Tag Archives: ahmad bin hanbal

Apakah Mahar Harus Uang Tunai? Ini Jenis yang Diperbolehkan


Jakarta

Mahar sama artinya dengan maskawin. Pada dasarnya, mahar harus diberikan calon suami kepada calon istrinya.

Menurut Al Fiqh ‘ala Al Madzahib Al Khamsah yang disusun Muhammad Jawad Mughniyah terjemahan Masykur, mahar menjadi hak istri. Hal tersebut berdasarkan kitab suci Al-Qur’an sunnah Rasulullah SAW beserta ijma kaum muslimin.

Dalam Islam, terkait mahar disebutkan dalam surah An Nisa ayat 4. Allah SWT berfirman,

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ … – 4


Artinya: “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan…”

Biasanya mahar diberikan dalam bentuk uang tunai. Lantas, apakah mahar harus berupa uang tunai? Bolehkah memberikan mahar jenis lain?

Mahar Tidak Harus Uang Tunai

Mengutip dari buku Perempuan dan Hukum susunan Sulistyowati Irianto, bentuk mahar sangat beragam. Artinya, mahar tidak harus diberikan dengan uang tunai.

Pemberian mahar dalam Islam disandarkan pada tradisi Rasulullah SAW kepada istrinya yang baru dinikahi. Praktik ini juga diabadikan dalam sejumlah hadits.

Islam menjadikan mahar sebagai simbol penghormatan terhadap perempuan yang diangkat martabatnya sederajat dengan laki-laki.

Turut dijelaskan melalui buku 500 Tanya Jawab Pernikahan dan Problematika Rumah Tangga oleh Abu Firly Bassam Taqiy, tidak ada ketentuan khusus mengenai mahar yang harus diberikan dalam pernikahan. Mahar harus berupa sesuatu yang memiliki nilai manfaat dan tidak harus berupa uang tunai tetapi juga harta atau layanan tertentu sesuai kesepakatan calon pengantin.

Yang terpenting, mahar bisa diukur nilainya dan dapat memberikan manfaat bagi sang istri.

Mahar yang Diperbolehkan dalam Islam

Mengutip dari buku Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam karya Ali Manshur, terdapat beberapa barang yang bisa digunakan sebagai mahar selain uang tunai. Hal ini didasarkan pada jenis barang yang digunakan pada zaman Rasulullah SAW, bentuk dan bahannya bisa disesuaikan dengan kondisi saat ini.

1. Emas

Selain uang tunai, mahar yang diberikan boleh berupa emas. Baik itu berupa logam batangan maupun perhiasan. Dari Anas RA berkata,

“Nabi SAW melihat Abdurrahman bin Auf memakai shafrah, maka beliau bersabda, Mahyam atau hai, Anas berkata: Abdurrahman berkata: Aku telah menikahi seorang wanita dengan maskawin sebiji emas. Maka Nabi SAW mengucapkan: Semoga Allah memberi berkah kepadamu. Adakanlah walimah walau dengan menyembelih seekor kambing.” (HR Bukhari)

2. Cincin

Melalui hadits Rasulullah SAW, disebutkan bahwa diperbolehkan menikah meski dengan mahar sebuah cincin besi. Dari Sahal ibn Sa’id RA berkata,

“Nabi SAW pernah menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan mahar sebuah cincin besi.” (HR Hakim)

Pada zaman sekarang, cincin perhiasan bisa dibuat dengan logam seperti emas, perak dan lain sebagainya.

3. Alat Sholat

Alat sholat juga bisa digunakan sebagai mahar untuk pernikahan karena termasuk barang yang dapat diperjualbelikan. Selain itu, alat sholat juga bermanfaat bagi sang istri kelak.

4. Surat Tanah

Surat tanah juga dapat dijadikan mahar pernikahan karena memiliki nilai jual. Sertifikat tanah dapat disimpan untuk waktu yang lama dan menjadi investasi di masa mendatang.

Selain hal-hal yang disebutkan di atas, mahar juga bisa berupa perabot rumah tangga, binatang jasa, harta perdagangan, terjemahan Al-Qur’an, Al-Qur’an dan semacamnya.

Mahar dalam Islam Tidak Memiliki Batas Tertentu

Mengutip dari buku Fiqh Keluarga Terlengkap tulisan Rizem Aizid, para ulama sepakat bahwa mahar tidak ada batas tinggi dan rendahnya. Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu Tsaur dan Fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak mengenal batas tinggi-rendah, dan besar-kecil. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Pendiri Mazhab Hanbali, Digoda Setan Jelang Ajalnya



Jakarta

Ahmad bin Hanbal adalah salah satu tokoh imam besar dalam Islam. Menjelang wafatnya, pendiri Mazhab Hanbali ini diketahui menderita penyakit keras. Sebelum mengembuskan napas terakhirnya, ia sempat diganggu setan kala menghadapi sakaratul mautnya.

Saat itu bertepatan dengan Rabiul Awal 241 Hijriah atau 855 M. Imam Ahmad sudah menderita sakit yang amat parah yang membuat suhu tubuhnya memanas, napasnya tersengal-sengal, hingga tubuhnya terus melemah.

Shalih bin Ahmad, putranya memberikan kesaksian kondisi ayahnya yang saat itu kurang dari lima puluh hari menjelang ajal. Dikutip dari Rab Man Maata Wahua Yushalli oleh Mahmud bin Abul Malik Al-Zugbi terjemahan Yusni Amru dan Fuad Nawawi. Imam Ahmad bahkan tidak mengeluh kesakitan sekali pun. Raut wajahnya tetap tenang meski berada di puncak kesakitan.


Kemudian, Shalih bin Ahmad bercerita, Imam Ahmad tiba-tiba mengeluarkan beberapa keping uang di selembar sapu tangan yang disimpannya. Sang imam pun berwasiat kepada putranya untuk menginfakkan uang tersebut atas nama dirinya.

Beberapa hari setelahnya, sakaratul maut pun menghampiri Imam Ahmad. Shalih bin Ahmad turut menceritakan kesaksiannya saat sang ayah melalui detik-detik sebelum kematiannya.

Shalih bin Ahmad mengatakan, ayahnya kerap kali mengucapkan, “Tidak akan!” pada saat sakaratul maut. Shalih bin Ahmad maupun Abdullah bin Ahmad–putra kedua Imam Ahmad–heran dan bertanya kepada ayahnya.

“Wahai Ayah, apa maksud dari perkataan yang selalu engkau ucapkan ini?”

Imam Ahmad menjawab, “Wahai anakku, sesungguhnya iblis berdiri di pojok rumah ini. Dia sedang menggigit jarinya seraya berkata, ‘Apakah engkau akan terkecoh olehku, wahai Ahmad?’ maka, aku berkata demikian.”

Setelahnya, Imam Ahmad memberi isyarat pada para ahli warisnya untuk mewudhukan dan membersihkan sela-sela jemarinya. Tak lama seusai Imam Ahmad sempurna diwudhukan oleh kedua putranya, ia pun mengembuskan napas terakhirnya tepat pada Jumat pagi.

Kabar duka itu pun tak lama tersiar cepat. Umat Islam berbondong-bondong melayatnya, bahkan seketika jalanan pun menjadi sempit karena dijejali oleh iring-iringan para pelayat dari berbagai penjuru untuk mengantarkan sang imam besar tersebut.

Berdasarkan cerita wafatnya Imam Ahmad, saat ajal manusia sudah dekat atau saat sakaratul maut pun, manusia tidak lepas dari gangguan setan. Keterangan ini juga ternyata pernah disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya. Setan menggoda manusia pada saat sekarat karena saat itu adalah waktu hajat.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu Al Fatawa menyebutkan gangguan setan menjelang ajal tidak berlaku sama bagi tiap orang. Menurutnya bahkan ada yang ditawarkan lebih dari dua agama oleh setan di saat-saat menjelang ajalnya.

Keadaan tersebut termasuk dengan fitnah kehidupan dan kematian. Sebab itu, muslim dianjurkan untuk senantiasa memohon perlindungan Allah SWT dari gangguan setan.

(rah/lus)



Sumber : www.detik.com