Tag Archives: Abu Hanifah

Bolehkah Muslim Mengonsumsi Daging Kuda, Halal atau Haram?



Jakarta

Daging kuda dikenal memiliki manfaat untuk meningkatkan vitalitas dan stamina. Namun, di Indonesia, konsumsi daging kuda masih tergolong langka. Sebab umumnya, kuda lebih sering dimanfaatkan sebagai hewan tunggangan atau penarik delman, bukan untuk dikonsumsi.

Meski begitu, di beberapa daerah seperti Makassar, daging kuda tetap dijual dan bahkan diolah menjadi sup. Lantas, bagaimana hukum mengonsumsi daging kuda dalam Islam?

Dalam buku Halal atau Haram? Kejelasan Menuju Keberkahan, Ahmad Sarwat menjelaskan bahwa para ulama memiliki pendapat yang beragam terkait hukum makan daging kuda. Sebagian besar membolehkannya, sebagian menilai makruh, dan ada pula yang mengharamkannya.


Mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Hanbali, dan pendapat kuat (rajih) dalam mazhab Maliki bersepakat bahwa daging kuda halal dikonsumsi. Mereka merujuk pada beberapa hadits sahih:

“Rasulullah SAW saat Perang Khaibar melarang makan daging keledai peliharaan dan membolehkan makan daging kuda.” (HR. Bukhari dan Muslim – dari Jabir RA)

“Kami pernah menyembelih kuda di masa Rasulullah SAW, lalu kami memakannya saat berada di Madinah.” (HR. Bukhari dan Muslim – dari Asma’ binti Abu Bakar RA)

Sementara itu, ulama dari mazhab Hanafi memandang bahwa meskipun daging kuda halal, namun kurang disukai atau makruh untuk dikonsumsi. Bahkan sebagian dari mereka, khususnya berdasarkan riwayat dari Al-Hasan bin Ziyad dalam mazhab Abu Hanifah, mengharamkannya.

Pendapat yang mengharamkan ini juga muncul dari sebagian kecil ulama Maliki. Alasan mereka, kuda dianggap sebagai hewan yang memiliki peran penting dalam peperangan dan alat transportasi, sehingga tidak layak untuk disembelih dan dimakan.

Namun menurut penjelasan Majelis Ulama Indonesia (MUI), daging kuda tetap halal dikonsumsi. Meski ada riwayat yang menyebut Rasulullah SAW sempat melarangnya, larangan itu bersifat sementara karena saat itu kuda dibutuhkan sebagai kendaraan perang.

MUI menegaskan bahwa tidak ada dalil yang secara tegas (sharih) melarang konsumsi daging kuda. Selain itu, kuda tidak termasuk dalam kategori hewan yang diharamkan seperti binatang buas, hewan menjijikkan (khabaits), pemakan najis (jallalah), atau hewan bertaring yang digunakan untuk memangsa.

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com

Pasangan Sesama Jenis di Aceh Dihukum Cambuk, Ini Ketentuannya dalam Islam


Jakarta

Pasangan sesama jenis dikenakan hukum cambuk di Banda Aceh. Eksekusi kedua pemuda berinisial QH dan RA itu berlangsung di Taman Bustanussalatin (Taman Sari) Banda Aceh, Selasa (26/8/2025).

Dilansir laporan detikSumut, keduanya menjalani hukuman bersama delapan terpidana lain. Pencambukan dihentikan setiap hitungan 10 karena petugas medis memeriksa kesehatan dan menanyakan kesanggupan yang dicambuk.

QH dicambuk terakhir kali dan terlihat mengangkat tangan sesekali sehingga algojo menghentikan cambukan. Usai dicek kondisi kesehatan dan diberi air mineral, QH kembali dicambuk dengan rotan. Pria tersebut sempat menangis dan sujud pada cambukan terakhir.


“Keduanya divonis masing-masing 80 kali namun setelah dikurangi tahanan terpidana dicambuk 76 kali,” ungkap Kasi Pidum Kejari Banda Aceh Isnawati kepada wartawan.

Pendapat Ulama tentang Hukuman bagi Pelaku Homoseksual

Diterangkan dalam buku Rekonstruksi Epistemologi Hukum Keluarga Islam yang disusun Imron Rosyadi, para ulama sepakat atas keharaman menyukai sesama jenis dan tergolong pada perbuatan keji atau fahisyah. Tindakan tersebut menimbulkan kerusakan sosial terutama moral. Al-Qur’an mengecam perilaku homoseksual yang pernah terjadi pada zaman Nabi Luth AS.

Terdapat banyak perbedaan pendapat terkait bentuk hukuman yang diberikan kepada pelaku homoseksual. Namun, secara garis besar terdapat tiga hukuman yang diberikan kepada mereka.

Pertama, pelaku homoseksual harus dirajam secara mutlak tanpa mempertimbangkan apakah sudah menikah atau belum. Ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, Ishaq bin Rahawaih dan al-Sya’bi. Ibnu Qudamah dalam Al Mughni juga mengatakan bahwa Imam Hambali dan Imam Syafi’i berpendapat demikian.

Kedua, hukuman bagi pelaku homoseksual disamakan dengan hukuman zina. Apabila mereka sudah menikah, maka dihukum rajam sedangkan jika belum maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Tidak ada perbedaan hukuman antara pelaku homoseksual maupun lesbian.

Ketiga, pelaku penyuka sesama jenis cukup dikenakan ta’zir bukan hadd zina. Abu Hanifah berpandangan bahwa homoseksual tak dapat dikenakan hukuman yang sama dengan hadd zina karena terdapat perbedaan antara zina dan homoseksual.

Pada konteks homoseksual tidak ditemukan unsur ketidakjelasan nasab sebagaimana diakibatkan perbuatan zina. Demikian juga dalam homoseksual tidak melahirkan mudarat yaitu tersia-siakannya anak karena hubungan mereka tidak melahirkan keturunan.

Berangkat dari alasan tersebut, Abu Hanifah berpendapat hukuman bagi pelaku homoseksual adalah ta’zir yang pengaturan lebih lanjutnya diserahkan kepada pemerintah.

Sejalan dengan itu, berdasarkan Fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 tentang LGBT ditegaskan pelaku sodomi baik lesbian maupun gay hukumnya haram dan merupakan bentuk kejahatan. Mereka dikenakan hukuman ta’zir yang tingkat hukumannya bisa maksimal yaitu sampai pada hukuman mati.

Dalam hal korban kejahatan homoseksual, sodomi dan pencabulan anak-anak maka pelakunya dikenakan pemerataan hukuman hingga hukuman mati.

Larangan Menyukai Sesama Jenis dalam Islam

Menukil dari buku Akidah Akhlak oleh Toto Edidarmo dkk, perilaku seks menyimpang dilarang dalam agama Islam dan termasuk dosa besar. Larangan menyukai sesama jenis dalam Islam tercantum dalam sejumlah dalil, salah satunya surah Al A’raf ayat 80-82,

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِۦٓ أَتَأْتُونَ ٱلْفَٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ ٱلْعَٰلَمِينَ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ ٱلرِّجَالَ شَهْوَةً مِّن دُونِ ٱلنِّسَآءِ ۚ بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِۦٓ إِلَّآ أَن قَالُوٓا۟ أَخْرِجُوهُم مِّن قَرْيَتِكُمْ ۖ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ

Artinya: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.”

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

Doa Perjalanan Jauh, Bisa Dibaca Saat Mudik Lebaran



Jakarta

Selain menyiapkan perbekalan, mematuhi adab bepergian, dan juga menjaga diri, seorang musafir perlu berdoa kepada Allah SWT. Tujuannya agar perjalanan diberkahi dan dapat menjadi amalan yang baik untuknya, termasuk saat mudik ke kampung halaman.

Allah telah berfirman Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 186 bahwa Ia menyukai hamba-hamba-Nya yang mau berdoa dan memohon kepada-Nya,

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ


Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.

Bacaan Doa Perjalanan Jauh

Dinukil dari buku Doa & Zikir Mustajab untuk Muslimah oleh H. Muhammad Rahmatullah, Abdullah bin Sarjis berkata bahwa apabila Rasulullah SAW bersafar (melakukan perjalanan jauh), beliau berdoa,

اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ

Arab-latin: “Allahumma antash shohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal ahli.”

Artinya: “Ya Allah, Engkau adalah Teman dalam perjalanan, dan Pengganti dalam keluarga. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari beratnya perjalanan, dan kesedihan saat kembali, serta dari kekafiran setelah iman, dan dari doa orang yang dizalimi dari keburukan pemandangan dalam keluarga dan harta.” (HR Tirmidzi).

Doa Musafir Termasuk Mustajab

Mengutip buku Tuntunan Shalat Musafir oleh Aulia Fadhli, dalam hukum Islam, musafir adalah orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dalam jarak tertentu dan berniat tinggal di tempat yang dituju dalam waktu tertentu. Menurut madzah Syafi’i dan Maliki, jarak yang ditempuh sekurang-kurangnya 77 kilometer, sedangkan menurut Abu Hanifah 115 meter.

Adapun batasan waktunya, menurut Imam Ahmad, Imam Syafi’i, dan Imam Malik adalah empat hari, sedangkan menurut Abu Hanifah 15 hari. Akan tetapi, banyak juga pendapat yang menyebutkan bahwa musafir adalah orang yang sedang bepergian untuk tujuan tertentu dengan jarak sejauh 2 marhalah atau perjalanan kurang lebih 70 km, dan orang tersebut tidak berencana untuk menetap di daerah tertentu lebih dari 3 hari.

Singkatnya, sebutan bagi orang yang melakukan perjalanan dengan tujuan bukan untuk berbuat maksiat adalah musafir. Pada zaman yang lampau, seorang musafir hanya dapat bergantung kepada Allah. Ia terasing dari keluarganya, berada di tempat yang jauh, kelelahan dengan perbekalan yang menipis. Apabila ia berdoa (memohon), maka doa itu pastilah benar-benar tulus adanya.

Maka dari itu Allah mendengar dan mengabulkan doa musafir yang berada dalam perjalanan jauh. Sebagaimana dalam hadits berikut, doa seorang musafir bahkan termasuk ke dalam tiga jenis doa yang mustajab dikabulkan oleh Allah.

روى البيهقي عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ,ثلاث دعواتٍ مستجابات: دعوة الصائم، ودعوة

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Ada tiga jenis doa yang pasti dikabulkan, yaitu doa orang yang dizalimi, doa orang yang sedang dalam perjalanan (safar), dan doa orang tua untuk anaknya.

Musthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mistu dalam bukunya Al-Wafi Syarah Hadis Arba’in Imam an-Nawawi menyebutkan, bepergian jauh bisa menjadi penyebab dikabulkannya doa karena beban dalam bepergian jauh itu berat.

Bepergian jauh menjadi tempat tercapainya kesedihan jiwa dengan perjalanan jauh dan keterasingan dari tanah air dan menanggung kesulitan. Beban itulah yang akan menjadi penyebab dikabulkannya doa.

Demikian bacaan doa saat seseorang dalam perjalanan jauh untuk mendapatkan perlindungan dari Allah SWT dan terhindar dari segala macam marabahaya.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com