Apakah Tobat Diampuni Jika Maksiat Lagi?


Jakarta

Setiap hamba Allah SWT pasti tak luput dari kesalahan dan dosa. Tobat adalah pintu penyucian diri yang selalu terbuka, menawarkan kesempatan bagi kita untuk kembali pada jalan yang benar.

Namun, bagaimana jika seseorang sudah bertobat, tapi kemudian kembali terjerumus dalam maksiat? Apakah pintu ampunan Allah masih terbuka lebar?

Dalil Tobat dalam Islam

Dalam Islam, tobat memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Taubat Ila Allaah karya Yusuf Qardhawi (terjemahan Irfan Maulana Hakim), tobat punya kekuatan untuk menghapus dan menghancurkan dosa-dosa yang telah lalu, layaknya Islam yang menghapus dosa-dosa di masa kekufuran.


Allah SWT sendiri menyeru hamba-Nya untuk bertobat dengan tulus, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an surah At-Tahrim ayat 8:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا تُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًاۗ عَسٰى رَبُّكُمْ اَنْ يُّكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۙ يَوْمَ لَا يُخْزِى اللّٰهُ النَّبِيَّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗۚ نُوْرُهُمْ يَسْعٰى بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَبِاَيْمَانِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَتْمِمْ لَنَا نُوْرَنَا وَاغْفِرْ لَنَاۚ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِي

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanannya. Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu’.”

Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa tobat yang tulus (tobat nashuha) adalah jalan untuk penghapusan dosa dan masuk surga.

Tobat Diampuni Jika Maksiat Lagi

Sering kali, godaan untuk kembali berbuat dosa begitu kuat. Bahkan setelah seseorang sudah bertobat.

Lantas, apakah tobat kita sebelumnya menjadi sia-sia? Para ulama sepakat bahwa kita tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah SWT. Meskipun kita berulang kali jatuh dalam dosa.

Imam Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin meriwayatkan sebuah hadits qudsi yang sangat menenangkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,

“Jikalau seorang hamba melakukan suatu dosa lalu ia berkata, ‘Ya Allah, ampunilah dosaku,’ maka Allah SWT berfirman, ‘Hamba-Ku melakukan sesuatu yang berdosa, lalu ia mengerti bahwa ia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa dan dapat pula memberikan hukuman sebab adanya dosa itu.’

Kemudian apabila hamba itu mengulangi perbuatan dosanya lagi, lalu ia berkata, ‘Ya Tuhanku, ampunilah dosaku,’ maka Allah SWT berfirman, ‘Hamba-Ku melakukan sesuatu yang berdosa lagi, tetapi ia tetap mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa dan dapat pula memberikan hukuman sebab adanya dosa itu.’

Seterusnya apabila hamba mengulangi dosa lagi lalu berkata, ‘Ya Tuhanku, ampunilah dosaku,’ maka Allah SWT berfirman, ‘Hamba-Ku berbuat dosa lagi, tetapi ia mengetahui bahwa ia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa dan dapat pula memberikan hukuman sebab adanya dosa itu. Aku telah mengampuni dosa hamba-Ku itu, maka hendaklah ia berbuat sekehendak hatinya’.” (Muttafaq ‘alaih)

Imam Nawawi menjelaskan, maksud dari “hendaklah ia berbuat sekehendak hatinya” adalah bahwa jika seorang muslim berbuat dosa lalu segera bertobat, Allah SWT akan mengampuninya karena tobat telah melenyapkan dosa-dosa sebelumnya. Ini menunjukkan luasnya ampunan dan rahmat Allah bagi hamba-Nya yang senantiasa kembali kepada-Nya.

Allah SWT Mengampuni Orang yang Bertobat dari Maksiat

Kisah teladan dari Ali bin Abi Thalib RA semakin menguatkan pesan ini. Ketika ditanya tentang orang yang banyak berbuat dosa tetapi kemudian banyak bertobat, ia menjawab, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang banyak berbuat dosa, tetapi kemudian banyak bertobat.”

Ketika ditanya, “Bagaimana jika ia mengulanginya?” Ali menjawab, “Hendaklah ia beristighfar dan bertobat kepada Allah.” Pertanyaan yang sama diulang hingga Ali menjawab, “Hingga setan merasa putus asa.”

Ini menunjukkan bahwa selama seorang hamba masih punya keinginan untuk kembali dan bertobat, rahmat Allah akan selalu ada.

Imam Al-Ghazali juga menganjurkan, “Apabila kamu bertobat, lalu berbuat dosa lagi, segeralah bertobat. Katakan kepada dirimu, ‘Mudah-mudahan aku akan mati sebelum mengulangi perbuatan dosa lagi,’ begitu seterusnya. Sebagaimana engkau melakukan dosa dan mengulanginya, engkau juga harus bertobat dan terus-menerus mengulanginya.”

Kunci Utama dalam Bertobat

Pesan utama dari penjelasan para ulama ini adalah jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah SWT. Meskipun kita berulang kali jatuh dalam dosa, pintu tobat selalu terbuka. Yang terpenting adalah ketulusan dalam tobat dan tekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa.

Setiap kali kita melakukan dosa, segera sadari, sesali, dan bertobatlah. Dengan begitu, kita senantiasa membersihkan diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, bahkan jika jalan menuju istiqamah itu penuh dengan ujian dan jatuh bangun. Rahmat Allah SWT jauh lebih besar dari dosa-dosa kita.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Kalau Tidak Bersyukur, Apa Akibatnya? Ini Peringatan dari Al-Qur’an


Jakarta

Bersyukur adalah sikap mulia yang sangat dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Dalam banyak ayat Al-Qur’an, Allah SWT secara tegas memerintahkan manusia untuk bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan.

Kepada hamba-Nya yang tidak bersyukur, Allah SWT memberikan peringatan keras bagi siapa saja yang kufur nikmat, alias tidak bersyukur.

Dikutip dari buku Dahsyatnya Syukur karya Syafii Al Bantanie, banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang syukur. Ada ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hakikat syukur, perintah bersyukur, balasan bagi orang yang bersyukur dan ancaman bagi orang yang tidak bersyukur.


Termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 152,

فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِى وَلَا تَكْفُرُونِ

Artinya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

Dikutip dari buku Mengimplementasikan Ajaran Tasawuf dalam Pendidikan Agama Islam dan Dunia Kerja yang ditulis oleh Eko Nani Fitriono, S. Th.I., dkk, dijelaskan bahwa, cara bersyukur kepada Allah SWT menurut para ulama di antaranya adalah dengan cara menaati perintah-Nya. Misalnya dengan mengagungkan nama Allah SWT, mengucapkan hamdalah, melakukan perbuatan yang diridhai, seperti sholat, puasa, dan menunaikan ibadah yang lain.

Akibat Jika Tidak Bersyukur

1. Kufur Nikmat Mendatangkan Azab

Salah satu peringatan yang sangat tegas mengenai akibat dari tidak bersyukur dapat ditemukan dalam surah Ibrahim ayat 7, di mana Allah SWT berfirman:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِى لَشَدِيدٌ

Arab-Latin: Wa iż ta`ażżana rabbukum la`in syakartum la`azīdannakum wa la`ing kafartum inna ‘ażābī lasyadīd

Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Ayat ini adalah peringatan langsung dari Allah SWT. Ketika seseorang tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan, maka bukan hanya nikmat itu akan dicabut, tapi juga bisa mengundang azab yang berat. Azab ini bisa berupa musibah, kegelisahan hidup, hingga kehancuran.

2. Dicabutnya Nikmat yang Ada

Allah SWT dapat mencabut nikmat-Nya dari orang-orang yang tidak tahu bersyukur. Ini ditegaskan dalam banyak kisah umat terdahulu dalam Al-Qur’an, salah satunya adalah kaum Saba’.

Dalam Surah Saba’ ayat 15-17, Allah menceritakan tentang kaum Saba’ yang hidup dalam kemakmuran, namun tidak bersyukur kepada Allah SWT. Akibatnya, negeri mereka yang dahulu subur berubah menjadi gersang:

“Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar…” (QS. Saba’: 15-16)

Kisah ini adalah cermin bagi kita bahwa kemewahan dan kenyamanan hidup bukanlah jaminan selamanya jika tidak disertai dengan rasa syukur kepada Allah SWT.

3. Hidup Menjadi Sempit dan Sulit

Ketika seseorang tidak bersyukur, ia akan selalu merasa kurang dan tidak puas, bahkan ketika ia memiliki banyak harta. Rasa tidak puas ini bisa berubah menjadi kegelisahan, iri hati, dan keputusasaan. Dalam QS. Thaha ayat 124, Allah berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ

Artinya: Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.

4. Dihapusnya Amal Kebaikan

Ketidaksyukuran juga bisa berakibat pada hilangnya pahala amal kebaikan. Hal ini terjadi karena kufur nikmat termasuk dalam dosa besar jika disertai dengan pengingkaran terhadap kekuasaan Allah.

Allah SWT berfirman dalam surat Ibrahim ayat 18,

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِرَبِّهِمْ ۖ أَعْمَٰلُهُمْ كَرَمَادٍ ٱشْتَدَّتْ بِهِ ٱلرِّيحُ فِى يَوْمٍ عَاصِفٍ ۖ لَّا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا۟ عَلَىٰ شَىْءٍ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلضَّلَٰلُ ٱلْبَعِيدُ

Artinya: Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.

Ayat ini menggambarkan bahwa amal tanpa keimanan dan syukur kepada Allah bisa menjadi sia-sia seperti abu yang diterbangkan angin.

5. Menjadi Hamba yang Dibenci Allah

Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur. Sebaliknya, orang yang tidak tahu bersyukur dianggap sebagai makhluk yang tidak tahu diri. Bahkan dalam beberapa tafsir, kufur nikmat disamakan dengan bentuk keangkuhan terhadap Sang Pencipta.

Dalam Surah Al-Insan ayat 3, Allah mengingatkan,

إِنَّا هَدَيْنَٰهُ ٱلسَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.

Ayat ini menunjukkan bahwa manusia diberi dua pilihan, dan Allah sangat mencela mereka yang memilih kekufuran setelah diberi petunjuk dan nikmat.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Dzikir Pagi Asmaul Husna, Lengkap 99 Nama Terindah Allah SWT


Jakarta

Dalam Islam, salah satu amalan yang sangat dianjurkan untuk mengawali hari adalah dzikir pagi. Dzikir ini tidak hanya menguatkan jiwa dan menenangkan hati, tetapi juga menjadi benteng dari berbagai gangguan dan kesulitan.

Setiap pagi adalah anugerah baru dari Allah SWT. Bangun dari tidur dalam keadaan sehat, diberi kesempatan hidup, dan memiliki waktu untuk memperbaiki diri adalah nikmat yang tak terhingga.

Salah satu bentuk dzikir pagi yang penuh makna dan kekuatan adalah membaca Asmaul Husna nama-nama Allah SWT yang indah dan agung. Asmaul Husna bukan hanya rangkaian kata, melainkan sifat-sifat Allah SWT yang mencerminkan kemahakuasaan-Nya.


Menyebut nama-nama ini di pagi hari berarti mengakui keagungan-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan penuh harap dan keyakinan.

Pengertian Dzikir da Asmaul Husna

Mengutip buku Dzikir Pagi & Petang karya Ust. Fadli Ramadhan, dzikir secara bahasa adalah mengingat, sedangkan secara istilah adalah membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah SWT. Secara etimologi, dzikir berasal dari akar kata dzakara yang berarti menyebut,mensucikan, menggabungkan, menjaga, mengerti, mempelajari, memberi dan nasihat.

Dzikir juga dapat diartikan mensucikan dan mengagungkan, juga dapat diartikan menyebut dan mengucapkan nama Allah atau menjaga dalam ingatan.

Asmaul Husna adalah istilah yang merujuk pada nama-nama Allah SWT yang indah dan agung. Secara bahasa, Asmaul Husna berasal dari bahasa Arab, Al Asma yang berarti nama-nama, dan kata Al Husna yang berarti terbaik, terindah atau sebaik-baiknya.

Jadi, Asmaul Husna berarti “nama-nama Allah yang paling indah”.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman melalui surat Al-A’raf ayat 180

وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا۟ ٱلَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِىٓ أَسْمَٰٓئِهِۦ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Artinya: Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

Surat Al-Ahzab ayat 41-42,

وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.

Dzikir Asmaul Husna juga memiliki banyak keutamaan, apalagi hal ini juga dianjurkan. Berdzikir dengan menyebut nama-nama Allah atau Asmaul Husna juga telah dianjurkan dalam Al-Quran surat Al-A’raf ayat 180.

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اَسْمَاۤىِٕهٖۗ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ۖ

Artinya: “Hanya milik Allah asmaul husna (nama-nama yang terbaik). Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”

Bacaan Dzikir 99 Asmaul Husna

1. Ar-Rahman (Maha Pengasih)
2. Ar-Rahim (Maha Penyayang)
3. Al-Malik (Maha Merajai)
4. Al-Quddus (Maha Suci)
5. As-Salam (Maha Penyelamat)
6. Al-Mu’min (Maha Mengamankan)
7. Al-Muhaimin (Maha Pembela)
8. Al-Aziz (Maha Mulia)
9. Al-Jabbar (Maha Pemaksa)
10. Al-Mutakabbir (Maha Besar)
11. Al-Khaliq (Maha Pencipta)
12. Al-Bari’ (Yang Maha Melepaskan)
13. Al-Mushawwir (Yang Maha Membentuk Rupa)
14. Al-Ghaffar (Yang Maha Pengampun)
15. Al-Qahhar (Yang Maha Menundukkan)
16. Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi Karunia)
17. Ar-Razzaq (Yang Maha Pemberi Rezeki)
18. Al-Fattaah (Yang Maha Pembuka Rahmat)
19. Al-‘Aliim (Yang Maha Mengetahui)
20. Al-Qaabidh (Yang Maha Menyempitkan)
21. Al-Baasith (Yang Maha Melapangkan)
22. Al-Khaafidh (Yang Maha Merendahkan)
23. Ar-Raafi’ (Yang Maha Meninggikan)
24. Al-Mu’izz (Yang Maha Memuliakan)
25. Al-Mudzil (Yang Maha Menghinakan)
26. Al-Samii’ (Yang Maha Mendengar)
27. Al-Bashiir (Yang Maha Melihat)
28. Al-Hakam (Yang Maha Menetapkan)
29. Al-‘Adl (Yang Maha Adil)
30. Al-Lathiif (Yang Maha Lembut)
31. Al-Khabiir (Yang Maha Mengenal)
32. Al-Aliim (Yang Maha Penyantun)
33. Al-‘Azhiim (Yang Maha Agung)
34. Al-Ghafuur (Yang Maha Memberi Pengampunan)
35. As-Syakuur (Yang Maha Pembalas Budi)
36. Al-‘Aliy (Yang Maha Tinggi)
37. Al-Kabiir (Yang Maha Besar)
38. Al-Hafizh (Yang Maha Memelihara)
39. Al-Muqiit (Yang Maha Pemberi Kecukupan)
40. Al-Hasiib (Yang Maha Membuat Perhitungan)
41. Al-Jaliil (Yang Maha Luhur)
42. Al-Kariim (Yang Maha Pemurah)
43. Ar-Raqiib (Yang Maha Mengawasi)
44. Al-Mujiib (Yang Maha Mengabulkan)
45. Al-Waasi’ (Yang Maha Luas)
46. Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana)
47. Al-Waduud (Yang Maha Mengasihi)
48. Al-Majid (Yang Maha Mulia)
49. Al-Baa’its (Yang Maha Membangkitkan)
50. As-Syahiid (Yang Maha Menyaksikan)
51. Al-Haqq (Yang Maha Benar)
52. Al-Wakiil (Yang Maha Memelihara)
53. Al-Qawiyyu (Yang Maha Kuat)
54. Al-Matiin (Yang Maha Kokoh)
55. Al-Waliyy (yang Maha Melindungi)
56. Al-Hamiid (Yang Maha Terpuji)
57. Al-Muhshii (Yang Maha Menghitung Segala Sesuatu)
58. Al-Mubdi’ (Yang Maha Memulai)
59. Al-Mu’iid (Yang Maha Mengembalikan Kehidupan)
60. Al-Muhyii (Yang Maha Menghidupkan)
61. Al-Mumiitu (Yang Maha Mematikan)
62. Al-Hayyu (Yang Maha Hidup)
63. Al-Qayyum (Yang Maha Mandiri)
64. Al-Waajid (Yang Maha Penemu)
65. Al-Maajid (Yang Maha Mulia)
66. Al-Wahid (Yang Maha Tunggal)
67. Al-Ahad (Yang Maha Esa)
68. As-Shamad (Yang Maha Dibutuhkan)
69. Al-Qaadir (Yang Maha Menentukan)
70. Al-Muqtadir (Yang Maha Berkuasa)
71. Al-Muqaddim (Yang Maha Mendahulukan)
72. Al-Mu’akkhir (Yang Maha Mengakhirkan)
73. Al-Awwal (Yang Maha Awal)
74. Al-Aakhir (Yang Maha Akhir)
75. Az-Zhaahir (Yang Maha Nyata)
76. Al-Baathin (Yang Maha Ghaib)
77. Al-Waali (Yang Maha Memerintah)
78. Al-Muta’aalii (Yang Maha Tinggi)
79. Al-Barru (Yang Maha Penderma)
80. At-Tawwab (Yang Maha Penerima Taubat)
81. Al-Muntaqim (Yang Maha Pemberi Balasan)
82. Al-Afuww (Yang Maha Pemaaf)
83. Ar-Ra’uuf (Yang Maha Pengasih)
84. Malikul Mulk (Yang Maha Penguasa Kerajaan)
85. Dzul Jalaali Wal Ikraam (Yang Maha Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan)
86. Al-Muqsith (Yang Maha Pemberi Keadilan)
87. Al-Jamii’ (Yang Maha Mengumpulkan)
88. Al-Ghaniyy (Yang Maha Kaya)
89. Al-Mughnii (Yang Maha Pemberi Kekayaan)
90. Al-Maani (Yang Maha Mencegah)
91. Ad-Dhaar (Yang Maha Penimpa Kemudharatan)
92. An-Nafii’ (Yang Maha Memberi Manfaat)
93. An-Nuur (Yang Maha Bercahaya)
94. Al-Haadii (Yang Maha Pemberi Petunjuk)
95. Al-Badii’ (Yang Maha Pencipta Tiada Bandingannya)
96. Al-Baaqii (Yang Maha Kekal)
97. Al-Waarits (Yang Maha Pewaris)
98. A Rasyid (Yang Maha Pandai)
99. As-Shabuur (Yang Maha Sabar)

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Imam Bukhari Mencari Hadits Hingga Ribuan Kilometer


Jakarta

Imam Bukhari adalah salah satu ulama besar dalam sejarah Islam yang namanya dikenal luas sebagai pengumpul hadits paling terpercaya. Karyanya yang monumental, Shahih al-Bukhari, menjadi rujukan utama dalam ilmu hadis dan termasuk dalam kutubus sittah (enam kitab hadis utama dalam Islam).

Di balik karya besar tersebut, tersimpan kisah perjuangan panjang dan penuh pengorbanan. Imam Bukhari menempuh perjalanan ribuan kilometer untuk menelusuri dan menyeleksi hadits-hadits Nabi Muhammad SAW dari sumber-sumber yang terpercaya.

Perjalanan ini tidak hanya menguras tenaga dan waktu, tapi juga menuntut keteguhan iman, kecerdasan, dan ketulusan hati.


Latar Belakang Imam Bukhari

Dikutip dari buku Metode Imam Bukhari dalam Menshahihkan Hadits karya Nanang Ponari ZA, Imam Bukhari memiliki nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardzibah al-Bukhari.

Ia lahir pada tanggal 13 Syawal 194 H (sekitar 21 Juli 810 M) di kota Bukhara, yang kini termasuk wilayah Uzbekistan. Ayahnya adalah seorang ahli ilmu dan sahabat para ulama besar.

Imam Bukhari memiliki ayah bernama Ismail, ia adalah seorang ulama yang saleh. Sang ayah meninggal dunia ketika Imam Bukhari masih kecil. Ibundanya yang merawat sampai ia tumbuh besar.

Sejak kecil, Imam Bukhari dikenal sebagai anak yang cerdas, hafalannya kuat, dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Disebutkan juga bahwa Imam Bukhari mengalami kebutaan saat masih kecil, lalu Allah SWT memberinya anugerah dengan memulihkan penglihatannya.

Di saat usia 6 tahun, Imam Bukhari telah mempelajari karya-karya yang terkenal di zaman itu, terutama kitab-kitab yang berkaitan dengan hadits. Di usia yang masih sangat kecil, Imam Bukhari sudah berhasil menghafal 70 ribu hadits. Ia juga berhasil menelaah kitab-kitab terkenal saat usianya 16 tahun.

Tempuh Ribuan Kilometer Demi Hadits

Dilansir dari laman NU Jabar, perjalanan Imam Bukhari mempelajari hadits tercatat dalam kitab Siyar A’lamin Nubala’ juz 12, halaman 401, karya Imam Adz-Dzahabi:

“Muhammad bin Abi Hatim berkata, aku mendengar Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il (Imam Al-Bukhari) berkata: Saat kecil, aku mendatangi majlis beberapa ahli fiqih kota Marwa. Ketika aku tiba di salah satu majlis, aku malu mengucapkan salam (menyapa) mereka. Tiba-tiba, seorang pengajar kota Marwa bertanya kepadaku: berapa banyak yang kamu tulis hari ini? Aku menjawab: dua, yaitu dua hadits, lalu seluruh orang yang menghadiri majlis tertawa, kemudian seorang syekh berkata kepada mereka: kalian jangan menertawakannya, karena suatu hari nanti, dia akan menertawakan kalian.”

Dari kisah ini, dapat dipahami bahwa Imam Al-Bukhari memulai dari nol. Ia belajar di kota Marwa, yang kini disebut Mary, di Turkmenistan. Jarak antara kota Bukhara dan Mary sekitar 382 km perjalanan darat.

Semangatnya membawa ia mengembara, jauh, ribuan kilometer dari tanah kelahirannya. Imam Bukhari juga menjelajah ke berbagai negeri seperti Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, Baghdad, Mesir, dan Syam demi mencari sanad hadits yang shahih.

Karya terbesarnya, Shahih al-Bukhari, disusun selama 16 tahun dan hanya memuat hadits-hadits paling sahih, dari sekitar 600.000 hadits yang ia hafal.

Perjalanan tersebut dilakukan dengan berjalan kaki, menaiki unta, kapal, atau ikut rombongan dagang, dan bisa berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Dalam perjalanan itu, ia menulis, menghafal, dan mengecek ribuan hadits dari lebih dari ribuan guru hadits.

Ketelitian Imam Bukhari dalam Menerima Hadits

Dikutip dari karya tulis berjudul Studi Hadis-Hadis Wakaf dalam Kitab Sahih Al-Bukhari dan Fath Al-Bari karya Nurodin Usman disebutkan bahwa selama hidupnya, Imam Bukhari mengumpulkan lebih dari 600.000 hadits.

Dalam kitab Shahih al-Bukhari, ia hanya memilih sekitar 7.275 hadits dengan pengulangan, atau sekitar 2.600-an hadis tanpa pengulangan. Semua hadits yang masuk ke dalam Shahih al-Bukhari telah melalui penelitian ketat, termasuk keabsahan sanad dan kredibilitas setiap perawi.

Ia berkata, “Aku tidak memasukkan satu hadis pun ke dalam kitab ini (Shahih al-Bukhari) melainkan setelah aku shalat istikharah dua rakaat memohon petunjuk dari Allah.”

Perjuangan Imam Al-Bukhari dalam belajar membuahkan hasil. Pada usia 16 tahun, beliau telah menghafal karya-karya Imam Ibnu Mubarak dan Imam Waki’. Bahkan, ketika penduduk kota Balkha memintanya membacakan satu hadits dari setiap perawi yang ia tulis, beliau mampu membacakan seribu hadits dari setiap perawi tersebut.

Wallahu a’lam.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Jangan Cuma Ibu, Ayah Juga Harus Berperan dalam Mendidik Anak


Jakarta

Mendidik anak bukan hanya sekedar mengawasi. Ayah juga dapat turut serta dalam mengantar anak dan juga mendidik anak.

Keterlibatan ayah dalam pendidikan anak bukan hanya tanggung jawab ibu atau sekolah. Ayah memiliki peran sentral dalam mendukung perkembangan intelektual, emosional, dan spiritual anak.

Dalam konteks pendidikan, ayah berperan sebagai figur otoritas, pemberi motivasi, serta pembimbing dalam aspek akademis dan keagamaan.


Dalam Al-Qur’an, ayah disebutkan sebagai pemimpin utama keluarga yang bertanggung jawab untuk mendidik dan membimbing anak-anaknya dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan akademis dan agama.

Salah satu ayat yang menunjukkan hal ini adalah dalam surat Luqman (ayat 12-13), di mana Luqman memberikan nasihat kepada anaknya tentang kewajiban menyembah Allah dan menjauhi kesyirikan, yang menunjukkan bagaimana ayah harus terlibat dalam pendidikan agama anak-anaknya.

Allah SWT berfirman dalam surah Luqman ayat 12-13 yang berbunyi:

وَلَقَدۡ اٰتَيۡنَا لُقۡمٰنَ الۡحِكۡمَةَ اَنِ اشۡكُرۡ لِلّٰهِؕ وَمَنۡ يَّشۡكُرۡ فَاِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهٖۚ وَمَنۡ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِىٌّ حَمِيۡدٌ‏ ١٢

Artinya: Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.”

وَاِذۡ قَالَ لُقۡمٰنُ لِا بۡنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَىَّ لَا تُشۡرِكۡ بِاللّٰهِ ؕ اِنَّ الشِّرۡكَ لَـظُلۡمٌ عَظِيۡمٌ‏ ١٣

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan pentingnya keterlibatan kedua orang tua dalam mendidik anak, namun ia juga secara khusus mengungkapkan bahwa ayah memiliki peran penting dalam mendidik anak untuk menjadi individu yang berakhlak mulia dan beriman.

Dalam konteks ini, ayah bertugas mengarahkan anak menuju kebaikan, dengan memberikan contoh serta nasihat yang bijak. Hamka dalam Falsafah Hidup mengungkapkan bahwa ayah adalah sosok yang sangat berperan dalam mencetak masa depan anak-anaknya. Pendidikan yang dimulai dari rumah, dengan adanya keterlibatan ayah dalam berbagai aspek kehidupan anak, akan menghasilkan anak-anak yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter dan akhlak yang baik.

Pentingnya Kolaborasi Ayah dan Ibu dalam Mendidik

Ali Sumitro dalam Peran Ayah dalam Pendidikan Anak Perspektif Al-Qur’an menjelaskan bahwa pendidikan anak merupakan tugas mulia yang tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, melainkan sebuah amanah yang harus dijalankan bersama oleh kedua orang tua.

Kolaborasi antara ayah dan ibu dalam mendidik anak menjadi hal yang sangat penting, karena keduanya membawa peran yang saling melengkapi dalam proses pembentukan karakter, moral, dan intelektual anak.

Ayah dan ibu, meskipun memiliki peran yang berbeda, keduanya memiliki kontribusi yang tak terpisahkan dalam mendukung tumbuh kembang anak.

Dalam perspektif Al-Qur’an, kedua orang tua diamanatkan untuk saling bekerja sama dalam memberikan pendidikan yang terbaik, baik dalam aspek spiritual, emosional, maupun sosial. Sinergi antara ayah dan ibu yang harmonis akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak secara optimal.

Al-Qur’an memberikan banyak petunjuk tentang pentingnya pendidikan dalam keluarga, dan menunjukkan bahwa ayah dan ibu memiliki peran yang tidak terpisahkan dalam mendidik anak.

Kolaborasi keduanya tidak hanya pada tingkat fisik dan materi, tetapi juga dalam pendidikan moral dan spiritual. Seperti yang disebutkan dalam surah At-Tahrim: 6, Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Ayat ini menegaskan bahwa kewajiban untuk menjaga keluarga dari api neraka adalah tugas bersama antara ayah dan ibu. Ayat ini mengajarkan bahwa orang tua harus bekerja sama dalam memberikan pendidikan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, menjaga anak- anak agar tetap berada di jalan yang benar.

(lus/dvs)



Sumber : www.detik.com

Ketika Orang Tua Bercerai, Siapa yang Wajib Menanggung Nafkah?


Jakarta

Perceraian sering kali menimbulkan berbagai persoalan, salah satunya mengenai kelangsungan hidup anak. Setelah orang tua berpisah, anak tetap membutuhkan perhatian, kasih sayang, dan tentu saja nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Siapa yang bertanggung jawab?

Al-Qur’an menekankan pentingnya menjaga dan memperhatikan kehidupan anak dalam surah An-Nisa ayat 9:

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا


Artinya: “Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).”

Dalam Islam, kewajiban menanggung nafkah anak dalam masa pengasuhan disebut sebagai hadhanah.

Pengertian Hadhanah dan Tanggung Jawab Orang Tua

Dalam Fiqh Munakahat karya Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A., istilah hadhanah berasal dari bahasa Arab yang berarti “meletakkan sesuatu dekat dengan tulang rusuk”, menggambarkan kedekatan fisik dan emosional antara ibu dan anak saat menyusui. Secara istilah, hadhanah merujuk pada proses pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan anak sejak lahir hingga anak mampu mengurus dirinya sendiri.

Para ulama fikih menjelaskan hadhanah mencakup pemeliharaan fisik, mental, serta pendidikan anak agar kelak siap menjalani kehidupan. Ini berarti kebutuhan dasar anak seperti makanan, pakaian, pendidikan, dan tempat tinggal harus terpenuhi demi tumbuh kembang yang baik.

Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya tanggung jawab orang tua terhadap anak dalam surah At-Tahrim ayat 6:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Ayat ini menunjukkan bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk menjaga keluarganya dari siksa neraka. Salah satu caranya adalah dengan mendidik dan membimbing anak agar menaati perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.

Siapa yang Wajib Menanggung Nafkah?

Dalam pandangan mayoritas ulama, seperti yang dijelaskan dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili, nafkah hadhanah idealnya diambil dari harta anak jika anak memiliki harta sendiri. Namun jika tidak, kewajiban memberi nafkah menjadi tanggung jawab ayah.

Nafkah ini mencakup kebutuhan pokok anak selama masa pengasuhan, seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan perlindungan. Para ulama juga menegaskan bahwa kewajiban ini tetap berlaku, tidak gugur meskipun waktu telah berlalu atau jika orang yang berkewajiban telah meninggal.

Mazhab Malikiyah bahkan berpendapat ayah tetap wajib menyediakan tempat tinggal bagi anak dan pengasuhnya, meskipun orang tua telah berpisah.

Aturan dalam Undang-Undang Perkawinan

Di Indonesia, tanggung jawab terhadap anak setelah perceraian juga diatur dalam hukum nasional. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 41.

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak. Apabila terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak mengasuh anak, pengadilanlah yang akan memberikan keputusan.

Pasal ini juga menyatakan bahwa bapak bertanggung jawab atas seluruh biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. Namun, jika dalam kenyataannya bapak tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan agar ibu turut menanggung sebagian biaya tersebut.

Selain itu, pengadilan juga dapat menetapkan kewajiban kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada mantan istri atau kewajiban lainnya yang dianggap perlu.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Ngeri, Ini Hukuman Orang yang Memakan Harta Anak Yatim


Jakarta

Anak yatim adalah anak yang kehilangan ayahnya sejak kecil, sehingga hidup mereka penuh tantangan dan kesulitan. Dalam kondisi serba kekurangan itu, seharusnya kita hadir untuk membantu, menyantuni, dan memberikan perlindungan terbaik bagi anak-anak yatim.

Namun, realitanya masih ada orang-orang yang justru memanfaatkan keadaan lemah mereka dengan mengambil atau memakan harta yang menjadi hak anak yatim. Tindakan zalim semacam ini bukan hanya tercela secara moral, tetapi juga termasuk dosa besar yang mendapat ancaman keras dalam ajaran Islam.

Lantas, bagaimana sebenarnya hukum memakan harta anak yatim menurut Islam?


Hukum Memakan Harta Anak Yatim

Menukil buku Dasar-dasar Memahami Iman, Islam, dan Ihsan karya Ipnu R. Noegroho, neraka Sa’ir adalah tempat untuk mereka yang memakan harta anak yatim. Neraka ini merupakan tingkatan setelah neraka Hutamah.

Allah SWT telah menyediakan neraka sebagai balasan bagi orang-orang yang kikir, yakni mereka yang enggan menunaikan zakat, sengaja mengurangi kewajiban zakatnya, tidak mau bersedekah, serta bagi siapa saja yang memakan harta anak yatim.

Hal ini termaktub dalam firman Allah SWT di surah An-Nisa ayat 10:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا ۗ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا ࣖ ١٠

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”

Ustadz Rudianto dalam buku Selamatkan Dirimu dari Azab Neraka!, menjelaskan, mereka yang semasa hidupnya gemar memakan harta anak yatim secara zalim akan dihadapkan pada kondisi yang sangat mengerikan di hari kiamat. Dari mulut, telinga, hidung, hingga mata mereka akan menyembur api yang menyala-nyala.

Kondisi tersebut akan menjadi bukti nyata bagi semua orang bahwa mereka pernah menzalimi anak yatim di dunia. Tak heran jika dosa memakan harta anak yatim digolongkan sebagai salah satu dosa besar yang membawa kehancuran.

Terkait hal ini, Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, apakah itu?” beliau menjawab, “Syirik kepada Allah SWT, sihir membunuh jiwa yang diharamkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman dan yang bersih dan zina.” (HR Bukhari)

Dalam karyanya yang berjudul Dahsyatnya Neraka, Pedihnya Azab Neraka dan Keadaan Calon Penghuninya, Syaiful Bachri Az-Zidani turut mengupas secara mendetail tentang besarnya dosa bagi orang yang memakan harta anak yatim.

Mereka yang berani mengambil hak anak yatim akan merasakan penderitaan yang luar biasa di akhirat kelak. Hal itu pun sangat adil, sebab semasa hidupnya ia telah membuat anak yatim sengsara. Bahkan bukan hanya memakan hartanya, sekadar mendekati dengan maksud merampas pun sudah dilarang oleh Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Isra ayat 34,

وَلَا تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ حَتّٰى يَبْلُغَ اَشُدَّهٗۖ وَاَوْفُوْا بِالْعَهْدِۖ اِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْـُٔوْلًا

Artinya: “Janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan (cara) yang terbaik (dengan mengembangkannya) sampai dia dewasa dan penuhilah janji (karena) sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.”

Dari penjelasan di atas, diketahui memakan harta anak yatim adalah dosa besar yang ancamannya sangat berat di akhirat. Karena itu, sebaiknya kita justru menyayangi dan menyantuni anak yatim, bukan mengambil hak mereka.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Hadits Ungkap Penyakit yang Tak Bisa Diobati, Apa Itu?


Jakarta

Dalam ajaran Islam, keyakinan akan takdir Allah SWT dan kuasa-Nya atas segala sesuatu sangatlah fundamental. Salah satu aspek yang sering dibahas adalah mengenai penyakit dan penyembuhannya.

Rasulullah SAW, melalui berbagai sabdanya, telah memberikan banyak petunjuk dan pemahaman mendalam tentang hal ini. Umumnya, kita mengenal bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya, namun tahukah Anda bahwa ada satu penyakit yang disebutkan oleh beliau tidak memiliki obat? Mari kita selami lebih lanjut.

Dalil tentang Setiap Penyakit Ada Obatnya

Keyakinan bahwa setiap penyakit ada obatnya bersumber dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah dalam Shahih Muslim. Rasulullah SAW bersabda:


لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ؛ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ

Artinya: “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat tersebut sesuai dengan penyakitnya, maka ia akan sembuh dengan izin Allah.”

Hadits ini, yang juga dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, menegaskan bahwa Allah SWT menurunkan penyakit beserta penawarnya. Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa cakupan “penyakit” di sini tidak hanya terbatas pada penyakit fisik, tetapi juga mencakup penyakit hati, roh, dan bahkan kebodohan.

Beliau mencontohkan bahwa obat dari kebodohan adalah bertanya kepada para ulama. Namun, dalam riwayat lain, Rasulullah SAW memberikan pengecualian terhadap satu kondisi yang tidak dapat diobati.

Hadits di atas ditahqiq oleh ‘Ali Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari. Pustaka Imam Asy-Syafi’i telah menerbitkan edisi Indonesianya.

Penyakit Ini Tak Ada Obatnya dalam Islam

Dalam hadits shahih yang terdapat dalam Musnad Imam Ahmad dari Usamah bin Syarik, Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يُنْزِلْ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءٌ، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia juga menurunkan obatnya. Ini diketahui oleh sebagian orang dan tidak diketahui oleh yang lain.”

Kemudian, dalam redaksi lain, beliau melanjutkan:

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءٌ، أَوْ دَوَاءٌ، إِلَّا دَاءً وَاحِدًا فَقَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ! مَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit, melainkan Dia juga meletakkan obatnya, kecuali satu penyakit.” Para sahabat bertanya, “Penyakit apa itu, wahai Rasulullah SAW?” Beliau menjawab, “Ketuaan.”

Menurut At-Tirmidzi, hadits ini berstatus shahih. Ini berarti bahwa proses penuaan yang alami adalah satu-satunya “penyakit” yang tidak memiliki obat secara harfiah. Ketuaan adalah bagian dari fitrah kehidupan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Selain ketuaan, ada pula riwayat dari Abu Sa’id yang menyatakan bahwa kematian adalah penyakit yang tidak ada obatnya. Rasulullah SAW bersabda:

“Tidaklah Allah menciptakan penyakit, kecuali Dia juga menciptakan obatnya-yang akan diketahui oleh yang mengetahuinya dan tidak akan diketahui oleh orang bodoh-kecuali kematian.” (HR Ahmad dan At-Thabrani)

Hadits ini juga disebutkan dalam kitab At-Taghdziyah an-Nabawiyah*karya Abdul Basith Muhammad Sayyid (terjemahan Bachtiar). Dengan demikian, baik ketuaan maupun kematian adalah bagian dari ketetapan Allah SWT yang tidak dapat dihindari atau diobati.

Doa Adalah Obat Penawar yang Kuat

Meskipun ada penyakit yang tak bisa diobati seperti ketuaan dan kematian, dalam Islam, doa memiliki peran yang sangat penting sebagai penawar dan sarana memohon kesembuhan. Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk berdoa dengan sungguh-sungguh:

أُدْعُو اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالاِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

Artinya: “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan bahwa doa kalian akan terkabul. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai dan tidak serius.” (HR Hakim dalam al-Mustadrak dari Abu Hurairah RA)

Hadits ini mengandung makna bahwa doa adalah obat penawar yang mampu memberikan manfaat dan menghilangkan penyakit. Namun, kekuatan doa bisa melemah bahkan hilang jika hati lalai kepada Allah SWT atau jika seseorang mengonsumsi hal-hal yang haram.

Hal ini senada dengan riwayat dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah RA, di mana Nabi SAW menjelaskan tentang seorang laki-laki yang berdoa namun makanannya, minumannya, dan pakaiannya haram. Nabi SAW bertanya, “Maka bagaimana mungkin doanya akan terkabul?”

Wallahu a’lam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Hadits Ungkap Penyakit yang Tak Bisa Diobati, Apa Itu?


Jakarta

Dalam ajaran Islam, keyakinan akan takdir Allah SWT dan kuasa-Nya atas segala sesuatu sangatlah fundamental. Salah satu aspek yang sering dibahas adalah mengenai penyakit dan penyembuhannya.

Rasulullah SAW, melalui berbagai sabdanya, telah memberikan banyak petunjuk dan pemahaman mendalam tentang hal ini. Umumnya, kita mengenal bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya, namun tahukah Anda bahwa ada satu penyakit yang disebutkan oleh beliau tidak memiliki obat? Mari kita selami lebih lanjut.

Dalil tentang Setiap Penyakit Ada Obatnya

Keyakinan bahwa setiap penyakit ada obatnya bersumber dari hadits shahih yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah dalam Shahih Muslim. Rasulullah SAW bersabda:


لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ؛ بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ

Artinya: “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat tersebut sesuai dengan penyakitnya, maka ia akan sembuh dengan izin Allah.”

Hadits ini, yang juga dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, menegaskan bahwa Allah SWT menurunkan penyakit beserta penawarnya. Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa cakupan “penyakit” di sini tidak hanya terbatas pada penyakit fisik, tetapi juga mencakup penyakit hati, roh, dan bahkan kebodohan.

Beliau mencontohkan bahwa obat dari kebodohan adalah bertanya kepada para ulama. Namun, dalam riwayat lain, Rasulullah SAW memberikan pengecualian terhadap satu kondisi yang tidak dapat diobati.

Hadits di atas ditahqiq oleh ‘Ali Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari. Pustaka Imam Asy-Syafi’i telah menerbitkan edisi Indonesianya.

Penyakit Ini Tak Ada Obatnya dalam Islam

Dalam hadits shahih yang terdapat dalam Musnad Imam Ahmad dari Usamah bin Syarik, Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يُنْزِلْ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءٌ، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ، وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia juga menurunkan obatnya. Ini diketahui oleh sebagian orang dan tidak diketahui oleh yang lain.”

Kemudian, dalam redaksi lain, beliau melanjutkan:

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءٌ، أَوْ دَوَاءٌ، إِلَّا دَاءً وَاحِدًا فَقَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ! مَا هُوَ؟ قَالَ: الْهَرَمُ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit, melainkan Dia juga meletakkan obatnya, kecuali satu penyakit.” Para sahabat bertanya, “Penyakit apa itu, wahai Rasulullah SAW?” Beliau menjawab, “Ketuaan.”

Menurut At-Tirmidzi, hadits ini berstatus shahih. Ini berarti bahwa proses penuaan yang alami adalah satu-satunya “penyakit” yang tidak memiliki obat secara harfiah. Ketuaan adalah bagian dari fitrah kehidupan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Selain ketuaan, ada pula riwayat dari Abu Sa’id yang menyatakan bahwa kematian adalah penyakit yang tidak ada obatnya. Rasulullah SAW bersabda:

“Tidaklah Allah menciptakan penyakit, kecuali Dia juga menciptakan obatnya-yang akan diketahui oleh yang mengetahuinya dan tidak akan diketahui oleh orang bodoh-kecuali kematian.” (HR Ahmad dan At-Thabrani)

Hadits ini juga disebutkan dalam kitab At-Taghdziyah an-Nabawiyah*karya Abdul Basith Muhammad Sayyid (terjemahan Bachtiar). Dengan demikian, baik ketuaan maupun kematian adalah bagian dari ketetapan Allah SWT yang tidak dapat dihindari atau diobati.

Doa Adalah Obat Penawar yang Kuat

Meskipun ada penyakit yang tak bisa diobati seperti ketuaan dan kematian, dalam Islam, doa memiliki peran yang sangat penting sebagai penawar dan sarana memohon kesembuhan. Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk berdoa dengan sungguh-sungguh:

أُدْعُو اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالاِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

Artinya: “Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan bahwa doa kalian akan terkabul. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai dan tidak serius.” (HR Hakim dalam al-Mustadrak dari Abu Hurairah RA)

Hadits ini mengandung makna bahwa doa adalah obat penawar yang mampu memberikan manfaat dan menghilangkan penyakit. Namun, kekuatan doa bisa melemah bahkan hilang jika hati lalai kepada Allah SWT atau jika seseorang mengonsumsi hal-hal yang haram.

Hal ini senada dengan riwayat dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah RA, di mana Nabi SAW menjelaskan tentang seorang laki-laki yang berdoa namun makanannya, minumannya, dan pakaiannya haram. Nabi SAW bertanya, “Maka bagaimana mungkin doanya akan terkabul?”

Wallahu a’lam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Hari Pertama MPLS, Menag Bagi Kisah Sukses 3 Anaknya yang Alumni Madrasah



Jakarta

MPLS atau Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah merupakan momen penting bagi siswa baru. Di madrasah, kegiatan ini dikenal dengan nama Masa Ta’aruf Siswa Madrasah (Matsama).

Matsama 2025 dibuka oleh Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar, di MAN 4 Jakarta. Dalam pidatonya, Menag Nasaruddin tidak hanya memberikan semangat kepada para siswa, tetapi juga menegaskan peran strategis madrasah dalam membentuk karakter generasi muda.

“Madrasah mencetak anak-anak yang salih dan cerdas. Bukan hanya untuk dunia, tapi juga untuk akhirat. Dari madrasah akan lahir pemimpin-pemimpin masa depan bangsa,” ujar Menag dalam keterangan persnya, Senin (14/7/2025).


Nasaruddin Umar kemudian menyinggung kisah Syekh Abdul Qadir Jailani. Sosok yang dididik untuk jujur sejak kecil hingga akhirnya menjadi ulama besar.

Kisah ini menjadi penekanan Menag akan pentingnya akhlak dan integritas sejak dini. Menurutnya, hal ini dapat tumbuh jika anak-anak mendapatkan pendidikan agama secara mendalam seperti yang diajarkan di madrasah.

“Jadilah anak yang jujur. Nasihat paling sederhana dari seorang ibu bisa menyelamatkan dunia. Anak-anak madrasah hari ini adalah pejuang kejujuran masa depan,” ungkap Menag Nasaruddin Umar.

Menag juga berbagi pengalaman pribadinya, di mana ketiga anaknya adalah alumni MAN 4 Jakarta, dan semuanya berhasil menempuh pendidikan tinggi hingga menjadi dokter dan melanjutkan studi di dalam maupun luar negeri.

Hal tersebut menjadi bukti nyata bahwa madrasah adalah fondasi terbaik untuk menyiapkan masa depan. Ini tentu akan memantapkan pilihan orang tua dan siswa yang sedang mencari informasi seputar MPLS dan pendidikan berkualitas.

“Jangan ragu menjadi bagian dari madrasah. Anak-anak hebat akan lahir dari sini,” tutur pria yang juga menjabat sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal itu.

Peran guru madrasah juga tak luput dari perhatian. Menag Nasaruddin menyebut guru sebagai “mursyid” atau pembimbing spiritual, bukan sekadar pengajar.

Hal ini mendorong madrasah untuk terus mengembangkan program peningkatan kualitas guru, baik dari segi metodologi pengajaran maupun penguatan ruhiyah atau spiritualitas. Analogi “gergaji yang harus terus diasah” menggambarkan pentingnya pembelajaran berkelanjutan bagi para pendidik agar mereka dapat membimbing siswa dengan optimal.

(inf/erd)



Sumber : www.detik.com