Tag Archives: 10 muharram

Hadits Menyantuni Anak Yatim di Bulan Muharram



Jakarta

Banyak amalan yang bisa dikerjakan saat bulan Muharram, salah satunya sedekah dengan menyantuni anak yatim. Terdapat hadits yang menjelaskan tentang keutamaan menyantuni anak yatim.

Sedekah dapat diberikan kepada siapa pun, termasuk anak-anak yatim. Khususnya di bulan Muharram ini, bulan yang juga dikenal sebagai bulan anak yatim. Mengutip laman Baznas, Rasulullah SAW sangat menyayangi anak-anak yatim dan khususnya di Hari Asyura (10 Muharram), beliau secara khusus menjamu mereka.

Rasulullah SAW bersabda, “Aku dan orang yang merawat anak yatim akan berada di surga seperti ini, lalu beliau menunjukkan dengan mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sedikit merenggangkan keduanya. (HR. Bukhari).


Dalam kitab Tanhibul Ghafilin bi-Ahaditsi Sayyidil Anbiyaa-I wal Mursalin, juga disebutkan bahwa siapa pun yang mengusap kepala anak yatim pada Hari Asyura, pasti Allah akan meningkatkan derajatnya.

“Barangsiapa berpuasa pada Hari Asyura (10 Muharram), maka Allah akan memberikan seribu pahala kepada orang tersebut, seperti yang diperoleh oleh seribu malaikat, serta pahala sepuluh ribu syuhada. Dan barang siapa mengusap kepala anak yatim pada Hari Asyura, maka Allah akan meningkatkan derajatnya pada setiap rambut yang diusapnya.” (Kitab Tanhibul Ghafilin bi-Ahaditsi Sayyidil Anbiyaa-I wal Mursalin).

Mengejar keutamaan dari santunan anak yatim di Bulan Muharram merupakan amalan yang dianjurkan. Namun ada sedekah yang paling utama di Bulan Muharram sesuai sunnah.

Sedekah Utama Bulan Muharram

Memberi sedekah atau santunan memang bisa dilakukan kepada siapa pun, seperti fakir miskin atau anak yatim. Namun, menurut laman resmi Nahdlatul Ulama, sedekah yang paling utama pada bulan Muharram adalah kepada keluarga terdekat. Rasulullah bersabda,

“Barangsiapa yang memberi keluarganya cukup pada hari Asyura, Allah akan memberi kelapangan rezeki kepadanya sepanjang tahun.” (HR At-Thabrani dan Al-Baihaqi).

Mencukupi kebutuhan keluarga artinya memberikan dukungan untuk kebutuhan makanan dan kebutuhan lainnya.

Dalam hadits ini, dijanjikan bahwa orang yang mencukupi kebutuhan keluarganya pada hari Asyura, Allah akan melapangkan rejeki mereka selama setahun. Keutamaan hadits ini pernah dibuktikan oleh Sufyan As-Tsauri.

Ia berusaha untuk mencukupi kebutuhan keluarganya pada hari Asyura, dan kemudian merasakan bahwa rezekinya benar-benar dilapangkan sebagaimana janji dalam hadits tersebut.

“Dengan sungguh-sungguh kami telah mencobanya, dan kami mendapatkan hasilnya sesuai dengan janji.”

Sekian sekilas pembahasan mengenai hadits santunan anak yatim di Bulan Muharram. Semoga bermanfaat ya detikers!

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Cucu Nabi Muhammad SAW di Bulan Muharram


Jakarta

Kisah wafatnya cucu Rasulullah SAW pada bulan Muharram dianggap sebagai salah satu kejadian paling kelam pasca wafatnya Rasulullah SAW dalam sejarah Islam. Hal ini diterangkan melalui beragam riwayat.

Salah satu riwayat yang menerangkan akan kengenasan peristiwa ini adalah dari Imam as-Suyuthi yang mengutip dari hadits riwayat Tirmidzi tentang kisah Salma yang bertemu dengan Ummu Salamah RA, yang saat itu masih hidup (Ummu Salamah wafat pada tahun 64 H, sedangkan Husain terbunuh pada tahun 61 H). Dalam riwayat tersebut, Salma bertanya, “Mengapa Anda menangis?”

Ummu Salamah RA menjawab, “Semalam, aku bermimpi melihat Rasulullah SAW, kepala dan jenggot beliau terlihat berdebu. Aku bertanya, ‘Mengapa engkau, wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Aku baru saja menyaksikan pembunuhan Husain.'”


Meskipun para ulama memiliki pandangan yang berbeda tentang waktu terbunuhnya Sayyidina Husain RA. Namun mayoritas ulama, seperti Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, dan Ibnu Hajar al-Asqalani, cenderung yakin bahwa Husain wafat pada hari Asyura bulan Muharram tahun 61 H.

Sementara usianya juga menjadi perdebatan, ada yang menyebutkan 58 tahun, 55 tahun, dan 60 tahun. Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa usia Sayyidina Husain RA yakni 56 tahun.

Kisah Wafatnya Cucu Nabi Muhammad di Bulan Muharram

Kisah berawal dari Husain RA yang diuji dengan penderitaan yang sangat berat. Satu per satu orang yang dicintainya meninggalkan dunia ini.

Kakeknya, Rasulullah SAW, wafat karena sakit. Ibunya, Fatimah Az-Zahra RA, juga meninggal karena sakit. Sementara ayahnya, Ali bin Abi Thalib RA, tewas dibunuh saat sedang menjalankan salat subuh. Kakaknya, Hasan bin Ali RA, wafat sebagai syuhada.

Namun, Husain RA menghadapi semua ujian tersebut dengan penuh kesabaran.

Dikisahkan bahwa ketika Yazid bin Mu’awiyyah RA dinobatkan sebagai khalifah, Husain RA menolak tunduk kepadanya. Demikian pula dengan kaum muslimin lainnya. Sebab Yazid RA merupakan seorang yang korup. Dia gemar minum khamar dan menikmati kesenangan duniawi seperti bermain dengan kera dan anjing-anjingnya.

Namun, Yazid RA berhasil menduduki posisi kepemimpinannya karena mewarisi jabatan ayahnya, Mu’awiyyah bin Abu Sufyan RA. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Rasulullah SAW.

Ketika berada di Makkah, Husain RA menerima banyak surat dukungan dari penduduk Kufah. Surat-surat itu penuh dengan harapan untuk kehadirannya di Kufah dan menjadi khalifah.

Husain saat itu berada di Madinah, ia menolak sumpah setia kepada Yazid RA karena kelakuan buruknya.

Akhirnya, Husain RA mengutus saudara sepupunya, Muslim bin Aqil RA, sebagai duta atau wakilnya untuk pergi ke Kufah. Husain RA meminta agar saudara sepupunya tinggal bersama orang-orang yang paling setia di Kufah.

Pada akhirnya, Muslim bin Aqil RA tinggal bersama Al Mukhtar. Rakyat Kufah pun menyambut kedatangannya dengan antusias. Namun, ternyata semua itu hanyalah kepalsuan belaka.

Menurut buku Sejarah Agung Hasan dan Husain karya Ukasyah Habibu Ahmad, Husain RA tetap pada pendiriannya untuk menuju Kufah. Setelah tiba di daerah Bathnur Rummah, ia mengirim surat kepada penduduk Kufah untuk memberitahukan bahwa dirinya sudah sampai di Bathnur Rummah.

Ia mengutus Qais bin Mashar as-Saidawi RA, namun nahas, Qais bin Mashar as-Saidawi RA tertangkap oleh pasukan Ubaidillah bin Ziyad RA dan kemudian dibunuh. Namun, Husain RA tetap melanjutkan perjalanannya hingga tiba di Zarud.

Ketika hendak meninggalkan wilayah tersebut, ia baru menerima berita bahwa Muslim bin Aqil RA dan Hani’ bin Urwah RA telah terbunuh. Selain itu, ia juga mendapatkan informasi tentang pengkhianatan dari orang-orang Kufah.

Setelah menyadari semua itu, Husain RA memutuskan untuk pulang. Namun, orang-orang Bani Aqil berpendapat, “Bagi kami, hidup tidak ada artinya setelah Muslim bin Aqil terbunuh. Kami tidak akan kembali sampai mati.”

Mendengar hal tersebut, Husain RA berkata, “Lalu, apa gunanya aku hidup setelah mereka mati?”

Husain RA memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan memperbolehkan rombongannya untuk memilih kembali atau tetap bersamanya. Ketika sampai di Zubalah, ia dan rombongannya bertemu dengan Umar bin Sa’ad dan Ibnul Asy’ats yang membawa surat dari Muslim bin Aqil RA yang berisi ketidakpedulian penduduk Kufah terhadap dirinya.

Meskipun sempat dihadang oleh al-Hurru bi Yazid at-Tamimi atas perintah Ubaidillah bin Ziyad RA, Husain RA akhirnya tiba di Karbala pada 2 Muharram 61 H. Kedatangannya disambut dingin oleh penduduk setempat yang konon mencapai 100.000 orang yang siap menyatakan janji setia kepada Husain RA. Ternyata kekhawatiran keluarga dan sahabat Husain RA menjadi kenyataan.

Pada akhirnya, Husain RA bersama rombongan dikepung selama beberapa hari, tepat pada tanggal 10 Muharram 61 H. Sebanyak 5.000 pasukan yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad bin Abi Waqash RA menyerbu rombongan Husain RA.

Tujuan pengepungan ini adalah atas perintah Ubaidillah bin Ziyad RA yang hendak memaksa Husain RA untuk mengakui kekuasaan Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah RA.

Menurut sejarawan, rombongan Husain RA hanya berjumlah 72 orang, terdiri dari 32 prajurit berkuda dan 40 pejalan kaki, sementara sisanya adalah anak-anak dan perempuan. Dengan jumlah yang tidak seimbang seperti itu, tentu saja pasukan Husain RA kalah telak. Dalam pertempuran itu, akhirnya hanya menyisakan dirinya dan sebagian keluarganya yang terdiri atas wanita dan anak-anak.

Ibnu Katsir dalam Kitab Al-Bidayah wan Nihayah mencatat bahwa pada 10 Muharram, pasukan Ubaidillah bin Ziyad RA memukul kepala Husain RA dengan pedang hingga berdarah. Husain RA membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya.

Balutan kain tersebut cepat dipenuhi oleh darah. Husain RA menerima luka di lehernya ketika seorang penembak melepaskan panah. Meskipun lehernya terluka, Husain RA tetap hidup dan berjalan menuju sungai karena merasa haus.

Namun, pasukan tidak mengizinkannya minum dan menghalangi Husain RA untuk mendapatkan air. Ibnu Katsir juga menyebutkan bahwa Husain RA terbunuh oleh Sina bin Anas bin Amr Nakhai, yang menusuk lehernya dengan tombak, kemudian menyampaikan kepala Husain kepada Khawali bin Yazid.

Meskipun ada perbedaan pendapat tentang waktu tewasnya Husain RA, mayoritas ulama meyakini bahwa ia wafat pada hari Asyura bulan Muharram tahun 61 H, pada usia sekitar 56 tahun.

Menurut Rizem Aizid dalam bukunya, Mahar Bidadari Surga, Husain RA meninggal sebagai syuhada dalam jihad fisabilillah. Sehingga jenazahnya tidak perlu dimandikan atau diberi kain kafan, cukup dikubur dengan pakaian yang ia kenakan ketika berjuang di medan perang.

Karenanya, Husain RA tidak mendapatkan kain kafan dari Malaikat Jibril, karena kehormatan syahidnya dalam berjuang di jalan Allah SWT.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com