Tag Archives: ahli ibadah

Perumpamaan Ahli Ilmu dengan Ahli Ibadah Menurut Hadits Nabi



Jakarta

Ahli ilmu dan ahli ibadah memiliki keutamaan masing-masing. Rasulullah SAW pun menggambarkan kedudukan keduanya melalui sebuah perumpamaan yang diambil dari benda-benda langit.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda,

“Keutamaan ahli ilmu dibanding ahli ibadah sama seperti keutamaan bulan pada malam purnama dibanding bintang-bintang lainnya.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya dari Abu Darda)


Dalam redaksi lain dikatakan, “Sesungguhnya keutamaan seorang alim (ulama) dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang.”

Menurut Prima Ibnu Firdaus al-Mirluny dalam buku Seri Syarah Hadits Nabi: Keutamaan Menuntut Ilmu, hadits tersebut mengandung maksud bahwa keutamaan orang yang ahli ilmu kemudian mengamalkan ilmunya itu jauh di atas keutamaan ahli ibadah yang bukan ahli ilmu.

Ia menjelaskan, Rasulullah SAW memberikan perumpamaan bagi ahli ilmu bagaikan bulan karena cahaya bulan menerangi penjuru bumi dan meluas ke seluruh arah sehingga manusia dapat mengambil manfaat dari cahaya tersebut.

Sedangkan ahli ibadah yang diibaratkan bintang-bintang di langit, ini didasarkan karena cahaya bintang tidak melewati dirinya sendiri atau hanya menjangkau sesuatu yang dekat darinya.

“Seperti itulah ibadah seorang ahli ibadah, yang mana ibadah tersebut hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, dan orang di sekitarnya,” jelas Ibnu Firdaus dalam bukunya.

Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr dalam Kitab adz-Dzikru wa ad-Du`a` fi Dhau`il Kitab wa as-Sunnah menyebut bahwa perumpamaan antara ahli ilmu dan ahli ibadah dalam hadits tersebut mengandung rahasia yang sangat unik seperti ditegaskan oleh banyak ulama.

Salah satunya Imam Ibnu Rajab rahimahullah. Ia mengatakan, rahasia dalam hal ini–Allah Mahatahu–adalah bahwa cahaya bintang-bintang itu hanya menyinari dirinya, sedangkan bulan pada malam purnama menerangi semua penduduk bumi.

“Rasulullah menggunakan kata kawakib (atas semua planet), bukan nujum (atas semua bintang), karena kawakib adalah bintang yang berjalan dan tidak bisa dijadikan petunjuk. Ia sama kedudukannya dengan ahli ibadah yang manfaatnya terbatas pada dirinya sendiri,” jelas Ibnu Rajab dalam Syarh Hadits Abu Dzar fii Thalabil Ilmi.

Para ulama menyimpulkan, hadits tersebut menunjukkan bahwa keutamaan ilmu lebih tinggi dari ibadah. Dalam Musnad Al-Bazzar, Al-Mustadrak Al-Hakim dan lainnya, dari Sa’id bin Abu Waqqash RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda,

“Keutamaan ilmu itu lebih aku cintai daripada keutamaan ibadah. Dan sebaik-baik keagamaan kalian adalah wara.”

Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin Al-Badr menjelaskan lebih lanjut, di antara perkara yang menunjukkan keutamaan ilmu atas seluruh amalan sunnah serta hal-hal yang disukai yang terdapat zikir di dalamnya, bahwa ilmu mengumpulkan semua keutamaan amal-amal yang terpencar.

Telah banyak atsar-atsar yang menyebutkan tentang keutamaan ilmu. Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidak ada sesuatu dimaksudkan untuk Allah SWT yang lebih utama daripada menuntut ilmu. Tidak ada ilmu dituntut dalam suatu masa yang lebih utama daripada hari ini.”

Adapun, Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Orang yang berilmu lebih baik daripada orang yang zuhud terhadap dunia, dan orang yang bersungguh-sungguh dalam ibadah, dia menebar hikmah Allah, jika diterima niscaya dia memuji Allah, dan jika ditolak niscaya dia memuji Allah.”

Perumpamaan keutamaan ahli ilmu dengan ahli ibadah juga disebutkan dalam riwayat dengan redaksi berikut,

“Kelebihan ahli ilmu (‘alim) terhadap ahli ibadah (‘abid) adalah seperti kelebihanku terhadap orang yang paling rendah di antara kamu sekalian.”

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

20 Tahun Rutin Salat Tahajud, Ahli Ibadah Ini Tidak Dapat Jaminan Surga



Jakarta

Salat tahajud menjadi ibadah sunnah yang dikerjakan pada malam hari seusai salat Isya hingga terbitnya fajar dan setelah bangun tidur. Bahkan, pengerjaan salat tahajud ini paling diutamakan setelah salat fardhu 5 waktu.

Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad SAW bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ


Artinya: “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara sholat yang paling utama setelah sholat wajib adalah sholat malam,” (HR Muslim).

Bahkan, waktu pelaksanaan salat tahajud termasuk ke dalam waktu mustajab memanjatkan doa. Menurut buku Kumpulan Doa Mustajab Pembuka Pintu Rezeki dan Kesuksesan susunan Deni Lesmana, pengamalan salat tahajud yaitu pada sepertiga malam terakhir atau malam hari mendekati waktu subuh atau sahur.

Melalui surat Az Zariyat ayat 18 Allah berfirman,

وَبِٱلْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Arab latin: Wa bil-as-ḥāri hum yastagfirụn

Artinya: “Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar,”

Berkaitan dengan salat tahajud, ada sebuah kisah mengenai seorang ahli tahajud yang tidak mendapat jaminan surga. Mengapa demikian? Simak ceritanya di bawah ini sebagaimana dilansir dari buku Keajaiban Tahajud, Subuh, dan Dhuha untuk Hidup Berkah, Bergelimang Harta, Sukses dan Bahagia karya Fery Taufiq El Jaquene.

Kisah Ahli Ibadah yang Rutin Salat Tahajud Namun Tidak Dapat Jaminan Surga

Alkisah seorang ahli tahajud bernama Abu bin Hasyim. Ia merupakan seseorang yang rajin mengerjakan salat tahajud dan tidak pernah meninggalkannya selama 20 tahun.

Suatu ketika saat ia ingin mengambil air wudhu, sesuatu mengejutkannya. Sebuah sosok duduk di pekarangan ruamhnya, Abu bin Hasyim lantas bertanya, “Wahai hamba Allah, siapakah Engkau?”

Mendengar pertanyaan Abu bin Hasyim, ia lalu menjawab seraya tersenyum ke arahnya, “Saya adalah malaikat utusan Allah,”

Abu bin Hasyim kemudian kembali bertanya, “Apa yang kamu lakukan di sini?”

Malaikat itu menjawab pertanyaan Abu bin Hasyim untuk kedua kalinya, “Saya diberitahu untuk menemukanmu pelayan Allah.”

Dilihat oleh Abu bin Hasyim, malaikat itu memegang buku yang cukup tebal. Lagi-lagi ia melontarkan pertanyaan kepada malaikat tersebut, “Oh malaikat, buku apa yang kamu bawa?”

“Saya akan buka,” Malaikat itu lantas membuka buku tersebut. Abu bin Hasyim percaya namanya tercatat di sana, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Nama Abu bin Hasyim tidak tercantum di dalam buku tersebut.

Abu bin Hasyim kemudian meminta malaikat untuk mencari namanya kembali. Selanjutnya, malaikat utusan Allah itu kembali meneliti dengan cermat sembari berucap, “Itu benar, namamu tidak ada di dalam buku ini!”

Mendengar jawaban dari sang malaikat, Abu bin Hasyim menangis tersedu-sedu. Ia menyesali dan berkata, “Kehilangan diri saya yang selalu berdiri setiap malam di tahajud dan bermunajat tapi nama saya tidak ada di dalam kelompok pecinta Allah,”

“Wahai Abu Hasyim! Saya tahu Anda bangun setiap malam saat yang lain tidur, wudhu dengan air dingin saat yang lain tertidur di tempat tidur. Tapi tangan saya dilarang bahwa Allah menuliskan nama Anda,” tutur malaikat tersebut.

Penasaran, Abu bin Hasyim bertanya lagi kepada malaikat mengenai penyebab namanya tidak tercantum. Malaikat kemudian menjelaskan, “Anda bersedia pergi ke Allah, tapi Anda bangga pada diri sendiri dan bersenang-senang memikirkan diri sendiri,”

Ada tetangga Abu bin Hasyim yang sakit atau kelaparan, namun beliau tidak melihat atau membantunya untuk memberi makan. Karenanya, sosok Abu bin Hasyim yang tidak pernah mencintai makhluk yang diciptakan Allah tidak tercantum namanya dalam buku tersebut.

“Bagaimana mungkin kamu bisa menjadi kekasih Tuhan jika Anda sendiri tidak pernah mencintai makhluk yang diciptakan Allah?” tambah sang malaikat.

Hal itu lantas membuat Abu bin Hasyim menyadari sesuatu. Hubungan pemujaan manusia tidak hanya berfokus untuk Allah semata, melainkan juga sesama manusia.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Seorang Ahli Ibadah yang Terhalang Masuk Surga karena Perkara Kecil



Jakarta

Seorang ahli ibadah dikisahkan terhalang masuk surga karena perkara kecil di mata manusia. Perkara ini bahkan mengalahkan ibadah yang telah dikerjakan selama 70 tahun.

Kisah ini diceritakan seorang tabi’in yang bernama Wahab bin Munabbih seperti dinukil Ahmad Izzan dalam bukunya, Laa Taghtarr (Jangan Terbuai).

Diceritakan, ada seorang pemuda bertobat dari semua maksiat. Setelah itu, ia menjadi ahli ibadah dan menyembah Allah SWT selama 70 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, ia tidak pernah meninggalkan puasa, tidak tidur, tidak berteduh, dan tidak makan lemak.


Tatkala lelaki itu meninggal dunia, beberapa saudaranya bermimpi tentangnya. Saudaranya lantas bertanya tentang apa yang telah dilakukan Tuhan terhadapnya.

Laki-laki ahli ibadah itu meminta untuk dilakukan hisab. Kemudian, Allah SWT mengampuni semua dosanya kecuali satu dosa.

Ahli ibadah itu melanjutkan ceritanya, satu dosa itu membuatnya tertahan masuk surga. Dosa yang ia maksud adalah mengambil lidi untuk sebagai tusuk gigi tanpa seizin pemiliknya.

“Allah mengampuni semua dosaku, kecuali satu dosa, yaitu aku telah mengambil lidi yang kugunakan untuk menusuk gigiku tanpa seizin pemiliknya. Karena itu, di sini aku tertahan dari surga karenanya, hingga sekarang ini,” kata lelaki itu kepada saudaranya yang memimpikannya.

Kisah tentang orang yang bertobat lalu menjadi ahli ibadah namun amal ibadahnya sia-sia juga dialami oleh seorang juru timbang. Al-Harits al-Muhasibi menceritakan, ketika ahli ibadah itu meninggal dunia, beberapa sahabatnya bertemu dengannya lewat mimpi. Mereka menanyakan tentang apa yang telah Tuhan perbuat kepadanya.

Si Fulan itu menjawab, “Aku menghitung 15 qafis (jenis takaran) dari bermacam-macam biji-bijian.”

Lalu ditanya, “Mengapa demikian?”

Ia menjawab, “Aku tidak mempedulikan takaran yang kurang, karena bercampur debu. Tanah yang menggumpal di dasar takaran itu mengurangi setiap takaran sebanyak tanah yang menempel itu. Itu membuatku disiksa di kubur hingga suaraku terdengar oleh yang lain. Lalu aku ditolong oleh sebagian yang saleh.”

Bawa Amal Ibadah tapi Justru Jadi Orang Bangkrut di Hari Kiamat

Rasulullah SAW dalam salah satu hadits pernah menceritakan tentang umatnya yang bangkrut pada hari kiamat. Orang yang bangkrut ini bukanlah mereka yang tidak memiliki harta melainkan orang yang membawa amalan ibadahnya tapi mencela makanan, mendustakan orang lain, dan membunuh orang lain.

Hal tersebut dijelaskan Abdul Wahab Abdussalam Thawilah dalam Al-Masih Al-Muntazhar wa Nihayah Al-Alam dan diterjemahkan oleh Subhanur. Ia menukil sebuah riwayat yang berasal dari Abu Hurairah RA yang mengatakannya dari Nabi SAW.

Rasulullah SAW bersabda,

“Tahukah siapa orang yang bangkrut?” Mereka menjawab, “Orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya dirham dan barang dagangan.” Beliau bersabda, “Orang yang bangkrut adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala salat, puasa, zakat, sedangkan ia telah mencaci Fulan, mendustakan Fulan, memakan harta Fulan, membunuh Fulan, dan memukul Fulan sehingga (kesalahannya) ini diambil dari kebaikannya, doa ini diambil dari kebaikannya sehingga setelah kebaikannya habis sebelum diputuskan kepadanya, lalu keburukan mereka diambil dan ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka.” (HR Muslim dan At-Tirmidzi)

Wallahu a’lam.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com