Tag Archives: abu nawas

Kisah Abu Nawas yang Menjual Raja untuk Dijadikan Budak



Jakarta

Abu Nawas dikenal sebagai sufi cerdas sekaligus pujangga sastra Arab klasik. Ia lahir sekitar tahun 757 di Provinsi Ahwaz, Khuzistan sebelah barat daya Persia.

Dijelaskan dalam buku Abu Nawas: Sufi dan Penyair Ulung yang Jenaka karya Muhammad Ali Fakih, Abu Nawas telah ditinggal wafat ayahnya sejak kecil. Sang ibu membawanya ke sebuah kota di Irak karena alasan ekonomi.

Abu Nawas kecil dititipkan kepada seseorang bernama Attar untuk melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan anak kecil. Walau begitu, Attar memperlakukan Abu Nawas dengan baik, ia disekolahkan di sekolah A-Qur’an hingga menjadi seorang hafiz.


Nah, berkaitan dengan sosok Abu Nawas, ada sebuah kisah menarik dan jenaka darinya. Suatu hari, dia berencana untuk menjual sang raja yang kala itu bernama Khalifah Harun ar-Rasyid.

Alasannya sendiri karena Khalifah tersebut pantas dijual menurutnya. Mengutip dari buku Jangan Terlalu Berlebihan dalam Beribadah hingga Melupakan Hak-hak Tubuh karya Nur Hasan, akibat rencana tersebut lantas Abu Nawas menghadap Khalifah Harun ar-Rasyid seraya berkata,

“Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada paduka yang mulia,”

Mendengar hal itu, Khalifah tersebut menjawab dengan rasa penasaran,

“Apa itu wahai Abu Nawas?”

“Sesuatu yang hamba yakin tidak pernah terlintas di dalam benak paduka yang mulia,”

“Oke, kalau begitu cepatlah ajak saya ke sana untuk menyaksikannya,”

Abu Nawas memang terkenal sebagai sosok yang selalu membuat orang penasaran akan sesuatu. Karenanya, ia kembali berkata,

“Tapi baginda…”

“Tetapi apa?” Jawab sang raja yang sudah tidak sabar dengan apa yang akan ditunjukkan oleh Abu Nawas.

“Oke, baginda. Jadi begini, baginda harus menyamar sebagai rakyat biasa, supaya orang-orang tidak banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu,”

Sang raja yang sudah sangat penasaran lantas mengiyakan anjuran Abu Nawas. Ia bersedia menyamar sebagai seorang rakyat biasa dan keduanya pergi ke sebuah hutan.

Sesampainya di sana, Abu Nawas mengajak mendekat ke sebuah pohon yang rindang dan memohon kepada sang raja untuk menunggu di situ. Lalu, Abu Nawas menemui seorang badui yang merupakan penjual budak, ia mengajaknya untuk melihat calon budak yang ingin dijual namun Abu Nawas mengaku tak tega menjual budak di depan matanya langsung, ia mengaku budak tersebut merupakan temannya.

Setelah dilihat dari kejauhan, badui tersebut merasa cocok dengan orang yang ingin dijual Abu Nawas. Usai kesepakatan terjalin beserta kontrak, Abu Nawas mendapat beberapa keping uang mas.

Sang raja yang tidak tahu menahu terus menunggu Abu Nawas. Sayangnya, beliau justru tak kunjung menampakkan dirinya, malahan terdapat seorang penual budak yang menghampiri raja.

“Siapa engkau?” tanya raja.

“Aku adalah tuanmu sekarang,” ujar badui tersebut yang menghampiri sang raja tanpa mengetahui bahwa yang ada di depannya sekarang merupakan seorang raja.

“Apa maksud perkataanmu tadi?” jawab sang raja dengan wajah yang memerah.

Dengan enteng, penjual budak itu mengeluarkan surat kuasa seraya menjawab, “Abu Nawas telah menjualmu kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya,”

“Apa??? Abu Nawas menjual diriku kepadamu?”

“Yaaa!” jawab sang badui dengan nada membentak.

Merasa makin geram, sang raja lantas berkata, “Tahukah engkau siapa sebenarnya diriku ini?”

“Tidak. Itu tidak penting dan tidak perlu,” ujar sang badui singkat. Ia kemudian menyeret bahu budak barungnya ke belakang rumah.

Sesampainya di sana, badui tersebut memberikan parang kepada Khalifah Harun ar-Rasyid dan memintanya untuk membelah serta memotong kayu. Melihat tumpukan kayu yang banyak, sang raja memandangnya dengan ngeri, apalagi beliau harus membelahnya.

Sayangnya, sang raja tidak mampu membelah kayu tersebut dengan baik. Malahan, ia menggunakan bagian parang yang tumpul ke arah tumpukan kayu.

Sang badui kemudian memarahi Khalifah Harun ar-Rasyid. Dengan begitu, si raja membalik parangnya sehingga bagian yang tajam mengarah ke kayu dan berusaha membelahnnya.

Menurutnya, pekerjaan tersebut terasa aneh. Dalam hati ia bergumam, seperti inikah derita orang-orang miskin demi mencari sesuap nasi? Harus bekerja keras lebih dulu.

Badui tersebut kerap memandang Khalifah Harun ar-Rasyid dengan tatapan heran dan berujung marah. Dirinya merasa menyesal telah membeli seorang budak bodoh. Si raja lalu berkata,

“Hei badui! Semua ini sudah cukup, aku tidak tahan,”

Mendengar hal itu, sang badui semakin marah. Ia lalu memukul raja seraya berkata,

“Kurang ajar kau budakku. Kau harus patuh kepadaku!”

Khalifah Harun ar-Rasyid yang tidak pernah disentuh oleh orang lain tiba-tiba menjerit keras akibat pukulan dengan kayu yang dilakukan oleh si badui. Karena tidak kuat, ia lalu berkata sambil memperlihatkan tanda kerajaannya,

“Hai badui! Aku adalah rajamu, Sultann Harun ar-Rasyid!”

Melihat hal itu, sang badui langsung menjatuhkan diri sambil menyembah sang raja yang habis dipukulnya. Walau begitu, sang raja mengampuninya karena si badui tidak tahu menahu mengenai dirinya yang merupakan seorang raja. Sementara itu, Khalifah Harun ar-Rasyid sangat murka kepada Abu Nawas dan ingin segera menghukumnya.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Nawas Mencari Neraka di Siang Hari



Jakarta

Abu Nawas adalah seorang penyair Arab klasik dan terkenal. Meski populer dan kerap disapa dengan Abu Nawas, sebetulnya panggilan tersebut bukanlah nama aslinya.

Mengutip dari buku Abu Nawas Sufi dan Penyair Ulung yang Jenaka susunan Muhammad Ali Fakih, julukan Abu Nuwas ia peroleh karena rambutnya yang ikal dan panjang sebahu. Nama lengkapnya ialah Abu Ali al-Hasan bin Hani’ al-Hakami.

Abu Nawas lahir di provinsi Ahwaz sekitar Khuzistan, barat daya Persia tahun 757 M. Walau begitu, banyak perbedaan pendapat terkait tahun lahir Abu Nawas.


Disebutkan dalam buku Kisah Lucu Kecerdasan Abu Nawas yang ditulis oleh Sukma Hadi Wiyanto, ketika beranjak dewasa Abu Nawas membantu sang paman bekerja sebagai pembuat minyak wangi. Seusai bekerja, ia sering pergi ke masjid untuk belajar berbagai ilmu agama dan pengetahuan lain, seperti syair, fikih, dan ilmu hadits. Abu Nawas terkenal sebagai murid yang cerdik dan antusias dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

Suatu hari, Abu Nawas bertemu dengan Abu Usamah yang merupakan ahli sastra sekaligus pujangga terkenal. Ia sangat terkesima dengan kemampuan Abu Nawas membuat syair hingga diajarkan berbagai ilmu mengenai syair.

Dikenal sebagai sosok yang jenaka dan cerdas, banyak kisah menarik mengenai Abu Nawas, salah satunya ketika ia bersikeras mencari neraka. Kala itu, Abu Nawas merupakan seorang staf ahli dari Khalifah Harun Al-Rasyid.

Pada suatu siang, Abu Nawas membawa lampu minyak dan menggoyangkannya sembari berhenti pada setiap sudut rumah. Setelahnya, ia kembali berjalan dengan lampu yang masih dipegangnya.

Tingkah Abu Nawas menggegerkan penghuni Baghdad. Mereka heran, bagaimana bisa orang secerdas Abu Nawas berjalan di siang hari ketika sinar Matahari menyorot sambil membawa lampu?

“Abu Nawas mulai gila,” kata salah seorang warga Baghdad yang tengah memperhatikan Abu Nawas.

Walau begitu, Abu Nawas tidak peduli. Keesokan harinya ia melakukan hal yang sama, hanya saja kali ini lebih pagi sambil tetap membawa lampu minyak. Tanpa bersuara, Abu Nawas menoleh ke kanan dan kiri.

Beberapa orang yang menyaksikan tingkah Abu Nawas lantas bertanya kepada Abu Nawas. Apa yang sebenarnya ia cari di siang hari dengan lampu di tangannya?

Abu Nawas lalu menjawab, “Saya sedang mencari neraka,”

Dari situlah, para warga mulai berpikiran bahwa Abu Nawas gila. Bahkan di hari ketiga ia masih melakukan hal yang sama dan membawa lampu minyak yang digoyang-goyangkan.

Warga Baghdad yang tidak sabar akan perilaku Abu Nawas, lantas menangkapnya. Di Baghdad, ada sebuah undang-undang yang melarang orang gila berkeliaran.

Sejumlah musuh politik Harun Al-Rasyid justru gembira melihat Abu Nawas ditangkap. Mereka menganggap ketidakwarasan Abu Nawas bisa dijadikan sebagai senjata untuk menyudutkan wibawa sang khalifah.

Malu bukan main atas perilaku Abu Nawas, Khalifah Harun Al-Rasyid bertanya dengan nada tinggi,

“Abu Nawas, apa yang kamu lakukan dengan lampu minyak itu siang-siang?”

“Hamba mencari neraka, paduka yang mulia,” jawab Abu Nawas lancar, tidak ada tanda-tanda bahwa dirinya gila.

“Kamu gila, Abu Nawas. Kamu gila!”

“Tidak paduka, merekalah yang gila,”

“Siapa mereka?”

Abu Nawas kemudian meminta orang-orang yang tadi menangkap dan menggiringnya menuju istana untuk dikumpulkan. Setelah berkumpul di depan istana, Abu Nawas didampingi khalifah Harun mendatangi mereka.

“Wahai kalian orang yang mengaku waras, apakah kalian selama ini menganggap orang lain yang berbeda pikiran dan berbeda pilihan dengan kalian adalah munafik?” tanya Abu Nawas.

“Benar!” jawab orang-orang itu yang berjumlah ribuan.

“Apakah kalian juga yang menyatakan para munafik itu sesat?”

“Betul, dasar sesat!”

“Jika mereka munafik dan sesat, apa konsekuensinya?”

“Orang munafik pasti mereka masuk neraka! Dasar munafik, kamu!”

Mendengar itu, Abu Nawas kembali menimpali, “Baik, jika saya munafik, sesat, dan masuk neraka, di mana neraka yang kalian maksud? Punya siapa neraka itu?”

Saat berucap demikian, Abu Nawas mengangkat tinggi-tinggi lampu di tangannya. Ini dilakukan seakan-akan dirinya sedang mencari sesuatu.

Jawaban Abu Nawas membuat orang-orang yang berada di depan khalifah Harun habis kesabaran. Mereka merasa diledek dengan mimik Abu Nawas.

“Hai Abu Nawas, tentu saja neraka ada di akhirat dan itu milik Allah. Kenapa kamu tanya?”

“Paduka mohon maaf. Tolong sampaikan pada mereka, jika neraka ada di akhirat dan yang punya neraka adalah Allah, kenapa mereka di dunia ini gemar sekali menentukan orang lain masuk neraka?” tanya Abu Nawas.

“Apakah mereka asisten Allah yang tahu bocoran catatan Allah? Atau jangan-jangan merekalah yang gila?” lanjutnya.

Ucapan Abu Nawas membuat khalifah Harun Al-Rasyid tertawa. Sungguh jenaka sosok Abu Nawas di mata khalifah Harun, ia lalu berkata sambil masih tergelak, “Abu Nawas, besok siang lanjutkan mencari neraka. Jika sudah ketemu, jebloskan orang-orang ini ke dalamnya,”

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Nawas yang Ingin Menjual Matahari



Jakarta

Sosok Abu Nawas sudah tidak asing lagi. Penyair Arab klasik yang terkenal itu cukup populer karena pribadinya yang jenaka dan kisah-kisah lucu mengenai hidupnya.

Pria bernama asli Abu Ali al-Hasan bin Hani’ al-Hakimi itu akrab disapa Abu Nawas karena rambutnya yang ikal dan panjang sebahu, seperti dituliskan dalam buku Abu Nawas Sufi dan Penyair Ulung yang Jenaka karya Muhammad Ali Fakih. Adapun, terkait tahun kelahiran Abu Nawas masih menjadi perdebatan, banyak perbedaan pendapat mengenai hal tersebut.

Abu Nawas hidup pada masa Khalifah Harun Al-Rasyid, seorang raja pada masa dinasti Abbasiyah. Ia bahkan dikenal dekat dengan sang raja dan kerap membuatnya tertawa dengan tingkah lucunya.


Dikisahkan dalam buku Kisah Lucu Kecerdasan Abu Nawas susunan Sukma Hadi Wiyanto, kala itu sejumlah penduduk Baghdad berkumpul di depan istana Khalifah Harun Al-Rasyid. Sebagian berteriak dan meminta agar Abu Nawas ditangkap.

Para penduduk protes karena baliho raksasa milik Abu Nawas yang dipasang di depan rumahnya yang berbunyi, “Dijual Cepat: Matahari Baghdad, Siapa Cepat Dapat Bonus Anak Unta”

Penduduk lainnya merasa panik dan kasak-kusuk di depan istana. Mereka takut sekaligus bingung, jika Matahari Baghdad dijual maka bagaimana mereka bisa hidup?

“Abu Nawas kamu serius mau menjual Matahari?” tanya Khalifah Harun Al-Rasyid sambil mengamati massa yang membludak di depan istananya.

“Benar baginda, supaya kita bisa ikut cara mereka menggunakan otak,” jawab Abu Nawas.

“Maksudnya?” Khalifah kembali bertanya.

“Begini baginda, apakah baginda senang infrastruktur di Baghdad terbangun hebat di zaman baginda? Baginda bangga bisa menjadi teladan buat rakyat bahwa selama menjabat jadi khalifah baginda tidak korupsi? Baginda senang tidak mempertontonkan keserakahan dengan menguasai ratusan ribu hektar padang pasir, padahal baginda bisa melakukannya dengan kekuasaan yang sekarang baginda genggam?” beber Abu Nawas.

Khalifah Harun Al-Rasyid yang bingung lantas meminta Abu Nawas untuk menjelaskan maksud dari ucapannya.

“Abu Nawas, coba ke inti masalah!”

“Jika baginda turun dan tanya massa yang sekarang berdemonstrasi itu, ketahuilah bahwa mereka akan menjawab buat apa bangun infrastruktur, infrastruktur tidak bisa dimakan! Jadi, jalan-jalan mulus yang baginda bangun selama ini, puluhan bendungan yang baginda banggakan, lapangan terbang, rel kereta api di Korramabad, pasar-pasar di Kirkuk, itu semua percuma, tak bisa dimakan!” kata Abu Nawas menjelaskan.

Khalifah Harun Al-Rasyid terdiam.

“Baginda bangga tidak korupsi? Anak baginda jual pisang goreng? Itu malah membuat mereka marah dan cemburu. Buat mereka baginda mestinya korupsi agar mereka tak repot-repot lagi bikin isu tak masuk akal, misalnya baginda keturunan Mongolia, baginda memusuhi ulama, baginda membiarkan partai Ba’ts yang sudah dilarang tumbuh lagi, wah pokoknya banyak baginda,”

“Lalu apa hubungannya dengan menjual Matahari?” tanya Khalifah Harun Al-Rasyid.

Abu Nawas kemudian menjelaskan apa yang dianggap Khalifah Harun sebagai prestasi nasional justru dianggap pemborosan dan membebani negara karena mereka terbiasa melihat prestasi yang ada di ruang gelap. Di ruang gelap, gadis cantik tak terlihat, sebatang emas bisa dianggap besi.

“Tapi kalau pun mata mereka tak melihat di ruang gelap, bukankah telinga mereka mendengar, hati mereka terbuka? Bagaimana mungkin mereka menuduhku memusuhi ulama padahal wakilku sekarang adalah ulama besar? Jika pun mereka tak suka aku, bukankah kepada mereka sekarang aku sodorkan ulama yang dulu mereka klaim mereka bela? Mengapa sekarang mereka tinggalkan?”

Abu Nawas kemudian berkata, “Baginda, itulah enaknya melihat dunia di ruang gelap sambil terbalik. Kita bisa menikmati apa yang mereka nikmati selama ini. Baginda tidak capek berpikir rasional?”

Khalifah Harun Al-Rasyid kembali terdiam, Abu Nawas lanjut menjelaskan.

“Percayalah baginda, hanya dengan melihat segala sesuatu di kegelapan, baginda akan paham mengapa selama ini mereka melihat infrastruktur megah, pemerataan pembangunan di daerah tertinggal, semuanya sama sekali tidak berguna karena tak bisa dimakan. Mohon jangan katakan, ‘infrastruktur memang tak bisa dimakan, tapi dengan infrastruktur kita semakin mudah cari makan,’ itu cara berpikir rasional dan normal, paduka,”

Massa di depan istana semakin membludak. Khalifah Harun Al-Rasyid masih diam, ia lantas memberi isyarat membenarkan ucapan Abu Nawas.

“Jadi, boleh saya menjual Matahari?”

Kisah ini menunjukkan Abu Nawas sebagai pribadi yang cerdas dan peduli. Mimpi tak akan nyata karena keajaiban, butuh keringat, kebulatan tekad dan kerja keras untuk mewujudkannya.

(aeb/rah)



Sumber : www.detik.com