Category Archives: Kisah

Saat Ali bin Abi Thalib Ragu Meminang Fatimah Putri Rasulullah


Jakarta

Ali bin Abi Thalib merupakan salah seorang sahabat sekaligus sepupu yang setia menemani Rasulullah SAW. Pada bulan Dzulhijjah, 2 Hijriah, ia menikahi Fatimah Az-Zahra, putri Rasul SAW yang telah ia kagumi sedari kecil.

Namun perjalanannya ke jenjang pernikahan tidak semulus cerita cinta di luar sana. Kondisinya yang miskin dengan hanya memiliki sebuah zirah atau baju besi, sempat membuat Ali ragu untuk meminang gadis pujaan hatinya itu. Bagaimana kisahnya?

Ali Ragu Melamar Fatimah Putri Rasulullah

Mengutip buku Ali bin Abi Thalib RA karya Abdul Syukur Al-Azizi, diriwayatkan sempat terbesit keraguan di hati Ali sebelum ia meminang Fatimah. Kala itu, ia sadar dirinya hanyalah pemuda miskin yang tidak mempunyai apa pun untuk diberikan kepada gadis pujaan hatinya.


Di tengah kebimbangan hatinya itu, terdengar kabar bahwa sahabat Abu Bakar telah lebih dulu meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menikahi putrinya. Ia pun ikhlas jika cinta yang dipendamnya selama ini harus kandas.

Ali merasa tak sebanding dengan kedudukan Abu Bakar yang menjadi sahabat istimewa dan selalu menemani Nabi SAW selama hijrah dan dakwah beliau. Dari sisi finansial, Abu Bakar juga termasuk saudagar kaya sehingga ia semakin tak percaya diri.

Namun ternyata, Rasulullah SAW hanya diam saat Abu Bakar datang. Beliau menolak secara halus lamaran sahabat karibnya itu. Mendengar kabar itu, Ali bin Abi Thalib merasa senang sebab menurutnya ia masih memiliki kesempatan untuk meminang Fatimah.

Tidak sampai di situ, seorang laki-laki lain datang kembali untuk melamar putri kesayangan Rasulullah SAW. Ialah Umar bin Khattab, lelaki gagah dan pemberani yang membuat setan berlari ketakutan dan musuh-musuh bertekuk lutut.

Ali pun kembali sadar bahwa dirinya tak sebanding dengan Umar, dan ia pun hanya bisa bertawakal kepada Allah SWT agar ikhlas tegar menghadapi kenyataan. Cintanya pun kembali ia simpan rapi dalam lubuk hati terdalam. Namun tak disangka-sangka, lamaran Umar juga ditolak oleh Rasul SAW

Mengetahui itu, Ali bin Abi Thalib merasa girang. Di sisi lain, ia bingung akan menantu macam apa yang kiranya dikehendaki oleh sang utusan Allah SWT tersebut.

Di tengah kegalauannya, teman-teman Ali dari kalangan Anshar berkata kepadanya, “Mengapa kamu tak mencoba melamar Fatimah? Aku punya fırasat, kamulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.”

“Aku?” tanya Ali bin Abi Thalib tak yakin.

Ali tidak yakin sebab dirinya sadar bahwa ia hanya pemuda miskin yang tidak punya apa-apa. Ia merasa banyak dari sahabat Rasulullah SAW yang lebih pantas meminang Fatimah daripada dirinya. Di sisi lain, ia mencintai putri kesayangan Rasul SAW itu dan tidak bisa meminta Fatimah untuk menantikannya hingga siap.

Akhirnya, Ali bin Abi Thalib memberanikan diri menghadap Rasulullah SAW untuk menyampaikan keinginannya menikahi Fatimah Az-Zahra.

Ali Menjual Zirah Satu-satunya Demi Menikahi Fatimah

Sesampainya di rumah Rasulullah SAW, Ali hanya duduk di samping beliau dan tertunduk diam cukup lama. Beliau pun bertanya, “Wahai putra Abu Thalib, apa yang kamu inginkan?”

Dengan suara bergetar, ia menjawab, “Ya Rasulullah, aku hendak meminang Fatimah.”

Mendengar jawaban Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW tidak terkejut karena beliau tahu bahwa Ali RA telah lama mencintai putrinya. Beliau tidak langsung menerima lamaran Ali RA, tetapi menanyakannya terlebih dahulu kepada Fatimah.

Rasulullah SAW meninggalkan Ali bin Abi Thalib dan menemui putrinya untuk bertanya. Saat ditanya tentang kesediaannya atas lamaran Ali, Fatimah hanya terdiam. Rasulullah SAW menyimpulkan bahwa diamnya Fatimah sebagai isyarat kesetujuannya. Sebab beliau tahu kalau putrinya juga mencintai Ali.

Kemudian Rasulullah SAW bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, apakah ia mempunyai sesuatu yang bisa dijadikan mahar. Ali malu karena ia tidak memiliki apa pun yang bisa dijadikan mahar.

Dikisahkan dalam riwayat dari Ummu Salamah RA, wajah Rasulullah SAW kala itu tampak berseri-seri. Sambil tersenyum, beliau bertanya kepada Ali, “Wahai Ali, apakah kamu mempunyai sesuatu yang bisa dijadikan maskawin?”

“Demi Allah! Anda sendiri mengetahui keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak Anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang, dan seekor unta.”

Rasulullah SAW menanggapi Ali, “Tentang pedangmu itu. Kamu tetap memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah SWT. Dan untamu itu kamu untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan kamu memerlukannya dalam perjalanan jauh.”

“Oleh karena itu, aku hendak menikahkan kamu dengan maskawin sebuah baju besi saja. Aku puas dengan maskawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu,” tutur Nabi SAW.

Lebih lanjut, Rasul SAW mengatakan, “Wahai Ali, kamu wajib bergembira karena Allah SWT sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkanmu di langit sebelum aku menikahkan kamu di bumi.”

Ali bin Abi Thalib pun menjual baju besinya itu dengan harga 500 dirham kepada Utsman bin Affan dan menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah SAW. Beliau kemudian membagi uang tersebut menjadi tiga bagian. Satu bagian untuk kebutuhan rumah tangga, sebagian untuk wewangian, dan bagian lainnya dikembalikan kepada Ali untuk jamuan makan bagi tamu yang menghadiri pernikahan.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Utsman bin Affan yang membeli zirah itu, memberikannya kembali kepada Ali sebagai hadiah pernikahannya.

Pernikahan Ali dan Fatimah

Pada bulan Dzulhijjah, tahun kedua Hijriah, Nabi SAW menikahkan putri kesayangannya dengan Ali bin Abi Thalib seraya membacakan ijab, “Wahai Ali, sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan aku menikahimu dengan Fatimah. Sungguh, aku telah menikahkanmu dengannya dengan mas kawin 400 dirham.”

Lantas Ali mengucapkan qabul, “Aku ridha dan puas hati, wahai Rasulullah.”

Selesai akad, Ali bin Abi Thalib langsung sujud syukur kepada Allah SWT. Usai pemberian mahar, Rasul SAW berkhutbah dan mengumumkan pernikahan keduanya di depan para tamu yang hadir.

Setelah dinikahkan, Rasulullah SAW mendoakan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, putri kesayangannya, dengan bacaan berikut:

بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي الْخَيْرِ

Arab latin: Baarakallahu laka wa baaraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fil khairi.

Artinya: “Semoga Allah memberkahimu, semoga Allah memberkahi engkau dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” (HR Sa’id bin Manshur, Abu Dawud, & At-Tirmidzi).

(azn/row)



Sumber : www.detik.com

Pertolongan Allah Saat Raja Namrud Membakar Nabi Ibrahim Hidup-hidup


Jakarta

Nabi Ibrahim AS merupakan salah satu dari 25 nabi dan rasul yang wajib diketahui umat Islam. Kisah hidupnya tercantum dalam banyak ayat Al-Qur’an.

Dalam buku Kisah Para Nabi karya Ibnu Katsir, disebutkan bahwa nama asli Nabi Ibrahim AS adalah Ibrahim bin Tarikh. Ibunya bernama Buna binti Karbita bin Kartsi. Nabi Ibrahim AS juga termasuk rasul yang mendapatkan gelar ulul azmi, yaitu gelar untuk rasul-rasul yang memiliki kedudukan tinggi di hadapan Allah SWT.

Selain itu, Nabi Ibrahim AS juga dikenal dengan sebutan Abul Anbiya, yang berarti ayah para nabi, karena putra-putranya, Nabi Ismail AS dari pernikahannya dengan Siti Hajar dan Nabi Ishaq AS dari pernikahannya dengan Siti Sarah.


Beliau dianugerahi sejumlah mukjizat, salah satunya adalah selamat dari api saat dibakar. Peristiwa ini terjadi setelah beliau menghancurkan patung-patung berhala yang berada di dalam sebuah bangunan.

Kisah Nabi Ibrahim AS yang selamat dari api ketika dibakar oleh kaumnya menunjukkan bahwa keimanan dan keteguhan dalam membela kebenaran akan selalu mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. Berikut ini kisah selengkapnya.

Kisah Nabi Ibrahim Dibakar Api

Diceritakan dalam buku Kisah 25 Nabi dan Rasul karya Yudho Pramoko, pada masa itu, Raja Namrud bersama para pengikutnya sedang pergi melaksanakan upacara keagamaan, sehingga gedung tempat berhala-berhala berada menjadi sepi.

Nabi Ibrahim AS memanfaatkan kesempatan ini untuk masuk ke gedung tersebut dan menghancurkan semua berhala, kecuali satu berhala besar yang sengaja ia sisakan. Setelah menghancurkan berhala-berhala, ia menggantungkan kapak yang digunakan di leher berhala besar tersebut, lalu pulang ke rumah.

Saat Raja Namrud dan para pengikutnya kembali, mereka sangat terkejut melihat berhala-berhala yang disembah telah hancur.

Setelah mengetahui bahwa Nabi Ibrahim AS adalah pelakunya, Raja Namrud segera menangkap beliau. Di pengadilan yang disaksikan oleh masyarakat, Raja Namrud bertanya kepada Nabi Ibrahim AS apakah ia yang menghancurkan berhala-berhala tersebut.

Nabi Ibrahim menjawab, “Bukan!” Tapi Raja Namrud yang geram terus mendesaknya untuk mengaku.

Nabi Ibrahim AS kemudian berkata, “Baiklah, kita sama-sama berakal. Di hadapan kita ada berhala besar yang kapak tergantung di lehernya, mungkin dialah pelakunya!”

Ucapan ini membuat Raja Namrud semakin marah. Ia berteriak bahwa patung tidak mungkin bisa bicara dan Ibrahim AS dianggap bodoh.

Namun, Nabi Ibrahim AS dengan tegas menjawab bahwa yang bodoh bukan dirinya, melainkan Raja Namrud dan rakyatnya. Ia menegaskan bahwa berhala-berhala yang mereka sembah tidak bisa bicara, melihat, atau mendengar, bahkan tak mampu menyelamatkan diri mereka sendiri.

Mendengar logika Nabi Ibrahim, Raja Namrud dan rakyatnya terpojok, namun karena kemarahan mereka, Nabi Ibrahim AS akhirnya ditangkap dan hendak dibakar api secara hidup-hidup.

Ketika api besar dinyalakan, atas izin Allah SWT, api tersebut tidak membakar Nabi Ibrahim AS. Justru, api itu menjadi dingin dan sejuk baginya, sebagai salah satu mukjizat yang diberikan Allah kepada beliau.

Diceritakan dalam Al-Quran

Kisah mukjizat Nabi Ibrahim yang tidak hangus ketika dibakar api hidup-hidup juga diceritakan di dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Anbiya’ ayat 68-70,

(68) قَالُوْا حَرِّقُوْهُ وَانْصُرُوْٓا اٰلِهَتَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ فٰعِلِيْنَ

(69) قُلْنَا يَا نَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ

(70) وَاَرَادُوْا بِهٖ كَيْدًا فَجَعَلْنٰهُمُ الْاَخْسَرِيْنَ

Artinya: “Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”. Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”, mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi.”

Melihat kejadian luar biasa itu, Raja Namrud beserta semua orang yang hadir terpana. Akhirnya, Raja Namrud memerintahkan untuk menghentikan pembakaran dan membebaskan Nabi Ibrahim AS.

Doa Nabi Ibrahim

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Hafid Abu Ya’la, dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW menceritakan bahwa ketika Nabi Ibrahim AS akan dilemparkan ke dalam api yang berkobar, beliau berdoa dengan doa khusus kepada Allah.

اللهُمَّ أَنْتَ الْوَاحِدُ فِي السَّمَاءِ وَأَنَا الْوَاحِدُ فِي الْأَرْضِ لَيْسَ اَحَدٌ يَعْبُدُكَ غَيْرِي حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلِ

Arab latin: Allahumma antalwahidu fissama’i wa anal wahidu fil ardi laisa ahadun ya ‘buduka gairī hasbiyallahu wani’mal wakil.

Artinya: Ya Allah! Engkau Esa di langit dan aku sendirian di bumi. Tiada seorang pun yang taat kepada-Mu selain aku. Bagiku cukuplah Allah sebaik-baik tempat berserah diri.

Doa yang dibacakan Nabi Ibrahim AS tersebut juga terdapat di dalam potongan surat Ali Imran ayat 173, Allah SWT berfirman,

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدْ جَمَعُوا۟ لَكُمْ فَٱخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَٰنًا وَقَالُوا۟ حَسْبُنَا ٱللَّهُ وَنِعْمَ ٱلْوَكِيلُ

Latin: Alladzina qaa la lahumun-nasu innan-nasa qad jama’ụ lakum fakhsyauhum fazādahum īmānaw waqālụ ḥasbunallāhu wani’mal-wakīl

Artinya: (Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Lahirnya Nabi Muhammad SAW bersama 4 Wanita Mulia



Jakarta

Nabi Muhammad SAW lahir sebagai manusia paling mulia. Momen kelahirannya pun diliputi hal menakjubkan. Aminah, sang ibunda, ditemani oleh empat wanita mulia saat proses persalinan.

Nabi Muhammad SAW lahir hari Senin, 12 Rabiul Awal pada tahun gajah.

Dalam Kitab Maulid ad-Diba’i, Syekh Abdurrahman ad Diba’i mengatakan saat malam kelahiran Nabi Muhammad SAW, langit seketika bergetar yang diliputi kebahagiaan. Disebutkan, lapisan langit dipenuhi cahaya terang dan para malaikat bergemuruh mengucapkan pujian kepada Allah SWT.


Merangkum buku Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW: Dari Sebelum Masa Kenabian hingga Sesudahnya karya Abdurrahman bin Abdul Karim dikisahkan bahwa Aminah tidak pernah merasa kelelahan dan letih selama mengandung Nabi Muhammad SAW. Di malam jelang persalinan, Allah SWT mengutus empat wanita agung yang membantu Aminah.

Keempat wanita ini adalah Siti Hawa, Siti Sarah istri Nabi Ibrahim RA, Asiyah binti Muzahim dan Siti Maryam, ibunda Nabi Isa AS.

Siti Hawa berkata kepada Aminah, “Sungguh beruntung engkau, wahai Aminah. Tidak ada di dunia ini wanita yang mendapatkan kemuliaan dan keberuntungan seperti engkau. Sebentar lagi engkau akan melahirkan nabi agung junjungan alam semesta, Al Musthafa SAW. Kenalilah olehmu, sesungguhnya aku ini Hawa, ibunda seluruh umat manusia. Aku diperintahkan oleh Allah SWT untuk menemanimu.”

Tak lama kemudian, hadirlah Siti Sarah, istri Nabi Ibrahim AS. Ia berkata, “Sungguh, berbahagialah engkau, wahai Aminah. Tidak ada di dunia ini wanita yang mendapatkan kemuliaan dan keberuntungan seperti engkau. Sebentar lagi, engkau akan melahirkan Nabi agung, seorang Nabi yang dianugerahi kesucian yang sempurna pada diri dan kepribadiannya.

Nabi agung yang ilmunya sebagai sumber ilmunya para nabi dan para kekasih-Nya. Nabi agung yang cahayanya meliputi seluruh alam. Dan, ketahuilah olehmu, wahai Aminah, sesungguhnya aku adalah Sarah, istri Nabiyullah Ibrahim AS. Aku diperintahkan oleh Allah SWT untuk menemanimu.”

Selanjutnya hadir diiringi aroma harum semerbak, seraya berkata, “Sungguh, berbahagialah engkau, wahai Aminah. Tidak ada di dunia ini wanita yang mendapatkan kemuliaan dan keberuntungan seperti engkau. Sebentar lagi, engkau akan melahirkan Nabi agung, kekasih Allah SWT yang paling agung dan insan sempurna yang paling utama mendapatkan pujian dari Allah SWT dan seluruh makhluk-Nya. Aku adalah Asiyah binti Muzahim, yang diperintahkan oleh Allah SWT menemanimu.”

Wanita keempat yang hadir dengan kecantikannya adalah Siti Maryam, ibunda Nabi Isa AS. Ia berkata, “Sungguh, berbahagialah engkau wahai Aminah. Tidak ada di dunia ini wanita yang mendapatkan kemuliaan dan keberuntungan seperti engkau.

Sebentar lagi, engkau akan melahirkan Nabi agung yang dianugerahi Allah SWT mukjizat yang sangat agung dan sangat luar biasa. Beliaulah junjungan seluruh penghuni langit dan bumi, hanya untuk beliau semata segala bentuk sholawat Allah SWT dan salam sejahtera-Nya yang sempurna. Ketahuilah olehmu Aminah, sesungguhnya aku adalah Maryam, ibunda Nabi Isa AS.”

(dvs/rah)



Sumber : www.detik.com

Nabi Muhammad SAW Lahir dari Keluarga Bani Hasyim di Makkah


Jakarta

Kisah kelahiran Nabi Muhammad SAW memiliki makna penting bagi umat Islam karena beliau adalah nabi terakhir pembawa rahmat bagi seluruh alam. Beliau berasal dari keluarga dengan nasab mulia.

Menurut kitab Ar-Rahiq Al-Makhtum: Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri yang diterjemahkan Faris Khairul Anam, Nabi Muhammad SAW lahir dalam keluarga bani Hasyim di Makkah, pada Senin pagi, di tahun peristiwa gajah.

Para ulama berbeda pendapat terkait tanggal kelahirannya, ada yang menyebut 9 Rabiul Awal dan ada pula yang berpendapat 12 Rabiul Awal. Namun, mayoritas dari mereka mengatakan Nabi Muhammad SAW lahir pada 12 Rabiul Awal.


Penelitian ulama terkenal, Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri, dan peneliti astronomi Mahmud Basya memperkirakan bahwa kelahiran Nabi bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April 571 M.

Bani Hasyim Punya Sifat-sifat Unggul

Keluarga Nabi Muhammad SAW, bani Hasyim, menjadi salah satu keturunan kebanggakan suku Quraisy. Dijelaskan dalam buku Nabi Muhammad SAW: Kisah Manusia Paling Mulia di Dunia karya Neti dkk, bani Hasyim memiliki keistimewaan dan keunggulan di antara kaumnya. Mereka dikaruniai keteguhan iman, kecerdasan akal, kesederhanaan dalam segala hal, jauh dari sifat zalim, pengasih dan pennyayang terhadap kaum lemah, pemurah, dan pemberani.

Tak heran jika bani Hasyim dipercaya sebagai Kota Makkah dan pemelihara Baitullah karena sifat-sifat unggul yang mereka miliki.

Peristiwa Menjelang Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Sejumlah peristiwa besar terjadi menjelang kelahiran Nabi Muhammad SAW. Beberapa di antaranya runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa disembah oleh Majusi, dan runtuhnya gereja-gereja di sekitar Buhairah. Peristiwa ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Al-Ghazali.

Terlahir Tanpa Seorang Ayah

Nabi Muhammad SAW lahir dari pasangan Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahab. Abdullah, ayah Rasulullah SAW, adalah seorang saudagar yang sering melakukan perjalanan ke Negeri Syam dan merupakan anak dari pemimpin suku Quraisy yang sangat dihormati.

Sementara itu, Aminah berasal dari bani Zuhrah, suku yang memiliki status mulia dalam keturunan dan kedudukan di kalangan Quraisy, seperti yang disebutkan dalam karya Sirah Nabawiyah oleh Abul Hasan al-Ali Hasani an-Nadwi.

Qadarullah, Abdullah meninggal dunia ketika Aminah baru mengandung Nabi Muhammad SAW selama dua bulan, sehingga Nabi Muhammad SAW lahir tanpa kehadiran ayahnya.

“Abdullah meninggal dunia, sedangkan Aminah, ibunda Rasulullah SAW, sedang mengandung beliau. Ketika itu, ia telah menyaksikan tanda-tanda dan jejak-jejak yang menunjukkan bahwa anaknya memiliki kemuliaan,” tulis buku tersebut

Ibnu Sa’d meriwayatkan bahwa ibunda Rasulullah SAW melihat cahaya keluar setelah kelahiran beliau yang menyinari istana-istana di Syam.

Wanita yang Menyusui Rasulullah SAW

Sesuai tradisi Arab kala itu, anak yang baru lahir harus disusukan kepada wanita lain. Mengacu sumber sebelumnya, wanita pertama yang menyusui Nabi Muhammad SAW adalah Tsuwaibah, hamba sahaya Abu Lahab.

Saat itu, Tsuwaibah juga sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh, dan sebelumnya pernah menyusui Hamzah bin Abdul Muththalib (Paman Nabi). Tsuwaibah juga menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumi.

Selanjutnya, seperti tradisi umum di kalangan Arab, keluarga mencari wanita dari pedesaan untuk menyusui bayi mereka, dengan tujuan menjauhkan anak dari penyakit di perkotaan dan memperkuat tubuh serta bahasa Arab mereka.

Abdul Muththalib kemudian memilih Halimah binti Abu Dzu’aib dari Bani Sa’d bin Bakr untuk menyusui Nabi Muhammad SAW. Halimah bersama suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza, yang dikenal dengan julukan Abu Kabsyah, berasal dari kabilah yang sama.

Peristiwa Pembelahan Dada Nabi Muhammad SAW

Pada saat Rasulullah beranjak ke umur empat atau lima tahun. Saat itu, di tengah masa Rasulullah SAW disusui oleh Halimah binti Abu Dzu’aib, terjadilah peristiwa pembelahan dada Nabi Muhammad SAW.

Muslim meriwayatkan dari Anas bahwa suatu ketika Rasulullah SAW sedang bermain dengan beberapa anak kecil lainnya, kemudian Malaikat Jibril datang menghampiri beliau. Malaikat Jibril memegang beliau, membaringkannya, lalu membelah dada beliau dan mengeluarkan segumpal darah, sambil berkata, “Ini adalah bagian setan yang ada padamu.”

Malaikat Jibril kemudian mencuci gumpalan darah beliau dalam sebuah baskom emas dengan air zamzam, merapikannya kembali, dan memasukkannya ke tempat semula.

Anak-anak yang menyaksikan peristiwa tersebut berlarian menemui ibu susuan Rasulullah SAW, mengatakan bahwa Muhammad telah dibunuh. Namun saat ketika mereka datang, mereka mendapati wajah beliau semakin bercahaya berseri.

Nabi Muhammad SAW Dikembalikan ke Sang Ibu

Halimah merasa khawatir akan keselamatan Nabi Muhammad SAW setelah peristiwa pembelahan dada. Karena itulah, ia memutuskan untuk mengembalikan Nabi Muhammad SAW kepada ibunya, Aminah. Nabi Muhammad SAW kemudian tinggal bersama ibunya hingga usianya mencapai enam tahun.

Aminah, yang merindukan suaminya yang telah wafat, memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Yatsrib (Madinah) untuk mengunjungi makam suaminya. Ia melakukan perjalanan sejauh 500 kilometer dari Makkah, ditemani oleh Nabi Muhammad SAW yang masih kecil serta pembantu mereka, Ummu Aiman.

Perjalanan ini direstui oleh Abdul Muththalib, kakek Nabi. Setelah tinggal sebulan di Madinah, Aminah dan rombongannya memutuskan untuk kembali ke Makkah. Namun, dalam perjalanan pulang, Aminah jatuh sakit dan meninggal di daerah Abwa, yang terletak di antara Makkah dan Madinah.

Nabi Muhammad SAW Diasuh Sang Kakek

Setelah wafatnya ibunda tercinta, Nabi Muhammad SAW diasuh oleh kakeknya, Abdul Muththalib, di Makkah. Perasaan kasih sayang Abdul Muththalib terhadap cucunya yang kini menjadi yatim piatu semakin dalam. Ia merasa iba melihat cucunya harus menghadapi cobaan berat setelah sebelumnya kehilangan ayahnya. Abdul Muththalib begitu menyayangi Nabi Muhammad SAW hingga ia menganggap cucunya lebih penting daripada anak-anaknya sendiri.

Ibnu Hasyim meriwayatkan bahwa ada dipan yang diletakkan di dekat Ka’bah khusus untuk Abdul Muththalib. Keluarganya duduk di sekeliling dipan itu tanpa ada yang berani duduk di atasnya, sebagai bentuk penghormatan kepada Abdul Muththalib.

Namun, ketika Nabi Muhammad SAW yang masih kecil duduk di atas dipan tersebut, paman-pamannya mencoba mencegahnya. Saat melihat ini, Abdul Muththalib berkata, “Biarkanlah cucuku. Demi Allah, dia akan memiliki kedudukan yang agung.”

Lalu, ia membiarkan Nabi Muhammad SAW duduk bersamanya di dipan itu, sambil mengelus punggungnya dengan penuh kasih sayang, merasa gembira atas setiap tindakan cucunya.

Nabi Muhammad SAW Diasuh Pamannya hingga Dewasa

Pada usia delapan tahun, dua bulan, dan sepuluh hari, Nabi Muhammad SAW kehilangan kakeknya, Abdul Muththalib, yang meninggal dunia di Makkah. Sebelum wafat, Abdul Muththalib berpesan agar Nabi Muhammad SAW diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, saudara kandung dari ayah beliau.

Abu Thalib menjalankan amanah tersebut dengan penuh tanggung jawab, memperlakukan Nabi Muhammad SAW seperti anaknya sendiri. Ia mengutamakan kepentingan Nabi Muhammad SAW di atas anak-anaknya sendiri, menunjukkan perhatian dan penghormatan yang besar.

Abu Thalib melindungi Nabi Muhammad SAW hingga usia lebih dari empat puluh tahun, menjalin persahabatan dan bermusuhan dengan orang lain demi membela beliau.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Musa AS ketika Bayi yang Dihanyutkan di Sungai Nil



Jakarta

Nabi Musa AS adalah satu dari 25 nabi dan rasul yang wajib diketahui muslim. Kisah mengenai Musa AS identik dengan kekejaman Firaun, raja Mesir yang berkuasa kala itu.

Menukil dari Qashashul Anbiya karya Ibnu Katsir terjemahan Umar Mujtahid, Nabi Musa AS lahir ketika Firaun memerintahkan rakyatnya untuk membunuh bayi laki-laki yang lahir. Namun, kalangan Qibhti mengeluh karena minimnya populasi bani Israil akibat pembunuhan bayi laki-laki.

Akhirnya, Firaun mengubah memerintahkan untuk membunuh anak laki-laki secara bergantian setiap dua tahun sekali. Para mufassir menyebut, ibu dari Musa AS sedih karena harus melahirkan anaknya pada waktu di mana bayi laki-laki harus dibunuh.


Ibu Nabi Musa AS mendapat ilham untuk meletakkan Musa AS kecil di dalam peti yang diikat dengan tali. Kala itu, rumahnya berada tepat di hulu Sungai Nil.

Setiap ia menyusui Musa AS kecil dan khawatir akan seseorang, ibu Musa AS meletakkan bayinya di peti tersebut. Lalu, peti tersebut dilepaskan ke lautan sementara talinya tetap dipegang. Ketika semua orang pergi, petinya ia tarik kembali.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Qashash ayat 7-9,

وَاَوْحَيْنَآ اِلٰٓى اُمِّ مُوْسٰٓى اَنْ اَرْضِعِيْهِۚ فَاِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَاَلْقِيْهِ فِى الْيَمِّ وَلَا تَخَافِيْ وَلَا تَحْزَنِيْۚ اِنَّا رَاۤدُّوْهُ اِلَيْكِ وَجَاعِلُوْهُ مِنَ الْمُرْسَلِيْنَ ۝٧ فَالْتَقَطَهٗٓ اٰلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُوْنَ لَهُمْ عَدُوًّا وَّحَزَنًاۗ اِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامٰنَ وَجُنُوْدَهُمَا كَانُوْا خٰطِـِٕيْنَ ۝٨ وَقَالَتِ امْرَاَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّيْ وَلَكَۗ لَا تَقْتُلُوْهُۖ عَسٰٓى اَنْ يَّنْفَعَنَآ اَوْ نَتَّخِذَهٗ وَلَدًا وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ ۝٩

Artinya: “(7) Kami mengilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia (Musa). Jika engkau khawatir atas (keselamatan)-nya, hanyutkanlah dia ke sungai (Nil dalam sebuah peti yang mengapung). Janganlah engkau takut dan janganlah (pula) bersedih. Sesungguhnya Kami pasti mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya sebagai salah seorang rasul. (8) Kemudian, keluarga Firʻaun memungutnya agar (kelak) dia menjadi musuh dan (penyebab) kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Firʻaun, Haman, dan bala tentaranya adalah orang-orang salah. (9) Istri Firʻaun berkata (kepadanya), “(Anak ini) adalah penyejuk hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya. Mudah-mudahan dia memberi manfaat bagi kita atau kita mengambilnya sebagai anak.” Mereka tidak menyadari (bahwa anak itulah, Musa, yang kelak menjadi sebab kebinasaan mereka).”

As-Suhaili mengatakan bahwa ibu Musa AS bernama Ayarikha. Tetapi, ada juga yang menyebutnya sebagai Ayadzakat.

Ibu Nabi Musa AS lalu menghanyutkan Musa AS kecil ke Sungai Nil. Ia melepaskan peti itu namun lupa mengikatkan tali sehingga peti berisi Nabi Musa AS hanyut bersama aliran Sungai Nil sampai melintas tepat di depan istana Firaun.

Para mufassir mengatakan bahwa selir-selir Firaun yang memungut peti itu dari laut dalam kondisi tertutup rapat. Mereka tidak berani membukanya sehingga peti tersebut diletakkan di hadapan istri Firaun, Asiyah binti Muzahim bin ‘Ubaid bin Rayyan bin Walid.

Ketika penutup peti itu dibuka, Asiyah melihat wajah Nabi Musa AS kecil memancarkan sinar-sinar nubuwah dan kemuliaan. Begitu melihatnya, istri Firaun tersebut langsung jatuh hati dan mencintainya.

Mengetahui itu, Firaun memerintahkan untuk menyembelih Musa AS kecil. Namun, istrinya meminta agar Musa AS tidak dibunuh dan diberikan kepadanya.

Singkat cerita, Musa AS kecil yang tinggal di kerajaan Firaun enggan menerima susu dari wanita mana pun. Selain itu, ia juga tidak mau makan sehingga orang-orang sekitar bingung dibuatnya.

“Mereka kemudian mengirim Musa bersama para dukun beranak dan sejumlah wanita ke pasar, mungkin Musa mau menyusu pada seorang wanita di sana. saat semua orang berdiri di hadapan Musa, saudari Musa melihatnya. Ia tidak memperlihatkan sikap seakan-akan menganalnya,” tulis Ibnu Katsir.

Saudari Musa AS mengatakan akan menunjukkan keluarga yang akan merawat Nabi Musa AS dan berlaku baik. Akhirnya, mereka pergi bersama saudari Musa AS ke kediaman ibu Musa AS.

Musa AS kecil segera digendong oleh ibunya dan atas izin Allah SWT, ia ingin menyusu. Akhirnya, berita tersebut disampaikan kepada Asiyah bahwa Musa AS kecil sudah ingin menyusu.

Istri Firaun itu lantas memanggil ibu Nabi Musa AS dan memberinya tawaran untuk tinggal bersama serta berlaku baik terhadap Asiyah. Namun, ibu Musa AS enggan menerimanya dan mengatakan bahwa ia memiliki suami dan anak-anak.

Beliau meminta agar bayi Nabi Musa AS dibawa bersamanya. Asiyah menyetujui hal itu dan memberikannya nafkah, pakaian, serta hadiah.

Wallahu a’lam

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Abu Dzar RA, Sosok Sahabat Rasulullah SAW yang Sederhana



Jakarta

Abu Dzar al Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW yang paling sederhana. Ia dikenal sebagai orang yang taat kepada Allah SWT sekaligus sahabat setia bagi Rasulullah SAW.

Mengutip buku The Great Sahaba yang ditulis Rizem Aizid, disebutkan Abu Dzar al-Ghifari RA adalah sosok sahabat Rasulullah SAW yang sangat setia dan dikenal sebagai orang yang jujur serta sederhana.

Abu Dzar berasal dari suku Ghifar, sebuah kelompok yang tinggal di Lembah Waddan, sekitar Makkah. Abu Dzar hidup di lingkungan sederhana yang jauh dari peradaban kota.


Bani Ghifar dikenal sebagai gerombolan perampok. Penduduk Ghifar dikenal sebagai orang-orang yang pemberani dan senang berperang. Mereka tahan terhadap penderitaan, kekurangan dan kelaparan. Di antara orang-orang bani Ghifar, yang paling buruk tabiatnya adalah Abu Dzar. Nama lengkapnya adalah Abu Dzar Jundab bin Junadah bin Sufyan al Ghifari.

Jauh sebelum mengenal Islam, Abu Dzar adalah sosok perampok. Namun atas izin Allah SWT, ia mendapat hidayah setelah mengenal Islam. Ia menjadi sosok yang bertakwa kepada Allah SWT dan menjadi salah satu pengawal sekaligus sahabat Rasulullah SAW.

Abu Dzar sama sekali tidak takut pada orang-orang yang menentang Islam. Ia berkata pada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, demi Dzat yang nyawaku berada di tangan-Nya, aku akan melafalkan kalimat tauhid ini dengan lantang di tengah kerumunan orang-orang yang tidak beriman itu!”

Abu Dzar Meninggalkan Kesenangan Dunia

Selain dikenal sebagai pemberani, Abu Dzar juga dikenal sebagai sosok yang sederhana. Ia berpendapat bahwa menyimpan harta yang lebih dari keperluan hukumnya haram.

Kesederhanaan Abu Dzar juga telah disabdakan Rasulullah SAW, sebelum beliau wafat, beliau bersabda, “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya.”

Arti dari perkataan Rasulullah SAW adalah bahwa Abu Dzar akan tetap menjadi Abu Dzar yang dikenal sederhana, zuhud dan setia kepada Islam.

Mengutip buku Sosok Para Sahabat Nabi yang ditulis oleh Dr. Abdurrahman Raf’at al-Basya, setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Dzar pergi ke Damaskus. Di kota ini ia melihat kaum muslimin tenggelam dalam kemewahan. Abu Dzar terkejut menyaksikan banyak orang condong dan fokus pada kehidupan dunia.

Suatu kali, Khalifah Utsman memanggil ia untuk kembali ke Madinah. Abu Dzar segera memenuhi panggilan tersebut. Di Madinah, ia menyaksikan kondisi yang sama yakni orang-orang larut pada kemewahan dunia.

Abu Dzar yang tidak nyaman dengan suasana tempat tinggalnya, kemudian memutuskan untuk bermukim di Rabadzah, sebuah desa kecil di Madinah. Ia hidup dengan sangat sederhana, jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Ia zuhud terhadap kekayaan, tak mengirikan harta benda orang lain serta berpegang teguh pada cara hidup Rasulullah SAW. Ia mengutamakan kehidupan akhirat yang kekal.

Suatu hari, seseorang berkunjung ke rumah Abu Dzar. Ia melihat kondisi rumah Abu Dzar yang kosong tanpa perabotan. Tamu itu lantas bertanya, “Wahai Abu Dzar, di mana perabot rumahmu?”

Abu Dzar menjawab, “Kita punya rumah di kampung sana (maksudnya akhirat) sehingga perabot yang terbaik ku kirimkan ke sana.”

Tamu itu lantas menimpali jawaban Abu Dzar, “Tapi engkau juga harus punya perabot selama berada di kampung yang sekarang.”

“Tapi si pemilik rumah tidak mengizinkan kita menetap di rumah yang ini (di dunia),” jawab Abu Dzar.

Suatu ketika pernah Gubernur Syam mengirimkan uang sebanyak tiga ratus dinar kepada Abu Dzar disertai ucapan, “Pergunakanlah uang itu untuk kebutuhanmu.”

Abu Dzar lantas mengembalikan uang tersebut dan bertanya, “Apakah Tuan Gubernur tidak menemukan seorang hamba yang lebih miskin dari saya?”

Pada tahun 32 H, Abu Dzar meninggal dunia. Ia adalah sosok sahabat yang jujur dan sederhana. Rasulullah SAW pernah menyebutkan Abu Dzar dalam haditsnya, “Tidak ada di atas bumi dan di bawah naungan langit orang yang lebih jujur daripada Abu Dzar.”

Ketika Perang Tabuk, Rasulullah SAW berkata kepada Abu Dzar, ” Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian dan engkau akan meninggal dalam kesendirian. Namun, segerombolan orang dari Irak yang salih kelak akan mengurus pemakamanmu.”

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pohon Kurma Menangis Merindukan Rasulullah SAW



Jakarta

Di dalam sejarah Islam, terdapat sebuah kisah yang mengharukan dari masa Rasulullah SAW. Pada suatu Jumat di Masjid Nabawi, ada peristiwa yang membuat banyak orang terkejut dan terharu. Batang pohon kurma yang biasa digunakan Nabi Muhammad SAW sebagai tempat sandaran saat khutbah, tiba-tiba menangis.

Kisah tersebut diceritakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, ia berkata, “Rasulullah SAW biasa berkhutbah dengan bersandar pada sebuah batang pohon. Setelah dibuatkan mimbar, beliau pun berkhutbah dengan menggunakan mimbar. Maka tiba-tiba batang pohon itu merintih terus sehingga beliau turun untuk mengusapnya.” (HR Al-Bukhari dan At-Tirmidzi)

Diceritakan dalam kitab Al-Wafa bi Ahwal Al-Musthafa karya Ibnul Jauzi yang diterjemahkan Mahfud Hidayat dan Abdul Mu’iz, kisah bermula ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah setelah hijrah dari Makkah. Hal pertama yang beliau lakukan adalah membangun sebuah masjid yang kemudian dikenal dengan Masjid Nabawi.


Masjid tersebut dibangun di tempat berhentinya unta Rasulullah SAW. Menariknya, tanah berhentinya unta tersebut ternyata milik dua anak yatim bersaudara. Dengan penuh kebijaksanaan, Rasulullah SAW memutuskan untuk membeli tanah tersebut dari mereka.

Sebelum membangun masjid, Nabi Muhammad SAW memiliki kebiasaan berkhutbah dengan bersandar pada sebatang pohon kurma yang tumbuh di area tersebut. Pohon ini menjadi tempat favorit beliau untuk berdiri dan menyampaikan pesan-pesan penting kepada para pengikutnya.

Suatu hari, seorang wanita dari kaum Anshar mendekati Nabi Muhammad SAW dengan sebuah usulan. Ia memiliki seorang budak yang sangat terampil dalam pertukangan kayu. Wanita itu menawarkan jasa budaknya untuk membuatkan mimbar khusus bagi Nabi Muhammad SAW, agar beliau bisa berkhutbah dengan lebih nyaman.

“Wahai Rasulullah SAW, saya mempunyai sahaya. Ia pandai sekali dalam perkayuan. Apakah saya boleh menyuruh dia untuk membuatkan mimbar khutbah untukmu?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya, silahkan.”

Tak lama kemudian, mimbar yang indah pun selesai dibuat. Pada Jumat berikutnya, Nabi Muhammad SAW naik mimbar baru itu untuk menyampaikan khutbahnya. Namun, terjadilah sesuatu yang menakjubkan. Batang pohon kurma yang biasa dijadikan sandaran oleh Nabi SAW tiba-tiba mulai mengeluarkan suara rintihan, seolah-olah ia sedang menangis seperti seorang bayi.

Suara tangisan ini begitu menyayat hati, hingga menarik perhatian semua orang di masjid. Nabi Muhammad SAW, yang menyadari apa yang terjadi, turun dari mimbar barunya. Beliau mendekati batang pohon itu dan dengan lembut mengusapnya, seperti seorang ayah yang menenangkan anaknya yang sedang bersedih. Setelah itu beliau berkata kepadanya,

“Sekarang kamu boleh memilih antara ditanam di tempatmu semula, dengannya kamu dapat tumbuh berkembang sebagaimana sebelumnya, atau ditanam di surga, dengannya kamu bisa meresap sungai-sungai dan mata air di sana, lalu kamu akan tumbuh dengan baik dan buah-buahanmu nanti akan dipetik oleh para kekasih Allah SWT. Apa pilihanmu akan aku lakukan.”

Setelah diusap dan ditenangkan oleh Nabi Muhammad SAW, batang pohon itu pun berhenti merintih.

Nabi Muhammad SAW kemudian menjelaskan kepada para pengikutnya bahwa pohon itu merasa sedih karena ditinggalkan. Pohon itu telah lama menjadi tempat Nabi Muhammad SAW bersandar dan kini merasa kehilangan ketika tidak lagi digunakan.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya batang pohon ini merasa sedih setelah ia ditinggalkan.” (HR. Ahmad dan As-Suyuthi)

Ketika Masjid Nabawi diperbaiki beberapa waktu kemudian, batang pohon tersebut disimpan di rumah Ubay bin Ka’ab. Namun, seiring berjalannya waktu, batang pohon itu rusak dan dimakan rayap.

“Tatkala Masjid Nabawi dihancurkan untuk direnovasi, Ubay bin Ka’ab mengambil batang pohon tersebut dan ia simpan di rumahnya sampai rusak dan remuk dimakan rayap.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)

Ketika itu, ia (ayah Buraidah) mendengar Rasulullah SAW bergumam, “Ya, sudah saya kabulkan.” Beliau mengatakan hal itu dua kali. Setelah itu ada seorang jemaah yang menanyakannya kepada beliau. Maka akhirnya beliau menjawab, “Batang pohon itu lebih memilih aku untuk menanamnya di surga.” (HR Ad-Darimi)

Kisah ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan beliau di hadapan Allah SWT dan betapa semua makhluk menghormati dan mencintai beliau.

Al-Hasan selalu menangis jika mengingat cerita ini. Ia berkata, “Wahai hamba-hamba Allah SWT, sebuah kayu saja merintih pada Rasulullah SAW karena merindukannya. Ini menunjukkan ketinggian derajat beliau di hadapan Allah SWT. Kalian seharusnya lebih berhak untuk rindu ingin ketemu dengannya.”

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Abu Jahal Siapanya Nabi Muhammad?


Jakarta

Dakwah Nabi Muhammad SAW tidak selalu berjalan mulus. Beliau kerap mendapat cobaan dari kaum kafir Quraisy yang membenci Al-Qur’an dan agama Islam.

Salah satu tokoh besar Quraisy yang terkenal menentang dakwah Nabi Muhammad SAW adalah Abu Jahal. Mengutip buku Cerita Al-Qur’an oleh M. Zaenal Abidin, nama asli Abu Jahal adalah Amir Ibnul Hasyim. Julukan Abu Jahal artinya Bapak Kebodohan.

Mengutip Tarikh Nabi Muhammad karya Moenawar Chalil, jika dilihat dari jalur keluarga, Abu Jahal memiliki hubungan keluarga yang jauh dengan Nabi Muhammad SAW.


Kisah Abu Jahal Ingin Mencelakai Nabi Muhammad SAW

Abu Jahal dikenal kejam dalam membenci Nabi Muhammad SAW. Ada kisah Abu Jahal dalam menentang dakwah Nabi Muhammad SAW dan hendak mencelakainya meskipun selalu gagal.

Kembali mengutip buku Tarikh Nabi Muhammad, Abu Jahal sempat mencoba memukul kepala Nabi Muhammad SAW dengan batu saat beliau sedang salat. Namun, saat ia ingin melempar sebuah batu, ia justru terhempas ke belakang.

Abu Jahal bersaksi bahwa ia melihat seekor unta besar yang hendak menendangnya, sehingga ia berusaha menghindar. Namun, kawan-kawannya tidak mempercayai cerita itu dan tidak menghiraukan perkataan Abu Jahal lagi karena dianggap pembohong.

Lalu dalam kisah lain yang dikutip dari buku Cerita Al-Qur’an, Abu Jahal sempat meminta Nabi Muhammad SAW ke rumahnya, ia mengaku sakit keras. Nabi Muhammad SAW yang menerima kabar tersebut datang ke rumah Abu Jahal tanpa menaruh curiga sedikit pun.

Setibanya di rumah Abu Jahal, Nabi Muhammad SAW hanya berdiri di depan pintu kamarnya tanpa masuk. Abu Jahal yang sudah menanti kedatangan Nabi Muhammad SAW segera beranjak dari tempat tidur.

Ia menghampiri Nabi Muhammad SAW yang menjenguknya, namun apa yang terjadi? Abu Jahal malah terperosok ke dalam lubang yang ia buat sendiri. Rupanya, Abu Jahal hendak menjebak dan mencelakai Nabi Muhammad SAW. Kabar bahwa Abu Jahal sedang sakit adalah akal-akalan Abu Jahal.

Abu Jahal Ditaklukkan di Perang Badar

Mengutip buku Nabi Muhammad Sang Pejuang Hebat karya, Perang Badar salah satu perang Islam utama yang mengubah wajah sejarah Islam dan menegaskan arah perjalanan umat Islam. Perang ini menjadi lentera penerang jalan kaum muslimin dan membawa mereka kepada kemenangan yang langgeng.

Merangkum buku Dua Sahabat Penakluk Abu Jahal karya Fadila Harum, dua pemuda Anshar bernama Muadz bin Amr dan Muawwidz bin Atra adalah orang yang sedih melihat Nabi Muhammad SAW dimusuhi oleh Abu Jahal. Meskipun pada saat Perang Badar kedua sahabat itu masih berusia belasan tahun, Nabi Muhammad SAW melihat potensi yang bagus dari diri mereka untuk berperang.

Melihat Abu Jahal di Medan perang, Muadz dan Muawwidz tidak ragu untuk mendekati Abu Jahal. Dengan gagah berani keduanya bersama-sama menghadapi prajurit-prajurit Quraisy dan dapat berhadapan langsung dengan Abu Jahal.

Dikisahkan bahwa Mu’awwidz berhasil menyabet kaki Abu Jahal hingga tersungkur sekarat. Dia tidak dapat bergerak namun masih cukup sadar untuk merasakan azabnya.

Saat berada diambang kematian, Abu Jahal masih sempat menatap Abdullah bin Mas’ud seraya berkata, “Beritahukanlah kepada Nabi kalian bahwa saya telah membencinya sepanjang hidup saya, dan bahkan sampai saat ini, api kebencian masih membara di hati saya.”

Kemudian, Abdullah bin Mas’ud memenggal kepala Abu Jahal. Kepala Abu Jahal dibawa ke Nabi Muhammad SAW sedangkan mayatnya dilemparkan ke dalam sumur tempat mayat-mayat kaum musyrik dilemparkan, yakni di dalam sumur Badar.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Istri Abu Lahab, Perempuan Tukang Gosip yang Tercatat dalam Al-Qur’an



Jakarta

Nama Abu Lahab tercatat dalam Al-Qur’an. Namanya bersanding dengan sang istri yang disebutkan sebagai tukang fitnah.

Abu Lahab adalah sebutan untuk salah satu paman Nabi Muhammad SAW. Nama aslinya Abdul Uzza bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Namanya kemudian diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai seorang penentang Islam.

Mengutip buku Terjemah Juz Amma dan Al-Ma`tsurat Lengkap yang disusun Lingkar Kalam, Abu Lahab memiliki seorang istri yang juga namanya tercatat dalam Al-Qur’an. Ia adalah Ummu Jamil Aura’ yang juga disebut Hindun.


Dalam surat Al-Lahab ayat 1-5, Allah SWT berfirman,

تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ

Artinya: 1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.

مَآ أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُۥ وَمَا كَسَبَ

2. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.

سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.

وَٱمْرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلْحَطَبِ

4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.

فِى جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍۭ

5. Yang di lehernya ada tali dari sabut.

Surat ini menegaskan bahwa Abu Lahab akan merasakan api neraka yang bergejolak, demikian juga sang istri.

Abu Lahab dan Istrinya Menentang Ajaran Islam

Merangkum buku Menapak Jalan Surga Para Muslimah Terdahulu oleh Ririn Astutiningrum dikisahkan beberapa perbuatan buruk yang dilakukan Abu Lahab dan istrinya untuk menentang ajaran Islam yang dibawa Rasulullah SAW.

Suatu hari, setelah menerima wahyu kerasulan, Nabi Muhamamd mengundang para kerabatnya yang berjumlah 45 orang, termasuk Abu Lahab. Rasulullah SAW mengajak untuk menyembah Allah SWT dan meninggalkan berhala sebagai sesembahan.

Abu Lahab dan sang istri secara terang-terangan menolak seruan Rasulullah SAW. Ia marah dan menganggap Rasulullah SAW menentang ajaran leluhur mereka.

Istri Abu Lahab, Ummu Jamil juga menjadi sosok perempuan yang membenci Rasulullah SAW. Seringkali ia menabur duri di jalanan yang hendak dilewati Rasulullah SAW.

Istri Abu Lahab Si Tukang Gosip dan Penyebar Fitnah

Dalam buku berjudul Wahai Istri, Selamatkan Suami dan Anak-anakmu dari Siksa Kubur oleh Ustadz M. Al Farbi disebutkan Istri Abu Lahab adalah sosok perempuan penghasut, tukang fitnah dan penyebar gosip.

Al-Qur’an menyebut istri Abu Lahab sebagai perempuan pembawa kayu bakar. Allah SWT berfirman dalam surat Al Lahab ayat 4, “Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.”

Sebagian ulama tafsir mengatakan, istilah ‘pembawa kayu bakar’ diisyaratkan sebagai semak berduri yang diangkut dari hutan dan disebar di jalan yang hendak dilalui Rasulullah SAW. Tetapi sebagian ulama mengartikan kayu bakar sebagai fitnah atau umpatan. Qatadah menjelaskan, Istri Abu Lahab disebutkan sebagai sosok yang menyiarkan berita yang tidak benar tentang Rasulullah SAW.

Dalam buku Al Qur’an Terjemah dan Tafsir oleh Maulana Muhammad Ali, diriwayatkan bahwa istri Abu Lahab mati karena lehernya tercekik oleh tali yang biasa dia gunakan untuk mengikat semak berduri. Istri Abu Lahab, si pembawa fitnah dan umpatan itu memiliki akhlak yang rendah yang memakai jerat atau serabut pohon di lehernya.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perang Uhud dan Kesalahan Fatal Penyebab Kalahnya Pasukan Muslim


Jakarta

Perang Uhud adalah peristiwa bersejarah dalam Islam di masa Rasulullah SAW. Terjadinya perang ini disebabkan karena kekalahan pada perang sebelumnya.

Perang Uhud adalah upaya balas dendam dari kaum Quraisy setelah kekalahan mereka di Perang Badr. Pernyataan tersebut ditulis dalam buku Sang Panglima Tak Terkalahkan “Khalid Bin Walid” karya Hanatul Ula Maulidya. Perang Uhud terjadi pada 15 Syawal di Tahun ketiga Hijriyah (325 M).


Dalam pertempuran ini, Nabi Muhammad SAW mengerahkan 1.000 pasukan, tetapi 300 di antaranya, yang dipimpin oleh Abdullah ibn Abi al-Munafik, membelot. Akibatnya, pasukan Rasulullah tersisa 700 orang, termasuk 50 penunggang kuda.

Menghadapi jumlah musuh yang lebih banyak, Nabi Muhammad SAW menyusun strategi dengan menempatkan pasukan di atas Jabal Uhud untuk menghadapi perang ini.

Persiapan Kedua Pihak Menghadapi Perang

Merangkum buku Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Setelah kalah di Perang Badr, kebencian masyarakat Makkah terhadap kaum Muslim semakin membara. Quraisy merasa kehilangan banyak pemimpin dan bertekad untuk membalas dendam, sehingga mereka melarang penduduk Makkah meratapi korban Badr dan menunda tebusan tawanan agar kaum Muslim tidak merasa lebih unggul.

Quraisy sepakat untuk melancarkan serangan besar-besaran sebagai bentuk balas dendam. Pemimpin seperti Ikrimah bin Abu Jahl, Shafwan bin Umayyah, dan Abu Sufyan bin Harb sangat antusias dalam persiapan ini. Mereka mengumpulkan barang dagangan yang hilang dan menggugah semangat warga kaya untuk memberikan dukungan finansial. Shafwan membujuk penyair Abu Azzah untuk membantu membangkitkan semangat kabilah-kabilah.

Setelah setahun persiapan, mereka berhasil mengumpulkan sekitar tiga ribu prajurit, termasuk lima belas wanita untuk memberikan semangat. Pasukan ini terdiri dari tiga ribu unta, dua ratus orang penunggang kuda, dan tujuh ratus prajurit bersenjata. Abu Sufyan ditunjuk sebagai komandan tertinggi, dengan Khalid bin Al-Walid memimpin pasukan berkuda.

Sementara itu, di Madinah, umat Islam dalam keadaan siaga. Setiap Muslim siap siaga dengan senjata, bahkan saat salat. Juga ada sekumpulan Anshar seperti Sa’d bin Mu’adz yang selalu menjaga dekat Rasulullah SAW.

Di setiap pintu gerbang Madinah terdapat penjaga untuk mengantisipasi serangan mendadak. Selain itu, sejumlah muslim bertugas memata-matai gerakan musuh, berkeliling di jalur-jalur yang mungkin dilalui para musyrik untuk menyerang orang-orang Muslim.

Meletusnya Bara Peperangan

Merangkum kembali dari sumber sebelumnya, saat pertempuran dimulai, dua pihak saling mendekat. Thalhah bin Abu Thalhah Al-Abdari, pembawa bendera musyrik dan penunggang kuda Quraisy yang terkenal berani, muncul menantang adu tanding sambil menunggang unta.

Tak seorang pun berani menyambut tantangannya karena ketakutan akan keberaniannya. Namun, Az-Zubair akhirnya maju dengan semangat, melompat seperti singa, dan sebelum Thalhah bisa turun dari untanya, Az-Zubair menusukkan pedangnya, membuat Thalhah terjatuh dan tewas.

Nabi Muhammad SAW yang menyaksikan pertarungan ini segera mengangkat suaranya dalam takbir, yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Beliau memuji Az-Zubair dan bersabda, “Sesungguhnya setiap Nabi itu mempunyai pengikut setia. Adapun pengikut setiaku adalah Az-Zubair.”

Setelah Az-Zubair mengalahkan Thalhah bin Abu Thalhah, pertempuran semakin memanas, terutama di kalangan pasukan musyrik. Pertempuran berkecamuk di seluruh medan, sementara umat Islam, dipenuhi iman, menyerbu musuh dengan semangat, berteriak “Matilah, matilah!” selama Perang Uhud.

Di titik lain, Wahsy bin Harb, seorang budak dari Habasyah yang mahir melempar tombak, melihat Hamzah bin Abdul Muththalib yang bertarung dengan gagah, mengalahkan banyak musuh. Wahsy bersembunyi di balik batu dan pohon, menunggu kesempatan.

Saat Hamzah sedang bertarung dengan Siba’ bin Abdul Uzza dan berhasil membunuhnya, Wahsy memanfaatkan momen itu. Dia melemparkan tombaknya, mengenai perut bagian bawah Hamzah hingga tembus ke selangkangan. Hamzah terluka parah dan akhirnya jatuh dan meninggal.

Perang Uhud semakin berjalan dengan cepat. Kaum Muslim yang berperang di garis depan awalnya tidak menyadari perkembangan situasi yang terjadi. Namun, begitu mereka mendengar suara Rasulullah SAW, mereka segera bergegas menghampiri beliau.

Setibanya di lokasi, mereka menemukan keadaan yang mengkhawatirkan. Rasulullah SAW terluka, enam orang Anshar tewas, dan orang lainnya terluka parah, sementara Sa’d dan Thalhah masih bertarung dengan berani.

Para sahabat segera menggunakan tubuh dan senjata mereka untuk melindungi Rasulullah SAW dari serangan musuh. Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW, adalah orang yang pertama tiba dan melihat Thalhah yang dengan gagah berani melindungi Rasulullah SAW.

Bersama Abu Ubaidah, ia berusaha melepaskan dua keping rantai topi besi yang menancap di pipi Nabi Muhammad SAW. Abu Ubaidah bahkan rela menggunakan giginya untuk mencabut kepingan besi tersebut, meskipun hal itu menyebabkan giginya goyah.

Setelah melewati situasi yang sangat berbahaya, sahabat lebih banyak berkumpul untuk melindungi sekitar Rasulullah SAW, termasuk Abu Dujanah, Mush’ab bin Umair, dan Ali bin Abu Thalib.

Kesalahan Fatal Penyebab Kalahnya Prajurit Muslim

George F Nafziger dalam bukunya Islam at War menggambarkan keadaan dalam kekalahan perang Uhud. Saat perang berlangsung, pasukan muslim sempat unggul.

Keunggulan ini disebabkan karena strategi Rasulullah SAW dalam menempatkan 150 pasukan pemanah di atas bukit untuk melindungi pasukan yang ada di bawah bukit.

Rasulullah menginstruksikan pasukan pemanah agar jangan berpindah posisi, apapun yang terjadi.

Akan tetapi imbauan Rasulullah ini tidak dihiraukan. Ketika pasukan Quraisy berjatuhan, pemanah muslimin justru berbondong-bondonv turun dari bukit untuk berebut harta rampasan perang.

Hal inilah yang menjadi penyebab pasukan Quraisy yang sebelumnya sudah mundur menjadi kembali karena aman dari ancaman pemanah.

Dalam Perang Uhud, sahabat Nabi Muhammad SAW yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib ikut gugur. Ia dibunuh oleh Wahsyi bin Harb, seorang budak Quraisy yang kemudian masuk Islam.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com