Category Archives: Muslimah

Doa Mandi Bersih dari Haid: Arab, Latin dan Artinya


Jakarta

Doa mandi bersih dari haid sama artinya dengan niat yang dibaca sebelum mandi junub. Perintah mandi junub disebutkan dalam surah Al Maidah ayat 6,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا۟ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا۟ بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah.”


Sementara itu, terkait haid dijelaskan dalam surah Al Baqarah ayat 222 yang berbunyi,

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Terdapat sejumlah perkara yang menyebabkan wanita untuk mandi junub. Menukil dari buku Fikih Sunnah Wanita susunan Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim yang diterjemahkan Firdaus Sanusi Lc MA, berikut sebab-sebab mandi junub.

  • Keluarnya air mani dengan syahwat, baik saat tidur maupun terjaga
  • Setelah berhubungan badan walau tak keluar air mani
  • Sesudah berhentinya darah haid dan nifas
  • Masuk islamnya seseorang
  • Bila seorang perempuan meninggal dunia

Dalam Kitab Lengkap Shalat, Shalawat, Zikir dan Doa karya Ibnu Watiniyah, mandi junub juga disebut mandi besar dan mandi wajib. Pelaksanaannya ialah dengan cara membasuh seluruh tubuh mulai dari puncak kepala hingga ujung kaki.

Doa Mandi Bersih dari Haid

Berikut doa mandi bersih dari haid yang dapat dilafalkan oleh muslimah seperti dikutip dari buku Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari tulisan Muh Hambali.

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ عَنِ الْحَيْضِ لِلَّهِ تَعَالَى

Arab latin: Nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari ‘anin haidhi lillaahi ta’aala

Artinya: “Aku berniat mandi untuk menghilangkan hadats besar yang disebabkan haid karena Allah Ta’ala.”

Tata Cara Mandi Bersih

Mengutip dari buku Fiqh Ibadah tulisan Zaenal Abidin, tata cara mandi bersih bagi wanita ialah sebagai berikut:

1. Berwudhu seperti hendak melaksanakan sholat.

2. Membaca niat mandi junub dalam hati seraya mengguyurkan air dari ujung kepala sampai ujung kaki sebanyak tiga kali.

3. Mengguyur anggota tubuh bagian kanan sebanyak tiga kali, kemudian bagian kiri sebanyak tiga kali.

4. Menggosok seluruh anggota tubuh dari bagian depan hingga belakang.

5. Menyela bagian dalam rambut. Bagi perempuan yang memiliki rambut panjang tidak wajib membuka ikatan rambutnya, tetapi wajib membasahi akar-akar rambutnya dengan air.

6. Pastikan air yang mengalir telah membasahi seluruh lipatan kulit atau sela-sela anggota tubuh. Bersihkan kotoran yang menempel di sekitar tempat yang tersembunyi dengan tangan kiri, seperti pada kemaluan, dubur, bawah ketiak, dan pusar.

7. Melanjutkan mandi seperti biasa dan bilas hingga benar-benar bersih.

8. Apabila hendak melaksanakan sholat setelah mandi junub harus berwudhu kembali.

Doa Setelah Mandi Bersih

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ

Arab latin: Asyhadu an laa ilaha illallahu wahdahu laa syarika lahu, wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa Rasuluhu, allahumma-jalni minattawwabina, waj-alni minal-mutathahirrina

Artinya: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah aku pula termasuk orang-orang yang selalu mensucikan diri.”

Itulah doa mandi bersih dari haid dan tata caranya sesuai syariat. Semoga bermanfaat.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Tentang Wanita Bepergian Tanpa Mahram, Benarkah Dilarang?


Jakarta

Hukum mengenai wanita bepergian tanpa mahram bersumber dari riwayat hadits sabda Rasulullah SAW. Wanita tidak diperkenan bepergian kecuali dengan mahramnya. Namun, sejumlah ulama mengecualikan larangan tersebut.

Salah satu sumber dalil yang dijadikan rujukan untuk larangan wanita bepergian tanpa mahram adalah hadits dari Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW bersabda,

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمِ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ


Artinya: Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melaksanakan safar (perjalanan) berjarak satu hari perjalanan melainkan dengan seorang mahram. (HR Muslim)

Dalam riwayat lainnya Rasulullah SAW menyebutkan hal serupa,

لَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَم وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولُ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجِّ فَقَالَ اخْرُجْ مَعَهَا

Artinya: Tidaklah dibenarkan bagi seorang perempuan untuk melakukan safar kecuali bersama mahramnya, dan tidak pula dibenarkan bagi seorang laki-laki untuk masuk menemui seorang perempuan melainkan jika mahramnya bersama perempuan itu. Seorang laki-laki bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya ingin keluar berjihad bersama pasukan demikian dan demikian tetapi istriku ingin pula melaksanakan haji.’ Rasulullah menjawab, ‘Kalau demikian, temanilah istrimu itu’.” (HR Bukhari)

Mahram adalah suami dari wanita tersebut atau lelaki yang mempunyai hubungan nasab dengannya seperti, ayah, anak, saudara laki-laki, paman dari ayah dan ibu, atau mertuanya.

Menurut Muhammad Masykur dalam buku Wanita-wanita yang Dimurkai Nabi, larangan tersebut dimaksudkan untuk keamanan wanita baik kehormatan, barang-barang, keimanan, diri dan jiwanya. Keberadaan mahram dianggap memberi rasa aman bagi wanita selama perjalanan.

Hal senada juga diungkap DR. KH. M. Hamdan Rasyid dan Saiful Hadi El-Sutha dalam buku Panduan Muslim Sehari-hari. Pelarangan tersebut dimaksudkan sebagai langkah preventif atau li saddi ad dzari’ah yang bertujuan untuk melindungi kaum wanita dari berbagai gangguan yang mungkin terjadi.

Syarat Kebolehan Wanita Bepergian Tanpa Mahram

Ulama sepakat wanita muslim boleh melakukan perjalanan tanpa mahram karena adanya hal darurat. Hal darurat yang disebutkan yakni, perjalanan yang dilakukan dari negeri kafir ke negeri Islam dan perjalanan dari negeri yang tidak aman ke negeri yang aman.

Ulama lain berpendapat, wanita muslim tetap dibolehkan bepergian tanpa mahram yang tidak diiringi dengan sebab darurat. Syaratnya adalah perjalanan tersebut aman dari fitnah. Sebagai contoh, adanya sejumlah teman wanita yang turut menemai dan amannya kondisi jalan.

Pendapat tersebut diyakini oleh Hasan Al Bashri, Al Auza’i dan Daud Ad Dzhahiri. Pendapat ini juga menjadi salah satu yang disebutkan di antara pendapat dari kalangan ulama Mazhab Syafi’i dalam Al Majmu’ terjemahan Dr. Fahad Salim Bahammam dalam buku Fiqih Modern Praktis.

Pendapat serupa juga diambil dari salah satu kalangan ulama Mazhab Hambali yang kemudian dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Ibnu Muflih dalam Al Furu’ pun pernah mengutip pendapat Ibnu Taimiyyah yang menyebutkan sebgaian sahabat membolehkan wanita bepergian tanpa mahram meski bukan safar haji seperti, dalam rangka ziarah dan bisnis.

Imam Nawawi dalam Al Majmu’ juga menambahkan pendapat dari para ahli. Ada yang membolehkan seorang wanita muslim boleh bepergian dengan teman wanita terpercaya meski tanpa mahramnya. Namun, ada pula yang menyebut tidak boleh hanya dengan satu orang perempuan atau tsiqah tetapi yang dibolehkan adalah sejumlah perempuan terpercaya.

Disebutkan pula wanita muslim boleh bepergian sendirian ke tempat yang dekat. Hal ini dilandasi dari hadits berikut, “Hampir datang masanya wanita naik sekedup seorang diri tanpa bersama suaminya dari Hirah menuju Baitullah.” (HR Bukhari)

Lembaga Fatwa Dar Al Ifta Mesir juga menyatakan wanita boleh bepergian sendiri dengan syarat segala hal yang bersangkutan dengan dirinya sudah terjamin keamanannya.

Meski demikian, Dr. Akmal Rizki Gunawan dalam buku Khazanah Moderasi Beragama berpendapat, hadits pelarangan Rasulullah SAW tersebut juga perlu diketahui dengan konteks sejarahnya dan tidak serta merta diaplikasikan langsung.

Sebab, konteks sejarahnya pada hadits tersebut, wanita pada masa itu memang berada dalam kondisi tidak aman. Hal itu menjadi wajar bila Rasulullah SAW melarang keras seorang wanita bepergian keluar rumah tanpa ditemani mahramnya.

Dengan perkembangan teknologi, kekhawatiran dari segala gangguan tidak lagi seperti dulu. Larangan wanita bepergian tanpa mahram dapat dipahami dalam bentuk yang berbeda.

(rah/lus)



Sumber : www.detik.com

Dosa dan Bahaya jika Tidak Menutup Aurat bagi Muslimah


Jakarta

Aurat merupakan kewajiban yang harus dijaga dan ditutup. Islam mengajarkan agar wanita menutup aurat dan tidak mengumbarnya selain pada mahram.

Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya untuk menutup aurat mereka. Terkandung dalam surah Al Ahzab ayat 59, Allah SWT berfirman,

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ٥٩


Artinya: “Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin supaya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Jika seorang muslim melanggar perintah Allah SWT tersebut, maka ia harus menanggung dosa karena perbuatannya. Lantas, apa saja dosa karena tidak menutup aurat?

Menutup aurat merupakan perintah Allah SWT yang harus dilakukan baik untuk laki-laki maupun perempuan. Aurat tidak boleh dibuka di hadapan orang yang bukan mahram. Mengutip buku 10 Azab Wanita yang Disaksikan Rasulullah karya El-Hosniah, orang yang tidak menutup auratnya akan diazab di akhirat kelak, yakni ia akan digantung dengan rambut dan otak kepala yang mendidih.

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,

“Ada dua golongan penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat. Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang dipergunakannya untuk memukul orang dan para wanita berpakaian tapi telanjang, berlenggok-lenggok, dan kepala mereka bagaikan punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak dapat masuk surga, bahkan tidak dapat mencium bau surga. Padahal bau surga itu dapat tercium dari jarak begini dan begini.” (HR Muslim)

Merujuk pada buku Kau Akhi Aku Ukhti karya Aprilia Kartika, terdapat beberapa dosa karena tidak menutup aurat, yaitu:

  • Dosa karena tidak menutup aurat tidak hanya mengalir pada dirinya sendiri, namun dosanya juga akan mengalir pada kedua orang tuanya.
  • Jika sudah menikah, dosa karena tidak menutup aurat akan mengalir kepada suaminya.
  • Mendapatkan azab neraka.

Selain untuk menjalankan perintah Allah SWT, terdapat banyak hikmah dengan menutup aurat. Dirangkum dari buku Permata Hikmah Rasulullah karya Anisah Idrus, berikut hikmah menutup aurat:

Salah satu faktor yang banyak menjerumuskan wanita masuk ke neraka yaitu karena ia tidak menutup auratnya selama hidup. Oleh karena itu, lebih baik menutup aurat daripada memamerkannya.

Mencegah Hawa Nafsu dari Lawan Jenis ataupun Sesama

Mengenakan pakaian dengan aurat yang terbuka akan mengundang nafsu bagi orang yang melihatnya. Dengan menutup aurat, diharapkan mereka bisa menahan nafsunya dan tidak akan mengganggu wanita tersebut.

Menghindari Fitnah

Wanita yang senang mengumbar auratnya akan dianggap sebagai wanita penggoda atau murahan. Maka dari itu, hendaklah setiap wanita mengharamkan diri memakai pakaian minim yang memperlihatkan bagian tubuh sehingga mengundang fitnah.

Terlindung dari Kejahatan

Wanita yang tidak menutup auratnya akan berpotensi menjadi korban kejahatan. Hal ini berbanding terbalik dengan wanita yang selalu menutup auratnya.

Terlindung dari Polusi

Menutup aurat memiliki manfaat yang baik bagi fisik, yaitu melindungi kulit dari polusi. Mengenakan pakaian yang menutup aurat akan menjadikan wanita tidak merasa kepanasan ketika matahari bersinar terik dan tidak akan merasa kedinginan ketika suhu dingin melanda.

Mengangkat Martabat

Menutup aurat merupakan identitas untuk menunjukkan bahwa seseorang merupakan insan yang baik. Apalagi jika ia berperilaku baik dan sopan, orang-orang di sekitarnya pun juga akan menghormatinya.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Surat An Nisa Ayat 3 Jelaskan Soal Tanggung Jawab dalam Berpoligami


Jakarta

Surah An Nisa adalah salah satu surah yang termaktub dalam Al-Qur’an. Surah An Nisa merupakan surah keempat.

Surah An Nisa memiliki arti “Wanita”. Surah ini terdiri dari 176 ayat dan tergolong dalan surah Madaniyah.

Surah An Nisa ayat 3 menceritakan tentang hak dan keadilan untuk perempuan. Berikut bacaan lengkap surah An Nisa ayat 3 beserta tafsir dan asbabun nuzulnya.


Surah An Nisa Ayat 3: Arab, Latin, dan Artinya

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ ٣

Bacaan latin: Wa in khiftum allaa tuqsituu fil yataamaa fankihuu maa taaba lakum minan nisaaa’i masnaa wa sulaasa wa rubaa’a fa’in khiftum allaa ta’diluu fawaahidatan aw maa malakat aimaanukum; zaalika adnaaa allaa ta’uuluu

Artinya: “Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.”

Tafsir Surah An Nisa Ayat 3

Dirangkum dari kitab Tafsir Ibnu Katsir oleh Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq Al-Sheikh, perempuan yatim yang dimaksud adalah perempuan yatim yang berada pada pemeliharaan walinya yang bergabung dalam hartanya. Sedangkan walinya menyukai harta dan kecantikan perempuan yatim tersebut.

Lalu, walinya ingin menikahinya tanpa berbuat adil dalam maharnya, hingga memberikan mahar yang sama dengan mahar yang diberikan orang lain. Maka, mereka dilarang menikah kecuali mereka berbuat adil kepada wanita tersebut da memberikan mahar terbaik untuk mereka.

Mereka juga diperintahkan untuk menikahi perempuan-perempuan yang mereka sukai selain perempuan yatim itu. Jika mereka suka silahkan dua, jika suka silahkan tiga, dan jika suka silahkan empat.

Namun jika takut memiliki banyak istri dan tidak mampu berbuat adil kepada mereka, maka cukup memiliki satu istri saja atau budak-budak perempuan. Sebab, tidak wajib pembagian giliran pada budak-budak perempuan, namun hal tersebut di anjurkan. Maka tidak mengapa jika dilakukan atau tidak dilakukan.

Asbabun Nuzul Surah An Nisa Ayat 3

Merujuk pada buku Al-Lu’lu’ wa Al-Marjan: Kompilasi Tesaurus Al-Qur’an oleh Brilly El-Rasheed, berdasarkan hadits riwayat Al Bukhari, dari Aisyah RA, surah An Nisa ayat 3 turun karena kasus seorang pria yang menikahi perempuan yatim yang sejak kecil diasuhnya. Namun saat menikahi perempuan yatim tersebut, pria itu tidak memberikan apa-apa, bahkan dia malah menguasai seluruh harta hasil kerjasama dagang dengan perempuan yatim tersebut.

Pelajaran dari Surah An Nisa Ayat 3

Dirangkum dari buku Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah Al-Qur’an oleh M. Quraish Shihab, berikut beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari surah An Nisa ayat 3:

Kewajiban memberi perhatian kepada anak-anak dan kaum lemah. Izin berpoligami tercetus dari kekhawatiran memperlakukan anak-anak yatim secara aniaya dan izin tersebut bukannya tanpa syarat. Poligami bukanlah anjuran, namun hanya jalan keluar dalam menghadapi hal-hal yang sulit.

Harus memperhatikan kemampuan ekonomi serta mengatur jarak kelahiran anak sebelum menikah.

Menikahi “apa yang disenangi”, bukan “siapa yang disenangi” memberikan isyarat bahwa perhatian mencari jodoh hendaknya tertuju kepada sifat-sifat pasangan, bukan kepada keturunan, kecantikan, atau hartanya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Hadits tentang Aisyah, Perempuan yang Dinikahi Rasulullah SAW saat Belia


Jakarta

Rasulullah SAW menikah dengan Aisyah pada bulan Syawal tahun 10 kenabian sebelum hijrah. Pernikahan ini berlangsung di Makkah.

Ahmad Ghalwasy dalam as-Siratun Nabawiyah wad Da’wah fi ‘Ahdil Makki menyebutkan, Rasulullah SAW menikahi Aisyah tiga tahun setelah wafatnya Siti Khadijah. Banyak hadits Rasulullah SAW yang menerangkan tentang Aisyah, perempuan yang mendapat julukan Humaira yang artinya si pipi kemerahan.

Merangkum buku Benarkah Aisyah Menikah di Usia 9 Tahun? karya Muhammad Makmun Abha, S. Th.I., M. Hum, ada beberapa hadits Rasulullah SAW yang secara khusus menjelaskan tentang Aisyah.


1. Hadis tentang Wahyu untuk Menikahi Sayyidah ‘Aisyah

Pernikahan Rasulullah SAW dengan Sayyidah ‘Aisyah didasarkan atas wahyu bukan hawa nafsu. Rasulullah SAW menerima petunjuk langsung dari Allah SWT yang dibawa Malaikat Jibril.

Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,
“Sesungguhnya Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutera hijau kepada Nabi SAW dan berkata ini adalah istrimu di dunia dan akhirat” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits tersebut jelas menunjukkan sebuah pengkhususan hanya Nabi SAW sajalah yang mendapatkan mimpi semacam itu sebagai bentuk perintah dari Allah SWT kepada beliau.

Riwayat lain menyebutkan bahwa Khaulah Binti Hakim, seorang sahabat dekat Khadijah membantu meminang seorang gadis untuk Nabi SAW sebagaimana dalam hadis berikut: Abu Salamah dan Yahua berkata, “Ketika Khadijah Wafat kemudian Khaulah binti Hakim bin Auqashra, istri Utsman bin Mazh’un, berkata kepada Rasulullah SAW dan hal ini terjadi di Makkah,

“Wahai Rasulullah tidakkah baginda ingin menikah?” Beliau berkata, ” Dengan siapa?” Khaulah binti Hakim berkata, “Ada dua wanita, yang satu gadis dan yang satunya lagi sudah janda.” Rasulullah SAW berkata, “Siapa yang masih gadis?” Khaulah binti Hakim berkata, “la adalah putri dari orang yang paling baginda cintai, Aisyah binti Abu Bakar ra.” Rasulullah SAW berkata, “Lalu yang janda siapa?” Khaulah binti Hakim berkata,”Saudah binti Zam’ah ra, ia adalah wanita yang mulia yang beriman kepadamu.”

Rasulullah SAW berkata, “Kalau begitu berangkatlah kamu dan tanyakan kamu kepadanya (Saudah binti Zam’ah) dan tanyakan kepadanya apakah ia bersedia” (HR. Ahmad)

2. Hadits tentang Mahar Pernikahan Sayyidah Aisyah

Dari Abu Salamah bin Abdurrahman ia berkata aku telah bertanya kepada ‘Aisyah istri Nabi Muhammad SAW tentang jumlah mahar yang diberikan Rasulullah SAW kepada istri-istrinya: Aisyah menjawab, “Mahar Rasulullah kepada istri-istrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nasy. Tahukah kamu satu nasy itu?” Dijawab, “Tidak.”

Kemudian lanjut Aisyah, “Satu nasy itu sama dengan setengah uqiyah, yaitu lima ratus dirham. Maka inilah mahar Rasulullah terhadap istri-istri beliau.” (HR. Muslim)

3. Hadits tentang Usia Pernikahan Sayyidah ‘Aisyah

Banyak sekali hadits yang menjelaskan tentang usia pernikahan Sayyidah Aisyah meskipun dengan redaksi yang hampir bermiripan. Adapun beberapa hadits yang dijadikan dalil mengenai pernikahan dini ‘Aisyah dengan Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:

Dari Hisyam bin Urwah dari Aisyah ra. berkata: “Nabi SAW menikahiku ketika aku masih berusia enam tahun. Kami berangkat ke Madinah. Kami tinggal di tempat Bani Haris bin Khajraj. Kemudian aku terserang penyakit demam panas yang membuat rambutku banyak yang rontok. Kemudian ibuku, Ummu Ruman, datang ketika aku sedang bermain-main dengan beberapa orang temanku. Dia memanggilku, dan aku memenuhi panggilannya, sementara aku belum tahu apa maksudnya memanggilku. Dia menggandeng tanganku hingga sampai ke pintu sebuah rumah. Aku merasa bingung dan hatiku berdebar-debar. Setelah perasaanku agak tenang, ibuku mengambil sedikit air, lalu menyeka muka dan kepalaku dengan air tersebut, kemudian ibuku membawaku masuk ke dalam rumah itu. Ternyata di dalam rumah itu sudah menunggu beberapa orang wanita Anshar. Mereka menyambutku seraya berkata: ‘Selamat, semoga kamu mendapat berkah dan keberuntungan besar:’

Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka. Mereka lantas merapikan dan mendandani diriku. Tidak ada yang membuatku kaget selain kedatangan Rasulullah SAW. Ibuku langsung menyerahkanku kepada beliau, sedangkan aku ketika itu baru berusia sembilan tahun.” (HR. Bukhari)

Itulah beberapa hadits yang menjelaskan tentang pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah. Meskipun usianya masih belia, Aisyah bisa menjadi pendamping Rasulullah SAW yang sholehah. Ia juga menjadi istri yang paling banyak meriwayatkan hadits.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Niat Mandi Besar Setelah Haid dan Tata Caranya yang Benar


Jakarta

Niat mandi besar setelah haid dibaca sebelum membasuh air ke anggota tubuh. Pada dasarnya, mandi besar bertujuan untuk membersihkan diri dari hadats besar.

Dalil mandi besar tercantum dalam surah Al Maidah ayat 6,

وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا۟


Artinya: “…dan jika kamu junub maka mandilah…”

Haid adalah peristiwa biologis wanita sebagai penanda bahwa organ reproduksinya sehat dan berfungsi, seperti disebutkan oleh Sayyid Abdurrahman bin Abdul Qadir Assegaf dalam Kitab Haid, Nifas, dan Istihadhah.

Wanita yang haid dilarang untuk melakukan ibadah seperti salat dan puasa sebagaimana disebutkan dalam surah Al Baqarah ayat 222.

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran,” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Karenanya, muslimah yang haidnya telah selesai diwajibkan untuk mandi besar. Sebelum mandi mereka harus membaca niat yang mana termasuk ke dalam salah satu rukun mandi wajib.

Mengutip Fiqih Islam wa Adilatuhu susunan Wahbah Az-Zuhaili, niat adalah hal yang wajib dan tidak boleh terlewat. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda:

“Sesungguhnya (sahnya) amal-amal perbuatan adalah hanya bergantung kepada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatinya. Barangsiapa hijrahnya adalah karena Allah SWT dan Rasul-Nya, maka hijrahnya dicatat Allah SWT dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena untuk mendapatkan dunia atau (menikahi) wanita, maka hijrahnya adalah (dicatat) sesuai dengan tujuan hijrahnya tersebut,” (HR Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lainnya).

Niat Mandi Besar Setelah Haid

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ حَدَثِ الْحَيْضِ ِللهِ تَعَالَى

Arab latin: Nawaitul ghusla lifraf il hadatsil akbari minal haidil lillahi ta’ala

Artinya: “Saya berniat mandi wajib untuk mensucikan hadas besar dari haid karena Allah Ta’ala,”

Sebab Mandi Wajib bagi Wanita

Menurut buku Fikih Wanita Praktis karya Darwis Abu Ubaidah, ada beberapa penyebab yang mengharuskan wanita mandi wajib, antara lain sebagai berikut:

  • Berhubungan suami istri atau bertemunya dua khitan sekalipun air maninya tidak keluar
  • Keluarnya air mani dengan sebab apapun, baik karena mimpi, berhubungan badan, terangsang, atau sebab lainnya
  • Selesai dari masa haid atau menstruasi
  • Selesai dari masa nifas, yaitu keluarnya darah dari kemaluan wanita setelah melahirkan
  • Wiladah, yaitu persalinan atau melahirkan. Termasuk ketika wanita mengalami keguguran, meskipun yang keluar hanya segumpal darah atau daging, baik tanpa cairan maupun berbentuk cairan

Tata Cara Mandi Wajib Setelah Haid

Mengacu pada sumber yang sama, ada sejumlah tata cara khusus ketika melakukan mandi wajib setelah haid, antara lain sebagai berikut:

  1. Membaca doa niat mandi wajib setelah haid
  2. Membersihkan telapak tangan sebanyak 3 kali
  3. Membersihkan kotoran yang menempel di sekitar tempat yang tersembunyi dengan tangan kiri
  4. Setelah membersihkan kemaluan, cuci tangan dengan sabun dan bilas hingga bersih
  5. Berwudhu secara sempurna seperti ketika kita akan salat, dimulai dari membasuh tangan sampai membasuh kaki
  6. Memasukkan tangan ke dalam air, kemudian sela pangkal rambut dengan jari-jari tangan sampai menyentuh kulit kepala. Jika sudah, guyur kepala dengan air sebanyak 3 kali. Pastikan pangkal rambut juga terkena air
  7. Bilas seluruh tubuh dengan mengguyur air. Dimulai dari sisi kanan lalu lanjutkan ke tubuh sisi kiri
  8. Saat menjalankan tata cara mandi wajib setelah haid, pastikan seluruh lipatan kulit dan bagian tersembunyi ikut terkena air serta dibersihkan

Itulah niat mandi besar setelah haid disertai penyebab dan tata caranya. Jangan lupa diamalkan ya!

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Sejarah World Hijab Day yang Diperingati Tiap 1 Februari



Jakarta

Tanggal 1 Februari menandai perayaan World Hijab Day atau Hari Hijab Sedunia. Gerakan ini telah diperingati sejak 11 tahun lalu.

Melansir situs World Hijab Day, Kamis (1/2/2024), perayaan World Hijab Day pertama kali berlangsung pada 1 Februari 2013 sebagai pengakuan atas jutaan wanita Muslim yang memilih berhijab dan menjalani kehidupan yang sopan.

Gerakan ini muncul dari warga Bangladesh-New York, Nazma Khan, yang kala itu mengajak para wanita dari semua lapisan masyarakat untuk merasakan hijab selama satu hari. Gerakan ini kemudian berlanjut pada tahun-tahun berikutnya setiap 1 Februari.


Dalam sesi bersama TEDx Talks yang tayang pada 20 Januari 2023 lalu, aktivis sosial itu mengaku mengalami banyak diskriminasi karena hijab yang ia kenakan selama tinggal di New York City. Dirinya juga pernah mendapat label teroris. Inilah yang kemudian melatarbelakangi gagasannya untuk mengajak para wanita berhijab.

“Tumbuh di Bronx, New York City, saya mengalami banyak diskriminasi karena hijab saya. Di sekolah menengah, saya adalah ‘Batman’ atau ‘ninja’,” ujarnya.

“Sekarang, saya dipanggil Osama bin Laden atau teroris. Itu mengerikan. Saya pikir satu-satunya cara untuk mengakhiri diskriminasi adalah jika kita meminta saudara kita untuk berhijab,” imbuhnya.

Gerakan berhijab kemudian sukses dan terus berlanjut hingga kini. Diperkirakan gerakan ini telah diikuti oleh para wanita di lebih dari 150 negara di dunia setiap tahunnya.

World Hijab Day juga memiliki banyak relawan dan duta di seluruh dunia. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Gerakan ini juga mendapat dukungan dari banyak tokoh.

Pada perayaan kali ini, World Hijab Day 2024 mengusung tema Veiled in Strength. Akan ada konferensi global yang digelar secara virtual pada 1 Februari 2024. Sebanyak 10 wanita berhijab yang terdiri dari ustazah, seniman mural, hingga aktivis hak-hak wanita menjadi panelis dalam konferensi ini.

Menurut informasi dari media sosial World Hijab Day, acara ini akan berlangsung pada pukul 9.00 AM-2.00 PM Waktu Standar Timur (EST) dan disiarkan langsung melalui Facebook, Instagram, X, YouTube, dan Linkedin World Hijab Day.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

11 Wanita Ini Haram Dinikahi gegara Nasab-Ikatan Perkawinan


Jakarta

Ada sejumlah wanita yang haram dinikahi dalam Islam. Keharaman ini disebabkan karena nasab hingga ikatan perkawinan.

Wanita-wanita yang haram dinikahi secara garis besar disebutkan dalam Al-Qur’an surah An Nisa ayat 22-24. Menurut Tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama RI, ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang larangan bagi laki-laki menikahi wanita karena sebab tertentu.

Pada ayat 22, Allah SWT melarang laki-laki menikahi wanita karena ikatan perkawinan (mushaharah), yakni larangan menikahi istri ayah. Allah SWT berfirman,


وَلَا تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ اٰبَاۤؤُكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً وَّمَقْتًاۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا ࣖ ٢٢

Artinya: “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya (perbuatan) itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS An Nisa: 22)

Allah SWT juga melarang laki-laki menikahi wanita karena hubungan nasab. Sebagian dari larangan ini berlaku untuk selamanya. Sebagaimana firman Allah SWT,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ۔ ٢٣

Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An Nisa: 23)

Jika pada surah An Nisa ayat 23 Allah SWT mengharamkan menikahi dua wanita bersaudara sekaligus, maka pada ayat 24 ini Allah SWT mengharamkan seorang wanita dinikahi oleh dua laki-laki. Allah SWT berfirman,

۞ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ النِّسَاۤءِ اِلَّا مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۚ كِتٰبَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَاُحِلَّ لَكُمْ مَّا وَرَاۤءَ ذٰلِكُمْ اَنْ تَبْتَغُوْا بِاَمْوَالِكُمْ مُّحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسٰفِحِيْنَ ۗ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهٖ مِنْهُنَّ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً ۗوَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهٖ مِنْۢ بَعْدِ الْفَرِيْضَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا ٢٤

Artinya: “(Diharamkan juga bagi kamu menikahi) perempuan-perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dihalalkan bagi kamu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu, yakni kamu mencari (istri) dengan hartamu (mahar) untuk menikahinya, bukan untuk berzina. Karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah kepada mereka imbalannya (maskawinnya) sebagai suatu kewajiban. Tidak ada dosa bagi kamu mengenai sesuatu yang saling kamu relakan sesudah menentukan kewajiban (itu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS An Nisa: 24)

Muhammad Jawad Mughniyah dalam kitab Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah yang diterjemahkan Masykur A.B dkk menghimpun sejumlah wanita yang haram dinikahi berdasarkan kesepakatan ulama mazhab. Larangan ini terdiri dari dua bagian, yakni karena hubungan nasab dan karena sebab yang lain.

Berikut rincian selengkapnya.

Haram karena Nasab

  1. Ibu, termasuk nenek dari pihak ayah atau pihak ibu
  2. Anak-anak perempuan, termasuk cucu perempuan dari anak laki-laki atau anak perempuan hingga keturunannya ke bawah
  3. Saudara-saudara perempuan, baik seayah, seibu, maupun seayah dan seibu
  4. Saudara perempuan ayah, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek dari pihak ayah dan seterusnya
  5. Saudara perempuan ibu, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek dari pihak ibu dan seterusnya
  6. Anak-anak perempuan dari saudara laki laki-laki sampai anak turunnya
  7. Anak-anak perempuan dari saudara perempuan sampai sanak turunnya

Haram karena Ikatan Perkawinan

  1. Istri ayah haram dinikahi oleh anak turunnya semata-mata karena adanya akad nikah, baik sudah dicampuri atau belum
  2. Istri anak laki-laki haram dinikahi oleh ayah ke atas semata-mata karena adanya akad nikah
  3. Ibu istri (mertua wanita) dan seterusnya ke atas haram dinikahi semata-mata adanya akad nikah dengan anak perempuannya, sekalipun belum dicampuri

Berkaitan dengan sebab ini, semua mazhab sepakat anak perempuan istri (anak perempuan tiri) boleh dinikahi semata-mata karena adanya akad nikah sepanjang ibunya belum dicampuri, dipandang, atau disentuh dengan birahi.

Haram karena Sebab Lain

  1. Dua wanita bersaudara sekaligus

Semua ulama mazhab sepakat haram menikahi dua wanita bersaudara sekaligus. Hal ini bersandar pada firman Allah SWT,

وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ

Artinya: “dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara,” (QS An Nisa: 23)

Para ulama mazhab juga sepakat mengharamkan menyatukan seorang wanita dengan bibinya dari pihak ayah atau pihak ibu untuk dijadikan istri. Larangan ini karena adanya hukum kulli (umum) yakni tidak boleh menyatukan dua orang jika seandainya salah satu di antara dua laki-laki itu haram menikahi yang perempuan.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Ketentuan Masa Iddah Wanita yang Digugat Cerai dan Larangannya


Jakarta

Masa iddah merupakan suatu waktu tunggu bagi wanita muslim setelah digugat cerai atau ditinggal mati oleh suaminya. Ketika masa iddah, wanita tidak diperbolehkan menikah kembali.

Dijelaskan dalam Fiqih Sunnah 3 tulisan Sayyid Sabiq, asal kata iddah ialah al-‘addu dan al-ihsha yang artinya hari-hari dan masa haid yang dihitung oleh kaum wanita. Jadi, iddah dimaknai sebagai masa di mana wanita muslim menunggu.

Mengutip buku Fikih Empat Madzhab Jilid 5 oleh Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, praktik iddah sudah ada sejak zaman jahiliyah. Kala itu, masyarakat menaati aturan tersebut. Agama Islam mengakui bahwa penetapan iddah dalam syariat dinilai memiliki banyak maslahat bagi umat.


Dalil terkait masa iddah tercantum dalam surah Al Baqarah ayat 228,

وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍ

Artinya: “Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū’ (suci atau haid).”

Selain ayat Al-Qur’an, disebutkan pula dalam hadits. Rasulullah SAW bersabda kepada Fatimah binti Qais,

“Jalanilah masa iddahmu di rumah Ummu Maktum.” (HR Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i & Tirmidzi)

Lantas, bagaimana ketentuan masa iddah bagi wanita yang digugat cerai?

Masa Iddah Wanita yang Digugat Cerai

Abdul Qadir Manshur melalui karyanya yang berjudul Buku Pintar Fikih Wanita membagi masa iddah ke dalam dua jenis, yaitu iddah karena perceraian dan kematian. Perlu dipahami, apabila wanita muslim yang diceraikan belum disetubuhi, maka tidak wajib menjalani masa iddah.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Ahzab ayat 49,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نَكَحْتُمُ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”

Namun, jika wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil maka masa iddahnya sampai sang bayi lahir seperti dijelaskan dalam surah At Thalaq ayat 4,

وَٱلَّٰٓـِٔى يَئِسْنَ مِنَ ٱلْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ٱرْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشْهُرٍ وَٱلَّٰٓـِٔى لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُو۟لَٰتُ ٱلْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مِنْ أَمْرِهِۦ يُسْرًا

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

Sementara bila wanita tersebut tidak sedang hamil, maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, ia sedang menstruasi. Dalam keadaan itu, maka masa iddahnya adalah dalam waktu tiga kali menstruasi. Kemudian apabila ia tidak mengalami menstruasi maka masa iddahnya adalah tiga bulan.

Larangan bagi Wanita dalam Masa Iddah

Masih dari buku yang sama, ada sejumlah larangan yang perlu dipahami wanita ketika dalam masa iddahnya, yaitu:

1. Melakukan Ihdad

Ihdad dilakukan oleh wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sampai habis masa iddahnya. Kata ihdad sendiri memiliki arti tidak memakai perhiasaan, wangi-wangian, pakaian mencolok, pacar, dan celak mata.

2. Tidak Keluar Rumah Kecuali dalam Keadaan Darurat

Sesuai dengan firman Allah dalam At Thalaq ayat 1, wanita yang sedang dalam masa iddah tidak diperbolehkan keluar rumah yang ditinggali bersama suaminya sebelum bercerai. Kecuali jika ada keperluan mendesak.

3. Tidak Menikah dengan Lelaki Lain

Wanita yang sedang menjalani masa iddah baik karena bercerai, fasakh, atau ditinggal meninggal oleh suaminya tidak boleh menikah selain dengan laki-laki yang meninggalkan atau menceraikannya. Apabila menikah, maka pernikahannya dianggap tidak sah. Adapun laki-laki yang meminang dengan sindiran kepada wanita yang sedang dalam masa iddah juga tidak diperbolehkan (haram).

Itulah ketentuan bagi wanita yang masa iddahnya karena gugat cerai. Semoga bermanfaat.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Lubabah Al Kubra, Wanita Salihah yang Jadi Pengasuh Cucu Nabi


Jakarta

Lubabah Al Kubra merupakan saudara perempuan dari istri Rasulullah yang terakhir, Maimunah binti Al Harits. Ia termasuk wanita salihah yang hidup di zaman nabi.

Disebutkan dalam buku Muhammad Sang Kekasih karya Ahmad Rofi’ Usmani, Lubabah Al Kubra adalah pengasuh cucu Rasulullah SAW, anak dari Fatimah Az Zahra. Berikut sosok dan kisahnya saat mengasuh cucu Nabi SAW.

Sosok Lubabah Al Kubra

Lubabah Al Kubra memiliki nama lengkap Lubabah binti Al-Harits bin Khazn bin Bajir bin Hilal bin Sha’sha’ah. Ia sering dipanggil Ummul Fadhal Al Kubra karena anaknya bernama Abul Fadhal.


Umar Ahmad Al-Rawi dalam buku Wanita-Wanita Kebanggaan Islam menyebut bahwa Lubabah Al Kubra adalah saudari kandung seibu dari Maimunah binti Al-Harits, yakni istri terakhir Rasulullah SAW.

Selain ummul mukminin itu, ia juga bersaudari dengan Zainab binti Khuzaimah (istri Rasulullah SAW), Ummu Salma binti Umais (istri Hamzah bin Abdul Muthalib), dan Asma’ binti Umari (pernah menjadi istri Ja’far bin Abu Thalib, Abu Bakar, dan Ali).

Keempat saudari ini disebutkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang beriman. Beliau bersabda, “Mereka adalah empat bersaudara yang beriman, yakni Ummul Fadhal, Maimunah, Asma’, dan Salma.”

Suami Lubabah Al Kubra bernama Al-Abbas bin Abdul Muthalib. Keduanya dikaruniai enam orang anak, yakni Abul Fadhal, Abdullah, Ubaidillah, Ma’bad, Abdurrahman, dan Ummu Habib.

Ia masuk Islam setelah Khadijah, istri Rasulullah SAW, masuk Islam. Dirinya ikut hijrah ketika suaminya sudah memeluk Islam secara terang-terangan dan umat Islam meraih kemenangan Perang Badar.

Lubabah Al Kubra Menjadi Pengasuh Hasan

Suatu hari, Lubabah Al Kubra berkunjung ke rumah Rasulullah SAW dari rumahnya yang berada di antara Madinah dan Makkah. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, dalam mimpi aku melihat seolah-olah ada salah seorang anggota keluarga anda berada di rumahku.”

Rasulullah SAW menjawab, “Itu mimpi yang bagus. Fatimah akan melahirkan seorang anak, lalu kamu akan menyusuinya dengan susu anakmu yang dermawan.”

Benar saja, setelah Fatimah melahirkan Husain, maka Lubabah Al Kubra-lah yang menjadi pengasuhnya.

Salah satu kisah Lubabah Al Kubra saat mengasuh Husain adalah tatkala Rasulullah SAW sedang memangku dan menciumi Husain. Namun ternyata Husain mengompoli kakeknya itu. Maka beliau bersabda, “Hai Ummul Fadhal, ambillah cucuku ini. Ia mengompoliku.”

Lubabah Al Kubra kemudian mengambil Husain dari pangkuan Rasulullah SAW dan mencubitnya hingga menangis. Seraya berkata, “Kamu nakal. Kamu telah mengompoli Rasulullah SAW.”

Kemudian Husain pun menangis, sehingga Rasulullah SAW bersabda, “Hai Ummul Fadhal, kamu telah menyakitiku karena mencubit cucuku ini.” Kemudian beliau meminta air untuk menceboki Husain.

Lubabah Al Kubra hidup dalam waktu yang cukup lama. Ia meninggal pada era Khalifah Utsman bin Affan RA. Wanita salihah ini telah menyumbang beberapa hadits mengenai hukum-hukum menyusui, bersuci, puasa, salat, dan lain sebagainya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com