Tag Archives: Abdullah bin Umar

Doa Orang Terzalimi, Benarkah Cepat Dikabulkan Allah?



Jakarta

Orang yang terzalimi memiliki keutamaan di hadapan Allah SWT. Hal ini didasarkan dalam sebuah hadits yang menyebutkan bahwa doa orang terzalimi adalah mustajab.

Hadits mengenai doa orang yang terzalimi disebutkan dalam kitab Mukhtashar Shahih Bukhari yang ditulis oleh M. Nashiruddin Al-Albani (Syekh Al-Albani) dan diterjemahkan Abdul Hayyie al-Kattani dan A. Ikhwani.

Dalam buku tersebut menjelaskan hadits yang diriwayatkan dari Aslam bahwa Umar RA menjadikan seorang budaknya yang bernama Hunay untuk menjaga himaa (tempat penggembala ternak). Umar berkata, “Wahai Hunay, janganlah kau menzalimi orang-orang muslim dan takutlah dari doa orang yang terzalimi, karena sesungguhnya doa orang yang dizalimi terkabulkan.”


Umar RA melanjutkan bicaranya, “Izinkanlah orang-orang yang hanya memiliki sedikit unta dan sedikit domba untuk masuk ke dalam himaa tersebut. Jangan utamakan ternak Ibnu Auf dan ternak Ibnu Affan. Karena jika ternak keduanya rusak, mereka dapat kembali kepada pohon-pohon kurma dan tanaman mereka.”

“Dan sesungguhnya, jika ternak milik orang-orang yang memiliki sedikit unta dan sedikit domba rusak, maka mereka mendatangi saya dengan membawa anak-anak mereka, seraya berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, wahai Amirul Mukminin, apakah saya biarkan mereka terlunta-lunta?'”

“Menyediakan air dan rerumputan lebih ringan bagi saya daripada memberikan emas dan perak. Demi Allah, sesungguhnya mereka melihat saya telah menzalimi saya. Sesungguhnya ini adalah negeri mereka. Pada masa jahiliah, mereka berperang melindunginya dan mereka masuk Islam agar tetap di dalamnya.”

“Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya bukan karena harta (unta ternak lainnya) yang saya siapkan fi sabilillah, pasti saya tidak akan menjadikan sejengkal tanah mereka sebagai himaa.” (HR Bukhari)

Selain itu, ada hadits lain yang menyebut bahwa doa orang yang terzalimi adalah mustajab. Muhammad bin Isa bin Saurah (Imam at-Tirmidzi) dalam buku Sunan at-Tirmidzi jilid 3 menyebutkan hadits berikut:

٢٠١٤ – (صحيح) حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ زَكَرِيَّا بْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَيْفِي، عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ بَعَثَ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ إِلَى الْيَمَنِ، فَقَالَ: ((اتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّهَا لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ)). وفي الْبَابِ عَنْ أَنَسٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، وَأَبِي سَعِيدٍ. وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَأَبُو مَعْبَدٍ اسْمُهُ : نَافِذُ ((صَحِيحُ أَبي دَاوُدَ)) (١٤١٢) : ق).
2014.

Artinya: (Shahih) Dari Abu Kuraib, dari Waki, dari Zakariya bin Ishaq, dari Yahya bin Abdullah bin Shaifi, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW, mengutus Mu’adz ke Yaman, dan beliau bersabda kepadanya, “Takutlah terhadap doa orang yang terzalimi karena tidak ada penghalang antara doanya itu dengan Allah.” Dalam tema ini terdapat riwayat dari Anas, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id. Ini adalah hadits hasan shahih. Nama Abu Ma’bad adalah Nafidz. (Shahiih Abu Dawud, No. 1412: Muttafaq `alaih)

Yusuf Qardhawi dalam Fiqh Al-Jihad yang diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dkk menyebutkan sebuah hadits shahih yang berisi anjuran menolong saudara yang dizalimi.

Rasulullah SAW bersabda, “Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami menolongnya karena ia dizalimi, lalu bagaimana kami menolong orang zalim?” Beliau menjawab, “Mencegahnya dari kezaliman, karena itu adalah pertolongan untuknya.”

Menolong orang yang terzalimi bukan hanya dilakukan oleh kekuasaan hukum atau pemerintah. Tetapi, hal itu merupakan perkara yang wajib bagi setiap warga negara dan organisasi masyarakat.

Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban dari mereka dan memperhitungkan pengurangan dalam memberikan hak kepada Allah. Apabila menolong orang yang terzalimi sudah bisa kita lakukan, maka langkah kita akan teguh ketika langkah manusia-manusia lain itu tergelincir.

Sebab, kezaliman itu adalah kegelapan di hari kiamat nanti. Allah telah mengharamkan kezaliman atas diri-Nya dan menjadikan kezaliman di antara kita sebagai perbuatan yang haram.

Mengutip buku Mutiara Hadis Qudsi yang ditulis oleh Ahmad Abduh Iwadh disebutkan bahwa seorang muslim harus membantu orang yang terzalimi. Apabila seseorang tidak bisa mencegah kezaliman atau tidak bisa memberikan haknya, sesungguhnya engkau tidak akan bisa menanggung beban, apabila engkau telah jatuh dalam kezaliman ini.

Oleh karena itu, hendaklah engkau membantu orang yang terzalimi, yaitu dengan cara memberinya ketegaran dengan perbuatan dan ucapan.

Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang melepaskan kesempitan dari seorang mukmin dari kesempitan dunia, niscaya Allah akan melepaskan kesempitan di hari kiamat. Dan barang siapa yang memudahkan kesulitan orang lain, niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat. Dan barang siapa yang menutup aib seorang mukmin, niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya itu menolong saudaranya. Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan tidaklah suatu kaum berkumpul di rumah Allah untuk membaca Al-Quran dan mempelajarinya, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, rahmat akan menyelimuti mereka, malaikat akan menurunkan sayapnya kepada mereka, dan Allah akan selalu mengingat mereka di sisi-Nya.” (HR Muslim)

(lus/inf)



Sumber : www.detik.com

Saat Umar bin Khattab Ingin Dimakamkan di Sisi Dua Sahabatnya



Jakarta

Umar bin Khattab dikenal sebagai sosok sahabat nabi yang sekaligus pernah menjadi khalifah. Menjelang dirinya wafat, ia punya satu permintaan yang tak ada lagi lebih penting dari hal itu. Ini kisahnya!

Menukil Kitab Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir, Umar bin Khattab memiliki julukan ‘Al-Faruq’. Ia juga diberi gelar ‘Amirul Mukminin’ saat menjabat sebagai khalifah yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW dalam persoalan kenegaraan.

Ketika memangku amanah menjadi khalifah, ia banyak menorehkan prestasi. Seperti berhasil menaklukkan banyak daerah di negeri Syam dan Irak, sehingga wilayah kekuasaan Islam meluas.


Selain itu, ia yang pertama kali membuat penanggalan Hijriah, mengumpulkan kaum muslim untuk salat Tarawih berjamaah, berkeliling untuk mengontrol rakyatnya, membentuk tentara resmi, hingga membuat undang-undang perpajakan.

Menjelang penghujung hayatnya, Umar bin Khattab sempat berdoa kepada Allah SWT untuk mengadu akan usianya yang senja dan kekuataannya yang melemah, sementara rakyatnya tersebar luas dan ia khawatir tak mampu menjalankan tugasnya dengan baik.

Sehingga berdoalah ia kepada Allah SWT supaya mewafatkannya dalam keadaan syahid dan bisa dikebumikan di Madinah. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Umar pernah berkata, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu mendapatkan syahadah (mati syahid) di atas jalan-Mu dan wafat di tanah Nabi-Mu.”

Dan benar saja, Allah SWT yang Maha Mendengar mengabulkan doa Umar bin Khattab. Dirinya wafat setelah dibunuh oleh seorang budak Majusi.

Kisah Terbunuhnya Umar bin Khattab

Masih dari Kitab Bidayah wan Nihayah, Umar bin Khattab ditikam seorang hamba sahaya Majusi bernama Abu Lu’lu’ah Fairuz, milik al-Mughirah bin Syu’bah.

Peristiwa penusukan terjadi pada waktu pagi, tepatnya tanggal 25 Dzulhijjah tahun 23 Hijriah, ketika dirinya memimpin salat Subuh berjamaah. Setelah kejadian, Umar tersungkur dan menunjuk Abdurrahman bin Auf agar menggantikannya menjadi imam salat.

Kemudian Abu Lu’lu’ah berlari ke belakang sambil menikam orang-orang yang dilaluinya. Sebanyak 13 orang terluka dan enam orang dari mereka tewas. Saat itu, ada seseorang yang melemparkan humus (baju panjang) kepada Abu Lu’lu’ah supaya ia terjerat. Tetapi Abu Lu’lu’ah terlanjur bunuh diri.

Darah Umar bin Khattab yang kala itu mengalir deras dari luka tusuk, membuat dirinya segera dibawa pulang ke rumah.

Ketika mengetahui bahwa seorang budak Majusi yang menikamnya, Umar berkata, “Semoga Allah memberikan kejelekan baginya, kami telah menyuruhnya suatu perkara yang baik.”

Kemudian Umar bin Khattab mewasiatkan agar penggantinya (seorang khalifah) dimusyawarahkan oleh enam orang yang Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepada mereka, yakni Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, az-Zubair, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqash.

Umar bin Khathab berwasiat kepada orang yang akan menggantikannya untuk berbuat yang terbaik kepada seluruh manusia dengan berbagai tingkatan mereka.

Akhirnya, Umar bin Khattab wafat tiga hari setelah peristiwa penikaman itu. Ia dimakamkan pada hari Ahad, awal Muharram tahun 24 H.

Umar Minta Izin Dikebumikan di Sisi Dua Sahabatnya

Saat Umar bin Khattab dalam keadaan terluka berdarah-darah setelah peristiwa penikaman, dirinya menyuruh Abdullah bin Umar, putranya, untuk mendatangi Ummul Mukminin Aisyah di rumahnya.

Umar berujar, “Berangkatlah engkau sekarang ke rumah Aisyah Ummul Mukminin dan katakan, ‘Umar bin Khattab menyampaikan salam kepadanya dan jangan kau katakan salam dari Amirul Mukminin. Sebab sejak hari ini, aku tidak lagi menjadi Amirul Mukminin, katakan kepadanya bahwa Umar bin Khattab minta izin agar dapat dimakamkan di samping dua sahabatnya.”

Maka pergilah Abdullah bin Umar ke rumah Aisyah, dan segera mengucapkan salam untuk izin masuk ke dalam. Ternyata didapati Aisyah sedang duduk menangis.

Abdullah bin Umar berkata, “Umar bin Khattab mengucapkan salam untukmu dan ia meminta izin agar dapat dikebumikan di sisi kedua sahabatnya.”

Aisyah menjawab, “Sebenarnya aku menginginkan agar tempat tersebut menjadi tempatku kelak jika mati, tetapi hari ini aku harus mengalah untuk Umar bin Khattab.”

Ketika Abdullah bin Umar kembali, maka ada seorang yang mengatakan, “Lihatlah Abdullah bin Umar telah datang.” Kemudian Umar bin Khattab berkata, “Angkatlah aku.”

Salah seorang menyandarkan Umar bin Khattab ke tubuh anaknya, Abdullah bin Umar. Umar lalu bertanya kepada putranya, “Apa berita yang engkau bawa?” Ia menjawab, “Sebagaimana yang engkau inginkan, wahai Amirul Mukminin. Aisyah telah mengizinkan dirimu.”

Maka Umar berkata, “Alhamdulillah, tidak ada yang lebih penting bagiku selain dari itu. Jika aku wafat maka bawalah jenazahku ke sana dan katakan, ‘Umar bin Khattab minta izin untuk dapat masuk.’ Jika ia (Aisyah) memberikan izin maka bawalah aku masuk, tetapi jika ia menolak, maka bawalah jenazahku ke pemakaman kaum muslimin.”

Tak lama Umar bin Khattab menemui ajalnya, maka kaum muslim yang hadir kala itu keluar membawa jenazahnya menuju rumah Aisyah. Abdullah bin Umar mengucapkan salam sambil berkata, ‘Umar bin Khattab meminta izin agar dapat masuk.”

Aisyah menjawab, “Bawalah ia masuk.” Kemudian jenazah Umar bin Khattab dibawa masuk dan dimakamkan di tempat itu bersama kedua sahabatnya, yakni Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Diketahui semasa hidupnya Umar bin Khattab sangat dekat dengan Nabi SAW, begitu juga bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib pernah menuturkan kepada Umar, yang dinukil dari sumber yang sama:

“Demi Allah, aku merasa yakin bahwa Allah akan mengumpulkanmu dengan kedua sahabatmu (Nabi SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq). Aku banyak mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku berangkat bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, aku masuk bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, aku keluar bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.”

Akhirnya, Umar bin Khattab dikubur di kamar Nabi Muhammad SAW, di samping Abu Bakar Ash-Shiddiq, setelah mendapat izin dari Ummul Mukminin, Aisyah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com