Tag Archives: Abu Malik Kamal Ibn Sayyid Salim

Niat Bayar Utang Puasa Ramadhan karena Haid, Bacaan Lengkap dan Tata Caranya



Jakarta

Puasa Ramadhan menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Islam di bulan Ramadhan. Namun, ada beberapa hal yang dapat menghalangi seseorang untuk berpuasa salah satunya seperti saat wanita sedang mengalami haid. Dalam buku Fikih Sunnah Wanita karya Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim, wanita yang mengalami haid memiliki kewajiban untuk membayar utang puasanya meskipun haid keluar pada menit-menit terakhir sebelum terbenamnya matahari.

Hal ini sebagaimana dalam hadits yang dikutip dari buku Kitab Terlengkap Panduan Ibadah Muslim Sehari-Hari karya K.H. Muhammad Habibillah:

كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ


Aisyah RA pernah berkata, “Terdapat sesuatu (haid) yang menimpa kami, dan kami diperintah untuk mengganti puasa, dan tidak diperintah untuk mengganti sholat.” (HR Bukhari dan Muslim).

Lalu, bagaimana niat bayar utang puasa Ramadhan? Berikut penjelasan niat bayar utang puasa Ramadhan karena haid dan cara melaksanakannya.

Niat Bayar Utang Puasa Ramadhan karena Haid

Berdasarkan buku koleksi Doa Dzikir Sepanjang Masa karya Ustadz Ali Amrin al-Qurawy, niat bayar utang puasa Ramadhan karena haid sama saja dengan niat bayar utang puasa dengan keadaan darurat lannya, seperti musafir, orang sakit, muntah dengan sengaja, ataupun makan dan minum dengan sengaja.

Berikut ini adalah niat bayar utang puasa Ramadhan:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى

Latin: Nawaitu shauma ghadin ‘an qadha-i fardhi ramadhaana lillaahi ta’aalaa

Artinya: “Saya niat berpuasa untuk mengganti puasa Ramadhan karena Allah Ta’ala.”

Tata Cara Bayar Utang Puasa Ramadhan karena Haid

Tata cara membayar utang puasa ramadhan karena haid sama halnya dengan puasa biasanya. Dalam berniat, Muhammad Anis Sumaji dan Muhammad Najmuddin Zuhdi dalam bukunya 125 Masalah Puasa menjelaskan cara membaca niat puasa tidak harus diucapkan melainkan cukup diucap di dalam hati.

Abdul Syukur al-Azizi dalam buku berjudul Buku Lengkap Fiqih Wanita menjelaskan cara wanita haid mengganti puasa.

Dalam membayar utang puasanya, seorang wanita diperbolehkan untuk melakukannya pada hari dimanapun ia mampu berpuasa, selama belum datang bulan Ramadhan berikutnya.

Hal ini didasarkan pada hadits dari Aisyah RA yang berkata, “Aku punya utang puasa Ramadhan dan aku tidak mampu membayarnya, kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR Muslim).

Kemudian dalam buku Ringkasan Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq karya Al-Faifi dan Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya juga dijelaskan bahwa mengqadha atau membayar utang puasa Ramadhan tidak harus dilakukan sekaligus karena telah menjadi kewajiban yang sifatnya muwassa atau dapat dilakukan kapan saja.

Jika seseorang belum membayar utang puasa Ramadhan hingga masuk ke bulan Ramadhan tahun berikutnya, maka ia harus mengganti puasanya yang telah ditinggalkan di bulan setelahnya dan membayar fidyah sebanyak hari yang ditinggalkan. Kadar fidyah yang dibayar untuk setiap harinya adalah satu mud beras atau makanan.

Itulah niat membayar utang puasa ramadhan karena haid dan tata caranya. Sebaiknya, umat muslim yang memiliki utang puasa Ramadhan dapat segera mengqadha puasanya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Hukum Itikaf bagi Wanita Menurut Mazhab Syafi’i, Bolehkah?



Jakarta

Itikaf adalah amalan di bulan Ramadan yang biasanya dilakukan di masjid. Bagaimana hukum itikaf bagi wanita?

Menurut bahasa, itikaf memiliki arti berdiam diri yakni tetap di atas sesuatu. Orang yang beritikaf disebut mu’takif.

Anjuran Itikaf

Merujuk dari Kitab Fiqh as-Sunnah li an-Nisa’ karya Abu Malik Kamal Ibn Sayyid Salim, dianjurkan bagi kaum wanita sebagaimana kaum laki-laki untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.


Hal ini bertujuan untuk memperoleh kebaikan dan mendapatkan malam lailatul qadar. Karena itulah, seorang suami dianjurkan untuk membangunkan istrinya pada malam-malam tersebut untuk melaksanakan salat malam.

Rasulullah SAW mengatakan bahwa beliau akan beritikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Aisyah RA lalu meminta izin kepada beliau untuk beritikaf dan beliau pun mengizinkannya.

Aisyah juga berkata, “Nabi SAW melakukan itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau beritikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hukum Itikaf bagi Wanita

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi dalam Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah mengatakan, menurut mazhab Syafi’i hukum itikaf adalah sunnah muakkad, baik di bulan Ramadan mapun di bulan lainnya, dan sunnah muakkadnya lebih ditekankan lagi pada sepuluh hari yang akhir.

Adapun, hukum itikaf bisa menjadi wakib ketika hal itu dinazarkan oleh seseorang. Maka, wajib baginya melakukan itikaf.

Namun, apabila tidak dinazarkan, semua ulama sepakat bahwa itikaf hukumnya mutlak disunnahkan. Hukum tersebut berlaku bagi laki-laki dan wanita.

Menurut mazhab Syafi’i apabila seorang wanita melakukan itikaf tanpa seizin dari suaminya, maka itikaf itu tetap sah meskipun dia dianggap telah melakukan perbuatan dosa. Dimakruhkan pula bagi wanita yang berparas cantik untuk melakukan itikaf meskipun dia diberikan izin oleh suaminya.

Berikut ini beberapa hal yang berkaitan dengan hukum itikaf bagi seorang wanita:

1. Seorang wanita tidak boleh beritikaf kecuali dengan izin dari suaminya

Wanita hanya boleh keluar rumah dengan izin suaminya. Dan telah disebutkan sebelumnya bahwa Aisyah RA dan begitu pula Hafshah RA meminta izin dari Nabi Muhammad SAW untuk beritikaf.

2. Apabila seorang suami telah mengizinkan istrinya untuk beritikaf maka:

  • Jika itikafnya adalah itikaf sunnah, maka ia boleh mengeluarkan istrinya dari itikafnya itu. Ketika Aisyah RA meminta izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk beritikaf dan kemudian Zainab, beliau khawatir jika itikaf mereka itu tidak lagi didasari dengan keikhlasan, namun hanya karena ingin dekat dengan beliau, yang didorong oleh rasa cemburu mereka terhadap beliau, maka beliau mengeluarkan mereka dari itikaf mereka dan berkata, “… Apakah mereka benar-benar mengharapkan kebaikan? Aku tidak akan beritikaf….”
  • Dan apabila itikafnya adalah itikaf wajib (seperti untuk memenuhi nazar misalnya, maka nazarnya itu tidak terlepas dari dua macam: pertama ia bernazar untuk beritikaf secara berturut-turut (ia bernazar untuk beritikaf pada sepuluh hari terakhir), dan suaminya telah mengizinkannya, maka sang suami tidak boleh mengeluarkannya dari itikafnya itu. Namun, jika ia tidak menyebutkan di dalam nazarnya untuk beritikaf secara berturut-turut, maka suaminya boleh mengeluarkannya, dan di kemudian hari ia dapat menyempurnakan nazarnya tersebut.

Syarat Itikaf

Masih di dalam buku yang sama, berikut syarat itikaf:

  • Beragama Islam.
  • Mumayiz, bisa membedakan antara yang benar dan salah.
  • Melaksanakannya di dalam masjid.

Menurut mazhab Syafi’i dan Maliki, niat merupakan salah satu rukun utkaf, bukan hanya sekadar syarat, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Adapun menurut mazhab Syafi’i tidak disyaratkan pula dalam berniat untuk dilakukan ketika sudah berdiam diri di dalam masjid.

Oleh karena itu, jika seseorang berniat untuk itikaf dalam keadaan datang dan pergi (bolak-balik) di masjid tersebut, maka niat itikafnya juga dianggap sah, bahkan orang yang hanya sekedar melewati masjid saja lalu meniatkan diri untuk beritikaf, maka niat dan itikafnya itu dianggap sah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com