Category Archives: Muslimah

Surah Maryam untuk Ibu Hamil Agar Dikaruniai Anak Saleh


Jakarta

Ketika para muslimah hamil, banyak dari mereka yang membaca ayat-ayat Al-Qur’an tertentu dengan tujuan supaya anaknya memiliki akhlak dan paras yang baik. Salah satunya surah Maryam.

Ada banyak surah Al-Qur’an yang direkomendasikan untuk dibaca ibu hamil. Contohnya adalah surah Lukman, Yusuf, Muhammad, Kafhfi, Ar-Rahman, Al-Waqi’ah, Al-Mulk, dan Maryam, sebagaimana dijelaskan dalam Buku Lengkap & Praktis Doa Dzikir Harian Khusus Ibu Hamil oleh Ust. Syaifurrahman El-Fati.

Seperti yang disebutkan di atas, surah yang dianjurkan untuk dibaca oleh ibu hamil adalah surah Maryam. Surah ini termasuk dalam surah Makkiyah yang terdiri dari 98 ayat. Surah Maryam merupakan surah ke-19 dalam Al-Qur’an yang menceritakan kelahiran dua orang nabi, yakni Nabi Yahya AS dan Nabi Isa AS.


Menurut buku Menyiapkan Anak Jenius Sejak Dalam Kandungan karya Mugi Rizkiana Halalia menyebutkan bahwa tidak ada dalil yang shahih tentang manfaat surah Maryam untuk janin di perut ibu hamil.

Namun buku itu menjelaskan bahwa membaca Al-Qur’an secara konsisten dan memperdengarkannya kepada janin tentu saja dapat membawa mukzijat kepada ibu sekaligus bayinya. Sebab Al-Qur’an adalah mukjizat, penyembuh, terapi segala penyakit, dan pembawa kebaikan baik bagi pembaca maupun pendengarnya.

Surah Maryam untuk Ibu Hamil Ayat 2-15

Di sumber sebelumnya, Syaifurrahman El-Fati menuliskan bahwa tidak ada ayat tertentu yang dituntunkan untuk dibaca dalam surah Maryam oleh ibu hamil. Namun, pada ayat 2-15 dari surah Maryam berisi tentang doa dan harapan Nabi Zakaria AS agar diberi momongan, sebagaimana dijelaskan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar.

Surah Maryam untuk ibu hamil tersebut terdapat pada ayat 2-15, yang berbunyi:

(2) ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهٗ زَكَرِيَّا

Żikru raḥmati rabbika ‘abdahū zakariyyā

Artinya: (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhanmu kepada hamba-Nya, Zakaria,

(3) اِذْ نَادٰى رَبَّهٗ نِدَاۤءً خَفِيًّا

Iż nādā rabbahū nidā’an khafiyyā

Artinya: (yaitu) ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lirih.

(4) قَالَ رَبِّ اِنِّيْ وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّيْ وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَّلَمْ اَكُنْۢ بِدُعَاۤىِٕكَ رَبِّ شَقِيًّا

Qāla rabbi innī wahanal-‘aẓmu minnī wasyta’alar-ra’su syaibaw wa lam akum bidu’ā’ika rabbi syaqiyyā

Artinya: Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah, kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai Tuhanku.

(5) وَاِنِّيْ خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَّرَاۤءِيْ وَكَانَتِ امْرَاَتِيْ عَاقِرًا فَهَبْ لِيْ مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّا ۙ

Wa innī khiftul-mawāliya miw warā’ī wa kānatimra’atī ‘āqiran fahab lī mil ladunka waliyyā

Artinya: Sesungguhnya aku khawatir terhadap keluargaku sepeninggalku, sedangkan istriku adalah seorang yang mandul. Anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu.

(6) يَّرِثُنِيْ وَيَرِثُ مِنْ اٰلِ يَعْقُوْبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا

Yariṡunī wa yariṡu min āli ya’qūba waj’alhu rabbi raḍiyyā

Artinya: (Seorang anak) yang akan mewarisi aku dan keluarga Ya’qub serta jadikanlah dia, wahai Tuhanku, seorang yang diridai.”

(7) يٰزَكَرِيَّآ اِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلٰمِ ِۨاسْمُهٗ يَحْيٰىۙ لَمْ نَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا

Yā zakariyyā innā nubasysyiruka bigulāminismuhū yaḥyā, lam naj’al lahū min qablu samiyyā

Artinya: (Allah berfirman,) “Wahai Zakaria, Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki yang bernama Yahya yang nama itu tidak pernah Kami berikan sebelumnya.”

(8) قَالَ رَبِّ اَنّٰى يَكُوْنُ لِيْ غُلٰمٌ وَّكَانَتِ امْرَاَتِيْ عَاقِرًا وَّقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا

Qāla rabbi annā yakūnu lī gulāmuw wa kānatimra’atī ‘āqiraw wa qad balagtu minal-kibari ‘itiyyā

Artinya: Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana (mungkin) aku akan mempunyai anak, sedangkan istriku seorang yang mandul dan sungguh aku sudah mencapai usia yang sangat tua?”

(9) قَالَ كَذٰلِكَۗ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَّقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْـًٔا

Qāla każālik, qāla rabbuka huwa ‘alayya hayyinuw wa qad khalaqtuka min qablu wa lam taku syai’ā

Artinya: Dia (Allah) berfirman) “Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, “Hal itu mudah bagi-Ku; sungguh, engkau telah Aku ciptakan sebelum itu, padahal (pada waktu itu) engkau belum berwujud sama sekali.”

(10) قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِّيْٓ اٰيَةً ۗقَالَ اٰيَتُكَ اَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلٰثَ لَيَالٍ سَوِيًّا

Qāla rabbij’al lī āyah(tan), qāla āyatuka allā tukalliman-nāsa ṡalāṡa layālin sawiyyā

Artinya: Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, berilah aku suatu tanda.” (Allah) berfirman, “Tandanya bagimu ialah bahwa engkau tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama (tiga hari) tiga malam, padahal engkau sehat.”

(11) فَخَرَجَ عَلٰى قَوْمِهٖ مِنَ الْمِحْرَابِ فَاَوْحٰٓى اِلَيْهِمْ اَنْ سَبِّحُوْا بُكْرَةً وَّعَشِيًّا

Fa kharaja ‘alā qaumihī minal-miḥrābi fa auḥā ilaihim an sabbiḥū bukrataw wa ‘asyiyyā

Artinya: Lalu, (Zakaria) keluar dari mihrab menuju kaumnya lalu dia memberi isyarat kepada mereka agar bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang.

(12) يٰيَحْيٰى خُذِ الْكِتٰبَ بِقُوَّةٍ ۗوَاٰتَيْنٰهُ الْحُكْمَ صَبِيًّاۙ

Yā yaḥyā khużil-kitāba biquwwah(tin), wa ātaināhul-ḥukma ṣabiyyā

Artinya: (Allah berfirman,) “Wahai Yahya, ambillah (pelajarilah) Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.” Kami menganugerahkan hikmah kepadanya (Yahya)461) selagi dia masih kanak-kanak.

(13) وَّحَنَانًا مِّنْ لَّدُنَّا وَزَكٰوةً ۗوَكَانَ تَقِيًّا ۙ

Wa ḥanānam mil ladunnā wa zakāh(tan), wa kāna taqiyyā

Artinya: (Kami anugerahkan juga kepadanya) rasa kasih sayang (kepada sesama) dari Kami dan bersih (dari dosa). Dia pun adalah seorang yang bertakwa.

(14) وَّبَرًّاۢ بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا

Wa barram biwālidaihi wa lam yakun jabbāran ‘aṣiyyā

Artinya: (Dia) orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya dan dia bukan orang yang sombong lagi durhaka.

(15) وَسَلٰمٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوْتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا ࣖ

Wa salāmun ‘alaihi yauma wulida wa yauma yamūtu wa yauma yub’aṡu ḥayyā

Artinya: Kesejahteraan baginya (Yahya) pada hari dia dilahirkan, hari dia wafat, dan hari dia dibangkitkan hidup kembali.

Secara lebih lanjut dijelaskan oleh M. Syukron Maksum dalam bukunya yang berjudul Bimbingan Doa dan Wirid Ibu Hamil, penting bagi orang tua melakukan stimulasi pendidikan pralahir untuk bayi supaya bisa menjadi anak yang saleh dan sehat jasmani dan rohaninya. Hal ini turut dilakukan Nabi Zakaria AS seperti disebutkan dalam ayat di atas.

Hasilnya, ia dianugerahi anak yang memiliki kecerdasan tinggi dalam memahami hukum-hukum Allah SWT, terampil dalam melaksanakan titah Allah SWT, memiliki fisik kuat, sekaligus menjadi anak yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya.

Adapun, dalam ayat 12-15 surah Maryam pun juga menceritakan bahwa anak yang dikandung ibu hamil itu akhirnya menjadi seorang nabi, yakni Nabi Yahya AS.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Bagian Warisan untuk Istri Menurut Islam, Segini Besarannya



Jakarta

Istri termasuk orang yang berhak menerima warisan dari suaminya yang telah meninggal dunia. Bagian warisan untuk istri telah diatur dalam syariat Islam.

Dalil pembagian waris suami-istri bersandar pada firman Allah SWT dalam surah An Nisa ayat 12. Dalam hal ini, besaran warisan mempertimbangkan ada tidaknya anak. Allah SWT berfirman,

۞ وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ ١٢


Artinya: “Bagimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Bagi mereka (para istri) seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, bagi mereka (para istri) seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Akan tetapi, jika mereka (saudara-saudara seibu itu) lebih dari seorang, mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

Muhammad Jawad Mughniyah menjelaskan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah, para ulama mazhab sepakat bahwa bagian tetap (al furudh) yang telah ditetapkan dalam Kitabullah dan jumlahnya ada enam, yakni seperdua (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Dari jumlah tersebut, istri mendapat bagian seperempat dari harta suami jika suaminya yang meninggal itu tidak memiliki anak. Apabila suaminya memiliki anak, istri akan mendapat bagian warisan seperdelapan.

Lebih lanjut dijelaskan, bagian-bagian al furudh tersebut bisa bertemu satu sama lain. Misalnya bagian seperdua bisa bertemu dengan bagian seperdelapan, yakni untuk anak perempuan dan istri. Dalam hal ini, istri mendapat seperdelapan, sedangkan anak perempuan mendapat seperdua.

Bagian seperempat juga bisa bertemu bagian sepertiga, misalnya bagian untuk istri dan beberapa kalalah ibu (jika yang meninggal tidak memiliki anak). Istri akan mendapat bagian seperempat, sedangkan beberapa orang kalalah tersebut mendapatkan sepertiga. Begitu seterusnya.

Disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, pembagian warisan dilakukan setelah pelunasan utang dan penunaian wasiat. Ini merupakan kesepakatan para ulama. Ibnu Katsir menjelaskan hal ini saat menafsirkan firman Allah SWT surah An Nisa ayat 11 dan ditegaskan lagi saat menafsirkan ayat 12.

“Pelunasan utang harus didahulukan atas penunaian wasiat; sesudah utang diselesaikan, maka barulah wasiat; dan sesudah wasiat, baru harta dibagikan kepada ahli waris si mayat,” jelas Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir-nya.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Hukum Dandan Berlebihan Bagi Wanita



Jakarta

Wanita dilarang dalam Islam untuk dandan berlebihan. Karena sejatinya, wanita muslimah tidak boleh memperlihatkan kecantikan mereka.

Bahkan Allah SWT menyuruh para wanita untuk berdiam diri di rumah agar tidak menjadi fitnah. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam surah Al Ahzab ayat 33, Allah SWT berfirman:

وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ ٱلْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعْنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا


Bacaan latin: Wa qarna fi buyụtikunna wa la tabarrajna tabarrujal-jahiliyyatil-ula wa aqimnaṣ-ṣalata wa atinaz-zakata wa aṭi’nallaha wa rasụlah, innama yuridullahu liyuz-hiba ‘angkumur-rijsa ahlal-baiti wa yuṭahhirakum tat-hira

Artinya: Dan hendaklah kau tetap di rumahmu dan janganlah kau berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud ingin menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Ustazah Mamah Dedeh dalam tayangan Assalamualaikum Mamah Dedeh Trans 7 mengatakan, boleh saja bagi seorang wanita keluar rumah asalkan memperhatikan beberapa hal. Salah satunya adalah mereka tidak boleh tabarruj atau memperlihatkan keindahannya kepada laki-laki.

“Perempuan lebih baik tinggal di dalam rumah. Kalau keluar rumah boleh tapi jangan tabarruj. Tabarruj itu dandan berlebihan,” ujar Mamah dedeh.

Selain itu, wanita juga tidak boleh merubah bentuk wajahnya. Contohnya seperti menato alis, memakai bulu mata palsu hingga menyambung rambut.

“Haram hukumnya,” tegas Mamah Dedeh.

Beda halnya dengan perawatan, Islam memperbolehkan wanita melakukan hal tersebut. Selagi tidak merubah sesuatu, Allah masih meridhoinya.

“Kalau perawatan boleh, yang haram yang rubah. Memakai pensil alis boleh asal dipakai sewajarnya,” ungkap Mamah Dedeh.

“Allah berfirman dalam Alquran, merubah yang ada itu haram karena merupakan perbuatan setan. Tapi jika memperbaiki yang rusak diperbolehkan. Misalnya, orang kecelakaan mukanya hancur, dioperasi, itu boleh,” sambungnya.

Begitupun dalam menggunakan perhiasan. Allah SWT tidak menyukai hambanya yang berlebih-lebihan dalam melakukan sesuatu.

Allah SWT berfirman dalam surah Al A’raf ayat 31:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Bacaan latin: yaa banii aadama khudzuu ziinatakum ‘inda kulli masjidin wakuluu waisyrabuu walaa tusrifuu innahu laa yuhibbu almusrifiina

Artinya: Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

“Rasul juga mengajarkan sebaik-baik urusan adalah yang sedang-sedang saja,” tukas Mamah Dedeh.

(hnh/erd)



Sumber : www.detik.com

Hukum Salat Berjamaah Kaum Wanita dengan Imam Wanita, Bolehkah?


Jakarta

Salat berjamaah adalah salat yang dilakukan bersama-sama yang terdiri atas imam dan makmum. Jika dibandingkan dengan salat secara munfarid atau sendiri-sendiri, salat berjamaah dianggap lebih baik karena mengandung banyak keutamaan.

Mengutip buku Dahsyatnya Shalat Berjamaah oleh Deni Yaasin, salat yang dilakukan secara berjamaah mendatangkan pahala yang lebih besar. Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda:

“Barangsiapa bersuci di rumahnya, lalu pergi ke suatu masjid untuk menunaikan salat yang telah Allah wajibkan kepadanya, maka setiap langkahnya menghapus sebuah kesalahannya, dan langkah yang satu lagi mengangkat satu tingkat derajatnya.”


Umumnya, imam salat berjamaah berjenis kelamin laki-laki. Lantas, bagaimana hukumnya jika salat berjamaah yang dilakukan kaum wanita diimami dengan wanita juga? Apakah diperbolehkan?

Hukum Salat Berjamaah Kaum Wanita dengan Imam Wanita

Syaikh Ahmad Jad melalui bukunya yang berjudul Fikih Sunnah Wanita menyebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai diperbolehkannya berjamaah bagi wanita dengan imam wanita. Sebagian menyebut boleh, sebagian lainnya melarang.

Meski demikian, mayoritas ulama menilai hal tersebut boleh dilakukan, sebagaimana mengacu pada hadits Rasulullah SAW yang memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam di rumahnya.

Dari Ummu Waraqah binti Abdullah bin Al-Harits Al-Anshari, ia adalah seorang wanita hafizah Al-Qur’an,

“Bahwasanya Rasulullah SAW telah memerintahkannya untuk menjadi imam bagi anggota keluarganya. Ia mempunyai seorang muadzin dan ia menjadi imam bagi anggota keluarganya.” (HR Abu Dawud)

Sejumlah ulama berpendapat hal tersebut tidak dianjurkan. Ada juga yang menyebutnya sebagai perbuatan makruh.

Sebagian lainnya mengambil jalan tengah dengan mengatakan mereka boleh berjamaah dalam salat sunnah. Tetapi, tidak boleh dalam salat wajib.

Ketika kaum wanita melaksanakan salat jamaah dengan imam wanita, hendaknya memperhatikan sejumlah hal. Pertama, tidak adanya adzan dan iqamah.

Ibnul Jauzi berkata, “Wanita tidak dianjurkan untuk mengumandangkan adzan dan tidak pula iqamah,”

Kedua, hendaknya wanita menutupi seluruh tubuh dan auratnya. Ibnu Qudamah berkata, “Adapun seluruh tubuh wanita merdeka, maka harus ditutupi dalam salat. Apabila ada yang terbuka, maka salatnya tidak sah kecuali sedikit. Inilah pendapat yang didukung Imam Malik, Al-Auza’i, dan Asy-Syafi’i.”

Ketiga, memperpendek atau mempercepat salat. Dari Abu Mas’ud Al-Anshar ia berkata,

“Salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, aku hampir tidak menemukan orang yang berlama-lama dalam salat bersama kami melebihi si Fulan.” Aku belum pernah melihat Rasulullah SAW memberikan nasehatnya dalam keadaan lebih marah dari hari ini. Beliau mengatakan,

“Wahai kalian semua, sesungguhnya kalian telah membuat orang-orang menjauh (tidak mau berjamaah). Karena itu, barangsiapa salat dengan banyak orang (menjadi imam), maka hendaklah ia mempeprcepat salatnya. Karena di antara mereka terdapat orang yang sakit, lemah, dan sedang mengurus kebutuhan.” (HR Bukhari)

Keempat, jika salat tersebut dekat dengan kaum laki-laki, maka wanita yang menjadi imam hendaknya tidak mengeraskan bacannya dalam salat. Sebaliknya, apabila jauh dari kaum lelaki dan suaranya tidak terdengar sampai keluar maka boleh saja membaca dengan suara keras.

Kelima, disunnahkan bagi wanita untuk menyatukan atau merapatkan anggota tubuhnya ketika rukuk dan sujud. Karena hal itu nampak lebih tertutup.

Itulah pembahasan mengenai hukum salat berjamaah kaum wanita dengan imam wanita. Semoga bermanfaat.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

5 Adab Berpakaian bagi Muslimah, Catat Ya!


Jakarta

Islam mengatur segala aspek keseharian hidup umatnya. Begitu pun dengan pakaian yang mereka kenakan. Ada sejumlah ketentuan yang diatur dalam adab berpakaian, khususnya bagi muslimah.

Allah SWT menyenangi keindahan dan keserasian, karenanya Rasulullah SAW mengajarkan kaum muslimin untuk berpakaian dan berhias rapi agar enak dipandang. Dalam surah Al A’raf ayat 31, Allah SWT berfirman:

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ


Artinya: “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.”

Aurat wanita dan laki-laki berbeda. Karenanya, pakaian yang dianjurkan untuk kaum wanita dan laki-laki tentu berbeda.

Mengutip buku Islam dan Batasan Aurat Wanita oleh Nuraini dan Dhiauddin disebutkan pengertian dari aurat adalah bagian dari tubuh orang Islam baik laki-laki maupun wanita yang tidak boleh dinampakkan pada orang lain, kecuali mahram dan suami istri.

Lalu, seperti apa adab berpakaian bagi muslimah menurut ajaran Islam?

Adab Berpakaian bagi Muslimah

Mengutip buku Akidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah Kelas IX oleh Harjan Syuhada dan Fida’ Abdilah, berikut sejumlah adab berpakaian bagi muslimah.

Wanita muslim harus berpakaian yang menutup aurat, seperti dijelaskan dalam surah Al Ahzab ayat 59 yang berbunyi:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Artinya: Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Menurut mazhab Hambali dan Syafi’i, aurat wanita ialah seluruh tubuh. Sementara ulama Maliki dan Hanafi berpandangan aurat wanita seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, hal ini sesuai dengan hadits dari Aisyah RA, dia berkata:

“Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah SAW dengan memakai pakaian yang tipis. Maka Rasulullah SAW pn berpaling darinya dan bersabda, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haid (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya.” (HR Abu Dawud)

2. Bahan Pakaian Tebal dan Tidak Memperlihatkan Lekuk Tubuh

Pakaian wanita muslimah harus tebal, tidak tipis dan tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits dari Usamah,

“Rasulullah SAW pernah memakaikanku baju Quthbiyyah yang tebal. Baju tersebut dulu dihadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau. Lalu aku memakaikan baju itu kepada istriku. Suatu kala Rasulullah SAW menanyakanku; “Kenapa baju Quthbiyyah-nya tidak engkau pakai?” Ku jawab: “Baju tersebut kupakaikan pada istriku Rasulullah.” Beliau berkata: “Suruh ia memakai baju rangkap di dalamnya karena aku khawatir Quthbiyyah itu menggambarkan bentuk tulangnya.” (HR Dhiya al-Maqdisi)

3. Lebar dan Longgar

Islam memerintahkan muslimah untuk memakai pakaian yang lebar dan longgar. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits dari Ummu ‘Athiyyah RA, ia berkata:

“Rasulullah SAW memerintahkan wanita yang dipingit (juga wanita yang haid) pada hari Id untuk menyaksikan kebaikan dan seruan kaum muslimin. Kemudian, seorang wanita berkata: “Wahai Rasulullah jika di antara kami ada yang tidak memiliki pakaian lalu bagaimana?” Rasulullah bersabda: “Hendaknya temannya memakaikan sebagian pakaiannya.” (HR Abu Dawud)

4. Tidak Berfungsi sebagai Perhiasan

Maksudnya, busana wanita muslimah hendaknya tidak memperindah mereka yang memakainya di depan para laki-laki dan berujun menimbulkan fitnah. Dalam surah An Nur ayat 31, Allah SWT berfirman:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

5. Tidak Diberi Wewangian

Menukil dari buku Adab Islam oleh Suhendri dan Ahmad Syukri, maksud tidak diberi wewangian atau parfum bukan berarti membiarkan seorang muslimah berbau tidak sedap. Mereka harus tetap menjaga kebersihan diri, hanya saja tidak boleh menebarkan aroma wewangian dari tubuhnya yang menyebabkan fitnah bagi lelaki.

Apabila ia di rumah bersama sang suami, maka dianjurkan untuk menggunakan wewangian. Dijelaskan dalam buku Andakah Perempuan Malang Itu? karya Syauqi Abdillah Zein, hukum penggunaan parfum sendiri ialah sunnah sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits yang berbunyi:

“Ada 4 perkara yang merupakan sunnah para rasul: yaitu malu, memakai parfum, bersiwak, dan menikah,” (HR Ahmad dan Tirmidzi)

Meski dianjurkan, wanita sebaiknya menggunakan parfum dengan aroma lembut dan tidak menyengat. Hal ini bertujuan agar tidak menarik minat pria yang mencium wangi tersebut.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

5 Perkara yang Dilarang ketika Wanita Muslim Berkabung Berdasarkan Hadits


Jakarta

Berkabung adalah perwujudan duka cita bagi seorang manusia ketika ditinggal wafat oleh orang terdekatnya. Dalam bahasa arab, berkabung disebut dengan ihdad yang diambil dari kata al-Hadd.

Menurut buku Fikih Sunnah Wanita susunan Abu Malik Kamal ibn as-Sayyid Salim, berkabung atau ihdad berarti mencegah atau melarang. Jadi, pada masa berkabung ini ada sejumlah perkara yang dilarang, khususnya bagi wanita.

Dalam sebuah hadits dari Ummu Athiyah ia berkata,


“Dahulu kami dilarang untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suami selama empat bulan sepuluh hari. Dan kami tidak boleh menggunakan celak, memakai wewangian, mengenakan pakaian yang dicelup, selain kain beludru Yaman. Beliau memberi kami keringanan pada saat suci, jika salah seorang dari kami telah mandi dari haida, untuk memakai sedikit kayu wangi, dan kami juga dilarang untuk mengantar jenazah.” (HR Bukhari dan Muslim)

5 Perkara yang Dilarang ketika Wanita Berkabung Berdasarkan Hadits

Merujuk pada sumber yang sama sebagaimana bersandar pada hadits di atas, berikut sejumlah perkara yang dilarang bagi wanita ketika berkabung.

1. Bercelak

Bercelak saat wanita dalam masa berkabung meski tujuannya untuk berobat dilarang. Dalam hadits dari Ummu Salamah, seorang wanita yang mengalami sakit mata dan keluarganya meminta izin kepada Nabi Muhammad untuk memakaikan celak sementara suaminya baru saja meninggal, maka beliau berkata, “Ia tidak boleh bercelak.”

“Demikianlah, dan Allah telah memudahkan bagi kaum muslimin dan muslimat untuk memperoleh cara pengobatan tanpa menggunakan celak, karena sekarang terdapat obat tetes, salep, dan yang lainnya, sehingga tidak ada lagi aritnya membuat alasan sakit agar bisa memakai celak, wallahu a’lam.” demikian bunyi keterangan dalam buku al-‘Adad wal Ihdad tulisan Syaikh Musthafa al-‘Adawi.

2. Memakai Minyak Wangi

Terkait keharaman minyak wangi, tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini ketika berkabung. Dalilnya ketika Ummu Habibah selesai dari masa berkabungnya atas kematian sang ayah, Abu Sufyan, ia meminta minyak wangi dan memakainya.

Namun, ada sejumlah kategori wewangian yang dikecualikan seperti segala sesuatu yang boleh digunakan wanita untuk mandi karena haid agar menghilangkan bau yang tidak enak. Jadi, wewangian tersebut digunakan untuk menghapus sisa-sisa darah.

3. Memakai Inai dan Sejenisnya

Dalam hadits Ummu Salamah disebutkan, “…dan ia juga tidak boleh memakai inai…” (HR Abu Dawud)

Ibnul Mundzir berkata, “Saya tidak menemukan adanya perbedaan pendapat bahwa memakai inai termasuk ke dalam perhiasan yang dialrang.”

Termasuk juga dalam hal ini memakai rias wajah. Dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, “Diharamkan baginya untuk mengenakan inai dan memerahkan wajahnya atau memutihkannya atau menggunakan sesuatu untuk menguningkannya, atau meghiasi wajah dan kedua tangannya dengan gambar. Dan ia juga dilarang untuk melebtkan wajahnya serta hal-hal lain untuk mempercantiknya.”

4. Mengenakan Pakaian yang Dicelup Berwarna-warni

Dilarang juga bagi muslimah untuk mengenakan pakaian yang dicelup dengan warna-warni dan pakaian yang dicelup dengan warna kuning serta yang dicelup dengan tanah liat yang berwarna merah.

Pada hadits Ummu Athiyah, “…Dan tidak mengenakan pakaian yang dicelup, selain kain yang tidak berwarna.”

Sementara, dalam hadits Ummu Salamah disebutkan, “Istri yang ditinggal mati oleh suaminya tidak boleh mengenakan pakaian yang dicelup dengan warna kuning, atau pakaian yang dicelup dengan tanah liat merah, dan tidak pula mengenakan perhiasan, serta tidak boleh memakai inai dan celak.” (HR Abu Dawud)

5. Memakai Perhiasan

Selanjutnya ialah memakai perhiasan. Wanita yang sedang dalam masa berkabung diharamkan memakai cincin, kalung, atau yang lainnya yang terbuat dari emas, perak, dan sejenisnya. Imam Malik berkata dalam al-Muwaththa,

“Dan wanita yang berkabung karena kematian suaminya tidak boleh memakai perhiasan apa pun.”

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Amal Jariyah Seorang Istri Bisa Dimulai dari Rumah, Apa Itu?



Jakarta

Menjadi seorang istri sekaligus ibu bukanlah hal yang mudah. Tentu hal ini memiliki banyak tantangan dan kesulitannya tersendiri.

Seorang istri tidak boleh lelah atau capek, sebab dia adalah penyemangat suami dan anaknya ketika mereka lelah atau sedih. Ibu juga harus selalu tegar untuk anak-anaknya supaya mereka kuat menjalani kehidupan dunia.

Sejalan dengan beratnya peran seorang istri sekaligus ibu, pahala dan balasan dari Allah SWT untuk mereka juga tidak kalah besar. Allah SWT meninggikan derajat seorang ibu hingga tiga kali lipat daripada ayah.


Bahkan, seorang istri atau ibu bisa mendapatkan amal jariyah yang akan terus mengalir meskipun dirinya sudah meninggalkan dunia ini. Amal apakah itu? Berikut jawabannya.

Amal jariyah seorang istri didapat ketika mereka sabar dalam mendidik anak berhasil membentuk anak-anaknya menjadi anak yang saleh dan salihah,paham akan agama Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah, sebagaimana dijelaskan dalam buku Mendidik Anak: Membaca, Menulis, dan Mencintai Al-Qur’an karya Ahmad Syarifuddin.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda,

أِذَامَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَ : صَدَقَة جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Artinya: “Jika manusia mati maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya (kedua orang tua).” (HR Muslim)

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa kegiatan mendidik Al-Qur’an pada anak-anak secara implisit termasuk amal jariyah. Orang tua, terutama istri sebagai ibu, guru, dan aktivis mengambil peran besar dalam pengajaran ini.

Seorang istri atau ibu mengambil peran penting dalam pendidikan anak sebab sekolah pertama seorang anak adalah ibu yang merupakan istri ayah. Seorang ibu harus mampu mendidik anaknya dengan baik sesuai dengan syariat Islam dan Al-Qur’an agar anak bisa menjadi saleh dan salihah.

Proses mendidik anak tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, melainkan hingga akhir hayat seorang ibu. Proses ini juga membutuhkan banyak kesabaran serta ketakwaan yang besar. Oleh sebab itu, Allah SWT sangat menjunjung tinggi ibu lebih daripada ayah.

Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits seperti yang dinukil dari buku Antologi Hadits Tarbawi: Pesan-Pesan Nabi SAW tentang Pendidikan karya Anjali Sriwijbant, dkk.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَارَسُوْلُ اللهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ ؟ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ (رواه مسلم)

Terjemahan: “Dari Abu Hurairah RA Berkata: ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasul. Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak saya hormati? Beliau menjawab: “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu, kemudian yang lebih dekat dan yang lebih dekat dengan kamu” (HR Muslim)

Menjadi seorang istri sekaligus ibu memang berat. Namun ketika dirinya berhasil mendidik anak-anaknya dengan sabar menjadi anak yang saleh dan salihah, maka ia akan mendapatkan pahala yang luar biasa banyak.

Amal jariyah seorang istri bisa diambil dari hal tersebut sebab anak yang saleh dan berbakti kepada orang tuanya akan selalu mendoakan walau sudah meninggal sekalipun, jelas buku Ketika Surga di Telapak Kaki Ibu karya Malahayati.

Apalagi ketika ilmu dan didikan anak dari istri yang salihah ini juga diajarkan dan disebarkan kepada orang banyak. Maka tentu saja istri atau ibu akan mendapat pahala dari ilmu yang sudah disebarkan tersebut.

Pahala yang akan didapatkan tentu juga akan berlipat ganda, yakni berhasil mendidik anak menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan ilmu yang bermanfaat yang disebarkan kepada orang banyak.

Semoga kita bisa menjadi salah satu penghuni surga jalur mendidik anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

MasyaAllah, 5 Keistimewaan Wanita Hamil dalam Islam


Jakarta

Tugas wanita sebagai seorang ibu adalah melahirkan dan mendidik anak. Berkat seorang ibu, akan terbentuk rumah tangga yang tentram dan juga bangsa yang besar.

Melahirkan adalah kebahagiaan tersendiri bagi seorang muslimah, karena wanita yang hamil dalam Islam mendapat kemuliaan di hadapan Allah SWT. Selain itu, Allah SWT juga akan melimpahkan kebaikan kepada wanita yang mengandung dengan penuh kesabaran.

Karena proses kehamilan yang dialami seorang ibu tidaklah mudah. Bahkan, ia harus berjuang dengan nyawanya ketika melahirkan anaknya.


Allah menyebutkan dalam surat Al-Ahqaf ayat 15 yang artinya:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا

Artinya: “Kami perintahkan kepadamu supaya berbuat baik kepada dua orang, yakni ibu dan bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya, maka dia akan mendapat pahala yang setimpal.” (QS. Al Ahqaf: 15)

Keistimewaan Wanita Hamil

Keistimewaan atau kebaikan akan diperoleh wanita yang sedang mengandung. Mengutip buku Tentang Bagaimana Surga Merindukanmu oleh Ustadzah Umi A. Khalil, berikut ini mengenai keistimewaan yang dijanjikan oleh Allah SWT untuk diberikan kepada muslimah yang mengandung:

1. Malaikat Beristighfar

Ketika seorang wanita salehah tengah mengandung janin di dalam rahimnya, maka malaikat akan beristighfar untuknya. Allah SWT juga memberikan baginya setiap hari dengan 1000 kebaikan dan menghapus 1000 kejahatan darinya.

2. Shalatnya Lebih Utama

Ibadah yang dilakukan seorang muslimah yang tengah hamil diberikan ganjaran luar biasa oleh Allah SWT. Rasulullah SAW mengatakan bahwa dia, rakaat salatnya wanita hamil jauh lebih baik dibandingkan dengan 80 rakaat salatnya wanita yang tidak hamil.

Keistimewaan tersebut diberikan karena wanita yang mengandung membawa janin dalam perutnya. Tentu saja janin ikut serta dengan ibunya menunaikan salat, mendengarkan bacaan-bacaan salat, serta ikut sujud dengan ibu untuk beribadah kepada Allah SWT serta selalu dalam perlindungan-Nya.

3. Memperoleh Pahala Berlipat

Wanita yang mengandung juga mendapat pahala seperti orang yang puasa saat siang serta ibadah di malam hari. Hal ini terjadi karena seorang muslimah yang sedang hamil selalu membawa amanah Allah SWT.

4. Mati Syahid

Salah satu keistimewaan wanita yang mengandung adalah ketika ia meninggal sewaktu melahirkan, maka ia dianggap mati syahid. Rasullah SAW bersabda yang artinya:

Mati syahid ada 7 jenis selain gugur di jalan Allah: korban meninggal karena wabah tha’un adalah syahid, korban meninggal karena sakit perut juga syahid, korban tenggelam juga syahid, korban meninggal tertimpa reruntuhan juga syahid, korban meninggal karena radang selaput dada juga syahid, korban meninggal terbakar juga syahid, dan wanita meninggal karena hamil adalah syahid.,” (H.R. Nasa`i).

Allah SWT memberikan jaminan kepada wanita hamil yang meninggal dunia dalam masa kehamilannya. Jaminan itu adalah memperoleh surga sebagaimana yang dijanjikan Allah SWT bagi para laki-laki yang mati syahid di medan perang yang berjihad di jalan Allah SWT.

5. Berjihad di Jalan Allah

Berjihad di jalan Allah SWT tidak hanya dilakukan seorang pria di Medan perang. Namun, ketika seorang wanita yang mengandung mulai merasa sakit hendak melahirkan, maka Allah SWT mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad di jalan Allah SWT.

Demikian penjelasan mengenai keistimewaan wanita hamil dalam Islam. Sebagai wanita muslimah yang sedang mengandung janganlah takut dan resah sebab Allah SWT telah menjanjikan pahala yang berlipat bagimu.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Hadits Anjuran Sholat di Rumah bagi Perempuan


Jakarta

Sholat adalah salah satu pilar utama dalam agama Islam dan merupakan ibadah yang sangat penting. Meninggalkan sholat karena ingkar merupakan bentuk kekufuran dan mengeluarkan yang bersangkutan dari agama Islam.

Meskipun sholat di masjid adalah praktik yang umum di kalangan muslim, ada situasi tertentu di mana perempuan diizinkan atau bahkan disarankan untuk sholat di rumah. Berikut adalah anjuran sholat di rumah bagi perempuan.

Anjuran Sholat di Rumah bagi Perempuan

Dikutip dari buku Ensiklopedia Hadis Sahih karya Muhammad Shidiq Hasan Khan, anjuran sholat di rumah bagi perempuan yaitu:


عَنْ أُمّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِي أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَحَبُّ الصَّلاةَ مَعَكَ. قَالَ : قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكَ تُحِيِّينَ الصَّلاةَ مَعِي وَصَلَاتُكِ فِي بَيْتِكَ خَيْرٌ لَكَ مِنْ صَلَاتِكَ فِي حُجْرَتِكَ وَصَلَاتُكَ فِي حُجْرَتِكَ خَيْرٌ مِنْ صَلَاتِكَ فِي دَارِكِ وَصَلَاتُكِ فِي دَارِكَ خَيْرٌ لَكَ مِنْ صَلاتِكَ فِي مَسْجِد قَوْمَكَ وَصَلَاتُكَ في مَسْجِد قَوْمَكَ خَيْرٌ لَكَ مِنْ صَلَاتِكَ فِي مَسْجِدي)). فَأَمَرَتْ فَبُنِي لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لقيت الله عَزَّ وَجَلٌ

Artinya: “Ummu Humaid, istri Abu Humaid As-Sa’idi, pernah datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Rasulullah, aku suka sekali sholat denganmu.” Rasulullah SAW berkata, “Aku tahu bahwa engkau sangat suka sholat denganku. Tetapi, sholatmu di tempat tidurmu lebih baik daripada sholatmu di dalam kamarmu. Sholatmu di dalam kamarmu lebih baik ketimbang sholatmu di dalam rumahmu. Sholatmu di rumahmu lebih baik daripada sholatmu di masjid kaummu. Sholatmu di masjid kaummu lebih baik ketimbang sholatmu di masjidku.” Lalu, Ummu Humaid memerintahkan dibangunkan masjid. Dia pun dibangunkan masjid di ujung rumahnya yang paling gelap. Ummu Humaid sholat di masjid itu hingga bertemu dengan Allah SWT (meninggal dunia).” (HR Ahmad dan Ibnu Hibban)

Dijelaskan juga dalam buku Sholat Khusyuk untuk Wanita karya M. Khalilurrahmn Al-Mahfani & Ummi Nurul Izzah bahwa tempat sholat terbaik untuk seorang perempuan adalah di dalam rumahnya.

Rasulullah SAW bersabda,

خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهنَّ.

Artinya: “Sebaik-baik tempat untuk sholat bagi wanita adalah di dalam rumahnya.” (HR Ahmad, Thabrani, dan Al-Hakim)

Hukum Perempuan Sholat di Masjid

Seorang perempuan tetap diperbolehkan untuk sholat berjamaah di masjid meskipun dianjurkan untuk sholat di rumah. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya larangan dan tidak boleh melarang atau menghalanginya.

Rasulullah SAW bersabda,

لاَ تَمْنَعُوا النِّسَاءَ أَنْ يَخْرُجْنَ إِلَى الْمَسَاجِدِ وبيوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

Artinya: “Janganlah kalian melarang wanita pergi ke masjid (untuk sholat) walau rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (HR Ahmad dari Ibnu Umar)

Jika seorang perempuan hendak pergi ke masjid untuk sholat berjamaah atau pengajian, hendaknya memerhatikan hal-hal berikut:

  • Tidak memakai perhiasan yang berlebihan
  • Tidak bercampur baur dengan lelaki
  • Tidak menyerupai lelaki
  • Aman dalam perjalann ke masjid dari bahaya yang mengancam
  • Tidak memakai wewangian
  • Tidak berpakaian yang sangat mencolok

Ada juga baiknya mempertimbangkan beberapa hal berikut jika seorang perempuan ingin sholat di masjid:

– Sabda Rasulullah SAW tentang tempat terbaik bagi wanita bersifat prefentif, yakni untuk menjaga diri dari fitnah dan bahaya. Jangankan wanita, lelaki juga banyak yang diintimidasi ketika pergi ke masjid di zaman Rasulullah SAW.
– Dalam rangka syiar Islam
– Memberikan contoh kepada anak-anaknya untuk beribadah dan menghidupkan masjid sejak dini
– Beruswah atau mencontoh para sahabat wanita di masa Rasulullah SAW yang brbondong-bondong beribadah bersama Rasulullah SAW dan menghadiri majelis-majelis beliau, bahkan mereka ikut berjihad bersama Rasulullah SAW.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Masa Nifas dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i


Jakarta

Masa nifas termasuk perkara yang penting dalam Islam karena berkaitan dengan hukum pelaksanaan ibadah lainnya. Para ulama mazhab telah menjelaskan tentang hal ini tak terkecuali mazhab Syafi’i.

Dikutip dari Fiqh Al-‘Ibadat, ‘Ilmiyyan ‘Ala Madzhabi Al-Imam Asy-Syafi’i Ma’a Mutammimat Tanasub Al-‘Ashr karya Alauddin Za’tari, nifas secara bahasa adalah melahirkan.

Adapun menurut istilah, nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Maksudnya, setelah melahirkan akan muncul segumpal darah atau seonggok daging. Darah yang keluar setelah selesai melahirkan tersebut dinamakan darah nifas.


Lamanya Masa Nifas

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid menjelaskan, menurut pendapat Imam Syafi’i, tidak ada batas minimal masa nifas, nifas bisa berlangsung sesaat. Adapun terkait batas maksimalnya, para ulama dari kalangan mazhab Syafi’i berpendapat masa nifas kebanyakan berlangsung sampai 60 hari.

Pada umumnya masa nifas berlangsung selama 40 hari dan maksimal berlangsung selama 60 hari. Hal ini bersandar pada hadits yang bersumber dari Umm Salamah RA, ia menuturkan,

“Pada masa Rasulullah SAW, wanita-wanita yang nifas itu duduk (tidak melakukan salat) selama empat puluh hari.” (HR Abu Dawud)

Meski demikian, ada juga pendapat lain yang menyebut masa nifas berlangsung selama 11 hari, 20 hari, dan 30 hari.

Perbedaan masa nifas ini terjadi karena pengalaman nifas setiap wanita itu berbeda-beda. Kondisi demikian tidak bisa dihitung oleh petunjuk hadits sebagaimana petunjuk untuk menentukan masa haid dan masa suci. Demikian seperti dijelaskan dalam Kitab Fikih Shalat 4 Mazhab karya A.R. Shohibul Ulum.

Larangan ketika Masa Nifas

Terdapat delapan larangan yang hukumnya haram dilakukan ketika sedang masa nifas. Imam Syafi’i telah menjelaskan larangan tersebut seperti yang terdapat dalam sumber buku sebelumnya, yaitu:

1. Salat

Seorang ibu yang sedang masa nifas haram melakukan salat fardhu atau sunnah, salat jenazah, sujud syukur, dan sujud tilawah. Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah seorang wanita jika haid itu tidak salat dan tidak puasa?” (HR Bukhari)

2. Berpuasa

Selain salat, seorang ibu yang sedang masa nifas juga diharamkan untuk berpuasa, namun wajib mengganti puasanya jika masa nifas telah selesai.

Dari Mu’adzah RA, ia menuturkan, “Aku pernah bertanya kepada Aisyah RA: ‘Ada apa dengan seorang wanita yang sedang haid? Mengapa ia wajib mengganti puasanya dan tidak wajib mengganti salatnya?’ Ia menjawab, ‘Kami pernah mengalami hal itu di zaman Rasulullah SAW. Lalu, kami diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti salat.'” (HR Bukhari dan Muslim)

3. Membaca Al-Qur’an

Seorang ibu yang sedang masa nifas dilarang membaca Al-Qur’an sehingga didengar oleh diri sendiri. Namun, tidak ada larangan jika hanya membaca Al-Qur’an dalam hati atau melihat mushaf, atau menggerakkan lisannya atau berbisik yang tidak sampai terdengar oleh dirinya sendiri.

Rasulullah SAW bersabda, “Perempuan yang sedang haid dan orang yang junub tidak boleh membaca Al-Qur’an sedikit pun.” (HR At Tirmidzi)

4. Menyentuh Mushaf

Diharamkan untuk menyentuh dan membawa mushaf meskipun menyentuhnya dengan benda pelindung. Namun jika seorang yang dalam masa nifas khawatir jika mushaf akan terbakar jika dibiarkan atau terkena najis, maka hukumnya wajib untuk membawanya ke tempat yang aman.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Waqiah ayat 79,

لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۗ ٧٩

Artinya: “Tidak ada yang menyentuhnya, kecuali para hamba (Allah) yang disucikan.”

5. Berdiam Diri di Masjid dan Bolak-balik Melewatinya

Berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Aisyah RA, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi perempuan yang sedang haid dan orang junub.” (HR Abu Dawud)

Namun jika lewat di masjid untuk suatu keperluan maka hukumnya boleh, sedangkan makruh jika melewati masjid tanpa ada keperluan dengan syarat bahwa tidak akan mengotorinya.

6. Tawaf

Kedudukan tawaf sama dengan salat. Maka ketika sedang masa nifas, seorang ibu tidak boleh melakukan tawaf. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya ini adalah perkara yang telah Allah tentukan atas anak perempuan Adam. Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang haji. Hanya saja kamu tidak boleh tawaf di Ka’bah, sampai kamu suci.” (HR Bukhari)

7. Bersetubuh

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menggauli istri yang sedang haid, atau dari duburnya, atau mendatangi dukun lalu membenarkannya, maka sungguh ia telah kufur pada apa yang Allah turunkan kepada Muhammad.” (HR At Tirmidzi)

8. Bercumbu pada Bagian antara Pusar dan Lutut

Wanita nifas juga dilarang bersenang-senang atau mencumbui pada bagian antara pusar dan lutut dengan persetubuhan atau lainnya. Hal tersebut haram dilakukan oleh ibu atau suami ketika masa nifas karena meskipun bersenang-senang tanpa syahwat tetap akan mendorong pada persetubuhan. Namun halal hukumnya jika bersenang-senang atau mencumbui istri pada bagian di luar antara pusar dan lutut.

Hukum yang mendasari larangan ketika nifas ini sama dengan hukum haid.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com