Tag Archives: adil

Raja yang Adil



Jakarta

Dikisahkan Anusyirwan sebagai pimpinan yang adil, bijaksana dan terus berupaya menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Dia adalah penguasa Kerajaan Persia Sassanid/Sassaniyah yang lahir tahun 501. Anusyirwan bertahta di tampuk kekuasaan Sassaniyah sejak 13 September 531 hingga 31 Januari 579 M. Ia menggantikan ayahnya, Raja Kavadh I.

Dia pernah menghukum petugas pajak bumi, karena petugas itu telah memungut lebih banyak yang seharusnya, meskipun kelebihan itu diserahkan pada kerajaan bukan dinikmati secara pribadi. Oleh sebab itu, setiap penguasa yang mengambil sesuatu dari rakyat dengan curang dan ghasab (mengambil sesuatu benda atau barang dengan cara zalim secara terang-terangan. Sedangkan menurut istilah syara’ ialah menguasai hak orang lain secara aniaya), tak ubahnya seperti seseorang yang membangun fondasi pagar, tetapi tidak sabar hingga fondasi selesai. Lalu ia meletakkan bangunan di atasnya, maka fondasi itu pun runtuh. Begitu juga bangunan di atasnya.


Menteri Yunan pembantunya, mengirim surat padanya (Anusyirwan) yang berisi pesan dan nasihat yang berbunyi, “Paduka raja yang mulia, empat hal yang harus bersama paduka. Yaitu akal, adil, sabar dan sifat malu. Sementara empat hal yang harus paduka jauhi yaitu, dengki, sombong, kikir dan permusuhan. Paduka raja, ketahuilah bahwa para raja sebelum Paduka, telah berlalu. Sedangkan raja mendatang setelah Paduka, belum hadir. Usahakan agar semua raja di sepanjang waktu tetap simpatik dan salut pada Paduka.

Keempat yang harus dimiliki seorang raja adalah:

1. Akal. Allah SWT. menciptakan manusia yang dilengkapi nafsu dan diimbangi dengan diciptakannya akal. Jika nafsu menguasai seseorang maka ia akan liar, disini fungsi akal untuk menyeimbangkan dan menghindarkan seseorang dari keburukan. Di dalam tumbuhan yang berupa daun, buah, biji, akar dan kadang batangnya bermanfaat untuk kesehatan bagi yang tahu (mempergunakan akalnya).

Tahukah kita bahwa energi itu berawal dari hijauan? Tentu bagi orang beriman yang berakal akan tahu. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya surah Yasin ayat 80 yang artinya,

“Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu.”Apabila diperhatikan ke belakang, sumber utama api atau energi yang dihasilkan oleh kayu hijau adalah energi matahari. Makhluk hidup pertama yang menangkap dan menyimpan energi matahari di Bumi ini adalah tumbuhan, utamanya mereka yang memiliki zat hijau daun atau klorofil. Peran berakal (bisa dikatakan berilmu) merupakan keharusan bagi seorang muslim. Tentu bagi seorang Pemimpin berilmu itu keniscayaan, bagaimana dia mengelola aset negara dan menjadikan rakyatnya makmur.

2. Adil. Alexander pernah bertanya kepada Aristoteles, “Mana yang lebih utama bagi para penguasa, sifat berani atau adil?”

Jawabnya, “Jika seorang penguasa adil, maka dia tak memerlukan keberanian.”

Islam telah perintahkan berbuat adil sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Maidah ayat 8, ” Berlaku adillah, karena adil itu dekat kepada takwa.” Yakni sikap adilmu lebih dekat kepada takwa daripada kamu meninggalkannya. Berlaku adil tidak boleh membedakan termasuk orang yang pernah menyakitimu. Benci bukanlah penghalang untuk berlaku adil. Sebagai contoh seorang pemimpin yang kurang lebih dua tahun berkuasa dapat menjadikan rakyatnya, susah dijumpai yang meminta-minta.

Dia memimpin dengan adil dan seluruh kemampuannya tercurah untuk melayani masyarakat. Dia bisa meninggalkan kehidupan yang bergelimang kesenangan dunia menjadi hidup sangat sederhana dan bersahaja. Ketika istrinya menanyakan apa mempunyai uang 1 dirham untuk membeli anggur, dijawabnya tidak ada. Dia adalah Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Model kepemimpinan seperti ini yang patut menjadi contoh.

3. Sabar. Sekitar 103 kali kata sabar beserta turunannya disebutkan dalam Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa sabar merupakan sesuatu yang sangat penting. Lebih spesifik perbuatan sabar merupakan perintah Allah SWT dalam surah An Nahl ayat 127 yang artinya, “Bersabarlah. Kesabaranmu itu tak lain adalah berkat pertolongan Allah.”

Disusul dengan surah At Thur ayat 48 yang berbunyi, “Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika engkau bangun.”

Kedua ayat ini menerangkan pada kita sebagai perintah bersikap sabar dan itu merupakan karunia-Nya. Pemimpin sabar dalam melaksanakan kepemimpinannya akan efektif karena tindakannya tidak dilandasi emosi dan jauh dari nafsu.

4. Malu. Sifat malu yang dimiliki para Pemimpin menjadi penting. Malu saat melakukan kezaliman atau penyimpangan, sehingga sikap ini akan menjadi penghalang perbuatan munkar.

Sedangkan ada empat hal yang harus dijauhi yaitu sifat dengki, sombong, kikir dan permusuhan. Keempat sifat ini akan membuat seorang pemimpin tidak efektif, oleh karena itu jauhkan dan hindarkan. Saat pemilihan pemimpin negeri ini awal tahun depan, hati-hatilah dalam menggunakan hak pilih. Cermati khususnya keempat sifat tersebut diatas. Semoga Allah SWT. menurunkan kuasanya dengan memberikan petunjuk untuk memilih pemimpin yang dikehendaki-Nya.

***

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pemimpin Adil Ali bin Abi Thalib dan Baju Zirahnya yang Hilang



Jakarta

Banyak kisah yang menceritakan sikap bijaksana yang dimiliki Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah kisah, Ali bin Abi Thalib menunjukkan sikap adilnya bahkan ketika melihat baju miliknya yang hilang dan kemudian dikenakan oleh orang lain.

Mengutip buku Kisah Hidup Ali Ibn Abi Thalib oleh Mustafa Murrad dikisahkan suatu hari, Amirul Mukminin melihat baju zirahnya, yang telah lama hilang, ada pada seorang Nasrani. la tidak tahu, bagaimana baju perangnya itu bisa berada di tangan Nasrani itu.

Ia berusaha meminta baju zirahnya dan menjelaskan bahwa baju zirah itu miliknya. Namun, Nasrani itu enggan memberikan dan bersikukuh mengatakan bahwa itu baju miliknya. Akhirnya, Ali ibn Abu Thalib membawa laki-laki itu ke pengadilan.


Di pengadilan, Ali bin Abi Thalib bertemu Qadi atau Khadi yakni seorang hakim yang membuat keputusan berdasarkan syariat Islam.

Khadinya saat itu adalah Syarih. Kadi berkata kepada laki-laki Nasrani itu, “Apa pembelaanmu, atas apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin?”

Nasrani itu berkata, “Baju zirah ini milikku. Amirul Mukminin tidak berhak menuduhku.”

Syarih berpaling kepada Ali dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah kau punya bukti?”

Ali ra. tertawa dan berkata, “Ya, engkau benar Syarih, aku tidak punya bukti apa-apa.”

“Atau, adakah saksi yang mendukung tuduhanmu?”

“Ada, anakku al-Hasan.”

“la tidak dapat menjadi saksi bagimu.”

“Bukankah kau pernah mendengar sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Umar bahwa al-Hasan dan al-Husain adalah dua pemimpin pemuda ahli surga?”

“Meski begitu, tetap saja ia tidak berhak menjadi saksi untukmu.”

Akhirnya Syarih memutuskan bahwa baju zirah itu milik si Nasrani.

Laki-laki Nasrani itu mengambil baju zirah itu, lalu berjalan pulang ke rumahnya. Namun, belum lagi jauh, ia kembali menemui keduanya dan berkata, “Aku bersaksi bahwa hukum seperti ini adalah hukum para nabi. Amirul Mukminin membawaku kepada hakim yang diangkat olehnya dan ternyata hakimnya itu menetapkan keputusan yang memberatkannya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Baju zirah ini, demi Allah, ini adalah baju zirahmu, wahai Amirul Mukminin. Aku mengikuti pasukan dan saat itu kau pergi ke Shiffin, dan aku mengambil beberapa barang dari kendaraanmu.”

Ali berkata, “Karena kau telah berislam, baju zirah ini untukmu.”

Mendengar perkataan Ali, laki-laki itu lalu membawa baju zirahnya dengan senang.

Kendati telah dibaiat dan ditetapkan sebagai khalifah, Ali ibn Abu Thalib tidak pernah berlaku sewenang-wenang. la selalu menempatkan setiap urusan pada tempatnya dan mendelegasikan wewenang kepada orang yang tepat.

Kasus baju zirah itu membuktikan keadilan Ali. la tidak mau mencampuri atau memengaruhi keputusan khadi pengadilan. Dan yang sangat menakjubkan, Syarih, yang menjadi khadi saat itu, tidak merasa takut kepada Amirul Mukminin dan tetap menjalankan tugasnya tanpa terpengaruh oleh kedudukan Ali.

Kedaulatan pemerintahan Ali ibn Abu Thalib berdiri di atas landasan keadilan. Selama masa kekuasaannya, tidak pernah ada seorang pun yang dizalimi kemudian diabaikan atau tidak ditolong oleh penguasa.

Khalifah senantiasa menjaga amanatnya dengan baik dan melindungi seluruh rakyatnya dari penindasan dan kezaliman. Ketika memilih para khadi yang dianggap layak memimpin lembaga peradilan di wilayah Islam, Khalifah Ali turun langsung menguji mereka dan meneliti keadaan serta kecakapan mereka dalam bidang hukum.

Ia juga memperhatikan akhlak dan perilaku keseharian para calon khadi ini. Ia pernah berkata kepada seorang khadi, “Apakah kau mengetahui ayat yang menasakh dan ayat yang dinasakh?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Ali berkata, “Celakalah engkau dan kau akan mencelakakan orang lain.”

Abu al-Aswad al-Du’ali pernah diangkat sebagai khadi namun kemudian dipecat. Ia berkata kepada Ali, “Mengapa engkau memecatku, sedangkan aku tidak berkhianat dan tidak berbuat salah?”

Ali ra. menjawab, “Aku pernah melihatmu membentak-bentak dua orang yang bertikai.”

Di masa kepemimpinannya, Ali memilih langsung orang-orang yang menjadi khadi dan dipercayainya untuk memimpin lembaga peradilan.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com