Category Archives: Muslimah

Kisah Aisyah yang Cemburu di Malam Nisfu Syaban



Jakarta

Di antara istri-istri Rasulullah SAW, Aisyah yang terkenal sebagai pencemburu. Bahkan dikisahkan bahwa Aisyah pernah cemburu pada Rasulullah SAW ketika malam Nisfu Syaban.

Rasulullah SAW dikenal sebagai sosok yang lembut dan penyayang. Beliau sangat mencintai umatnya dan juga orang-orang terdekatnya dengan melimpahkan nasihat-nasihat demi kebaikan bersama.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda,


الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ، الرَّحِمُ شُجْنَةٌ مِنَ الرَّحْمَنِ، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ اللَّهُ

Artinya: “Orang-orang yang penuh kasih sayang akan disayang oleh Dzat yang Maha Penyayang. Kasih sayangilah makhluk yang ada di permukaan bumi, niscaya makhluk yang ada di langit akan mengasihi kalian. Kasih sayang merupakan bagian dari dzat yang Maha Kasih. Maka, siapa yang menyambungnya, Allah akan menyambungnya dan siapa yang memutusnya, Allah akan memutus darinya.” (HR Tirmidzi).

Di balik sifat penyayangnya, ternyata ada suatu kisah dimana Siti Aisyah RA merasa cemburu di malam Nisfu Syaban yang menjadi malam ketika Allah mengampuni dosa-dosa hamba-Nya. Hal ini terjadi karena rasa cintanya yang begitu besar pada kekasihnya, Nabi Muhammad SAW.

Asiyah Istri yang Pencemburu

Dikutip dari buku Manajemen Cinta Sang Nabi Muhammad SAW yang ditulis oleh Sopia Muhammad, diceritakan pada suatu malam ketika Aisyah terbangun dari tidurnya, ia tidak menemukan Rasulullah di sampingnya. Rasa cemburu dalam hatinya pun muncul. Dalam benaknya ia berpikir seandainya beliau tidur bersama istri lain, padahal malam itu adalah haknya.

Aisyah mendatangi tempat istri yang lain, akan tetapi ia tidak menemukan Rasulullah. Namun ia justru menemukan suaminya tengah berada di dalam masjid.

Rasulullah yang menyadari kehadiran Aisyah pun bertanya, “Kau cemburu lagi, Aisyah? Apakah kamu khawatir, Allah dan Rasul-Nya akan berbuat aniaya padamu? Ini malam Nisfu Syaban, Aisyah?”

Dengan segala kelembutan dan kasih sayangnya, Rasulullah mencoba mengingatkan Aisyah agar ia juga turut mengistimewakan saat-saat ketika ia mendekatkan diri kepada Allah alih-alih memilih untuk tidur di samping orang yang sangat dicintai.

Asiyah memang istri Nabi yang pencemburu. Pada kisah lainnya, ia bahkan merasa cemburu pada istri-istri Nabi yang lainnya. Akan tetapi, Nabi Muhammad merupakan laki-laki yang sangat menghormati perempuan. Ia selalu menghargai mereka dan menasihati istri-istrinya dengan perlahan sehingga suasana rumah tangga dapat kembali rukun dan penuh ketentraman.

Ketegasan Rasulullah SAW

Meskipun selalu bisa menghadapi sifat cemburu istrinya dengan penuh kasih, Rasulullah juga dapat bersikap tegas. Hal ini dikarenakan ia tidak ingin istrinya terbawa nafsu emosi belaka.

Dalam beberapa kasus, Rasulullah memilih untuk mendiamkan Aisyah yang terbakar api cemburu. Namun, ada juga saat ketika Rasulullah dengan tegas menegur kecemburuan Aisyah ketika sudah melewati batas.

“Aisyah, Allah itu Maha Ramah dan menyukai keramahan. Bila keramahan itu tercerabut dari sesuatu, ia akan membuatnya aib dan hina. Sebaliknya, jika diletakkan di atas sesuatu, ia akan menghiasinya. Karena itu kamu harus bersikap ramah!”

Rasulullah ingin mengajarkan istrinya untuk lebih bersikap lemah lembut dan tidak menuruti rasa dengki dan iri hati. Oleh karenanya, beliau selalu menjaga kehormatan istri-istrinya, menengahi mereka, dan juga menegaskan bahwa ia senantiasa berlaku adil dan menyayangi kesemuanya dengan setulus hati.

Sikap Rasulullah SAW Ketika Aisyah Cemburu

Kelembutan Rasulullah SAW terhadap istrinya juga dikisahkan dalam buku Agungnya Taman Cinta Sang Rasul oleh Ustadzah Azizah Hefni. Diceritakan bahwa Rasulullah akan memencet dan memijit hidung Aisyah apabila ia marah.

Beliau berkata, “Wahai Aisy. Bacalah doa, ‘Wahai Tuhanku, Tuhan Muhammad, ampunilah dosa-dosaku, hilangkanlah kekerasan hatiku, dan lindungilah diriku dari fitnah yang menyesatkan.” (HR. Ibnu Sunni).

Begitulah cara Rasulullah menghadapi Aisyah yang sedang cemburu. Beliau akan menegurnya penuh kasih sayang, mencium keningnya, kemudian mendoakannya. Hati Aisyah yang tadinya mendidih kembali luluh, kemarahannya berganti dengan kelegaan, dan Aisyah semakin mencintai Rasulullah lebih dalam lagi.

Kelembutan dan tenangnya sikap Rasulullah SAW dalam menghadapi masalah adalah teladan bagi kaum muslimin. Kita semua bisa mencontoh bagaimana Rasulullah menyayangi seluruh orang-orang terdekatnya.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Hak Istri yang Wajib Diberikan saat Ijab Kabul, Ini Dalil tentang Mahar



Jakarta

Salah satu hak istri yang harus segera dipenuhi oleh suami ketika melaksanakan ijab kabul yakni mahar. Mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya.

Dalam Islam, ada anjuran untuk menikah. Dalilnya dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Menikah dan membina rumah tangga bahkan dikategorikan sebagai sebuah ibadah.

Selain perlindungan dan nafkah lahir batin dalam rumah tangga, ada beberapa hal lain yang menjadi hak istri. Salah satunya yakni mahar.


Mengutip buku Mahar Service Dalam Pernikahan Islam oleh Muhammad Karim HS. MH dan Dr. Nurhadi, S.Pd.I., S.E.Sy., S.H., M.Sy., MH., M.Pd. dijelaskan bahwa mahar ialah suatu kepemilikan yang khusus diberikan kepada wanita sebagai ungkapan untuk menghargainya, dan sebagai simbol untuk memuliakan serta membahagiakannya.

Di Indonesia, mahar juga kerap disebut sebagai maskawin. Mahar merupakan suatu pemberian yang wajib bagi suami kepada istri sebagai bentuk ketulusan hati suami mencintai istrinya agar timbul rasa cinta kasih dan sayang antara keduanya.

Di samping itu, mahar hendaknya berupa sesuatu yang memiliki banyak manfaat untuk istri. Bentuk mahar bisa beragam dan tidak terbatas hanya pada harta semata. Mahar bisa berupa uang, perhiasan atau bahkan hafalan surat dalam Al-Qur’an.

Dalil Al-Qur’an tentang Mahar Pernikahan

Mahar dibahas secara jelas dalam Al-Qur’an dan hadits.

1. Surat An-Nisa Ayat 4

وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا

Arab-Latin: Wa ātun-nisā`a ṣaduqātihinna niḥlah, fa in ṭibna lakum ‘an syai`im min-hu nafsan fa kulụhu hanī`am marī`ā

Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

2. Surat An-Nisa Ayat 24

۞ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا۟ بِأَمْوَٰلِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ ۚ فَمَا ٱسْتَمْتَعْتُم بِهِۦ مِنْهُنَّ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَٰضَيْتُم بِهِۦ مِنۢ بَعْدِ ٱلْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Arab-Latin: Wal-muḥṣanātu minan-nisā`i illā mā malakat aimānukum, kitāballāhi ‘alaikum, wa uḥilla lakum mā warā`a żālikum an tabtagụ bi`amwālikum muḥṣinīna gaira musāfiḥīn, fa mastamta’tum bihī min-hunna fa ātụhunna ujụrahunna farīḍah, wa lā junāḥa ‘alaikum fīmā tarāḍaitum bihī mim ba’dil-farīḍah, innallāha kāna ‘alīman ḥakīmā

Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

3. Surat Al-Baqarah Ayat 237

وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Arab-Latin: Wa in ṭallaqtumụhunna ming qabli an tamassụhunna wa qad faraḍtum lahunna farīḍatan fa niṣfu mā faraḍtum illā ay ya’fụna au ya’fuwallażī biyadihī ‘uqdatun-nikāḥ, wa an ta’fū aqrabu lit-taqwā, wa lā tansawul-faḍla bainakum, innallāha bimā ta’malụna baṣīr

Artinya: Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.

4. Hadits Rasulullah SAW

Rasulullah SAW pernah mengatakan, “Sebaik-baik wanita ialah yang paling murah maharnya.” (HR. Ahmad, ibnu Hibban, Hakim & Baihaqi).

Demikian kedudukan mahar sebagai hak istri yang wajib diberikan ketika ijab kabul. Meskipun tidak ada aturan terkait jumlah mahar, seorang suami hendaknya menyiapkan mahar terbaik untuk istri tercinta.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Nama Anak Laki-laki Islami yang Disukai Allah SWT, Apa Itu?



Jakarta

Ketika hendak memberi nama kepada anak yang baru lahir, orang tua tentu menginginkan nama terbaik serta memiliki arti bagus. Adapun Nabi SAW dalam sabdanya mengungkap sejumlah nama indah dalam Islam, dan bahkan ada yang paling disukai oleh Allah SWT.

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar menyebutkan bahwa sunnah hukumnya untuk menamakan bayi pada hari ketujuh setelah kelahirannya. Hal ini didasarkan pada hadits Samurah bin Jundub, Rasulullah SAW menuturkan:

كُل غُلَامٍ رَهِيِّنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَيُخْلَقُ، وَيُسَمَّى


Artinya: “Setiap anak (yang baru lahir) tergadaikan oleh akikahnya yang disembelih untuknya pada hari ketujuh, lalu dicukur dan diberi nama.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa’i & Tirmidzi)

Dalam riwayat dari Amr ibn Syuaib, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِتَسْمِيَةِ الْمَوْلُودِ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَوَضْعِ الْأَذَى عَنْهُ، وَالعَقِّ

Artinya: “Nabi SAW memerintahkan untuk memberi nama bayi yang baru lahir pada hari yang ketujuh, begitu pula melenyapkan kotoran dan menakikahinya.” (HR Tirmidzi)

Selain kesunnahan menamai anak pada hari ketujuh, para orang tua juga dianjurkan untuk memberi nama yang bermakna baik kepada buah hatinya. Sebagaimana dalam hadits dari Abu Darda, Rasulullah SAW bersabda:

فَأَحْسِنُوا آبَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ بِأَسْمَائِكُمْ الْقِيَامَةِ يَوْمَ تُدْعَوْنَ إِنَّكُمْ أَسْمَاءَ كُمْ

Artinya: “Sesungguhnya kalian akan dipanggil di hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama ayah kalian, karena itu perbaguslah nama-nama kalian.” (HR Abu Dawud)

Mengutip pendapat Ibnul Qayyil dalam buku Kado Pernikahan oleh Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, ia berkata, “Sebagian orang yang tidak mengerti gegabah dalam memberi nama anak-anak mereka. Oleh karena itu, Nabi SAW memberi petunjuk kepada umatnya untuk mencegah mereka dari memperdengarkan apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya agar mereka tidak memberi anak-anak mereka nama yang tidak sesuai dengan yang mereka inginkan sehingga belakangan mendatangkan kerusakan.”

Lebih lanjut Ibnul Qayyim mengemukakan, “Memberi nama yang baik kepada anak mengandung harapan agar si anak mendapatkan kebaikan dalam hidupnya.”

Nama-nama yang Paling Dicintai Allah SWT

Rasul SAW mengemukakan dua nama yang Allah SWT paling sukai dalam haditsnya dari Ibnu Umar, mengutip dari Kitab Adab: Seri Mukhtasar Shahih Muslim oleh Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi An-Naisaburi. Nabi SAW berkata:

إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ

Artinya: “Sesungguhnya nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR Muslim)

Untuk nama “Abdullah” artinya hamba Allah SWT, sedang “Abdurrahman” berarti hamba Yang Maha Pengasih.

Dalam beberapa riwayat juga dikatakan bahwa Nabi SAW kerap menamai anak dari orang yang menemuinya dengan Abdullah atau Abdurrahma. Seperti halnya yang diceritakan oleh Urwah bin Zubair dan Fatimah binti Mundzir bin Zubair, mereka berkata:

“Suatu ketika Asma binti Abu Bakar keluar untuk berhijrah. Kebetulan saat itu ia sedang mengandung Abdullah bin Zubair. Sesampainya di Quba, ia pun melahirkan bayinya di sana.

Setelah melahirkan, ia pun pergi menemui Rasulullah SAW agar beliau berkenan mentahnik bayi lelakinya itu. Lalu beliau mengambil bayi tersebut dan meletakkannya dalam pangkuan beliau. Setelah itu, beliau meminta kurma.

Aisyah berkata, ‘Kami harus mencarinya beberapa saat sebelum akhirnya kami temukan.’ Tak lama kemudian Rasulullah SAW mulai mengunyah kurma itu dan meludahkannya ke dalam mulut si bayi, hingga yang pertama-tama masuk ke dalam perutnya adalah ludah beliau.

Selanjutnya, Aisyah berkata, ‘Kemudian Rasulullah SAW mengusap, mendoakan, dan memberinya nama Abdullah.’

Saat berumur tujuh atau delapan tahun, anak lelaki itu datang untuk berbaiat kepada Rasulullah SAW. Ayah anak itulah, yakni Zubair, yang telah menganjurkannya seperti itu. Rasulullah SAW lalu tersenyum bangga saat melihat anak itu datang menghadap beliau untuk berbaiat, maka kemudian beliau membaiatnya.” (HR Muslim)

Dalam riwayat lainnya dari Jabir bin Abdullah, ia berujar: “Suatu ketika ada salah seorang di antara kami yang mempunyai bayi lelaki dan diberi nama Qasim.

Lalu kami pun berujar, ‘Kami tidak akan memberikan julukan kepadamu Abu Qasim dan kami tidak senang dengan nama anaknya itu.’

Kemudian orang tersebut membawa bayinya kepada Rasulullah SAW seraya menceritakan kepada beliau tentang apa yang telah dialaminya. Maka Rasulullah SAW bersabda, Berilah anakmu nama Abdurrahman.’ (HR Muslim)

Nama-nama yang Dianjurkan dalam Hadits Nabi SAW

Selain kedua nama tersebut, Rasul SAW dalam sabdanya juga menyatakan bahwa nama dirinya bagus untuk menamai anak. Tetapi setelah memakai namanya, tidak diperkenankan untuk memanggil pula dengan julukan milik beliau.

Anas bin Malik meriwayatkan, ia berkata: “Ada seseorang yang memanggil seorang lelaki di Baqi, ‘Hai Abu Qasim!’ maka Rasulullah SAW langsung berpaling kepada orang yang memanggil itu. Lalu orang tersebut segera berkata, ‘Ya Rasulullah, saya tidak bermaksud memanggil engkau. Sebenarnya yang saya panggil itu adalah si fulan.’ Kemudian Rasulullah SAW pun berkata, ‘Berilah nama dengan namaku, tapi jangan memberi julukan dengan julukanku!.’ (HR Muslim)

Nama lainnya yang baik diungkapkan dalam hadits riwayat Wahb Al-Jusyami, yang dilansir dari kitab Al-Adzkar. Ia mengatakan bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

تَسَمَّوْا بِأَسْمَاءِ الْأَنْبِيَاءِ، وَأَحَبُّ الْأَسْمَاءِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، وَأَصْدَقْهَا : حَارِثٌ وَهَمَّامٌ، وَأَقْبَحُهَا: حَرْبٌ وَمُرَّةً

Artinya: “Pakailah oleh kalian nama-nama para nabi, dan nama yang paling disukai oleh Allah itu ialah Abdullah dan Abdur Rahman. Dan nama yang paling baik ialah Harits dan Hammam, sedangkan nama yang paling buruk ialah Harb dan Murrah.” (HR Abu Dawud)

Dari hadits tersebut, nama yang boleh digunakan adalah nama-nama para nabi, nama “Abdullah” dan “Abdurrahman”, nama “Harits” serta “Hammam”. Sementara nama buruk yang tidak diperbolehkan menamai anak yakni; Harb dan Murrah.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Adab Berhias Bagi Muslimah, Apa yang Halal dan Haram?



Yogyakarta

Sebagai seorang wanita, muslimah memiliki keinginan untuk berhias diri. Ajaran Islam juga tidak melarang kaum Hawa berhias, namun ada adab yang harus menjadi pedoman.

Ajaran Islam tentu memiliki aturan sendiri dalam menjaga marwah seorang muslimah dalam berhias. Batasan-batasan dalam berhias ini menjadi adab dan pedoman bagi muslimah agar senantiasa berhias sesuai syariat Islam.

Adab Berhias bagi Muslimah

Arfiani dalam bukunya yang berjudul Buku Pintar 50 Adab Islam memaparkan beberapa adab berhias bagi muslimah, antara lain sebagai berikut:


1. Mensyukuri nikmat pakaian yang dianugerahkan Allah

Pakaian yang sehari-hari kita pakai adalah bagian dari nikmat Allah. Kita harus senantiasa mensyukurinya sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al A’raaf ayat 26.

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ قَدْ اَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُّوَارِيْ سَوْءٰتِكُمْ وَرِيْشًاۗ وَلِبَاسُ التَّقْوٰى ذٰلِكَ خَيْرٌۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ

Artinya: Wahai anak cucu Adam, sungguh Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan bulu (sebagai bahan pakaian untuk menghias diri). (Akan tetapi,) pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu merupakan sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Allah agar mereka selalu ingat.

2. Memakai pakaian yang sederhana

Berpakaianlah sewajarnya, sesuai dengan kemampuan, dan tidak berlebihan. Sikap untuk memakai pakaian yang sederhana akan menjauhkan kita dari sifat sombong yang dibenci oleh Allah SWT.

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa meninggalkan pakaian dengan niat tawadhu karena Allah sementara ia sanggup untuk melakukannya, maka Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk, lantas ia diperintahkan untuk memilih perhiasan mana saja yang ingin ia pakai.” (HR. Ahmad).

3. Tidak mengenakan pakaian yang syuhrah

Pakaian yang disebut syuhrah adalah pakaian yang secara sengaja menampilkan kesan terlalu mewah atau justru compang-camping sehingga berbeda dari kebanyakan orang. Salah satu tujuan dari mengenakannya adalah agar mendapatkan perhatian.

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa memakai pakaian syuhrah maka Allah akan memakaikan pakaian serupa pada hari kiamat nanti kemudian dalam pakaian itu akan dinyalakan api neraka.” (HR. Abu Dawud).

4. Memulai dengan yang sebelah kanan

Hendaknya memasukkan tangan dan kaki kanan terlebih dahulu ketika berpakaian, dan mendahulukan tangan dan kaki kiri terlebih dahulu ketika melepas pakaian. Adab ini secara umum dicontohkan Rasulullah SAW

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membiasakan diri mendahulukan yang kanan dalam memakai sandal, menyisir, bersuci dan dalam setiap urusannya” (HR. Bukhari no. 168).

5. Memanjangkan pakaian (syar’i)

Seorang muslimah diwajibkan memanjangkan pakaiannya. Dalam hal ini dimaksudkan agar kaki yang menjadi bagian dari aurat juga dapat tertutupi.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah, “Kain kaum wanita dipanjangkan sejengkal di bawah mata kaki.”

Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu, kedua kakinya masih kelihatan.” Beliau pun kembali bersabda, “Jika masih kelihatan, maka panjangkan satu hasta namun jangan lebih dari itu.”

6. Tidak menyerupai laki-laki

Seorang muslimah hendaknya tidak berpakaian menyerupai laki-laki. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:

“Allah melaknat wanita yang menyerupai kaum laki-laki dan laki-laki yang menyerupai kaum wanita.” (HR. Bukhari).

7. Memakai pakaian yang suci

Seorang muslim tidak boleh memakai pakaian yang bernajis maupun terbuat dari bahan yang najis seperti misalnya kulit babi atau anjing. Selain diharamkan, hal tersebut juga dapat membatalkan sholat.

Apabila pakaian kita tidak sengaja terkena najis, segeralah dibersihkan atau menggantinya dengan pakaian yang suci sebelum melaksanakan sholat.

Berhias yang Dilarang Bagi Muslimah

Mengutip buku Ensiklopedi Wanita Muslimah oleh Haya binti Mubarak AI-Barik menjelaskan beberapa hal yang dilarang bagi muslimah dalam berhias. Hal ini dimaksudkan agar muslimah lebih berhati-hati dan tidak melanggar syariat agama.

Berhias yang dilarang (haram hukumnya) dalam Islam:

1. Memotong rambut

Telah bercerita pada kami Hamam dari Qatadah dari Khilas bin Amru dari Ali (bin Abi Thalib ra), ia berkata:

“Rasulullah melarang wanita untuk mencukur rambutnya.” (HR. at-Tirmidzi)

Dan dalam riwayat Ali ra yang sudah ditengahkan oleh Imam at-Tirmidzi, yang menurutnya terdapat seorang rawi yang idhtirab (goncang; hafalannya tidak baik) dan ia menjelaskannya sebagai berikut:

“Para ulama sepakat melarang perempuan mencukur rambutnya, namun membolehkan untuk memendekkannya (at-taqshîr)”.

Dan islam, diperbolehkan perempuan untuk memotong rambutnya jika terlihat panjang yang bisa mengganggu dalam pendengaran dan penglihatannya sehingga ketika dipandang kurang terlihat indah dan tidak rapi.

2. Menyambung rambut

Menyambung rambut merupakan hal yang diharamkan sebagaimana yang diriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakar RA, ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya mempunyai anak putri yang akan menjadi pengantin dan ia terkena penyakit campak lalu ia membakar rambutnya. Apakah aku boleh menyambung rambutnya?”

Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat orang yang menyambung rambutnya (dengan rambut lain), dan meminta untuk disambungkan.”

3. Membuat tato

Membuat tato atau seperti menusuk jarum atau sejenisnya ke punggung tangan, lengan, atau bagian tubuh yang lainnya sehingga darah pun keluar dan di tempat itu diberi celak. Hal ini dilarang bagi muslimah, berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Umar RA,

“Allah melaknat wanita yang bertato dan yang meminta agar ia ditatto, wanita yang mencabuti rambutnya dan yang meminta agar rambutnya dicabuti, yang meregangkan giginya untuk keindahan serta wanita yang merubah ciptaan Allah.”

4. An-Namisah

Yang dimaksud di sini adalah wanita yang mencabuti rambutnya dari wajah, atau mutanammishah, wanita yang meminta orang lain agar rambutnya dicabuti. Ini semua diharamkan.

5. Alwaysr (mengikir gigi)

Yang dimaksud alwaysr di sini adalah mengikir atau menggergaji gigi agar lancip atau tipis. Hal ini biasa dilakukan oleh wanita yang sudah dewasa.

Hal ini diharamkan berdasarkan riwayat dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah SAW melarang wanita yang mencabuti rambutnya, mengikir giginya, menyambung rambutnya, dan bertatto, kecuali karena suatu penyakit. (HR. Ahmad).

Itulah beberapa penjelasan terkait adab muslimah dalam berhias sesuai dengan syariat Islam. Semoga bermanfaat.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Posisi Wanita saat Jadi Imam Salat Berjamaah



Jakarta

Wanita boleh menjadi imam salat untuk sesama wanita. Namun, posisi imam wanita berbeda dengan imam laki-laki.

Disebutkan dalam Kitab Lengkap Shalat, Shalawat, Zikir, dan Doa oleh Ibnu Watiniyah, wanita boleh menjadi imam apabila dalam salat tersebut hanya diikuti oleh wanita saja. Apabila ada laki-laki, maka yang berhak menjadi imam adalah laki-laki tersebut.

Ada dua hukum mengenai wanita yang menjadi imam salat sebagaimana disebutkan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ditetapkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII pada 26-29 Juli 2005 silam.


Pertama, wanita yang menjadi imam salat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki maka hukumnya haram dan tidak sah. Kedua, wanita menjadi imam salat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.

Kebolehan wanita mengimami jamaah wanita, baik di rumah maupun di masjid ini didasarkan bahwa tidak ada nash yang melarang tentang hal itu. Bahkan, menurut Muhammad Utsman Al-Khasyt dalam Kitab Fiqh an-Nisa, imamah seorang wanita terhadap jamaah wanita ini masuk dalam keumuman hadits Nabi SAW,

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Artinya: “Salat berjamaah lebih utama dibandingkan salat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Di sisi lain, ada sebuah hadits yang menyebut bahwa wanita boleh mengimami anggota keluarganya. Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dan imam lainnya dari Ummu Waraqah binti Abdullah bin Harits. Dikatakan,

“Bahwasanya Rasulullah SAW telah mengangkat seorang muazin untuknya (Ummu Waraqah) dan memerintahkan kepadanya (Ummu Waraqah) untuk menjadi imam bagi anggota keluarganya.”

Posisi Imam Wanita saat Mengimami Salat

Masih dalam kitab yang sama, posisi wanita jika mengimami jamaah yang semuanya terdiri dari wanita maka tempat berdirinya adalah di tengah-tengah shaf mereka. Sebab, kata Utsman Al-Khasyt, sangat dianjurkan bagi wanita agar terlindung dari pandangan laki-laki, sementara keberadaannya di tengah-tengah shaf membuatnya aman.

Sementara itu, jika makmumnya hanya satu orang, maka posisi imam wanita adalah di sebelah kiri makmumnya. Dalam kata lain, makmum berada di sebelah kanan imam.

Apabila dalam salat berjamaah tersebut terdapat kesalahan dari imam wanita, seperti lupa, maka cara mengingatkannya dengan bertepuk tangan. Ini merupakan pendapat Imam Syafi’i sebagaimana dijelaskan Ibnu Rusyd dalam Kitab Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid.

Hal tersebut bersandar pada sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang berbunyi,

“Mengapa aku melihat kalian sering bertepuk tangan. Barang siapa mengingatkan imam yang lupa dalam salatnya, hendaklah mengucapkan kalimat tasbih, karena hal itu imam menjadi teringat. Sesungguhnya bertepuk tangan itu untuk wanita.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Rusyd menjelaskan lebih lanjut, ulama-ulama yang memahami kalimat “Sesungguhnya bertepuk tangan itu untuk wanita” apa adanya, berpendapat bahwa bertepuk tangan merupakan cara mengingatkan imam wanita yang lupa. Mereka mengatakan bahwa untuk mengingatkan imam wanita memang menggunakan tepuk tangan, bukan mengucapkan kalimat tasbih seperti halnya laki-laki.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Siapa Wanita Pertama yang Mati Syahid Membela Islam?



Jakarta

Sumayyah binti Khayyat adalah wanita pertama yang mati syahid karena membela Islam. Mengutip dari buku Wanita-wanita Penghuni Surga karangan Endah Suci Astuti, Sumayyah juga merupakan wanita kedua yang masuk Islam setelah Khadijah binti Khuwailid yaitu istri Nabi Muhammad SAW.

Sumayyah dalam berbagai keterangan dituliskan dengan nama Sumayyah binti Khabath ada pula yang menyebutnya Sumayyah binti Khayyat.

Masih bersumber dari buku yang sama, Sumayyah dijelaskan sebagai seorang budak yang dimiliki oleh Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi. Setelah putranya yang bernama Ammar bin Yasir lahir, Sumayyah kemudian dimerdekakan. Lalu ketika Abu Hudzaifah meninggal, keluarganya pun mendapat perlindungan dari Bani Makhzum.


Meskipun menjadi budak, Sumayyah adalah orang yang berani dan termasuk dalam tujuh sahabat pertama yang memeluk Islam. Ia bersama dengan adalah Abu Bakar As-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Khadijah, Zaid bin Haritsah, Sumayyah binti Khabath, Ammar bin Yasir, dan Bilal bin Rabah termasuk orang-orang istimewa khususnya pada awal kenabian Muhammad SAW.

Sumayyah dinikahkan oleh tuannya dengan Yasir. Abu Hudzaifah melakukan pernikahan ini karena merasa sayang dengan Yasir serta merasa Sumayyah adalah gadis yang pantas.

Hasil pernikahan ini pun melahirkan Ammar, Abdullah, dan Harits. Namun dikisahkan bahwa Harits atau putra bungsunya telah meninggal sebelum kedatangan ajaran Islam karena telah dibunuh.

Mati Syahid di Tangan Abu Jahal

Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, Sumayyah dan keluarganya perlahan-lahan mulai memasuki Islam. Permasalahan pun dimulai ketika kaum kafir Quraisy yang kejam mulai mengganggu dakwah dan penyebaran agama Islam Rasulullah SAW.

Ketika itu kaum kafir Quraisy belum berani mencelakakan Nabi Muhammad SAW secara langsung. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad SAW merupakan keponakan Abu Thalib yang disegani. Nabi Muhammad SAW juga dilindungi Abu Bakar Ash-Shiddiq yang memiliki kekuasaan.

Gangguan kepada dakwah Rasulullah SAW ini semakin parah ketika kaum Quraisy mulai menyerang orang-orang terdekat Rasulullah SAW. Salah satu cara kaum Quraisy untuk mengganggu Rasulullah SAW adalah dengan menyerang keluarga-keluarga kecil dan lemah sebagai teror dan peringatan.

Keluarga Sumayyah sebagai keluarga budak pun tak luput dari kekejaman yang dipimpin oleh Abu Jahal ini. Keluarga Sumayyah diseret ke pasang pasir di tengah hari kemudian dikenakan baju besi. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penyiksaan Abu Jahal yang berlangsung berhari-hari lamanya.

Oleh karena penyiksaan yang kejam itu, Nabi Muhammad SAW tidak berdaya untuk membantu menyelamatkan keluarga Sumayyah. Diriwayatkan lewat Utsman bin Affan, Nabi Muhammad SAW hanya bisa menghibur dan mendoakan mereka sebagai berikut, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, karena tujuan kalian adalah surga,” (HR Al-Hakim)

Karena tetap teguh mempertahankan keislamannya dan bersaksi tiada tuhan selain Allah SWT maka Yasir dan Sumayyah wafat dalam keadaan syahid. Keteguhan hati Sumayyah ini membuat jengkel Abu Jahal dan membuatnya langsung membunuh Sumayyah.

Penghormatan Nabi untuk Sumayyah

Rasulullah SAW yang masih terus berjuang berdakwah demi Islam mengetahui putra dari Sumayyah, Ammar, berhasil selamat. Ammar pun bertanya kepada Rasulullah SAW,

“Kapankah siksaan kepada kaum muslim ini akan berakhir? Kapan kaum muslim bisa hidup dengan tenang? Penderitaan yang kami terima ini sudah di luar batas,”

Rasulullah SAW pun menjawab, “Sabarlah, wahai Abal Yaqdha… Sabarlah wahai keluarga Yasir, tempat kalian yang dijanjikan adalah surga!”

Setelah itu, Ammar yang ditinggalkan kedua orang tuanya yang mati syahid sangat disayang oleh Rasulullah SAW. Ammar diberikan panggilan Ibnu Sumayyah. Nama yang tidak umum menurut budaya Arab.

Sebab, umumnya panggilan seorang anak akan berdasarkan nama ayahnya. Namun, khusus untuk Ammar disematkan nama Sumayyah karena dianggap sebagai bentuk penghormatan Rasulullah SAW kepada Sumayyah.

Sumayyah pada akhirnya berperan penting tidak hanya menginspirasi umat muslim, namun juga sebagai teladan akan keimanannya. Itulah kisah dari wanita pertama yang mati syahid, semoga kita sebagai umat muslim juga diberikan kekuatan untuk menjaga keimanan seperti Sumayyah ya, detikers!

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Wanita Dunia Bisa Lebih Baik dari Bidadari Surga, Ini Sebabnya



Jakarta

Rasulullah SAW pernah menyebut tentang sosok wanita dunia yang lebih baik daripada bidadari surga. Wanita tersebut juga memiliki paras cantik bak sinar cahaya.

Hal itu dijelaskan dalam buku Tsalatsuna Nahyan Syar’iyan lin-Nisa Washiat min Washaya Rasul SAW lin-Nisaa’ karya Amr Abdul Mun’im Salim dan Syekh Ibrahim Muhammad al-Jamal dari hadits Ummu Salamah.

Dikatakan, wanita dunia akan lebih baik daripada bidadari surga karena amal ibadahnya semasa di dunia. Dari Ummu Salamah, ia berkata, aku pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, beritakan kepadaku tentang firman Allah yang berbunyi, ‘uruban atraabaa’ (surah Al Waqiah: 37).”


Rasulullah SAW menjawab, “Mereka adalah para perempuan dunia yang meninggalnya pada umur tua renta, lalu di akhirat Allah akan menciptakan mereka kembali sebagai perawan. Maka, kata uruban adalah perempuan-perempuan perawan yang menarik, sedangkan makna kata atraban, adalah perempuan-perempuan yang berumur sama.”

Kemudian aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apakah perempuan dunia lebih baik daripada bidadari surga?”

“Wanita dunia lebih baik daripada bidadari, seperti perbedaan antara baju bagian luar dengan baju bagian dalam,” jawab Rasulullah SAW.

“Wahai Rasulullah, mengapa bisa begitu?” tanyaku penasaran.

Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Karena salat, puasa, dan ibadah mereka kepada Allah. Kemudian, Allah akan menjadikan kecantikan wajah mereka seperti sinar cahaya, kehalusan tubuh mereka seperti sutra, kulit mereka berwarna putih, pakaian mereka berwarna hijau, perhiasan mereka berwarna kuning keemasan, ikat rambut mereka dari mutiara, dan sisir kepala mereka dari emas.”

Lalu perempuan-perempuan yang hadir kala itu bertanya, “Apakah kami akan abadi dan tidak akan mati?” “Apakah kami akan selalu cantik jelita dan tidak pernah tua?” “Apakah kami akan hidup rukun damai dan tidak akan pernah dicerai selama-lamanya?” “Apakah kami akan senantiasa sejahtera dan tidak akan pernah sengsara selamanya?”

“Beruntunglah bagi laki-laki yang di dunia kami menjadi istrinya dan dia menjadi suami kami.”

Kemudian, aku bertanya lagi kepada Rasulullah SAW

“Wahai Rasulullah, seorang perempuan di dunia bisa saja pernah menikah dua kali, tiga kali, atau empat kali dengan laki-laki yang berbeda, kemudian ketika si perempuan itu meninggal, ia masuk surga dan begitu juga dengan empat orang suaminya maka siapa yang akan menjadi suaminya di surga nanti?”

Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Wahai Ummu Salamah, akhlak yang baik itu akan disertai kebaikan ganda, dunia, dan akhirat.” (HR ath-Thabrani)

Dialog Bidadari Surga dengan Wanita Dunia

Imam Syamsuddin Al-Qurthubi dalam Kitab At-Tadzkirah mengatakan, para wanita bani Adam di surga semua usianya sebaya. Berbeda dengan bidadari surga yang memiliki usia berbeda, ada yang muda dan ada yang tua sesuai selera masing-masing penghuni surga.

Ia kemudian menyebut tentang riwayat At-Tirmidzi tentang dialog para bidadari surga dan wanita dunia yang menghuni surga. Dari Ali RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya di surga benar-benar ada perkumpulan bidadari. Mereka bersuara keras-keras, makhluk manapun tidak pernah mendengar seindah suara mereka. Mereka berkata,

‘Kami wanita baka, takkan pernah binasa. Kami wanita bahagia, takkan pernah berduka,. Kami wanita ridha, takkan pernah murka. Bahagialah siapa menjadi milik kami dan siapa yang kali menjadi miliknya.”

Imam At-Tirmidzi mengatakan hadits tersebut gharib, sedangkan Imam Ahmad men-dhaifkannya dalam Musnad Ahmad.

Berkenaan dengan perkataan bidadari surga tersebut, Aisyah RA juga meriwayatkan, “Sesungguhnya, apabila para bidadari mengatakan seperti itu, maka para wanita mukminat yang berasal dari dunia menjawab,

‘Kami wanita bersalat, kalian tak pernah salat. Kami wanita berpuasa, kalian tak pernah puasa. Kami wanita berwudhu, kalian tak pernah berwudhu. Kami wanita bersedekah, kalian tak pernah sedekah.’

Kata Aisyah, “Maka, para wanita mukminat itu pun menang mengalahkan para bidadari.”

Wallahu a’lam.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Sosok Wanita Pertama yang Masuk Surga selain Ummul Mukminin



Jakarta

Istri-istri Nabi SAW atau yang dikenal dengan Ummul Mukminin merupakan wanita yang dijamin masuk surga. Selain mereka, ada sosok wanita pertama yang akan masuk surga.

Wanita pertama yang masuk surga adalah Ummu Mutiah. Hal ini bersandar pada sabda Rasulullah SAW saat ditanya oleh putrinya, Fatimah az-Zahra, mengenai siapa wanita pertama yang akan masuk surga.

Kisah ini diceritakan dalam buku Nisa’ul Auliya’: Kisah Wanita-wanita Kekasih Allah karya Ibnu Watiniyah dan buku 33 Kisah Wanita Superhebat di Masa Lalu karya Arum Faiza.


Suatu hari, Fatimah bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayahku, beri tahu padaku siapa wanita yang beruntung masuk surga untuk pertama kali selain Ummul Mukminin?”

Rasulullah SAW pun menjawab, “Wahai Fatimah, jika engkau ingin mengetahui wanita pertama yang masuk surga selain Ummul Mukminin, ia adalah Ummu Mutiah.”

Ummu Mutiah adalah wanita yang tinggal di pinggiran Kota Madinah. Namanya begitu asing di telinga Fatimah. Hal ini membuat Fatimah penasaran terhadap sosok wanita solehah tersebut.

Fatimah lantas mencari tahu tentang Ummu Mutiah. Dia pun mendatangi rumah Ummu Mutiah untuk mencari tahu amalan apa yang membuatnya masuk surga.

Fatimah pun pamit kepada suaminya untuk mengunjungi kediaman Ummu Mutiah. Ia berangkat bersama putranya, Hasan. Sesampainya di rumah Ummu Mutiah, ia mengetuk pintu lalu memberi salam.

“Siapa di luar?” tanya Ummu Mutiah.

Fatimah menjawab, “Saya Fatimah, putri Rasulullah.”

Ummu Mutiah belum juga membukakan pintu, ia justru balik bertanya, “Ada keperluan apa?

Fatimah menjawab, “Ingin bersilaturahim saja.”

Dari dalam rumah Ummu Mutiah kembali bertanya, “Ada seorang diri atau bersama yang lain?”

Fatimah menjawab, “Saya bersama Hasan, putra saya.”

Ummu Mutiah lantas berkata, “Maaf, Fatimah. Saya belum mendapatkan izin dari suami untuk menerima tamu laki-laki.”

“Tetapi Hasan anak-anak,” balas Fatimah.

Ummu Mutiah menimpali, “Walaupun anak-anak, dia lelaki juga. Besok saja kembali lagi setelah saya mendapat izin dari suami saya.”

Fatimah tidak bisa menolak. Ia mengucapkan salam lantas meninggalkan rumah Ummu Mutiah. Keesokan harinya, Fatimah kembali mendatangi rumah Ummu Mutiah. Kali ini dengan Husein.

Dialog serupa terjadi lagi. Ummu Mutiah belum juga mengizinkan Fatimah dan putranya masuk karena izin dari suaminya hanya untuk Hasan yang tempo hari datang bersama Fatimah.

Pada hari selanjutnya, Fatimah baru diperbolehkan masuk. Di rumah itu, ia melihat keanggunan sosok Ummu Mutiah yang menggunakan pakaian terbaik dengan aroma tubuh yang wangi dan riasan yang menawan. Rumah Ummu Mutiah yang sederhana juga tampak sangat nyaman, bersih, dan meneduhkan.

Ummu Mutiah mengatakan bahwa suaminya akan segera pulang sehingga dia harus merawat diri sebaik mungkin untuk menyambut sang suami.

Hal tersebut membuat Fatimah kagum atas kepribadian Ummu Mutiah. Ia tambah dibuat kagum setelah melihat ketaatan dan pelayanan terbaik Ummu Mutiah kepada suaminya.

Melihat hal itu, barulah Fatimah sadar mengapa Rasulullah SAW menyebut Ummu Mutiah sebagai wanita pertama yang masuk surga.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Istri yang Sering Marah Ternyata Bisa Kurangi Keberkahan Keluarga



Jakarta

Salah satu tujuan dari pernikahan yakni mengharapkan keberkahan dari Allah SWT sekaligus membina keluarga yang bahagia. Namun ketika seorang istri kerap marah maka keberkahan keluarga akan berkurang.

Suami atau istri memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Ketika salah satu tidak bisa atau dianggap kurang memenuhi hak dan kewajibannya maka upayakan untuk menyelesaikannya dengan tenang. Jangan gunakan emosi, apalagi sampai keluar amarah.

Mengutip buku 29 Dosa Suami Istri yang Menghalangi Datangnya Rezeki oleh Ibnu Mas’ad Masjhur, dijelaskan bahwa membahagiakan istri adalah suatu kewajiban bagi suami. Akan tetapi, yang harus dimengerti oleh istri adalah kadar antarsuami berbeda-beda.


Tidak ada standar khusus dalam membahagiakan istri dalam Islam. Hal ini sangat tergantung pada kebutuhan masing-masing dan tergantung pula pada kemampuan suami.

Seorang istri yang selalu bersyukur atas pemberian nafkah dari suami akan membantu melancarkan rezeki keluarga. Dengan begitu, keluarga akan hidup harmonis dan bahagia.

Dampak Positif dari Istri yang Bahagia

1. Dipenuhi rasa syukur

Rasa syukur akan mendorong datangnya rezeki dari berbagai
pintu.

2. Senantiasa mendoakan suaminya

Istri akan sangat menghargai kerja suami meskipun hasilnya tidak seberapa. Dengan doa-doa yang dipanjatkan oleh istri, Allah akan mempermudah rezeki suami.

3. Menjadi partner yang menyenangkan bagi suami

Istri akan mampu membuat suami tenang dalam mencari rezeki untuk keluarga.

4. Menjadi pendukung utama suaminya

Ketika suami berusaha semampunya untuk membahagiakan istri, istri juga akan berusaha membahagiakan suaminya dalam berbagai kondisi.

5. Dapat diandalkan suaminya untuk mendidik anak-anak

Istri yang bahagia cenderung tidak menganggap pekerjaan rumah sebagai beban, termasuk dalam mendidik anak-anak.

Dampak Negatif dari Istri yang Sering Marah

Mengutip buku Akibat-Akibat Fatal Marah Kepada Suami oleh Abdurrahman Sandriyanie W., dalam kehidupan rumah tangga kerap ditemui berbagai permasalahan. Ketika menjumpai perbedaan pendapat atau berselisih atas sesuatu, hendaknya diselesaikan dengan kepala dingin.

Amarah adalah tabiat buruk manusia yang kerap muncul dalam kehidupan rumah tangga. Ketika satu kali amarah dibiarkan, maka hal ini akan menjadi pemicu dari amarah-amarah lainnya di kemudian hari.

Bagi seorang istri, amarah yang meluap-luap terkadang akan berdampak panjang. Baik suami, maupun istri sebaiknya saling berkaca ketika menghadapi sebuah masalah.

Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya (HR at-Tirmidzi).

Berikut dampak negatif dari istri yang sering marah:

1. Menghalangi Keberkahan Hidup

Dalam Islam, keberkahan berarti ziyadatul khair yakni bertambahnya kebaikan. Keberkahan dalam pernikahan maka akan bermanfaat bagi kebahagiaan yang hakiki, meliputi kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Ketika amarah telah menguasai diri, maka disitulah celah setan menggoda umat manusia. Setiap kali menjumpai permasalahan maka akan langsung timbul perasaan kesal yang mengundang amarah. Hal inilah yang mengurangi keberkahan sebuah hubungan rumah tangga.

2. Masuk golongan kufur nikmat

Asma’ binti Yazid al-Anshariyah Ra.menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk bersama orang-orang sebayanya, Rasulullah SAW lewat dan mengucapkan salam kepada mereka.

Kemudian, beliau bersabda, “Waspadalah kalian, jangan mengingkari orang-orang yang telah memberikan kenikmatan.”

Selanjutnya Asma’ bertanya, “Ya Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan pengingkaran terhadap orang-orang yang memberi kenikmatan?”

“Bisa jadi di antara kalian (perempuan) lama menjanda, lalu Allah menganugerahi suami, dan memberi anak, tetapi ia sangat marah dan mengingkari nikmat. Ia berkata, ‘Aku tidak mendapatkan satu kebaikan apapun darimu.” (HR. Bukhari dan Ahmad)

Melalui hadits ini, Rasulullah mengingatkan kaum perempuan dan para istri untuk tidak selalu mengedepankan rasa marah. Keberadaan suami di sisi istrinya merupakan anugerah yang harus disyukuri. Demikian pula sebaliknya, sebagai suami juga wajib menjadikan istrinya sebagai pasangan hidup yang istimewa.

3. Mengganjal khusyuknya ibadah

Seseorang akan menjalani ibadah yang khusyuk karena perasaan yang ikhlas dan lapang mengharapkan keberkahan. Bila ada perasaan amarah mengganjal di hati, maka hal ini dikhawatirkan bisa mengganggu jalannya ibadah.

Jalan untuk mencapai kekhusyukan dalam beribadah yakni melalui akhlak yang baik terhadap sesama. Hindari perselisihan dan amarah sekecil apapun agar ibadah tidak ternodai dengan penyakit hati.

Demikian dampak positif dari istri yang bahagia dan dampak negatif dari istri yang sering marah. Sebagai pasangan suami istri hendaknya saling memahami kondisi pasangan agar tercipta keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Apa Itu Keluarga Sakinah dalam Islam? Ini Definisi, Syarat, dan Cara Mewujudkannya



Jakarta

Memiliki keluarga yang sakinah tentu jadi dambaan setiap pasangan suami istri. Keluarga yang sakinah menjadi kunci kebahagiaan kehidupan pasangan.

Dalam Islam, dalil mengenai tujuan pernikahan untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah tersemat dalam surat Ar Rum ayat 21.

وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ


Arab latin: Wa min āyātihī an khalaqa lakum min anfusikum azwājal litaskunū ilaihā wa ja’ala bainakum mawaddataw wa raḥmah, inna fī żālika la`āyātil liqaumiy yatafakkarụn

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir,”

Definisi Keluarga Sakinah

Disebutkan dalam buku bertajuk Pernikahan Sakinah Mencegah Perceraian oleh Dr Hj Riadi Jannah Siregar MA, kata sakinah berasal dari kata sakana yang artinya diam atau tenang setelah terguncang dan sibuk.

Sementara itu, seorang ahli bahasa yang bernama Al-Jurjani mengatakan bahwa makna sakinah berarti adanya ketentraman dalam hati di saat datangnya sesuatu yang tidak terduga.

Jadi, jika kedua makna digabungkan maka pengertian keluarga sakinah adalah keluarga yang tenang, tentram, penuh kebahagiaan, dan sejahtera baik secara lahir atau batin, serta tidak gentar dalam menghadapi ujian kehidupan rumah tangga.

Adapun, mengutip dari jurnal Karakteristik Keluarga Sakinah dalam Islam tulisan Siti Chadijah, keluarga sakinah diartikan sebagai keluarga yang berawal dari rasa cinta (mawaddah) yang dimiliki oleh suami dan istri, kemudian berkembang menjadi kasih sayang (rahmah) antar setiap anggota keluarga hingga tercipta ketenangan dan kedamaian hidup.

Cara Membangun Keluarga yang Sakinah

Mengacu pada sumber yang sama, yaitu buku Pernikahan Sakinah Mencegah Perceraian, terdapat sejumlah strategi yang dapat diterapkan untuk membagun keluarga sakinah, antara lain yaitu:

1. Menanamkan nilai-nilai akidah dalam keluarga, agar senantiasa taat dalam memahami agama.

2. Memberikan contoh tentang akhlak yang terpuji, khususnya dari orang tua ke anak-anak mereka. Bagi keluarga sakinah, akhlak terpuji ini merupakan dasar penting untuk menjadi contoh bagi keluarga yang lain.

3. Memberikan kesadaran mengenai kedudukan, hak, dan kewajiban, bagi suami dan istri. Hal ini agar pasangan suami istri mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan adil.

4. Menanamkan keharmonisan dalam hubungan suami istri, agar mereka senantiasa hidup rukun dan mesra.

5. Menanamkan pola hidup hemat dan sederhana, dengan membuat perencanaan penggunaan uang yang teratur.

Syarat Keluarga Sakinah

Menurut Murwani Yekti Prihati SAg MSI dalam bukunya yang berjudul Mencapai Keluarga Sakinah, terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi agar tercipta keluarga sakinah, berikut pemaparannya.

  • Diawali dengan pernikahan yang Islami
  • Dalam keluarga ada mawaddah dan rahmah
  • Hubungan antara suami istri harus atas berdasarkan saling membutuhkan
  • Rasulullah juga bersabda tentang empat faktor yang menjadi sumber kebahagiaan keluarga, yaitu suami istri yang setia, saleh dan salehah, anak-anak yang berbakti kepada orang tuanya, serta lingkungan sosial yang sehat dan rezeki yang dekat.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com