Category Archives: Muslimah

Tak Mampu Bayar Fidyah dan Qadha, Ibu Hamil Harus Apa?



Jakarta

Kondisi hamil pada seorang wanita bisa memperoleh keringanan (rukhsah) untuk tidak berpuasa fardhu di bulan Ramadan. Namun di balik itu, mereka tetap harus menjalankan kewajiban dengan cara menggantinya melalui bayar fidyah atau qadha puasa.

Dua syarat yang membolehkan ibu hamil tak berpuasa dan boleh berbuka di antaranya yakni bila mereka khawatir akan kesehatan diri serta anaknya dan jika mereka khawatir akan anaknya saja. Seperti yang disebut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin, ia menyebut rukhsah ibu hamil untuk tak berpuasa apabila mereka khawatir puasa dapat membahayakan diri maupun bayinya.

Untuk itu mereka wajib membayar fidyah sebanyak satu mud (enam ons) kepada seorang fakir miskin, atau boleh mengganti utang puasanya itu di luar bulan Ramadan sebanyak hari yang ditinggalkan. Sementara jika ibu hamil khawatir akan kesehatan anaknya saja, Syaikh Yahya Abdurrahman Al-Khatib dalam bukunya Ahkam al-Mar’ah al-Hamil fi Asy-Syari’ah al-Islamiyyah menjelaskan, bahwa ia hanya wajib qadha puasa tanpa membayar fidyah.


“Ini dalam kondisi wanita hamil mampu mengqadhanya. Jika mereka tidak mampu mengqadha, maka hukum dipindahkan kepada pengganti (lain), yakni membayar fidyah dengan memberi makan satu orang miskin sebagai ganti satu hari puasa (yang ditinggalkan),” demikian penjelasan dari Syaikh Al-Khatib.

Tak Mampu Bayar Fidyah dan Qadha, Ibu Hamil Harus Apa?

Karena Allah SWT menetapkan Islam bukan sebagai agama yang sulit melainkan banyak memberi kemudahan bagi umatnya, persoalan yang demikian juga diberi rukhsah. Sebagaimana pendapat Ustazah Lailatis mengutip HaiBunda, menurutnya, keringanan yang diberi kepada ibu hamil yang tak mampu bayar fidyah maupun qadha puasa yakni membayar fidyah semampunya.

Hal ini ia sandarkan pada sebuah riwayat di zaman Rasulullah SAW, yang mana ada seorang lelaki harus mengganti (kafarat) puasanya karena melakukan hubungan intim di siang hari bersama istrinya pada bulan Ramadan. Tetapi ia tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut karena kerja berat.

Setelahnya, Rasulullah meminta ia memberi makan 60 orang miskin tetapi ia adalah orang paling miskin di sana. Kemudian, ada sahabat yang mampu untuk membantunya membayar utang, lalu ia diminta memberikan pada orang miskin, tapi dia yang paling miskin di antara dua bukit. Hingga akhirnya, bantuan tersebut kembali untuknya yang membutuhkan/

Dari riwayat itu bisa dipahami bahwa Rasulullah SAW memberi beberapa opsi keringanan kepada orang tersebut, hingga orang itu mampu mengerjakannya. Dalam artian semampu orang itu.

Bila dikaitkan dengan kondisi ibu hamil yang tak mampu qadha puasa karena fisiknya yang tak kuat dan dapat membahayakan janin, maka puasa di hari lain bukanlah hal yang tepat. Dan pilihan terbaik baginya adalah membayar fidyah.

Tetapi jika ia tak mampu pula secara finansial maka boleh semampunya dalam membayar fidyah. “Kalau tidak mampu membayar fidyah, maka bisa dibayar dengan ukuran semampu kita, paling tidak apa yang kita makan,” ungkap Ustazah Lailatis.

Bagaimana bila ibu hamil tersebut tidak jua mampu membayar fidyah dengan apa yang dimakannya? Penjelasan selengkapnya bisa cek DI SINI, ya.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Hukum Itikaf bagi Wanita Menurut Mazhab Syafi’i, Bolehkah?



Jakarta

Itikaf adalah amalan di bulan Ramadan yang biasanya dilakukan di masjid. Bagaimana hukum itikaf bagi wanita?

Menurut bahasa, itikaf memiliki arti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Orang yang beritikaf disebut mu’takif.

Anjuran Itikaf

Merujuk dari Kitab Fiqh as-Sunnah li an-Nisa’ karya Abu Malik Kamal Ibn Sayyid Salim, dianjurkan bagi kaum wanita sebagaimana kaum laki-laki untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.


Hal ini bertujuan untuk memperoleh kebaikan dan mendapatkan malam lailatul qadar. Karena itulah, seorang suami dianjurkan untuk membangunkan istrinya pada malam-malam tersebut untuk melaksanakan salat malam.

Rasulullah SAW mengatakan bahwa beliau akan beritikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Aisyah RA lalu meminta izin kepada beliau untuk beritikaf dan beliau pun mengizinkannya.

Aisyah juga berkata, “Nabi SAW melakukan itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau beritikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hukum Itikaf bagi Wanita

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi dalam Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah mengatakan, menurut mazhab Syafi’i hukum itikaf adalah sunnah muakkad, baik di bulan Ramadan mapun di bulan lainnya, dan sunnah muakkadnya lebih ditekankan lagi pada sepuluh hari yang akhir.

Adapun, hukum itikaf bisa menjadi wakib ketika hal itu dinazarkan oleh seseorang. Maka, wajib baginya melakukan itikaf.

Namun, apabila tidak dinazarkan, semua ulama sepakat bahwa itikaf hukumnya mutlak disunnahkan. Hukum tersebut berlaku bagi laki-laki dan wanita.

Menurut mazhab Syafi’i apabila seorang wanita melakukan itikaf tanpa seizin dari suaminya, maka itikaf itu tetap sah meskipun dia dianggap telah melakukan perbuatan dosa. Dimakruhkan pula bagi wanita yang berparas cantik untuk melakukan itikaf meskipun dia diberikan izin oleh suaminya.

Berikut ini beberapa hal yang berkaitan dengan hukum itikaf bagi seorang wanita:

1. Seorang wanita tidak boleh beritikaf kecuali dengan izin dari suaminya

Wanita hanya boleh keluar rumah dengan izin suaminya. Dan telah disebutkan sebelumnya bahwa Aisyah RA dan begitu pula Hafshah RA meminta izin dari Nabi Muhammad SAW untuk beritikaf.

2. Apabila seorang suami telah mengizinkan istrinya untuk beritikaf maka:

  • Jika itikafnya adalah itikaf sunnah, maka ia boleh mengeluarkan istrinya dari itikafnya itu. Ketika Aisyah RA meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk beritikaf dan kemudian Zainab, beliau khawatir jika itikaf mereka itu tidak lagi didasari dengan keikhlasan, namun hanya karena ingin dekat dengan beliau, yang didorong oleh rasa cemburu mereka terhadap beliau, maka beliau mengeluarkan mereka dari itikaf mereka dan berkata, “… Apakah mereka benar-benar mengharapkan kebaikan? Aku tidak akan beritikaf….”
  • Dan apabila itikafnya adalah itikaf wajib (seperti untuk memenuhi nazar misalnya, maka nazarnya itu tidak terlepas dari dua macam: pertama ia bernazar untuk beritikaf secara berturut-turut (ia bernazar untuk beritikaf pada sepuluh hari terakhir), dan suaminya telah mengizinkannya, maka sang suami tidak boleh mengeluarkannya dari itikafnya itu. Namun, jika ia tidak menyebutkan di dalam nazarnya untuk beritikaf secara berturut-turut, maka suaminya boleh mengeluarkannya, dan di kemudian hari ia dapat menyempurnakan nazarnya tersebut.

Syarat Itikaf

Masih di dalam buku yang sama, berikut syarat itikaf:

  • Beragama Islam.
  • Mumayiz, bisa membedakan antara yang benar dan salah.
  • Melaksanakannya di dalam masjid.

Menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, niat merupakan salah satu rukun utkaf, bukan hanya sekadar syarat, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Adapun menurut mazhab Syafi’i tidak disyaratkan pula dalam berniat untuk dilakukan ketika sudah berdiam diri di dalam masjid.

Oleh karena itu, jika seseorang berniat untuk itikaf dalam keadaan datang dan pergi (bolak-balik) di masjid tersebut, maka niat itikafnya juga dianggap sah, bahkan orang yang hanya sekedar melewati masjid saja lalu meniatkan diri untuk beritikaf, maka niat dan itikafnya itu dianggap sah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Ini Amalan yang Bisa Dikerjakan Wanita Haid untuk Raih Malam Lailatul Qadar



Jakarta

Lailatul qadar disebut sebagai malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Bahkan, keistimewaan malam lailatul qadar hanya diberikan kepada umat Nabi Muhammad SAW.

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa para nabi terdahulu ingin kembali hidup meski tidak membawa ajarannya hanya demi menjadi umat Rasulullah SAW dan mendapatkan malam lailatul qadar. Pada malam yang diprediksi jatuh pada 10 hari terakhir Ramadan itu, umat Islam berbondong-bondong meraih keutamaan dengan mengerjakan berbagai amalan.

Menukil dari Buku Pintar Muslim dan Muslimah tulisan Rina Ulfatul Hasanah, di malam lailatul qadar Allah SWT memerintahkan para malaikat-Nya untuk turun ke Bumi dan menuliskan segala urusan seperti takdir, rezeki dan ajal yang ada pada tahun tersebut. Hal ini didasarkan dalam surat Al-Qadr ayat 4 yang berbunyi:


تَنَزَّلُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ

Arab latin: Tanazzalul-malā`ikatu war-rụḥu fīhā bi`iżni rabbihim, ming kulli amr

Artinya: “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan,”

Namun, bagaimana dengan wanita haid? Seperti yang kita ketahui, wanita yang sedang haid atau nifas tidak diperbolehkan untuk mengerjakan ibadah salat ataupun membaca Al-Qur’an.

Amalan bagi Wanita Haid untuk Meraih Malam Lailatul Qadar

Muhammad Adam Hussain SPd MQHi dalam bukunya yang bertajuk Sukses Berburu Lailatul Qadar menjelaskan bahwa ada sejumlah amalan yang bisa dikerjakan oleh wanita haid untuk meraih malam lailatul qadar. Salah satunya membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, ini sesuai dengan pendapat dalam at Tamhid (17/397), Ibnu Abdil Barr berkata:

“Para pakar fiqh dari berbagai kota baik Madinah, Irak, dan Syam tidak berselisih pendapat bahwa mushaf tidaklah boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci dalam artian berwudhu. inilah pendapat Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah para pakar fiqh dan hadits di masanya,”

Selain membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, ada juga amalan lainnya yang dapat dikerjakan. Antara lain sebagai berikut:

  • Berzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan zikir lainnya
  • Memperbanyak istighfar
  • Memperbanyak doa

Menurut buku Ibadah Penuh Berkah Ketika Haid dan Nifas karya Himatu Mardiah Rosana, wanita dalam kondisi haid bisa mengerjakan amalan-amalan tersebut karena tergolong ibadah mahdhah yang tidak mensyaratkan kesucian dalam melakukan istighfar, zikir, dan doa. Ada juga yang menyarankan untuk perbanyak doa yang dilafalkan oleh Aisyah RA sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

Dari Aisyah RA, beliau berkata:

“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku ketepatan mendapatkan malam lailatul qadar, apa yang harus aku ucapkan?”

Nabi SAW menjawab:

“Ucapkanlah; ya Allah, sesungguhnya Engkau maha pemaaf mencintai kemaafan, maka maafkanlah daku,” (HR Ibnu Majah).

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Surat At Tahrim Ayat 4, Kisahkan Sikap Cemburu Istri Rasulullah dan Jelaskan Keutamaan Bertaubat



Jakarta

Surat At Tahrim bermakna mengharamkan. Surat ini diturunkan di Madinah sesudah surat Al Hujurat dan diturunkan pada masa Nabi Muhammad SAW berada di Madinah sehingga ia disebut sebagai surat Madaniyyah. Adapun surat At Tahrim adalah surat ke-66 dalam Al-Quran dan terdiri dari 12 ayat.

Bacaan Surat At Tahrim Ayat 4

اِنْ تَتُوْبَآ اِلَى اللّٰهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوْبُكُمَاۚ وَاِنْ تَظٰهَرَا عَلَيْهِ فَاِنَّ اللّٰهَ هُوَ مَوْلٰىهُ وَجِبْرِيْلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِيْنَۚ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ بَعْدَ ذٰلِكَ ظَهِيْرٌ

Artinya: Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, sungguh hati kamu berdua telah condong (pada kebenaran) dan jika kamu berdua saling membantu menyusahkan dia (Nabi), sesungguhnya Allahlah pelindungnya. Demikian juga Jibril dan orang-orang mukmin yang saleh. Selain itu, malaikat-malaikat (juga ikut) menolong.


Isi Kandungan Surat At Tahrim Ayat 4

Secara keseluruhan, surat At Tahrim menjelaskan tentang sikap para istri Nabi SAW yang disebabkan oleh rasa cemburu dan beberapa peristiwa lain yang terjadi di kalangan mereka, serta perintah agar mereka bertaubat, dan jangan terus-menerus bersikap menantang (melawan).

Surat ini diturunkan oleh Allah sebagai bentuk respons atas sikap Hafshah dan Aisyah, yang menjadi sebab Rasulullah mengharamkan dirinya dari sesuatu yang dia senangi. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Rasulullah menyukai makanan-makanan yang manis dan madu.

Singkat cerita, Hafshah dan Aisyah bekerja sama dalam kecemburuan mereka sehingga Rasulullah pun bersumpah tidak akan meminum madu. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah pun menawarkan pertaubatan kepada dua istri Nabi tersebut. Sungguh Allah mengampuni dosa-dosa mereka yang bertaubat. Allah pun mengampuni tindakan Nabi yang tidak mau meminum madu, padahal madu itu halal diminum.

Dalam ayat ini terdapat keutamaan dan kemulian Nabi Muhammad SAW. Demikian juga terdapat peringatan terhadap dua istri Nabi SAW tersebut, dan pada ayat selanjutnya terdapat peringatan yang lebih besar lagi, yaitu talak (cerai).

Hal tersebut dijelaskan dalam surat At Tahrim ayat 5 yang berbunyi, “Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.”

Cemburunya Hafshah dan Aisyah

Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy dalam Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur Jilid 4 memaparkan jika mereka berdua (Hafshah dan Aisyah) bertaubat kepada Allah dari dosa yang telah mereka kerjakan, maka berarti hati mereka telah cenderung kembali kepada kebajikan dan mereka telah menunaikan tugas mereka terhadap Rasul.

Menurut sebuah riwayat, Nabi meminum madu di rumah Zainab binti Jahsy. Nabi bersumpah tidak akan meminum madu lagi kepada Hafshah, dan Hafshahlah yang membuka rahasia itu kepada Aisyah. Maka, Hafshah dan Aisyahlah yang dimaksud, “Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah.”

Jika mereka berdua bekerja sama untuk menyakiti Nabi karena cemburu, maka Nabi akan tetap memperoleh penolong. Allah adalah penolongnya. Adapun Jibril, orang-orang mukmin yang saleh, dan para malaikat akan menjadi penolong Nabi dan bahu-membahu mendatangkan keridhaan kepada Nabi.

Menjelaskan Keutamaan Bertaubat

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan, ayat ke-4 Surat At Tahrim memberikan pengajaran bahwa Allah Maha Penyayang lagi Maha Pengampun. Ia menurunkan ayat sebagai bentuk peringatan dan juga kepeduliannya terhadap rumah tangga Rasul-Nya.

Allah bahkan berfirman dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 222,

اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Artinya: Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.

Mengutip buku Ilmu Tasawuf: Penguatan Mental-Spiritual dan Akhlaq oleh Dr. H. Imam Kanafi, M.Ag., Rasulullah bersabda, “Seseorang yang bertaubat dari dosanya itu adalah sama dengan orang yang tidak mempunyai dosa.” (HR Ibnu Majah).

Senada dengan hal tersebut, orang-orang yang mau bertaubat akan lebih dekat dengan Allah dan hal-hal yang bersifat kebajikan. Atas kemauan memperbaiki kesalahan dan mengingat dosa-dosa yang telah lalu, Allah juga selalu turunkan rahmat dan hidayah-Nya untuk seseorang tersebut.

Dengan demikian, Surat At Tahrim ayat 4 menjelaskan betapa Allah Maha Pemaaf. Ia menyukai hamba-Nya yang mau memperbaiki dirinya, mengoreksi kesalahannya, dan juga memohon ampun pada-Nya. Allah juga tidak akan menurunkan siksa pada mereka yang mau bertaubat.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kenapa Jumlah Kain Kafan Wanita Lebih Banyak dari Laki-laki?



Yogyakarta

Mengkafani jenazah menjadi kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya yang meninggal dunia. Sebelum mengkafani jenazah, umat muslim perlu mengetahui jumlah kain kafan yang harus digunakan.

Mengutip dari Kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Jilid 1 karya Ibnu Rusyd, para jumhur ulama menyatakan bahwa kain kafan wanita jumlahnya lebih banyak dari laki-laki. Mengapa begitu?

Alasan Kain Kafan Wanita Jumlahnya Lebih Banyak

Masih dalam sumber yang sama, kain kafan wanita jumlahnya lebih banyak karena aurat yang harus ditutupi juga lebih banyak. Pada dasarnya, wanita dalam Islam disyariatkan untuk menutup aurat dalam berpakaian sehingga ketika meninggal dunia pun jumlah kain kafan yang digunakan lebih banyak dari jenazah laki-laki.


Jumhur ulama menentukan jumlah kain kafan bagi jenazah laki-laki sebanyak tiga lapis kain, sementara jenazah wanita sebanyak lima lapis kain. Hal tersebut didasarkan pada sebuah riwayat yang menceritakan ketika jenazah Rasulullah SAW dikafani:

أَنَّ الرَّسُوْلَ اللهِ ﷺ كُفِنَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابِ بِيْضٍ سَحُوْلِيَّةٍ لَيْسَ فِيْهَا قَمِيْصُ وَلَا عِمَامَةٌ

Artinya: “Sesungguhnya jenazah Rasulullah SAW dikafani dengan tiga lapis kain putih, tanpa gamis dan sorban.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sementara itu, banyaknya kain wanita didasarkan pada hadits riwayat Abu Dawud yang bersumber dari Laila binti Qa’if Ats Tsaqafiyyah, ia berkata:

كُنْتُ فِيْمَنْ غَسَّلَ أُمَّ كُلِّقَوْمٍ بِنْتَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَكَانَ أَوَّلُ مَا أَعْطَانِي رَسُولُ اللهِ ﷺ الْحِقْوَ، ثُمَّ الدَّرْعَ، ثُمَّ الْخِمَارَ، ثُمَّ الْمِلْحَفَةَ، ثُمَّ أُدْرِجَتْ بَعْدُ فِي التَّوْبِ الْآخَرِ، قَالَتْ: وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ جَالِسٌ عِنْدَ الْبَابِ مَعَهُ أَكْفَانُهَا، يُنَاوِلُنَاهَا ثَوْبًا ثَوْبًا

Artinya: “Aku termasuk orang yang turut memandikan jenazah Ummu Kultsum, putri Rasulullah SAW. Pertama kali yang diberikan oleh Rasulullah kepadaku ialah kain sarung, lalu jubah untuk perempuan, lalu kerudung panjang, lalu selimut. Kemudian setelah itu aku memasukkannya pada lapis kain yang terakhir,” kata Laila binti Qa’if, saat itu Rasulullah SAW duduk di dekat pintu sambil memegang kafan-kafan untuk putrinya, lalu kami menerima kafan-kafan tersebut satu persatu.” (HR Abu Dawud).

Sunah dalam Mengkafani Jenazah

Berdasarkan buku Terjemahan Majmu Syarif karya Ust. Muiz al-Bantani, beberapa sunah dalam mengkafani jenazah yang perlu dipahami umat muslim, yaitu sebagai berikut.

1. Kain kafan yang digunakan hendaknya kain kafan yang bagus, bersih, dan menutupi seluruh tubuh mayat.

2. Kain kafan hendaknya berwarna putih.

3. Jumlah kain kafan untuk mayat laki-laki hendaknya 3 lapis, sedangkan mayat perempuan 5 lapis.

4. Sebelum kain kafan digunakan untuk membungkus atau mengkafani jenazah, hendaknya diberi wangi-wangian terlebih dahulu.

5. Tidak berlebih-lebihan dalam mengkafani jenazah.

Cara Mengkafani Jenazah Wanita

Dilansir dari buku Fikih Madrasah Aliyah Kelas X karya Harjan Syuhada, kain kafan wanita terdiri atas 5 lembar kain putih dengan penggunaan sebagai berikut:

· Lembar pertama yang paling bawah digunakan untuk menutupi seluruh badan dan kain ini paling lebar di antara lainnya.

· Lembar kedua sebagai kerudung kepala.

· Lembar ketiga sebagai baju kurung.

· Lembar keempat untuk menutup pinggang hingga kaki.

· Lembar kelima untuk menutup pinggul dan pahanya.

Adapun cara mengkafani jenazah perempuan, yaitu:

1. Susun kain kafan yang telah dipotong-potong untuk masing-masing bagian dengan tertib. Angkatlah jenazah dalam keadaan tertutup dengan kain dan letakkan di atas kain kafan sejajar serta taburi dengan wangi-wangian atau dengan kapur barus.

2. Tutup lubang-lubang yang mungkin masih mengeluarkan kotoran dengan kapas.

3. Tutupkan kain pembungkus pada kedua pahanya.

4. Pakaikan sarung (cukup disobek saja, tidak dijahit).

5. Pakaikan baju kurungnya (cukup disobek, tidak dijahit).

6. Dandani rambutnya lalu julurkan ke belakang.

7. Pakaikan tutup kepalanya (kerudung).

8. Bungkus dengan lembar kain terakhir dengan cara menemukan kedua ujung kain kiri dan kanan lalu digulung ke dalam. Setelah itu, ikat dengan sobekan pinggir kain kafan yang setelahnya telah disiapkan di bagian bawah kain kafan, tiga atau lima ikatan. Tali ikatan ini akan dilepaskan setelah mayat dibaringkan di liang lahat.

Demikian penjelasan kenapa kain kafan wanita jumlahnya lebih banyak dari laki-laki beserta cara mengkafaninya, semoga bermanfaat.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Bolehkah Wanita I’tikaf di Masjid pada Malam Lailatul Qadar?



Jakarta

Salah satu cara untuk menghidupkan dan meraih malam Lailatul Qadar adalah melakukan i’tikaf di masjid. Namun, bolehkah wanita i’tikaf di masjid?

I’tikaf secara pengertian bahasa diartikan sebagai berdiam diri, yakni tetap di atas sesuatu. Orang yang sedang melakukan i’tikaf disebut dengan mu’takif.

Secara syariat, i’tikaf adalah berdiam diri di masjid sebagai pelaksanaan ibadah yang disunnahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadan serta dikhususkan pada sepuluh hari terakhir Ramadan demi menyambut datangnya Lailatul Qadar.


Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al Baqarah ayat 125 menyebutkan terkait hal ini yang berbunyi,

وَاِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَاَمْنًاۗ وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ وَعَهِدْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ

Artinya: “(Ingatlah) ketika Kami membuat rumah itu (Ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. (Ingatlah ketika Aku katakan,) “Jadikanlah sebagian Maqam Ibrahim) sebagai tempat salat.” (Ingatlah ketika) Kami memberi pesan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang i’tikaf, serta yang rukuk dan sujud (salat)!”

Keterangan ayat di atas dikuatkan lagi dalam hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, “Nabi Muhammad SAW melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu menyebutkan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Mengutip buku Keajaiban Ramadan karangan Deni Darmawan, para ulama bersepakat bahwa i’tikaf hukumnya sunnah kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, maka ia wajib melaksanakannya. Pada sepuluh akhir bulan Ramadan, para ulama seperti Az Zuhri berkata, “Sungguh mengherankan ada sebagian orang yang meninggalkan i’tikaf, padahal Rasulullah shalallahu ‘alihi wassalam terus melaksanakan i’tikaf hingga beliau wafat.”

Bolehkah Wanita I’tikaf di Masjid?

Dikutip dari buku Memantaskan Diri Menyambut Bulan Ramadhan oleh Abu Maryam Kautsar Amru, wanita diperbolehkan untuk melakukan i’tikaf karena para istri Rasulullah SAW juga pernah beritikaf. Keterangan ini didasarkan dari hadits berikut,

وَعَنْهَا: – أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Artinya, “Dari Aisyah RA, Nabi Muhammad SAW beri’tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Aktivitas itu dilakukan hingga beliau wafat. Kemudian para istrinya mengikuti i’tikaf pada waktu tersebut sepeninggal Rasulullah SAW.” (HR Bukhari dan Muslim)

Namun, ada beberapa syarat yang membolehkan wanita melakukan i’tikaf di masjid. Beberapa syarat tersebut di antaranya yakni, tidak sedang haid atau nifas, mendapatkan izin dari suami, dan tidak menimbulkan fitnah.

Lebih lanjut, Syekh Wahbah Az Zuhaili dalam al Fiqhul Islami wa Adillatuhu menambahkan, hendaknya wanita beri’tikaf di masjid yang memungkinkan dan kondusif bagi mereka. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan para istri Rasulullah SAW saat beri’tikaf,

“Dianjurkan membuat penutup dengan sesuatu karena para istri nabi, ketika hendak i’tikaf, nabi memerintahkan mereka untuk menjaga diri. Kemudian, mereka mendirikan kemah di masjid karena masjid dihadiri kaum laki-laki. Itu lebih baik bagi mereka dan perempuan karena laki-laki tidak melihat mereka dan sebaliknya,” jelasnya.

Sementara itu, mengutip dari buku Step by Step Puasa Ramadhan bagi Orang Sibuk karya Gus Arifin dipaparkan bahwa terdapat beberapa perbedaan mazhab mengenai permasalahan bolehkah wanita itikaf di masjid. Beberapa pendapat tersebut secara singkat adalah sebagai berikut.

  • Mazhab Hanafi, makruh bagi wanita untuk i’tikaf di masjid jami’ (untuk salat Jumat) namun diperbolehkan di mushola rumah.
  • Mazhab Syafi’i, setiap masjid meskipun itu adalah masjid jami’ diperbolehkan atau sah juga untuk wanita berit’ikaf.
  • Mazhab Hanbali, setiap masjid juga digunakan hukum sah atau tidak apa-apa bagi wanita.

Wallahu’alam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Istri Rasulullah yang Pergi Itikaf Tanpa Seizin Suami



Jakarta

Itikaf merupakan ibadah yang dianjurkan pengerjaannya pada 10 hari terakhir Ramadan. Amalan ini merupakan aktivitas berdiam diri di masjid yang dengan niat dan bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Itikaf dikerjakan pada 10 hari terakhir Ramadan seraya meraih malam yang lebih mulia dari seribu bulan, yakni lailatul qadar. Saking mulianya, umat Islam yang mendapat lailatul qadar setara dengan pahala lebih dari seribu bulan atau setara dengan 84 tahun.

Berkaitan dengan itikaf, ada sebuah kisah mengenai istri nabi yakni Aisyah, Hafshah, dan Zainab. Dikisahkan dalam buku Perempuan Madinah: Romantika Cinta, Iman & Heroisme para Perempuan Muslim karya Munawir Husni, kala itu Rasulullah SAW tengah mengerjakan itikaf pada 10 hari terakhir Ramadan.


Sejatinya, ibadah itu beliau kerjakan untuk memfokuskan diri kepada Allah SWT. Karenanya, Nabi Muhammad SAW tidak ingin diganggu oleh siapa pun.

Sang istri, Aisyah RA membuatkan Rasulullah tenda khusus. Namun, dia juga membuat tenda lain untuk dirinya sendiri agar bisa mendampingi sang suami.

Melihat Aisyah yang mendirikan tenda itu, istri nabi lainnya yakni Hafshah melakukan hal serupa dan meminta izin kepada Nabi SAW untuk mendirikan tenda di sampingnya. Kini, ada 3 tenda yang berdiri termasuk tenda Rasulullah.

Kemudian, istri nabi yang lain yaitu Zainab tidak terima menyaksikan Aisyah dan Hafshah membangun tenda di samping milik Nabi SAW. Tanpa meminta izin dari sang rasul, Zainab lantas mendirikan tenda sendiri.

Karena hari sudah malam dan gelap, Rasulullah SAW tidak tahu menahu mengenai hal tersebut. Ketika pagi menjelang waktu Subuh barulah ia terkejut menyaksikan banyak tenda disekelilingnya.

Mengutip dari buku Pesona Ibadah Nabi tulisan Ahmad Rofi’ Usmani, Rasulullah lantas meminta para istrinya memindahkan kemah-kemah yang mereka gunakan untuk itikaf. Beliau bahkan menghentikan dan tidak melanjutkan itikafnya.

Abdul Halim Abu Syuqqah dalam bukunya yang bertajuk Kebebasan Wanita Volume 2 menyebutkan dalam kisah tersebut, Zainab merupakan sosok wanita pencemburu. Alasan Rasulullah menghentikan itikaf dan meminta para istrinya berkemas karena ia khawatir mereka mengerjakan itikaf atas dasar cemburu, bukan karena Allah SWT, ini sesuai perkataan Hafizh Ibnu Hajar dalam Kitab Fathul Bari.

Kemungkinan lainnya Nabi Muhammad juga khawatir bahwa ketiga istrinya itu membuat area masjid sempit dan mengganggu jemaah yang ingin salat. Atau, bisa jadi berkumpulnya para istri mengganggu konsentrasi beliau dalam mengerjakan itikaf.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Wanita yang Dinikahi Rasulullah pada Bulan Syawal



Jakarta

Syawal termasuk bulan yang baik untuk menikah karena Rasulullah SAW meminang istri-istrinya pada bulan tersebut. Menurut sejarah, ada dua wanita yang beliau nikahi pada bulan Syawal tapi dalam tahun yang berbeda.

Sebenarnya di dalam Islam tidak ada waktu khusus untuk melangsungkan pernikahan. Semua hari tidak ada yang memiliki larangan untuk melangsungkan pernikahan selama sesuai dengan syariat Islam.

Dalam sejumlah Kitab Sirah dikatakan, Rasulullah SAW melangsungkan pernikahan dengan Aisyah RA pada bulan Syawal. Menurut Sirah Aisyah Ummul Mukminin karya Sulaiman An-Nadawi, pernikahan itu terjadi di Makkah 2 tahun sebelum hijrah, ada yang berpendapat 3 tahun sebelum hijrah.


Pada saat itu, Aisyah RA berusia 6 tahun dan ada yang berpendapat 7 tahun. Rasulullah SAW mulai tinggal serumah dengan istri ketiganya itu pada bulan Syawal setelah Perang Badar tahun ke-2 H.

Yola Hemdi dalam buku Rahasia Rumah Tangga Rasulullah, menjelaskan mengenai Rasulullah SAW yang melangsungkan pernikahannya pada bulan Syawal.

Rasulullah SAW melangsungkan pernikahannya di bulan Syawal dengan Aisyah RA bertujuan untuk melakukan pendobrakan atas tradisi Arab sebelum Islam yang menganggap bahwa Syawal merupakan bulan sial untuk melangsungkan akad tertentu, termasuk menikah.

Nabi Muhammad SAW menepis anggapan masyarakat jahiliyah pada masa itu dengan cara menikahi Aisyah RA dan menghapus ajaran yang salah tentang kesialan apabila menikah pada bulan Syawal.

Beberapa keutamaan menikah di bulan Syawal antara lain menepis anggapan orang jahiliyah bahwa kesialan akan menghantui hidup bagi siapa yang menikah pada bulan Syawal dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW yang juga melangsungkan pernikahan pada bulan itu.

Hal itu juga dijelaskan oleh Weda S. Atmanegara dalam buku Amazing Stories Kisah Mulia Wanita Surga Ummul Mukminin Aisyah.

Awalnya bangsa Arab menganggap bahwa menikah dengan putri teman yang telah dianggap saudara sendiri adalah perbuatan terlarang. Itulah yang terjadi ketika Abu Bakar RA merasa ragu menerima pinangan Rasulullah SAW yang disampaikan melalui Khaulah.

Maka Rasulullah SAW kemudian menjelaskan bahwa Aisyah RA halal untuk beliau nikahi, bahwa hubungan persaudaraan antara beliau dan Abu Bakar RA adalah ikatan persaudaraan seagama.

Bangsa Arab juga tidak mau menikah atau menikahkan putri mereka di bulan Syawal. Mereka terpengaruh akan adanya mitos penyakit sampar yang melanda pada bulan Syawal. Maka, Rasulullah SAW berniat untuk menghilangkan kepercayaan tidak berdasar ini dan menikahi Aisyah RA di bulan Syawal.

Aisyah RA sendiri menganjurkan kepada keluarganya untuk melangsungkan pernikahan di bulan Syawal. Ia berkata, “Rasulullah SAW menikahiku di bulan Syawal. Kami juga mulai hidup bersama pada bulan Syawal. Adakah istri Rasulullah SAW yang lebih beruntung dibandingkan aku?” (HR Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Darimi, dan Baihaqi)

Bangsa Arab juga terbiasa untuk menyalakan api di hadapan mempelai. Seorang suami juga mendatangi istrinya pertama kali dengan ditandu. Dalam riwayat Imam Bukhari dan Qustulani kemudian menyatakan bahwa Rasulullah SAW menghapus kebiasaan tersebut.

Selain Aisyah RA, Rasulullah SAW juga menikahi Ummu Salamah pada bulan Syawal.

Merujuk pada Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Kelengkapan Tarikh Rasulullah, Rasulullah SAW menikah dengan Ummu Salamah pada bulan Syawal tahun 4 H. Ummu Salamah memiliki nama lengkap Hindun binti Abu Umayyah bin Al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib.

Sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Ummu Salamah merupakan istri dari Abu Salamah bin Abdul Asad. Ia merupakan istri Nabi Muhammad SAW yang paling akhir meninggal dunia.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Membayar Utang Puasa Ramadan bagi Wanita



Jakarta

Bagi setiap muslim yang baligh dan berakal wajib untuk melaksanakan puasa Ramadan, tidak terkecuali seorang wanita. Apabila seorang wanita memiliki udzur diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan dihitung sebagai utang puasa.

Syaikh Ali Raghib dalam buku Ahkam Ash-Sholah: Panduan Lengkap Hukum-Hukum Seputar Sholat mengatakan, keringanan meninggalkan puasa bagi wanita ini bersandar pada hadits yang berbunyi,

“Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan keringanan bagi musafir dari shaum dan sebagian salatnya, sementara keringanan bagi wanita hamil dan menyusui adalah dalam shaumnya.” (HR Bukhari dan Muslim)


Dijelaskan lebih lanjut, wanita yang meninggalkan puasa memiliki kewajiban membayar utang tersebut di luar bulan Ramadan. Dalam hal ini, hukum membayar utang puasa Ramadan bagi wanita adalah wajib.

Adapun, bagi wanita hamil dan menyusui juga memiliki kewajiban untuk meng-qadha puasa yang ditinggalkannya. Hal itu didasarkan pada alasan karena mereka memang wajib untuk berpuasa. Ketika mereka memutuskan untuk tidak berpuasa, maka puasa menjadi utang bagi mereka, yang tentu wajib dibayar dengan cara diqadha.

Ketetapan ini disampaikan oleh Ibn Abbas RA yang menyatakan,

اِنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أتِي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذَرٍ، أَفَاصُوْمُ عَنْهَا؟ فَقَالَ: اَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنُ فَقَضَيْتِهِ أَكَانَ يُؤَدِّي ذَلِكَ عَنْهَا؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: فَصُوْمِي عَنْ أُمَك

Artinya: “Seorang wanita pernah berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah SAW ibuku telah meninggal, sementara ia masih memiliki kewajiban berpuasa nadzar. Perlukah aku berpuasa untuk membayarkannya? Rasul menjawab, “Bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki utang, lalu engkau membayarnya, apakah hal itu dapat melunasi utangnya?” wanita itu menjawab, “Tentu saja.” Rasulullah SAW lalu bersabda, “Karena itu, berpuasalah engkau untuk membayar utang puasa ibumu.” (HR Muslim)

Abdul Syukur al-Azizi dalam buku Lengkap Fiqh Wanita: Manual Ibadah dan Muamalah Harian Muslimah Shalihah turut menjelaskan kewajiban membayar utang puasa bagi wanita.

Dikatakan, bagi wanita yang meninggalkan puasa karena haid dan nifas wajib meng-qadha puasa dan tidak perlu membayar fidyah (memberi makan fakir miskin) setelah berakhirnya bulan Ramadan hingga bulan Sya’ban.

Dalam membayar utang puasanya, seorang wanita boleh melakukannya pada hari di mana pun ia mampu berpuasa, boleh mengakhirkannya selama belum datang bulan Ramadan berikutnya. Hal ini didasarkan pada hadits dari Aisyah RA yang berkata, ” Aku punya utang puasa Ramadan dan aku tidak mampu membayarnya, kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR Muslim)

Menurut Imam Ibnu Qudamah, andaikan mengakhirkan membayar utang puasa Ramadan boleh lewat Ramadan berikutnya, tentulah akan dikerjakan oleh Aisyah RA.

Tata Cara Qadha Puasa bagi Wanita Hamil dan Menyusui

Masih di dalam buku yang sama, bagi wanita hamil dan menyusui waktu meng-qadha puasa, harus melaksanakannya antara bulan Ramadan yang sudah dijalani sampai datang bulan Ramadan berikutnya. Akan tetapi, cara meng-qadha puasa bagi wanita hamil dan menyusui berbeda dengan wanita haid. Berikut penjelasannya,

  • Wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan dirinya saja bila berpuasa, maka ia hanya wajib meng-qadha puasa tanpa harus membayar fidyah pada hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.

Kondisi ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Seperti yang dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 184,

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ١٨٤

Artinya: “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

  • Wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan dirinya dan buah hatinya, hanya diwajibkan untuk meng-qadha puasa tanpa harus membayar fidyah. Ia hanya wajib mengganti puasa sebanyak hari-hari yang ditinggalkan ketika telah sanggup melaksanakannya. Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i sepakat dengan hal tersebut.
  • Wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan buah hati saja, maka diperbolehkan untuk meninggalkan ibadah puasa. Terkait kondisi ini beberapa ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat hanya wajib qadha saja tanpa membayar fidyah.

Namun, mayoritas ulama sepakat bahwa wanita hamil dan menyusui yang hanya mengkhawatirkan bayinya, wajib meng-qadha puasa sekaligus membayar fidyah.

Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas RA berkata, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR Abu Dawud yang dishahihkan oleh Syekh Albani dalam Irwa’ul Ghalil)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Mengapa Wanita Muslimah Diwajibkan Memakai Jilbab?



Yogyakarta

Dalam Islam, seringkali dikatakan bahwa wanita sebaiknya menggunakan jilbab. Apa alasannya?

Jilbab merupakan bagian dari hijab (pakaian wanita) yang menutupi dari kepala hingga badan. Wanita dianjurkan untuk menggunakan jilbab untuk menutupi auratnya.

Disebutkan dalam buku Wanita, Jilbab & Akhlak oleh Halim Setiawan, semua badan wanita adalah aurat, kecuali muka dan telapak tangannya. Seorang wanita muslimah yang sengaja membuka auratnya pada orang bukan muhrimnya, maka ia telah berbuat dosa.


Karena itulah, menutup aurat dihukumi wajib dan biasanya mengenakan jilbab bagi wanita muslimah sama halnya seperti kewajiban-kewajiban lain seperti sholat, puasa, dan zakat.

Kewajiban Menggunakan Jilbab dalam Al-Qur’an dan Hadits

Kewajiban berjilbab dalam Al-Qur’an salah satunya diterangkan dalam surat Al-Ahzab ayat 59, Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Ahzab: 59).

Melalui ayat tersebut dijelaskan bahwa kaum perempuan hendaknya mengulurkan jilbabnya ke tubuhnya ketika keluar rumah. Hal yang demikian itu dilakukan supaya mereka berbeda dari budak perempuan sebagaimana dijelaskan oleh Zaitunah Subhan dalam buku Al-Qur’an dan Perempuan.

Tentunya, mengenakan jilbab juga disertai dengan pakaian yang sesuai dengan tuntunan syariat, seperti menutup aurat, tidak menerawang, dan tidak ketat yang menampakkan lekuk tubuh perempuan.

Selain itu, perintah mengenakan jilbab dalam Al-Qur’an juga dijelaskan dalam surat An-Nur ayat 31, sebagaimana firman Allah SWT:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ

Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita” (QS An-Nur: 31).

Ayat tersebut secara jelas menunjukkan ketidakbolehan menampakkan perhiasan di hadapan laki-laki yang bukan mahram sekaligus dalil tentang wajibnya menggunakan jilbab.

Sementara itu, hadits yang menjelaskan bahwa wanita sebaiknya menggunakan jilbab diterangkan dalam sebuah riwayat dari Ummu ‘Athiyyah, beliau berkata:

“Kamu diperintahkan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha agar menyuruh keluar mereka, yaitu gadis-gadis muda, perempuan-perempuan yang sedang haid, dan perempuan-perempuan pingitan. Adapun perempuan-perempuan yang sedang haid mereka menjauhi tempat sholat, mereka menyaksikan kebaikan dan undangan kaum muslimin.”

Beliau berkata lagi, “Wahai Rasulullah! Seseorang di antara kami tidak memiliki jilbab.”

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah saudarinya meminjamkan dari jilbab yang dia miliki.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Menurut Ibnu Hajar, hadits tersebut menjadi dalil dilarangnya perempuan keluar (dari rumahnya) tanpa memakai jilbab.

Dengan demikian, alasan wanita sebaiknya menggunakan jilbab yaitu karena anjuran tersebut telah diperintahkan dalam Al-Qur’an dan hadits sebagai hal yang wajib dilakukan oleh kaum perempuan baligh untuk menutup auratnya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com