Tag Archives: ahmad sarwat

Siapa Saja yang Termasuk Mahram? Pahami agar Wudhu Tetap Sah!


Jakarta

Dalam ajaran Islam, menjaga kesucian tubuh dan hati sangat penting, apalagi sebelum melaksanakan ibadah seperti salat. Salah satu syarat sah salat adalah berwudhu, yaitu menyucikan diri dari hadas kecil.

Namun, tahukah kamu bahwa wudhu bisa batal jika bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram?

Lantas, siapa saja yang termasuk mahram? Dan siapa yang boleh disentuh tanpa membatalkan wudhu?


Artikel ini akan membahasnya secara lengkap berdasarkan Al-Qur’an dan penjelasan ulama fikih.

Memahami Mahram dan Dampaknya pada Wudhu

Mengutip buku Fiqih Munakahat (Hukum Pernikahan dalam Islam) oleh Sakban Lubis dan lainnya, mahram adalah istilah khusus dalam Islam yang merujuk pada orang-orang yang haram dinikahi karena adanya hubungan kekerabatan atau sebab tertentu. Selain itu, sentuhan fisik dengan mahram juga tidak membatalkan wudhu.

Dasar hukum mengenai mahram ini secara gamblang dijelaskan dalam Surah An-Nisa ayat 23:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا 。 ٢٣

Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 23)

Mahram yang Boleh Disentuh

Berdasarkan ayat di atas dan penjelasan para ulama, termasuk Ahmad Sarwat dalam buku Ensiklopedia Fikih Indonesia 8: Pernikahan, berikut adalah daftar lengkap mahram yang haram untuk dinikahi dan sentuhan dengannya tidak membatalkan wudhu:

  • Ibu kandung
  • Anak-anakmu yang perempuan
  • Saudara-saudaramu yang perempuan
  • Saudara-saudara bapakmu yang perempuan
  • Saudara-saudara ibumu yang perempuan
  • Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
  • Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan
  • Ibu-ibumu yang menyusui kamu
  • Saudara perempuan sepersusuan
  • Ibu-ibu istrimu
  • Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri
  • Istri-istri anak kandungmu

Dengan memahami siapa saja yang termasuk mahram, detikers tidak perlu khawatir wudhu akan batal ketika bersentuhan dengan mereka sebelum salat atau ibadah lainnya. Pengetahuan ini sangat penting untuk menjaga kesahihan ibadah dan meningkatkan ketenangan hati dalam berinteraksi dengan keluarga.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Keutamaan Salat Jenazah oleh 40 Orang Mukmin


Jakarta

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, pasti akan mengalami kematian dan pada akhirnya dikuburkan di dalam tanah. Namun, dalam ajaran Islam, seseorang yang meninggal dunia harus disalati dulu sebelum dimakamkan.

Salat jenazah merupakan fardu kifayah bagi kaum muslimin sebagai bentuk doa dan penghormatan terakhir. Dalam sebuah hadits disebutkan, apabila jenazah disalati oleh 40 orang itu lebih baik.

Jenazah Disalatkan 40 Ahli Tauhid Mendapat Syafaat

Dikutip dari buku Panduan Mengurus Jenazah Sesuai Sunnah oleh Abu Utsman Kharisman, terdapat sebuah hadits yang membahas bahwa seorang muslim begitu beruntung jika disalati oleh 40 saudaranya yang sesama muslim.


Dari Kuraib, ia berkata,

أَنَّهُ مَاتَ ابْنٌ لَهُ بِقُدَيْدٍ أَوْ بِعُسْفَانَ فَقَالَ يَا كُرَيْبُ انْظُرْ مَا اجْتَمَعَ لَهُ مِنَ النَّاسِ. قَالَ فَخَرَجْتُ فَإِذَا نَاسٌ قَدِ اجْتَمَعُوا لَهُ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ تَقُولُ هُمْ أَرْبَعُونَ قَالَ نَعَمْ. قَالَ أَخْرِجُوهُ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ »

Artinya: “Anak ‘Abdullah bin ‘Abbas di Qudaid atau di ‘Usfan meninggal dunia. Ibnu ‘Abbas lantas berkata, “Wahai Kuraib (bekas budak Ibnu ‘Abbas), lihat berapa banyak manusia yang menyalati jenazahnya.” Kuraib berkata, “Aku keluar, ternyata orang-orang sudah berkumpul dan aku mengabarkan pada mereka pertanyaan Ibnu ‘Abbas tadi. Lantas mereka menjawab, “Ada 40 orang”. Kuraib berkata, “Baik kalau begitu.” Ibnu ‘Abbas lantas berkata, “Keluarkan mayit tersebut. Karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia lantas disalatkan (salat jenazah) oleh 40 orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah sedikit pun melainkan Allah akan memperkenankan syafa’at (do’a) mereka untuknya.” (HR Muslim no. 948)

Hadits ini menunjukkan keutamaan salat jenazah yang dilakukan oleh sekelompok kaum muslimin yang ikhlas dan bertauhid. Disebutkan bahwa apabila jenazah disalati oleh 40 orang yang bertauhid, doa mereka akan diijabah oleh Allah SWT.

Syafaat yang dimaksud dalam hadits ini adalah permohonan ampun, rahmat, dan kebaikan yang dipanjatkan oleh orang yang salat kepada Allah SWT untuk si jenazah. Doa-doa itu tidak sia-sia, sebab Allah SWT menjanjikan akan memperkenankan syafaat mereka jika mereka adalah orang-orang yang tidak mempersekutukan-Nya.

Jumlah 40 orang dalam hadits ini bukan hanya angka, tetapi menunjukkan pentingnya saudara sesama muslim dalam mendoakan saudaranya yang telah wafat. Semakin banyak kaum muslimin yang turut menyalatkan, semakin besar peluang terkabulnya doa dan syafaat bagi jenazah.

Hal ini juga menjadi motivasi bagi umat Islam untuk tidak meremehkan salat jenazah dan hadir saat ada kematian di lingkungannya. Selain sebagai bentuk solidaritas, salat jenazah adalah salah satu bentuk amal yang bisa menjadi sebab keselamatan akhirat bagi orang yang telah wafat.

Hukum Salat Jenazah

Menurut buku Terjemah Fiqhul Islam wa Adillathuhu Juz 2 karya Wahbah Az-Zuhaili yang diterbitkan oleh Tim Gema Insani, salat jenazah termasuk dalam kategori fardu kifayah. Artinya, kewajiban ini dianggap terpenuhi apabila sudah ada sebagian kaum muslimin yang melaksanakannya.

Dengan demikian, ketika salat jenazah telah dilakukan oleh sekelompok orang, maka kewajiban itu menjadi gugur bagi yang lainnya dan berubah status menjadi sunah. Namun sebaliknya, jika tidak ada seorang pun yang menunaikannya saat seorang muslim meninggal, seluruh komunitas muslim menanggung dosa.

Dalam buku Seri Fikih Kehidupan 3: Salat karya Ahmad Sarwat, dijelaskan bahwa salat jenazah merupakan ibadah yang disyariatkan dan pernah dilakukan langsung oleh Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya. Penetapan hukum fardu kifayah pada ibadah ini merupakan hasil kesepakatan mayoritas ulama atau jumhur.

Oleh karena itu, jika mengetahui ada saudara sesama muslim yang baru saja meninggal dunia, sebaiknya turut serta melaksanakan salat jenazah sebagai bentuk kepedulian dan ibadah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, apabila jenazah disalati oleh 40 orang mukmin, doa mereka akan dikabulkan, semoga salat kita menjadi wasilah doa terbaik bagi almarhum.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

8 Hal yang Membatalkan Shalat



Jakarta

Shalat dari syariat Islam menduduki tempat yang sangat penting, sehingga meninggalkan sholat khususnya shalat lima waktu akan mendapatkan dosa. Shalat adalah rukun kedua dari seluruh rukun Islam setelah dua kalimat syahadat. Shalat adalah tiang agama dan sesuatu yang pertama-tama dihisab dari seorang hamba.

Shalat telah disebutkan dalam berbagai ayat Al-Qur’an Al-Karim dengan bentuk yang berbeda-beda. Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa ayat 103:

فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا


Artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan shalat, berzikirlah kepada Allah (mengingat dan menyebut-Nya), baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring. Apabila kamu telah merasa aman, laksanakanlah salat itu (dengan sempurna). Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin. (QS: An-Nisa: 103)

Dalam buku Fiqih Sunnah tulisan Sayyid Sabiq, perintah shalat disampaikan kepada Rasulullah SAW dalam perjalanan Isra Miraj.

Anas bin Malik menceritakan, “Shalat diwajibkan kepada Rasulullah SAW pada saat beliau diangkat pada malam Isra, yaitu sebanyak 50 kali. Kemudian dikurangi hingga mencapai lima kali. Lalu dipanggillah Rasulullah SAW, ‘Wahai Muhammad, sungguh perkataan-Ku tidak bisa diganti-ganti. Dengan lima (waktu salat) ini, kamu mendapatkan 50.” (Hadits Shahih)

Kewajiban shalat juga dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 43:

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ

Artinya: “Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”

Diriwayatkan Abdullah bin Qarth, Rasulullah SAW bersabda, “Sesuatu yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalat. Jika shalatnya baik, maka seluruh amalnya akan baik. Jika shalatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalnya.” (Hadits Shahih)

Dengan diwajibkannya shalat, tentunya kita ingin shalat yang kita kerjakan dapat diterima dan sah di mata Allah SWT. Agar shalatnya sah, sebaiknya muslim harus menghindari hal-hal yang membatalkan shalat.

8 Hal yang Membatalkan Shalat

Berikut hal-hal yang membatalkan shalat

1. Murtad

Dalam Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Shalat tulisan Ahmad Sarwat, syarat pertama orang yang mengerjakan shalat adalah statusnya harus menjadi seorang muslim. Bila status keislamannya terlepas, maka otomatis shalatnya menjadi batal.

Maka orang yang sedang melakukan shalat, lalu tiba-tiba murtad, maka batal shalatnya. Mungkin ada orang yang bertanya, bagaimana bisa seseorang yang sedang shalat, tiba-tiba berubah menjadi murtad?

Murtad atau keluar dari agama Islam bisa saja terjadi tiba-tiba, misalnya ketika seseorang tiba-tiba mengingkari wujud Allah SWT, atau mengingkari kerasulan Muhammad SAW, termasuk juga mengingkari kebenaran agama Islam sebagai agama satu-satunya yang Allah ridhai. Bila sesaat setan masuk ke dalam pikiran sambil meniupkan pikiran sesatnya itu, lalu seseorang itu sampai kepada tingkat meyakini apa yang ditiupkan setan itu, maka boleh jadi dia sempat murtad sebentar.

Kalaupun saat itu dia segera sadar, maka shalat yang dilakukannya dianggap batal dan harus diulang lagi. Mengapa demikian?

Karena kekufuran itu merusak amal dan membuatnya menjadi sia-sia. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya: “Jika kamu mempersekutukan niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

2. Gila

Demikian juga dengan orang yang tiba-tiba menjadi gila atau hilang akal saat sedang shalat, maka shalatnya juga batal.

Sebab syarat sah dalam ibadah shalat salah satunya adalah berakal. Shalat yang dilakukan oleh orang gila atau kehilangan akalnya, tentu shalat itu tidak sah. Dan bila gila itu datangnya kumat-kumatan, sebentar datang dan sebentar hilang, maka bila terjadi ketika sedang shalat, shalat itu menjadi batal.

3. Belum Masuk Waktu Shalat

Di antara syarat sah shalat adalah bahwa mengetahui bahwa waktu shalat sudah masuk. Sebab shalat itu tidak sah dilakukan bila belum lagi masuk waktunya. Maka bila seseorang yang sedang mengerjakan shalat, kemudian terbukti bahwa di tengah shalat itu baru masuk waktunya, otomatis shalatnya itu menjadi batal dengan sendirinya.

Hukum shalat sebelum waktunya jauh berbeda dengan shalat yang dilakukan pada waktu yang sudah terlewat. Bila waktunya sudah lewat, shalat masih sah dilakukan, bahkan dalam kaitannya dengan shalat fardhu, hukumnya tetap wajib dikerjakan.

4. Terkena Najis

Suci dari najis adalah salah satu syarat sah shalat. Tidak sah shalat seseorang kalau badan, pakaian atau tempatnya shalatnya masih terkena najis. Maka jika di tengah-tengah shalat seseorang terkena atau tersentuh benda-benda najis, maka secara otomatis shalatnya itu pun menjadi batal.

Namun yang perlu diperhatikan adalah batalnya shalat itu hanya apabila najis itu tersentuh tubuhnya atau pakaiannya.

Adapun tempat shalat itu sendiri bila mengandung najis, tapi tidak sampai tersentuh langsung dengan tubuh atau pakaian, shalatnya masih sah dan bisa diteruskan. Asalkan dia bergeser dari tempat najis itu terjatuh.

Selain sumber najis itu dari luar, bisa juga najis itu datang dari dalam tubuh sendiri. Maka bila ada najis yang keluar dari tubuhnya hingga terkena tubuhnya, seperti mulut, hidung, telinga atau lainnya, maka shalatnya batal.

Namun bila kadar najisnya hanya sekadar najis yang dimaafkan, yaitu najis-najis kecil ukurannya, maka hal itu tidak membatalkan shalat.

5. Berbicara secara sengaja

Dilansir dalam buku Panduan Sholat Rasulullah karya Imam Abu Wafa, berbicara saat shalat membuat shalat menjadi rusak. Di dalam shalat harus tenang dan tidak berbicara.

Berdasarkan dalil sahabat Zaid bin Arqam:

كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ الرَّجُلُ صَاحِبَهُ، وَهُوَ إِلَى جَنْبِهِ فِي الصَّلَاةِ حَتَّى نَزَلَتْ { وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ }، فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ، وَنُهِينَا عَنِ الْكَلَامِ.

Artinya: “Ia (Zaid bin Arqam) berkata: Dahulu kami berbicara di dalam shalat, seseorang mengajak bicara dengan temannya yang di sebelahnya hingga turun ayat ‘Dan dirikanlah shalat karena Allah dengan tenang’, maka kami diperintahkan agar diam dan dilarang berbicara “(HR. Muslim no539, Bukhari no.1200, Abu Dawud no.949, Tirmidzi no.405, Nasai no.1219)

6. Tidak Membaca Surah Al-Fatihah

Mengutip buku Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Shalat tulisan Ahmad Sarwat menyebut bahwa seluruh ulama sepakat bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah bagian dari rukun shalat. Sehingga bila ada orang yang sengaja atau lupa tidak membaca surat Al-Fatihah lalu langsung rukuk, maka shalatnya menjadi batal.

Dalilnya adalah hadits nabawi yang secara tegas menyebutkan tidak sahnya shalat tanpa membaca surat Al-Fatihah:

لا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ القُرْآنِ

Dari Ubadah bin Shamit RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sah shalat kecuali dengan membaca ummil-quran (surat Al-Fatihah).” (HR. Bukhari Muslim)

Namun, dalam hal ini dikecualikan dalam kasus shalat berjamaah di mana memang sudah ditentukan bahwa imam menanggung bacaan Fatihah makmum, sehingga seorang yang tertinggal takbiratul ihram dan mendapati imam sudah pada posisi rukuk, dibolehkan langsung ikut rukuk bersama imam dan telah mendapatkan satu rakaat.

Demikian pula dalam shalat jahriyah (suara imam dikeraskan), dengan pendapat yang mengatakan bahwa bacaan Al-Fatihah imam telah menjadi pengganti bacaan Al-Fatihah buat makmum, maka bila makmum tidak membacanya, tidak membatalkan shalat.

7. Keluar Sesuatu dari Kemaluan

Yang dimaksud kemaluan itu termasuk bagian depan dan belakang. Dan yang keluar itu bisa apa saja termasuk benda cair seperti air kencing, mani, wadi, mazi, atau apa pun yang cair. Juga berupa benda padat seperti kotoran, batu ginjal, cacing, atau lainnya.

Pendeknya, apa pun juga benda gas seperti kentut. Semua itu bila keluar lewat dua lubang qubul dan dubur membuat wudhu yang bersangkutan menjadi batal.

Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut ini:

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ

Artinya: Atau bila salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air. (QS. Al-Maidah: 6)

Dan juga berdasarkan hadits nabawi:

إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَل عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bila seseorang dari kalian mendapati sesuatu pada perutnya lalu dia merasa ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka tidak perlu dia keluar dari masjid, kecuali dia mendengar suara atau mencium baunya.” (HR. Muslim)

Tidur yang bukan dalam posisi tetap (tamakkun) di atas bumi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:

مَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّا

“Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu.”(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang. Termasuk juga tidur dengan berbaring atau bersandar pada dinding. Sedangkan tidur sambil duduk yang tidak bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri tidak termasuk yang membatalkan wudhu sebagaimana hadits berikut:

عَنْ أَنَسٍ رَضِي الله عنه قَالَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّؤُنَ – رواه مسلم – وزاد أبو داود : حَتَّى تَخْفَقَ رُؤُسُهُم وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ

Dari Anas RA berkata bahwa para sahabat Rasulullah SAW tidur kemudian shalat tanpa berwudhu (HR. Muslim) Abu Daud menambahkan: Hingga kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa Rasulullah SAW.

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com

Kapan Waktu Terbaik Memotong Kuku? Ini Penjelasan dan Urutan Lengkapnya


Jakarta

Merawat kebersihan tubuh adalah bagian dari ajaran Islam yang tidak bisa disepelekan. Salah satu caranya adalah dengan rutin memotong kuku. Meski terlihat sederhana, kebiasaan ini termasuk sunnah fitrah yang diajarkan Rasulullah SAW. Bahkan, jauh sebelum dunia medis menyarankan pentingnya kebersihan kuku, Islam sudah lebih dulu menekankannya.

Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 222,

اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ


Arab latin: innallāha yuḥibbut-tawwābīna wa yuḥibbul-mutaṭahhirīn(a).

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Ayat ini menegaskan bahwa menjaga kebersihan adalah bagian dari ibadah yang dicintai oleh Allah, termasuk lewat hal sederhana seperti memotong kuku.

Memotong Kuku dalam Islam

Dalam buku Seri Fikih Kehidupan karya Ahmad Sarwat, Lc., MA, dijelaskan bahwa meskipun kuku bisa tampak bersih secara kasat mata, para ahli kesehatan tetap menyarankan untuk memotongnya secara rutin. Kuku yang panjang mudah menyimpan kotoran dan bisa menjadi tempat tumbuhnya bakteri.

Islam sejak awal telah mengajarkan pentingnya kebersihan lewat sunnah fitrah. Rasulullah SAW bersabda:

“Lima hal yang termasuk fitrah: mencukur bulu kemaluan, khitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.” (HR. Jama’ah)

Urutan Memotong Kuku yang Dianjurkan

Ternyata, Islam tidak hanya menyarankan untuk memotong kuku, tapi juga mengatur adab dan urutannya. Dalam Syarah Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi yang diterjemahkan oleh Abu Kanzoon Wawan Djunaedi, dijelaskan bahwa cara memotong kuku yang dianjurkan adalah:

  • Dimulai dari tangan kanan: mulai dari jari telunjuk, lalu jari tengah, jari manis, jari kelingking, dan terakhir ibu jari.
  • Lanjut ke tangan kiri: mulai dari jari kelingking hingga ibu jari.
  • Kemudian kaki kanan: dari jari kelingking hingga ibu jari.
  • Terakhir kaki kiri: dari ibu jari hingga jari kelingking.

Urutan ini bukan kewajiban, tapi termasuk dalam sunnah yang dianjurkan.

Kapan Sebaiknya Memotong Kuku?

Lalu, kapan waktu yang tepat untuk memotong kuku? Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah SAW memberi batas waktu agar kuku tidak dibiarkan terlalu panjang:

“Ditetapkan waktu bagi kami dalam memotong kumis, menggunting kuku, mencabut rambut ketiak, dan mencukur rambut kemaluan agar kami tidak membiarkannya lebih dari 40 malam.” (HR. Muslim)

Artinya, idealnya kuku dipotong sebelum mencapai 40 hari. Tidak ada hari khusus yang diwajibkan, namun memotong kuku secara rutin tetap sangat dianjurkan.

Menurut buku Fiqih Praktis Sehari-hari oleh Farid Nu’man, Islam tidak menetapkan hari tertentu untuk memotong kuku. Namun, sebagian ulama, terutama dalam mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa memotong kuku pada hari Jumat, Kamis, atau Senin dianggap lebih utama.

Seperti yang ditulis dalam buku Fikih Empat Madzhab Jilid 3 oleh Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi:

“Memotong kuku yang panjang pada hari Jumat adalah sunnah bagi yang sedang tidak ihram. Begitu pula hari Kamis dan Senin.”

(inf/lus)



Sumber : www.detik.com

Marak Judi Online, Apa Hukum Memberi Nafkah Keluarga dari Hasil Judi Slot?


Jakarta

Judi slot merupakan permainan yang berisi taruhan, baik dalam bentuk uang maupun materi lain. Nantinya, harta taruhan itu akan menjadi milik orang yang menang.

Sejatinya, Islam mengharamkan perbuatan judi. Sayyid Sabiq melalui Fiqh As Sunnah-nya yang diterjemahkan Khairul Amru Harahap mengatakan bahwa larangan judi ini disejajarkan dengan pengharaman khamar.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Maidah ayat 90,


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Dalam bahasa Arab, judi disebut dengan maysir. Judi sangat disukai oleh masyarakat Arab jahiliah sebelum kedatangan Rasulullah SAW. Mereka berjudi dengan cara taruhan dan lotre.

Hukum Memberi Nafkah Keluarga dengan Uang Judi

Mengutip buku Ensiklopedia Fikih Indonesia 7: Muamalat oleh Ahmad Sarwat, main judi tergolong dosa besar, meski uang yang digunakannya adalah uang orang lain. Pada kasus tertentu, orang yang mahir memainkan judi kerap disewa atau dijadikan joki.

Uang yang diperoleh dari hasil judi hukumnya haram. Artinya, karena cara memperolehnya haram maka haram pula untuk dimakan, dibelanjakan, atau digunakan untuk memberi nafkah kepada anak, istri dan keluarga.

Perlu dipahami, uang haram akan tumbuh menjadi darah dan daging yang haram. Akibatnya, orang yang memakan harta haram bisa masuk ke dalam neraka.

Rasulullah SAW bersabda dalam haditsnya,

“Siapa saja hamba yang dagingnya tumbuh dari (makanan) haram, neraka lebih pantas baginya.” (HR At Tirmidzi)

Uang judi juga haram untuk disedekahkan. Baik itu kepada orang lain, masjid, madrasah atau kegiatan keagamaan. Allah SWT Maha Suci dan tidak menerima persembahan kecuali yang suci juga.

Bagaimana Jika Keluarga Terlanjur Makan dari Uang Hasil Judi?

Menurut kitab Taudlihul Adillah yang disusun KH M Sjafi’i Hadzami, seseorang yang sudah dewasa termasuk anak dan istri yang mengatahui bahwa sesuatu yang dimakannya adalah haram maka wajib ditinggalkan. Artinya, anak dan istri yang sudah dewasa itu mempunyai pilihan untuk tidak memakan makanan dari uang hasil judi.

Sesuatu yang haram dan diketahui berasal dari yang haram akan dituntut di akhirat kelak. Hal ini turut dijelaskan oleh Syekh Zainuddin al Malibary melalui kitab Fathu al-Mu’in.

Apabila mengetahui bahwa makanan yang dimakan merupakan hasil dari judi slot yang dilarang agama, sejatinya keluarga tidak memakannya kecuali dalam kondisi darurat. Semisal tidak memakan makanan dari hasil uang judi slot maka dia akan sakit, celaka dan sebagainya. Dalam kondisi ini, diperbolehkan memakannya untuk bertahan hidup.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Maidah ayat 3,

فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “…Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Jika anak yang belum dewasa dan tergolong kanak-kanak memakan uang hasil judi slot, ia dibebaskan dari dosa. Sebab, ia belum bisa mencari nafkah sendiri dan bergantung pada kedua orang tuanya.

Wallahu a’lam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Benarkah Uang Suami Uang Istri, Uang Istri Bukan Uang Suami?


Jakarta

Suami adalah kepala rumah tangga yang memiliki kewajiban menafkahi istrinya. Kerap kali muncul anggapan uang suami adalah uang istri dan uang istri bukan uang suami, benarkah demikian?

Kewajiban suami menafkahi istrinya bersandar pada Al-Qur’an surah An Nisa’ ayat 34. Allah SWT berfirman,

…اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ


Artinya: “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya…”

Menurut Tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama RI, ayat tersebut menjelaskan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, serta bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang menjadi istri dan keluarganya.

Di masyarakat Indonesia, muncul anggapan uang suami juga uang istri, tetapi uang istri bukan uang suami. Anggapan ini juga menjadi topik pertanyaan dalam fikih keluarga.

Benarkah Uang Suami Uang Istri dan Uang Istri bukan Uang Suami?

Menurut sistem syariah Islam, seperti dijelaskan Ahmad Sarwat dalam buku Istri bukan Pembantu, suami istri punya kejelasan atas nilai hartanya masing-masing, meski secara fisik harta itu kelihatan saling bercampur. Semua harta suami tetap menjadi harta suami dan harta istri juga akan tetap milik istri sepenuhnya.

Memang sebagian harta suami ada yang menjadi hak istri tetapi harus melalui akad yang jelas. Misalnya pemberian mahar, nafkah wajib, hibah, atau hadiah. Tanpa adanya akad pasti, harta suami tidak otomatis menjadi harta istri.

Mengacu pada buku Finansial Istri dalam Fikih Muslimah karya Aini Aryani, selama suami memenuhi semua kebutuhan dasar atau primer istri seperti sandang, pangan, papan, dan sebagainya, sebetulnya suami sudah tak dibebani kewajiban lainnya. Meski demikian, istri boleh-boleh saja minta uang belanja lebih atau bonus dan hadiah lainnya. Apabila suami memberikan, semuanya akan menjadi hak istri.

Pemberian suami di luar nafkah itu akan menjadi sedekah untuk istri. Sebab, dalam Islam orang yang paling berhak diberi sedekah suami adalah mereka yang menjadi tanggungannya. Rasulullah SAW bersabda,

خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنِّى ، وَابْدَأُ بِمَنْ تَعُولُ

Artinya: “Sedekah yang terbaik adalah yang dikeluarkan di luar kebutuhan, dan mulailah sedekah itu dari orang yang kamu tanggung nafkahnya.” (HR Bukhari)

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Menelan Ludah dan Dahak Saat Salat, Apakah Batal?


Jakarta

Menelan ludah dan dahak ketika sedang salat kerap dipertanyakan muslim. Banyak yang khawatir hal tersebut membuat salat seseorang batal.

Menukil dari buku Ensiklopedia Fikih Indonesia 2: Taharah yang disusun Ahmad Sarwat, dahak adalah lendir yang keluar dari kerongkongan atau dari jalan pernapasan. Dahak tidak termasuk najis meski keluar dari tubuh manusia.

Ketidaknajisan dahak terbukti dalam sebuah hadits berikut,


“Rasulullah SAW menyeka dahak ketika salat dengan ujung selendang beliau.” (HR Bukhari)

Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga tidak melarang orang membuang dahaknya ke bajunya sendiri ketika salat. Beliau bersabda,

“Jika kalian ingin meludah (membuang dahak), janganlah meludah ke depan atau ke sebelah kanan. Namun meludahlah ke sebelah kiri atau ke bawah kakinya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Lantas, apa hukum menelan ludah dan dahak ketika sedang salat? Apakah salat seseorang akan batal?

Hukum Menelan Ludah dan Dahak Saat Salat

Buya Yahya melalui ceramahnya menjelaskan terkait hukum menelan ludah dan dahak ketika salat atau puasa. Menurutnya, dahak yang sudah dikeluarkan dari mulut tidak boleh dimasukkan kembali.

“Dahak yang keluar dari dalam sudah melampaui batas (dengan cara) di kkhk-kan dan keluar, maka tidak boleh dimasukkan lagi. Jika dimasukkan membatalkan,” katanya dilihat dari kanal YouTube Al Bahjah TV. detikHikmah telah mendapat izin mengutip tayangan dalam channel tersebut.

“Yang sudah keluar dari dalam karena Anda mengatakan khhk seperti huruf kho, lalu sudah keluar berarti tidak boleh lagi dimasukkan ke dalam dan jika ditelan menjadi membatalkan karena barang dari dalam,” sambungnya.

Namun, apabila dahak atau ludah masih ada di mulut kemudian tidak dikeluarkan tetapi tertelan maka tidak masalah sehingga salat tidak batal.

“Sesuatu yang ada di mulut dari ludah itu ditelan gak ada masalah, dengan catatan ludah (itu) yang murni belum bercampur dengan yang lainnya, ludahnya sendiri,” ujar Buya Yahya menjelaskan.

Namun, apabila ludah atau dahak sudah keluar dari mulut, hendaknya muslim yang sedang salat segera membuangnya. Cara membuangnya yaitu diseka menggunakan baju atau sorban. Selesai salat, baju atau sorban yang terdapat dahak bisa dicuci.

“Cara membuangnya ya dibuang kalau kita dalam salat dibuang di baju kita dan sorban kita dan sebagainya supaya tidak mengganggu masjid. Nanti dicuci, jangan sampai kita mengotori masjid, meludah ke masjid,” tambahnya.

Wallahu a’lam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Orang yang Berhak Menerima Zakat Fitrah, Siapakah Ibnu Sabil?



Jakarta

Secara bahasa, istilah ibnu sabil terdiri dari dua kata yakni ibnu yang berarti anak laki-laki dan sabil yang berarti jalan. Hal ini berarti ibnu sabil adalah seseorang yang menempuh perjalanan jauh. Adapun secara istilah, umumnya para ulama mendefinisikan ibnu sabil sebagai:

المـنْقَطِعُ عَنْ مَالِهِ سَوَاءٌ كَانَ خَارِجَ وَطَنِهِ أَوْ بِوَطَنِهِ أَوْ مَارًّا بِهِ

Artinya: Orang yang terputus dari hartanya, baik di luar negerinya, atau di dalam negerinya atau melewatinya.


Ibnu sabil termasuk salah satu dari daftar delapan mustahik zakat. Hal ini telah disebutkan dalam Al-Qur’an surat At Taubah ayat 60,

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Artinya: Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Siapakah Ibnu Sabil?

Ibnu Sabil merupakan kiasan bagi seorang musafir. Dikatakan bahwa Ibnu Zaid berkata: “Ibnu sabil adalah musafir, apakah ia kaya atau miskin, apabila mendapat musibah dalam bekalnya atau hartanya sama sekali tidak ada, maka ia berhak mendapat bagian dari zakat.

Para ulama sepakat apabila ada seseorang yang hartanya pas-pasan dan tidak mencukupi untuk kebutuhan mendasar dirinya sendiri, lalu kehabisan bekal dalam perjalanannya baik karena kekurangan, kehilangan, atau bahkan dirampas, maka dia termasuk orang yang berhak menerima zakat.”

Adapun Imam At Thobari meriwayatkan dalam suatu riwayat bahwa ibnu sabil memiliki hak dari dana sekalipun ia orang kaya jika perjalanannya terganggu. Kitab suci Al-Qur’an sendiri telah menyebut lafadz ibnu sabil sebanyak delapan kali dalam bentuk anjuran untuk berbuat baik padanya.

Namun, para ulama berbeda pendapat, apabila seseorang yang kehabisan harta itu termasuk orang yang berkecukupan di tempat asalnya. Apakah tetap diberi dari harta zakat, ataukah sejatinya dia bisa berhutang saja untuk memenuhi kebutuhan dirinya?

Aang Gunaepi menyebutkan dalam bukunya Konsep Fi sabilillah dalam Tinjauan Fikih Serta Implementasinya Pada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Al-Qur’an memberikan perhatian yang banyak kepada ibnu sabil karena beberapa alasan, di antaranya:

1. Ada anjuran untuk bepergian guna mencari rezeki Allah di muka bumi

2. Ada pula perjalanan yang diajarkan Islam untuk mencari ilmu, melihat dan mengambil pelajaran dari kebesaran Allah di muka bumi

3. Ada perjalanan yang diajarkan Islam untuk berjihad di jalan Allah, melawan kezaliman, meninggikan kalimat Allah di muka bumi

4. Ada perjalanan yang merupakan ibadah yang luas biasa, yaitu ibadah haji menuju baitullah

Syarat-Syarat Seorang Ibnu Sabil

Mengutip buku Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Zakat, yang ditulis oleh Ahmad Sarwat, Lc, M.A, disebutkan terdapat beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama bagi ibnu sabil agar berhak mendapatkan hata zakat, antara lain:

1. Seorang muslim dan bukan ahlul bait

Syarat ini adalah syarat paling standar bagi semua penerima zakat

2. Di tangannya tidak ada harta lain

Syarat ini menegaskan bahwa apabila seorang musafir masih memiliki harta dari jenis yang lain, yang bisa mengantarkannya sampai ke rumahnya, dia belum termasuk mustahik zakat.

Misalnya, seseorang kehabisan uang tunai di perjalanannya, akan tetapi dia mempunyai barang berharga seperti emas, berlian, pakaian, perhiasan, atau apa saja yang dapat dijual atau dijadikan jaminan untuk utang yang diperuntukkan sebagai ongkos pulang, maka hakikatnya dia masih memiliki harta.

Demikian juga apabila seorang musafir yang masih punya kendaraan untuk pulang, entah dengan cara menjualnya atau menaikinya, pada dasarnya dia masih bisa pulang tanpa harus disantuni dari harta zakat.

3. Bukan perjalanan maksiat

Seseorang yang kehabisan bekal dalam perjalanan memang berhak menerima santunan dari zakat, yakni dengan syarat perjalannya bukan perjalanan dengan tujuan maksiat dan tidak diridai oleh Allah SWT.

Akan tetapi, perjalanan tersebut juga tidak harus berupa perjalanan ibadah seperti haji atau menuntut ilmu, asalkan perjalanan itu mubah seperti misalnya tamasya, silaturahmi, menjalankan bisnis yang halal, maka sudah termasuk memenuhi syarat.

Adapun sebaliknya, apabila niat besar perjalanan tersebut adalah untuk merampok. Mencuri, korupsi, bermabuk-mabukan, apalagi berzina, maka apabila kehabisan bekal dan uang maka haram hukumnya disantuni oleh harta zakat.

4. Tidak ada pihak yang bersedia meminjamkannya

Syarat ini khusus hanya diajukan oleh madzhab Malikiyah. Jika orang tersebut termasuk kaya di daerah tempat tinggalnya, dan dia bisa berutang untuk nantinya diganti dengan hartanya setelah dia kembali, maka orang tersebut tidak berhak menerima santunan dari harta zakat.

Adapun contoh nyata yang ada di kehidupan masa kini adalah tenaga kerja Indonesia yang terlunta-lunta (tujuannya pergi dari tanah air adalah untuk mencari nafkah) dan juga korban perdagangan manusia (human trafficking) yang dieksploitasi.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

7 Syarat Dua Khutbah Jumat yang Harus Dipenuhi Khatib



Jakarta

Khutbah dipandang dari aspek bahasa berarti pidato atau ceramah. Secara umum, khutbah dapat dijelaskan sebagai kegiatan berdakwah atau menyebarkan agama serta mengajak untuk meningkatkan keimanan, ketakwaan dan syiar agama lainnya.

Dua khutbah adalah syarat atau prosesi yang harus dilakukan ketika melakukan rangkaian ibadah salat Jumat. Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah RA, “Rasulullah SAW berkhutbah dengan posisi berdiri. Setelah itu beliau duduk lalu berdiri lagi selanjutnya menyampaikan khutbah yang kedua.” (HR Muslim)

Mengutip buku Ensiklopedia Fikih Indonesia 3 oleh Ahmad Sarwat, Lc, M.A., para ulama bersepakat bahwa khutbah Jumat termasuk syarat sah dari salat Jumat. Menurut ulama, salat Jumat menjadi tidak sah apabila tidak didahului dengan dua khutbah.


Dasar hukum ini yakni Rasulullah SAW tidak pernah berkhutbah Jumat kecuali beliau berdiri dari dua khutbah yang diselingi dengan duduk diantara keduanya. Ulama bahkan berpendapat bahwa kedudukan dua khutbah Jumat tersebut adalah menjadi pengganti dua rakaat salat Dzuhur.

Interpretasi mengenai syarat dua khutbah sedikit banyak sama namun beberapa mengalami perbedaan minor terkait keterangan jumlah syarat yang harus dilakukan. Mengutip dari Fiqh Al-‘Ibadat, ‘Ilmiyyan ‘Ala Madzhabi Al-Imam Asy-Syafi’i Ma’a Mutammimat Tanasub Al-‘Ashr karya Syaikh DR. Alauddin Za’tari terdapat tujuh syarat dua khutbah Jumat.

7 Syarat Dua Khutbah Jumat

1. Menyempurnakan Bilangan yang Menjadi Sahnya Salat Jumat

Bilangan yang dimaksudkan adalah mengenai jumlah jemaah yang menjadi syarat pelaksanaan salat Jumat. Mayoritas ulama sendiri menyetujui untuk mengambil 40 orang sebagai batas minimal pelaksanaan salat Jumat dengan beberapa kondisi.

2. Disampaikan Ketika Dzuhur sebelum Salat Jumat

Syarat dua khutbah berikutnya adalah membacakannya ketika waktu Dzuhur sebelum salat Jumat. Artinya, bila pelaksanaan dua khutbah atau sebagian dari khutbah sebelum waktunya lalu ia salat sesudahnya, maka salatnya tidak akan sah.

Jika imam melakukan salat sebelum dua khutbah maka sholatnya juga tidak akan sah. Hal ini dikarenakan dua khutbah merupakan syarat sahnya salat Jumat. Sebagai syarat maka harus dilakukan secara bertahap sesuai urutan atau didahulukan dalam kasus ini.

3. Suci dari Hadats Besar dan Kecil

Seseorang khatib atau yang memberi khutbah harus dalam keadaan suci dari hadats besar dan kecil. Dengan kata lain, bila khatib tidak suci atau junub, khutbahnya tidak akan dianggap atau tidak sah.

Hal ini disebabkan karena dalam penyampaian khutbah pasti dan wajib untuk membaca surah Al-Qur’an. Dalam membaca surah Al-Qur’an maka diwajibkan dalam keadaan suci sehingga hal ini menyebabkan rangkaian khutbah tidak akan sempurna bahkan tidak sah.

Ketika mengalami hadats ketika sedang melakukan khutbah maka khatib bisa menunjuk seorang wakil. Wakil harus bisa meneruskan apa yang telah disampaikan oleh khatib utama. Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi menerangkan:

ولو أحدث في الأثناء وجب الإستئناف

Artinya, “Andai seorang khatib berhadats di tengah-tengah khutbah, maka wajib mengulanginya. (al-Tausyikh ‘Ala Ibni Qasim)

Hal ini bisa berbeda skenarionya jika khatib mengalami hadats ketika berada di antara dua khutbah dan salat. Hendaknya ia segera bersuci, maka rangkaiannya masih dalam keadaan sah dan tidak bermasalah.

4. Suci dari Najis

Khatib juga harus menjaga diri dari najis. Jika ada najis pada badan, pakaian, dan tempat khutbah ketika sebelum atau saat melakukan khutbah maka khutbah dapat menjadi tidak sah.

5. Menutup Aurat

Khatib menutup auratnya seperti ketentuan dan syarat menutup aurat bagi laki-laki ketika melakukan salat.

6. Berdiri bila Sanggup

Syarat dua khutbah selanjutnya yang harus dipenuhi khatib adalah berdiri. Namun, hadits Jabir bun Samurah melalui buku karya Syaikh DR. Alauddin Za’tari yang sama, menjelaskan bahwa jika seorang khatib tidak sanggup berdiri maka dianjurkan baginya untuk menunjuk penggantinya.

Jika seseorang benar-benar tidak mampu melakukan khutbah dengan berdiri, dengan duduk, maka hendaklah ia sambil berbaring atau tidur terlentang jika memang tidak memungkinkan. Hal ini menurut kesepakatan para ulama hukumnya diperbolehkan, sama seperti keadaan salat.

7. Dijeda dengan Duduk

Tidak sah bila khutbah tidak dilaksanakan dua kali tanpa melalui duduk atau jeda terlebih dahulu. Tidak diperbolehkan pula ketika sehabis khutbah pertama diisi salat Jumat lalu dilanjutkan khutbah kedua.

Tidak diperbolehkan bagi khatib untuk melakukan khotbah tanpa memberi jeda diantaranya. Harus ada pemisah diantara dua khutbah yang dilakukan dengan cara duduk. Selama duduk ini, perkiraan waktu jeda bisa menggunakan perkiraan waktu membaca tasbih.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com