Tag Archives: Abu Dawud

Doa Bangun Tidur dan Artinya yang Bisa Diamalkan


Jakarta

Bangun tidur adalah momen di mana kita kembali dari istirahat panjang di malam hari. Dalam Islam, tidur dianggap sebagai bentuk “kematian sementara,” sehingga saat bangun dari tidur, dianjurkan untuk mengucapkan doa sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT.

Tidur adalah karunia Allah yang sangat berharga. Setelah lelah beraktivitas, tidur memberikan kesempatan bagi tubuh untuk beristirahat dan memulihkan energi. Seperti yang Allah firmankan dalam surah Ar-Rum ayat 23:

وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ


Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan”

Membiasakan membaca doa bangun tidur adalah salah satu bentuk dzikir harian yang sangat dianjurkan. Selain memperkuat hubungan kita dengan Allah SWT, doa ini juga memberikan energi positif di awal hari. Dengan memulai hari dengan mengingat Allah, hati kita akan terasa lebih tenang, dan langkah kita akan terasa lebih terarah.

Doa Bangun Tidur: Arab, Latin dan Terjemahannya

Doa bangun tidur memiliki makna mendalam yang mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas nikmat hidup yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam buku karya Abu Ihsan yang berjudul Penuntun Doa, Yuk!, doa yang dapat diucapkan saat bangun tidur adalah sebagai berikut:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ

Arab latin: Alhamdullillahilladzi ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wailaihin nusyuur

Artinya: “Segala puji bagi Allah, yang telah membangunkan kami setelah menidurkan kami, dan kepada-Nya lah kami dibangkitkan.”

Adab Bangun Tidur

Selain membaca doa, ada beberapa adab lain yang dianjurkan setelah bangun tidur. Mengutip sumber yang sama, berikut adalah beberapa adab yang dapat diterapkan:

  • Membaca istighfar sebanyak tiga kali.
  • Membaca syahadat.
  • Membaca doa bangun tidur.
  • Menghindari mengusap tangan ke mata, karena tangan yang kurang bersih dapat menyebabkan mata gatal atau sakit.
  • Segera bangun dan hindari bermalas-malasan.
  • Melaksanakan sholat Subuh tepat waktu.
  • Merapikan tempat tidur dan menjaga kebersihan kamar.

Doa sebelum Tidur

Sebelum tidur, umat Islam juga dianjurkan untuk membaca doa. Berikut doa yang dikutip dari buku 100 Doa Harian Untuk Anak karya Nurul Ihsan.

Doa Pendek Sebelum Tidur

بِسْمِكَ اللّهُمَّ اَحْيَا وَ بِسْمِكَ اَمُوْتُ

Arab latin: Bismika allahumma ahyaa wa bismika amuut.

Artinya: “Dengan nama-Mu ya Allah, aku hidup dan aku mati.” (Sahih Bukhari, At-Tauhid: 6845)

Doa Panjang Sebelum Tidur

Selain doa pendek, terdapat pula doa sebelum tidur yang lebih panjang. Berikut lafadz lengkapnya:

للَّهُمَّ أَسْلَمْتُ إِلَيْكَ وَوَجَّهْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِى إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرى إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لاَ مَلْجَأَ وَلَا مَنْحَى مِنْكَ إِلا إِلَيْكَ، أَمَنْتُ بكتابكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ

Arab latin: Allahuma aslamtuilaika wawajjahtuwajhii ilaika, wafawwadhtuamrii ilaika waalja’tudzahrii ilaika raghbatan waraghbatan ilaika laa maljaawalaa manjaa minka illa ilaika amantu bikitaabikalladzii anzaita wabinabiyyikalladzi arsalta

Artinya : “Ya Allah, aku berserah diri kepada-Mu. Aku menghadapkan wajahku kepada-Mu. Aku menyerahkan segala urusanku kepada-Mu. Aku menyandarkan punggungku kepada-Mu lantaran mengharap dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari ancaman-Mu kecuali hanya kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang Kau turunkan juga (aku beriman) kepada nabi-Mu yang Kau utus.” (HR Muslim, Bukhari dan Abu Dawud)

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Amalan Sederhana Imam Ghazali Lewat Seekor Lalat



Jakarta

Ada amalan sederhana yang dilakukan ulama besar Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ath-Thusi asy-Syafi’i al-Ghazali atau yang masyhur dikenal dengan Imam Ghazali. Amalan sederhana ini menjadi bekalnya saat menghadap Allah SWT yang dikabarkan lewat mimpinya.

Kisah ini termaktub dalam Nashaihul ‘Ibad karangan Syekh Nawawi Al Bantani yang diterjemahkan A R Shohibul Ulum. Imam Ghazali menceritakan mimpinya menerima deretan pertanyaan tentang keimanannya.

Hingga akhirnya sang ahli tasawuf ini ditanyai bekal apa yang dibawanya sebelum menghadap Allah SWT. Ia pun ini lantas menyebutkan seluruh amal kebaikan yang pernah diperbuatnya selama di dunia.


Pengarang kitab Ihya’ Ulumuddin mengatakan ternyata amalan-amalan tersebut tertolak Allah SWT sampai ia menyebutkan satu amal sederhana yang pernah dilakukannya. Amalan itu adalah menolong seekor lalat.

M Ghofur Al Lathif dalam buku Hujjatul Islam Al Ghazali menjelaskan, pertolongan yang dimaksud kepada lalat tersebut adalah tidak membunuh hewan itu saat hewan itu sedang minum.

Saat itu, Imam Ghazali tengah menulis sebuah kitab. Tiba-tiba ada seekor lalat yang hinggap di ujung pena yang digunakannya untuk menulis.

Imam Ghazali lantas menghentikan kegiatannya. Ia menunggu dan membiarkan lalat tersebut hingga benar-benar puas meminum dan menyerap isi tinta miliknya.

“Al Ghazali pun merasa kasihan lantas berhenti menulis untuk memberi kesempatan si lalat melepas dahaga dari tintanya,” demikian keterangan buku terbitan Araska tersebut.

Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk menyayangi hewan. Orang-orang yang menyayangi hewan pada posisi yang mulia di sisi Allah SWT.

Landasan ini bersumber dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda,

اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى اِرْحَمُوْا مَنْ فِى الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَآءِ

Artinya: “Orang-orang yang ada rasa Rahim akan dirahmati oleh Tuhan yang maha Rahman, yang memberikan berkat dan Mahatinggi, sayangilah makhluk yang ada di muka bumi, niscaya engkau akan disayangi makhluk yang ada di langit.” (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan al Hakim)

(rah/kri)



Sumber : www.detik.com

Bolehkah Wanita Haid Ziarah Kubur dan Membaca Al Fatihah?


Jakarta

Bolehkah wanita haid ziarah kubur dan membaca Al-Fatihah? Pertanyaan ini mungkin pernah terlintas di benak banyak wanita Muslim. Apalagi saat keluarga atau kerabat mengadakan ziarah kubur.

Artikel ini akan membahas pandangan ulama dan penjelasan seputar hukum ziarah kubur bagi wanita yang sedang haid.

Hukum Wanita Berziarah Kubur

Dari buku Fiqih Wanita Edisi Lengkap tulisan M. Abdul Ghoffar E.M, hukum wanita berziarah kubur dijelaskan dalam beberapa hadits. Dalam sebuah riwayat, Abdullah bin Abi Mulaikah bercerita:


“Pada suatu hari, Aisyah pernah datang dari kuburan. Lalu aku bertanya kepadanya: ‘Wahai Ummul Mukminin, dari mana engkau?’ Aisyah menjawab: ‘Dari kuburan saudaraku, Abdurahman.’ Kemudian kutanyakan lagi: ‘Bukankah Rasulullah melarang ziarah kubur?’ Aisyah menjawab: ‘Benar, beliau pernah melarang ziarah kubur, akan tetapi kemudian beliau menyuruhnya.'” (HR. Al-Hakim dan Baihaqi. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW awalnya melarang ziarah kubur, tetapi kemudian membolehkannya. Hal ini diperkuat oleh sabda Rasulullah SAW:

“Kami pernah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah. Karena, dalam menziarahinya terdapat peringatan.” (HR. Abu Dawud)

Hadits tersebut menegaskan bahwa ziarah kubur dianjurkan karena mengingatkan manusia akan kematian dan akhirat. Jika ziarah kubur dimakruhkan, tentu Rasulullah SAW tidak akan menganjurkannya.

Namun, terdapat hadits lain yang berbunyi:

“Allah melaknat wanita-wanita yang berziarah kubur.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi)

Sebagian ulama menggunakan hadits ini untuk memakruhkan ziarah kubur bagi wanita. Menanggapi hal tersebut, Imam Al-Qurthubi menjelaskan:

“Bahwa laknat dalam hadits tersebut hanya ditujukan bagi wanita-wanita yang sering berziarah kubur. Karena, dianggap sebagai berlebih-lebihan dan bahkan mungkin hal itu akan mengakibatkan kaum wanita melupakan hak suaminya. Di sisi lain, ia lebih mengutamakan tabarruj (bersolek).”

Selain itu, hadits dari Abu Hurairah juga menjelaskan keutamaan ziarah kubur. Abu Hurairah meriwayatkan:

“Rasulullah pernah mendatangi kuburan ibunya, lalu beliau menangis. Maka orang-orang di sekitarnya pun ikut menangis. Selanjutnya beliau berkata: ‘Aku telah meminta izin kepada Allah untuk memohonkan ampun baginya, tetapi Dia tidak mengizinkan aku. Lalu aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, dan Dia mengizinkannya. Oleh karena itu, berziarahlah karena hal itu dapat mengingatkan kalian akan akhirat.'” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini menunjukkan bahwa ziarah kubur memiliki manfaat penting, yaitu mengingatkan manusia akan kehidupan akhirat.

Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa ziarah kubur diperbolehkan bagi wanita, asalkan dilakukan dengan niat yang benar, tidak berlebihan, dan menghindari perbuatan yang dilarang.

Bolehkah Wanita Haid Ziarah Kubur dan Membaca Al Fatihah?

Terkait dengan wanita haid yang ingin melakukan ziarah kubur dan membaca Al-Fatihah, mayoritas ulama membolehkan wanita haid untuk melakukan ziarah kubur.

Hal ini karena ziarah kubur bukanlah ibadah yang mensyaratkan kesucian seperti shalat atau thawaf. Tujuan utama dari ziarah kubur adalah untuk mengingat kematian dan akhirat, yang juga relevan bagi wanita haid.

Mengenai membaca Al-Fatihah atau ayat-ayat Al-Qur’an lainnya, Buya Yahya menjelaskan melalui kanal Youtube Al Bahjah TV, bahwa dibolehkan wanita haid membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, terutama jika bacaan tersebut dimaksudkan sebagai zikir.

“Selagi ayat tersebut digunakan untuk berzikir, maka diperkenankan.” ungkap Buya Yahya.

Jadi, wanita haid tetap bisa melakukan ziarah kubur dan membaca ayat Al-Qur’an seperti surah Al Fatihah sebagai bentuk zikir, perlindungan dari setan, dan pengingat akan kematian serta akhirat

Bacaan Ziarah Kubur Lainnya untuk Wanita

Selain berzikir dengan ayat-ayat suci Al-Qur’an, terdapat bacaan lain yang juga dapat diucapkan saat berziarah kubur.

Dalam buku Fiqh Wanita Empat Mazhab Fatwa-fatwa Fiqh Wanita Kontemporer susunan Dr. Muhammad Utsman al-Khasyat, bahwa Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits dimana Rasulullah SAW mengajari Aisyah mengenai ucapan saat berziarah kubur. Aisyah bertanya:

“Apa yang harus aku ucapkan kepada mereka (penghuni makam kaum Muslimin), wahai Rasulullah?”

Beliau bersabda:

“Ucapkanlah: Semoga kesejahteraan senantiasa dilimpahkan kepada para penghuni makam dari kalangan kaum mukminin dan kaum muslimin. Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada kita, baik yang wafat lebih dahulu maupun yang masih hidup. Sesungguhnya kami, insya Allah, akan menyusul kalian.”

(inf/lus)



Sumber : www.detik.com

Kenapa Jumlah Kain Kafan Wanita Lebih Banyak dari Laki-laki?



Yogyakarta

Mengkafani jenazah menjadi kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya yang meninggal dunia. Sebelum mengkafani jenazah, umat muslim perlu mengetahui jumlah kain kafan yang harus digunakan.

Mengutip dari Kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid Jilid 1 karya Ibnu Rusyd, para jumhur ulama menyatakan bahwa kain kafan wanita jumlahnya lebih banyak dari laki-laki. Mengapa begitu?

Alasan Kain Kafan Wanita Jumlahnya Lebih Banyak

Masih dalam sumber yang sama, kain kafan wanita jumlahnya lebih banyak karena aurat yang harus ditutupi juga lebih banyak. Pada dasarnya, wanita dalam Islam disyariatkan untuk menutup aurat dalam berpakaian sehingga ketika meninggal dunia pun jumlah kain kafan yang digunakan lebih banyak dari jenazah laki-laki.


Jumhur ulama menentukan jumlah kain kafan bagi jenazah laki-laki sebanyak tiga lapis kain, sementara jenazah wanita sebanyak lima lapis kain. Hal tersebut didasarkan pada sebuah riwayat yang menceritakan ketika jenazah Rasulullah SAW dikafani:

أَنَّ الرَّسُوْلَ اللهِ ﷺ كُفِنَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابِ بِيْضٍ سَحُوْلِيَّةٍ لَيْسَ فِيْهَا قَمِيْصُ وَلَا عِمَامَةٌ

Artinya: “Sesungguhnya jenazah Rasulullah SAW dikafani dengan tiga lapis kain putih, tanpa gamis dan sorban.” (HR Bukhari dan Muslim).

Sementara itu, banyaknya kain wanita didasarkan pada hadits riwayat Abu Dawud yang bersumber dari Laila binti Qa’if Ats Tsaqafiyyah, ia berkata:

كُنْتُ فِيْمَنْ غَسَّلَ أُمَّ كُلِّقَوْمٍ بِنْتَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَكَانَ أَوَّلُ مَا أَعْطَانِي رَسُولُ اللهِ ﷺ الْحِقْوَ، ثُمَّ الدَّرْعَ، ثُمَّ الْخِمَارَ، ثُمَّ الْمِلْحَفَةَ، ثُمَّ أُدْرِجَتْ بَعْدُ فِي التَّوْبِ الْآخَرِ، قَالَتْ: وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ جَالِسٌ عِنْدَ الْبَابِ مَعَهُ أَكْفَانُهَا، يُنَاوِلُنَاهَا ثَوْبًا ثَوْبًا

Artinya: “Aku termasuk orang yang turut memandikan jenazah Ummu Kultsum, putri Rasulullah SAW. Pertama kali yang diberikan oleh Rasulullah kepadaku ialah kain sarung, lalu jubah untuk perempuan, lalu kerudung panjang, lalu selimut. Kemudian setelah itu aku memasukkannya pada lapis kain yang terakhir,” kata Laila binti Qa’if, saat itu Rasulullah SAW duduk di dekat pintu sambil memegang kafan-kafan untuk putrinya, lalu kami menerima kafan-kafan tersebut satu persatu.” (HR Abu Dawud).

Sunah dalam Mengkafani Jenazah

Berdasarkan buku Terjemahan Majmu Syarif karya Ust. Muiz al-Bantani, beberapa sunah dalam mengkafani jenazah yang perlu dipahami umat muslim, yaitu sebagai berikut.

1. Kain kafan yang digunakan hendaknya kain kafan yang bagus, bersih, dan menutupi seluruh tubuh mayat.

2. Kain kafan hendaknya berwarna putih.

3. Jumlah kain kafan untuk mayat laki-laki hendaknya 3 lapis, sedangkan mayat perempuan 5 lapis.

4. Sebelum kain kafan digunakan untuk membungkus atau mengkafani jenazah, hendaknya diberi wangi-wangian terlebih dahulu.

5. Tidak berlebih-lebihan dalam mengkafani jenazah.

Cara Mengkafani Jenazah Wanita

Dilansir dari buku Fikih Madrasah Aliyah Kelas X karya Harjan Syuhada, kain kafan wanita terdiri atas 5 lembar kain putih dengan penggunaan sebagai berikut:

· Lembar pertama yang paling bawah digunakan untuk menutupi seluruh badan dan kain ini paling lebar di antara lainnya.

· Lembar kedua sebagai kerudung kepala.

· Lembar ketiga sebagai baju kurung.

· Lembar keempat untuk menutup pinggang hingga kaki.

· Lembar kelima untuk menutup pinggul dan pahanya.

Adapun cara mengkafani jenazah perempuan, yaitu:

1. Susun kain kafan yang telah dipotong-potong untuk masing-masing bagian dengan tertib. Angkatlah jenazah dalam keadaan tertutup dengan kain dan letakkan di atas kain kafan sejajar serta taburi dengan wangi-wangian atau dengan kapur barus.

2. Tutup lubang-lubang yang mungkin masih mengeluarkan kotoran dengan kapas.

3. Tutupkan kain pembungkus pada kedua pahanya.

4. Pakaikan sarung (cukup disobek saja, tidak dijahit).

5. Pakaikan baju kurungnya (cukup disobek, tidak dijahit).

6. Dandani rambutnya lalu julurkan ke belakang.

7. Pakaikan tutup kepalanya (kerudung).

8. Bungkus dengan lembar kain terakhir dengan cara menemukan kedua ujung kain kiri dan kanan lalu digulung ke dalam. Setelah itu, ikat dengan sobekan pinggir kain kafan yang setelahnya telah disiapkan di bagian bawah kain kafan, tiga atau lima ikatan. Tali ikatan ini akan dilepaskan setelah mayat dibaringkan di liang lahat.

Demikian penjelasan kenapa kain kafan wanita jumlahnya lebih banyak dari laki-laki beserta cara mengkafaninya, semoga bermanfaat.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Nama Anak Laki-laki Islami yang Disukai Allah SWT, Apa Itu?



Jakarta

Ketika hendak memberi nama kepada anak yang baru lahir, orang tua tentu menginginkan nama terbaik serta memiliki arti bagus. Adapun Nabi SAW dalam sabdanya mengungkap sejumlah nama indah dalam Islam, dan bahkan ada yang paling disukai oleh Allah SWT.

Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar menyebutkan bahwa sunnah hukumnya untuk menamakan bayi pada hari ketujuh setelah kelahirannya. Hal ini didasarkan pada hadits Samurah bin Jundub, Rasulullah SAW menuturkan:

كُل غُلَامٍ رَهِيِّنٌ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَيُخْلَقُ، وَيُسَمَّى


Artinya: “Setiap anak (yang baru lahir) tergadaikan oleh akikahnya yang disembelih untuknya pada hari ketujuh, lalu dicukur dan diberi nama.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa’i & Tirmidzi)

Dalam riwayat dari Amr ibn Syuaib, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِتَسْمِيَةِ الْمَوْلُودِ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَوَضْعِ الْأَذَى عَنْهُ، وَالعَقِّ

Artinya: “Nabi SAW memerintahkan untuk memberi nama bayi yang baru lahir pada hari yang ketujuh, begitu pula melenyapkan kotoran dan menakikahinya.” (HR Tirmidzi)

Selain kesunnahan menamai anak pada hari ketujuh, para orang tua juga dianjurkan untuk memberi nama yang bermakna baik kepada buah hatinya. Sebagaimana dalam hadits dari Abu Darda, Rasulullah SAW bersabda:

فَأَحْسِنُوا آبَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ بِأَسْمَائِكُمْ الْقِيَامَةِ يَوْمَ تُدْعَوْنَ إِنَّكُمْ أَسْمَاءَ كُمْ

Artinya: “Sesungguhnya kalian akan dipanggil di hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama ayah kalian, karena itu perbaguslah nama-nama kalian.” (HR Abu Dawud)

Mengutip pendapat Ibnul Qayyil dalam buku Kado Pernikahan oleh Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, ia berkata, “Sebagian orang yang tidak mengerti gegabah dalam memberi nama anak-anak mereka. Oleh karena itu, Nabi SAW memberi petunjuk kepada umatnya untuk mencegah mereka dari memperdengarkan apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya agar mereka tidak memberi anak-anak mereka nama yang tidak sesuai dengan yang mereka inginkan sehingga belakangan mendatangkan kerusakan.”

Lebih lanjut Ibnul Qayyim mengemukakan, “Memberi nama yang baik kepada anak mengandung harapan agar si anak mendapatkan kebaikan dalam hidupnya.”

Nama-nama yang Paling Dicintai Allah SWT

Rasul SAW mengemukakan dua nama yang Allah SWT paling sukai dalam haditsnya dari Ibnu Umar, mengutip dari Kitab Adab: Seri Mukhtasar Shahih Muslim oleh Imam Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi An-Naisaburi. Nabi SAW berkata:

إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ

Artinya: “Sesungguhnya nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR Muslim)

Untuk nama “Abdullah” artinya hamba Allah SWT, sedang “Abdurrahman” berarti hamba Yang Maha Pengasih.

Dalam beberapa riwayat juga dikatakan bahwa Nabi SAW kerap menamai anak dari orang yang menemuinya dengan Abdullah atau Abdurrahma. Seperti halnya yang diceritakan oleh Urwah bin Zubair dan Fatimah binti Mundzir bin Zubair, mereka berkata:

“Suatu ketika Asma binti Abu Bakar keluar untuk berhijrah. Kebetulan saat itu ia sedang mengandung Abdullah bin Zubair. Sesampainya di Quba, ia pun melahirkan bayinya di sana.

Setelah melahirkan, ia pun pergi menemui Rasulullah SAW agar beliau berkenan mentahnik bayi lelakinya itu. Lalu beliau mengambil bayi tersebut dan meletakkannya dalam pangkuan beliau. Setelah itu, beliau meminta kurma.

Aisyah berkata, ‘Kami harus mencarinya beberapa saat sebelum akhirnya kami temukan.’ Tak lama kemudian Rasulullah SAW mulai mengunyah kurma itu dan meludahkannya ke dalam mulut si bayi, hingga yang pertama-tama masuk ke dalam perutnya adalah ludah beliau.

Selanjutnya, Aisyah berkata, ‘Kemudian Rasulullah SAW mengusap, mendoakan, dan memberinya nama Abdullah.’

Saat berumur tujuh atau delapan tahun, anak lelaki itu datang untuk berbaiat kepada Rasulullah SAW. Ayah anak itulah, yakni Zubair, yang telah menganjurkannya seperti itu. Rasulullah SAW lalu tersenyum bangga saat melihat anak itu datang menghadap beliau untuk berbaiat, maka kemudian beliau membaiatnya.” (HR Muslim)

Dalam riwayat lainnya dari Jabir bin Abdullah, ia berujar: “Suatu ketika ada salah seorang di antara kami yang mempunyai bayi lelaki dan diberi nama Qasim.

Lalu kami pun berujar, ‘Kami tidak akan memberikan julukan kepadamu Abu Qasim dan kami tidak senang dengan nama anaknya itu.’

Kemudian orang tersebut membawa bayinya kepada Rasulullah SAW seraya menceritakan kepada beliau tentang apa yang telah dialaminya. Maka Rasulullah SAW bersabda, Berilah anakmu nama Abdurrahman.’ (HR Muslim)

Nama-nama yang Dianjurkan dalam Hadits Nabi SAW

Selain kedua nama tersebut, Rasul SAW dalam sabdanya juga menyatakan bahwa nama dirinya bagus untuk menamai anak. Tetapi setelah memakai namanya, tidak diperkenankan untuk memanggil pula dengan julukan milik beliau.

Anas bin Malik meriwayatkan, ia berkata: “Ada seseorang yang memanggil seorang lelaki di Baqi, ‘Hai Abu Qasim!’ maka Rasulullah SAW langsung berpaling kepada orang yang memanggil itu. Lalu orang tersebut segera berkata, ‘Ya Rasulullah, saya tidak bermaksud memanggil engkau. Sebenarnya yang saya panggil itu adalah si fulan.’ Kemudian Rasulullah SAW pun berkata, ‘Berilah nama dengan namaku, tapi jangan memberi julukan dengan julukanku!.’ (HR Muslim)

Nama lainnya yang baik diungkapkan dalam hadits riwayat Wahb Al-Jusyami, yang dilansir dari kitab Al-Adzkar. Ia mengatakan bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

تَسَمَّوْا بِأَسْمَاءِ الْأَنْبِيَاءِ، وَأَحَبُّ الْأَسْمَاءِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، وَأَصْدَقْهَا : حَارِثٌ وَهَمَّامٌ، وَأَقْبَحُهَا: حَرْبٌ وَمُرَّةً

Artinya: “Pakailah oleh kalian nama-nama para nabi, dan nama yang paling disukai oleh Allah itu ialah Abdullah dan Abdur Rahman. Dan nama yang paling baik ialah Harits dan Hammam, sedangkan nama yang paling buruk ialah Harb dan Murrah.” (HR Abu Dawud)

Dari hadits tersebut, nama yang boleh digunakan adalah nama-nama para nabi, nama “Abdullah” dan “Abdurrahman”, nama “Harits” serta “Hammam”. Sementara nama buruk yang tidak diperbolehkan menamai anak yakni; Harb dan Murrah.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com