Rezeki Rumah Tangga Seret? Hati-hati Bisa Jadi karena Dosa Ini


Jakarta

Setiap pasangan suami istri pasti menginginkan rumah tangga yang harmonis dan rezeki yang lancar. Namun tidak sedikit juga yang merasa rezekinya seret meskipun sudah berusaha keras. Ternyata penyebab rezeki rumah tangga seret tidak selalu karena faktor ekonomi, bisa jadi terhambat karena dosa-dosa yang dilakukan tanpa sadar.

Dalam Islam, rezeki bukan hanya soal jumlah uang, tapi juga keberkahan. Jika rumah tangga jauh dari keberkahan, maka sebesar apa pun penghasilan, tetap terasa kurang, cepat habis dan penuh dengan masalah.

Dosa yang Menjadi Penghalang Rezeki Rumah Tangga

Agar rezeki tidak tersendat, sebaiknya hindari beberapa dosa ini agar rezeki lancar:


1. Tidak Taat kepada Allah SWT

Salah satu kunci kesuksesan dalam hidup adalah taat kepada Allah SWT. Dalam buku 29 Dosa yang Menghalangi Datangnya Rezeki tulisan Ibnu Mas’ad Masjhur dijelaskan bahwa salah satu penyebab utama terhambatnya rezeki dalam rumah tangga adalah karena ketidaktaatan kepada Allah SWT.

Dosa ini sering kali dianggap sepele, namun dampaknya sangat besar terhadap kelancaran rezeki keluarga. Hal demikian juga berlaku dalam hubungannya dengan rezeki, hubungan antara kita sebagai hamba dan Allah sebagai pemberi rezeki.

Allah SWT berfirman dalam surah Fatir ayat 3:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْۗ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللّٰهِ يَرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِۗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۖ فَاَنّٰى تُؤْفَكُوْنَ

Artinya: “Wahai manusia, ingatlah nikmat Allah kepadamu! Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia. Lalu, bagaimana kamu dapat dipalingkan (dari ketauhidan)?”

2. Berkhianat pada Istri dan Anak

Suami merupakan perantara rezeki bagi keluarga. Namun, jika suami mengkhianati istri dan anak dengan menggunakan uang yang didapat dari bekerja hanya untuk kesenangan pribadi, tentu akan menghambat datangnya rezeki.

Ketika seorang suami menyimpang dari amanah ini, artinya ia telah mengkhianati kepercayaan yang diberikan oleh Allah SWT. Padahal, rezeki yang ia terima bukanlah semata-mata untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kesejahteraan seluruh anggota keluarganya.

Jika seorang suami tak lagi bisa dipercaya dalam menyalurkan rezeki kepada keluarganya, maka kepercayaan sebagai pemimpin rumah tangga pun ikut tergerus. Ketika amanah hilang, tidak menutup kemungkinan bahwa pintu rezeki juga akan perlahan tertutup.

Oleh karena itu, penting bagi setiap suami untuk menyadari bahwa setiap rupiah yang ia peroleh membawa tanggung jawab besar. Allah SWT menitipkan harta tersebut agar digunakan dengan benar, terutama untuk mencukupi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya.

Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh tidaklah engkau menginfakkan harta dengan tujuan mengharapkan wajah Allah, kecuali kamu akan mendapatkan pahala, hingga makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR Bukhari)

3. Mengambil Jalan Rezeki yang Haram

Rezeki yang didapatkan dengan cara yang haram tentu akan membuat keluarga tidak harmonis. Mencari rezeki di jalan yang haram ini akan mengundang kerusakan keluarga maupun diri sendiri.

Allah SWT telah memperingatkan umat Islam agar selalu menikmati sesuatu dari yang halal.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah apa-apa yang baik yang Kami anugerahkan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu benar-benar hanya menyembah kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah: 172)

4. Terlibat Maksiat

Mengutip buku 29 Dosa Suami Istri yang Menghalangi Datangnya Rezeki tulisan Ibnu Mas’ad Masjhur dijelaskan bahwa maksiat ini tidak hanya berlaku bagi suami saja atau istri saja, melainkan keduanya. Keduanya harus sama-sama berniat meninggalkan maksiat jika ingin lancar rezekinya, karena dosa menjadi penghalang bagi datangnya rezeki.

Dalam kitab Risalatul Mustarsyidin karangan Al-Muhasibi diterangkan, Imam Abu Hanifah RA berkata kepada para muridnya. “Jika kita menghadapi suatu masalah dan sulit menyelesaikannya, hal ini terjadi karena dosa-dosa yang kita lakukan.” Jika sudah demikian, pemilik masalah sebaiknya melakukan salat dan bertaubat.

Pada kitab yang sama, sahabat Abdullah bin Abbas RA memperjelas situasi di atas. la mengatakan bahwa:

“Sesungguhnya amal kebajikan memiliki cahaya di dalam dada, keceriaan pada muka, kekuatan di badan, keluasan dalam rezeki, dan kecintaan di hati para makhluk, sedangkan perbuatan dosa memiliki kegelapan di dalam hati, keburukan di muka, kelemahan di tubuh, kekurangan dalam rezeki, dan kebencian di hati para makhluk.”

Mengenai hubungan rezeki dan maksiat ini, Imam Ibnu Qayyim mengatakan:

“Maksiat mempunyai pengaruh yang membahayakan bagi hati dan badan di dunia dan akhirat. Di antara pengaruh maksiat, yaitu 1) maksiat yang bersifat menular dari satu orang ke orang lainnya, 2) maksiat yang membuat orang berani terhadap orang lain yang tidak bersalah, 3) maksiat meninggalkan tabiat dalam hati yang jika semakin banyak dilakukan, menjadikan pelakunya termasuk golongan orang yang lalai.”

5. Durhaka terhadap Orang Tua

Melupakan orang tua sama saja anak tersebut durhaka karena sampai kapan pun kita tidak akan pernah mampu membalas jasa kedua orang tua. Orang tua merupakan salah satu pintu rezeki anak.

Allah SWT berfirman dalam surah Luqman ayat 14:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ

Artinya: Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.

Durhaka dan melupakan orang tua sama saja menutup pintu rezeki bagi keluarga. Sebab, doa kedua orang tualah yang membuat hidup kita lebih baik.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Setan Tertawa Terbahak-bahak saat Kita Menguap, Kenapa?


Jakarta

Menguap merupakan hal yang lumrah bagi manusia. Ketika tubuh merasa kelelahan dan mengantuk, badan mengirimkan sinyal ke otak agar melakukan tindakan lebih lanjut. Sinyal yang dikeluarkan itu adalah menguap.

Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk menahan diri ketika menguap agar tidak mengeluarkan bunyi ‘hah’ dan semacamnya. Beliau bersabda,

“Menguap adalah dari setan. Karena itu, jika salah seorang dari kalian menguap, hendaklah ia menolaknya sekuat tenaga sebab ketika ia berbunyi ‘Ha…’ setan menertawakannya.” (HR Muttafaq ‘Alaih)


Menukil dari kitab Jawahir Al Bukhari oleh Musthafa Muhammad Imarah yang diterjemahkan M Abdul Ghoffar, terdapat hadits yang menyebut bahwa menguap merupakan hal yang sangat dibenci Allah SWT dan Rasulullah SAW. Dari Abu Hurairah RA berkata Nabi SAW bersabda,

“Sesungguhnya Allah mencintai bersin dan membenci menguap. Oleh karena itu, barang siapa di antara kalian bersin, maka hendaklah ia memanjatkan pujian kepada Allah. Dan merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim yang mendengarnya (pujian) itu untuk mendoakannya. Sedangkan menguap itu berasal dari setan, maka hendaklah ia mencegahnya semampu mungkin. Karena, jika ia mengucapkan ‘haa’ maka setan menertawakannya.”

Alasan Setan Tertawa Terbahak-bahak ketika Kita Menguap

Menurut Kitab At Taujiih wal Irsyaadun Nafsi Minal Qur’aanil Karim was-Sunnatin Nabawiyyah tulisan Mufir bin Said Az Zahrani yang diterjemahkan Sari Narulita dan Miftahul Jannah, salah satu tipu daya setan adalah menertawakan orang yang menguap. Sesungguhnya, menguap menimbulkan kemalasan.

Orang yang menguap tidak bisa melakukan kewajibannya dengan sempurna. Alasan setan menertawakan orang yang menguap karena itu merupakan pemandangan yang tidak bagus.

Turut dijelaskan dalam Kitab Al-Minah Al-‘Aliyah fii Bayaani As-Sunan Al-Yaumiyyah oleh Syaikh Abdullah bin Hamound Al-Furaih yang diterjemahkan oleh Muhammad Yasir, Imam an-Nawawi mengatakan bahwa menguap dinisbatkan kepada setan karena ia mengajak kepada syahwat, yakni ketika badan terasa berat dan mengajak untuk beristirahat.

“Yang dimaksud adalah peringatan untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat melahirkan hal itu, yaitu terlalu banyak makan,” jelasnya.

Sementara itu dijelaskan dalam buku The Prophetic Parenting susunan A R Shohibul Ulum, menguap disebabkan oleh kekenyangan, kelambanan dan kecenderungan untuk bermalas-malasan. Berbeda dengan bersin yang menunjukkan semangat dan ringannya badan.

Namun, jika tidak sanggup menahan menguap hendaknya muslim melakukannya sambil menutup mulut dengan tangan. Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah SAW bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian menguap hendaklah menutup mulut dengan telapak tangannya, karena sesungguhnya setan akan memasukinya.” (HR Muslim)

Adab Menguap yang Perlu Diperhatikan Muslim

Mengutip dari buku 50 Adab Islam sesuai Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW susunan Arfiani, berikut sejumlah adab yang harus diperhatikan ketika muslim menguap.

  1. Berusaha menahannya, khususnya ketika sholat
  2. Tidak mengeluarkan suara ‘Aah’
  3. Tidak mengeraskan suara ketika menguap
  4. Meletakkan tangan di mulut

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Wanita Haid Masuk Masjid untuk Mengikuti Kajian


Jakarta

Haid adalah keniscayaan bagi setiap wanita baligh. Ini adalah sebuah siklus alami yang telah ditetapkan Allah SWT.

Wanita yang sedang haid juga diatur aktivitasnya dalam Islam. Ada beberapa hal yang boleh mereka lakukan, ada pula yang tidak.

Lantas, bagaimana jika wanita yang sedang haid ingin mengikuti kajian di dalam masjid? Apakah hal ini diperbolehkan?


Selama periode itu, ada beberapa ketentuan syariat yang perlu dipahami oleh muslimah. Salah satunya mengenai aktivitas di masjid.

Artikel ini akan membahas secara mendalam hukum wanita haid masuk masjid untuk mengikuti kajian, merujuk pada berbagai pandangan ulama dan dalil-dalilnya.

Larangan dan Kebolehan bagi Wanita Haid

Secara umum, wanita yang sedang haid dilarang melakukan beberapa ibadah tertentu. Mengutip Ensiklopedia Fikih Wanita oleh Agus Arifin dan Sundus Wahidah, hal-hal yang diharamkan antara lain:

  • Melakukan semua hal yang diharamkan bagi orang junub.
  • Puasa, salat, dan thawaf (puasa Ramadan wajib diganti).
  • Sujud syukur dan sujud tilawah.
  • Menyentuh, membawa, dan membaca Al-Qur’an.
  • Bersetubuh dengan suami.

Namun, ada pula aktivitas yang diperbolehkan bagi wanita haid, seperti:

  • Berzikir.
  • Mendengarkan lantunan Al-Qur’an.
  • Istimta’ (bercumbu) dengan suami.

Bolehkan Wanita Haid Masuk Masjid?

Pertanyaan mengenai kebolehan wanita haid memasuki masjid sering kali menjadi perdebatan. Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang melarang, ada pula yang membolehkan dengan syarat tertentu.

Dalil yang Membolehkan Wanita Haid Masuk Masjid

Mengutip buku Fiqih Wanita oleh Qomaruddin Awwam, S.AG., M.A, Syaikh Khalid Muslih, seorang ulama terkemuka, pernah menyatakan bahwa wanita haid boleh masuk masjid selama tidak dalam rangka salat. Misalnya untuk menghadiri majelis ilmu atau mendengarkan nasihat.

Pandangan ini didukung oleh beberapa dalil, di antaranya:

Dalil 1

Dalil yang pertama adalah hadits dari Aisyah RA. Beliau pernah diminta oleh Rasulullah SAW untuk mengambil al-khumrah (sajadah kecil) di dalam masjid.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ مِنْ الْمَسْجِدِ قَالَتْ فَقُلْتُ إِنِّي حَائِضٌ فَقَالَ إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ

[رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku: Ambilkan sajadah untukku di masjid! Aisyah mengatakan: Saya sedang haid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya, haidmu tidak berada di tanganmu.” (HR Muslim)

Dalil 2

Hadits lain dari Aisyah RA, yang menceritakan bahwa Nabi SAW mendekatkan kepalanya kepada Aisyah untuk dicuci dan disisir rambutnya saat Aisyah sedang haid dan beliau sedang beriktikaf di masjid. Ini menunjukkan interaksi Nabi SAW dengan wanita haid di lingkungan masjid.

عن عائشة قالت كان النبي صلى الله عليه وسلم يدني رأسه إلي وأنا حائض وهو مجاور تعني معتكفا فاغسله وأرج

Artinya: Aisyah berkata, “Nabi SAW mendekatkan kepalanya kepadaku ketika aku dalam keadaan haid, sementara beliau sedang mujawir (maksudnya beriktikaf). Aku pun mencuci dan menyisir rambutnya.” (HR Abu Daud)

Dalil 3

Selanjutnya dalam hadis yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji, disebutkan bahwa Aisyah mengalami haid. Dalam riwayat tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang Aisyah memasuki masjid, sebagaimana jemaah haji lainnya yang tetap diperbolehkan masuk. Yang dilarang oleh Nabi SAW hanyalah melaksanakan tawaf di sekitar Ka’bah.

خَرَجْنَا لاَ نَرَى إِلاَّ الْحَجَّ فَلَمَّا كُنَّا بِسَرِفَ حِضْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي قَالَ مَا لَكِ أَنُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَاقْضِي مَا يَقْضِي الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ …

[رواه البخارى].

Artinya: “Kami keluar untuk melaksanakan haji, ketika kami sampai di Sarif saya mengalami haid, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui aku, sementara saya sedang menangis. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: Apakah kamu sedang haid? Saya menjawab: Ya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya ini masalah yang telah ditentukan Allah bagi kaum wanita, maka lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang berhaji, kecuali jangan tawaf di Ka’bah..” (HR al-Bukhari)

Dalil 4

Imam Ahmad, Al-Muzani, Abu Dawud, Ibn Al-Munzir, dan Ibnu Hazm, seperti yang dikutip dalam Kitab Fikih al-Thaharah Al-Qardhawi, menggunakan dalil hadits Abu Hurairah dalam Shahih Bukhari yang menyatakan bahwa muslim itu tidak najis.

Mereka mengkiaskan orang junub dengan orang musyrik, sehingga jika orang junub lebih utama diperbolehkan masuk masjid, maka wanita haid yang uzurnya bersifat alami (tidak dapat dicegah) lebih utama mendapatkan keringanan.

Dalil yang Melarang Wanita Haid Masuk Masjid

Pandangan ini didukung oleh beberapa dalil, di antaranya:

Dalil 1

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي غَنِيَّةَ عَنْ أَبِي الْخَطَّابِ الْهَجَرِيِّ عَنْ مَحْدُوجٍ الذُّهْلِيِّ عَنْ جَسْرَةَ قَالَتْ أَخْبَرَتْنِي أُمُّ سَلَمَةَ قَالَتْ دَخَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَرْحَةَ هَذَا الْمَسْجِدِ فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ إِنَّ الْمَسْجِدَ لاَ يَحِلُّ لِجُنُبٍ وَلاَ لِحَائِضٍ

[رواه ابن ماجه] .

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Muhammad bin Yahya, mereka berkata telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Ghaniyyah dari al-Khathab al-Hajariy dari Mahduj adz-Dzuhliy dari Jasrah, ia berkata telah mengkhabarkan kepadaku Ummu Salamah, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk halaman masjid kemudian mengumumkan dengan suara keras, sesungguhnya masjid tidak halal untuk orang junub dan tidak pula untuk orang haid.” (HR Ibnu Majah)

Dalil 2

أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ …

[رواه البخارى].

Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menyertakan wanita yang sedang haid dan wanita pingitan pada dua hari Raya. Mereka menyaksikan kumpulan kaum muslimin dan dakwah untuk mereka. Adapun wanita yang sedang haid supaya menjauh dari tempat salat…” (HR al-Bukhari)

Dalil 3

Buya Yahya, dalam video “Hukum Wanita Haid Mengikuti Pengajian” di kanal YouTube Al-Bahjah TV, menjelaskan secara gamblang mengenai hukum wanita haid yang ingin mengikuti kajian di masjid. Beliau menekankan pentingnya berpegang pada pandangan empat mazhab utama dalam Islam, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Buya Yahya menegaskan bahwa wanita haid tetap diperbolehkan untuk mengikuti kajian. Namun, poin krusial yang menjadi pembahasan adalah kehadiran atau berdiam diri di dalam masjid.

Menurut Buya Yahya, empat mazhab sepakat bahwa wanita haid tidak diperkenankan untuk “al-mukthu” (diam atau berdiam diri) di dalam masjid. Beliau juga menambahkan bahwa jika ada ustaz atau ulama lain yang memiliki pandangan berbeda, itu adalah urusan mereka, namun Buya Yahya tetap berpegang pada kesepakatan empat mazhab yang dianggap sebagai referensi utama.

Hukum Melintas di Masjid bagi Wanita Haid dan Nifas

Meskipun berdiam diri tidak diperbolehkan, ada kelonggaran untuk “murur” atau melintas. Buya Yahya mencontohkan, jika anak lari ke dalam masjid dan ibu ingin mengambilnya, itu diperbolehkan.

Begitu pula jika ingin mengantar minum untuk suami dan segera keluar lagi. Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara berdiam diri dengan hanya sekadar lewat untuk suatu keperluan.

Dalam Ensiklopedia Fikih Wanita oleh Agus Arifin dan Sundus Wahidah, dijelaskan rincian hukum berjalan melewati masjid bagi wanita haid dan nifas:

Boleh

Jika sekadar untuk mengisi kotak amal atau melintas dari satu pintu ke pintu lain.

Haram

Jika ada kekhawatiran darah akan menetes dan menajiskan masjid.

Makruh

Jika tidak ada kekhawatiran darah menetes.

Syekh Abdurrahman Al-Jaziri menjelaskan bahwa mazhab Syafi’i membolehkan orang junub, haid, dan nifas untuk melintas di masjid tanpa berdiam diri atau berputar-putar, dengan syarat aman dari pencemaran masjid. Begitupun jika masuk dari satu pintu dan keluar dari pintu lain, itu diperbolehkan.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Enggan Bayar Utang Jadi Dosa yang Tak Diampuni Walau Mati Syahid


Jakarta

Bagi sebagian besar umat Islam, mati syahid adalah cita-cita luhur yang dijanjikan ganjaran surga dan pengampunan seluruh dosa. Namun, tahukah detikers bahwa ada satu jenis dosa yang bahkan kematian di medan jihad sekalipun tidak akan menghapusnya?

Dosa tersebut adalah utang.

Ini adalah peringatan serius bagi kita semua tentang pentingnya menunaikan hak sesama manusia. Mari kita telaah lebih dalam mengapa utang menjadi pengecualian dalam kemuliaan mati syahid ini, berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan ulama.


Kemuliaan Mati Syahid dan Pengecualian Dosa Utang

Mati syahid merujuk pada kondisi seorang muslim yang wafat di jalan Allah SWT. Mereka disebut sebagai syuhada.

Golongan syuhada meliputi mereka yang gugur dalam perjuangan fi sabilillah, meninggal dalam ketaatan, karena wabah penyakit (seperti pes), sakit perut, atau tenggelam. Hal ini disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah RA yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW.

“Orang yang gugur karena berjuang di jalan Allah mati syahid, orang yang meninggal dalam keadaan taat kepada Allah adalah mati syahid, orang yang meninggal karena penyakit pes juga mati syahid, orang yang meninggal karena sakit perut mati syahid, orang yang tenggelam mati syahid.”

Dalam Buku Pintar Calon Haji karya Fahmi Amhar, menjelaskan bahwa orang yang mati syahid dijanjikan pengampunan dosa dan masuk surga tanpa hisab. Namun, ada satu pengecualian penting. Dosa utang tidak akan diampuni oleh Allah SWT, walaupun ia syahid sekalipun.

Hal ini dipertegas dalam hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Amru bin Ash RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ

Artinya: “Orang mati syahid itu diampuni segala dosanya kecuali utang.” (HR Muslim)

Mengapa Dosa Utang Begitu Berat?

Beratnya dosa utang terletak pada hakikatnya yang merupakan urusan antara hamba dengan sesama manusia, bukan semata-mata hak Allah SWT. Menukil buku Seputar Budak dan Yang Berutang: Seri Hukum Zakat karya Abdul Bakir, menjelaskan bahwa utang dapat menjadi penghalang seseorang untuk masuk surga, bahkan jika utang tersebut tanpa bunga atau riba. Ini karena hak yang belum terpenuhi terhadap orang lain akan menjadi tuntutan di akhirat kelak.

Lebih mengkhawatirkan lagi, orang yang memiliki niat untuk tidak melunasi utangnya disamakan dengan kufur (kekafiran). Hal ini tergambar jelas dari doa Rasulullah SAW yang selalu memohon perlindungan kepada Allah SWT dari kekufuran dan utang secara bersamaan.

Kemudian ada seorang laki-laki bertanya, “Apakah engkau menyamakan kufur dengan utang, Ya Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Ya!” (HR Nasa’i dan Hakim)

Ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara kewajiban melunasi utang dengan keimanan seseorang.

Pentingnya Melunasi Utang sebelum Ajal Tiba

Mengingat urgensi ini, Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk senantiasa melunasi utang sebelum ajal menjemput. Beliau bersabda,

لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ

Artinya: “Sungguh kalian pasti menunaikan hak-hak kepada pemiliknya pada hari kiamat. Hingga dituntut balas (qisas) untuk kambing tidak bertanduk dari kambing bertanduk yang dahulu menanduknya.” (HR Muslim)

Hadits ini menggambarkan betapa adilnya pengadilan Allah di hari kiamat bahwa setiap hak akan dituntut, bahkan hak seekor hewan sekalipun. Tentu saja, hak sesama manusia jauh lebih utama untuk ditunaikan.

Melunasi utang tepat waktu merupakan bentuk tidak menzalimi orang yang telah berbaik hati memberikan pinjaman. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, dia tidak boleh menzalimi saudaranya, tidak boleh menipunya, tidak boleh memperdayanya dan tidak boleh meremehkannya.” (HR Muslim)

Selain itu, menunaikan utang juga termasuk dalam kategori memberi manfaat kepada manusia. Sebuah hadits menyebutkan,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Artinya: “Orang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR Al Jami’)

Dengan melunasi utang, kita tidak hanya menunaikan kewajiban tetapi juga meringankan beban orang lain dan menjaga kebermanfaatan dalam hubungan sosial.

Kisah tentang dosa utang yang tidak terampuni walau mati syahid ini menjadi pengingat yang sangat kuat bagi kita semua. Ia mengajarkan bahwa hak-hak sesama manusia memiliki kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah SWT.

Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam berutang, pastikan memiliki niat dan kemampuan untuk melunasinya, serta bersegeralah menunaikan kewajiban tersebut sebelum ajal menjemput. Jangan sampai kemuliaan syahid terhalang oleh selembar utang yang belum terbayar.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Bolehkah Salat Berjamaah Tanpa Ikamah? Ini Hukumnya


Jakarta

Ikamah atau komat adalah lafaz yang dilantunkan setelah azan sebagai seruan sebelum mengamalkan salat fardhu. Bacaan ini menjadi tanda dimulainya salat berjamaah dan memiliki keutamaan tersendiri dalam syariat Islam.

Namun, dalam diskusi umat Islam, sering muncul pertanyaan tentang apakah boleh salat berjamaah tanpa ikamah? Bagaimana sebenarnya hukum salat berjamaah yang dilakukan tanpa mengumandangkan ikamah?

Hukum Salat Berjamaah Tanpa Ikamah

Dikutip dari buku Fiqh salat Terlengkap karya Abu Abbas Zain Musthofa Al-Basuruwani, menurut jumhur ulama selain ulama Hambali, mengumandangkan ikamah hukumnya sunnah muakkad. Artinya, sunnah ini sangat ditekankan untuk dikerjakan sebelum salat fardhu berjamaah.


Ikamah untuk salat wajib berjamaah bukanlah syarat sah salat, melainkan amalan sunnah. Andaikan seseorang salat tanpa ikamah, maka salatnya tetap sah menurut pendapat mayoritas ulama.

Dalam pelaksanaannya, iqamah disunnahkan untuk dibaca secara cepat. Namun, bacaan tersebut harus tetap terdengar jelas agar makna lafaznya tidak hilang.

Ikamah juga diutamakan dikumandangkan oleh muazin atau orang yang telah mengumandangkan azan. Pendapat ini sesuai dengan kesepakatan empat mazhab fiqih yang diakui dalam Islam.

Bacaan Ikamah yang Benar

Merujuk pada Kitab Al-Adzkar karya Imam Nawawi, bacaan ikamah yang bersumber dari beberapa hadits shahih terdiri dari sebelas kalimat. Mazhab Syafi’i dan Hambali juga berpendapat sama, bahwa dalam ikamah seluruh lafaz tidak diulang kecuali kalimat قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةِ (qad qaamatish shalaah) yang dibaca dua kali.

Berikut ini adalah bacaan ikamah yang benar.

Berikut bacaan lengkapnya,

الله أَكْبَر الله أَكْبَر، أَشْهَدُ أنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ الله ، حَيَّ عَلَى الصَّلاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةِ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةِ، الله أَكْبَر الله أَكْبَر، لاَ إِلهَ إِلاَّ الله

Latin: Allahu akbar, Allahu akbar, asyhadu an laa ilaaha illa Allah, asyhadu anna muhammadan rasuulullah, hayya ‘alash shalah, hayya ‘alal falaah, qad qaamatish shalaah, qad qaamatish shalaah, Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illa Allah

Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah. Mari kerjakan salat. Mari mencapai kebahagiaan. Sungguh salat telah ditegakkan. Sungguh salat telah ditegakkan. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tiada tuhan selain Allah.”

Siapa Orang yang Melantunkan Ikamah?

Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menjelaskan bahwa para ulama sepakat siapa saja boleh mengumandangkan ikamah, baik muazin yang sebelumnya mengumandangkan azan maupun orang lain.

Meskipun demikian, yang lebih utama adalah muazin itu sendiri yang melanjutkan dengan ikamah.

Terkait hal ini, Imam Syafi’i menyatakan, “Orang yang mengumandangkan azan, dialah yang lebih diutamakan untuk mengumandangkan ikamah”

Senada dengan itu, Imam At-Tirmidzi juga berpendapat, “Orang yang telah mengumandangkan azan, sebaiknya ia pula yang melaksanakan ikamah.”

Tata Cara Melakukan Ikamah

Mengutip buku Pendidikan Agama Islam: Fikih untuk Madrasah Tsanawiyah karya Zainal Muttain, dijelaskan bahwa syarat-syarat azan dan ikamah yang perlu diperhatikan antara lain:

  • Dalam keadaan suci dari hadas kecil maupun hadas besar
  • Berdiri dengan menghadap kiblat
  • Memasukkan kedua jari telunjuk ke dalam lubang telinga
  • Membaca azan secara perlahan, memisahkan setiap dua kalimat, lalu berhenti sejenak di antaranya
  • Membaca ikamah dengan cepat
  • Menoleh ke kanan pada saat mengucapkan “Hayya ‘alash-shalah”, dan menoleh ke kiri saat mengucapkan “Hayya ‘alal falah” dengan memutar kepala, leher, dan dada
  • Memberi jeda antara azan dan ikamah untuk pelaksanaan salat sunnah dan menunggu jamaah yang lain
  • Tidak berbicara sampai ikamah selesai dikumandangkan
  • Bagi wanita, azan dan ikamah hanya boleh dilakukan apabila jamaah dan imam semuanya wanita, serta tidak menggunakan pengeras suara yang terdengar oleh laki-laki di luar jemaah

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Batu Surga di Makkah Berubah Warna, Menghitam karena Dosa Manusia


Jakarta

Di tengah hiruk pikuk ibadah di Tanah Suci Makkah, terdapat sebuah peninggalan bersejarah yang penuh misteri. Adalah Hajar Aswad.

Batu yang dipercaya berasal langsung dari surga ini menarik perhatian jutaan umat Islam setiap tahunnya. Namun, tahukah kalian jika Hajar Aswad awalnya berwarna putih bersih? Kenapa sekarang menjadi hitam pekat?

Perubahan warna Hajar Aswad ini erat kaitannya dengan sebuah riwayat. Riwayat itu menyebutkan bahwa dosa-dosa manusia yang menyentuhnya lah yang menyebabkan batu ini berubah warna.


Menariknya, perubahan ini sama sekali tidak mengurangi kemuliaan dan kedudukannya sebagai salah satu simbol kebesaran Allah SWT yang dijaga dan dihormati oleh seluruh umat Islam.

Sejarah Hajar Aswad

Dalam Buku Sejarah Hajar Aswad & Maqam Ibrahim: Kisah Lengkap Batu dari Surga dan Jejak Kaki Nabi Ibrahim, Prof.Dr.Said Muhammad Bakdasy mengatakan kisah Hajar Aswad dimulai jauh di masa Nabi Ibrahim AS.

Berdasarkan riwayat Al-Azraqi yang mengutip Ibnu Ishaq, saat Nabi Ibrahim AS membangun Ka’bah, bangunan tersebut semakin tinggi. Nabi Ismail AS kemudian menyiapkan Maqam (tempat berdiri) agar ayahnya bisa menyelesaikan pembangunan.

Nabi Ismail AS memindahkan Maqam itu dari satu sudut Ka’bah ke sudut lainnya, hingga akhirnya ditempatkan di Rukun Hijr. Pada saat itulah Nabi Ibrahim AS meminta Nabi Ismail AS untuk mencari sebuah batu yang akan dijadikan penanda awal untuk memulai tawaf.

“Ambilkan saya sebuah batu untuk diletakkan di sini, agar nanti menjadi tanda dimulainya tawaf untuk umat manusia,” kata Nabi Ibrahim AS.

Malaikat Jibril sudah lebih dulu menemui Nabi Ibrahim AS dengan membawa Hajar Aswad, bahkan sebelum Nabi Ismail AS kembali dengan batu temuannya. Batu mulia ini sebelumnya telah dipercayakan Allah SWT kepada Gunung Abu Qubais saat banjir bandang di masa Nabi Nuh AS.

Allah berfirman kepada gunung itu, “Jika kau melihat kekasih-Ku sedang membangun rumah-Ku, maka keluarkanlah Hajar Aswad untuknya.”

Ketika Nabi Ismail AS kembali dengan batunya, ia terkejut melihat batu lain sudah ada di tempatnya. “Wahai ayahku, dari mana engkau mendapatkan batu ini?” tanyanya. Nabi Ibrahim AS menjawab, “Batu ini didatangkan oleh orang yang tidak membuatku harus bersusah payah untuk mendapatkan batumu. Batu ini dibawa oleh Jibril.”

Begitu Jibril menempatkan Hajar Aswad di posisinya, dan Nabi Ibrahim AS memulai pembangunan Ka’bah, batu suci itu langsung memancarkan cahaya yang memukau. Sinar terangnya begitu kuat, menerangi setiap penjuru dari Timur hingga Barat, bahkan menjangkau Yaman dan Syam. Menurut catatan Al-Azraqi, cahaya itu menyebar hingga meliputi seluruh area al-Haram, menyinari setiap sudutnya.

Karakteristik dan Transformasi Warna Hajar Aswad

Merujuk pada sumber yang sama, Hajar Aswad, atau “batu surga”, diyakini turun dari langit, sebagaimana disebutkan dalam berbagai hadits Nabi Muhammad SAW. Ditempatkan di sudut tenggara Ka’bah, batu ini berfungsi sebagai penanda awal bagi umat Islam saat melakukan tawaf. Sudut tersebut kini dikenal sebagai Rukun Hajar Aswad.

Awalnya, Hajar Aswad memiliki warna putih yang cemerlang, bahkan lebih terang dari salju dan susu. Seiring berjalannya waktu, batu Hajar Aswad berubah menjadi hitam pekat. Perubahan warna ini diyakini terjadi akibat dosa-dosa kaum musyrik yang menyentuhnya.

Menurut riwayat dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash RA, ukurannya sekitar satu hasta. Ia berkata, “Hajar Aswad dahulu lebih putih dari susu dan panjangnya seukuran tulang hasta.”

Kini, hanya permukaan luar Hajar Aswad yang tampak menghitam, sementara bagian dalamnya yang masih tertanam dalam struktur Ka’bah diyakini tetap berwarna putih aslinya. Bukti ini diperkuat oleh kesaksian Mujahid, yang dikutip Al-Fakihi, bahwa ia melihat seluruh bagian batu di dalam Ka’bah berwarna putih saat Ibnu Zubair merobohkan bangunan tersebut.

Pemerintah Arab Saudi merilis foto jarak dekat dari batu hitam Hajar Aswad. Ini adalah gambar langka yang belum pernah dipertunjukkan karena beresolusi sangat tinggi.Pemerintah Arab Saudi merilis foto jarak dekat dari batu hitam Hajar Aswad. Ini adalah gambar langka yang belum pernah dipertunjukkan karena beresolusi sangat tinggi. (Foto: dok. Pemerintah Arab Saudi)

Keistimewaan dan Keutamaan Hajar Aswad

Hajar Aswad memiliki banyak keistimewaan yang membuatnya sangat dihormati dalam Islam. Apabila tidak memungkinkan untuk menyentuh atau menciumnya, umat Islam cukup memberikan isyarat lambaian tangan ke arahnya sebagai bentuk penghormatan. Berikut adalah beberapa keistimewaannya.

1. Tangan Kanan Allah SWT di Muka Bumi

AIbnu Abu Umar dan l-Azraqi, melalui sanad sahih, meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas RA berkata, “Sesungguhnya rukun ini adalah tangan kanan Allah di muka bumi, ia disalami oleh hamba-hamba-Nya layaknya seseorang yang menyalami saudaranya.”

Pada kesempatan lain, saat tiba di sudut batu surga atau Hajar Aswad, Ibnu Hisyam bertanya, “Wahai Abu Muhammad, apa alasanmu mendatangi Rukun Aswad ini?” Atha’ menjawab, “Abu Hurairah RA menceritakan kepadaku bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa yang menyentuhnya, seakan-akan dia sedang menyentuh tangan Tuhan Yang Maha Penyayang’.”

2. Disunnahkan Mencium atau Melambaikan Tangan

Mencium atau mengisyaratkan tangan ke Hajar Aswad adalah sunnah, menandai awal dari tawaf.

3. Memberikan Syafaat pada Hari Kiamat

Batu ini dipercaya akan memberikan syafaat bagi mereka yang menyentuhnya di hari kiamat kelak.

4. Penanda Memulai Tawaf

Memulai tawaf dari Hajar Aswad merupakan salah satu ketentuan syariat yang wajib dipatuhi dalam ibadah haji dan umrah.

5. Bagian Paling Mulia Ka’bah

Karena letaknya di bagian Ka’bah yang paling mulia, Hajar Aswad menjadi simbol yang sangat dihormati.

6. Bagian dari Batu Yakut Surga

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash RA, Rasulullah SAW bersabda, “Rukun dan Maqam Ibrahim merupakan dua batu yakut yang menjadi bagian dari batu yakut surga. Jika saja Allah tidak menghapus cahayanya, maka kedua batu itu akan menerangi Timur dan Barat.”

Rukun yang dimaksud adalah Hajar Aswad. Sedangkan Maqam adalah batu yang dipijak oleh Nabi Ibrahim AS ketika membangun Ka’bah.

Peristiwa Bersejarah yang Membentuk Hajar Aswad Kini

Hajar Aswad telah menjadi saksi bisu berbagai peristiwa bersejarah yang mengubah fisiknya. Insiden seperti kebakaran, percobaan pencurian, dan vandalisme telah meninggalkan jejak berupa retakan dan pecahan pada batu ini.

Berikut adalah beberapa kejadian penting yang membentuk kondisi Hajar Aswad saat ini:

Kebakaran Ka’bah

Ka’bah pernah dilanda dua kebakaran besar. Kebakaran pertama menimpa Ka’bah di era pra-Islam, pada masa Quraisy, yang menyebabkan Hajar Aswad semakin menghitam karena sambaran api. Lalu, kebakaran kedua terjadi di era Islam, saat kepemimpinan Abdullah bin Zubair RA, ketika Ka’bah dikepung, yang memperparah kerusakan pada batu mulia itu.

Lapisan Perak Menipis

Di masa pemerintahan Amirul Mukminin Harun al-Rasyid, lapisan perak pelindung Hajar Aswad mulai menipis dan terkikis, menyebabkan batu itu menjadi tidak kokoh lagi di posisinya.

Pencurian oleh Qaramithah

Kisah sekte Qaramithah yang mencuri Hajar Aswad pada tahun 317 H/929 M dan menyimpannya selama 22 tahun merupakan salah satu peristiwa paling dramatis dalam sejarah Islam.

Aksi Vandalisme dan Perusakan

Beberapa insiden perusakan tercatat dalam sejarah:

  • Tahun 363 H/974 M: Seorang Nasrani dari Kekaisaran Romawi memukul Hajar Aswad menggunakan martil.
  • Tahun 413 H/1022 M: Seseorang berusaha merusak Hajar Aswad dengan pedang dan tongkat pemukul di Masjidil Haram.
  • Tahun 990 H/1582 M: Seorang pria Irak menghantam Hajar Aswad dengan tongkat besi.
  • Tahun 1351 H/1932 M: Seorang pria asal Persia dari Afghanistan mencuri satu potongan Hajar Aswad, serta kain penutup Ka’bah dan potongan perak dari tangga Ka’bah.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Arisan Online dengan Sistem Denda bagi yang Telat Bayar


Jakarta

Arisan merupakan salah aktivitas sosial yang cukup mengakar kuat di masyarakat Indonesia sebagai bentuk kebersamaan dan tolong-menolong. Kegiatan ini biasanya dilakukan secara berkala oleh kelompok tertentu untuk saling memberikan giliran menerima sejumlah uang.

Namun, seiring dengan kemajuan teknologi dan kemudahan akses internet, arisan kini banyak dilakukan secara online melalui media sosial dan aplikasi digital. Hal ini memunculkan berbagai pertanyaan, terutama terkait hukum arisan online dalam Islam, termasuk praktik pemberian denda bagi peserta yang telat membayar iuran.

Hukum Arisan Online

Mengutip laman Kemenag, arisan dengan sistem undian dan giliran dianggap sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Hal ini merujuk pada pendapat Imam Al-Iraqi yang dikutip dalam kitab Hasyiah Al-Qalyubi wa Umairah bahwa praktik arisan semacam ini tidak bertentangan dengan prinsip syariah.


الْجُمُعَةُ الْمَشْهُورَةُ بَيْنَ النِّسَاءِ بِأَنْ تَأْخُذَ امْرَأَةٌ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْ جَمَاعَةٍ مِنْهُنَّ قَدْرًا مُعَيَّنًا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ أَوْ شَهْرٍ وَتَدْفَعُهُ لِوَاحِدَةٍ بَعْدَ وَاحِدَةٍ، إلَى آخِرِهِنَّ جَائِزَةٌ كَمَا قَالَهُ الْوَلِيُّ الْعِرَاقِيُّ.

Artinya: “Adapun perkumpulan yang umum di antara sekelompok perempuan di mana seorang perempuan mengambil sejumlah uang tertentu dari setiap anggota perempuan dalam perkumpulan tersebut, yang kemudian diberikan kepada anggota lain secara bergantian, maka hukumnya boleh.”

Mengenai arisan online, pada prinsipnya sama saja. Selagi ada kesepakatan, keikhlasan, serta keadilan dari semua pihak yang mengikuti arisan online, maka hukumnya adalah boleh. Bahkan, konsep arisan ini bisa dibilang seperti menabung.

Dikutip dari jurnal berjudul Perberlakuan Denda dalam Arisan Online Perspektif Fikih Muamalah oleh Alfi Atuz dari UIN Malang, hukum arisan online dalam Islam berkaitan erat dengan konsep qardh atau utang. Dalam pandangan syariah, qardh merupakan bentuk akad sosial yang bertujuan memberikan bantuan kepada sesama.

Tujuan utama dari qardh adalah menolong orang lain dengan cara meminjamkan sebagian harta kepada saudaranya. Akad ini tidak bersifat komersial dan tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan.

Dalam konteks arisan online, prinsip qardh diterapkan karena peserta saling memberikan dana dalam bentuk giliran. Artinya, peserta yang belum mendapat giliran pada dasarnya sedang meminjamkan uangnya kepada peserta yang sudah menerima arisan.

Qardh memiliki tiga rukun utama yang harus dipenuhi dalam akadnya. Pertama adalah sighot (ucapan), yakni adanya ijab dan qabul yang menunjukkan kesepakatan antar pihak yang terlibat.

Kedua, harus ada pihak yang berakad, yaitu muqridh (pemberi pinjaman) dan muqtaridh (peminjam). Ketiga adalah ma’qud ‘alaih, yaitu harta atau dana yang menjadi objek pinjaman; dalam hal ini adalah uang arisan yang diberikan secara bergiliran. Arisan online sudah memenuhi rukun-rukun ini.

Hukum Pemberlakuan Denda dalam Arisan

Masih dikutip dari jurnal yang sama, penerapan denda dalam arisan online yang meskipun nantinya didistribusikan ke semua anggota dianggap mengandung unsur riba jahiliyah dan riba qardh, sehingga bertentangan dengan prinsip fikih muamalah yang melarang riba dan menuntut keadilan.

Praktik pemberian denda dalam arisan online dapat digolongkan sebagai bentuk riba. Ini karena adanya tambahan pembayaran yang dibebankan kepada anggota yang terlambat, melebihi jumlah iuran yang seharusnya.

Tambahan tersebut tidak dilandaskan pada prinsip keadilan dalam transaksi dan tergolong sebagai manfaat berlebih yang termasuk kategori riba. Terlebih lagi, sistem denda harian mencerminkan pola yang mirip dengan riba jahiliyyah yakni utang akan terus bertambah jika tidak segera dilunasi.

Dalam perspektif ini, praktik denda seperti itu berpotensi menekan atau mengeksploitasi peserta yang mengalami keterlambatan. Hal ini menjadi lebih tidak adil jika keterlambatan terjadi karena alasan yang tidak disengaja, seperti lupa atau kesulitan ekonomi.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Apa Perbedaan Kafir Harbi dan Kafir Dzimmi?



Jakarta

Kafir adalah lawan dari iman. Orang kafir tidak mengikuti petunjuk Allah SWT meskipun telah diberi peringatan.

Orang kafir juga dibagi lagi ke dalam beberapa jenis, dua di antaranya adalah kafir harbi dan kafir dzimmi. Dalam masyarakat, terdapat diskusi tentang perbedaan keduanya, lantas apa bedanya?

Pengertian Kafir dalam Islam

Sebelum lebih jauh mengetahui perbedaan kafir harbi dan kafir dzimmi, sebaiknya kita juga mengetahui lebih dahulu apa yang dimaksud kafir di dalam Islam.


Mengutip buku Ahl Al-Kitab: Makna dan Cakupannya dalam Al-Quran karya Prof. Dr. H. Muhammad Galib, istilah kafir berasal dari kata كَفَرَ yang memiliki arti “menutupi”. Dalam Al-Qur’an, istilah kafir atau kufr tercatat muncul sebanyak 525 kali.

Al-Qur’an mendeskripsikan kafir sebagai tindakan yang berkaitan langsung dengan sikap terhadap Tuhan, seperti mengingkari nikmat-Nya, tidak bersyukur, lari dari tanggung jawab, serta melepaskan diri dari suatu kewajiban.

Salah satu surat yang membahas tentang orang kafir adalah surah Al-Kafirun. Surah ini diturunkan sebagai tanggapan atas ajakan kaum kafir Quraisy yang mengajak Nabi Muhammad SAW untuk menyembah bersama mereka, yang kemudian secara tegas ditolak melalui wahyu tersebut.

Orang-orang kafir juga dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 6,

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ سَوَآءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.

Kemudian dalam surah Al-Baqarah ayat 7,

خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰٓ أَبْصَٰرِهِمْ غِشَٰوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya: Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.

Perbedaan Kafir Harbi dan Kafir Dzimmi

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, orang-orang kafir pun dikelompokkan ke dalam beberapa macam. Termasuk juga dua golongan yang disebut kafir harbi dan kafir dzimmi.

Mengutip buku Kajian Akhlak dalam Bingkai Aswaja karya Ahmad Hawassy, kafir harbi adalah orang-orang nonmuslim yang memusuhi dan memerangi umat Islam, terutama dalam situasi peperangan atau konflik antaragama. Mereka berada dalam posisi sebagai lawan yang aktif mengancam keberadaan kaum muslimin.

Berbeda dengan itu, kafir dzimmi adalah orang kafir yang diberi izin untuk tinggal di wilayah kaum muslimin dengan syarat membayar jizyah, yaitu semacam pajak atau upeti. Pembayaran ini sebagai bentuk kesepakatan damai dan jaminan perlindungan, serta menunjukkan penghormatan terhadap aturan Islam.

Dengan demikian, perbedaan utama antara kafir harbi dan kafir dzimmi terletak pada sikap mereka terhadap umat Islam. Kafir harbi memerangi, sedangkan kafir dzimmi hidup berdampingan secara damai.

Oleh karena itu, perlakuan terhadap keduanya dalam hukum Islam juga berbeda, sesuai dengan status dan komitmen mereka terhadap kita umat Islam.

Jenis Orang Kafir Lainnya

Selain kafir harbi dan kafir dzimmi, sebenarnya terdapat dua jenis lagi orang kafir dalam definisi Islam. Kembali mengutip buku Kajian Akhlak dalam Bingkai Aswaja karya Ahmad Hawassy, berikut adalah jenis-jenis orang kafir selain harbi dan dzimmi.

1. Kafir Mu’ahid

Kafir mu’ahid atau kafir muahid merupakan golongan nonmuslim yang menjalin perjanjian dengan pemimpin umat Islam untuk melakukan gencatan senjata dalam jangka waktu tertentu. Mereka tetap menetap di wilayah mereka sendiri selama masa perjanjian tersebut berlangsung.

2. Kafir Musta’man

Kafir musta’man adalah orang nonmuslim yang datang ke wilayah kaum muslimin dan mendapatkan jaminan perlindungan dari pemerintah Islam atau dari salah satu warga muslim.

Jadi, dalam Islam terdapat empat kategori orang kafir, yaitu kafir harbi, kafir dzimmi, kafir mu’ahid, dan kafir musta’man, yang masing-masing memiliki ketentuan hukum dan perlakuan yang berbeda.

Wallahu a’lam

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Cerita Profesor dari Turki Tentang Negara Religius tapi Banyak Korupsinya



Jakarta

Dalam sebuah diskusi yang digelar Institute for Humanitarian Islam (IFHI) di Menteng pada Jumat (18/7) kemarin, Guru Besar Tasawuf asal Turki, Profesor Mahmud Erol Kilic mendapat pertanyaan menarik, “Mengapa masih banyak kasus korupsi di negara yang terkenal paling religius?”

Pertanyaan tersebut berhubungan status Indonesia yang mendapat predikat sebagai negara religius tetapi masih banyak terjadi kasus korupsi. Bahkan korupsi tak hanya dilakukan oleh orang yang awam tentang agama, tetapi beberapa di antaranya melibatkan ulama.

Mahmud Erol Kilic mengatakan kasus seperti di atas tak hanya terjadi di Indonesia. Dalam 60 tahun terakhir beberapa negara muslim lain seperti Maroko dan Turki juga mengalami hal serupa.


Hal tersebut, kata Kilic, terjadi lantaran adanya pemahaman tentang agama yang belum komprehensif. Mayoritas ulama di negara-negara Islam selama ini cenderung lebih banyak mengajarkan ilmu fikih yang fokus pada kewajiban saja, tetapi tidak dibarengi dengan pemahaman soal etika.

Tidak banyak pendakwah atau ulama yang memberitahukan tentang larangan melakukan korupsi. “Ulama lebih serang mengajarkan dalam beragama (Islam) setelah mengerjakan sholat, puasa sudah selesai itu kewajiban. Tak banyak yang menyerukan bahwa korupsi itu haram,” kata Kilic.

Ada juga sebagian muslim yang beranggapan bahwa ketika mendapatkan uang hasil korupsi, dosanya bisa dihapus dengan sedekah atau menggunakannya untuk membangun masjid. “Menurut saya hal ini sangat keliru,” kata dia.

Selama beberapa tahun berturut-turut Indonesia dinobatkan sebagai negara paling religius. Berdasarkan survei Lembaga Pew Research Center yang dipublikasikan pada 9 Agustus 2024 menobatkan Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya paling religius dan taat beribadah. Pada survei Pew Research Center yang dipublikasikan pada 20 Juli 2020 dengan judul, “The Global God Divide” juga menempatkan Indonesia berada di peringkat pertama negara paling religius.

Ironisnya menurut Transparency International Indonesia (TII), Indonesia dipersepsikan sebagai negara dengan tingkat korupsi yang buruk. Hal ini mengacu pada Skor CPI Indonesia. Meski sebenarnya di tahun 2024 skor CPI Indonesia meningkat sebesar 3 (tiga) poin dari tahun 2023, yakni dari 34 menjadi 37. Capaian skor CPI tersebut menempatkan peringkat Indonesia naik dari 115 pada tahun 2023 menjadi ranking 99 dari total 180 negara yang disurvei TII.

(erd/kri)



Sumber : www.detik.com

Benarkah Suami Harus Izin Istri untuk Nikah Lagi? Ini Pandangan Ulama


Jakarta

Seorang suami boleh memiliki istri lebih dari satu. Namun, ada sejumlah ketentuan yang harus dipatuhi, termasuk terkait izin untuk menikah lagi.

Kebolehan poligami bersandar pada Al-Qur’an surah An Nisa’ ayat 3. Allah SWT berfirman,

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ ٣


Artinya: “Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.”

Menurut Tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama RI, ayat tersebut membatasi poligami sampai empat orang. Seorang suami boleh memiliki istri dua, tiga, atau empat asal bisa memperlakukan mereka secara adil.

Syarat Poligami dalam Islam

Wahbah az-Zuhaili dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu (edisi Indonesia terbitan Gema Insani) mengatakan mayoritas ulama kecuali Syafi’i menyatakan suami yang memiliki lebih dari satu istri berkewajiban adil atau menyamaratakan hak-hak mereka seperti bermalam, nafkah, pakaian, dan tempat tinggalnya. Apabila khawatir tidak bisa berlaku adil, Allah SWT menekankan agar menikahi satu istri saja.

Dalam sebuah riwayat terdapat peringatan bagi orang yang tak bisa berlaku adil. Hukuman akan menanti di akhirat. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW yang bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ، يَمِيلُ لِإِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحُرُّ أَحَدَ شَقْيْهِ سَاقِطًا أَوْ مَائِلاً..

Artinya: “Barang siapa yang memiliki dua istri lalu ia condong kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan satu sisi tubuhnya miring atau lumpuh.”

Apakah Suami Harus Izin Istri untuk Nikah Lagi?

M Quraish Shihab menjelaskan dalam M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui, dulu tidak digarisbawahi syarat bolehnya berpoligami kecuali sikap adil suami. Kini, para ulama atau pemerintah menetapkan syarat baru yang mengantarkan pada keadilan dalam pernikahan.

Salah satu yang ditetapkan dalam hal ini adalah adanya izin dari istri untuk menikah lagi. Kata Quraish Shihab, izin tersebut bukan harga mati. Hakim bisa melakukan penilaian terkait sikap istri apabila melarang. Jika sikapnya tak wajar dan suami dianggap wajar berpoligami, izin menikah lagi bisa diberikan tanpa harus mendapat persetujuan istri.

Para ulama lain sebagaimana disebutkan dalam berbagai pembahasan fikih menyarankan seorang suami perlu mempertimbangkan pendapat pihak perempuan apabila ingin berpoligami. Sebab, untuk menegakkan keadilan dalam pernikahan tak hanya ditentukan oleh pihak laki-laki saja.

(kri/inf)



Sumber : www.detik.com