Category Archives: Muslimah

Hukum Buka Tutup Cadar bagi Wanita, Apakah Berdosa?



Jakarta

Hukum buka tutup cadar bagi muslimah seringkali menjadi pertanyaan dan perkara yang diperdebatkan. Cadar atau niqab adalah penutup kepala atau muka bagi perempuan.

Wajib tidaknya memakai cadar sebenarnya tidak bisa lepas dari bahasan terkait batasan aurat perempuan, terutama kewajiban menutup wajah. Para ulama juga memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai hukum memakai cadar.

Lantas, seperti apa hukum buka tutup cadar bagi muslimah? Sebelum memahami hukumnya, berikut ini penjelasan dari batasan aurat bagi perempuan.


Batasan Aurat bagi Perempuan

Batasan aurat bagi perempuan salah satunya bersandar pada dalil Al-Qur’an surat An-Nur ayat 31, Allah SWT berfirman:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ

Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS An-Nur: 31).

Dijelaskan dalam buku Fiqih Perempuan Kontemporer karya Farid Nu’man, ayat tersebut menegaskan kewajiban perempuan untuk menutup seluruh tubuhnya, kecuali yang biasa tampak.

Disebutkan pula dalam ayat tersebut bahwa hendaknya perempuan menutupkan kain kerudung ke dadanya. Namun, tidak ada satupun kata yang menyebutkan perintah menutup wajah bagi perempuan.

Jumhur ulama juga mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan perempuan bukan termasuk aurat, sebagaimana diterangkan dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir ketika Imam Ibnu Katsir menafsirkan makna ayat “…kecuali, yang biasa terlihat…”

Oleh sebab itu, aurat perempuan dapat dipahami sebagai seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan.

Hukum Buka Tutup Cadar bagi Muslimah

Hukum buka lalu menutup cadar bagi muslimah dapat dipahami dari hukum mengenakan cadar. Para ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda terkait penggunaan cadar,

Mengutip dari buku Ahlussunnah wal Jamaah karya A. Fatih Syuhud, cadar atau niqab dimaknai sebagai tradisi, bukan syar’i karena tidak didukung oleh dalil qat’i dari Al-Qur’an dan sunnah. Mayoritas ulama Salafus Salih pun turut mendukung pendapat ini.

Pengikut mazhab Maliki bahwa menyatakan hukum niqab bagi perempuan bisa menjadi kategori hukum makruh. Terlebih apabila niqab atau cadar dijadikan sebagai permasalahan yang menyebabkan umat Islam menjadi terpecah belah atau menganggap niqab sebagai syiar untuk mengklaim bahwa penggunanya lebih kuat agamanya dan kuat ibadahnya.

Mengutip dari NU Online, ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menyatakan bahwa memakai cadar hukumnya mubah. Sedangkan menurut sebagian ulama mazhab Syafi’i memakai cadar hukumnya sunnah, bahkan sebagian ulama menghukuminya wajib.

Dengan demikian, adanya perbedaan pandangan mengenai hukum menutup cadar seharusnya membuat umat muslim menjadi semakin toleran dan tidak mudah menyalahkan kelompok lain yang berbeda pandangan.

Hukum buka tutup cadar bergantung pada keyakinan dan pendapat yang dipilihnya. Apabila seorang muslimah meyakini bahwa cadar tidak wajib dikenakan, maka ia boleh melepasnya.

Sebaliknya, jika seseorang telah meyakini bahwa menutup wajah dengan cadar termasuk kewajiban, maka ia tidak boleh untuk kadang-kadang melepasnya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum membuka atau menutup cadar bagi muslimah tidak berdosa. Yang berdosa adalah ketika wanita muslim tidak mengenakan jilbab atau tidak menutup auratnya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Wanita Berdesakan dengan Pria saat Thawaf, Apa Hukumnya?



Jakarta

Pelaksanaan haji ke Baitullah yang hanya terjadi setahun sekali, membuat umat Islam dari seluruh dunia tumpah ruah dalam satu waktu dan tempat. Terlebih ketika menjalankan thawaf, di mana pria dan wanita bercampur serta saling berdesakan. Lantas bagaimana hukumnya?

Thawaf merupakan salah satu rukun ibadah dalam rangkaian pelaksanaan haji dan umrah sehingga pengerjaannya benar harus ditunaikan. Jika tidak, maka ibadah haji dan umrahnya tidak sah atau batal.

Allah SWT melalui kalam-Nya secara langsung mensyariatkan thawaf bagi jemaah haji dan umrah, sebagaimana termaktub dalam Surat Al Hajj ayat 29:


وَلْيَطَّوَّفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ – 29 …

Artinya: “… Dan melakukan tawaf di sekeliling al-Bait al-‘Atīq (Baitullah).”

Namun ketika mengerjakan thawaf pada waktu haji, jemaah menghadapi kesulitan yang tak bisa dihindarkan seperti berdesakan satu sama lain baik laki-laki dan perempuan. Begitu juga saat jemaah ingin mengambil sunnah dalam mencium Hajar Aswad.

Hukum Wanita Berdesakan dengan Pria saat Thawaf

Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim melalui Kitab Fiqh as-Sunnah li an-Nisa’ mengemukakan pendapatnya, “Tidak sepatutnya bagi kaum wanita untuk berdesak-desakan dengan kaum laki-laki dalam melakukan thawaf, untuk menyentuh dua rukun Yamani atau mencium Hajar Aswad.”

Bahkan Imam Syafi’i dalam kitab fikihnya Al Umm menyatakan makruh bagi pria dan wanita untuk berdesakan di saat thawaf. Ia mengambil dalil dasar dari riwayat Aisyah, Ummul Mukminin.

Disebutkan, “Sa’id bin Salim mengabari kami, dari Umar bin Sa’id bin Abu Husein, dari Manbudz bin Abu Sulaiman, dari ibunya, bahwa suatu ketika dia bersama Aisyah.

Lalu masuklah seorang maulah kepadanya yang kemudian berkata kepadanya, ‘Wahai Ummul Mukminin, aku berthawaf mengelilingi Baitullah tujuh kali dan aku beristilam (menyentuh dan mencium Hajar Aswad) pada rukun dua atau tiga kali.’

Aisyah lalu berkata kepadanya, ‘Allah tidak memberi pahala kepadamu, dan Dia tidak akan memberi pahala kepadamu karena engkau mendorong-dorong para laki-laki. Kenapa engkau tidak bertakbir dan terus lewat saja?'”

Hal ini juga diterangkan dalam riwayat lain, “Sa’id mengabari kami, dari Utsman bin Miqsam al-Rabi, dari Aisyah binti Sa’d, bahwa ia berkata, ‘Ayahku berkata kepada kami, ‘Apabila kalian menemukan kesenggangan di tengah orang-orang (thawaf), maka beristilamlah. Tetapi jika tidak, maka bertakbirlah kalian dan lewatlah.'”

Imam Syafi’i kemudian menegaskan, “Ketika Aisyah, Ummul Mukminin dan Sa’d sudah memerintahkan para laki-laki jika wanita melakukan istilam maka janganlah mereka berdesakan dengan para wanita itu melainkan melanjutkan meninggalkan mereka, karenanya saya nyatakan makruh bagi laki-laki dan perempuan untuk berdesakan di saat thawaf.”

Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam buku Al-Jami’ fii Fiqhi An-Nisa menjelaskan bahwa perempuan sunnah untuk melakukan thawaf di malam hari. Menurutnya, karena itu lebih melindungi aurat wanita dan menghindarkannya dari desakan banyak orang, sehingga ia baginya memungkinkan untuk mendekati Kakbah dan mencium Hajar Aswad.

Sebagaimana sebuah riwayat dari Ibnu Juraij, ia mengatakan: “Atha’ bercerita kepadaku bahwa ketika Ibnu Hisyam melarang perempuan melakukan thawaf bersama dengan kaum laki-laki, dia berkata, ‘Bagaimana engkau melarang mereka, padahal istri-istri Rasulullah SAW melakukan thawaf bersama dengan kaum laki-laki?”

Aku (Ibnu Juraij) bertanya, ‘Apakah mereka melakukannya setelah ayat hijab turun atau sebelumnya?’ Atha’ menjawab, ‘Aku bersumpah, mereka melakukannya setelah ayat hijab turun.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana mereka bercampur dengan kaum laki-laki?’

Atha’ menjawab, ‘Mereka tidak bercampur dengan kaum laki-laki. Aisyah thawaf di tempat terpisah dari kaum laki-laki. Seorang perempuan (yang ikut thawaf bersama Aisyah) berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin, mari kita menyentuh Hajar Aswad.’ Aisyah berkata, ‘Lakukan sendiri.’ Aisyah tidak mau diajak menyentuh Hajar Aswad.

Istri-istri Rasulullah SAW pada malam hari keluar dengan menyamar lalu melakukan thawaf bersama kaum laki-laki. Tetapi, ketika mereka ingin masuk Ka’bah, mereka menunggu hingga kaum laki-laki yang berada di dalam diperintahkan untuk keluar.” (HR Bukhari dalam kitab al-Hajju, [618])

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah menerangkan bahwa perempuan boleh istilam jika situasi kosong dan jauh dari kalangan laki-laki. Tetapi jika kaum pria berebut menyentuh dan mencium Hajar Aswad, maka wanita hendaknya membaca takbir dan tahlil saja sesuai perkataan Aisyah, Ummul Mukminin.

Buku Al-Jami’ fii Fiqhi An-Nisa turut menyebut perempuan tidak disunnahkan berdesak dengan laki-laki saat thawaf untuk menyentuh Hajar Aswad. Tetapi baginya cukup mengisyaratkan tangan ke arah Hajar Aswad.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Simak Niat dan Tata Cara Mandi Wajib Setelah Haid bagi Wanita



Jakarta

Niat dan tata cara mandi wajib setelah haid penting dipahami oleh wanita muslim. Mandi wajib dilakukan ketika seseorang dalam keadaan junub, baik wanita maupun pria.

Aturan mandi wajib setelah haid bagi wanita terdapat dalam sebuah hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari, beliau bersabda:

“Apabila kamu datang haid hendaklah kamu meninggalkan salat. Apabila darah haid berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan salat,” (HR Bukhari).


Terlebih, darah haid termasuk ke dalam golongan hadats besar. Karenanya, wanita tidak diperbolehkan salat sebelum menyucikan dirinya dengan cara mandi wajib.

Dalam surat Al Baqarah ayat 222, Allah SWT menjelaskan tentang kewajiban menyucikan diri bagi wanita usai haid,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran,” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri,”

Selain haid, ada juga perkara lainnya yang menyebabkan seorang wanita mandi wajib. Menukil dari buku Fiqh as-Sunnah li an-Nisa susunan Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim, perkara tersebut antara lain:

  • Keluarnya mani dengan syahwat
  • Setelah berhubungan badan walau tidak mengeluarkan air mani
  • Masuk Islamnya seseorang
  • Ketika seorang wanita meninggal dunia
  • Keluarnya nifas

Niat Mandi Wajib setelah Haid

Berikut merupakan bacaan niat mandi wajib wanita setelah haid yang dikutip dari buku Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari karya Muh Hambali.

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ عَنِ الْحَيْضِ لِلَّهِ تَعَالَى

Arab latin: Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari ‘anin haidhi lillaahi ta’aala

Artinya: “Aku berniat mandi untuk menghilangkan hadats besar yang disebabkan haid karena Allah Ta’ala,”

Tata Cara Mandi Wajib setelah Haid

Merujuk pada buku Fiqh as-Sunnah li an-Nisa, berikut ini merupakan tata cara mandi wajib setelah haid yang perlu dipahami oleh wanita muslim.

1. Menggunakan sabun atau pembersih lain yang digunakan bersama dengan air, sesuai sabda Rasul SAW kepada Asma.

2. Mengurai rambut dan melepaskan kepangnya jika akan mandi wajib dari haid dan nifas, sebagaimana dalam riwayat Aisyah.

3. Usai mandi wajib, terdapat anjuran mengambil sepotong kain atau kapas yang diberi wewangian, dan kemudian digunakan untuk membersihkan sisa bau darah. Sesuai riwayat Aisyah, ada seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW tentang mandi dari haid, maka beliau bersabda:

“Hendaklah dia mengambil sepotong kapas atau kain yang diberi minyak wangi kemudian bersucilah dengannya. Wanita itu berkata: “Bagaimana caranya aku bersuci dengannya?” Beliau bersabda: “Maha Suci Allah bersucilah!” Maka ‘Aisyah menarik wanita itu kemudian berkata: “Ikutilah (usaplah) olehmu bekas darah itu dengannya (potongan kain/kapas).” (HR Muslim)

Itulah niat dan tata cara mandi wajib setelah haid bagi wanita muslim. Semoga bermanfaat!

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

4 Mahar Pernikahan yang Dilarang dalam Islam



Jakarta

Mahar pernikahan yang dilarang dalam Islam perlu diketahui oleh calon pasangan suami istri yang hendak menikah. Mahar menjadi salah satu syarat sah dalam pernikahan yang harus diberikan oleh mempelai laki-laki.

Mengutip dari buku Sejarah Ibadah karya Syahruddin El-Fikri, salah satu rukun nikah yang wajib dipenuhi seorang calon suami apabila ingin menikahi seorang wanita yaitu dengan memberikan maskawin atau mahar. Pernikahan akan menjadi tidak sah hukumnya jika calon suami tidak bisa memberikan mahar tersebut.

Pemberian mahar dalam pernikahan telah diterangkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 4, Allah SWT berfirman:


وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا

Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati (ikhlas), maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu.” (QS An-Nisa: 4).

Mahar pernikahan juga menunjukkan bentuk tanggung jawab seorang calon suami kepada istrinya. Dengan mahar tersebut, maka suami dihalalkan untuk mempergauli istrinya dengan baik.

Ajaran Islam tidak menentukan aturan pasti mengenai jumlah mahar pernikahan. Namun, terdapat beberapa jenis mahar pernikahan yang dilarang dalam Islam. Berikut ini penjelasannya yang dikutip dari berbagai sumber.

Mahar Pernikahan yang Dilarang

1. Mahar Pernikahan yang Berlebihan

Islam sangat menganjurkan perempuan agar tidak meminta mahar yang berlebihan. Disebutkan dalam buku Hadiah Pernikahan Terindah karya Ibnu Watiniyah, menentukan nilai mahar yang tinggi juga dapat membahayakan kedua calon mempelai.

Apabila keduanya telah bersepakat untuk menikah tetapi terkendala perkara mahar, bisa jadi pernikahannya akan terancam batal dan keduanya menjalin hubungan di luar nikah.

Ajaran Islam pun hakikatnya senantiasa memberi kemudahan bagi pemeluknya untuk beribadah. Melalui Al-Qur’an surat At-Talaq ayat 7, Allah SWT berfirman:

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS At-Talaq: 7).

2. Jumlah Mahar yang Memberatkan

Mahar yang memberatkan juga dilarang dalam ajaran Islam. Dalam Buku Pintar Fikih Wanita karya Abdul Qadir Manshur disebutkan bahwa mahar bukanlah tujuan dari pernikahan, melainkan hanya sebagai simbol ikatan cinta kasih.

Pernikahan dengan mahar yang ringan justru dikatakan bisa membawa keberkahan dalam rumah tangga. Sebagaimana dikatakan dalam hadits, diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya pernikahan yang paling banyak berkahnya adalah yang paling sedikit biayanya.” (HR Ahmad).

3. Mahar yang Tidak Bernilai

Mahar pernikahan yang tidak bernilai termasuk yang dilarang. Disebutkan dalam buku Walimah Cinta karya Ummu Azzam, Islam telah memberikan keringanan kepada laki-laki yang tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk mencicilnya atau mengangsurnya.

Mahar yang diperbolehkan dalam Islam yaitu mahar yang bernilai, seperti emas, seperangkat alat salat, atau dapat berupa hal yang bermanfaat bagi kehidupan calon mempelai wanita seperti hafalan Al-Qur’an dan barang berharga lainnya.

4. Mahar Pernikahan yang Haram

Memberikan mahar yang haram, baik secara zat ataupun cara memperolehnya jelas dilarang dalam Islam. Dikutip dari Kitab Al-Umm Jilid 9 karya Imam Asy-Syafi’i, apabila mahar yang diberikan dalam pernikahan berupa barang haram seperti khamr atau lainnya, lalu istri belum menerima mahar tersebut, maka istri berhak menerima mahar yang wajar baginya.

Apabila seorang istri menerima mahar yang harap setelah salah satu di antara pasangan suami istri itu masuk Islam, maka istri berhak mendapatkan setengah dari nilai mahar yang wajar baginya.

Sedangkan jika istri telah menerima maharnya yang haram, sementara kedua pasangan tersebut pada saat menikah masih musyrik, maka mahar itu sudah berlalu dan tidak ada hak untuk mendapatkan mahar lagi bagi istri selain mahar yang telah diberikan.

Demikian penjelasan dari 4 mahar pernikahan yang dilarang dalam Islam. Sebagai umat muslim, hendaknya perlu memperhatikan ketentuan pemberian mahar dalam pernikahan agar ibadah yang dilakukannya menjadi sah secara agama.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Dampak Negatif bagi Pelaku Zina di Akhirat, Mendapat Siksa yang Pedih!



Jakarta

Zina termasuk bagian dari dosa besar yang paling dibenci oleh Rasulullah SAW. Bahkan, Allah SWT telah melarang hamba-hamba-Nya untuk mendekati segala hal yang dapat menjerumuskannya ke jurang perzinaan.

Syaikh Abu Bakar Jabar al-Jazairi dalam Kitab Minhajul Muslim menerangkan, zina adalah perbuatan haram dengan melakukan hubungan badan, baik melalui kemaluan atau dubur oleh dua orang yang bukan pasangan suami istri.

Sementara dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa zina merupakan suatu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. Orang yang melakukan zina berarti telah mengotori jiwanya dengan sifat-sifat yang buruk, baik di mata sesama manusia maupun di sisi Allah SWT.


Melalui surat Al-Isra ayat 32, Allah SWT telah menegaskan larangan berbuat zina melalui firmannya:

وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Isra: 32).

Turut disebutkan dalam buku Wanita-wanita yang Dimurkai Nabi oleh Muhammad Masykur, pelaku zina akan mendapatkan dampak negatif, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat kelak.

Wanita yang sudah berumah tangga dan masih melakukan perzinaan akan membuat hancurnya kehormatan rumah tangga. Selain itu, pelaku zina juga dapat keluarga dan nama baik orang tua sehingga termasuk perbuatan dosa besar.

Lantas, seperti apa dampak negatif bagi pelaku zina di akhirat kelak? Ini penjelasannya.

Dampak Negatif bagi Pelaku Zina di Akhirat

Berikut ini di antara siksaan bagi pelaku zina di akhirat, dirangkum dari buku Ternyata Kita Tak Pantas Masuk Surga karya H. Ahmad Zacky El Syafa & Dosa-dosa Jariah karya Rizem Aizid.

1. Hisab yang Berat dan Dimurkai Allah SWT

Pelaku zina di akhirat kelak akan mendapatkan balasan berupa hisab yang berat serta dimurkai Allah SWT. Dalam suatu riwayat hadits telah diterangkan dampak negatif bagi pelaku zina di akhirat, Rasulullah SAW bersabda:

“Hai kamu muslimin, takutlah kamu terhadap perbuatan zina, karena didalamnya ada enam perkara, yaitu hilangnya cahaya di wajah, umur pendek, dan akan terus berada dalam keadaan fakir. Sedang tiga perkara di akhirat, mendapat kemurkaan Allah, siksa yang jelek, dan azab neraka.” (HR Baihaqi).

2. Hidup Kekal di Neraka Jahanam

Di akhirat kelak, pelaku zina akan hidup kekal di Neraka Jahanam. Muka pelaku zina akan ditarik dengan rantai ke jurang neraka paling dahsyat. Hal ini turut digambarkan dalam hadits, sebagaimana dikatakan melalui sabda Rasulullah SAW:

“Di Jahanam, ada sebuah lembah ada suatu lembah yang dipenuhi oleh ular berbisa. Ukurannya sebesar leher unta dan akan mematuk orang yang meninggalkan sholat. Bisanya akan menggerogoti tubuh selama 70 tahun hingga terkelupas daging-dagingnya.

Di sana juga terdapat lembag bernama Jubb al-Huzn. Di dalamnya dipenuhi ular dan kalajengking. Ukuran kalajengkingnya sebesar bighal (peranakan keledai atau kuda) dan memiliki 70 sengat. Masing-masing kalajengking memiliki kantung bisa untuk menyengat pezina dan memasukkan isi kantong bisanya ke dalam tubuh pezina itu.

Pelaku zina akan merasakan kepedihan selama 1000 tahun. Kemudian terkelupaslah daging-dagingnya dan akan mengalir dari kemaluannya nanah dan darah busuk.” (HR Baihaqi).

3. Dibakar dengan Api yang Berkobar

Pelaku zina di akhirat nantinya akan dibakar dengan api yang menyala-nyala. Dalam sebuah hadits dari Samurah bin Jundub RA, ia berkata Rasulullah SAW bermimpi didatangi oleh malaikat Jibril dan Mikail, lalu bercerita:

“Kamu berjalan hingga kami tiba di sebuah dapur yang mulutnya kecil, tetapi di bawahnya luas. Dari dalam lubang itu terdengar suara berisik. Kami pun melongok ke dalamnya. Di sana, kami melihat para lelaki dan wanita telanjang dan dibakar api yang berkobar di bawahnya.

Saat lidah api menyentuhnya, mereka pun berteriak dengan histeris karena panasnya. Aku lantas bertanya kepada malaikat, ‘Siapakah gerangan itu?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka adalah para pezina. Ini azab mereka hingga hari kiamat.'” (HR Bukhari).

Meskipun hadits tersebut didasarkan pada sebuah mimpi, tetapi mimpi para nabi dapat dikatakan sebagai wahyu yang haq atau benar.

Demikian dampak negatif bagi pelaku zina di akhirat, yaitu akan mendapat siksaan yang pedih dan kekal. Semoga dapat menjadi renungan untuk selalu menjauhi perbuatan zina ya, detikers!

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Apakah Boleh Wudhu Tanpa Melepas Jilbab? Ini Hukumnya



Jakarta

Mengusap sebagian kepala termasuk rukun wudhu yang tidak boleh ditinggalkan. Bagi muslimah yang khawatir auratnya terbuka, apakah boleh wudhu tanpa melepas jilbab?

Bagi seorang wanita yang menggunakan jilbab dan khawatir apabila auratnya terlihat terdapat aturan tersendiri sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Syukur Al-Azizi dalam Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita.

Dikatakan, mengusap kepala ini boleh sebagian maupun keseluruhan yang dimulai dari bagian depan kepala, lalu diusapkan ke belakang dengan kedua tangan, kemudian mengembalikannya ke depan kepala.


Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi, disebutkan bahwa Rasulullah SAW mencontohkan tentang cara mengusap kepala, yaitu dengan kedua telapak tangan yang telah dibasahkan air.

Lalu beliau mengarahkan kedua telapak tangannya mulai dari bagian depan kepala ke belakang tengkuknya, kemudian mengembalikan lagi ke depan kepala beliau.

Setelah itu, tanpa mengambil air baru lagi, Rasulullah SAW mengusap daun telinga beliau, dengan cara memasukkan jari telunjuk ke dalam telinga, kemudian ibu jari mengusap kedua daun telinga.

Lantas, bagaimana bagi wanita yang menggunakan jilbab, jika ia khawatir auratnya terlihat ketika berwudhu di tempat umum?

Mengenai kondisi tersebut, Abdul Syukur Al-Azizi menjelaskan bahwa hal tersebut diperbolehkan bagi seorang wanita untuk berwudhu tanpa melepas jilbab. Hal ini didasarkan pada beberapa riwayat.

Pertama, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa salah satu istri Rasulullah SAW yaitu Ummu Salamah RA pernah berwudhu dengan tetap memakai kerudungnya dan ia mengusap kerudungnya. (HR Ahmad Ibn Abd al-Halim Ibnu Taimiyyah, dalam Majmu’ah al-Fatawa)

Dalam riwayat lain, Bilal RA mengatakan bahwasanya Nabi Muhammad SAW mengusap kedua khuf (sepatu) dan surbannya. (HR Muslim)

Abdul Syukur Al-Azizi menyimpulkan, diperbolehkan berwudhu tanpa harus melepas jilbab jika hal itu menyulitkan, misalnya karena udara yang amat dingin, dan kerudung sulit untuk dilepas dan sulit untuk dipakai kembali, atau bahkan sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk membuka jilbab karena dikhawatirkan akan terlihat auratnya oleh orang lain.

Akan tetapi, apabila masih memungkinkan untuk membuka jilbab, maka lebih utama adalah membukanya sehingga dapat mengusap kepalanya secara langsung.

Abdul Syukur Al-Azizi menyebutkan terdapat dua cara menurut pendapat yang kuat mengenai aturan mengusap kerudung sebagai pengganti mengusap kepala saat wudhu, yaitu:

1. Mengusap jilbab yang sedang dipakai (boleh diusap seluruhnya atau sebagian besarnya)

2. Mengusap depan kepala (ubun-ubun) kemudian mengusap jilbab

Hal ini diriwayatkan pula dalam sebuah hadits, Anas bin Malik RA berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah SAW berwudhu, sedang beliau memakai serban dari Qatar. Maka beliau menyelipkan tangannya dari bawah serban untuk menyapu kepala bagian depan, tanpa melepas serban itu.” (HR Abu Dawud)

Hal yang Membatalkan Wudhu

Muhammad Utsman Al-Khasyt dalam buku Fikih Wanita Empat Madzhab menjelaskan mengenai apa saja yang menyebabkan batalnya wudhu. Di antaranya:

1. Hilangnya waktu salat fardhu khusus bagi wanita yang sedang dalam keadaan uzur.

2. Keluarnya sesuatu dari dubur atau qubul. Misalnya air kencing, madzi, kentut, dan tinja.

Didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW,

لا يقبل الله مدة أحَدِكُمْ إِذَا أَخَذَتْ حَتى لتوضا

Artinya: “Allah tidak akan menerima salat seseorang dari kalian yang telah berhadas hingga ia berwudhu terlebih dahulu.” (HR Bukhari-Muslim)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Niat Mandi Wajib Setelah Haid, Dilengkapi dengan Tata Cara dan Dalil Terkaitnya



Jakarta

Niat mandi wajib setelah haid wajib dipanjatkan oleh muslimah. Niat mandi wajib bisa dinyatakan di dalam hati atau secara lisan ketika membasuh bagian tubuh untuk pertama kalinya.

Wahbah Az-Zuhaili melalui Fiqih Islam wa Adilatuhu memaparkan bahwa niat menjadi hal wajib yang tidak boleh terlewat dalam mengawali mandi junub. Bahkan, dalam sebuah hadits yang bersumber dari Umar bin Khattab, Nabi SAW bersabda:

“Sesungguhnya (sahnya) amal-amal perbuatan adalah hanya bergantung kepada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatinya. Barangsiapa hijrahnya adalah karena Allah SWT dan Rasul-Nya, maka hijrahnya dicatat Allah SWT dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena untuk mendapatkan dunia atau (menikahi) wanita, maka hijrahnya adalah (dicatat) sesuai dengan tujuan hijrahnya tersebut,” (HR Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lainnya).


Dijelaskan dalam Fiqih Niat susunan Umar Sulaiman, ulama mazhab Hanafi menyebut wudhu dan mandi wajib tanpa niat tetap sah. Tetapi, mereka tidak mendapat pahala dari wudhu dan mandi wajib tanpa niat.

Niat Mandi Wajib setelah Haid: Arab, Latin dan Artinya

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْحَيْضِ ِللهِ تَعَالَى

Arab latin: Nawaitul ghusla lifraf il hadatsil akbari minal haidil lillahi ta’ala

Artinya: “Saya berniat mandi wajib untuk mensucikan hadas besar dari haid karena Allah Ta’ala,”

Tata Cara Mandi Wajib setelah Haid

Merujuk pada sumber yang sama yaitu buku Fiqih Islam wa Adilatuhu, berikut tata cara mandi wajib setelah haid bagi muslimah.

1. Membaca niat mandi wajib

2. Bersihkan telapak tangan sebanyak 3 kali

3. Bersihkan kotoran yang menempel di sekitar tempat yang tersembunyi dengan tangan kiri

4. Setelah membersihkan kemaluan, cuci tangan dengan sabun dan bilas hingga bersih

5. Berwudhu secara sempurna seperti ketika kita akan salat, dimulai dari membasuh tangan sampai membasuh kaki

6. Memasukkan tangan ke dalam air, kemudian sela pangkal rambut dengan jari-jari tangan sampai menyentuh kulit kepala. Jika sudah, guyur kepala dengan air sebanyak 3 kali. Pastikan pangkal rambut juga terkena air

7. Bilas seluruh tubuh dengan mengguyur air. Dimulai dari sisi kanan lalu lanjutkan ke tubuh sisi kiri

8. Saat menjalankan tata cara mandi wajib setelah haid, pastikan seluruh lipatan kulit dan bagian tersembunyi ikut terkena air serta dibersihkan

Dalil Mengenai Mandi Wajib setelah Haid

Aturan mengenai mandi wajib setelah haid tercantum dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda:

“Apabila kamu datang haid hendaklah kamu meninggalkan salat. Apabila darah haid berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan salat,” (HR Bukhari).

Haid merupakan darah yang keluar dari ujung rahim perempuan ketika dalam keadaan sehat, bukan semasa melahirkan atau sakit. Karenanya, bacaan niat mandi wajib setelah haid berbeda dengan bacaan ketika akan bersuci dari nifas dan lainnya.

Dalam Al-Qur’an sendiri, anjuran mengenai muslimah yang perlu bersuci sebelum melakukan salat setelah haid dijelaskan pada surat Al Baqarah ayat 222,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran,” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri,”

Demikian niat mandi wajib setelah haid beserta informasi terkaitnya. Semoga bermanfaat.

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

Syarat Kurban untuk Wanita, Apakah Sama dengan Laki-laki?


Jakarta

Syarat kurban untuk wanita sama dengan laki-laki. Sejumlah riwayat juga menjelaskan mengenai boleh tidaknya seorang wanita menyembelih hewan kurbannya sendiri.

Diterangkan dalam buku Perbandingan Mazhab Fiqh: Penyesuaian Pendapat di Kalangan Imam Mazhab karya H. Syaikhu dan Norwili, syarat kurban adalah beragama Islam dan mampu. Sumber lain menambahkan merdeka, baligh, dan berakal sebagai syarat kurban.

Menurut mazhab Syafi’i mampu diartikan bahwa orang yang akan berkurban memiliki harta lebih yang cukup untuk membeli hewan kurban pada hari raya Idul Adha.


Harta lebih tersebut ketika digunakan untuk membeli hewan kurban tidak mengganggu kebutuhan pokok hidupnya dan orang yang wajib ditanggung.

Muhammad Jawad Mughniyah dalam Kitab Al-Fiqih ‘ala al-madzahib al-khamsah menjelaskan, para ulama mazhab sepakat kurban wajib bagi orang yang melakukan haji tamattu selain Makkah. Orang yang melakukan haji qiran juga diwajibkan berkurban.

Syarat Hewan Kurban

Masih dalam sumber yang sama, ada dua syarat hewan kurban yang harus dipenuhi umat Islam. Berikut di antaranya:

1. Kurban itu harus binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, domba. Ini merupakan kesepakatan ulama.

2. Binatang yang akan dijadikan kurban itu tidak cacat. Para ulama sepakat, tidak boleh berkurban dengan hewan yang buta sebelah matanya, pincang, sakit, dan belum cukup umur.

Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat tentang binatang yang dikebiri, tidak mempunyai tandu, tidak mempunyai kuping atau hanya punya kuping kecil, atau ekornya putus.

Sayyid al-Hakim dan Sayyid Al-Khui berpendapat, jika hewan memiliki satu dari hal-hal tersebut, maka tidak boleh untuk dikurbankan. Sementara pengarang kitab, Al-Mughni, mengatakan boleh sekalipun binatang tersebut memiliki salah satu dari hal-hal yang disebutkan di atas.

Waktu Penyembelihan Kurban

Waktu penyembelihan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah salat hari raya Idul Adha, dilanjutkan pada hari tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan tanggal 13 Dzulhijjah sampai terbenam matahari.

Wahbah az-Zuhaili dalam Kitab Fiqih Islam wa Adillatuhu Juz 4 menjelaskan, menurut mazhab Syafi’i kurban dimulai dengan berlalunya waktu seukuran pelaksanaan yang standar dari dua rakaat salat dan dua khutbah Idul Adha, dan lebih utama ketika matahari beranjak naik hingga seukuran tombak yaitu waktu dimulainya salat Dhuha.

Hal ini sebagaimana hadits dari Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari al-Barra bin Azib,

أَوَّلُ مَا تَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا نُصَلِّي ثُمَّ نَرْجِعَ فَتَنْحَرَ

Artinya: “Aktivitas pertama yang kami lakukan untuk memulai hari ini (Idul Adha) adalah melaksanakan shalat lalu pulang ke rumah dan setelah itu langsung menyembelih kurban.”

Hukum Wanita Menyembelih Hewan Kurban

Mengutip dari Ensiklopedia Hadis Sahih karya Muhamad Shidiq Hasan Khan menjelaskan mengenai hadits yang membahas wanita menyembelih hewan kurban. Di antaranya,

عَنْ نَافِعِ : أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ لَمْ يَكُنْ يُضَرِّي عَمَّا فِي بَطْنِ الْمَرْأَةِ. أخرجه مالك

Artinya: “Nafi’ melihat Abdullah bin Umar tidak menyembelih hewan sesembelihan untuk bayi yang berada dalam kandungan wanita,” (HR Malik).

وَعَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- نَحْرَ عَنْ آلِ مُحَمَّدٍ فِي حجة الوداع بَقَرَةً وَاحِدَةً

Artinya: “Menurut Aisyah, pada Haji Wada Rasulullah SAW menyembelih satu ekor sapi untuk keluarga besar Nabi Muhammad SAW.” (HR Abu Daud).

Para istri Rasulullah SAW juga termasuk dalam kelompok keluarga beliau. Rasulullah juga menyembelih seekor sapi untuk para istrinya.

وَعَنْ أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّهُ أَمَرَ بَنَاتِهِ أَنْ يُضَحِيْنَ بِأَيْدِيهِنَّ وَوَضْع القَدَم عَلَى صَفْحَةِ الذُّبيحة ، والتكبيرِ وَالتَّسْمِيَةِ عِندَ الذَّبْحِ . أخرجه رزين وعلقه البخاري

Artinya: “Abu Musa Al-Asy’ari RA memerintahkan putri-putrinya untuk menyembelih: hewan sembelihan dengan tangan mereka sendiri, meletakkan telapak kaki di permukaan leher hewan sembelihan, bertakbir dan menyebut nama Allah pada saat menyembelih,” (HR Razin dan Al-Bukhari)

Muhamad Shidiq Hasan Khan menjelaskan, hadits tersebut menunjukkan bahwa wanita boleh menyembelih hewan kurban.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Niat Mandi sebelum Sholat Idul Adha untuk Wanita dan Tata Caranya



Jakarta

Mandi Idul Adha adalah salah satu amalan sunnah Rasulullah SAW yang dapat dikerjakan menjelang sholat ied. Dalam pelaksanakannya, umat Islam dapat mengawalinya dengan membaca niat mandi Idul Adha terlebih dahulu.

Dasar dianjurkannya mandi sebelum sholat Idul Adha bersandar pada hadits yang dinukil dari buku 165 Kebiasaan Nabi SAW karya Abdul Zulfidar Akaha sebagai berikut:

وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ. رواه ابن ماجة


Artinya: “Dan dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma, ia berkata, ‘Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mandi pada hari Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Ibnu Majah).

Adapun waktu yang afdhal untuk mandi sunnah Idul Adha, yaitu setelah subuh dan sebelum berangkat menunaikan sholat ied. Namun, diperbolehkan pula mandi sunnah Idul Adha pada malam harinya setelah lewat tengah malam.

Lantas, seperti apa bacaan niat mandi Idul Adha? Berikut ini penjelasan dan tata caranya.

Niat Mandi Idul Adha untuk Wanita

Berdasarkan buku Adab dan Doa Sehari-hari untuk Muslim Sejati karya Thoriq Aziz Jayana, berikut ini lafal niat mandi Idul Adha:

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِيَوْمِ عِيْدِ اْلاَضْحَى سُنَّةً ِللهِ تَعَالَى

Arab-Latin: Nawaitul ghusla liyaumi ‘iiedil adha sunnatan lillahi ta’ala.

Artinya: “Saya niat mandi pada hari raya Idul Adha sunnah karena Allah Ta’ala.”

Apabila seorang wanita dalam keadaan belum bersuci dari hadats besar seperti selesai dari masa haid atau junub, maka hendaknya membaca niat mandi wajib sebagai berikut:

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الاَ كَبَرِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى

Arab-Latin: Nawaitul ghusla liraf’il hadasil akbari fardlal lillaahi ta’aalaa.

Artinya: “Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar, fardhu karena Allah Ta’ala.”

Tata Cara Mandi sebelum Idul Adha untuk Wanita

Tata cara mandi sunnah Idul Adha pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar. Dilansir dari buku Panduan Shalat untuk Wanita karya Ria Khoirunnisa, berikut tata caranya:

  • Berniat mandi sunnah dan membaca basmalah.
  • Membersihkan telapak tangan sebanyak tiga kali terlebih dahulu.
  • Membersihkan kemaluan dari kotoran yang ada dengan menggunakan tangan kiri.
  • Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan cara menggosokkan tangan ke tanah atau dengan menggunakan sabun.
  • Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak akan melakukan sholat, dimulai dari membasuh tangan sampai membasuh kaki.
  • Ambillah air lalu masukkanlah jari-jari tanganmu pada pangkal rambut yang disertai dengan wangi-wangian sampai merata. Bagi wanita, hal itu dikerjakan sesudah rambut dalam keadaan terlepas.
  • Mulailah menyiram dengan air pada bagian sisi kanan kepala tiga kali, kemudian pada sisi kiri. Setelah itu, siramlah seluruh tubuh sambil digosok.
  • Mengguyur air ke seluruh badan yang dimulai dari sisi kanan lalu kiri.
  • Pastikan seluruh lipatan kulit dan bagian tersembunyi ikut dibersihkan.
  • Kemudian basuhlah kedua kaki dengan mendahulukan yang kanan lalu kiri.
  • Selain mandi, sunnah sebelum melaksanakan sholat Idul Adha seperti diterangkan dalam sumber sebelumnya, yaitu berhias diri dan memakai pakaian terbaik, mengenakan wewangian, tidak makan sampai selesai sholat ied, melewati jalan berangkat dan pulang yang berbeda, serta memperbanyak bertakbir ketika keluar rumah menuju masjid.

Demikian bacaan niat mandi Idul Adha untuk wanita dan tata caranya yang bisa diamalkan sebelum melaksanakan sholat ied. Semoga bermanfaat ya, detikers!

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

8 Ciri Istri Salehah dalam Ajaran Islam, Muslimah Sudah Tahu?



Jakarta

Menjadi istri salehah tentunya menjadi keinginan setiap kaum muslimah untuk dapat meraih ganjaran besar di dunia dan akhirat. Istri salehah bagi seorang lelaki adalah sebaik-baik perhiasan dunia.

Hal ini sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW dalam hadits yang dinukil dari buku Menjadi Istri Seperti Khadijah karya Ibnu Watiniyah, dari Amr Ibnu RA, beliau bersabda:

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” (HR Muslim).


Pahala bagi istri salehah juga telah diterangkan melalui beberapa hadits. Salah satunya diriwayatkan dari Abu Umamah, beliau berkata, “Seorang wanita menemui Rasulullah SAW sambil membawa dua anak kecil. Dia menggendong satu anaknya dan menuntun yang lain.

Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Wanita-wanita yang hamil, melahirkan, dan penuh kasih sayang, jika mereka tidak melakukan keburukan kepada suami dan mereka rajin mengerjakan sholat, pasti mereka masuk surga.'” (HR Ahmad dan Ath-Thabrani).

Lantas, apa saja ciri-ciri istri salehah dalam Islam? Dilansir dari buku Ajak Aku ke Surga Ibu karya Rizem Aizid, berikut ini di antaranya.

Ciri-ciri Istri Salehah dalam Islam

1. Taat dan Bertakwa kepada Allah SWT

Istri salehah tentunya taat dan bertakwa kepada Allah SWT beserta perintah-Nya. Salah satu perintah Allah SWT kepada para istri yaitu menaati perintah suaminya (kecuali dalam hal kemaksiatan) dan menjaga anak dari api neraka.

Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34, Allah SWT berfirman:

فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ

Artinya: “Wanita (istri) salehah adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada dikarenakan Allah telah memelihara mereka.” (QS An-Nisa: 34).

2. Rajin Mengaji dan Mengkaji Al-Qur’an

Istri salehah yang taat dan bertakwa kepada Allah SWT, tentunya senantiasa membaca Al-Qur’an, mengkaji, dan mengamalkan isi kandungannya. Dengan bekal kemampuan ini, istri salehah akan mampu menjaga anaknya dari api neraka.

Bahkan ketika sang anak masih berada dalam kandungan, ia dianjurkan untuk membiasakan diri mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an.

3. Memiliki Akhlak Terpuji

Wanita salehah tentu memiliki akhlak terpuji. Artinya, ia tidak akan melakukan perbuatan maksiat maupun lalai terhadap tanggung jawabnya, baik kepada Allah SWT, suami, anak, maupun keluarganya.

4. Selalu Menjaga Rahasia dan Aib Suami

Istri salehah hendaknya selalu menjaga rahasia dan aib suami. Artinya, ia tidak mudah menceritakan rahasia atau aib suaminya kepada teman-temannya. Istri yang salehah juga tidak akan pernah menceritakan perihal hubungan intim mereka kepada orang lain.

Hal tersebut telah diterangkan dalam sebuah riwayat dari Asma binti Yazid RA, ia pernah berada di sisi Rasulullah SAW ketika kaum lelaki dan wanita juga sedang duduk. Rasulullah SAW kemudian bertanya,

“Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka semua orang yang ada di sana diam, tidak menjawab.

Kemudian Asma binti Yazid RA menjawab, “Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami). Rasulullah SAW lalu bersabda, “Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti setan jantan yang bertemu dengan setan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.” (HR. Ahmad)

5. Penuh Kasih Sayang

Seorang istri salehah memiliki sifat penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya, dan mencari maafnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:

“Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga, yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya.

Jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata, ‘Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.'” (HR An-Nasa’i).

6. Sabar dan Mampu Meredam Amarah

Istri salehah mampu meredam dan menahan amarahnya. Seberat apapun cobaan yang datang menerjang selalu diterimanya dengan sabar. Seberapa besar masalah yang menimpa rumah tangganya, ia akan menerimanya dengan penuh kesabaran.

Sebab, istri seperti inilah yang mampu menjaga dan menjauhkan anak dari api neraka. Melalui Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 153, Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah SWT beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah: 153).

7. Hanya Berdandan untuk Suami

Wanita salehah hanya berdandan untuk suaminya saja, sebab perbuatan berdandan tidak untuk suami termasuk tabarruj dan warisan orang-orang jahiliyah. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bersabda:

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri salehah yang bisa dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi akan menjaga dirinya.” (HR Abu Dawud).

8. Bersegera ketika Melayani Suami

Salah satu kewajiban istri kepada suaminya yaitu memenuhi kebutuhan biologisnya ketika diminta, kecuali dalam keadaan atau alasan tertentu yang tidak memungkinkan untuk istri memenuhinya, seperti saat haid atau nifas.

Istri salehah hendaknya akan bersegera untuk memenuhi permintaan suami tersebut. Sebagaimana diterangkan dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda:

“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR Muslim).

Itulah 8 ciri istri salehah dalam ajaran Islam yang perlu diketahui muslimah. Semoga bermanfaat ya, detikers!

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com