Category Archives: Kisah

Salahuddin Al-Ayyubi, Panglima Islam yang Menangkan Perang Salib



Jakarta

Salahuddin Al-Ayyubi merupakan satu dari sekian banyak muslim yang berjasa dalam sejarah penyebaran Islam. Sebagai seorang pahlawan, jasanya pada medan perang sangat berarti.

Saking berjasanya, Salahuddin Al-Ayyubi mendapat gelar al-Malik al-Nashir yang berarti penguasa bijaksana. Pria yang juga dikenal sebagai Yusuf bin Ayyub itu lahir di Tikrit, Irak pada 532 H/1137 M.

Menukil dari buku Sejarah Islam tulisan Mahayudin Hj Yahaya, Salahuddin Al-Ayyubi merupakan putra dari seorang Gubernur Baalbek yaitu Najm ad-Din Ayyub. Ia menghabiskan masa kecilnya di Damaskus dengan belajar.


Tak hanya mempelajari Islam, Salahuddin Al-Ayyubi juga menempuh pembelajaran militer dari pamannya yang bernama Asaddin Syirkuh, panglima perang Turki Saljuk. Bersama sang paman, Salahuddin menguasai Mesir dan mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimiyah.

Keberhasilan Salahuddin itu membuatnya diangkat sebagai panglima perang pada 1169 M. Ia merupakan sosok yang cerdas dalam menyusun strategi peperangan dan pemerintahan.

Salahuddin tidak membutuhkan waktu yang lama untuk memimpin Mesir dengan baik. Ia bahkan mendirikan dua sekolah besar untuk mengajarkan tentang Islam dengan benar. Kala itu, Salahuddin bertujuan menghapus ajaran Syi’ah yang menyebar di Mesir.

Sosok Salahuddin juga dikenal dengan kemenangannya dalam Perang Salib. Menurut buku 55 Tokoh Dunia yang Terkenal dan Paling Berpengaruh Sepanjang Waktu karya Wulan Mulya Pratiwi, Salahuddin Al-Ayyubi membutuhkan waktu panjang untuk mempersiapkan Perang Salib.

Persiapan itu mencakup fisik, strategi jitu serta rohani. Ia bahkan membangun benteng-benteng pertahanan yang kuat, perbatasan-perbatasan yang jelas, markas-markas perang dan kapal-kapal terbaik.

Salahuddin juga mendirikan rumah sakit serta menyuplai obat-obatan. Meski dirinya sedang sakit keras saat itu, ia tidak pernah menyurutkan niat untuk memperjuangkan tanah Nabi, Jerusalem.

Tekad Salahuddin bahkan makin kuat di tengah kondisinya yang seperti itu. Perjuangan pertama disebut dengan Perang Hathin atau perang pembuka.

Pasukan Salahuddin yang berjumlah 63.000 membunuh 30.000 pasukan salib dan menahan 30.000 lainnya.

Lalu, pada perjuangan selanjutnya di Kota Al-Quds dan Jerusalem banyak pasukan Salahuddin yang syahid. Ketika pasukan Salib memasang salib besar pada batu Shakharkh, hal ini membuat pasukan semakin bersemangat dan akhirnya berhasil memenangkan Perang Salib.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Umar RA dan Paman Rasulullah SAW saat Ingin Memperluas Masjid Nabawi



Jakarta

Umar bin Khattab RA adalah sosok sahabat Rasulullah SAW yang dikenal tegas namun bijaksana. Ia juga sosok yang amanah dan berbudi luhur.

Sepeninggal Rasulullah SAW, Umar RA bermaksud memperluas Masjid Nabawi. Rencana Umar RA ini sekaligus menjalankan wasiat Rasulullah SAW sebelum beliau wafat.

Mengutip buku Kisah Hidup Umar ibn Khattab karya Mustafa Murrad, dikisahkan suatu ketika Umar RA bertemu dengan paman Rasulullah SAW, Abbas ibn Abdul Muthalib.


Umar RA berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah berwasiat sebelum wafat. Beliau menginginkan penambahan jumlah masjid. Sesungguhnya rumahmu, wahai Abbas, sangatlah dekat dengan masjid. Maka berikanlah rumahmu itu untuk urusan masjid, dan kami akan memperluas masjid tersebut. Lalu kami akan mengganti rumahmu dengan tanah yang lebih luas.”

Abbas kemudian menjawab, “Aku tidak akan melakukannya.” Umar RA kemudian berkata, “Kalau begitu, aku akan mengambil rumahmu dengan paksa.” Abbas pun menjawab, “Itu bukan menjadi hakmu. Cari penengah untuk memutuskan perkara ini.”

Umar lalu bertanya, “Siapakah orang yang kau pilih itu?” Abbas menjawab, “Aku memilih Hudzaifah ibn al-Yaman.”

Umar RA dan Abbas kemudian menemui Hudzaifah yang akan dijadikan penengah untuk masalah ini. Saat itu, Hudzaifah sedang memegang jabatan tertinggi dari Umar RA sebagai khalifah. Ia adalah penasihat kekhalifahan dan negara. Ia yang akan memutuskan perkara antara Umar dan Abbas.

Umar dan Abbas duduk di hadapan Hudzaifah. Keduanya menceritakan duduk perkaranya. Hudzaifah lalu berkata, “Aku mendengar bahwa Nabi Daud bermaksud memperluas Baitul Maqdis. Daud menemukan sebuah rumah dekat Baitul Maqdis. Rumah itu milik anak yatim. Nabi Daud lantas memintanya dari anak yatim itu, tetapi ia enggan memberikannya. Daud pun berusaha mendapatkan rumah tersebut secara paksa. Lantas Allah SWT berfirman kepada Daud, “Sesungguhnya rumah yang bersih dari kezaliman adalah rumah-Ku.” Daud kemudian mengembalikan rumah tersebut kepada pemiliknya.

Umar dan Abbas tertegun mendengar cerita Hudzaifah itu. Abbas memandang Umar dan berkata, “Wahai Umar, apakah engkau masih ingin mengambil rumahku?” “Tidak” jawab Umar.

Abbas pun berkata, “Bersamaan dengan itu, aku telah memberikan rumahku untuk memperluas masjid Rasulullah SAW.”

Umar kemudian bisa memperluas Masjid Nabawi tanpa mengambil paksa rumah Abbas. Demikian pula Abbas yang secara ikhlas memberikan rumah tersebut untuk menjadi lahan perluasan masjid.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Penjaga Arasy saat Lupa Bacaan Tasbih dan Tahmidnya


Jakarta

Arasy merupakan singgasana Allah SWT yang sangat besar yang berada di atas langit ketujuh. Arasy dijaga oleh malaikat penjaga yang senantiasa berzikir memuliakan Allah SWT.

Namun, pada suatu hari, terdapat kejadian yang membuat malaikat tersebut terlupa akan bacaan zikirnya. Yakni ketika ia mendengar tangis Rasulullah SAW saat bertemu dengan seorang Arab Badui.

Simak kisah selengkapnya berikut ini yang dikutip dari kitab Silsilah al-Qashash, karya Saleh al-Munajjed yang terdapat dalam buku Kumpulan Kisah Teladan yang disusun oleh Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA dan H. Zamakhsyari Hasballah, Lc, MA, Ph.D.


Tangis Rasulullah yang Membuat Penjaga Arasy Lupa Bacaan Zikirnya

Suatu hari, Rasulullah SAW sedang melakukan tawaf di Ka’bah. Ketika itu, beliau mendengar seseorang di hadapannya yang bertawaf sambil berzikir, “Ya Karim! Ya Karim!”

Mendengar hal tersebut, Rasulullah SAW ikut meniru orang itu dan mengucapkan, “Ya Karim! Ya Karim!”

Orang tersebut kemudian berhenti di sudut Ka’bah dan kembali berzikir, “Ya Karim! Ya Karim!”

Rasulullah SAW yang berada di belakangnya mengulangi lagi zikir tersebut, “Ya Karim! Ya Karim!”

Merasa dirinya diejek, orang itu menoleh ke belakang dan melihat seorang lelaki yang sangat tampan dan gagah, yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Orang itu pun berkata, “Wahai orang tampan, apakah engkau sengaja mengejekku hanya karena aku ini orang Badui? Kalau bukan karena ketampanan dan kegagahanmu, aku akan melaporkanmu kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.”

Rasulullah SAW tersenyum lalu berkata, “Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab?”

Orang itu menjawab, “Belum.”

Rasulullah SAW bertanya, “Lalu bagaimana kamu beriman kepadanya?” Orang Arab Badui itu menjawab, “Aku beriman kepada kenabiannya meski aku belum pernah melihatnya, dan aku membenarkan bahwa dialah utusan Allah walaupun aku belum pernah bertemu dengannya.”

Rasulullah SAW berkata, “Wahai orang Arab, ketahuilah bahwa aku ini adalah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat.”

Mendengar hal tersebut, orang Badui itu terkejut dan berkata, “Tuan ini Nabi Muhammad?”

Rasulullah SAW menjawab, “Ya.”

Seketika itu, orang tersebut tunduk dan mencium kedua kaki Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW segera menariknya dan berkata, “Wahai orang Arab, janganlah berbuat seperti itu. Perbuatan seperti ini biasa dilakukan seorang hamba sahaya kepada tuannya. Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk menjadi orang yang takabur atau minta dihormati, tetapi untuk membawa berita gembira bagi yang beriman dan membawa peringatan bagi yang mengingkarinya.”

Kemudian, Malaikat Jibril turun membawa pesan dari langit, “Wahai Muhammad, Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: ‘Katakan kepada orang Arab itu agar tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah bahwa Allah akan menghisabnya di Hari Mahsyar nanti dan menimbang semua amalannya, baik yang kecil maupun yang besar.'”

Setelah mendengar pesan tersebut, orang Arab Badui itu berkata, “Demi keagungan Allah, jika Allah memperhitungkan amal hamba-Nya, maka hamba pun akan membuat perhitungan dengan-Nya.” Orang itu melanjutkan, “Jika Allah menghitung dosa hamba, maka hamba akan menghitung betapa besar maghfirah-Nya. Jika Dia menghitung kebakhilan hamba, maka hamba akan menghitung betapa luas kedermawanan-Nya.”

Mendengar ucapan itu, Rasulullah SAW menangis, hingga air matanya membasahi janggutnya.

Lalu, Malaikat Jibril turun lagi dan berkata, “Ya Muhammad, Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu dan berfirman: ‘Berhentilah engkau menangis. Karena tangisanmu, penjaga Arasy lupa bacaan tasbih dan tahmidnya hingga Arasy bergoncang. Katakan kepada orang Arab itu bahwa Allah tidak akan menghisabnya, tidak akan menghitung kemaksiatannya, dan dia akan menjadi temanmu di surga.'”

Mendengar kabar tersebut, orang Arab Badui itu menangis haru karena tidak mampu menahan rasa syukur dan kebahagiaan.

(inf/lus)



Sumber : www.detik.com

Ini ‘Manusia Bertangan Emas’ yang Banyak Sedekah Bikin Hartanya Melimpah


Jakarta

Abdurrahman bin Auf adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai pedagang ulung dan dermawan. Kekayaannya yang melimpah tidak membuatnya lupa akan kewajibannya kepada Allah SWT, justru semakin banyak hartanya, semakin besar pula sedekah yang ia berikan di jalan kebaikan.

Sebagai seorang yang dijuluki “Manusia Bertangan Emas,” Abdurrahman bin Auf tidak hanya sukses dalam bisnis, tetapi juga menjadi teladan dalam berbagi dan membantu sesama.

Kedermawanannya tercatat dalam sejarah Islam. Ia selalu menyumbangkan hartanya demi perjuangan agama, membantu kaum Muslimin, serta menjaga kesejahteraan keluarga Nabi Muhammad SAW.


Kedermawanan Abdurrahman bin Auf

Dalam buku Dahsyatnya Ibadah, Bisnis, dan Jihad Para Sahabat Nabi yang Kaya Raya karya Ustadz Imam Mubarok Bin Ali, sebelum memeluk Islam, ia dikenal dengan nama Abdu Amru, meskipun ada pendapat lain yang menyebutkan namanya adalah Abdul Ka’bah.

Setelah masuk Islam, Rasulullah SAW mengganti namanya menjadi Abdurrahman bin Auf, nama yang kini lebih dikenal dalam sejarah Islam. Ia lahir pada tahun kesepuluh setelah peristiwa Tahun Gajah, sekitar tahun 581 M, yang membuatnya sepuluh tahun lebih muda dari Rasulullah SAW.

Selain dikenal sebagai saudagar ulung, ia juga seorang sahabat yang selalu bersegera dalam berinfak dan menginfakkan hartanya di jalan Allah SWT.

Diceritakan dalam buku Kisah 10 Pahlawan Surga oleh Abu Zaein, suatu hari Rasulullah SAW memimpin pasukan Muslim menuju Tabuk untuk menghadapi ancaman dari bangsa Romawi.

Saat itu, buah-buahan di Madinah belum matang, sehingga masyarakat tidak dapat menjualnya atau menyedekahkannya kepada pasukan. Situasi ini membuat kaum Muslimin merasa khawatir.

Namun, demi menegakkan perintah Allah SWT, Abu Bakar menyumbangkan seluruh hartanya, sementara Umar bin Khattab memberikan setengah dari kepemilikannya. Utsman bin Affan juga turut menyumbangkan hartanya. Meskipun demikian, jumlah yang terkumpul masih belum mencukupi.

Di tengah kekhawatiran itu, Abdurrahman bin Auf datang membawa kantong berisi dua ratus keping emas dan menyerahkannya kepada Rasulullah SAW. Para sahabat terkejut melihat kemurahan hatinya, bahkan Umar sempat mengira bahwa Abdurrahman ingin menebus kesalahan dengan cara ini.

Rasulullah kemudian bertanya kepadanya, “Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, wahai Abdurrahman?”

Dengan penuh keyakinan, Abdurrahman menjawab, “Aku tinggalkan banyak untuk mereka, lebih banyak daripada yang aku sedekahkan ini.”

Rasulullah kembali bertanya, “Seberapa banyak yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?”

Ia pun menjawab, “Aku meninggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka.” Mendengar jawaban itu, Rasulullah dan para sahabat merasa kagum atas keikhlasannya.

Kedermawanan Abdurrahman bin Auf juga terlihat dalam peristiwa lain. Suatu ketika, penduduk Madinah dikejutkan oleh suara gemuruh yang dikira berasal dari serangan musuh. Namun, suara itu ternyata berasal dari iring-iringan kafilah dagang milik Abdurrahman yang terdiri dari tujuh ratus unta penuh muatan.

Saat itu, Aisyah RA mengingatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Aku melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merayap.” Mendengar hal ini, Abdurrahman tanpa ragu menyedekahkan seluruh kafilahnya, termasuk barang dagangan, pelana, dan perlengkapannya, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Warisan Abdurrahman bin Auf

Ketika Abdurrahman bin Auf ikut serta dalam Perang Uhud, ia menderita 20 luka, salah satunya menyebabkan kakinya cacat permanen. Ia bahkan kesulitan berbicara karena giginya patah akibat serangan.

Menjelang akhir hayatnya, Abdurrahman merasa khawatir bahwa kekayaannya akan menjadi penghalang bagi dirinya untuk masuk surga, meskipun ia sudah dijamin untuk mendapatkan tempat di surga.

Ia mewasiatkan 500 dinar untuk perjuangan di jalan Allah SWT dan 400 dinar untuk setiap orang yang berpartisipasi dalam Perang Badar.

Abdurrahman bin Auf meninggal pada tahun 31 H, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa ia wafat pada tahun 32 H, pada usia 75 tahun. Beliau meninggalkan 28 anak lelaki dan 8 anak perempuan. Meskipun hampir seluruh hartanya telah disumbangkan untuk jalan Allah, ia masih meninggalkan warisan yang sangat banyak bagi anak-anaknya.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perjanjian Hudaibiyah, Bukti Syiar Islam Penuh Kedamaian


Jakarta

Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian damai yang dilakukan Nabi SAW atau umat Islam dengan kaum Quraisy. Perjanjian ini terjadi pada bulan Dzulqa’dah, tahun 6 Hijriah.

Perjanjian Hudaibiyah membuktikan Islam tidak disebarkan dengan peperangan, tetapi dianut secara sukarela dalam kondisi damai. Terbukti dalam waktu dua tahun setelah perjanjian, jumlah orang yang memeluk Islam melebihi kaum muslim yang masuk Islam sebelum disepakatinya perjanjian.

Simak kisah terjalinnya Perjanjian Hudaibiyah yang dikutip dari buku Dakwah Rasulullah: Sejarah & Problematika oleh M. Yunan Yusuf di bawah ini.


Latar Belakang Perjanjian Hudaibiyah

Enam tahun setelah hijrah ke Madinah, kaum muslim rindu dengan Makkah yang merupakan kampung halaman mereka. Mereka ingin berziarah ke Kakbah sembari melaksanakan ibadah haji dan umrah.

Pada bulan Dzulqa’dah, Rasulullah SAW bersama para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar berangkat menuju Makkah. Diriwayatkan jumlahnya sebanyak 1.400 orang dengan membawa 70 ekor unta sebagai binatang kurban.

Istri Nabi yang ikut dalam perjalanan ini adalah Ummu Salamah. Ketika rombongan sampai di Dzulhulaifah, mereka mulai mengucapkan talbiyah.

Berita rombongan Nabi SAW terdengar oleh orang musyrik Makkah. Mereka kemudian menyiapkan pasukan berkuda sejumlah 200 orang yang dipimpin oleh Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal. Pasukan ini bergerak mendekati rombongan umat Islam dan berkemah di Dzu Thuwa.

Kaum muslim terus bergerak menuju Makkah dan sesampainya di ‘Usfan, mereka bertemu seseorang dari Bani Ka’ab. Rasul SAW bertanya berita tentang kaum Quraisy dan orang itu mengatakan bahwa mereka sudah mendengar perjalanan kaum muslim dan mengutus pasukan berkudanya.

Mendengar itu, Nabi SAW khawatir terjadi pertumpahan darah padahal sejak awal beliau bermaksud memasuki Makkah dengan tenteram. Rasulullah SAW kemudian menyerukan siapa di antara rombongan yang mengetahui jalan lain mencapai Makkah dan akhirnya mereka menempuh jalur Hudaibiyah, yang terletak di sebelah bawah Kota Makkah.

Kaum Quraisy mengirimkan seorang utusan dari Bani Khuza’a bernama Budail bin Warqa untuk menanyakan tujuan rombongan umat Islam datang ke Makkah. Setelah bertemu Nabi SAW, Budail menyampaikan kepada musyrik Quraisy bahwa rombongan tersebut datang untuk berziarah ke Kakbah dan bukan untuk berperang.

Laporan tersebut tidak disukai mereka karena kaum Musyrik menginginkan peperangan. Untuk kesekian kalinya, Quraisy mengutus seseorang dan kali ini berasal dari Bani Ahabisy dengan utusan bernama Hulais yang diperintahkan untuk menanyakan kembali maksud kedatangan kaum muslim ke Makkah.

Tatkala melihat Hulais, Rasulullah SAW melepaskan hewan kurban sehingga terlihat jelas di matanya bahwa kedatangan mereka dengan tujuan berziarah bukan berperang. Tanpa menemui Nabi SAW, Hulais kembali dan menceritakan apa yang dilihat dengan matanya serta bersaksi bahwa maksud kedatangan mereka adalah benar berziarah.

Lagi-lagi utusan dikirimkan oleh musyrik Quraisy, kali ini Urwah bin Mas’ud. Setelah mendapat penjelasan panjang lebar dari Rasul SAW, ia kembali dan menceritakan kepada kaum Quraisy:

“Saudara-saudara, saya sudah pernah bertemu dengan Kisra, dengan Kaisar, dan dengan negus di kerajaan mereka masing-masing. Tetapi belum pernah saya melihat seorang raja dengan rakyatnya seperti Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu. Begitu ia hendak mengambil wudhu, sahabat-sahabatnya sudah lebih dahulu bergegas. Begitu mereka melihat ada rambutnya yang jatuh, cepat-cepat pula mereka mengambilnya. Mereka tidak akan menyerahkannya bagaimanapun juga. Pikirkanlah kembali baik-baik.”

Suatu malam, sekitar 50 orang kaum Quraisy mendekati kemah Nabi SAW dan melemparinya dengan batu. Kemudian mereka tertangkap dan beliau memaafkannya. Rasulullah SAW ingin menempuh jalur damai karena menghormati bulan suci dan menghindari pertumpahan darah karena Hudaibiyah adalah bagian dari Tanah Suci Makkah.

Saat Nabi SAW coba mengirim utusan, beliau menunjuk Umar bin Khattab tapi ditolak olehnya. Umar khawatir Quraisy menyerangnya mengingat tindakan tegas yang selama ini ia lakukan terhadap mereka. Akhirnya, Utsman bin Affan lah yang dipilih.

Ketika Utsman bertemu Abu Sufyan, ia diperintahkan untuk menghentikan keinginan kaum muslim untuk masuk ke Makkah. Perundingan berlangsung cukup lama hingga muncul isu bahwa Utsman dibunuh oleh kaum Quraisy.

Akibat isu kematian Utsman ini, Rasulullah SAW membuat baiat atau sumpah setia yang terkenal dengan nama Bai’atur Ridhwan, yang terjadi di bawah pohon Samrah. Baiat ini yang menjadi asbabun nuzul-nya Surah Al-Fath ayat 18.

لَقَدْ رَضِيَ اللّٰهُ عَنِ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَيْهِمْ وَاَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيْبًاۙ – 18

Artinya: “Sungguh, Allah benar-benar telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Nabi Muhammad) di bawah sebuah pohon. Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia menganugerahkan ketenangan kepada mereka dan memberi balasan berupa kemenangan yang dekat,”

Beberapa saat setelah baiat berlangsung, Utsman kembali namun baiat tetap berlaku. Penegasan Utsman mengenai tujuan kedatangan kaum muslim ke Makkah sebenarnya sudah diterima oleh musyrik Quraisy, tapi mereka tidak ingin kehilangan muka di hadapan suku Arab lainnya.

Kemudian dikirimkan utusan lagi dari pihak Quraisy yaitu Suhail bin Amr dari Bani Amir bin Luai untuk berunding dan membuat kesepakatan terbaik bersama Nabi SAW.

Penulisan Naskah Perjanjian Hudaibiyah

Sesampainya di Hudaibiyah, Suhail bin Amr meminta kaum muslim membatalkan ziarahnya ke Kakbah pada tahun tersebut karena orang-orang musyrik Makkah sudah berada dalam posisi serba sulit. Akhirnya, kedua belah pihak mengadakan perjanjian. Rasulullah SAW memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menulis naskah perjanjian tersebut.

Nabi SAW meminta Ali mulai menuliskan kalimat “Bismillahirrahmanirrahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Saat hendak menulisnya, Suhail, berkata: “Berhenti! Nama Rahman dan Rahim ini tidak saya kenal. Tapi tulislah Bismikallahumma (Dengan nama-Mu ya Allah).”

Mendengar itu, Rasul SAW menerimanya sembari menyuruh Ali menuliskan kata tersebut. Beliau SAW berkata lagi kepada Ali: “Tulislah, inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr.” Untuk kedua kalinya, Suhail menghentikan Ali yang hendak menuliskan naskah dalam perjanjian: “Berhenti! Jika saya mengakui engkau sebagai seorang Rasul Allah, tentu saya tidak memerangimu. Tetapi tulislah namamu dan nama bapakmu.”

Nabi SAW pun meminta Ali menulis seperti apa yang diinginkan oleh Suhail tersebut. Padahal, beliau SAW tidak begitu mempersoalkan redaksi perjanjian tersebut. Akhirnya, kesepakatan antara kaum muslim dan musyrik Quraisy yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah selesai dibuat.

Berikut naskah Perjanjian Hudaibiyah yang dikutip dari Sirah Nabawiyyah oleh Ibnu Hisyam yang ditahqiq oleh Musthafa al-Saqa:

“Bismikallahumma. Inilah perdamaian Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amr, bahwa kedua belah pihak berdamai untuk menghentikan perang selama 10 tahun, masing-masing memberikan keamanan selama jangka waktu tersebut, masing-masing pihak menahan diri dari pihak lainnya. Barang siapa dari golongan Quraisy yang datang kepada Muhammad tanpa seizin walinya harus dikembalikan kepada mereka, dan barang siapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan Kita harus komitmen dengan isi perdamaian, pencurian rahasia dan pengkhianatan tidak diperkenankan. Bahwa barang siapa dari masyarakat Arab yang senang mengadakan persekutuan dengan Muhammad diperbolehkan; dan barang siapa yang senang mengadakan persekutuan dengan Quraisy diperbolehkan. Bahwa engkau (Muhammad) pulang dari tempat kami tahun ini dan tidak boleh masuk ke Makkah tahun ini. Tahun depan, kami ke luar Makkah, kemudian engkau memasuki Makkah bersama sahabat-sahabatmu. Engkau berada di sana selama 3 hari dengan membawa senjata layaknya musafir yaitu pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain.”

Isi Perjanjian Hudaibiyah

Dari naskah tersebut, isi Perjanjian Hudaibiyah setidaknya terdiri dari 7 poin berikut:

  • Kedua belah pihak bersedia damai dan menghentikan perang selama 10 tahun, dengan masing-masing pihak menjamin keamanan satu sama lain selama jangka waktu tersebut dan masing-masing menahan dirinya dari pihak lain.
  • Pelaksanaan ibadah haji pada tahun tersebut ditangguhkan hingga tahun berikutnya.
  • Lama kunjungan ibadah haji tahun berikutnya hanya 3 hari dan tidak diperbolehkan membawa senjata selain pedang tersarung.
  • Harus mengembalikan orang Quraisy yang memeluk Islam tanpa seizin walinya.
  • Kaum Quraisy tidak wajib mengembalikan umat Islam (pengikut Muhammad) yang menjadi pengikut mereka.
  • Orang-orang Arab diperbolehkan bersekutu dengan Muhammad dan kaum Quraisy.
  • Kedua belah pihak harus menaati isi perjanjian damai. Demikian tidak diperbolehkan pencurian rahasia dan pengkhianatan.

Hikmah Perjanjian Hudaibiyah

Isi Perjanjian Hudaibiyah dapat disimpulkan cukup merugikan kaum muslim, tapi di balik kesepakatan itu terdapat hikmah besar antara lain proses dakwah Islam menjadi lebih mudah.

Sejak disepakatinya perjanjian ini, mengutip buku Fikih Sirah oleh Said Ramadhan Al-Buthy, umat Islam bisa bergaul dengan rukun bersama orang-orang musyrik Makkah dengan berbincang dan berdiskusi. Dengan begitu, kaum muslim dapat berdakwah kepada mereka secara aman dengan memperdengarkan Al-Qur’an serta mengajak untuk memeluk Islam tanpa dihantui rasa takut. Banyak muslim yang terang-terangan menampakkan keislamannya padahal sebelumnya tidak berani.

Karena suasananya damai, Rasulullah SAW juga berdakwah secara tertulis dengan mengirim surat kepada raja-raja dan kepala negara tetangga untuk mengajak mereka memeluk Islam. Hal ini tentunya sebuah kemajuan dalam dimensi dakwah karena sebelumnya beliau SAW berdakwah secara lisan saja.

Dalam waktu dua tahun usai Perjanjian Hudaibiyah, jumlah orang yang memeluk Islam telah melebihi kaum muslim yang masuk Islam sebelum perjanjian itu.

Di sisi lain, Perjanjian Hudaibiyah merupakan peristiwa pendahuluan bagi Fathu Makkah atau Penaklukkan Makkah. Ibnu Qayyim menyebut kesepakatan damai ini menjadi pintu gerbang sekaligus kunci menuju peristiwa lebih besar yaitu penaklukkan Kota Makkah.

(azn/row)



Sumber : www.detik.com

Kisah Allah Menukar Arak Menjadi Madu kepada Pemuda yang Berniat Tobat


Jakarta

Allah SWT sangat mencintai hamba-Nya yang bertobat. Ada berbagai kisah bagaimana Ia telah mengampuni hamba-Nya hendak bertobat bahkan sebelum tobatnya itu terlaksana.

Seperti salah satu kisah tentang seorang pemuda yang berniat tobat dari khamar. Kisah ini mengandung pelajaran berharga tentang kejujuran, tobat, dan kasih sayang Allah bagi hamba-Nya yang ingin kembali ke jalan yang benar.

Berikut kisahnya yang dikutip dari kitab Qashash Muatssirah li al-Syabab karya Iyyadh Faiz yang tercantum dalam buku Kumpulan Kisah Teladan yang disusun oleh Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA dan H. Zamakhsyari Hasballah, Lc, MA, Ph.D.


Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Al-Khattab berjalan di lorong-lorong Kota Madinah, mengamati keadaan rakyatnya. Saat mencapai sebuah persimpangan jalan, beliau melihat seorang pemuda yang tampak gelisah.

Pemuda itu membawa sebuah kendi yang ia sembunyikan di balik kain sarung yang diselempangkan di punggungnya. Gerak-geriknya mencurigakan, sehingga Umar bin Khattab pun bertanya dengan suara tegas, “Apa yang engkau bawa itu?”

Mendengar pertanyaan tersebut, pemuda itu menjadi panik dan gugup. Ia sangat takut akan kemarahan Umar yang terkenal dengan ketegasannya dalam menegakkan hukum Islam.

Dalam kepanikannya, ia spontan menjawab, “Ini adalah kendi berisi madu.”

Padahal, kenyataannya kendi tersebut berisi khamar (arak), minuman yang diharamkan dalam Islam.

Meski telah berbohong, pemuda itu sebenarnya sedang berada dalam pergulatan batin. Ia telah menyadari kesalahannya dan memiliki keinginan kuat untuk bertobat.

Namun, kebiasaan buruk itu sulit ia tinggalkan. Dalam hatinya, ia telah menyesali perbuatannya dan ingin berhenti dari kebiasaan minum khamar. Diam-diam, ia berdoa kepada Allah dengan penuh harap agar Umar tidak sampai memeriksa isi kendinya.

Namun, Khalifah Umar yang terkenal dengan ketegasannya tidak langsung percaya begitu saja. Beliau ingin memastikan kebenaran ucapan pemuda itu, lalu berkata, “Biar aku lihat sendiri isi kendi itu.”

Saat pemuda itu mendengar permintaan tersebut, ia semakin takut. Ia menyadari bahwa jika Umar mengetahui isi kendi itu adalah arak, ia akan dihukum berat. Dengan penuh ketakutan, dalam hati ia memohon kepada Allah SWT agar menyelamatkannya dari kemarahan sang khalifah.

Dalam keajaiban yang luar biasa, Allah SWT mengabulkan doa pemuda tersebut. Ketika Umar membuka tutup kendi dan melihat isinya, ternyata yang ada di dalamnya benar-benar madu, bukan lagi khamar.

Allah telah menggantikan isinya sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada hamba yang ingin bertobat dengan sungguh-sungguh. Pemuda itu sangat terharu dan semakin yakin bahwa Allah Maha Pengampun bagi siapa pun yang bersungguh-sungguh ingin meninggalkan keburukan.

Kisah ini menjadi pelajaran bahwa ketika seseorang memiliki niat yang ikhlas untuk bertobat, Allah akan membukakan jalan baginya. Dalam ajaran Islam, minum khamar merupakan dosa besar yang memiliki dampak spiritual yang berat. Rasulullah SAW bersabda,

“Seteguk khamar diminum, maka tidak diterima Allah amal fardhu dan sunatnya selama tiga hari. Dan siapa yang minum khamar dalam jumlah satu gelas, maka Allah tidak akan menerima sholatnya selama empat puluh hari. Dan orang yang tetap minum khamar, maka Allah akan memberinya minuman dari ‘Nahrul Khabal’.”

Ketika para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah Nahrul Khabal itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Itu adalah darah bercampur nanah dari ahli neraka.”

Kisah ini menjadi pengingat bahwa Allah Maha Pengampun, tetapi juga Maha Adil dalam memberikan balasan. Bagi siapa yang masih bergelimang dalam dosa, hendaklah segera bertobat sebelum ajal menjemput. Sebagaimana pemuda dalam kisah ini yang berniat untuk meninggalkan kemaksiatan, Allah SWT pun membantunya dengan cara yang tidak disangka-sangka.

Wallahu a’lam.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Burung Ababil Habisi Pasukan Abrahah yang Akan Hancurkan Ka’bah



Jakarta

Kisah burung ababil melindungi Ka’bah termaktub dalam Al-Qur’an. Kala itu, seorang Raja Yaman bernama Abrahah bersama pasukan bergajahnya ingin menyerang Ka’bah.

Menukil dari kitab Ar-Rahiqul Makhtum: Sirah Nabawiyah oleh Syeikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury yang diterjemahkan Faris Khairul Anam, nama lengkap Raja Abrahah adalah Abrahah al-Asyram. Ia memiliki ambisi yang kuat untuk membangun gereja megah di Shan’a kemudian diberi nama al-Qalis. Harapannya, gereja itu menjadi tempat ibadah terbesar menyaingi Ka’bah di Makkah.

Abrahah iri dengan kemajuan masyarakat Makkah karena Ka’bah. Keberadaan Ka’bah membuat kota tersebut ramai dikunjungi dan menyaingi kepopuleran gereja yang ia bangun di Shan’a, Yaman.


Adapun, terkait burung ababil yang diutus Allah SWT untuk menghancurkan pasukan gajah dikisahkan dalam surah Al Fiil ayat 3-5,

وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ ٣ تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍۙ ٤ فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ ࣖ ٥

Artinya: “Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).”

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, burung ababil tersebut muncul dengan gesit seperti walet. Paruh dan kedua cakarnya berwarna hitam.

Ababil dikirimkan oleh Sang Khalik untuk menghancurkan tentara bergajah. Setiap seekor ababil membawa tiga buah batu, satu terletak pada paruh dan dua lainnya mereka cengkram pada kakinya.

Diceritakan bahwa para gajah yang ditunggangi pasukan Abrahah sempat berhenti dan enggan melangkahkan kakinya untuk menyerang Ka’bah. Alih-alih menyerbu bangunan suci itu, para gajah berputar-putar di lembah Muhassir.

Merasa geram, Abrahah lantas mencambuk para gajah agar menurut. Sayangnya, pasukan mereka kehabisan akal dan merasa lelah karena gajah tersebut tetap enggan menyerang. Dalam kondisi itulah rombongan burung ababil muncul.

Burung-burung ini mengeluarkan suara dan menjatuhkan batu-batu tersebut. Siapa pun yang terkena batu dari burung ababil akan musnah.

Mengutip dari buku Rangkaian Cerita Al-Qur’an karya Bey Arifin, burung-burung ababil yang Allah SWT utus jumlahnya sangat banyak. Batu yang mereka bawa dinamakan Sijjil.

Pasukan Abrahah yang terkena batu tersebut menjadi hancur. Daging dan tulang mereka berjatuhan ke mana-mana dan tak seorang pun yang selamat dari hujaman batu yang dibawa burung Ababil.

Tentara Abrahah berhamburan mencari tempat berlindung. Sayangnya, azab Allah SWT mutlak dan seluruh pasukan Abrahah binasa.

Wallahu a’lam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Dalang Pencurian Hajar Aswad yang Gegerkan Jemaah Haji di Makkah


Jakarta

Hajar Aswad merupakan sebuah batu yang terletak di sudut tenggara Ka’bah. Ternyata, batu yang diyakini berasal dari surga ini pernah dicuri dan hilang selama 22 tahun. Siapa dalang pencurian hajar Aswad tersebut?

Pencurian hajar Aswad didalangi oleh Abu Tahir Al Qarmuthi yang kala itu menjadi pemimpin kelompok syiah Qarmatian. Pencurian terjadi pada 317 Hijriah atau 930 Masehi. Pada awalnya, kelompok Qarmatian datang di Makkah dari Bahrain sebelum waktu pelaksanaan haji.

Diceritakan dalam buku Jejak Sejarah di Dua Tanah Haram karya Mansya Aji Putra, kedatangan kelompok Qarmatian ditolak karena reputasi Abu Tahir sebagai pemimpin yang kejam. Untuk mengelabui masyarakat Makkah, kelompok Qarmatian pun mengucap sumpah bahwa mereka tidak akan berbuat kerusakan di Makkah.


Pada akhirnya, kelompok Qarmatian melanggar janji mereka. Kelompok Qarmatian melakukan perbuatan keji yaitu menyerang umat Islam yang tengah melaksanakan haji hari pertama. Di tengah kericuhan, Abu Tahir memerintahkan Ja’far bin Ilaj untuk mencopot hajar Aswad dari tempatnya. Kelompok Qarmatian juga melakukan perusakan di Ka’bah seperti mencuri sejumlah barang berharga di dalamnya, merobek kiswah atau penutupnya, melepas pintunya, hingga mengambil talang emasnya.

Tidak berhenti sampai di situ, kelompok Qarmatian bahkan melakukan pembantaian kepada jemaah haji di Ka’bah dan penduduk Makkah. Sebanyak 30 ribu jemaah yang sedang tawaf, iktikaf, dan salat dibunuh, lalu 3 ribu di antaranya dibuang ke sumur air zamzam.

Setelah tragedi berdarah tersebut, ibadah haji ditiadakan selama 8 tahun berturut-turut karena rasa takut dan trauma akan teror keji kelompok Qarmatian.

Hajar Aswad yang berhasil dicuri Abu Tahir dibawa ke Masjid al Dirar yang terletak di ibu kota baru negara mereka, al Hasa di Bahrain. Abu Tahir ingin mengubah masjid tersebut menjadi Tanah Suci dan mengarahkan orang-orang untuk berhaji di sana. Hajar Aswad pun disimpan di sana selama 22 tahun.

Setelah 22 tahun lamanya, akhirnya hajar Aswad dapat kembali ke Makkah setelah kekhalifahan Abbasiyah membayar sejumlah besar uang. Akan tetapi, hajar Aswad kembali dengan keretakan yang membaginya menjadi tujuh bagian. Untuk menjaga bentuknya, penjaga Ka’bah pun membingkai hajar Aswad dengan perak seperti yang dapat dilihat saat ini.

Upaya Perusakan Hajar Aswad

Masih dari sumber yang sama, tidak hanya upaya pencurian, ternyata terdapat pula beberapa upaya perusakan hajar Aswad setelah tragedi berdarah dengan kelompok Qarmatian.

Upaya pertama terjadi pada tahun 363 H. Seorang laki-laki asal Romawi menghampiri hajar Aswad, mengambil cangkul dan memukulkannya dengan kuat ke pojok tempat hajar Aswad hingga berbekas. Sebelum sempat mengulangi perbuatannya, seorang muslim asal Yaman datang dan menikamnya hingga roboh.

Berikutnya, pada 413 H, Bani Fatimiyah mengirim sebagian pengikutnya di bawah pimpinan Hakim al-Abidi untuk menghancurkan hajar Aswad. Setelah dipukul 3 kali menggunakan pahat, hajar Aswad pecah dan berjatuhan.

Selanjutnya, pada 990 H seorang lelaki asing datang membawa sejenis kapak yang dipukulkannya ke hajar Aswad. Pangeran Nashir menikam lelaki tersebut dengan belati hingga mati.

Keutamaan Hajar Aswad dan Sunahnya

Dalam buku Al-Bait karya Brilly El-Rasheed terdapat hadits yang menjelaskan keutamaan hajar Aswad. Rasulullah SAW bersabda,

“Barang siapa bersalaman dengannya (hajar Aswad), seolah-olah ia sedang bersalaman dengan Allah Yang Maha Pengasih.” (HR Ibnu Majah)

Menurut hadits lain yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah SAW memiliki kebiasaan mencium hajar Aswad hingga dianggap sebagai sunah tawaf. Ia berkata,

“Sesungguhnya Rasulullah SAW beristilam (menyentuh) Rukun Yamani dan Hajar Aswad setiap kali beliau tawaf.” (HR Muttafaq ‘alaih)

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rasulullah SAW saat Bertemu Penjual Gandum Tak Jujur



Jakarta

Berdagang memang diperbolehkan dalam Islam, namun dilarang menipu dan berbuat curang. Semasa hidup, Rasulullah SAW pernah bertemu penjual gandum yang tidak jujur dalam berdagang.

Kisah Rasulullah SAW bertemu pedagang gandum yang tidak jujur ini tertulis dalam buku berjudul 115 Kisah Menakjubkan Dalam Hidup Rasulullah yang ditulis Fuad Abdurrahman.

Dikisahkan suatu hari Rasulullah SAW melewati sebuah pasar bersama beberapa sahabat. Beliau ingin memastikan, tidak ada kecurangan dalam kegiatan jual beli di pasar.


Saat melihat seorang penjual gandum, Rasulullah SAW langsung menghampiri dan memandang gandum yang ditumpuk menjulang. Beliau mendekati dan memasukkan tangannya ke dalam tumpukan gandum itu.

Ketika mengecek gandum, ternyata jari jemari beliau menyentuh bagian bawah gandum yang basah dan hampir busuk.

Ternyata penjual gandum hendak berlaku curang. Ia meletakkan gandum yang bagus di atas gandum yang sudah jelek sehingga tak seorang pun yang melihatnya. Dengan begitu, ia telah menipu orang yang membeli gandumnya.

“Apa ini, hai pemilik gandum?” tanya Rasulullah SAW.

“Ini bagian yang terkena hujan, wahai Rasulullah,” jawab si pemilik gandum.

“Mengapa tidak kau simpan di bagian atas agar bisa dilihat para pembeli. Apakah kau sengaja menempatkan gandum yang basah ini di bawah gandum yang bagus agar tidak ada orang yang melihatnya?”

Pedagang itu diam saja.

Rasulullah SAW kembali berujar, “Barangsiapa menipu kami maka ia tidak termasuk golongan kami.”

Dalam riwayat lain dikatakan, “Barangsiapa membunuh saudaranya sesama Muslim maka ia bukan termasuk golongan kami. Dan barangsiapa menipu kami, ia bukan golongan kami.”

Dalam kisah lain diceritakan, suatu hari seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW dan menuturkan bahwa ia tertipu dalam sebuah transaksi. Setelah mendengar pengaduannya, beliau bersabda, “Saat bertransaksi dengan siapa pun, katakan: Jangan menipu!”

Sejak saat itu, ia selalu mengatakan “jangan menipu!” setiap kali hendak bertransaksi.

Menipu dan berbohong merupakan perbuatan tercela. Setiap muslim beriman dilarang untuk melakukan tindak penipuan.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesama muslim adalah saudara. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh menjual barang yang ada cacatnya kepada saudaranya kemudian ia tidak menjelaskan cacat tersebut.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Balasan bagi orang yang melakukan penipuan sungguhlah berat. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak masuk surga seorang penipu, orang yang menyebut-nyebut kebaikan (yang pernah ia berikan kepada orang lain), dan orang kikir.”

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com