Tag Archives: abdul muthalib

Sosok Paman Nabi Muhammad yang Merawat dan Mengajaknya Berdagang



Yogyakarta

Abu Thalib adalah paman Nabi Muhammad yang mengasuh dan merawatnya selepas meninggalnya sang kakek, Abdul Muththalib. Abu Thalib juga menjadi sosok yang mengajak dan mengajari Nabi Muhammad untuk berdagang, berikut kisahnya.

Nabi Muhammad di Bawah Asuhan Sang Paman

Diceritakan dalam buku Sirah Nabawiyah oleh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Nabi Muhammad SAW dulunya lahir tanpa seorang ayah. Beliau juga hanya diasuh oleh ibu kandungnya dalam waktu yang sangat singkat.

Dalam tradisi bangsa Arab saat itu, anak yang baru lahir tidak boleh disusui oleh ibunya sehingga mereka mencari wanita yang bisa menyusui anaknya. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari penyakit yang bisa menjalar di daerah perkotaan serta agar tubuh bayi menjadi kuat.


Pada usia enam tahun, Nabi Muhammad SAW baru diserahkan kembali kepada ibunda kandungnya. Tatkala perjalanan pulang dari makam ayahnya di Kota Yatsrib, ibunda Nabi, Siti Aminah, jatuh sakit dan meninggal dunia di kota Abwa’ yang terletak di antara Makkah dan Madinah.

Sejak saat itu, Nabi Muhammad SAW telah menjadi seorang yatim piatu di usianya yang keenam tahun. Kemudian ia hidup bersama kakeknya, Abdul Muthalib, di kota Makkah. Namun, Allah SWT berkehendak lain. Di usia delapan tahun, Abdul Muthalib wafat dan Muhammad kecil kembali kehilangan kasih sayang dari kakek tercintanya.

Sepeninggalan kakeknya, Abdul Muththalib, Nabi Muhammad SAW dirawat oleh pamannya, Abu Thalib. Sebelum meninggal, Abdul Muththalib sudah berpesan sebelumnya untuk menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, Abu Thalib, saudara kandung ayah beliau.

Abu Thalib melaksanakan hak pengasuhan anak saudaranya dengan sepenuh hati dan menganggap Nabi Muhammad seperti anaknya sendiri. Bahkan, Abu Thalib lebih mendahulukan kepentingan beliau daripada anak-anaknya sendiri.

Sikap Abu Thalib tetap sama hingga Nabi Muhammad berusia lebih dari empat puluh tahun. Beliau mendapatkan kehormatan di sisi Abu Thalib, hidup di bawah penjagaannya, rela menjalin persahabatan dan bermusuhan dengan orang lain demi membela beliau.

Abu Thalib Mengajak Nabi Muhammad Berdagang ke Syiria dan Bertemu dengan Bahira

Mengutip dari buku Muhammad di Makkah dan Madinah karya Tabari, suatu hari Abu Thalib melakukan perjalanan dagang ke Syiria dengan kelompok Quraisy. Ketika semua persiapannya telah selesai dan siap untuk pergi, Rasulullah SAW tidak mau ditinggal oleh pamannya.

Abu Thalib yang merasa kasihan padanya lalu berkata, “Sungguh, aku akan membawanya bersamaku dan kita tidak boleh saling terpisah.”

Abu Thalib mengajak Nabi Muhammad pergi berdagang bersamanya ke Syiria di usianya yang masih sembilan tahun. Tatkala rombongan pedagang berhenti di Bushra, Syria, di sana terdapat seorang rahib bernama Bahira yang tinggal dalam biaranya.

Di dalam biara tersebut, ada seorang biarawan beragama Kristen yang memiliki pengetahuan tentang tanda-tanda kenabian yang tertulis dalam kitab terdahulu. Saat rombongan pedagang tersebut berhenti di biaranya dan singgah di sana, Bahira menyiapkan hidangan yang banyak.

Bahira dapat melihat Rasulullah SAW yang selalu dipayungi oleh awan sehingga membuatnya terlihat mencolok di antara orang-orang dalam rombongannya. Ketika melihat Rasulullah SAW dari dekat, Bahira mengamati beliau dengan sungguh-sungguh. Ciri-ciri fisik pada diri Nabi Muhammad benar-benar persis dengan yang tertulis dalam kitabnya.

Seusai rombongan tersebut selesai makan, rahib itu bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang hal-hal yang telah terjadi, baik ketika beliau sedang terjaga maupun sedang tidur. Ketika mengamati punggung Rasulullah SAW, Bahira dapat melihat tanda (cincin) kenabian di antara kedua pundak beliau.

Bahira pun bertanya kepada Abu Thalib paman Rasulullah SAW, “Apa hubungan anak laki-laki ini denganmu?”

Abu thalib menjawab, “Anakku.”

“Ia bukan anakmu. Ayah anak itu tidak mungkin masih hidup” ucap Bahira.

“Ia anak saudara laki-lakiku,” terang Abu Thalib.

Bahira lalu bertanya kembali, “Apa yang terjadi pada ayahnya?”

“Ayahnya meninggal ketika ia masih ada di dalam kandungan ibunya,” jawab Abu Thalib.

“Kamu mengatakan hal yang sebenarnya. Bawa anak itu kembali ke negaramu dan jadilah pelindungnya dari kaum Yahudi. Sebab, demi Tuhan, jika mereka melihatnya dan mengenali apa yang aku temukan pada dirinya, mereka akan berusaha membinasakannya. Hal-hal luar biasa tersimpan dalam diri anak ini. Maka, segeralah bawa ia kembali ke negaramu,” kata Bahira.

Hal tersebut lantas membuat Abu Thalib segera membawa Nabi Muhammad SAW kembali ke kota Makkah. Sejak saat itulah, Abu Thalib menjadi sosok paman yang selalu melindungi Nabi Muhammad dan membelanya tatkala mendapat perlawanan dari kafir Quraisy.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Masa Remaja Nabi Muhammad SAW hingga Dijuluki Al-Amin


Jakarta

Kisah hidup Nabi Muhammad SAW sangat menarik untuk diulik. Kehidupan beliau tidak hanya diwarnai dengan suka, namun juga penuh duka.

Nabi Muhammad SAW sudah menjadi seorang yatim piatu ketika usianya menginjak enam tahun. Beliau lalu diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib, selama dua tahun hingga usianya mencapai delapan tahun.

Selama usia itu pula, Abdul Muthalib wafat dan meninggalkan Nabi Muhammad SAW sendirian. Akhirnya beliau dirawat oleh pamannya, Abu Thalib, sekalipun ia mempunyai banyak tanggungan keluarga dan harta yang sedikit, seperti dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas X karya Abu Achmadi dan Sungarso.


Disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW tumbuh sebagai anak yang penuh kejujuran dan selalu menjalankan amanah yang diberikan kepadanya. Karakter ini terbentuk selama beliau menjadi anak yang sangat bergantung pada pamannya yang hidup serba terbatas.

Nabi Muhammad SAW bahkan mendapatkan gelar dari orang-orang Quraisy sebagai Al-Amin yang berarti orang yang dapat dipercaya. Sampai-sampai, ketika beliau datang kepada mereka, orang-orang akan menyeru dengan keras, “Telah datang Al-Amin.”

Pasalnya, semasa Rasulullah SAW beliau rajin menggembala kambing bersama anak-anak yang tergolong miskin, sifat sabar, tabah, kasih sayang, serta suka menolong makhluk yang lemah muncul dalam dirinya.

Saat usia Nabi Muhammad SAW menginjak 12 tahun, Abu Thalib mengajaknya untuk pergi ke negeri Syams untuk berdagang.

Ketika keduanya berada di Kota Bushra, seorang pendeta Nasrani bernama Buhaira mendatangi rombongan dagang tersebut lalu memperhatikan Nabi Muhammad SAW.

Pendeta itu menyadari bahwa anak yang dia lihat bukanlah manusia biasa. Ia melihat ada tanda-tanda kenabian pada diri Nabi Muhammad SAW muda. Ia lantas mengatakan kepada Abu Thalib untuk segera membawa keponakannya kembali ke Makkah karena anak itu kelak akan menjadi seorang rasul.

Masa Remaja Nabi Muhammad SAW

Kisah masa remaja Nabi Muhammad SAW dimulai ketika beliau sudah bisa mencari biaya hidup sendiri. Beliau bekerja sebagai penggembala kambing milik beberapa orang Quraisy dan mendapatkan upah dari pekerjaan tersebut.

Pada masa remaja Nabi Muhammad SAW, beliau juga pernah ikut berperang bersama pamannya, Abu Thalib dalam Perang Fijar di Nakhlan antara Makkah dan Madinah. Perang Fijar adalah perang yang terjadi antara Bani Kinanah dan kaum Quraisy.

Setelah terjadi Perang Fijar, tata hukum di Kota Makkah menjadi berantakan dan tidak benar. Hal ini disebabkan karena Abdul Muthalib wafat sehingga terjadilah kesewenang-wenangan di Makkah.

Akhirnya, masyarakat Makkah membuat sebuah persumpahan yang dinamai dengan Hilful-Fudul yang bertujuan untuk melindungi setiap orang, baik penduduk kota Makkah maupun orang asing, dan dibentuk pula organisasi untuk itu.

Nabi Muhammad SAW terpilih menjadi salah seorang pemimpin dalam organisasi Hilful-Fudul ini. Dan di dalam organisasi ini pula terlihatlah betapa besar kasih sayang beliau terhadap sesama manusia.

Selain sifat kasih sayangnya yang terkenal, Muhammad remaja juga dikenal sebagai pemuda yang memiliki budi pekerti yang halus serta sifat yang amat mulia.

Nabi Muhammad SAW juga mendapatkan gelar sebagai Al-Amin berkat jasanya dalam menyelesaikan perseteruan antarsuku dalam hal meletakkan Hajar Aswad di tempatnya, Ka’bah.

Kisah masa remaja Nabi Muhammad SAW juga dilengkapi dengan sifat beliau yang gagah berani, tangkas, dan satria, serta senantiasa maju tak gentar dalam menghadapi musuh.

Selain itu, beliau juga memiliki sifat sabar yang amat tebal ketika menghadapi berbagai cobaan, kuat memegang cita-cita, dan teguh hatinya.

Kisah masa remaja Nabi Muhammad SAW juga dikenal dengan kesederhanaannya. Ia hanya hidup untuk taat kepada Allah SWT tanpa mementingkan kehidupan dunia.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pemberian Nama Nabi Muhammad yang Berawal dari Mimpi



Jakarta

Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir untuk umat manusia yang membawa ajaran yang menyempurnakan ajaran-ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul sebelumnya. Ada kisah tersendiri di balik pemberian nama Nabi Muhammad SAW.

Kisah lahirnya Nabi Muhammad SAW merupakan hal yang sangat menakjubkan bagi seluruh alam dan tidak hanya kepada manusia.

Nabi Muhammad SAW lahir pada Senin, 12 Rabiul Awal, Tahun Gajah, 570 M, seabagaimana dijelaskan oleh Yoli Hemdi dalam bukunya yang berjudul Sejarah Keteladanan Nabi Muhammad SAW: Memahami Kemuliaan Rasulullah Berdasarkan Tafsir Mukjizat Al-Qur’an.


Di hari kelahiran beliau, semua orang dan keluarga sangat berbahagia. Bahkan pamannya, Abu Lahab, mengirimkan budaknya Tsuwaibah untuk menyusui Nabi Muhammad selama beberapa hari. Kakek Nabi Muhammad SAW, Abdul Muthalib juga sangat gembira mendengar kelahiran cucu dari putra yang paling dia cintai, Abdullah, yang sudah lebih dahulu wafat.

Setelah lahir ke dunia ini, Abdul Muthalib membawa bayi Nabi Muhammad SAW untuk menghadap Ka’bah. Ia lalu memberi nama bayi itu “Muhammad” yang memiliki arti “terpuji.”

Sementara itu, dalam buku Biografi Rasulullah: Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-Sumber yang Otentik oleh DR. Mahdi Rizqullah Ahmad, menyebutkan bahwa Aminah, ibunda Rasulullah SAW, memberi beliau nama “Ahmad.”

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ali RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Aku diberi nama Ahmad.”

Dalam riwayat lain, al-Waqidi yang sanadnya bersambung kepada Abu Ja’far Muhammad ibn Ali, Ibnu Sa’ad menceritakan, “Ketika tengah mengandung Muhammad, Aminah diperintahkan untuk memberi nama Ahmad bagi bayi yang dikandungnya.”

Selain itu, Abu Nu’aim meriwayatkan, Buraidah dan Ibnu Abbas berkata, “Aminah bermimpi dalam tidurnya. Ia mendengar seseorang berkata kepadanya, ‘Engkau sedang mengandung manusia paling suci dan penghulu seluruh alam semesta ini. Maka, apabila engkau telah melahirkannya, berilah anakmu itu nama Ahmad, Muhammad,…, dan seterusnya.'”

Terdapat pula riwayat lain yang memperkuat riwayat di atas. Ibnu Ishaq dan al-Baihaqi dalam kitab ad-Dalâ’il meriwayatkan, Aminah mengaku pernah didatangi oleh seseorang ketika dirinya sedang mengandung Muhammad.

Orang itu berkata kepadanya,

“Apabila anak ini telah lahir, berilah ia nama Muhammad. Sesungguhnya namanya di dalam kitab Taurat dan Injil adalah Ahmad. Semoga dengan nama itu ia dipuji oleh seluruh penghuni langit dan bumi. Sedangkan namanya di dalam al-Qur`an adalah Muhammad.” Demikianlah, maka Aminah pun menamai bayinya Muhammad.

Pada akhir riwayat dijelaskan, ia memberitahukan kepada mertuanya, Abdul Muthalib, tentang perintah yang mengharuskan dirinya memberi nama Muhammad untuk bayi yang lahir dari rahimnya.

Setelah mendengar pernyataan dari menantunya Aminah, Abdul Muthalib lalu melontarkan sebuah syair yang akhir baitnya berbunyi, “…nama Ahmad telah terukir di lisan setiap insan.” Ibnu Asakir turut meriwayatkan hal ini.

Nama Nabi Muhammad SAW adalah nama yang dipilihkan langsung oleh Allah SWT. Nama “Ahmad” adalah nama yang langsung disebutkan oleh Allah SWT untuk beliau sedangkan nama Muhammad adalah pemberian dari kakek beliau, jelas buku Ajari Anakmu Berenang, Berkuda, dan Memanah karya Yuli Farida.

Nama “Ahmad” tertera dalam firman Allah SWT dalam surah Ash-Shaff ayat 6 yang berbunyi,

وَاِذْ قَالَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرٰىةِ وَمُبَشِّرًاۢ بِرَسُوْلٍ يَّأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِى اسْمُهٗٓ اَحْمَدُۗ فَلَمَّا جَاۤءَهُمْ بِالْبَيِّنٰتِ قَالُوْا هٰذَا سِحْرٌ مُّبِيْنٌ

Artinya: (Ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu untuk membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira tentang seorang utusan Allah yang akan datang setelahku yang namanya Ahmad (Nabi Muhammad).” Akan tetapi, ketika utusan itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.”

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Ayah Nabi Muhammad SAW saat Hampir Disembelih



Jakarta

Suatu kisah menceritakan, ayahanda Rasulullah SAW, Abdullah, pernah hampir disembelih oleh ayahnya sendiri atau kakek Rasulullah SAW yang bernama Abdul Muthalib RA. Bagaimana kisah selengkapnya?

Dikutip dari buku Hidup Bersama Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang ditulis oleh Daeng Naja, kisah ini berawal dari mimpi Abdul Muthalib RA tentang keberadaan sumur zamzam yang telah lama hilang.

Suatu ketika, diceritakan, sumur zamzam pernah hilang dan tidak bisa ditemukan. Kaum Jurhum-lah yang menguburnya karena tidak mau suku Khuza’ah memanfaatkannya. Hingga tibalah suatu hari. Abdul Muthalib RA bermimpi tentang tempat di mana sumur itu berada.


Setelah mengetahui letaknya, Abdul Muthalib RA pun bergegas ke lokasi untuk mencari dan menggalinya. Ternyata benar di situ keberadaan sumur zamzam yang selama ini hilang. Saat menggali, ia juga menemukan pedang, perisai, baju besi, dan dua pangkal pelana dari emas yang selanjutnya ia pajang di pintu Ka’bah.

Sebagai penemu, Abdul Muthalib RA akhirnya menjadi satu-satunya pengurus sumur zamzam. Ia bertugas untuk menyediakan air bagi para jemaah haji.

Orang-orang mulai tidak suka dan ingin juga mengurusi sumur tersebut. Namun, ketika mereka hendak membantu mengurusi sumur zamzam, Abdul Muthalib RA menolak dan tidak mengizinkannya. Akhirnya orang-orang Quraisy menyeretnya ke pinggiran Syam karena tidak terima dengan penolakan Abdul Muthalib RA.

Di tengah perjalanan mereka kehabisan air. Pada momen itulah hanya Abdul Muthalib RA seorang yang memperoleh air dari Allah SWT dan tidak dengan yang lain.

Sejak saat itu, orang-orang Quraisy percaya bahwa Abdul Muthalib RA memang pantas menjadi pengurus sumur zamzam.

Namun tidak lama, kekhawatiran baru mulai muncul. Ia menyadari bahwa dirinya hanya memiliki satu orang anak laki-laki yang bisa membantu dan meneruskan mengurusi sumur tersebut. Lalu bagaimana jika dirinya sudah tidak ada?

Abdul Muthalib RA pun bernazar kepada Allah SWT apabila ia dikaruniai sepuluh orang anak yang bisa ia kerahkan untuk mengurusi sumur zamzam, maka ia akan mengurbankan salah satu anaknya kepada Tuhan di Ka’bah ketika usianya sudah baligh.

Allah SWT mengabulkan doa Abdul Muthalib RA tersebut, ia benar-benar dikaruniai sepuluh orang anak laki-laki. Dirinya tidak percaya dengan kenyataan ini. Ketika bernazar ia kira hal ini sangat mustahil. Namun, itu benar-benar terjadi padanya.

Kekhawatiran lain mulai menghantuinya kembali ketika anak-anaknya sudah tumbuh dewasa. Ia ingat dengan nazarnya kepada Allah SWT kala itu. Bahwa dirinya harus menyembelih salah satu anaknya atas nama Tuhan.

Keputusannya sudah bulat dan tidak akan dia batalkan. Abdul Muthalib RA benar-benar akan menyembelih salah satu anaknya di Ka’bah bahkan ketika keluarganya menentang dan memintanya untuk membatalkan nazar itu.

Abdul Muthalib RA lalu mengumpulkan anak-anaknya dan mengatakan bahwa salah satu dari mereka akan disembelih. Kemudian ia menuliskan nama seluruh anak-anaknya dan akan mengundinya.

Hasil undian itu membuat Abdul Muthalib RA tambah terkejut, sebab nama yang keluar adalah Abdullah. Anak yang paling tampan, paling baik jiwanya, dan paling ia sayang. Namun, keputusannya sudah bulat, akhirnya Abdullah dibawa menuju Ka’bah untuk disembelih.

Abdullah ia dihadapkan ke Ka’bah dan sebuah pedang sudah berada tepat di lehernya. Ayahnya sudah siap untuk menyembelihnya. Namun, paman-pamannya (dari pihak ibu) mencegahnya.

“Lantas apa yang harus aku perbuat dengan nazarku?” tanya Abdul Muthalib RA kepada saudara iparnya.

Akhirnya mereka menyuruh Abdul Muthalib RA untuk mendatangi seorang ahli untuk meminta pendapatnya. Setibanya di sana, sosok ahli tersebut memerintahkan agar membuat tebusan untuk nyawa anaknya yang akan dia kurbankan.

Abdul Muthalib RA diperintah untuk membuat anak panah undian yang diberi nama Abdullah dan 10 ekor unta. Jika yang keluar adalah nama Abdullah, maka Abdul Muthalib RA harus menambah tebusan sebanyak 10 ekor unta. Begitu seterusnya sampai yang keluar adalah tulisan unta.

Ayah Abdullah benar melakukan apa yang disarankan oleh sosok wanita itu di rumah. Ia memutar anak panah bertuliskan Abdullah dan unta dengan penuh kecemasan. Panah undian itu terus menunjukkan nama Abdullah bahkan setelah ia putar berulang kali.

Akhirnya, setelah putaran yang ke-sepuluh baru lah anak panah itu menunjuk tulisan unta. Artinya, Abdul Muthalib RA harus menebus nyawa anaknya yang ia jadikan nazar itu dengan nyawa seratus ekor unta.

Fathimah binti ‘Amr bin A’idz bin ‘Imran bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah, ibunda Abdullah, sangat bersyukur karena putranya tidak jadi dikurbankan. Begitu pula dengan Abdul Muthalib dan keluarganya yang lain, yang sama-sama gembira karena Abdullah tidak jadi disembelih.

Sejak saat itu pula, diyat (denda) di kalangan orang Quraisy dan bangsa Arab lainnya berubah menjadi 100 ekor unta yang sebelumnya hanya 10 ekor unta saja.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Sumur Zamzam Digali Kembali oleh Abdul Muthalib, Kakek Rasulullah SAW


Jakarta

Abdul Muthalib, kakek Rasulullah SAW, memiliki jasa yang besar dalam penggalian kembali sumur zamzam. Ia berhasil menemukan kembali sumur yang sebelumnya sempat tertimbun.

Sumur zamzam menjadi sumur yang tidak pernah kering. Air dari sumur ini bahkan memiliki banyak keutamaan sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa hadits.

Dalam sejarahnya, kemunculan air zamzam bermula dari kegelisahan Siti Hajar bersama putranya, Ismail, yang ditinggal Nabi Ibrahim AS di sebuah padang tandus. Cerita Siti Hajar yang ditinggal Nabi Ibrahim ini diabadikan Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Ibrahim ayat 37.


رَّبَّنَآ إِنِّىٓ أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِى بِوَادٍ غَيْرِ ذِى زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ ٱلْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجْعَلْ أَفْـِٔدَةً مِّنَ ٱلنَّاسِ تَهْوِىٓ إِلَيْهِمْ وَٱرْزُقْهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ

Artinya: Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

Siti Hajar dan bayi Ismail kehabisan bekal, ia kemudian berusaha mencari makanan atau orang-orang yang kemungkinan berada di sekitarnya. Siti Hajar berlari ke Bukit Marwah, kemudian ke Bukit Shafa, dan kembali lagi ke Bukit Marwah. Tercatat, tujuh kali dirinya bolak-balik bukit Shafa-Marwah.

Apa yang dilakukan Siti Hajar itu kini menjadi salah satu rukun haji yang wajib dilaksanakan umat Islam yang melaksanakan haji, yaitu sai.

Setelah lelah bolak-balik dari bukit Shafa ke Marwah, Siti Hajar mendengar perintah untuk melihat putranya yang sedang menangis dan mengentak-entakkan kakinya ke tanah. Ternyata, entakan kaki Ismail AS berhasil mengeluarkan air yang berlimpah. Siti Hajar pun kemudian berkata, “Zamzam
(berkumpullah),” hingga akhirnya air berkumpul dan dinamakan Zamzam.

Munculnya air dari bekas entakan Nabi Ismail ini kemudian memicu hadirnya serombongan burung-burung di sekitarnya. Melihat adanya burung ini, para kafilah yang juga sedang mencari air segera menuju tempat burung-burung beterbangan itu. Inilah kisah singkat awal mula munculnya sumur Zamzam.

Nazar Abdul Muthalib

Merangkum buku Situs-Situs Dalam Al-Qur’an: Dari Banjir Nabi Nuh hingga Bukit Thursina oleh Syahruddin El-Fikri dijelaskan bahwa sumur zamzam digali kembali setelah sekian ribu tahun tertimbun.

Kakek Nabi Muhammad SAW, Abdul Muthalib, bernazar untuk menggalinya kembali apabila dirinya dikaruniai banyak anak dan akan mengurbankan salah satunya.

Doanya dikabulkan Allah SWT dan ia mempunyai 10 orang anak. Kemudian, Abdul Muthalib melaksanakan nazarnya. Namun, ia ragu siapa yang akan dijadikan kurban.

Lalu, diundilah hingga kemudian muncul nama Abdullah, ayah Nabi Muhammad SAW. Keraguan makin memuncak karena ia sangat menyayangi putra bungsunya ini.

Setelah berkali-kali mencoba melakukan undian, nama Abdullah terus muncul. Kemudian ada yang mengusulkan agar nama Abdullah diundi dengan onta. Dan, setelah berkali-kali diundi, selalu muncul nama Abdullah, jumlah onta yang akan dijadikan kurban ditambah hingga 100 ekor onta. Dan, pada undian berikutnya, akhirnya muncullah nama onta yang akan dikurbankan.

Karena doanya dikabulkan dan Abdul Muthalib melaksanakan nazarnya, dia pun menggali sumur Zamzam tersebut. Karena itu, sumur Zamzam disebut pula dengan sumur gali.

Abdul Muthalib Menggali Kembali Sumur Zamzam

Makkah ditinggali oleh suku Jurhum dan Qathura’. Suatu hari, dua suku berkonflik dan berperang berebut posisi penguasa Makkah.

Imam Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyyah menceritakan bahwa kemudian ‘Amr bin al-Harits bin Mudladl al-Jurhumu keluar Makkah dengan (membawa) dua (patung) kijang Kakbah dan batu tiang, lalu menimbunnya dalam (sumur) Zamzam. Dia pun pergi bersama orang-orang Jurhum yang bersamanya menuju Yaman. Sumur zamzam pun tertimbun.

Setelah beratus-ratus tahun lamanya tertimbun, sumur Zamzam ditemukan kembali keberadaannya oleh Abdul Muttalib melalui isyarat mimpi. Dia pun menggali sumur tersebut sesuai dengan yang dilihatnya dalam mimpi.

Mengutip buku Sejarah Arab Sebelum Islam oleh Dr. Jawwad Ali, sumur zamzam berhasil ditemukan dan digali kembali oleh Abdul Muthalib. Ini menjadi jasa yang abadi hingga sekarang.

Ketika Abdul Muthalib menemukan dan menggalinya, semua jamaah haji memanfaatkan airnya dan tidak lagi memakai sumur-sumur yang ada sebelumnya.

Ketika menggali sumur zamzam, Abdul Muthalib menemukan harta karun yang terpendam di dalamnya, berupa dua patung unta dari emas. Harta itu dipendam oleh suku Jurhum.

Selain itu, juga terdapat pedang-pedang tanpa sarung dan baju perang lengkap. Pedang-pedang itu lalu dilebur menjadi bahan pintu Kakbah, kemudian salah satu patung unta tadi disepuhkan pada pintu Kakbah.

Selanjutnya, pintu Kakbah dibuat khusus dari emas. Ini merupakan emas pertama yang menjadi perhiasan Kakbah.

Sebelumnya bangsa Quraisy melarang Abdul Muthalib menggali sumur zamzam. Namun, ia bersikukuh melakukannya.

Ada pula riwayat lain yang menyebutkan bahwa Abdul Muthalib menggali sumur Zamzam itu karena adanya perintah yang didapatkan ketika beliau tertidur di Hijir Ismail. Maka, perintah itu beliau laksanakan.

Setelah sumur zamzam kembali ditemukan, masyarakat Makkah memanfaatkan airnya untuk berbagai keperluan sehari-hari. Hingga saat ini air zamzam masih terus mengalir deras, bahkan menjadi salah satu oleh-oleh yang dibawa oleh jemaah umroh dan haji.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Siapakah Ibu Susuan Nabi Muhammad SAW? Ini Sosoknya



Jakarta

Ibu susuan Nabi Muhammad SAW cukup banyak, tetapi yang paling dikenal adalah Tsuwaibah dan Halimah as-Sa’diyah. Ibu susuan ini termasuk tradisi bangsa Arab yang menyusukan anaknya kepada wanita lain.

Menukil dari Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri yang diterjemahkan Kathur Suhardi, tradisi menyusui bayi wanita lain ini dimaksudkan agar anak-anak terhindar dari penyakit yang menjalar. Hal tersebut juga memiliki anggapan agar bayi menjadi kuat, memiliki otot yang kekar dan keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab dengan fasih.

Sebelum disusui oleh Halimah, Nabi Muhammad SAW pernah disusui wanita lain yang bernama Tsuwaibah. Dijelaskan dalam Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW: Dari Sebelum Masa Kenabian hingga Sesudahnya oleh Abdurrahman bin Abdul Karim, Tsuwaibah adalah ibu susuan Rasulullah SAW yang paling awal


Tsuwaibah merupakan wanita yang pernah menjadi budak Abu Lahab dan telah dimerdekakan. Selama di Makkah, Nabi Muhammad SAW selalu mencari dan menjalin hubungan kekeluargaan dengan Tsuwaibah ketika ia dewasa. Begitu pula dengan sang istri, Khadijah RA yang sangat memuliakan Tsuwaibah.

Setelah Tsuwaibah, barulah Rasulullah SAW disusui Halimah. Waktu itu, Abdul Muthalib yang merupakan kakek Nabi Muhammad SAW mencari ibu susuan untuk sang rasul. Wanita yang dicari berasal dari bani Sa’d bin Bakr yaitu Halimah binti Abu Dzu’aib dengan didampingi suaminya yang bernama Al-Harits bin Abdul Uzza atau Abu Kabsyah.

Atas kuasa Allah SWT, Halimah merasakan berkah yang dibawa oleh Muhammad kecil. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Halimah bercerita ketika ia pergi ke negerinya bersama sang suami, anaknya dan wanita dari bani Sa’d. Mereka bertujuan mencari anak yang bisa disusui karena sedang mengalami kesulitan.

Kala itu, Halimah membawa seekor keledai dan unta betina yang sudah tua. Ini menyebabkan air susu unta tersebut tidak dapat diperah.

Wanita-wanita lainnya tidak pernah tidur karena harus meninabobokan bayi-bayi mereka yang menangis. Setibanya di Makkah, banyak wanita yang menolak menjadi ibu susuan Nabi Muhammad SAW.

Sebab, sang rasul merupakan anak yatim. Wanita tersebut mengharapkan imbalan besar dari ayah kandung anak yang mereka susui, karenanya mereka menolak untuk menyusui Muhammad kecil.

Lain halnya dengan Halimah yang bersedia menjadi ibu susuan Nabi Muhammad SAW. Setiap menggendongnya, Halimah tidak pernah merasa repot. Ia kembali menunggangi keledai dan menyusui Muhammad kecil.

Atas izin Allah SWT, unta milik Halimah yang semula tidak mengeluarkan air susu tiba-tiba susunya penuh. Akhirnya, Halimah dan sang suami meminum susu dari unta tersebut sampai kenyang. Semenjak itulah, keluarga Halimah terus diberi limpahan rahmat dan rezeki dari Allah SWT.

Halimah mengasuh Nabi Muhammad SAW selama empat tahun. Ketika sang rasul menginjak usia dua tahun, Halimah menghentikan susuannya dan Muhammad kecil hendak dikembalikan kepada ibunya, Aminah.

Tetapi, saking sayangnya Halimah terhadap Rasulullah SAW ia meminta agar anak tersebut dirawat di dusunnya. Aminah yang waktu itu takut anak yang tumbuh subur dan sehat terganggu penyakit yang ada di Makkah, ia mengizinkan Halimah untuk merawat Muhammad kecil kembali.

Selama menjadi ibu susuan Nabi Muhammad SAW, Halimah sangat menyayanginya lebih dari anak-anak kandungnya yang lain. Allah SWT bahkan mengangkat dan melimpahkan rezeki yang baik kepada keluarga Halimah.

Wallahu ‘alam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Air Zamzam yang Tak Pernah Kering Sejak Zaman Nabi Ibrahim AS



Jakarta

Salah satu keistimewaan air zamzam adalah adanya kenyataan bahwa air zamzam tidak pernah kering dan terus ada airnya tanpa pernah henti, meski ia telah berusia ribuan tahun, serta telah diambil dan dikonsumsi oleh jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia.

Mengutip buku berjudul Mukjizat Penyembuhan Air Zamzam yang ditulis Badiatul Muchlisin Asti menuliskan kisah ketika Hajar melihat malaikat berdiri di sebuah tempat (di dekat sumur zamzam sekarang), terlihat malaikat itu tengah menggali tanah dengan sayapnya, hingga air pun menyembur deras dari tempat itu.

Hajar kemudian membuat lubang seperti baskom dengan tangannya dan mengisi kantong kulitnya dengan air yang menyembur deras dari tempat itu. Air itu terus menyembur deras meskipun telah ia bendung sebagian darinya. Sehingga bila bukan karena kasih sayang Allah, maka air itu akan menjadi arus deras yang meliputi permukaan bumi.


Nabi Muhammad SAW ketika menceritakan kisah Hajar dan Nabi Ismail, beliau bersabda,

يَرْحَمُ اللَّهُ أُمَّ إِسْمَاعِيلَ ، لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ — أَوْ قَالَ: لَوْ لَمْ تَغْرِفْ مِنَ الْمَاءِ – لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعِيْنًا

Artinya: “Semoga Allah melimpahkan Kasih-Nya kepada Ibu Ismail. Jika saja ia membiarkan zamzam (terus menyemburkan air tanpa mengendali- kannya atau kalau ia tidak mengambil air darinya), zamzam akan menjadi arus deras yang meliputi permukaan bumi”. (HR. Bukhari)

Kisah di atas menunjukkan tidak akan pernah keringnya mata air zamzam sepanjang masa. Air zamzam tidak akan pernah kering dan airnya tak akan pernah habis. Ibnu Abbas berkata, “Seandainya ia (Hajar) tetap meninggalkannya, maka pasti air itu tetap akan ada.”

Ibnu Al-Jauzi berkata, “Keberadaan air zamzam adalah nikmat Allah tanpa usaha manusia. Maka tatkala dibendung oleh Hajar, masuklah usaha manusia, lalu nikmat itu dikurangkan”.

Kisah lainnya yang menunjukkan tidak akan pernah keringnya air zamzam adalah kisah Abdul Muthalib ketika bermimpi mendapatkan perintah menggali mata air zamzam. Ketika itu, untuk ketiga kalinya, Abdul Muthalib bermimpi, dalam mimpinya ada seseorang yang menghampirinya dan berkata, “Galilah olehmu Zam- zam!”, maka Abdul Muthalib bertanya, “Apa itu Zamzam?”.

Orang itu berkata, “la (Zamzam) adalah mata air yang tidak akan kering selamanya. Ia akan melayani minum para haji yang berjubel. la berada di antara kotoran dan darah. la terletak di tempat berkumpulnya burung-burung elang dan berada di dekat lubang semut.”

Ad-Dahhak bin Muzahim berkata, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat air tawar sebelum hari kiamat, dan semua air akan meresap selain air zamzam. Bumi akan terurai isinya, termasuk emas dan perak, kemudian seseorang akan datang membawa karung penuh emas dan perak seraya berkata, ‘Siapakah yang mau menerima barang ini dariku?’. Kemudian seseorang berkata, ‘Seandainya engkau bawakan kemarin, tentu aku akan menerimanya’.”

Lebih dari itu, fakta nyata yang tak bisa dibantah oleh siapa pun adalah sejak zaman Nabi Ismail hingga sekarang, air zamzam tidak pernah habis sekalipun jutaan orang telah mengambilnya, terutama pada bulan Ramadhan dan bulan Haji. Orang yang melihat sumur zamzam akan mendapatkan kenyataan bahwa permukaan airnya tidak pernah berubah, tidak berkurang, sekalipun telah di- ambil. la juga tidak memancar banyak sehingga mengalir di muka bumi, juga tidak berkurang, dalam arti tidak tersisa sama sekali.

Abdul Basit bin Abdul Rahman dalam buku Makkah al-Mu- karramah Fadhaa’iluha wa Tarikhuha (Makkah al-Mukarramah, Kelebih- an dan Sejarahnya) menyebutkan, bahwa sumur zamzam sudah berumur hampir 5000 tahun, persisnya 4946 tahun, sejak Nabi Ibrahim hingga sekarang.

Syahruddin El-Fikri mengutip artikel anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Rovicky Dwi Putrohari menyebutkan bahwa dalam sebuah uji pemompaan sumur zamzam mampu mengalirkan air sebanyak 11-18,5 liter per detik atau mencapai 660 liter per menit. Uji pemompaan ini dilakukan sebelum 1950-an.

Berikutnya, dibangunlah pompa air pada 1953 yang menyalurkan air dari sumur zamzam ke bak penampungan dan keran-keran. Ketika dilakukan pengujian, pada pemompaan 8.000 liter per detik selama 24 jam, air dalam sumur zamzam mengalami penyusutan sedalam 3,23 meter. Ketika pemompaan dihentikan, permukaan sumur kembali ke asalnya hanya dalam waktu 11 menit. Hal ini menimbulkan pertanyaan. Dari mana sumber air sumur zamzam yang begitu cepat berkumpul kembali tersebut?

Rovicky menjelaskan bahwa terdapat banyak celah atau rekahan bebatuan di sekitar sumur zamzam. Salah satu rekahan memanjang ke arah Hajar Aswad dengan panjang 75 sentimeter dan ketinggian 30 sentimeter.

Adapun beberapa celah kecil memanjang ke arah Safa dan Marwa. Keterangan geometris lain menyebutkan keberadaan celah sumur di bawah tempat tawaf. Celah-celah inilah yang kemudian memasok air ke sumur zamzam.

Wallahu’alam

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Ayah Nabi Muhammad Bernama Abdullah, Ini Kisah Hidup dan Wafatnya


Jakarta

Ayah Nabi Muhammad SAW bernama Abdullah bin Abdul Muthalib. Ia merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam.

Sayangnya, Nabi Muhammad SAW tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Sebab, Abdullah wafat saat Nabi SAW masih dalam kandungan. Nabi Muhammad SAW tumbuh besar tanpa didampingi oleh ayah kandungnya.

Kisah Ayah Nabi Muhammad yang Hampir Dikorbankan

Dalam buku Kisah Keluarga Rasulullah SAW untuk Anak karya Nurul Idun dkk, diceritakan bahwa Abdullah bin Abdul Muthalib, ayah Nabi Muhammad SAW, dikenal sebagai sosok yang jujur dan saleh sejak kecil.


Sebagai putra dari Abdul Muthalib, seorang pemimpin Quraisy yang sangat dihormati, Abdullah juga dikenal mahir memainkan pedang, berburu, dan berniaga. Kehidupan Abdullah mulai menarik perhatian publik ketika ayahnya, Abdul Muthalib, membuat nazar kepada Allah SWT.

Abdul Muthalib berjanji jika Allah SWT memberinya banyak anak yang kelak akan menjadi penjaganya, ia akan mengorbankan salah satu di antaranya. Nazar ini akhirnya jatuh kepada Abdullah, yang kemudian menjadi pusat perhatian masyarakat Makkah.

Banyak penduduk menentang eksekusi nazar tersebut, karena Abdullah dikenal memiliki nasab yang mulia, dan kekhawatiran muncul jika hal ini akan menjadi contoh buruk bagi generasi berikutnya.

Merangkum dari buku Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW karya Abdurrahman bin Abdul Karim, para pembesar Quraisy kemudian berusaha mencari solusi agar Abdullah tidak dikorbankan.

Mereka mendatangi seorang peramal untuk mencari jalan keluar. Sang peramal menyarankan agar diundi antara Abdullah dan unta. Setiap kali nama Abdullah terpilih, maka sepuluh unta harus disembelih sebagai gantinya.

Setelah sepuluh kali nama Abdullah terpilih dalam undian, akhirnya pada undian ke sebelas nama unta yang keluar, dan dengan demikian Abdullah terbebas dari nazar. Abdul Muthalib kemudian menyembelih 100 ekor unta sebagai ganti pengorbanan anaknya, dan dagingnya dibagikan kepada penduduk Makkah sebagai bentuk rasa syukur.

Abdullah pun tumbuh dewasa dan kelak menjadi ayah dari Nabi Muhammad SAW, sosok yang sangat dihormati dan dicintai oleh umat Islam di seluruh dunia.

Meninggalnya Abdullah Ayah Nabi Muhammad

Menurut buku Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW karya Abdurrahman bin Abdul Karim, ayah Nabi Muhammad SAW, Abdullah bin Abdul Muthalib, meninggal dalam perjalanan kafilah antara Makkah dan Madinah setelah jatuh sakit selama perjalanan tersebut.

Dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad: Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih susunan M. Quraish Shihab, disebutkan bahwa Abdullah wafat pada usia yang sangat muda, yaitu delapan belas tahun menurut riwayat yang paling populer. Namun, ada juga riwayat yang menyatakan usianya ketika wafat adalah dua puluh lima atau tiga puluh tahun.

Meskipun meninggal di usia muda, Abdullah tetap merupakan sosok penting dalam sejarah hidup Nabi Muhammad SAW.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa Abdullah wafat ketika usia kandungan Nabi Muhammad masih tiga bulan, sementara sumber lain menyebutkan enam bulan, sebagaimana dikemukakan dalam buku Jejak Intelektual Pendidikan Islam karya Zaitur Rahem dan Mengenal Mukjizat 25 Nabi karya Eka Satria P dan Arif Hidayah.

Beberapa bulan setelah kematian Abdullah, pada 12 Rabiul Awal di Tahun Gajah, Rasulullah SAW lahir, tepatnya pada hari Senin. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Kakek Rasulullah Bernazar Sembelih Satu Anaknya di Samping Ka’bah



Jakarta

Kakek Rasulullah SAW, Abdul Muthalib, pernah bernazar akan menyembelih salah satu anaknya. Saat diundi, nama yang keluar adalah Abdullah, ayah Rasulullah SAW.

Kisah ini diceritakan dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Ishaq yang disyarah dan tahqiq Ibnu Hisyam. Ibnu Ishaq menceritakan dari sebagian besar orang, nazar Abdul Muthalib itu keluar tatkala ia mendapatkan apa yang dia peroleh dari orang-orang Quraisy saat menggali sumur zamzam bahwa apabila memiliki sepuluh anak dan ia mampu melindunginya, ia akan menyembelih salah satu anaknya untuk Allah SWT. Kurban ini akan dilaksanakan di samping Ka’bah.

Ketika anak Abdul Muthalib genap sepuluh orang, ia mengumpulkan anak-anaknya untuk menjelaskan nazarnya dan mengajak menepati nazarnya itu. Anak-anak Abdul Muthalib pun menaatinya dan bertanya, “Apa yang harus kami lakukan?”


Abdul Muthalib menjelaskan, “Setiap dari kalian mengambil dadu lalu menulis namanya di atasnya, lalu tunjukkan hasilnya padaku.”

Anak-anak Abdul Muthalib lantas mengerjakan apa yang ayahnya perintahkan. Abdul Muthalib lalu mengajak anak-anaknya menuju patung Hubal di Ka’bah. Tepat di sisi patung itu ada tujuh dadu. Setiap dadu tertulis Al-‘Aqlu (diyat, denda atas darah). Dadu ini biasa digunakan orang-orang Quraisy saat berselisih tentang siapa yang berhak membayar tebusan.

Abdul Muthalib kemudian menemui penjaga dadu dan memintanya mengundi anak-anaknya. Ia juga menjelaskan tentang nazarnya. Menurut sebagian pakar, di antara sepuluh anak Abdul Muthalib, Abdullah adalah anak yang paling dicintai.

Penjaga dadu lalu mengundinya dan nama yang keluar adalah Abdullah. Abdul Muthalib kemudian memanggil Abdullah, mengambil pisau panjang, dan membawa Abdullah ke patung Isaf dan Nailah untuk disembelih.

Orang-orang Quraisy kemudian datang menemui Abdul Muthalib, menanyakan apa yang akan ia lakukan. Mendengar akan menyembelih Abdullah, orang-orang Quraisy mencegahnya.

“Demi Allah, engkau tidak boleh membunuhnya sampai kapan pun hingga engkau memberi argumen kuat atas tindakanmu itu. Jika engkau tetap ngotot menyembelihnya, pastilah setiap orang akan menyembelih anaknya. Lalu bagaimana jadinya manusia nanti?” kata orang-orang Quraisy.

Salah seorang di antara mereka bahkan akan menebusnya agar Abdul Muthalib tak menyembelih anaknya. Anak-anak Abdul Muthalib lainnya turut mencegah kurban itu. Mereka minta Abdul Muthalib menemui juru ramal di Madinah untuk memutuskan perkara ini.

Abdul Muthalib pun bertolak ke Madinah, tapi peramal itu tengah di Khaybar. Ia kemudian memacu kendaraannya ke Khaybar dan bertemu peramal itu lalu menceritakan maksud tujuannya.

Peramal wanita itu akhirnya menyarankan agar mengundi antara Abdullah dan sepuluh unta yang dijadikan diyat. Jika yang keluar atas nama Abdullah, unta harus ditambah dan diundi lagi sampai keluar nama unta. Setelah itu barulah unta yang disembelih.

Setibanya di Makkah, Abdul Muthalib menjalankan perintah peramal itu. Seraya mereka mengocok dadu, Abdul Muthalib berdoa kepada Allah SWT di sisi patung Hubal.

Undian pertama nama Abdullah yang keluar. Mereka lalu menambah sepuluh ekor unta. Undian kedua, nama Abdullah lagi yang keluar dan mereka menambah sepuluh ekor unta lalu. Undian ketiga dan seterusnya lagi-lagi nama Abdullah yang keluar. Hingga akhirnya diyat unta itu genap 100 ekor, undian yang muncul baru atas nama unta.

Orang-orang Quraisy dan yang hadir saat itu lantas berkata, “Kini tercapailah sudah keridhaan Tuhanmu, wahai Abdul Muthalib.”

Abdul Muthalib menjawab, “Tidak! Demi Allah, hingga aku mengocok kotak dadu ini hingga tiga kali.”

Abdul Muthalib kemudian mengocok dadu atas nama Abdullah dan unta. Kocokan pertama nama unta yang keluar, pun dengan kocokan kedua dan ketiga. Akhirnya, semua unta itu disembelih dan siapa pun bebas mengambil dan menikmatinya.

Menurut Ibnu Hisyam, hanya manusia yang dibiarkan mengambil daging unta itu dan bukan hewan buas.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com