Category Archives: Kisah

Julaibib, Sahabat Nabi yang Dirindukan Bidadari Surga



Jakarta

Nabi Muhammad SAW memiliki seorang sahabat yang tak begitu terkenal namun ia dirindukan bidadari-bidadari surga. Ia bernama Julaibib.

Syaikh Mahmud Al-Mishri dalam Kitab Mausu’ah min Akhlaq Rasulillah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan, menurut riwayat Abu Barzah Al-Aslami, Julaibib adalah pria dari kalangan Anshar dan seorang dari sahabat nabi.

Julaibib termasuk sahabat nabi yang mulia. Diceritakan dalam buku Kisah-kisah Inspiratif Sahabat Nabi karya Muhammad Nasrulloh, pernah suatu ketika Rasulullah SAW menanyakan kepada Julaibib kenapa ia tidak menikah.


Julaibib mengatakan dirinya tidak yakin akan ada wanita yang mau menikah dengannya. Sebab, ia tahu bahwa dirinya bukanlah pria bernasab, tidak rupawan, dan tidak memiliki harta.

Kisah mengenai Julaibib sebagai sahabat yang dirindukan bidadari surga ini turut diceritakan dalam buku Tarbiyah Cinta Imam Al-Ghazali karya Yon Machmudi dkk.

Dikatakan, Julaibib merupakan nama yang tidak biasa di kalangan bangsa Arab, namanya juga tidak lengkap dan tidak bernasab. Julaibib terlahir tanpa tahu siapa kedua orang tuanya.

Semua orang pun tak tahu atau tak mau tahu tentang dia, tentang nasabnya, atau dari suku apa ia berasal.

Tampilan fisiknya membuat tak ada yang mau berdekat-dekatan dengannya. Wajahnya jelek, posturnya pendek dan bungkuk, kulitnya hitam, miskin, pakaiannya lusuh, dan kakinya pecah-pecah karena tak beralas.

Julaibib adalah orang yang tidak diharapkan. Namun, bila Allah SWT berkehendak menurunkan kasih sayang-Nya, tak ada yang kuasa menghalanginya.

Allah SWT memuliakan Julaibib dengan hidayah, yang semula hina di antara penduduk bumi menjadi mulia di antara penduduk langit.

Julaibib selalu berada di shaf terdepan dalam salat dan jihad. Meski kebanyakan orang tetap menganggapnya tiada, tapi tidak dengan Rasulullah SAW yang selalu menunjukkan perhatian dan cinta kepada umatnya.

Julaibib yang tinggal di selasar Masjid Nabawi suatu hari ditegur oleh Rasulullah SAW, “Julaibib, tidakkah engkau menikah?” lembut suara Nabi SAW memekarkan bunga jiwa Julaibib.

“Siapakah orangnya, ya Nabi, yang mau menikahkan anaknya dengan diriku ini?” Julaibib menjawab dengan senyuman. Tidak ada kesan ia menyesali dan menyalahkan takdir. Rasulullah juga tersenyum, dan ia kembali menanyakan hal yang sama kepada Julaibib hingga tiga hari berturut-turut.

Pada hari ketiga itulah Rasulullah SAW mengajak Julaibib ke rumah salah satu pemimpin Anshar. Betapa bahagianya tuan rumah menerima kunjungan kehormatan dari sang Nabi Allah SWT.

“Aku ingin menikahkan putri kalian,” kata Rasulullah SAW kepada pemilik rumah.

“Masya Allah, alangkah indah dan berkahnya. Duhai betapa kehadiranmu akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami”, si wali mengira bahwa Rasulullah akan meminang anak gadisnya.

“Bukan untukku,” aku pinang putrimu untuk Julaibib” kata Rasulullah SAW.

Ayah sang gadis tentu sangat terkejut mendengarnya, sedang istrinya berseru, “Dengan Julaibib? Bagaimana mungkin? Julaibib yang jelek dan hitam, tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat, dan tak berharta? Demi Allah, tidak! Tidak akan pernah anak kita menikah dengannya!”

Sementara itu, anak gadisnya yang mendengar percakapan mereka dari balik tirai angkat bicara. Cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya mengalahkan segalanya.

Ia menerima pinangan dari Rasulullah SAW dan setuju untuk menikah dengan Julaibib. Cintanya kepada Allah SWT ditunjukkan dengan taat dan patuh kepada Rasul-Nya.

Namun, kebersamaan pasangan ini tidak berlangsung lama. Julaibib harus gugur saat berperang dan Rasulullah SAW sangat kehilangan.

“Apakah kalian kehilangan seseorang?” kata Rasulullah SAW usai pertempuran.

“Tidak, ya Rasulullah,” serempak para sahabat menjawab.

“Apakah kalian kehilangan seseorang?” kata Rasulullah SAW bertanya lagi. Wajahnya mulai memerah.

“Tidak, ya Rasulullah,” Sebagian sahabat menjawab dengan ragu dan was-was, beberapa melihat sekeliling dan memastikan tidak kehilangan seseorang.

Terdengar helaan nafas yang berat, “Aku kehilangan Julaibib, carilah Julaibib!” kata beliau.

Para sahabat tersadar dengan sosok yang dicari Rasulullah SAW, akhirnya mereka menemukan Julaibib. Ia gugur penuh luka, di sekitarnya terdapat tujuh musuh yang telah ia bunuh. Rasulullah SAW dengan tangannya sendiri mengkafani Julaibib dan mensalatinya.

Julaibib telah lama dirindukan oleh para bidadari surga, meski di dunia ia memiliki istri yang salihah. Julaibib lebih diperhatikan oleh penduduk langit daripada penduduk bumi.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Sahabat Nabi yang Dijuluki Singa Allah, Siapakah Dia?



Jakarta

Hamzah bin Abdul Muthalib namanya. Sosok sahabat Nabi Muhammad yang satu ini merupakan paman sekaligus saudara sepersusuan beliau.

Mengutip dari buku 99 Kisah Menakjubkan dalam Al-Qur’an oleh Ridwan Abqary, tahun kelahiran Hamzah dan Rasulullah SAW hampir sama karena usia keduanya tidak jauh berbeda. Hamzah dikenal sebagai sosok pemberani dan mahir dalam berperang.

Karenanya, banyak kaum Quraisy yang takut terhadap Hamzah. Bagaimana tidak? Hamzah dikenal sebagai sosok yang tidak segan mengajak berkelahi siapapun, meski lawannya adalah pemuka dari kaum Quraisy.


Dijelaskan dalam buku 40 Sahabat Nabi yang Memiliki Karamah karya Abdul Wadud Kasyful Humam, Hamzah merupakan anak kedua Abdul Muthalib dengan Haulah binti Wuhaib dari bani Zuhrah. Ia memiliki saudara dari istri yang berbeda berjumlah 16 dengan rincian sepuluh laki-laki dan enam perempuan.

Hamzah merupakan sosok yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Saking sayangnya beliau kepada Rasulullah, tak ada satu hari pun Hamzah tidak melindungi Nabi SAW.

Tidak ada seorang pun yang Hamzah biarkan menghina atau menganiaya keponakannya itu. Jika nekat, maka orang tersebut harus berhadapan dengan Hamzah.

Pembelaan Hamzah kepada Rasulullah dibuktikan ketika ia mendengar Abu Jahal menghina dan mengejeknya. Mengetahui hal itu dari seorang budak perempuan yang melaporkan kepada Hamzah.

Apa yang Hamzah perbuat? Meledaklah amarahnya. Ia lantas mendatangi Abu Jahal yang tengah mengadakan pertemuan dengan para pemuka Quraisy.

Tidak peduli akan situasi, dengan satu tarikan tangan diseretnya Abu Jahal dari tengah-tengah kaumnya. Wajah Abu Jahal menjadi pucat pasi melihat siapa yang datang dan berlaku kasar kepadanya.

“Berani sekali engkau sudah bertindak keji pada saudaraku, Muhammad!” teriak Hamzah.

Setelah itu, dipukulnya Abu Jahal dengan keras hingga darah mengalir dari pelipisnya. Berkali-kali Hamzah memukul pria itu di depan para kaum Quraisy.

Pemuka Quraisy yang turut hadir di sana merasa kaget dan ketakutan. Hamzah terlihat sungguh-sungguh akan ucapannya.

“Sekarang, kalian tahu bahwa aku berada di pihak Muhammad!” ujarnya ketus sebelum meninggalkan kaum Quraisy.

Sejak saat itu, Hamzah menyatakan keislamannya di depan Rasulullah. Ia selalu mendampingi dan melindungi Nabi SAW ke manapun ia pergi.

Karena keberaniannya itulah Hamzah memperoleh julukan “Singa Allah dan Rasul”. Sayangnya, Hamzah wafat karena salah seorang yang bernama Hindun memiliki dendam yang amat kuat terhadapnya.

Ketika Hamzah turut serta dalam Perang Badar, ia membunuh banyak musuh salah satunya ayah dari Hindun. Sebab itu, ketika Perang Uhud pecah, Hindun dengan rencananya yang matang berusaha membunuh Hamzah, ia menyewa budak yang bernama Wahsyi.

Wahsyi lalu membidik tombaknya ketika Hamzah lengah. Akibatnya, Hamzah tewas seketika hingga membuat Rasulullah dan kaum muslimin berduka.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

2 Wanita yang Diabadikan Al-Qur’an, Terkenal karena Durhakanya



Jakarta

Al-Qur’an memuat banyak riwayat yang mengandung hikmah. Di antaranya ada yang mengabarkan tentang wanita pilihan, seperti yang dikenal karena kedurhakaannya. Siapa saja?

Dr. Mushthafa Murad melalui bukunya Mi’ah Qishshah min Hayah Al-Shalihin wa Al-Shalihat menyebut terdapat beberapa nama wanita durhaka yang diabadikan dalam Al-Qur’an beserta kisah yang menyertainya.

1. Istri Nabi Nuh AS

Di antara orang yang tak mengimani dan mengikuti dakwah Nuh AS adalah istrinya. Ketika azab berupa banjir bandang menimpa kaum Nuh AS, istrinya itu ditelan banjir bandang bersama orang-orang yang tidak beriman lain-nya. Dia binasa bersama dengan mereka yang binasa.


Istri Nuh AS tersebut diketahui merupakan wanita yang melahirkan empat anak Nabi Nuh, yaitu Ham, Sam, Yafis, dan Yam. Nama anak Nuh AS lainnya yang disebut Kan’an, ikut tertelan azab banjir besar tersebut.

Riwayat Nuh AS banyak diabadikan Al-Qur’an dalam sejumlah ayatnya. Meski demikian, kabar terkait Istri Nabi Nuh yang kufur itu diberitakan Al-Qur’an melalui Surat At-Tahrim, yakni ayat 10:

“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang kufur, yaitu istri Nuh dan istri Luth.keduanya berada di bawah (tanggung jawab) dua orang hamba yang sholeh di antara hamba-hamba Kami, lalu keduanya berkhianat kepada (suami-suami)-nya. Mereka (kedua suami itu) tidak dapat membantunya sedikit pun dari (siksaan) Allah, dan dikatakan (kepada kedua istri itu), “Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka).”

2. Istri Nabi Luth AS

Istri Luth AS dikenal membangkang kepada Allah SWT dan enggan mengikuti dakwah suaminya itu. Ia diketahui malah bersekongkol dengan kaum Sodom dan memberitahukan kepada mereka bahwa Luth AS kedatangan tamu berwajah tampan.

Tamu-tamu itu sebenarnya adalah para malaikat yang Allah SWT kirim kepada Luth AS dengan menyerupai manusia. Mereka datang untuk mengabarkan azab yang akan menimpa bangsa Sodom akibat perbuatan mereka sebelumnya, yakni tanah yang terbalik dan hujan batu terbakar yang bertubi.

Para malaikat utusan Allah SWT itu menyuruh Luth AS membawa keluarga dan pengikutnya yang beriman untuk pergi dari kotanya itu di akhir malam. Mereka juga memberitahu Luth AS untuk meninggalkan istrinya karena ia termasuk orang kafir.

Lantaran istri Luth AS telah menyebarkan info kedatangan tamu tampan, yang kemudian membuat penduduk Sodom berbondong-bondong menghampiri rumah dan mendesak untuk masuk dengan mendobrak pintu rumah.

Diketahui Allah SWT mengutus Luth AS ke kota Sodom, ibu kota negeri Gharzaghar, karena penduduknya termasuk orang-orang paling jahat dan kafir supaya bertaubat dan menyembah-Nya.

Kala itu, kaum Sodom begitu dikenal dengan kejahatannya seperti merampok, sodomi hingga mengerjakan maksiat di tempat terbuka. Dan mereka terkenal enggan menghentikan perbuatan mungkarnya itu.

Mereka ini pula yang pertama kali melakukan hubungan seks sejenis (homoseksual), yang bahkan belum pernah ada sebelumnya. Penduduk laki-lakinya menolak untuk menikahi (menggauli) kaum wanita dari kalangan mereka.

Istri Luth AS yang berkhianat ini diabadikan Al-Qur’an dalam sejumlah ayat, di antaranya pada Surat Al-A’raf ayat 83: “Maka, Kami selamatkan dia dan pengikutnya, kecuali istrinya. Dia (istrinya) termasuk (orang-orang kafir) yang tertinggal.”

Dalam Surat An-Naml ayat 57 dikatakan, “Kami menyelamatkan dia dan keluarganya, kecuali istrinya. Kami telah menentukan (istri)-nya termasuk (orang-orang kafir) yang tertinggal.”

Juga melalui Surat Al-Ankabut ayat 33 dikabarkan, “Ketika para utusan Kami datang kepada Luth, ia sedih karena (kedatangan) mereka dan merasa tidak mempunyai kekuatan untuk melindunginya. Mereka pun berkata, “Janganlah takut dan jangan sedih. Sesungguhnya kami akan menyelamatkan kamu dan pengikut-pengikutmu, kecuali istrimu. Dia termasuk (orang-orang kafir) yang tertinggal.”

Itulah kisah dua wanita durhaka yang diceritakan dalam Al-Qur’an.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kala Nabi Muhammad dan Para Sahabat ‘Mudik’ ke Makkah



Jakarta

Pulang kampung atau mudik menjadi tradisi tahunan yang dilakukan masyarakat menjelang akhir Ramadan. Tujuannya sendiri untuk berkumpul dengan keluarga besar di kampung halaman sambil menikmati momen Idul Fitri.

Sebagai tradisi yang mengakar pada masyarakat muslim Indonesia, banyak dari mereka yang berbondong-bondong melakukan persiapan untuk pulang ke kota asalnya. Nah, berkaitan dengan itu, Rasulullah SAW ternyata juga pernah melangsungkan ‘mudik’.

Mengutip dari buku Pengantin Ramadan tulisan Muchlis Hanafi, mudiknya Rasulullah ke Makkah berlangsung hingga 19 hari. Beliau bersama para sahabatnya pulang ke Makkah setelah 8 tahun meninggalkan kota tersebut.


Meski konteksnya berbeda dengan mudik yang dilaksanakan kaum muslim Indonesia, Nabi SAW dan sahabatnya melakukan mudik untuk menaklukkan Makkah atau Fathu Makkah. Dengan demikian, ia tidak hanya sekadar mengunjungi kampung halamannya.

Fathu Makkah merupakan peristiwa pembebasan Makkah yang berlangsung pada tahun 8 Hijriah atau 630 Masehi. Rasulullah SAW memimpin dan berjuang bersama kaum muslimin. Menurut Susmihara dan Rahmat dalam Sejarah Islam Klasik, peristiwa tersebut disebabkan adanya pelanggaran-pelanggaran kaum Quraisy terhadap perjanjian damai Hudaibiyah.

Rasulullah bersama para sahabat merayakan Hari Raya Idul Fitri ke-6 di Makkah yang tak lain merupakan kota kelahirannya. Disebutkan pada laman NU Online, beliau membuktikan bahwa Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin.

Bagaimana tidak? Nabi SAW bahkan memaafkan semua musuh-musuhnya yang dahulu menentang dakwah Islam. Selain itu, Rasulullah juga menghancurkan seluruh berhala di Kakbah yang menjadi sesembahan warga Makkah.

Jika ditotal, jumlah berhala yang Nabi Muhammad musnahkan mencapai 360 buah. Ini termasuk tiga berhala terbesar, yaitu Hubal, al-Latta, dan al-Uzza.

Dijelaskan oleh Marting Ling dalam bukunya yang berjudul Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Rasulullah mengumumkan bahwa setiap orang di seluruh kota yang memiliki berhala di rumahnya agar segera dihancurkan. Setelah menyelesaikan urusannya di Makkah, Nabi SAW kembali ke Madinah.

“Tidak ada lagi hijrah ke Madinah sejak kemenangan di Makkah, yang ada tinggal niat tulus (melakukan kebajikan) disertai jihad (perjuangan mewujudkannya),” (HR Bukhari dan Muslim).

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Hurairah dan Setan Pencuri Zakat Bulan Ramadan



Jakarta

Abu Hurairah RA adalah ulama yang paling utama dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. Hal ini lantaran Abu Hurairah selalu mengikuti kemanapun Nabi Muhammad SAW pergi, sehingga ia mendapatkan banyak sekali ilmu yang langsung didapat dari Rasulullah SAW.

Selayaknya sahabat lain yang sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Abu Hurairah juga sangat dekat dengan Nabi Muhammad SAW, bahkan kedekatannya ini menghasilkan sebuah kisah yang cukup menarik dan bermanfaat bagi umat muslim.

Kisah tersebut adalah kisah Abu Hurairah dan setan pencuri zakat mungkin menjadi salah satu cerita yang manfaatnya dapat kita rasakan dan amalkan hingga saat ini. Dikutip dari 100 Kisah Islami Pilihan untuk Anak-anak oleh Salman Iskandar, berikut adalah kisah Abu Hurairah dan setan pencuri zakat.


Kisah Abu Hurairah dan Setan Pencuri Zakat

Sebab kedekatan Abu Hurairah dengan Rasulullah, ia pernah ditugaskan oleh rasul menjaga gudang zakat Ramadan. Saat Abu Hurairah sedang berjaga, dilihatnya seorang anak mencuri makanan. Abu Hurairah segera menangkapnya, kemudian ia berkata dengan nada menggertak.

“Hai, pencuri! Aku akan mengadukanmu kepada rasul!”

Pencuri itu seketika ketakutan mendengar ancaman dari Abu Hurairah. Dia merengek dan memohon supaya dilepaskan, “Aku ini adalah orang miskin, keluargaku banyak. Sementara, aku sangat membutuhkan makanan.”

Mendengar alasan tersebut akhirnya Abu Hurairah melepaskan si pencuri tersebut. Keesokan harinya, Abu Hurairah melapor kepada Rasulullah SAW mengenai kejadian tempo hari. Kemudian, rasul bertanya, “Apa yang kamu lakukan terhadap anak kecil itu, wahai Abu Hurairah?”

“Ya Rasulullah, anak itu orang miskin, keluarganya banyak, dan sangat membutuhkan makanan. Maka, aku pun melepaskannya,” jawab Abu Hurairah.

“Anak kecil itu telah berbohong,” kata Rasulullah SAW. “Nanti malam, dia akan datang lagi!” lanjut Rasul

Ternyata perkataan Rasulullah SAW itu menjadi kenyataan, anak itu kembali lagi. Lalu, dia mengambil makanan seperti malam kemarin.

Abu Hurairah yang kembali menunggu zakat pun berhasil menangkapnya. Tetapi, mendengar alasan anak itu, Abu Hurairah pun kembali melepaskannya.

Pada pagi harinya, kejadian itu dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Sekali lagi, Rasulullah SAW menegaskan, “Pencuri itu sesungguhnya berbohong! Nanti malam, dia pasti akan kembali lagi.”

Malamnya, Abu Hurairah kembali berjaga. Beberapa saat kemudian, muncul sesosok bayangan kecil yang datang mendekati gudang zakat. Tidak lama, anak itu ditangkap oleh Abu Hurairah.

“Kali ini, engkau pasti kuadukan kepada Rasulullah SAW. Sudah dua kali engkau berjanji tidak akan datang lagi. Tetapi, ternyata engkau mengingkari perkataanmu dengan kembali lagi untuk mencuri makanan ini.”

“Lepaskan aku!” teriak anak itu. Tetapi, Abu Hurairah berniat sedikitpun untuk melepaskannya.

Pencuri kecil itu kemudian lekas merengek, “Lepaskan aku. Kalau Tuan bersedia melepaskanku, aku akan mengajari Tuan beberapa kalimat yang sangat berguna.”

“Kalimat-kalimat apakah itu?” tanya Abu Hurairah dengan rasa penasaran.

“Jika Tuan hendak tidur, bacalah Ayat Kursi. Maka, Tuan akan selalu dipelihara oleh Allah dan tidak akan ada setan yang berani mendekati Tuan sampai pagi.” Pada akhirnya, pencuri itu dilepaskan lagi oleh Abu Hurairah.

Keesokan paginya, Abu Hurairah kembali menghadap Rasulullah untuk melaporkan pengalamannya tadi malam. Menanggapi cerita Abu Hurairah tersebut, Rasulullah SAW berkata,”Pencuri itu telah berkata benar sekalipun dia tetap pembohong.”

Kemudian, Rasulullah SAW bertanya, “Tahukah engkau, siapa sebenarnya pencuri kecil yang bertemu denganmu setiap malam?”

“Tidak tahu,” jawab Abu Hurairah.

“Ia adalah setan!”

Dari kisah Abu Hurairah dan setan pencuri zakat di atas kita dapat mengetahui bahwa terdapat keutamaan dalam membaca ayat kursi. Keutamaan tersebut adalah dapat memberikan kita perlindungan dari gangguan setan jika membacanya sebelum tidur.

Hal ini juga selaras dengan sebuah hadits yang disabdakan oleh Rasulullah SAW yaitu,

فَذَكَرَ الْحَدِيثَ فَقَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ ، وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ

Artinya: “Bila engkau akan menuju ke tempat tidurmu maka bacalah Ayat Kursi karena sesungguhnya ia (dapat menjadikanmu) senantiasa mendapatkan penjagaan dari Allah SWT dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.” (HR Bukhari)

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kesedihan Nabi Muhammad SAW di Penghujung Ramadan



Jakarta

Hanya dalam hitungan hari, bulan suci Ramadan akan segera berakhir. Bersamaan dengan itu, tak sedikit umat Islam yang justru berbahagia karena akhir Ramadan artinya mendekati Hari Raya Idul Fitri.

Padahal, Ramadan memiliki segudang keistimewaan. Setiap ibadah yang dikerjakan pada bulan tersebut akan diganjar pahala berkali-kali lipat yang mana kemuliaan ini tidak berlaku di bulan-bulan lainnya.

Mengutip dari buku Kumpulan Khutbah Jumat tulisan Abdul Latif Wabula S Sos I MPd, Rasulullah SAW dan para sahabat merasakan kesedihan yang mendalam tiap kali Ramadan akan berakhir.


Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda:

“Apabila tiba akhir malam dari bulan Ramadan, menangislah langit, Bumi dan malaikat karena musibah yang menimpa umat Muhammad SAW,”

Kemudian sahabat bertanya, “Musibah apakah wahai Rasulullah?”

Nabi SAW menjawab: “Berpisah dengan bulan Ramadan, sebab pada bulan Ramadan doa dikabulkan dan sedekah diterima.” (Diriwayatkan Jabir)

Orang-orang saleh terdahulu bahkan sampai menangis dan bersedih pada penghujung Ramadan. Mereka menyadari bulan yang penuh kemuliaann itu akan segera berakhir.

Dijelaskan dalam buku Materi Khutbah Jumat Sepanjang Tahun karya Muhammad Khatib SPd I, alasan bersedihnya mereka ketika Ramadan pergi ialah berakhir pula semua keutamaannya. Padahal, Ramadan merupakan bulan yang penuh berkah, pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup.

Hanya di bulan Ramadan pula, setan-setan dibelenggu hingga ibadah terasa ringan dan kaum muslimin berada di puncak kebaikan. Keutamaan-keutamaan itu tidak dapat dijumpai lagi di bulan lainnya.

Amalan yang Dianjurkan pada Akhir Ramadan

Syekh Zainuddin Al-Malibari melalui kitab Fathul Mu’in menerangkan sejumlah amalan yang dianjurkan untuk dilakukan pada 10 hari terakhir Ramadan, antara lain sebagai berikut:

1. Memperbanyak Sedekah

Yang pertama adalah memperbanyak sedekah. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mencukupi kebutuhan keluarga, berbuat baik kepada kerabat serta tetangga. Jika seseorang mampu, hendaknya ia menyediakan buka puasa bagi orang yang berpuasa meski hanya segelas air.

2. Membaca Al-Qur’an

Amalan lainnya ialah memperbanyak baca Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an di akhir malam lebih utama daripada awal malam, ini sesuai dengan penjelasan Imam An-Nawawi. Sebab, membaca Al-Qur’an di malam hari lebih fokus ketimbang siang hari.

3. Itikaf

Selanjutnya memperbanyak itikaf. Amalan ini sesuai dengan apa yang dikerjakan Rasulullah untuk meningkatkan ibadahnya, beliau beritikaf di masjid pada sepuluh akhir Ramadan.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Kala Malaikat Ridwan Bawakan Cucu Rasulullah Pakaian Hari Raya



Jakarta

Idul Fitri merupakan hari kemenangan yang dirayakan oleh seluruh umat Islam, tak terkecuali Hasan dan Husein. Kedua cucu Rasulullah itu bersedih karena tidak memiliki pakaian baru untuk dikenakan di hari raya.

Hasan dan Husein lantas bertanya kepada sang ibu, Sayyidah Fatimah mengenai pakaian-pakaian baru keduanya yang tak kunjung diberikan.

“Wahai ibu, anak-anak di Madinah telah dihiasi dengan pakaian lebaran kecuali kami. Kenapa ibu tidak menghiasi kami?” ujarnya seperti dikisahkan dalam buku Jangan Terlalu Berlebihan dalam Beribadah hingga Melupakan Hak-hak Tubuh karya Nur Hasan.


Mendengar pernyataan itu, Sayyidah Fatimah kemudian menjawab, “Baju kalian masih di tukang jahit,” jawaban itu terus dilontarkan olehnya tiap kali putranya bertanya.

Pada malam hari raya, pakaian baru untuk Hasan dan Husein tak kunjung datang. Mereka lantas kembali bertanya kepada sang ibu.

Sayyidah Fatimah pun menangis karena tidak memiliki uang untuk membelikan kedua putranya baju baru. Keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fatimah tidak sekaya sahabat-sahabat nabi lainnya, meskipun mereka merupakan keluarga Rasulullah SAW.

Tak lama setelahnya, terdengar suara ketukan pintu. Sayyidah Fatimah langsung menghampiri sumber suara dan bertanya, “Siapa?”

“Wahai putri Rasulullah SAW. Saya adalah tukang jahit. Saya datang membawa hadiah pakaian untuk kedua putramu,”

Mendengar jawaban dari sang pemilik suara, Fatimah langsung membukakan pintu dan nampaklah seorang yang membawa bingkisan kemudian diberikan kepada Sayyidah Fatimah. Saat dibuka bingkisan tersebut, di dalamnya terdapat dua gamis, dua celana, dua mantel, dua sorban dan dua pasang sepatu hitam yang terlihat indah.

Fatimah lalu memanggil kedua putra kesayangannya untuk melihat isi bingkisan tersebut. Hasan dan Husein sangat bahagia, namun sang ibu masih bingung siapakah tukang jahit yang muncul di depan pintu rumahnya serta memberikan bingkisan itu?

Setelahnya, Rasulullah datang dan melihat kedua cucunya dalam keadaan rapi mengenakan pakaian baru yang indah. Nabi SAW dengan perasaan bahagia menggendong Hasan dan Husein serta menciumi mereka dengan penuh kasih sayang.

Rasulullah lalu bertanya kepada Fatimah, “Apakah engkau melihat tukang jahit tersebut?”

“Iya, aku melihatnya,” jawab Fatimah.

“Duhai putriku, dia bukanlah tukang jahit. Tetapi, malaikat Ridwan sang penjaga surga,” kata Rasulullah menjelaskan.

Jadi, bingkisan yang berisi pakaian baru untuk Hasan dan husain merupakan pakaian surga yang dikirim langsung oleh malaikat Ridwan. Mendengar penjelasan Rasulullah, Fatimah sangat terkejut, ia terus-menerus mengucap puji syukur kepada Allah SWT.

Di malam hari raya itu, keluarga mereka penuh kebahagiaan. Sebab, pakaian untuk kedua putranya telah siap dipakai untuk Idul Fitri keesokan harinya.

Meski pakaian baru bukanlah sesuatu yang wajib di hari raya, namun memakai pakaian baru saat Lebaran menjadi bentuk kebahagiaan atas datangnya Hari Raya Idul Fitri. Karenanya, banyak orang tua yang sedih jika mereka belum mampu memberikan baju baru kepada anak-anaknya.

Pakaian baru juga menjadi bagian dari rasa syukur kepada Allah SWT yang memberikan nikmat kepada kita semua hingga bisa melewati bulan Ramadan dan berharap bisa dipertemukan kembali di tahun selanjutnya. Namun, yang perlu diingat ialah jangan menjadikan baju baru di hari raya sebagai simbol kesombongan.

Sebab, esensi dari Idul Fitri ialah bagaimana diri dan hati kita kembali bersih, suci, dan berharap bertambahnya ketakwaan kepada Allah SWT. Jangan sampai dikotori dengan hal-hal yang sebaliknya.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rasulullah dan Seorang Anak Yatim di Hari Raya Idul Fitri



Jakarta

Hari Raya Idul Fitri merupakan momen suka cita bagi seluruh umat Islam. Pasalnya, setelah menjalankan ibadah puasa Ramadan sebulan penuh, Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk merayakan Idul Fitri.

Berkenaan dengan itu, terdapat sebuah kisah mengenai Rasulullah SAW dengan seorang anak yatim di hari Idul Fitri. Menukil dari buku Al-Qur’an Hadis Madrasah Ibtidaiyah oleh Fida’ Abdillah dan Yusak Burhanuddin, pada siang itu di sudut Kota Madinah ada sejumlah anak kecil yang bermain.

Mereka mengenakan pakaian baru dan terlihat sangat gembira di hari raya. Namun, agak jauh dari mereka ada seorang anak yang tengah menangis dan bersedih hati.


Rasulullah SAW yang melihat pemandangan itu lantas mendekati sang anak, beliau kemudian bertanya, “Wahai ananda, mengapa engkau tidak bermain seperti teman-temanmu itu?”

Dengan air mata yang bercucuran, si anak menjawab, “Wahai Tuan, saya sangat sedih. Teman-teman saya gembira memakai pakaian baru dan saya tak punya siapa-siapa untuk membelikan pakaian baru,”

Mendengar hal itu, Nabi SAW kembali bertanya terkait keberadaan orang tua dari sang anak. Ia lalu mengatakan bahwa ayahnya telah syahid karena berperang, sementara ibunya menikah lagi dan seluruh harta sang ayah dibawa oleh ayah tirinya. Anak itu juga mengaku diusir dari rumah.

Rasulullah lantas segera memeluk dan membelai anak tersebut sambil berkata, “Wahai ananda, maukah engkau saya menjadi ayamu, Aisyah sebagai ibumu, dan Fatimah menjadi saudarimu?”

Anak itu awalnya terkejut dan tampak gembira. Rasulullah SAW lalu membawanya ke rumah dan memberikan pakaian yang layak untuk si anak.

Kisah ini juga diceritakan dalam kitab Durratun Nashihin oleh Syekh Utsman Hasan bin Ahmad as-Syakir al-Khuwairy, seorang ulama pada abad ke-13. Semula sang anak tidak mengetahui bahwa laki-laki tersebut adalah Nabi SAW, namun setelah menyadarinya anak tersebut berkata,

“Bagaimana mungkin aku tidak senang wahai Rasulullah?” ujarnya.

Setelah diberikan pakaian yang layak, anak tersebut kemudian kembali menemui teman-temannya. Dia tampak lebih bahagia dengan mengenakan pakaian yang baru.

Melihat itu, teman-teman sebayanya bingung. Si anak lantas berkata, “Kemarin aku lapar, haus, dan yatim. Tetapi, sekarang aku bahagia karena Rasulullah SAW menjadi ayahku, Aisyah ibuku, Ali pamanku, dan Fatimah saudariku. Bagaimana aku tak bahagia?”

Anak-anak lain yang mendengar pengakuan itu merasa iri. “Andai saja bapak kami syahid saat peperangan, pasti sudah seperti engkau,”

Ketika Rasulullah SAW wafat, anak tersebut kembali yatim. Abu Bakar RA kemudian mengasuhnya.

Kisah antara Rasulullah SAW dan anak yatim di Hari Raya Idul Fitri ini memberi pelajaran bahwa menyantuni, memelihara, dan mengasuh anak yatim merupakan tanggung jawab setiap muslim, sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad. Terlebih dalam sebuah hadits, beliau bersabda:

“Aku dan orang yang mengurus (menanggung) anak yatim (kedudukannya) di dalam surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan (kedua jarinya yaitu) telunjuk dan jari tengah serta agak merenggangkan keduanya,” (HR Imam Al-Bukhari)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang mengasuh anak yatim kelak akan menjadi tetangga Nabi Muhammad SAW di surga, sebagaimana diterangkan Syaikh Sa’ad Yusuf Mahmud Abu Aziz dalam Kitab Mausu’ah Al-Huquq Al-Islamiyah.

Pengibaratan tersebut dimaksudkan balasan mulia bagi orang yang mengurus anak yatim, yakni lebih cepat masuk surga dan disediakan kedudukan tertinggi di dalamnya.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Inspirasi Kisah Kesederhanaan Ali bin Abi Thalib saat Lebaran



Jakarta

Ali bin Abi Thalib RA adalah sahabat Rasulullah SAW yang menyimpan sejumlah kisah menginspirasi. Salah satunya saat Lebaran tiba.

Merangkum berita Hikmah detikcom, sahabat yang memiliki nama lengkap Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim ini lahir di Makkah pada tanggal 13 Rajab. Ali RA lahir pada tahun ke-32 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Terdapat juga yang menyebutkan jika Ali RA dilahirkan pada 21 tahun sebelum hijrah.


Menurut beberapa keterangan, disebutkan bahwa ayah beliau adalah paman dari Nabi Muhammad SAW, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Sedangkan ibu beliau bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf.

Dilihat secara garis keturunan kedua orang tuanya, Ali RA merupakan keturunan berdarah Hasyimi yang dikenal oleh masyarakat pada zamannya sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, pemegang kepemimpinan masyarakat, dan memiliki sejarah cemerlang di masyarakat Makkah.

Ibunya memberikan nama Haidarah (macan) kepada Ali RA, diambil dari nama kakek Ali RA, Asad. Dengan harapan bahwa buah hati mereka kelak menjadi seorang laki-laki pemberani. Namun, ayahnya memberinya nama Ali (yang leluhur), hingga sekarang nama Ali-lah yang lebih dikenal masyarakat luas.

Ali bin Abi Thalib RA telah memeluk Islam sejak ia masih berusia sangat belia. Dikutip dari buku tulisan Mustafa Murrad berjudul Kisah Hidup Ali Ibn Abi Thalib, ia bahkan disebut sebagai orang pertama yang masuk Islam.

Rasulullah SAW adalah salah satu orang yang paling berpengaruh yang telah mengasuh, mendidik, dan mengajarinya sejak kecil. Kasih sayang dan kemuliaan Rasulullah SAW inilah yang membentuk karakter Ali RA hingga matang saat dewasa.

Semasa hidupnya, Ali RA hidup dengan sangat sederhana. Bahkan dalam beragam riwayat, dijelaskan bahwa beliau cukup makan dengan lauk cuka, minyak, dan roti kering yang dipatahkan dengan lututnya.

Dikutip dari buku Rezeki Level 9 The Ultimate Fortune karya Andre Raditya, dijelaskan terdapat kisah kesederhanaan Ali bin Abi Thalib RA saat Lebaran. Dikisahkan pada suatu suasana Idul Fitri, seseorang berkunjung ke rumah Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah.

Didapatinya beliau sedang memakan roti yang keras. Lalu sang tamu ini berkata,

“Dalam suasana hari raya kenapa engkau memakan roti yang keras ini?”

Maka Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA pun menjawab,

“Sesungguhnya hari ini adalah lebarannya orang yang diterima puasanya, yang bersyukur atas usahanya dan diampuni dosa-dosanya. Hari ini adalah Id bagi kami, demikian juga esok, dan bahkan setiap hari pun engkau juga bisa lebaran (Id) seperti ini.”

Merasa ingin tahu lagi, orang itu kembali bertanya,

“Bagaimana bisa aku berlebaran setiap hari?”

Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah pun memberikan jawabannya,

“Jika seorang hamba tidak bermaksiat sedikit pun kepada Allah SWT di hari itu, maka sesungguhnya ia sedang berlebaran (Id).” Subhanallah.

Kisah kesederhanaan Ali bin Abi Thalib RA yang makan roti kasar saat Lebaran turut diceritakan dalam Kitab Ahlur-rahmah fil Qur’an was-Sunnah karya Syekh Thaha Abdullah al-Afifi.

Dikatakan, oleh sebab itulah, Sayyidina Ali RA terus berada dalam hari raya yang berkelanjutan karena ia termasuk di antara orang yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Rasulullah Menikah dengan Aisyah di Bulan Syawal



Yogyakarta

Sebagaimana Rasulullah yang menikahi Aisyah dan para ummahatul mu’minin lainnya, menikah menjadi salah satu amalan ibadah yang dapat dilaksanakan, utamanya di bulan Syawal.

Sebagai tanda kebesaran-Nya, Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21,

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ


Arab latin: Wa min āyātihī an khalaqa lakum min anfusikum azwājal litaskunū ilaihā wa ja’ala bainakum mawaddataw wa raḥmah, inna fī żālika la`āyātil liqaumiy yatafakkarụn

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Anjuran Menikah di Bulan Syawal

Pada dasarnya, dalam Islam tidak ada waktu khusus untuk menggelar pernikahan. Semua hari tidak memiliki larangan untuk pernikahan selama mengikuti aturan syariat. Namun, Islam menganjurkan dan mensyariatkan bahwa bulan terbaik untuk menikah adalah bulan Syawal.

Rasulullah SAW dalam salah satu hadistnya menyebutkan bahwa beliau menikahi Aisyah RA pada bulan Syawal. Umat muslim yang telah memenuhi syarat dan mampu tentu disarankan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.

تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي

Artinya: “Rasulullah SAW menikahiku pada bulan Syawal dan berkumpul denganku pada bulan Syawal, maka siapa di antara istri-istri beliau yang lebih beruntung dariku?” (HR Muslim).

Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah RA berlangsung di Mekkah, yaitu pada bulan Syawal tahun 10 kenabian sebelum hijrah. Pendapat lain mengatakan pada tahun 11 kenabian, tepatnya 2 tahun 5 bulan sebelum hijrah dan setahun setelah Rasulullah menikahi Saudah RA.

Membantah Tradisi Jahiliyah

Sunnah menikah di bulan Syawal ini berawal dari tradisi masyarakat Arab zaman jahiliyah yang menganggap bulan Syawal sebagai pembawa sial. Dikutip dari buku Menggapai Berkah di Bulan-Bulan Hijriah oleh Siti Zamratus Sa’adah, masyarakat Arab pada zaman jahiliyah memiliki tradisi untuk tidak melakukan pernikahan pada bulan Syawal.

Bahkan, mereka beranggapan bahwa penyakit lepra terjadi di bulan Syawal sehingga mereka benci menggauli istrinya pada bulan itu. Dari sudut pandang fiqih Islam, dilarang untuk menghukumi tanggal atau hari sial, sebagaimana ajaran Rasulullah bahwa menganggap suatu hari adalah hari atau tanggal sial maka itu disebut sebagai kesyirikan.

Oleh karena itu, pada saat masa kenabian, Rasulullah SAW mencoba untuk menghilangkan tradisi masyarakat Arab yang membenci bulan Syawal tersebut. Beliau lantas menikahi Aisyah RA (juga Ummu Salamah di waktu yang lain) tepat pada bulan Syawal.

Tafsir Hadits dari Aisyah

Mengutip buku Fikih Keseharian: Bahasa Arab Bahasa Surga Hingga Siapa yang Memberikan Fatwa yang disusun oleh Hafidz Muftisany Imam Nawawi menerangkan, “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawal. Para ulama kami (ulama Syafi’iyyah) telah menegaskan anjuran tersebut dan berdalil dengan hadits ini.”

“Ketika menceritakan hal ini, Aisyah RA bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyyah dan anggapan sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga di bulan Syawal adalah makruh,” tambahnya.

Adapun selain bulan Syawal, anjuran menikah juga bisa dilakukan di bulan Shafar sebagaimana pernikahan Fatimah putri Rasulullah dengan Ali bin Abi Thalib.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com