulaiman AS dengan mengirimkan hadiah. Namun, Nabi Sulaiman AS dengan tegas menolak hadiah tersebut.

Nabi Sulaiman AS menegaskan tujuannya agar Ratu Balqis dan rakyatnya menyembah Allah SWT dan meninggalkan kemusyrikan mereka. Nabi Sulaiman as tidak membutuhkan hadiah karena kerajaan yang dimilikinya sudah sangat kaya dan megah.

Mendengar tentang keagungan kerajaan Nabi Sulaiman AS, Ratu Balqis tertarik untuk mengunjungi kerajaan tersebut.

Pengakuan Keimanan Ratu Balqis

Sesampainya di kerajaan Nabi Sulaiman AS, Ratu Balqis sangat terkejut oleh kemegahan dan kekayaan yang dimiliki Nabi Sulaiman AS. Ia semakin tidak menyangka ketika mendapati bahwa singgasana miliknya sudah ada di sana.

Setelah menyaksikan segala kemegahan dan kelebihan yang dimiliki oleh kerajaan Nabi Sulaiman AS, Ratu Balqis menyadari bahwa kekayaan dan kesombongannya selama ini tidak ada artinya. Ia kemudian mengakui kekalahannya dan menyatakan keimanannya kepada Allah SWT.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Mukjizat Nabi Musa AS yang Diceritakan di dalam Al-Qur’an


Jakarta

Nabi Musa AS adalah salah satu nabi yang diberikan keistimewaan luar biasa oleh Allah SWT untuk memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan-Nya kepada umat manusia. Mukjizat yang dimilikinya menjadi bukti nyata atas kenabiannya dan wujud pertolongan Allah dalam menghadapi kaumnya yang durhaka.

Salah satu mukjizat terbesar yang diberikan kepada Nabi Musa adalah kemampuan membelah laut dengan tongkatnya, yang menjadi jalan keselamatan bagi Bani Israel dari kejaran Fir’aun.

Selain itu, apa saja mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Musa? Dalam hal ini, Allah SWT menjelaskan mukjizat Nabi Musa dalam beberapa ayat Al-Qur’an.


Mukjizat Nabi Musa

Nabi Musa diberikan sejumlah mukjizat dan keistimewaan oleh Allah sebagai tanda untuk memperlihatkan kebesaran Allah di hadapan kaumnya. Dirangkum dari Tafsir Qashashi Jilid II oleh Syofyan Hadi, berikut ini adalah mukjizat Nabi Musa AS.

1. Tongkatnya Membelah Laut Merah

Tongkat Nabi Musa, atas izin Allah, memiliki kekuatan untuk membelah lautan. Ketika lautan terbelah, jalan terbuka bagi Nabi Musa dan pengikutnya untuk melarikan diri dari kejaran Fir’aun dan pasukannya.

Setelah Nabi Musa dan kaumnya berhasil mencapai daratan di seberang, Fir’aun dan tentaranya masih berada di tengah lautan yang terbelah tersebut. Namun, tiba-tiba lautan kembali menyatu, menenggelamkan Fir’aun beserta seluruh pasukannya.

Mukjizat ini diceritakan dalam Al-Qur’an, Surah Asy-Syuara ayat 63-66.

فَاَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اَنِ اضْرِبْ بِّعَصَاكَ الْبَحْرَۗ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيْمِۚ ۝٦٣

Artinya: Lalu, Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah laut dengan tongkatmu itu.” Maka, terbelahlah (laut itu) dan setiap belahan seperti gunung yang sangat besar.

وَاَزْلَفْنَا ثَمَّ الْاٰخَرِيْنَۚ ۝٦٤

Artinya: Di sanalah Kami dekatkan kelompok yang lain.

وَاَنْجَيْنَا مُوْسٰى وَمَنْ مَّعَهٗٓ اَجْمَعِيْنَۚ ۝٦٥

Artinya: Kami selamatkan Musa dan semua orang yang bersamanya.

ثُمَّ اَغْرَقْنَا الْاٰخَرِيْنَۗ ۝٦٦

Artinya: Kemudian, Kami tenggelamkan kelompok yang lain.

2. Tongkatnya Menjadi Ular

Allah mengutus Nabi Musa kepada sebuah kaum yang sangat menguasai ilmu sihir. Pada masa itu, sihir berkembang pesat dan menjadi kebanggaan masyarakat Bani Israil. Sebagai tanda kekuasaan-Nya, Allah memberikan mukjizat kepada Nabi Musa berupa kemampuan mengubah tongkatnya menjadi seekor ular.

Suatu ketika, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk melemparkan tongkatnya ke tanah. Begitu dilempar, tongkat tersebut langsung berubah menjadi ular besar, yang membuat Nabi Musa merasa takut. Namun, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk mengambilnya kembali, dan ular tersebut kembali menjadi tongkat seperti semula.

Saat Nabi Musa berdakwah mengajak kaumnya kepada kebenaran, Fir’aun menentang ajarannya dan memerintahkan para penyihir untuk melawan Musa dengan membuat ilusi tali dan tongkat yang tampak seperti ular. Atas perintah Allah, Nabi Musa pun melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular besar dan memakan ular-ular ilusi yang diciptakan para penyihir.

Mengenai mukjizat ini, Allah SWT menceritakannya dalam Al-Quran Surat Al-Qashash ayat 31:

وَاَنْ اَلْقِ عَصَاكَۗ فَلَمَّا رَاٰهَا تَهْتَزُّ كَاَنَّهَا جَاۤنٌّ وَّلّٰى مُدْبِرًا وَّلَمْ يُعَقِّبْۗ يٰمُوْسٰٓى اَقْبِلْ وَلَا تَخَفْۗ اِنَّكَ مِنَ الْاٰمِنِيْنَ ۝٣١

Artinya: Lemparkanlah tongkatmu!” Maka, ketika dia (Musa) melihatnya bergerak-gerak seperti seekor ular kecil yang gesit, dia lari berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Allah berfirman,) “Wahai Musa, kemarilah dan jangan takut! Sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang aman.

3. Tangan Nabi Musa Memancarkan Cahaya

Allah memperlihatkan kepada Nabi Musa keistimewaan yang dianugerahkan kepadanya. Nabi Musa diperintahkan oleh Allah SWT untuk memasukkan tangannya ke dalam kantong bajunya. Ketika tangannya dikeluarkan, tiba-tiba tampak cahaya putih terang memancar, bersinar seperti rembulan yang bercahaya.

Hal ini dikisahkan melalui Al-Qur’an Surah Al-A’raf ayat 108,

وَّنَزَعَ يَدَهٗ فَاِذَا هِيَ بَيْضَاۤءُ لِلنّٰظِرِيْنَࣖ ۝١٠٨

Artinya: Dia menarik tangannya, tiba-tiba ia (tangan itu) menjadi putih (bercahaya) bagi orang-orang yang melihat(-nya).

4. Doa Nabi Musa kepada Umat Firaun

Sejumlah mukjizat Nabi Musa ini disebutkan oleh Allah dalam Surah Al-A’raf ayat 133:

فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الطُّوْفَانَ وَالْجَرَادَ وَالْقُمَّلَ وَالضَّفَادِعَ وَالدَّمَ اٰيٰتٍ مُّفَصَّلٰتٍۗ فَاسْتَكْبَرُوْا وَكَانُوْا قَوْمًا مُّجْرِمِيْنَ ۝١٣٣

Artinya: Maka, Kami kirimkan kepada mereka (siksa berupa) banjir besar, belalang, kutu, katak, dan darah (air minum berubah menjadi darah) sebagai bukti-bukti yang jelas dan terperinci. Akan tetapi, mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum pendurhaka.

Banyaknya belalang yang menyerang tanaman Bani Israil menyebabkan mereka mengalami kekurangan pangan.

Selain itu, muncul pula kutu yang menggigit mereka, membuat mereka sulit tidur. Katak-katak memenuhi lumbung dan dapur mereka, sementara air minum mereka tercemar darah, sehingga mereka tidak memiliki air bersih untuk diminum atau digunakan.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com