Category Archives: Muslimah

Mengapa Wanita Mendapat Jatah Warisan Lebih Sedikit dalam Hukum Islam?



Jakarta

Dalam Islam, pembagian warisan diatur dalam Al-Qur’an. Kedudukan hukum waris sangat penting, sebab hal ini dialami oleh semua orang sehingga harus ada pembagian yang adil.

Menukil buku Hukum Waris dalam Islam susunan Dr Iman Jauhari SH M Hum dan Dr T Muhammad Ali Bahar SH MKn, pembagian warisan harus berdasarkan ilmu karena ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi secara syariat. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda:

“Pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada manusia (orang banyak), karena dia (faraid) adalah setengah ilmu dan dia (faraid) itu akan dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali tercabut (hilang) dari umatku.” (HR Ibnu Majah dan Daaru Quthni)


Dalam Al-Qur’an tercantum penjelasan tentang harta waris yang termaktub dalam surat An-Nisa Ayat 11:

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Mengutip buku Pembagian Warisan Menurut Islam oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni, dijabarkan pembagian warisan berdasarkan Al-Qur’an surat An-Nisa, persentasenya terdiri dari setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Alasan Kaum Wanita Mendapat Warisan Lebih Sedikit dari Laki-laki

Abdul Syukur Al-Azizi melalui Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita menuturkan bahwa masalah berkenaan dengan pembagian harta waris bagi wanita yang hanya mendapat setengah dari bagian laki-laki memiliki alasan tersendiri. Laki-laki memperoleh beban dan tanggung jawab untuk memberi nafkah kepada keluarganya, karenanya pembagian warisan bagi laki-laki mendapat bagian yang melebihi wanita.

Jika tidak demikian, maka hal itu akan menzalimi kaum laki-laki. Meski warisan bagi wanita lebih sedikit, hal ini ditutupi dengan maskawin dan nafkah yang menjadi haknya dari sang suami.

Selain itu, tidak selamanya dalam pembagian waris wanita selalu mendapat bagian yang kecil daripada laki-laki. Ada kondisi tertentu yang menyebabkan pembagian warisan bagi wanita sama besarnya dengan warisan laki-laki.

Bahkan, ada juga kondisi yang menyebabkan bagian wanita lebih banyak daripada laki-laki. Dalam hal ini contohnya seperti seorang wanita anak tunggal yang ditinggal mati oleh ayahnya, memiliki setengah dari harta waris ayahnya, atau dua orang anak wanita yang ditinggal mati oleh sang ayah yang mana berhak mewarisi dua pertiga dari harta ayahnya apabila tidak memiliki saudara laki-laki.

Rincian Pembagian Harta Warisan

Merujuk pada buku Pembagian Warisan Menurut Islam, berikut rincian pembagian harta warisan.

1. Setengah (1/2)

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan setengah (1/2) adalah satu kelompok laki-laki dan empat perempuan. Di antaranya suami, anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan sebapak.

2. Seperempat (1/4)

Ahli waris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta pewaris hanyalah dua orang, yaitu suami atau istri.

3. Seperdelapan (1/8)

Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian warisan seperdelapan adalah istri. Istri yang mendapatkan waris dari peninggalan suaminya, baik itu memiliki anak atau cucu dari rahimnya atau rahim istri yang lain.

4. Duapertiga (2/3)

Ahli waris yang berhak mendapatkan dua pertiga warisan terdiri dari empat perempuan. Ahli waris ini, antara lain anak perempuan kandung, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.

5. Sepertiga (1/3)

Ahli waris yang berhak mendapatkan sepertiga warisan hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara baik laki-laki atau perempuan dari satu ibu.

6. Seperenam (1/6)

Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperenam warisan ada 7 orang, yakni bapak, kakek, ibu, cucu perempuan, keturunan anak laki-laki, saudara perempuan sebapak, nenek, dan saudara laki-laki dan perempuan satu ibu.

detikHikmah sendiri menyediakan fitur Kalkulator Waris Islam untuk membantu perhitungan warisan sesuai syariat. Cek fiturnya DI SINI.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Apakah Wanita Haid Boleh Berdoa di Sepertiga Malam?


Jakarta

Haid adalah siklus rutin perempuan yang melarangnya untuk puasa, salat, dan thawaf. Namun, apakah wanita haid boleh berdoa di sepertiga malam?

Salah satu waktu yang utama untuk memanjatkan doa adalah waktu sepertiga malam. Menurut hadits qudsi yang dikutip dari buku Hadis Qudsi Firman Allah yang Tak Tercantum Dalam Al-Qur’an oleh Kasimun. Rasulullah SAW bersabda,

٦٢ – حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ الأَغَرُ وَأَبِي سَلَمَةَ بْن عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا، حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، فيقولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ؟ مَنْ يَسْأَلْنِي فَأُعْطِيَهُ؟ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَه؟


Artinya: Abdul Aziz bin Abdullah, diceritakan oleh Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abu Abdillah Al-Aghar dan Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah. bahwa Rasulullah bersabda, ‘Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam ketika tinggal sepertiga malam yang terakhir. Kemudian Dia berfirman, “Siapa yang mau berdoa kepada-Ku maka Aku mengabulkannya! Siapa yang memohon kepada-Ku, maka Aku memberinya! Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka Aku memberi ampunan kepadanya.” (HR Bukhari)

Bolehkah Wanita Haid Berdoa di Sepertiga Malam?

Wanita yang haid boleh berdoa di sepertiga malam. Wanita haid hanya dilarang melakukan tiga hal, yakni salat, puasa, dan thawaf, sebagaimana disebutkan oleh Ratu Aprilia Senja dalam buku Mencari Pahala di Saat Haid.

Wanita yang sedang haid sangat dianjurkan untuk bangun di sepertiga malam untuk melakukan amalan-amalan yang dapat meraih pahala dan kemuliaan. Semua amalan boleh wanita haid kerjakan, termasuk menghafal Al-Qur’an, membaca Al-Qur’an, berzikir, dan berdoa kepada Allah SWT untuk meminta ampunan-Nya dan mensyukuri nikmat-Nya.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada waktu sepertiga malam inilah Allah SWT turun ke bumi dan mendengar doa dan permintaan hamba-hambanya yang bertakwa.

Betapa sangat berharganya waktu akhir malam ini, sampai Rasulullah SAW bersabda, “Saat yang paling dekat bagi Allah dengan hamba-Nya adalah pada penghujung akhir malam. Maka, jika engkau bisa menjadi orang yang berzikir mengingat Allah pada saat itu, maka lakukanlah.” (HR Tirmidzi)

Dengan demikian, wanita haid janganlah melewatkan malam-malam yang berharga yang dipenuhi dengan kemuliaan ini dengan hanya bermalas-malasan atau tidur. Sebaliknya, wanita yang sedang haid bisa memanfaatkan waktu tersebut untuk tetap berzikir dan berdoa yang banyak kepada Allah SWT karena di waktu itulah tempat yang tepat untuk bermunajat kepada-Nya.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

4 Amalan Hari Jumat bagi Muslimah, Salah Satunya Bersholawat


Jakarta

Jumat disebut sebagai hari mulia dan istimewa bagi kaum muslimin. Pada hari itu, pria muslim juga diwajibkan untuk menunaikan salat Jumat.

Komaruddin Ibnu Mikam melalui buku Rahasia & Keutamaan Hari Jumat menerangkan bahwa Jumat juga dikatakan sebagai hari rayanya umat Islam. Dulunya, orang-orang diperintahkan mengadakan perkumpulan pada tiap pekan, kaum Yahudi hari Sabtu, Nasrani hari Minggu dan Islam hari Jumat.

Adapun, terkait dalil perintah salat Jumat dijelaskan dalam surah Al Jumu’ah ayat 9,


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,”

Perlu dipahami, amalan salat Jumat hanya diperuntukkan bagi lelaki muslim. Lantas bagaimana dengan wanita muslim? Adakah amalan yang dapat dikerjakan di hari Jumat?

Amalan Hari Jumat bagi Muslimah

Menyadur buku Fikih Sunnah Wanita: Referensi Fikih Wanita Terlengkap susunan Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim, berikut beberapa amalan yang dapat dikerjakan wanita muslim pada hari Jumat.

1. Beristighfar

Pada hari Jumat, Allah SWT melipatgandakan pahala bagi siapa pun yang datang dengan membawa amalan-amalan sholeh. Karenanya, Rasulullah SAW tidak pernah sekali pun lalai dalam beristighfar setiap hari.

Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Sesungguhnya hatiku tidak pernah lalai dari dzikir kepada Allah. Sesungguhnya aku beristighfar seratus kali dalam sehari.”

2. Membaca Sholawat

Sebetulnya, membaca sholawat bisa dilakukan setiap hari. Namun, bersholawat pada hari Jumat menjadi lebih istimewa sebagaimana diterangkan dalam hadits yang berbunyi,

“Perbanyaklah sholawat kepadaku pada setiap hari Jumat. Karena sholawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jumat. Barangsiapa yang banyak bersholawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR Al-Baihaqi)

3. Membaca Surah Al Kahfi

Amalan selanjutnya yang dapat dikerjakan oleh wanita muslim ialah membaca surah Al Kahfi. Hal ini diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa membaca surah Al-Kahfi pada hari Jumat akan diberikan cahaya baginya diantara dua Jumat.” (HR Al Hakim dan Baihaqi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).

4. Perbanyak Berbuat Kebaikan

Berbuat baik pada hari Jumat akan dilipatgandakan pahalanya sebanyak sepuluh kali. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Zanjawiyah dari Ibn al-Musayyab bin Rafi’, Nabi SAW bersabda:

“Barangsiapa yang berbuat kebaikan pada hari Jumat maka akan dilipatgandakan sepuluh kali lipat dari hari yang lain, dan barangsiapa berbuat kejelekan maka juga demikian (dilipatgandakan dosanya sepuluh kali lipat). Dan disamakan hari, yaitu malam, sebab tidak ada perbedaan sama sekali.” (HR Ibnu Zanjawiyah dari Ibn al-Mussayyab).

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Rabiah Al Adawiyah, Tokoh Sufi yang Terkenal dengan Mahabbahnya


Jakarta

Ada banyak tokoh sufi yang terkenal di kalangan umat Islam, salah satunya terkait mahabbahnya. Tokoh sufi yang terkenal dengan mahabbahnya adalah Rabiah Al Adawiyah.

Menurut buku yang berjudul Akhlak Tasawuf karya Taufikurrahman dkk, mahabbah atau al mahabbah adalah kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual.

Contohnya adalah cinta seseorang kepada orang lain yang sangat ia kasihi, cinta orang tua kepada anak-anaknya, seorang sahabat kepada sahabatnya, ataupun pekerja pada pekerjaannya.


Sementara itu, Al Qusyairi berpendapat, al mahabbah artinya keadaan jiwa yang mulia yang bentuknya. Cintanya disaksikan (kemutlakannya) Allah SWT oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.

Dalam dunia tasawuf, Rabiah Al Adawiyah adalah sufi yang terkenal dengan mahabbahnya kepada Allah SWT. Berikut sosoknya.

Sosok Rabiah Al Adawiyah

Rabiah Al Adawiyah adalah seorang tokoh sufi terkemuka yang memiliki nama lengkap Ummu Khair ibn Ismail Al Adawiyah Al Qisysyiyah. Ia lahir di Basrah sekitar tahun 95 H atau bertepatan dengan 717 M. Beberapa sumber menyebut Rabiah Al Adawiyah lahir antara tahun 713-717 M.

Rabiah Al Adawiyah lahir di tengah keluarga yang miskin di Basrah dan hidup dalam kesederhanaan. Ketika proses melahirkannya saja, kedua orang tuanya tidak sanggup membeli minyak lampu untuk meneranginya.

Ia adalah anak keempat dari empat bersaudara. Nama Rabiah Al Adawiyah diberikan kepadanya karena ia adalah putri keempat dari anak-anak orang tuanya yang lain.

Rabiah Al Adawiyah meninggal pada tahun 801 M, dan dikabarkan dikebumikan di sekitar kota Yerusalem.

Konsep Mahabbah Rabiah Al Adawiyah

Mahabbah Rabiah Al Adawiyah berupa penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah SWT) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master).

Ajaran tasawuf yang dibawa oleh Rabiah Al Adawiyah dikenal dengan istilah Al Mahabbah. Ajaran ini adalah kelanjutan dari tingkat kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh Hasan Al Basri.

Rabiah Al Adawiyah membawa lebih lanjut ajaran Hasan Al Basri, yakni menjadikan takut dan pengharapan dinaikkan menjadi zuhud karena cinta. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan.

Pernah suatu ketika Rabiah Al Adawiyah ditanya, “Apakah kau cinta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa?”

Rabiah Al Adawiyah menjawab, “Ya”

Seterusnya ia ditanya, “Apakah kau benci kepada setan?”

Rabiah Al Adawiyah menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada setan.”

Rabiah Al Adawiyah juga pernah menyatakan, “Saya melihat Nabi SAW dalam mimpi, Dia berkata: Oh Rabiah, cintakah kamu kepadaku? Saya menjawab: Oh Rasulullah, siapa yang menyatakan tidak cinta? Tetapi cintaku kepada pencipta memalingkan diriku dari cinta atau membenci kepada makhluk lain.”

Rabiah Al Adawiyah menjalani kehidupannya dengan zuhud dan hanya beribadah kepada Allah SWT.

Ia memilih untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya walaupun banyak laki-laki hendak meminangnya. Ia tidak pernah menikah bukan karena bukan semata-mata zuhud terhadap perkawinan, namun ia zuhud terhadap kehidupan itu sendiri.

Rabiah Al Adawiyah tidak menikah karena pemahaman mahabbahnya yang mencintai Allah SWT dengan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai-Nya sepenuh hati masuk ke dalam diri yang dicintai.

Ibadahnya, kehidupannya, dan semua yang dilakukan Rabiah Al Adawiyah bukan karena rasa takut atas siksaan neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, tapi karena cintanya yang sangat besar kepada Allah SWT.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Posisi Kaki Saat Duduk Diantara Dua Sujud untuk Wanita, Perhatikan Ya!



Jakarta

Setelah bangun dari sujud dan hendak melakukan sujud kedua, wanita hendaknya duduk di antara dua sujud terlebih dahulu. Lalu bagaimana posisi kaki saat duduk diantara dua sujud untuk wanita?

Salat adalah perintah dasar muslimin ketika memeluk agama Islam. Salat merupakan rukun Islam yang kedua setelah melakukan syahadat.

Kewajiban salat dibebankan kepada seluruh umat Islam dari awal hingga akhir, kaya maupun miskin, longgar maupun sempit, sempat maupun tidak sempat, dan laki-laki maupun perempuan.


Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya berkewajiban untuk melaksanakan salat ketika dirinya sudah baligh. Jadi tidak ada alasan untuk meninggalkan salat kecuali kematian.

Dalam salat ada beberapa gerakan yang harus dilakukan sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW. Termasuk gerakan duduk diantara dua sujud.

Dalil Duduk Diantara Dua Sujud

Termaktub buku Tuntunan Shalat Sesuai Al-Qur’an dan Hadist Sahih yang ditulis oleh Hirman, dalil disunahkannya duduk diantara dua sujud adalah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi,

ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا.

“Kemudian bangkitlah sampai sudah benar-benar duduk.” (HR Bukhari dan Muslim)

Posisi Kaki saat Duduk Diantara Dua Sujud untuk Wanita

Duduk diantara dua sujud dilakukan setelah bangkit dari sujud yang pertama.
Dinukil dari buku Pedoman Shalat Wanita Lengkap karya Umar Faruq, bangun dari sujud pertama dilakukan setelah selesai membaca tasbih dalam sujud. Ketika bangkit diharuskan untuk membaca Allahu Akbar.

Posisi kaki saat duduk diantara dua sujud untuk wanita adalah menjadikan telapak kaki kiri sebagai tumpuan pantat. Telapak kaki kanan berdiri dan ujung jari menghadap kiblat.

Kedua telapak tangan diposisikan di atas lutut secara terbuka. Jika posisi duduk antara dua sujud sudah sempurna, maka dilanjutkan dengan membaca:

ربِّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَجْبُرْنٖي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي وَعَافِنِي وَاعْفُ عَنِّى
Arab-latin: Rabbighfirlii war hamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdini wa ‘aafinii wa’fu annii.

Terjemah: Wahai Tuhanku, ampunilah dosaku, belas kasihanilah aku, cukupilah kekuranganku, angkatlah derajatku, berilah rejeki kepadaku, berilah petunjuk kepadaku, berilah kesehatan kepadaku dan berilah ampunan kepadaku.

Sunah Duduk Diantara Dua Sujud

Diambil dari sumber sebelumnya, sunah-sunah yang bisa diamalkan wanita ketika duduk diantara dua sujud atau iftirasy antara lain:
1. Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha
2. Membaca doa duduk iftirasy sebagaimana disebutkan di atas
3. Disunahkan untuk bertumpu pada kedua telapak tangan ketika hendak bangkit dari sujud untuk duduk iftirasy
4. Tuma’ninah atau berdiam diri beberapa saat sebelum melanjutkan gerakan
5. Duduk diantara dua sujud harus dengan punggung yang tegak

Sunah yang bisa dilakukan wanita ketika duduk diantara dua sujud yang terakhir adalah menegakkan tulang punggung sehingga tidak menjadi bungkuk. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku Ensiklopedia Hadis Ibadah Bersuci dan Shalat Wajib yang ditulis oleh Syamsul Rijal Hamid.

Sunah ini sebagaimana telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits ‘Aisyah RA berkata, “Apabila Rasulullah SAW mengangkat kepala dari sujud (pertama), beliau tidak sujud (kedua) sebelum duduknya antara kedua sujud itu tepat dan benar lebih dulu.” (HR Muslim)

Ketika posisi ini, kedua telapak tangan diletakkan di atas masing-masing paha. Posisi jari-jemari kedua tangan renggang dan mengarahkannya ke kiblat.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Rufaidah binti Sa’ad, Perawat Muslimah yang Jadi Relawan di Perang Uhud- Khandaq



Jakarta

Rufaidah binti Sa’ad merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam sejarah Islam. Ia merupakan perawat muslimah pertama dalam sejarah Islam. Rufaidah binti Sa’ad adalah perawat kesehatan masyarakat dan pekerja sosial yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat dunia Islam.

Rufaidah binti Sa’ad, Perawat Pertama dalam Islam

Dirangkum dari buku 66 Hadits Pilihan: Penggugah Jiwa Menjadi Muslim Unggul & Produktif karya A. R. Shohibul Ulum, pada zaman Nabi SAW, hiduplah seorang wanita yang dikenal dengan julukan perawat muslimah pertama dalam sejarah Islam yang bernama Rufaidah binti Sa’ad. Rufaidah binti Sa’ad Bani Aslam al-Khazraj lahir di Madinah pada 570 Masehi. Keluarganya termasuk kaum Ansar dan termasuk pemeluk Islam pertama di Madinah.

Rufaidah mendapat julukan “al-Aslamiyyah”, yaitu nisbat kepada marga di mana ia dilahirkan, yaitu di perkampungan Aslam, salah satu klan dari suku Khazraj di Madinah. Ia juga mendapatkan julukan “al-Fidaiyyah” karena keberaniannya menerobos kawasan perang untuk menyelamatkan dan mengobati pasukan muslim yang terluka.


Rufaidah binti Sa’ad pandai dalam membaca, menulis, serta dibesarkan dalam keluarga yang kaya raya. Rufaidah mempelajari ilmu keperawatan ketika ia membantu ayahnya, Sa’ad al-Aslami yang berprofesi sebagai dokter.

Mengutip buku Meniti Berkah dalam Setiap Langkah: Kisah Hebat Para Sahabiyah, Ilmuwan Muslimah, dan Muslimah Nusantara karya Ririn Astutiningrum, ayah Rufaidah adalah pemimpin tabib. Ayahnya sangat piawai dalam hal pengobatan karena selain mempelajari teknik pengobatan Arab, ia juga mempelajari praktik kesehatan bangsa lain yang berasal dari wilayah Persia, Romawi, Siria, dan India. Dari sinilah ia banyak belajar tentang ilmu keperawatan.

Sejak kecil Rufaidah sudah terbiasa dengan pekerjaan sebagai tabib dan perawat. Ketika beranjak remaja, sang ayah mulai melepas Rufaidah untuk melakukan praktik pengobatan sendiri.

Awal mula perjuangan Rufaidah dimulai ketika peperangan. Ia menjadi sukarelawan untuk membantu korban-korban perang dan mendirikan rumah sakit lapangan.

Rufaidah binti Sa’ad menjadi relawan yang merawat luka korban Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, dan Perang Khaibar. Ia juga melatih beberapa kelompok perempuan untuk menjadi perawat. Dengan izin Nabi SAW, mereka ikut di garis belakang pertempuran agar dapat merawat pasukan Islam yang terluka dalam Perang Khaibar.

Setelah perang berakhir, Rufaidah membangun tenda di luar Masjid Nabawi untuk merawat muslim yang sakit. Tenda tersebut kemudian berkembang dan berdiri menjadi rumah sakit lapangan yang terkenal saat perang.

Rufaidah membagi jadwal para perawat menjadi dua sif (siang dan malam) agar para korban dapat ditangani dengan baik. Gagasan Rufaidah tersebut dianggap sebagai pelopor adanya pembagian sif yang berkalu seperti di rumah sakit sekarang ini.

Dalam melakukan tugasnya, Rufaidah dibantu oleh perawat wanita lainnya. Mereka adalah Ummu ‘Atiyah, Ummu Sulaim, Hamnah binti Jahsy, Layla al-Ghifariyah, Ummu Ayman, dan Rubayyi binti Mu’awwidz.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mengutip riwayat Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dari Amir bin Qatadah dari Mahmud bin Labid bahwa ketika pelipis mata Sa’ad terluka ketika Perang Khandaq, Nabi SAW menyuruh orang-orang untuk membawanya ke Rufaidah. Rufaidah terus memantau kesembuhan Sa’ad. Atas jasanya itu, Nabi SAW memberinya bagian dari ghanimah (harta rampasan perang) sama seperti bagian laki-laki.

Tak hanya ketika perang terjadi, pengabdian Rufaidah juga dilakukan di luar perang. Ia membuka klinik gratis untuk orang yang membutuhkan pengobatan. Rufaidah juga mengajarkan pengalaman klinis kepada perawat lain yang dilatih dan bekerja dengannya.

Dalam peran sosialnya, Rufaidah melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit. Rufaidah binti Sa’ad adalah perawat kesehatan masyarakat dan pekerja sosial yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat dunia Islam.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Hukum Wudhu bagi Wanita Haid, Haram atau Diperbolehkan?


Jakarta

Perempuan beriman yang sedang haid, kadang merindukan untuk melakukan wudhu sebagaimana hendak mendirikan salat. Namun, apa hukum wudhu bagi wanita haid tersebut? Apakah diperbolehkan atau malah dilarang? Berikut pembahasannya.

Wudhu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap muslim ketika hendak salat. Umat Islam melakukan wudhu minimal lima kali dalam sehari, belum lagi jika ditambah salat-salat sunah.

Bagi wanita beriman yang selalu menunaikan ibadah salat, tentunya akan merasa rindu untuk berwudhu dan mendirikan salat. Namun di saat yang sama, dirinya sedang berhadats besar, yakni haid.


Lalu, bagaimana hukum wudhu bagi wanita haid tersebut? Apakah dibenarkan dalam agama Islam? Berikut penjelasannya.

Masaji Antoro menyebutkan dalam buku yang berjudul Tanya Jawab Islam: Piss KTB, TIM Dakwah Pesantren yang disusun oleh Kyai Abdullah Afif dan Kyai Masaji Antoro (Gus Tohir), hukum wudhu bagi wanita haid ada tiga, yaitu:

1. Haram

Kyai Masaji Antoro menjawab mengenai persoalan ini dengan tiga hukum yang berbeda. Hukum wudhu bagi wanita haid yang pertama adalah haram dan tidak boleh dilakukan.

Wudhu bagi wanita haid ini haram apabila ia mempunyai tujuan untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah seperti halnya salat. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan “tanaaqud dan talaa’ub”

Tanaaqud sendiri maksudnya fungsi wudhu bertentangan dengan keadaan yang sedang terjadi. Di mana, wanita tersebut sedang berhadats besar yang tentu saja tidak akan bisa kembali suci hanya dengan melakukan wudhu.

Sementara itu, talaa’ub berarti mempermainkan ibadah sebab dia tahu wudhunya tidak bisa menghilangkan hadats berupa haidnya.

Oleh sebab itu, hukum wudhu bagi wanita haid bisa saja haram jika tujuannya adalah agar bisa melakukan sebuah ibadah tertentu.

2. Sunah

Hukum wudhu bagi wanita haid yang kedua adalah sunah. Hal ini bisa terjadi apabila wanita tersebut mempunyai tujuan bahwa wudhu yang ia lakukan untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah setelah berhentinya darah haid.

Dalam keadaan seperti ini, fungsi wudhu akan berubah menjadi taqlil alhadats, yaitu meringankan dan mengecilkan hadats yang sedang dialami.

Selain itu, wudhu ini juga memiliki fungsi lain yaitu nasyaath ghusli atau untuk merangsang badan agar bisa segera mandi besar dan kembali melakukan ibadah kepada Allah SWT tanpa halangan apa pun.

3. Mubah

Hukum wudhu bagi wanita haid yang terakhir menurut Masaji Antoro adalah boleh atau mubah. Atau dalam buku tersebut disebutkan bahwa hukumnya adalah tetap sunah.

Apabila wudhu seorang wanita haid itu tidak bertujuan untuk menghilangkan hadats atau ibadah melainkan wudhu yang tujuannya untuk ‘aadah/kebiasaan seperti Tabbarrud (menyejukkan dirinya) dan nazhoofah (kebersihan), maka hukumnya menjadi sunah atau mubah.

Hal ini diperbolehkan karena fungsi rof’i al hadats (menghilangkan hadats) atau taqlii al hadats (meringankan atau mengecilkan) hadats tidak terjadi dalam wudhu semacam ini dan tidak menimbulkan tanaaqud (fungsi) wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang hadats.)

Sunah Berwudhu Sebelum Tidur untuk Wanita Haid

Wudhu tidak hanya dilakukan ketika seseorang hendak melakukan salat saja, namun wudhu juga dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk dikerjakan sebelum tidur.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku Fakta Ilmiah Amal Sunnah Rekomendasi Nabi karya Haviva.

Rasulullah SAW bersabda, “Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tempat tidur), hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan salat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Lalu, apakah hukum wudhu bagi wanita haid ketika ia hendak melakukan sunah ini?

Dinukil dari buku Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam karya PISS-KTB, wanita yang sedang haid tidak disunahkan berwudhu sebelum tidur, kecuali jika darah haidnya sudah berhenti.

Imam Nawawi dalam syarah Muslim berkata,

“Adapun ashab kami, mereka sepakat bahwasannya tidak disunnahkan berwudhu bagi wanita haid dan wanita nifas. Karena berwudhu tidak akan berpengaruh pada hadats mereka berdua. Jika wanita haid sudah berhenti darah haidnya, maka dia seperti orang junub. Wallahu ‘Alam.” (Syarh An-Nawawi ala Al-Muslim)

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Haid dalam Islam Berapa Hari? Ini Pendapat Empat Mazhab


Jakarta

Dalam Islam, darah yang keluar dari rahim wanita memiliki tiga jenis, yaitu haid, nifas, dan istihadah. Setiap jenis darah tersebut memiliki hukum dan waktu yang berbeda.

Haid atau menstruasi biasanya terjadi setiap bulan pada wanita, dan terjadi selama beberapa hari. Setiap wanita memiliki lama haid yang berbeda-beda.

Lalu, haid dalam Islam berapa hari? Apa saja larangan ketika haid? Begini jawabannya menurut para ulama.


Pengertian Haid

Dikutip dari kitab Fiqhun Nisa’ fi Dhau’il Madzahibil Arba’ah wal Ijtihad al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah karya Muhammad Utsman al-Khasyat, haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita yang telah baligh (dewasa) selama beberapa hari tertentu, bukan karena faktor melahirkan dan bukan pula karena faktor penyakit, warnanya merah kehitaman, jika disentuh terasa hangat seolah terbakar, dan aromanya tidak sedap.

Al-Qur’an juga telah memberikan penjelasan mengenai haid. Penjelasan mengenai haid tersebut termaktub dalam surah Al Baqarah ayat 222,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ ٢٢٢

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.” Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Haid memiliki beberapa sebutan, seperti yang termaktub dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Sebutan haid tersebut di antaranya,

Surah Al-Baqarah ayat 222,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang mahidh (haid) …”

Surah Al-Baqarah ayat 228,

وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ …”

Lamanya Haid dalam Islam

Mengutip dari sumber yang sama, setiap wanita memiliki lama haid yang berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti karena siklus yang tidak teratur, faktor keturunan, lingkungan, dan kondisi tubuhnya. Bisa juga terjadi karena perbedaan cuaca serta gaya hidup.

Para ulama memiliki perbedaan pendapat tentang lamanya haid dalam Islam. Hal tersebut dikarenakan Allah SWT tidak menetapkan lamanya masa haid yang dialami oleh setiap wanita.

Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali, haid dalam Islam terjadi minimal sehari-semalam. Kebanyakan haid terjadi dalam enam atau tujuh hari, dan maksimal 15 hari.

Menurut Mazhab Hanafi, haid dalam Islam terjadi tiga hari tiga malam. Pertengahan haid terjadi selama lima hari dan maksimalnya sepuluh hari.

Sedangkan menurut Mazhab maliki, haid dalam Islam tidak memiliki batasan minimal hari dalam kaitannya dengan masalah ibadah. Sebab, menurut mereka hitungan minimalnya adalah sekali pancaran atau sekal tetesan dalam waktu yang relatif sebentar.

Hal yang Dilarang ketika Haid

Ketika haid berlangsung, setiap wanita mestinya memahami serta menghindari larangan-larangan ketika haid. Beberapa larangan tersebut seperti yang tertera dalam buku Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita karya Abdul Syukur al-Azizi yaitu,

Rasulullah SAW bersabda, “Jika datang haid maka tinggalkanlah salat, dan jika haidnya telah berhenti maka mandilah, lalu kerjakanlah salat.” (HR Bukhari dan Abu Dawud)

Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah apabila wanita sedang haid, ia tidak boleh salat dan puasa?”

Aisyah RA berkata, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha salat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu sedang haid, lakukan semua praktik ibadah haji, kecuali tawaf di sekeliling Ka’bah hingga kamu suci.”

Aisyah RA berkata, “Jika salah satu di antara kami (istri-istri Nabi SAW) sedang haid, dan Rasulullah SAW akan tidur bersama, maka kami disuruh memakai kain, kemudian tidur bersama di luar kain.” Beliau melanjutkan, “Tetapi siapakah di antara kamu yang kuat menahan nafsunya sebagaimana Nabi SAW mampu menahan nafsunya.” (HR Bukhari)

  • Menyentuh dan membawa mushaf Al-Qur’an
  • Masuk ke dalam masjid (mazhab Syafi’i memperbolehkan berjalan di masjid selama tidak ada darah haid yang mengotori masjid, namun tidak boleh berdiam diri di dalamnya)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Ketentuan Ziarah Kubur bagi Wanita Haid, Muslimah Pahami Ya!


Jakarta

Wanita haid diperbolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Namun, ada sejumlah ketentuan yang perlu diperhatikan saat hendak ziarah.

Haid atau nifas bukan halangan bagi wanita untuk melakukan ziarah kubur. Sebab, ziarah kubur tidak dapat disamakan seperti ibadah salat, puasa, dan lain sebagainya yang harus suci dari nifas, sebagaimana dikutip dari buku Adab Berziarah Kubur untuk Wanita tulisan Mutmainah Afra Rabbani.

Adapun, dalil yang menjadi rujukan diizinkannya wanita dalam keadaan haid untuk berziarah kubur mengadu pada hadits yang berbunyi:


“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barang siapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (HR Muslim)

Menukil dari buku Kitab Fikih Wanita 4 Mazhab oleh Muhammad Utsman Al-Khasyt, pemberian izin pada hadits di atas ditujukan bagi umat Islam secara umum, baik itu wanita maupun pria.

Ketentuan Ziarah Kubur bagi Wanita Haid

Dijelaskan dalam buku JABALKAT I Jawaban Problematika Masyarakat susunan Tim Kodifikasi ANFA Purna Siswa MHM 2015, ada sejumlah adab yang harus diperhatikan oleh wanita haid ketika melaksanakan ziarah kubur.

Pertama, ketika membaca tahlil, surah Yasin dan surah-surah lainnya dalam Al-Qur’an tidak boleh diniati membaca Al-Qur’an. Hal ini seperti diungkapkan dalam hadits yang berbunyi,

“Seorang yang junub atau haid tidak diperkenankan membaca ayat Al-Qur’an.” (HR Ahmad)

Meski demikian, banyak wanita yang menunggu hingga haid atau nifasnya selesai untuk melakukan ziarah kubur. Sebab, pandangan di kalangan masyarakat ialah tidak diperkenankan bagi wanita haid untuk ziarah kubur.

Walau diperbolehkan, sebaiknya wanita tidak boleh terlalu sering melakukan ziarah kubur. Masih dari sumber yang sama, dikatakan bahwa melakukan ziarah kubur maka akan membawa penyalahgunaan hak suami, karena wanita tersebut lebih sering keluar rumah dan dilihat orang lain. Apalagi ziarah tersebut disertai dengan ratapan berlebihan seperti menangis atau meraung.

Selain itu, wanita memiliki kelemahan dan kelembutan tapi tidak kesabaran. Dikhawatirkan wanita tersebut akan berkata atau melakukan perbuatan yang salah saat melakukan ziarah kubur.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

5 Kriteria Muslimah yang Dirindukan oleh Surga, Apa Saja?


Jakarta

Surga merupakan tempat yang dijanjikan oleh Allah SWT bagi siapa saja yang taat kepada-Nya semasa hidup. Dalil terkait keberadaan surga tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, salah satunya surah An Nisa ayat 13.

تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدْخِلْهُ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ

Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar,”


Dalam sebuah riwayat, setidaknya ada empat wanita yang dijamin masuk surga. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Sebaik-baik wanita surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun.” (HR Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la, Ath-Thabrani, Abu Daud, dan Al-Hakim)

Selain keempat wanita yang dijelaskan dalam hadits tersebut, ada juga kriteria muslimah yang dirindukan oleh surga. Seperti apa? Berikut pemaparannya yang dinukil dari buku Reuni Ahli Surga susunan Ahmad Abi Al-Musabbih.

Kriteria Muslimah yang Dirindukan Surga

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits,

“Jika seorang wanita selalu menjaga salat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadan), menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita tersebut, “Masuklah ke surga melalui pintu manapun yang engkau suka.” (HR Ahmad)

Berdasarkan riwayat tersebut, berikut kriteria muslimah yang dirindukan surga.

1. Menjaga Salat Lima Waktu

Sebagaimana yang kita ketahui, salat fardhu adalah kewajiban setiap umat Islam. Amalan ini juga menjadi yang pertama kali dihisab pada hari akhir kelak. Tak heran, muslimah yang menjaga salat lima waktunya akan dirindukan oleh surga.

2. Berpuasa di Bulan Ramadan

Puasa termasuk ke dalam rukun Islam. Tidak hanya laki-laki, wanita sekalipun juga wajib melaksanakan puasa Ramadan. Meski ada halangan biologis karena haid, mereka masih diberi kesempatan untuk melunasi hutang puasanya di luar bulan Ramadan.

3. Menghindari Zina

Zina adalah perbuatan dosa besar dan dilarang keras dalam Islam. Karenanya, wanita yang menghindari zina termasuk ke dalam golongan orang yang dirindukan surga.

4. Taat pada Suami

Setelah menikah, seorang muslimah harus taat pada suaminya. Namun perlu dipahami, suami yang dimaksud ialah yang dapat menuntun keluarganya menuju kebaikan, baik dari segi agama maupun kehidupan sosial.

5. Wanita yang Sabar

Terkait kriteria ini, dalam surah Al Ahzab ayat 35 Allah SWT berfirman:

إِنَّ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱلْمُسْلِمَٰتِ وَٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْقَٰنِتِينَ وَٱلْقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلْخَٰشِعِينَ وَٱلْخَٰشِعَٰتِ وَٱلْمُتَصَدِّقِينَ وَٱلْمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلْحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَٱلْحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Berdasarkan ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan bahwa ada sejumlah kriteria untuk mereka yang ingin mendapat ampunan dan pahala yang besar, termasuk wanita yang sabar. Dengan demikian, sabar akan mengantarkan pada ampunan Allah SWT dan dari ampunan itu maka seseorang bisa mendapat rahmat-Nya yang berupa surga.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com