Tag Archives: al – bahjah tv

Apakah Boleh Berdoa dengan Bahasa Indonesia? Ini Jawaban Ustaz


Jakarta

Berdoa adalah cara seorang muslim berbicara kepada Allah dan menyampaikan harapan, kebutuhan, maupun kesulitannya. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk berdoa kepada-Nya dalam surah Ghafir ayat 60.

Allah SWT berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ


Arab latin: Wa qāla rabbukumud’ūnī astajib lakum, innal-lażīna yastakbirūna ‘an ‘ibādatī sayadkhulūna jahannama dākhirīn(a).

Artinya: Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan). Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk (neraka) Jahanam dalam keadaan hina dina.”

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah sangat dekat dengan hamba-Nya yang berdoa. Namun, muncul pertanyaan yang cukup sering ditanyakan oleh umat Islam di Indonesia: apakah boleh berdoa menggunakan bahasa Indonesia, terutama saat sedang menjalankan salat?

Penjelasan mengenai hal ini pernah disampaikan oleh Buya Yahya, pengasuh LPD Al Bahjah Cirebon, dalam kajiannya di kanal YouTube Al Bahjah TV.

Buya Yahya menjelaskan ada waktu-waktu istimewa dalam ibadah, salah satunya adalah ketika sedang sujud dalam salat. Menurutnya, sujud adalah momen paling dekat antara seorang hamba dengan Allah.

“Saat itulah kita sangat dekat kepada Allah, maka di saat seperti itulah perbanyak untuk memohon. Hal ini Nabi yang mengajarkan,” ujar Buya Yahya. detikHikmah telah mendapatkan izin oleh tim Al Bahjah TV untuk mengutip ceramah Buya Yahya.

Dengan demikian, saat sujud menjadi waktu terbaik untuk menyampaikan doa. Banyak orang terkadang melewatkan momen ini dengan terburu-buru, padahal justru saat itulah dianjurkan untuk memohon sebanyak-banyaknya.

Bolehkah Berdoa dalam Bahasa Indonesia saat Salat?

Mengenai penggunaan bahasa Indonesia saat berdoa dalam salat, Buya Yahya menyampaikan pandangan mayoritas ulama.

“Apakah boleh membaca doa menggunakan bahasa Indonesia? Sebagian besar para ulama mengatakan tidak diperkenankan. Karena selain dari bahasa Arab, dianggap ajnabi dan dapat membatalkan salat,” jelas Buya Yahya.

Dalam hal ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa doa dalam salat harus tetap menggunakan bahasa Arab. Penggunaan bahasa lain dianggap tidak sesuai dan bisa membatalkan keabsahan salat itu sendiri. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk mempelajari dan menghafalkan doa-doa yang sah dibaca dalam salat.

Berdoa di Luar Salat Bisa Pakai Bahasa Apa Saja

Bagi yang belum bisa berdoa dalam bahasa Arab, Buya Yahya menganjurkan untuk mempelajarinya secara perlahan. Doa-doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sangat banyak dan bisa dijadikan rujukan utama. Untuk keinginan pribadi yang belum bisa diungkapkan dalam bahasa Arab, sebaiknya disampaikan di luar salat.

Buya Yahya juga menjelaskan bahwa di luar salat, umat Islam boleh berdoa menggunakan bahasa apa saja, termasuk bahasa Indonesia.

“Bacalah doa-doa di dalam salat dengan bahasa Arab, adapun di luar salat, bebas, tapi ingat kaidahnya, sebaik-baik doa adalah doa yang pernah dibaca oleh Nabi,” lanjut ulama kelahiran Blitar itu.

Dengan demikian, tidak ada larangan menggunakan bahasa Indonesia untuk berdoa selama tidak sedang dalam keadaan salat. Namun, sebaiknya tetap mengutamakan doa-doa yang bersumber dari Nabi karena lebih terjamin makna dan keberkahannya.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Hukum Shalatnya Makmum yang Mendahului Imam


Jakarta

Shalat berjamaah merupakan salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah Ash-Shaff ayat 4,

اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِهٖ صَفًّا كَاَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَّرْصُوْصٌ

Arab latin: Innallāha yuḥibbul-lażīna yuqātilūna fī sabīlihī ṣaffan ka’annahum bun-yānum marṣūṣ(un).


Artinya: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan, seakan-akan mereka suatu bangunan yang tersusun kukuh.

Menurut penjelasan dalam Tafsir Tahlili, ayat ini tidak hanya berkaitan dengan jihad, tetapi juga menjadi landasan pentingnya keteraturan dalam shalat berjamaah. Barisan shalat harus rapat, tanpa celah, karena celah akan diisi oleh setan.

Salah satu wujud keteraturan itu adalah mengikuti imam dengan tertib. Namun, dalam praktiknya, masih sering terjadi makmum mendahului imam, baik dalam gerakan maupun bacaan. Lalu, bagaimana hukum shalat makmum yang mendahului imam? Apakah sah atau justru batal?

Apa Hukum Makmum yang Mendahului Imam?

Dalam syariat Islam, imam ditetapkan sebagai pemimpin shalat berjamaah yang harus diikuti oleh makmum. Segala bentuk gerakan shalat seperti rukuk, sujud, dan salam, seharusnya dilakukan makmum setelah imam melakukannya. Jika makmum mendahului imam, maka ada ketentuan hukum yang perlu diperhatikan.

Dalam kitab Syarhul Muqaddimah Al-Hadramiyyah, Syekh Sa’id bin Muhammad menyatakan bahwa jika seorang makmum yakin telah mendahului imam dalam posisi shalat, maka shalatnya tidak sah. Namun, beliau memberikan pengecualian apabila terjadi kondisi darurat, seperti perasaan takut atau ancaman yang membahayakan. Dalam situasi seperti ini, mendahului imam dibolehkan karena adanya udzur syar’i.

Pernyataan ini memperjelas bahwa mendahului imam bukanlah hal sepele. Bahkan, jika dilakukan tanpa alasan yang sah, bisa berakibat fatal bagi keabsahan shalat berjamaah seseorang.

Penjelasan Buya Yahya tentang Makmum Mendahului Imam

Penjelasan lebih rinci disampaikan oleh Buya Yahya, pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah, Cirebon. Dalam salah satu kajian yang disiarkan melalui kanal Youtube Al-Bahjah TV, beliau menjelaskan,

“Imam belum salam, Anda salam duluan, batal ya. Jelas ini orang buru-buru,” ujar Buya Yahya. detikHikmah telah mendapatkan izin dari Tim Al Bahjah TV untuk mengutip ceramah Buya Yahya.

Namun, beliau memberikan pengecualian jika makmum memiliki kebutuhan mendesak yang membuatnya harus menyelesaikan shalat lebih cepat dan berniat mufaraqah (memisahkan diri dari jamaah). Buya Yahya memberi contoh kondisi seperti sakit perut yang bisa menyebabkan gangguan saat menunggu imam menyelesaikan shalat. Dalam kondisi seperti itu, makmum diperbolehkan mempercepat shalatnya dan mendahului imam, asalkan diniatkan mufaraqah.

“Kalau Anda mempercepat, memutus, niat memisahkan diri dari imam karena ada hajat mendesak pada diri Anda… tidak ada masalah,” lanjut Buya Yahya.

Buya Yahya juga menekankan bahwa rukun fi’li seperti rukuk, i’tidal, dan sujud tidak boleh dilakukan lebih dulu dari imam, dan ada ukuran dalam hal ini. Jika makmum mendahului dua rukun fi’li secara sempurna tanpa niat mufaraqah, maka shalatnya menjadi tidak sah. Tapi bila yang didahului hanya satu rukun, meskipun hukumnya haram, shalatnya tetap sah selama tidak berlebihan.

(inf/dvs)



Sumber : www.detik.com

Salat Tanpa Sajadah, Sah atau Tidak? Ini Penjelasan Ulama


Jakarta

Sajadah telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik salat bagi sebagian besar umat Muslim. Banyak yang merasa kurang nyaman atau bahkan tidak lengkap ibadahnya tanpa alas sujud ini.

Namun, apakah salat sah jika tidak menggunakan sajadah? Bagaimana sebenarnya pandangan ulama mengenai hal ini?

Fungsi Sajadah dan Hukum Penggunaannya

Pada dasarnya, sajadah adalah salah satu perangkat salat yang bertujuan untuk menjaga kebersihan dan kesucian tempat salat. Ini memastikan area sujud dan berdiri jemaah tetap bersih dari kotoran atau najis.


Mengenai hukum penggunaannya, ulama memiliki beberapa pandangan. Menukil buku 15 Konsultasi Syariah: Ambil Untung 100% Bolehkah? Karya Fahrudin, dkk, ada tiga hukum dalam penggunaan sajadah.

1. Haram secara mutlak: Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa penggunaan sajadah adalah haram dan membuat salat tidak sah. Namun, pandangan ini kurang populer.

2. Haram jika motif mengganggu kekhusyukan: Pendapat lain menyatakan bahwa sajadah haram digunakan jika memiliki motif yang dapat mengganggu konsentrasi dan kekhusyukan salat.

3. Boleh (Mubah): Mayoritas ulama membolehkan penggunaan sajadah, tikar, atau alas suci lainnya. Pandangan ini didasarkan pada sejumlah hadits Nabi Muhammad SAW, di antaranya:

  • Dari Maimunah RA, istri Nabi SAW, bahwa Rasulullah SAW sering salat beralaskan tikar kecil. “Adalah Rasulullah SAW seringkali salat dengan beralaskan khumrah (tikar kecil).” (HR Bukhari dan Muslim)
  • Ibnu Abbas RA pernah salat di atas permadani di Bashrah dan menyampaikan bahwa Rasulullah SAW juga sering salat di atas permadani. (HR Ibnu Majah)
  • Rasulullah SAW bahkan pernah membentangkan bajunya sebagai alas salat ketika cuaca sangat panas. (HR Bukhari dan Muslim)

Apakah Salat Sah Jika Tidak Pakai Sajadah?

Ya, salat tetap sah jika tidak menggunakan sajadah. Penggunaan sajadah bukanlah penentu sah atau tidaknya salat seseorang.

Jika ada pendapat yang mengharamkan sajadah secara mutlak atau yang melarang sajadah bermotif, maka tentu salat akan menjadi sah justru ketika tidak memakai sajadah.

Buya Yahya dalam video ceramahnya di kanal YouTube Al-Bahjah TV menegaskan, “Anda bisa salat di mana pun tanpa sajadah, sebab bumi Allah itu suci.” Beliau menambahkan bahwa di padang pasir, padang rumput, atau di mana saja, salat tanpa sajadah adalah sah. Ini menunjukkan kemudahan dalam beribadah.

Penting untuk diingat bahwa najis itu terbatas pada kotoran manusia, air kencing, atau sejenisnya. Tanah, rumput, atau debu di tempat umum yang bersih tidaklah najis.

Kapan Sebaiknya Menggunakan Sajadah?

Meskipun salat tanpa sajadah sah, ada situasi di mana penggunaan sajadah sangat dianjurkan. Jika tempat salat diperkirakan kotor, tidak suci, terlalu panas, terlalu dingin, atau berdebu, maka sajadah dapat menjadi alas yang membantu menjaga kenyamanan dan kebersihan. Terkadang, sajadah juga menjadi penyemangat tersendiri untuk mendirikan salat.

Ketentuan Tempat Salat

Sahnya salat tidak ditentukan oleh sajadah, melainkan oleh tempat dan syarat-syarat salat itu sendiri. Menurut Fahd Salem Bahammam dalam bukunya Shalat: Penjelasan Rinci tentang Hukum dan Tujuan Bersuci dan Shalat dalam Islam, ada beberapa ketentuan tempat salat yang harus diperhatikan:

  • Tidak mengganggu orang lain: Hindari salat di jalanan, koridor, atau tempat yang dapat menghambat aktivitas orang lain.
  • Tidak mengganggu kekhusyukan: Sebaiknya pilih tempat yang tenang, bebas dari gambar-gambar mencolok, suara gaduh, atau alunan musik yang dapat memecah konsentrasi.
  • Bukan tempat maksiat: Jauhi tempat-tempat yang identik dengan perbuatan maksiat seperti diskotek atau klub malam.

Syarat Sah Salat

Abu Sakhi dalam Buku Praktis Panduan Sholat Wajib-Sunnah menuturkan syarat sah salat yang harus dipenuhi:

  1. Bersuci: Wajib berwudu, tayamum, atau mandi junub sebelum salat.
  2. Mengetahui waktu salat: Salat harus dilakukan pada waktunya yang telah ditentukan. Jika dilakukan sebelum waktunya, salat tersebut tidak sah dan wajib diulangi.
  3. Menutup aurat: Seluruh aurat harus tertutup sempurna selama salat.
  4. Menghadap kiblat: Salat wajib dilakukan dengan menghadap ke arah kiblat (Ka’bah di Mekah).

Etika dalam Menggunakan dan Memberi Sajadah

Buya Yahya juga mengingatkan tentang etika dalam penggunaan sajadah, terutama saat memberikannya kepada orang lain:

  • Kebersihan dan kenyamanan: Pastikan sajadah yang diberikan bersih dan layak pakai. Hindari memberikan sajadah yang kotor, berbau, atau memiliki bekas-bekas yang tidak nyaman bagi orang lain.
  • Motif yang tidak mengganggu: Sajadah dengan gambar atau motif yang terlalu ramai sebaiknya dihindari, karena dapat mengganggu kekhusyukan salat.
  • Ukuran yang proporsional: Sajadah yang terlalu besar hingga menghalangi jalan orang lain juga perlu diperhatikan.

Intinya, kemudahan dalam beribadah salat adalah salah satu prinsip utama dalam Islam. Jangan sampai kerumitan yang tidak perlu, seperti keharusan menggunakan sajadah, menghalangi seseorang untuk menunaikan salat.

detikHikmah telah mendapatkan izin dari Tim Al Bahjah TV untuk mengutip ceramah Buya Yahya di channel tersebut.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Telinga Berdenging, Mitos atau Benar Ada Penjelasan dalam Islam?


Jakarta

Fenomena telinga berdenging seringkali dikaitkan dengan berbagai kepercayaan di masyarakat. Sebagian orang meyakini bahwa itu adalah pertanda gaib, seperti dipanggil orang yang sudah meninggal, atau ada seseorang yang sedang membicarakan kita. Namun, bagaimana Islam memandang hal ini?

Banyak Mitos yang Beredar

Tidak sedikit orang yang langsung mengaitkan telinga berdenging dengan hal-hal mistis. Beberapa kepercayaan menyebutkan bahwa ketika telinga berdenging, itu artinya ada seseorang yang sedang membicarakan kita, atau bahkan pertanda ada keluarga yang telah meninggal sedang “memanggil”.

Menyikapi keyakinan seperti ini, Buya Yahya, Pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah Al-Bahjah memberikan penjelasan yang tegas dalam salah satu kajian beliau di kanal YouTube resminya:


“Begitu banyak kepercayaan-kepercayaan mengenai telinga berdenging ini. Ada yang bilang dipanggil oleh keluarganya yang lagi di dalam kuburan, ada yang percaya juga bahwa telinga berdenging itu karena ada yang meninggal dunia. Tidak ada hubungannya dengan yang demikian. Jangan percaya hal-hal tidak nyata seperti itu,” tegas Buya Yahya. detikHikmah telah mendapatkan izin dari tim Al-Bahjah TV untuk mengutip ceramah Buya Yahya di kanal tersebut.

Telinga Berdenging, Bukan Panggilan Nabi

Selain mitos seputar arwah atau kematian, ada pula yang meyakini bahwa telinga berdenging adalah tanda bahwa seseorang sedang dipanggil oleh Nabi Muhammad SAW. Namun, menurut Buya Yahya, anggapan ini juga tidak memiliki dasar yang benar.

“Telinga berdenging bisa jadi ada permasalahan pada kesehatan telinganya. Pertama-tama, coba tanyakan kepada medis, bisa jadi ada tekanan dalam telinga, seperti itu. Jangan dihubung-hubungkan dipanggil Nabi dan sejenisnya, padahal Nabi panggil kita setiap hari, mengajak shalat, mengajak ibadah,’ jelasnya.

Pandangan ini mengingatkan kita bahwa seruan Nabi SAW bukan datang melalui tanda-tanda gaib, melainkan melalui ajaran dan sunnah beliau yang sudah jelas disampaikan kepada umat Islam.

Adakah Penjelasan dalam Hadits?

Meski banyak mitos tidak berdasar, Islam tetap memberikan adab atau sikap ketika seseorang mengalami telinga berdenging. Dalam kitab Al-Adzkar karya Imam Nawawi, disebutkan sebuah riwayat:

Kami meriwayatkan dalam Kitab Ibnu As-Sunni dari Abu Rafi’, pembantu Rasulullah, bahwa beliau bersabda:

“Jika telinga salah seorang di antara kalian berdenging, maka sebutkanlah aku, bacalah shalawat kepadaku dan ucapkanlah, ‘Semoga Allah menyebutkan dengan kebaikan untuk orang yang menyebutku.'”

Dari sini kita bisa melihat bahwa Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk menyikapi peristiwa sehari-hari, termasuk telinga berdenging, dengan cara yang positif, yaitu mengingat beliau dan membaca shalawat.

(inf/lus)



Sumber : www.detik.com

Bisakah Tes DNA untuk Menentukan Nasab? Ini Kata Buya Yahya


Jakarta

Tes DNA kerap digunakan sebagai salah satu metode ilmiah untuk mengungkap hubungan kekerabatan. Namun, bagaimana jika tes ini digunakan untuk menentukan atau bahkan membatalkan nasab dalam pandangan Islam?

Pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah Cirebon, Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya, memberikan pandangannya yang tegas terkait penggunaan tes DNA untuk penetapan nasab. Menurutnya, hal ini adalah sesuatu yang berbahaya dan berpotensi merusak tatanan syariat.

“Penetapan nasab dengan DNA, kita lihat bahwa Islam sangat jelas, di dalam menetapkan nasab ada ilmunya, DNA tidak masuk dalam hal ini. Dan justru bahaya sekali kalau sudah orang masuk pembahasan-pembahasan seperti ini, urusan nasab jangan dihubungkan dengan urusan DNA,” tegas Buya Yahya, dalam video berjudul Tes DNA, Bisakah Untuk Menentukan Nasab? di YouTube Al-Bahjah TV, dikutip Rabu (20/8/2025). detikcom telah mendapatkan izin untuk mengutip ceramah tersebut oleh tim Al-Bahjah TV.


Buya Yahya menjelaskan, tes DNA memiliki kegunaan yang berbeda, seperti untuk urusan kejahatan atau identifikasi, bukan untuk menentukan nasab. Ia khawatir, jika penetapan nasab didasarkan pada DNA, maka hal itu akan merusak kaidah syariat yang sudah jelas.

“Sebab kalau DNA itu tidak kenal akad nikah, meskipun tidak nikah, DNA bisa saja nyambung, tidak ada pernikahan,” jelasnya.

Akad Nikah Jadi Penentu Nasab

Dalam ajaran Islam, nasab ditentukan berdasarkan pernikahan yang sah. Menurut Buya Yahya, nasab sudah bisa dianggap sah jika ada pengakuan dari sang ayah atau sudah diketahui secara umum di masyarakat.

“Makanya menentukan nasab adalah dengan istifadah misalnya, di kampung itu sudah didengar bahasanya si A anaknya si B, sudah jangan banyak tanya,” kata Buya Yahya.

Ia bahkan menambahkan, jika ada seorang ayah mengakui anak itu sebagai anaknya, maka sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.

“Selagi orang ngomong ‘itu anak saya’, ‘benar anakmu?’, ‘iya’ selesai. Jangan bertanya, ribut, ‘nikah kamu di mana. Anda ini fudul, kurang ajar, cukup dia mengatakan anak saya, selesai,” lanjutnya.

Bahaya dan Ancaman Jika Menggunakan Tes DNA untuk Menentukan Nasab

Menurut Buya Yahya, penggunaan tes DNA untuk nasab bisa membahayakan umat dan menimbulkan kerusakan. “Ini bisa merusak, na’udzubillah, bisa menjadikan orang meninggalkan syariat,” ujarnya.

Ia mencontohkan, jika ada orang yang nasabnya sudah jelas di masyarakat, lalu dibatalkan hanya karena hasil tes DNA. Hal ini bisa menimbulkan kekacauan, karena jika seorang anak tidak memiliki ayah yang sah, maka siapa yang akan bertanggung jawab?

“Apalagi sampai membatalkan nasab, na’udzubillah. Membatalkan nasab, orang ini bapaknya ini dikatakan tidak sah gara-gara DNA. Anda harus datangkan siapa bapaknya, kalau tidak Anda dicambuk 80 kali, hati-hati, jangan main-main DNA,” tegasnya.

Pada akhirnya, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk tidak mudah terpengaruh hal-hal di luar agama dan tetap berpegang pada syariat yang sudah ada. Jangan sampai kita menuduh seseorang berzina hanya karya DNA-nya tidak cocok.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Nampan MBG Diduga Mengandung Minyak Babi, Ini Hukumnya dalam Islam


Jakarta

Isu mengenai nampan atau food tray yang digunakan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) tengah ramai dibicarakan publik. Dugaan muncul setelah beredar kabar bahwa nampan tersebut bukan produk lokal, melainkan impor dari China, dan bahkan disebut mengandung minyak babi.

Dalam Islam, babi secara tegas dinyatakan sebagai salah satu makanan haram dan najis. Termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 173,

اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ١٧٣


Artinya: “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Hukum Minyak Babi dalam Islam

Buya Yahya dalam tayangan video di channel YouTube Al-Bahjah TV memberikan penjelasan mengenai hukum babi dalam Islam, termasuk terkait minyaknya.

Buya Yahya menegaskan bahwa babi secara keseluruhan haram dan najis, bukan hanya dagingnya saja.

“Soal minyak babi, babi semuanya haram, bukan cuma dagingnya. Kan yang disebutkan dalam Al-Qur’an hanya dagingnya, bukan berarti tulangnya boleh jadikan kerupuk tulang,” jelas Buya Yahya dalam tayangan tersebut. detikHikmah telah mendapatkan izin dari tim Al-Bahjah TV untuk mengutip ceramah Buya Yahya.

Beliau menekankan bahwa penyebutan “daging” dalam Al-Qur’an tidak berarti bagian lain halal, melainkan karena kebiasaan manusia pada umumnya hanya mengonsumsi daging.

“Dalam Al-Qur’an bukan dagingnya saja, cuma daging kenapa disebut, karena orang umumnya makan bagian daging,” lanjutnya.

Buya Yahya kemudian mencontohkan kebiasaan masyarakat Indonesia yang mampu mengolah berbagai bagian hewan menjadi makanan, termasuk kulit dan tulang.

“Tapi sama orang Indonesia ini luar biasa semua bisa diolah (jadi makanan). Saya ke Yaman bawa kerupuk kulit, mereka tanya, ini apa? Kaget mereka dibilang kulit kambing,” ungkapnya.

Hal ini menunjukkan bahwa penyebutan daging dalam Al-Qur’an bukan berarti bagian lain halal, melainkan hanya contoh yang paling umum dikonsumsi.

Dalam penjelasannya, Buya Yahya memperingatkan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Ia menegaskan bahwa semua bagian babi termasuk daging, tulang, kulit, bahkan minyak hasil perasannya tetap haram dan najis.

“Meskipun disebut dagingnya, tapi babi semua haram, semua najis. Tulangnya haram dan najis. Kulitnya tetap haram dan najis. Perasannya, minyaknya tetap haram dan najis. Jangan sampai terjadi kesalahpahaman, yang haram dan najis bukan hanya dagingnya tapi semuanya,” tegas Buya Yahya.

Lebih jauh, Buya Yahya menjelaskan bahwa babi termasuk dalam kategori najis mughaladhah (najis berat), sama seperti anjing. Konsekuensinya, bila menyentuhnya, maka wajib disucikan dengan tata cara khusus.

“Najis mugholadoh. Menyentuh, kita harus cuci 7 kali basuhan. Sama dengan anjing,” pungkasnya.

Terkait Wadah MBG Diduga Mengandung Minyak Babi

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menanggapi isu wadah makanan MBG yang mengandung minyak babi. Ia menegaskan bahwa untuk memastikan kebenarannya, perlu dilakukan pengujian oleh lembaga berwenang seperti BPOM.

“Kalau pembuktian, misalnya soal nampan itu, kan nanti bisa diujilah. Nampannya begitu sampai di sini bisa diuji di BPOM. Bisa diuji, diuji di laboratorium independen, benar nggak begitu dia?” katanya dikutip detikNews (26/8/2025).

Hasan mengaku telah berkoordinasi dengan Kepala BPOM, Taruna Ikrar, terkait kabar ini. Ia meminta masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi isu sensitif sebelum ada hasil pemeriksaan resmi.

“Kita bisa uji kok tadi saya sudah ketemu sama Kepala BPOM. Jadi itu pentingnya kita tidak gampang termakan isu yang sensitif, dan itu kan perlu diperiksa,” ujarnya.

Dalam kesempatan lain, Hasan kembali menegaskan pemerintah berkomitmen menjaga keamanan program MBG.

“Sejauh ini kita tidak menemukan. Tetapi kalau memang ada kekhawatiran soal itu, kita riset, bisa diuji di BPOM,” jelasnya.

“Jadi itu pentingnya kita tidak gampang termakan oleh isu-isu. Apalagi isu-isu yang sangat sensitif dan itu kan memang harus diperiksa,” pungkasnya.

Respons Badan Gizi Nasional (BGN)

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana juga merespons isu tersebut. Ia menyatakan pihaknya sedang melakukan pengecekan mendalam.

“Sedang check and recheck (diperiksa kembali),” kata Dadan, Selasa (26/8), dilansir Antara.

Dadan menambahkan, selama ini BGN belum pernah melakukan pengadaan ompreng atau food tray untuk program MBG.

“BGN kan belum pernah mengadakan,” pungkasnya.

(dvs/inf)



Sumber : www.detik.com