Tag Archives: al-qur

Kenapa Khutbah Jumat Harus Dua Bagian? Ini Dalil dari Nabi dan Ulama


Jakarta

Pelaksanaan khutbah Jumat secara umum terdiri dari dua bagian. Praktik ini tidak lepas dari tuntunan Nabi Muhammad SAW dan dijelaskan pula oleh para ulama dalam kitab-kitab fikih. Dasar pentingnya khutbah Jumat bisa dilihat dari firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Jumu’ah ayat 9:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Arab latin: Yā ayyuhal-lażīna āmanū iżā nūdiya liṣ-ṣalāti miy yaumil-jumu’ati fas’au ilā żikrillāhi wa żarul-bai'(a), żālikum khairul lakum in kuntum ta’lamūn(a).


Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, apabila (seruan) untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat telah dikumandangkan, segeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Teladan Langsung dari Nabi Muhammad SAW

Dalam buku Rahasia & Keutamaan Hari Jumat karya Komarudin Ibnu Mikam dijelaskan bahwa khutbah dua bagian adalah tuntunan Nabi Muhammad SAW. Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa beliau menyampaikan khutbah dalam dua sesi dan duduk sejenak di antaranya tanpa berbicara.

Dari Ibnu Umar RA, diriwayatkan:

“Nabi SAW berkhutbah dua kali, beliau duduk di antara keduanya.” (HR. Al-Bukhari)

Sementara Jabir bin Samrah RA berkata:

“Aku melihat Nabi SAW berkhutbah berdiri lalu duduk tidak bicara.” (HR. Abu Dawud)

Keterangan ini menunjukkan bahwa dua khutbah dan duduk di antara keduanya bukan sekadar teknis, melainkan bagian dari ibadah yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW dan memiliki dasar syar’i yang kuat.

Dua Khutbah Merupakan Syarat

Dalam buku Terjemah Akhsar Mukhtasharat & Catatan Fikih Hanabilah yang diterbitkan Tuhfah Academy disebutkan secara tegas bahwa dua khutbah adalah syarat sah Jumat. Disebutkan:

“Dan disyaratkan mendahulukan dua khutbah, dan di antara syarat keduanya adalah: dilakukan pada waktu shalat, mengandung pujian kepada Allah, shalawat kepada Rasul-Nya, membaca satu ayat Al-Qur’an, kehadiran jumlah jamaah yang mencukupi, diucapkan dengan suara yang dapat didengar, niat, dan terdapat wasiat untuk bertakwa kepada Allah, tanpa redaksi tertentu. Kedua khutbah ini harus disampaikan oleh orang yang sah menjadi imam Jumat, bukan oleh seseorang yang hanya menggantikan imam dalam pelaksanaan shalatnya.”

Dalam penjelasan lanjutan, disebutkan pula bahwa khutbah disunnahkan dilakukan di atas mimbar atau tempat yang lebih tinggi, agar suara lebih terdengar jelas. Khatib memberi salam saat keluar dan saat menghadap jamaah, lalu duduk hingga adzan selesai. Setelah khutbah pertama selesai, khatib duduk sejenak sebelum melanjutkan khutbah kedua, sebagaimana yang dicontohkan Nabi SAW.

Kedua khutbah ini juga dianjurkan disampaikan secara singkat, tidak terlalu panjang, namun tetap memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan. Isi khutbah kedua dianjurkan lebih banyak, dan khatib juga disunnahkan untuk mendoakan kebaikan bagi kaum muslimin secara umum, serta diperbolehkan menyebut nama tertentu seperti pemimpin atau penguasa dalam doa tersebut.

(inf/lus)



Sumber : www.detik.com

Mengapa Nabi Muhammad SAW Melarang Meniup Makanan dan Minuman?


Jakarta

Islam tidak hanya mengatur hal-hal besar dalam kehidupan, tetapi juga memperhatikan perkara kecil yang berdampak besar, termasuk adab ketika makan dan minum. Salah satu adab yang diajarkan Rasulullah SAW adalah larangan meniup makanan atau minuman. Larangan ini bukan tanpa alasan, melainkan bagian dari syariat yang menanamkan kebersihan, etika sosial, dan kesehatan.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 222:

اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ


Arab latin: Innallāha yuḥibbut-tawwābīna wa yuḥibbul-mutaṭahhirīn(a).

Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.

Ayat ini menunjukkan bahwa menjaga kebersihan dan menjauhi hal-hal yang kotor merupakan perbuatan yang dicintai oleh Allah. Oleh karena itu, adab seperti tidak meniup makanan atau minuman termasuk bagian dari upaya menjaga kebersihan dan kesucian diri.

Alasan Nabi Muhammad SAW Melarang Meniup Minuman atau Makanan

Dalam Sunan Ibnu Majah Jilid 3 karya Imam al-Hafizh Abi Abdillah (Imam Ibnu Majah), disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA:

“Rasulullah SAW melarang meniup ke dalam tempat air minum.” (Shahih: al-Irwaa’ no. 1977 dan al-Misykaat no. 4277)

Hadits ini menunjukkan bahwa larangan tersebut datang langsung dari Nabi SAW sebagai bentuk adab yang perlu diperhatikan umatnya. Lalu, apa alasan di balik larangan ini?

1. Menjaga Kebersihan dan Kesehatan

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin menjelaskan bahwa udara yang keluar dari mulut seseorang ketika meniup bisa saja mengandung kuman atau virus yang membahayakan.

Dengan demikian, meniup makanan atau minuman, apalagi ketika panas, dapat menjadi sarana penyebaran penyakit, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Apalagi ketika makan atau minum dilakukan bersama-sama atau di hadapan orang lain. Udara dari mulut bisa mengkontaminasi makanan atau minuman, terlebih jika digunakan secara bergantian.

2. Mencegah Bau Tak Sedap dan Gangguan Sosial

Dalam buku Ringkasan Kitab Adab oleh Syaikh Fuad bin Abdul Aziz Asy-Syalhub, disebutkan bahwa meniup minuman bisa menyebabkan gangguan bagi orang di sekitar karena mulut seseorang mungkin mengeluarkan aroma yang tidak sedap. Ini tentu mengurangi kenyamanan bersama, terutama saat makan atau minum dalam kebersamaan.

3. Menghindari Kontaminasi Benda Asing

Kadang kala seseorang meniup air atau makanan karena ada kotoran kecil yang masuk. Namun, Rasulullah SAW memberikan solusi yang lebih bersih dan elegan. Dalam sebuah riwayat, ketika ada sahabat yang bertanya perihal kotoran kecil seperti serbuk kayu yang biasa ditiup agar keluar, Nabi SAW bersabda:

“Tuangkanlah.”

Artinya, cukup dengan menuangkan sebagian air atau mengambil kotoran dari makanan, tanpa perlu meniupnya.

4. Adab dan Keteladanan Rasulullah SAW

Islam adalah agama yang memperhatikan hal-hal kecil dalam kehidupan untuk membentuk pribadi yang bersih dan beradab. Larangan meniup makanan atau minuman ini merupakan bagian dari adab Rasulullah SAW yang mengajarkan umatnya agar tidak bersikap sembarangan, bahkan dalam hal yang tampaknya ringan.

(inf/lus)



Sumber : www.detik.com

Bagaimana Pembagian Warisan Jika Ayah Meninggal dan Ibu Masih Hidup?


Jakarta

Ilmu waris dalam Islam adalah bidang yang penting dan wajib dipelajari oleh setiap muslim, karena menyangkut hak dan keadilan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Salah satu pertanyaan yang paling sering muncul dalam masyarakat adalah bagaimana pembagian harta warisan jika seorang ayah meninggal dunia, sementara ibunya (istri almarhum) masih hidup dan meninggalkan anak-anak.

Masalah ini sebenarnya telah diatur secara jelas dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam surah An-Nisa ayat 11 dan 12. Dalam ayat-ayat tersebut, Allah menetapkan siapa saja yang berhak menerima warisan dan berapa besarannya.


Dalam surat An-Nisa ayat 11, Allah SWT berfirman,

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Surat An-Nisa Ayat 12,

۞ وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَٰجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم ۚ مِّنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمْرَأَةٌ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ ۚ فَإِن كَانُوٓا۟ أَكْثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَآءُ فِى ٱلثُّلُثِ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَآ أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ

Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

Pembagian Harta Warisan untuk Istri (Ibu yang Ditinggalkan)

Dalam buku Fiqih Mawaris: Memahami Hukum Waris dalam Islam yang disusun oleh Sakban Lubis, Muhammad Zuhirsyan dan Rustam Ependi, ketika seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, bagian harta yang menjadi hak istri tergantung pada apakah almarhum memiliki anak atau tidak.

Berdasarkan surah An-Nisa ayat 12, jika seorang suami meninggal dan memiliki keturunan, baik anak laki-laki maupun perempuan, maka istrinya mendapatkan seperdelapan (1/8) dari total harta peninggalan. Namun jika sang suami tidak memiliki anak, maka bagian istri meningkat menjadi seperempat (1/4).

Misalnya, jika seorang ayah meninggalkan harta sebesar 800 juta rupiah dan memiliki anak-anak, maka istri yang ditinggalkan akan memperoleh 1/8 dari jumlah tersebut, yaitu 100 juta rupiah. Sisa harta yang berjumlah 700 juta rupiah akan dibagikan kepada anak-anak sesuai dengan ketentuan syariat.

Pembagian Warisan untuk Anak Laki-laki dan Anak Perempuan

Setelah bagian istri diambil, sisa harta warisan diberikan kepada anak-anak. Dalam Islam, anak-anak dibagi menjadi dua kategori utama: laki-laki dan perempuan.

Al-Qur’an menyebutkan bahwa bagian seorang anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan.

Dalam buku Panduan Praktis Pembagian Waris karya Badriyah Harun, ketentuan pembagian hak waris ini berlaku ketika seorang ayah meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan sekaligus. Perhitungan warisannya dilakukan dengan membagi sisa harta ke dalam satuan bagian, di mana setiap anak laki-laki mendapat dua bagian, dan anak perempuan mendapat satu bagian.

Sebagai contoh, jika almarhum memiliki dua anak laki-laki dan satu anak perempuan, maka total bagian dibagi menjadi lima (2 + 2 + 1 = 5). Dari sisa harta 700 juta rupiah, setiap satu bagian bernilai 140 juta rupiah. Maka, masing-masing anak laki-laki mendapat dua bagian atau 280 juta rupiah, sedangkan anak perempuan mendapat satu bagian atau 140 juta rupiah.

Bagian Anak Perempuan Jika Tanpa Anak Laki-laki

Jika seorang ayah hanya meninggalkan anak perempuan saja tanpa anak laki-laki, maka bagian mereka berubah. Jika hanya ada satu anak perempuan, ia berhak menerima setengah (1/2) dari total harta warisan. Namun jika ada dua anak perempuan atau lebih, maka mereka secara kolektif berhak mendapatkan dua pertiga (2/3) dari harta warisan.

Bagian ini merupakan bagian tetap atau pasti (ashabul furudh), dan jika masih ada sisa setelah diberikan kepada anak perempuan, maka sisa tersebut akan jatuh ke tangan ahli waris lainnya yang berstatus ‘ashabah’, seperti ayah almarhum (jika masih hidup), saudara kandung, atau kerabat lainnya.

Bagian Anak Laki-laki Jika Tanpa Anak Perempuan

Sebaliknya, jika seorang ayah hanya meninggalkan anak laki-laki tanpa anak perempuan, maka anak laki-laki tersebut akan mengambil seluruh sisa harta setelah bagian istri (ibu) diberikan. Dalam hal ini, anak laki-laki bertindak sebagai ashobah, yaitu ahli waris yang mengambil seluruh sisa harta.

Misalnya, jika hanya ada satu anak laki-laki dan sang ibu (istri almarhum), maka istri mendapat 1/8 dari harta, dan anak laki-laki mengambil semua sisa harta.

Urutan Pembagian Warisan dalam Islam

Iman Jauhari dalam bukunya yang berjudul Hukum Waris Islam, dalam Islam, pembagian warisan tidak bisa langsung dilakukan sebelum menyelesaikan beberapa kewajiban terlebih dahulu. Pertama-tama, harta peninggalan harus digunakan untuk membayar biaya pengurusan jenazah. Setelah itu, dilunasi semua hutang almarhum, dan kemudian dilaksanakan wasiat, jika ada, yang tidak melebihi sepertiga dari total harta. Barulah setelah tiga hal ini diselesaikan, harta bisa dibagi kepada para ahli waris sesuai ketentuan syariat.

Anak Angkat dan Warisan

Perlu diketahui bahwa dalam Islam, anak angkat tidak secara otomatis menjadi ahli waris. Artinya, mereka tidak bisa menerima warisan kecuali melalui wasiat yang tidak lebih dari sepertiga harta, atau melalui pemberian (hibah) semasa hidup. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar tidak menimbulkan salah paham dan sengketa di kemudian hari.

Pembagian warisan dalam Islam telah ditetapkan secara adil dan terperinci oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an. Setiap ahli waris memiliki hak sesuai dengan kedudukannya dan tidak boleh diubah-ubah sesuai kehendak pribadi atau budaya keluarga.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

7 Keutamaan Puasa Senin Kamis yang Bisa Diraih Muslim


Jakarta

Puasa Senin Kamis adalah amalan sunnah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW semasa hidupnya. Hal ini diterangkan dalam hadits dari Abu Hurairah RA.

Rasulullah SAW bersabda,

“Amal-amal perbuatan itu diajukan ke hadapan Allah pada hari Senin dan Kamis. Oleh karenanya, aku ingin agar amal-amal perbuatanku itu diajukan saat aku sedang berpuasa.” (HR At Tirmidzi)


Mengerjakan puasa Senin Kamis tak hanya mengikuti sunnah Rasul. Ada banyak keutamaan di dalamnya.

Lantas, apa saja keutamaan yang bisa diraih muslim dari puasa Senin Kamis? Berikut bahasannya yang dinukil dari buku Kedahsyatan Puasa tulisan M Syukron Maksum.

Keutamaan Puasa Senin Kamis bagi Muslim

1. Dijauhkan dari Api Neraka 70.000 Musim

Keutamaan pertama dari puasa Senin Kamis adalah dijaga dari api neraka. Hal ini tertuang dalam hadits berikut,

“Setiap hamba yang berpuasa satu hari karena Allah, Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh 70.000 musim.” (HR Muslim)

2. Bertepatan dengan Hari Pencatatan Amal

Mengacu pada hadits yang diriwayatkan Tirmidzi sebelumnya, Senin dan Kamis merupakan hari pelaporan amal. Dengan berpuasa Senin Kamis, maka amal perbuatan muslim dilaporkan ketika sedang berpuasa.

3. Termasuk Sunnah Rasul

Puasa Senin Kamis adalah kebiasaan Nabi Muhammad SAW. Artinya, amalan ini menjadi salah satu sunnah Rasulullah SAW yang bisa dihidupkan kaum muslimin.

4. Sebagai Syafaat pada Hari Kiamat

Muslim yang melakukan puasa Senin Kamis secara rutin akan mendapat syafaat dari Rasulullah SAW pada hari kiamat kelak. Beliau bersabda,

“Pada hari kiamat, puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat kepada seorang hamba. Puasa akan berkata, ‘Wahai Tuhanku, aku telah menahannya dari makanan dan hawa nafsu di siang hari, izinkanlah aku memberikan syafaat kepadanya.’

Sedangkan Al-Qur’an akan berkata, ‘Aku telah menahannya dari tidur di malam hari, izinkanlah aku memberikan syafaat kepadanya.’ Selanjutnya, Rasulullah melanjutkan, ‘Maka keduanya, puasa dan Al-Qur’an, akhirnya memberikan syafaat kepada hamba tersebut.” (HR Ahmad)

5. Senin Hari Kelahiran Nabi SAW

Mengutip dari buku The Miracle of Puasa Senin Kamis yang disusun Ubaidurrahim El Hamdy, Senin adalah hari kelahiran dari Rasulullah SAW. Hal ini diterangkan dalam hadits dari Abu Qatadah RA,

“Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa pada hari Arafah, Beliau menjawab: Puasa itu menghapus dosa tahun yang lalu dan tahun yang akan datang. Dan Beliau ditanya tentang puasa Asyura, Beliau menjawab: Puasa itu menghapus dosa tahun yang lalu. Beliau ditanya lagi tentang puasa Senin Kamis, lalu Beliau menjawab: Pada hari itu adalah hari di mana aku dilahirkan, aku dijadikan seorang utusan (Rasul), dan pada hari itu juga aku menerima wahyu.” (HR Muslim dari Abi Qatadah al-Anshariy RA)

6. Diganjar Kebaikan 700 Kali

Melalui sebuah hadits, dikatakan bahwa puasa menjadi amalan yang dinilai langsung oleh Allah SWT. Selain itu, muslim yang mengerjakan puasa juga diganjar kebaikan sebanyak 700 kali lipat. Berikut bunyi haditsnya,

“Demi keberadaan-Nya yang menjaga nyawaku, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kesturi. Dia menahan nafsu dan menahan diri dari makanan dan minuman karena Aku. Oleh karena itu, puasa adalah hak milik-Ku, dan Aku yang akan memberikan pahalanya. Setiap kebaikan dilipatgandakan hingga tujuh ratus kali, kecuali puasa. Puasa adalah hak milik-Ku, dan Aku yang akan memberikan balasannya.” (HR Malik)

7. Masuk Surga Lewat Pintu Ar Rayyan

Surga memiliki banyak tingkatan dan nama, salah satunya Ar Rayyan. Muslim yang rutin berpuasa bisa masuk surga melalui pintu Ar Rayyan sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

“Dalam surga terdapat satu pintu yang disebut sebagai Ar Rayyan, yang pada Hari Kiamat tidak ada seorang pun yang akan masuk surga melalui pintu tersebut kecuali para orang yang berpuasa. Tidak akan ada seorang pun yang melewati pintu tersebut kecuali mereka. Kemudian dikatakan kepada mereka, ‘Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Maka para orang yang berpuasa akan berdiri menghadap. Tidak akan ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Setelah mereka semua masuk, pintu itu akan ditutup dan tidak akan ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim)

Wallahu a’lam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Rae Lil Black Ungkap Sang Adik Tertarik Mempelajari Al-Qur’an setelah Dirinya Mualaf



Jakarta

Rae Lil Black mengungkap respon keluarganya setelah mengetahui dirinya memeluk Islam. Menurut penuturannya, kedua orang tua Rae merupakan pemeluk agama Buddha.

“Saya dari Jepang dan orang tua saya beragama Buddha. Bukan yang terlalu kuat (agamanya), tapi mereka Buddha,” kata wanita yang memiliki nama Islam Nuray Istiqbal dalam wawancara di 20Detik detikcom, Jumat (11/7/2025).

Eks bintang film dewasa itu mengatakan bahwa setelah memeluk Islam, keluarga melihat dirinya menjadi anak yang lebih baik bagi kedua orang tuanya. Hal ini terlihat dari dirinya yang kini rutin menghubungi keluarga dua sampai tiga kali setiap minggu, hingga menyempatkan pulang bertemu keduanya.


“Karena Islam mengajarkan kita untuk menghormati orang tua. Saya juga melihat banyak teman muslim saya, mereka sering menelpon orang tua mereka, pulang ke rumah, bertukar besar. Dulu waktu saya masih muda, saya tidak berbicara dengan orang tua selama setahun dan tidak pulang hingga tiga tahun,” kata Rae bercerita.

Wanita berumur 28 tahun itu menuturkan bahwa kedua orang tuanya melihat perubahan yang signifikan setelah memutuskan untuk memeluk Islam. Hal tersebut Rae lakukan sesuai dengan yang diperintahkan agama, yaitu menghormati orang tua.

“Mereka melihat perubahan di diri saya dan bilang ‘Oke kami gak ngerti paham agama kamu, tapi kamu jadi anak yang baik.’ Jadi mereka bilang bagus kami jadi orang baik,” sambung Rae.

Melalui sesi wawancara itu, perempuan kelahiran Jepang tersebut juga mengungkap bahwa kini sang adik mulai tertarik dan mempelajari Al-Qur’an. Sebab, adik Rae melihat perubahan positif dari diri sang kakak setelah memeluk Islam.

“Sebenarnya adik saya juga mulai belajar membaca Al-Qur’an karena dia melihat perubahan baik dalam diri saya. Dia bilang ‘Kenapa kamu sering banget nelfon orang tua?’ aku jawab, ‘Karena aku jadi muslim dan ini perubahan baik dalam diriku,’ lalu dia bilang ‘Menarik’,” ujar Rae.

Setelahnya, adik Rae merasa penasaran dan ingin membaca Al-Qur’an. Akhirnya, Rae mengirimkan Al-Qur’an dengan terjemah bahasa Jepang kepada adiknya.

“Jadi sikap saya yang mulai menghormati orang tua sedikit banyak mengubah dia untuk membaca Al-Qur’an. Mungkin dia masih butuh lebih banyak (bimbingan) tapi saya lihat ada perubahan kecil di banyak orang yang saya ajak bicara,” tandas Rae.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Allah Satu-satunya yang Bisa Menghakimi Saya


Jakarta

Mantan pemeran film dewasa Rae Lil Black terang-terangan menyatakan bahwa dirinya kini menjadi mualaf. Wanita yang memiliki nama Islam Nuray Istiqbal itu mengaku tak lagi peduli pandangan orang akan dirinya yang kini menjadi muslim. Terlebih, hal ini sangat bertentangan dengan masa lalunya yang berkecimpung di industri film dewasa.

“Allah satu-satunya yang bisa menghakimi. Saya seumur hidup sering dihakimi orang, saya coba untuk abaikan tapi sulit sekali. Sekarang, setelah saya tahu saya cuma perlu peduli apa yang Allah lihat dan dengar, hidup saya jadi lebih baik dan mudah,” katanya dalam sesi wawancara bersama Ario Astungkoro pada program Shout Out 20Detik detikcom yang tayang Jumat (11/7/2025).

Melalui sesi wawancara itu, Rae mengungkap bahwa hal yang paling ia sukai dalam Al-Qur’an adalah bagaimana Allah SWT menjadi satu-satunya Tuhan yang dapat menghakimi makhluk-Nya. Dia-lah satu-satunya yang bisa menilai makhluk-Nya.


“Sekarang saya hanya peduli satu (hal), apa yang Allah lihat dan dengar. (Hanya) Dia yang bisa menilai saya, Allah satu-satunya yang dapat menilai saya,” sambungnya.

Surah At Tin Ayat 8: Allah Adalah Hakim yang Paling Adil

Meski Rae tidak menjelaskan secara eksplisit ayat Al-Qur’an yang menyebut hal itu, berdasarkan penelusuran detikHikmah surah At Tin ayat 8 menegaskan terkait Allah SWT yang berhak menghakimi hamba-Nya. Berikut bunyi ayatnya,

أَلَيْسَ ٱللَّهُ بِأَحْكَمِ ٱلْحَٰكِمِينَ

Artinya: “Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?”

Menurut Tafsir Kementerian Agama RI, ayat di atas menjadi bukti bahwa Allah SWT Maha Bijaksana. Ketentuan tentang kemuliaan manusia didasarkan atau iman dan perbuatan baiknya. Allah SWT telah menurunkan aturan syariat, Dia akan memberi putusan dengan adil bagi hamba-Nya.

Rae Ungkap 2025 Jadi Tahun Pertamanya sebagai Muslim

Rae menceritakan, 2025 menjadi tahun pertamanya sebagai muslim. Pada tahun ini pula, ia menjalani Ramadan dan Muharram pertamanya.

“Tahun ini adalah tahun pertamaku (sebagai muslim). Ramadan pertama, Muharram pertama. Semuanya baru,” ungkapnya.

Dalam wawancara tersebut, Rae juga mengungkap bagaimana awal ia mempelajari Al-Qur’an. Mulanya, Rae membeli Al-Qur’an secara online.

Secara rutin, ia mempelajari dan membaca Al-Qur’an untuk mendalami Islam. Bahkan ketika Ramadan, ia menuntaskan Al-Qur’an sepanjang bulan suci.

“Semua orang bilang kalau baca Al-Qur’an secara tuntas selama Ramadan itu sunnah bagus. Saya pikir kalau sunnah kenapa tidak? Ayo coba. Saya baca setiap hari sekitar 15-20 halaman,” ujar Rae menceritakan.

Ia mengaku saat ini dirinya masih terus mempelajari Al-Qur’an sekaligus cara membacanya. Tak hanya otodidak, Rae juga memiliki guru yang mengajari dan membimbingnya.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

8 Hal yang Membatalkan Shalat



Jakarta

Shalat dari syariat Islam menduduki tempat yang sangat penting, sehingga meninggalkan sholat khususnya shalat lima waktu akan mendapatkan dosa. Shalat adalah rukun kedua dari seluruh rukun Islam setelah dua kalimat syahadat. Shalat adalah tiang agama dan sesuatu yang pertama-tama dihisab dari seorang hamba.

Shalat telah disebutkan dalam berbagai ayat Al-Qur’an Al-Karim dengan bentuk yang berbeda-beda. Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa ayat 103:

فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا


Artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan shalat, berzikirlah kepada Allah (mengingat dan menyebut-Nya), baik ketika kamu berdiri, duduk, maupun berbaring. Apabila kamu telah merasa aman, laksanakanlah salat itu (dengan sempurna). Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang waktunya telah ditentukan atas orang-orang mukmin. (QS: An-Nisa: 103)

Dalam buku Fiqih Sunnah tulisan Sayyid Sabiq, perintah shalat disampaikan kepada Rasulullah SAW dalam perjalanan Isra Miraj.

Anas bin Malik menceritakan, “Shalat diwajibkan kepada Rasulullah SAW pada saat beliau diangkat pada malam Isra, yaitu sebanyak 50 kali. Kemudian dikurangi hingga mencapai lima kali. Lalu dipanggillah Rasulullah SAW, ‘Wahai Muhammad, sungguh perkataan-Ku tidak bisa diganti-ganti. Dengan lima (waktu salat) ini, kamu mendapatkan 50.” (Hadits Shahih)

Kewajiban shalat juga dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 43:

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ

Artinya: “Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”

Diriwayatkan Abdullah bin Qarth, Rasulullah SAW bersabda, “Sesuatu yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalat. Jika shalatnya baik, maka seluruh amalnya akan baik. Jika shalatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalnya.” (Hadits Shahih)

Dengan diwajibkannya shalat, tentunya kita ingin shalat yang kita kerjakan dapat diterima dan sah di mata Allah SWT. Agar shalatnya sah, sebaiknya muslim harus menghindari hal-hal yang membatalkan shalat.

8 Hal yang Membatalkan Shalat

Berikut hal-hal yang membatalkan shalat

1. Murtad

Dalam Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Shalat tulisan Ahmad Sarwat, syarat pertama orang yang mengerjakan shalat adalah statusnya harus menjadi seorang muslim. Bila status keislamannya terlepas, maka otomatis shalatnya menjadi batal.

Maka orang yang sedang melakukan shalat, lalu tiba-tiba murtad, maka batal shalatnya. Mungkin ada orang yang bertanya, bagaimana bisa seseorang yang sedang shalat, tiba-tiba berubah menjadi murtad?

Murtad atau keluar dari agama Islam bisa saja terjadi tiba-tiba, misalnya ketika seseorang tiba-tiba mengingkari wujud Allah SWT, atau mengingkari kerasulan Muhammad SAW, termasuk juga mengingkari kebenaran agama Islam sebagai agama satu-satunya yang Allah ridhai. Bila sesaat setan masuk ke dalam pikiran sambil meniupkan pikiran sesatnya itu, lalu seseorang itu sampai kepada tingkat meyakini apa yang ditiupkan setan itu, maka boleh jadi dia sempat murtad sebentar.

Kalaupun saat itu dia segera sadar, maka shalat yang dilakukannya dianggap batal dan harus diulang lagi. Mengapa demikian?

Karena kekufuran itu merusak amal dan membuatnya menjadi sia-sia. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya: “Jika kamu mempersekutukan niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

2. Gila

Demikian juga dengan orang yang tiba-tiba menjadi gila atau hilang akal saat sedang shalat, maka shalatnya juga batal.

Sebab syarat sah dalam ibadah shalat salah satunya adalah berakal. Shalat yang dilakukan oleh orang gila atau kehilangan akalnya, tentu shalat itu tidak sah. Dan bila gila itu datangnya kumat-kumatan, sebentar datang dan sebentar hilang, maka bila terjadi ketika sedang shalat, shalat itu menjadi batal.

3. Belum Masuk Waktu Shalat

Di antara syarat sah shalat adalah bahwa mengetahui bahwa waktu shalat sudah masuk. Sebab shalat itu tidak sah dilakukan bila belum lagi masuk waktunya. Maka bila seseorang yang sedang mengerjakan shalat, kemudian terbukti bahwa di tengah shalat itu baru masuk waktunya, otomatis shalatnya itu menjadi batal dengan sendirinya.

Hukum shalat sebelum waktunya jauh berbeda dengan shalat yang dilakukan pada waktu yang sudah terlewat. Bila waktunya sudah lewat, shalat masih sah dilakukan, bahkan dalam kaitannya dengan shalat fardhu, hukumnya tetap wajib dikerjakan.

4. Terkena Najis

Suci dari najis adalah salah satu syarat sah shalat. Tidak sah shalat seseorang kalau badan, pakaian atau tempatnya shalatnya masih terkena najis. Maka jika di tengah-tengah shalat seseorang terkena atau tersentuh benda-benda najis, maka secara otomatis shalatnya itu pun menjadi batal.

Namun yang perlu diperhatikan adalah batalnya shalat itu hanya apabila najis itu tersentuh tubuhnya atau pakaiannya.

Adapun tempat shalat itu sendiri bila mengandung najis, tapi tidak sampai tersentuh langsung dengan tubuh atau pakaian, shalatnya masih sah dan bisa diteruskan. Asalkan dia bergeser dari tempat najis itu terjatuh.

Selain sumber najis itu dari luar, bisa juga najis itu datang dari dalam tubuh sendiri. Maka bila ada najis yang keluar dari tubuhnya hingga terkena tubuhnya, seperti mulut, hidung, telinga atau lainnya, maka shalatnya batal.

Namun bila kadar najisnya hanya sekadar najis yang dimaafkan, yaitu najis-najis kecil ukurannya, maka hal itu tidak membatalkan shalat.

5. Berbicara secara sengaja

Dilansir dalam buku Panduan Sholat Rasulullah karya Imam Abu Wafa, berbicara saat shalat membuat shalat menjadi rusak. Di dalam shalat harus tenang dan tidak berbicara.

Berdasarkan dalil sahabat Zaid bin Arqam:

كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ الرَّجُلُ صَاحِبَهُ، وَهُوَ إِلَى جَنْبِهِ فِي الصَّلَاةِ حَتَّى نَزَلَتْ { وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ }، فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ، وَنُهِينَا عَنِ الْكَلَامِ.

Artinya: “Ia (Zaid bin Arqam) berkata: Dahulu kami berbicara di dalam shalat, seseorang mengajak bicara dengan temannya yang di sebelahnya hingga turun ayat ‘Dan dirikanlah shalat karena Allah dengan tenang’, maka kami diperintahkan agar diam dan dilarang berbicara “(HR. Muslim no539, Bukhari no.1200, Abu Dawud no.949, Tirmidzi no.405, Nasai no.1219)

6. Tidak Membaca Surah Al-Fatihah

Mengutip buku Ensiklopedia Fikih Indonesia 3: Shalat tulisan Ahmad Sarwat menyebut bahwa seluruh ulama sepakat bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah bagian dari rukun shalat. Sehingga bila ada orang yang sengaja atau lupa tidak membaca surat Al-Fatihah lalu langsung rukuk, maka shalatnya menjadi batal.

Dalilnya adalah hadits nabawi yang secara tegas menyebutkan tidak sahnya shalat tanpa membaca surat Al-Fatihah:

لا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ القُرْآنِ

Dari Ubadah bin Shamit RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sah shalat kecuali dengan membaca ummil-quran (surat Al-Fatihah).” (HR. Bukhari Muslim)

Namun, dalam hal ini dikecualikan dalam kasus shalat berjamaah di mana memang sudah ditentukan bahwa imam menanggung bacaan Fatihah makmum, sehingga seorang yang tertinggal takbiratul ihram dan mendapati imam sudah pada posisi rukuk, dibolehkan langsung ikut rukuk bersama imam dan telah mendapatkan satu rakaat.

Demikian pula dalam shalat jahriyah (suara imam dikeraskan), dengan pendapat yang mengatakan bahwa bacaan Al-Fatihah imam telah menjadi pengganti bacaan Al-Fatihah buat makmum, maka bila makmum tidak membacanya, tidak membatalkan shalat.

7. Keluar Sesuatu dari Kemaluan

Yang dimaksud kemaluan itu termasuk bagian depan dan belakang. Dan yang keluar itu bisa apa saja termasuk benda cair seperti air kencing, mani, wadi, mazi, atau apa pun yang cair. Juga berupa benda padat seperti kotoran, batu ginjal, cacing, atau lainnya.

Pendeknya, apa pun juga benda gas seperti kentut. Semua itu bila keluar lewat dua lubang qubul dan dubur membuat wudhu yang bersangkutan menjadi batal.

Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut ini:

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ

Artinya: Atau bila salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air. (QS. Al-Maidah: 6)

Dan juga berdasarkan hadits nabawi:

إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَل عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bila seseorang dari kalian mendapati sesuatu pada perutnya lalu dia merasa ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka tidak perlu dia keluar dari masjid, kecuali dia mendengar suara atau mencium baunya.” (HR. Muslim)

Tidur yang bukan dalam posisi tetap (tamakkun) di atas bumi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:

مَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّا

“Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu.”(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang. Termasuk juga tidur dengan berbaring atau bersandar pada dinding. Sedangkan tidur sambil duduk yang tidak bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri tidak termasuk yang membatalkan wudhu sebagaimana hadits berikut:

عَنْ أَنَسٍ رَضِي الله عنه قَالَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّؤُنَ – رواه مسلم – وزاد أبو داود : حَتَّى تَخْفَقَ رُؤُسُهُم وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ

Dari Anas RA berkata bahwa para sahabat Rasulullah SAW tidur kemudian shalat tanpa berwudhu (HR. Muslim) Abu Daud menambahkan: Hingga kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa Rasulullah SAW.

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com

Lirik Sholawat Badar Lengkap dan Sejarahnya


Jakarta

Sholawat adalah doa yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW dan termasuk amalan yang dianjurkan dalam Islam. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 56.

Allah SWT berfirman,

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا


Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”

Di antara banyak bacaan sholawat yang dikenal, Sholawat Badar termasuk yang paling sering dilantunkan dan memiliki latar sejarah yang menarik.

Asal-usul Sholawat Badar

Dalam buku Shalawat Populer yang ditulis olehTuan Guru KH. Suhaidi Ghazali, M.Pd.I, Dr. Shabri Shaleh Anwar, M.Pd.I, disebutkan bahwa pencipta Sholawat Badar adalah Kiai Ali Manshur dari Banyuwangi, Jawa Timur. Ia merupakan keturunan dari ulama besar KH Muhammad Shidiq dari Jember. Kala itu, Kiai Ali Manshur menjabat sebagai Ketua Cabang NU di Banyuwangi.

Sholawat ini lahir dari keresahan batin. Dikisahkan, pada suatu malam, Kiai Ali Manshur tidak bisa tidur dengan tenang. Hatinya terusik oleh kondisi politik saat itu yang mengancam eksistensi NU, terutama karena persaingannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam kegelisahan itu, ia menyalurkan perasaannya melalui syair dalam bahasa Arab, yang kelak dikenal sebagai Sholawat Badar.

Lirik Sholawat Badar Bahasa Arab dan Latin

Sholawat Badar dimulai dengan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian berisi doa dan permohonan kepada Allah SWT. Syair ini juga menyebut nama para nabi dan memohon rahmat serta perlindungan.

Sholawat Badar biasanya dibaca dalam acara keagamaan, pengajian, atau kegiatan Islam lainnya. Berikut lirik Sholawat Badar yang dikutip dari Terjemahan Majmu Syarif susunan Ust. Muiz Al Bantani.

صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ
صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ

Shalaatullaah Salaamullaah ‘Alaa Thaaha Rasuulillaah
Shalaatullaah Salaamullaah ‘Alaa Yaa Siin Habiibillaah

تَوَ سَـلْنَا بِـبِـسْـمِ اللّهِ وَبِالْـهَادِى رَسُـوْلِ اللهِ
وَ كُــلِّ مُجَـا هِـدِ لِلّهِ بِاَهْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ

Tawassalnaa Bibismillaah Wabil Haadi Rasuulillaah
Wakulli Mujaahidin Lillaah Bi Ahlil Badri Yaa Allaah

اِلهِـى سَـلِّـمِ اْلا ُمـَّة مِـنَ اْلافـَاتِ وَالنِّـقْـمَةَ
وَمِنْ هَـمٍ وَمِنْ غُـمَّـةٍ بِاَ هْـلِ الْبَـدْرِ يـَا اَللهُ

llaahi Sallimil Ummah Minal Aafaati Wanniqmah
Wamin Hammin Wamin Ghummah Bi Ahlil Badri Yaa Allaah

اِلهِى نَجِّـنَا وَاكْـشِـفْ جَـمِيْعَ اَذِ يـَّةٍ وَا صْرِفْ
مَـكَائـدَ الْعِـدَا وَالْطُـفْ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ

Ilaahi Najjinaa Waksyif Jamii’a Adziyyatin Wahrif
Makaa idal ‘idaa wal thuf Bi Ahlil Badri Yaa Allaah

اِلهِـى نَـفِّـسِ الْـكُـرَبَا مِنَ الْعَـاصِيْـنَ وَالْعَطْـبَا
وَ كُـلِّ بـَلِـيَّـةٍ وَوَبـَا بِا َهْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ

llaahi Naffisil Kurbaa Minal’Ashiina Wal’Athbaa
Wakulli Baliyyatin Wawabaa Bi Ahlil Badri Yaa Allaah

فَكَــمْ مِنْ رَحْمَةٍ حَصَلَتْ وَكَــمْ مِنْ ذِلَّـةٍ فَصَلَتْ
وَكَـمْ مِنْ نِعْمـَةٍ وَصَلَـتْ بِا َهْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ

Fakam Min Rahmatin Washalat Wakam Min Dzillatin Fashalat
Wakam Min Ni’matin Washalat Bi Ahlil Bailri Yaa Allaah

وَ كَـمْ اَغْـنَيْتَ ذَالْعُـمْرِ وَكَـمْ اَوْلَيْـتَ ذَاالْفَـقْـرِ
وَكَـمْ عَافَـيـْتَ ذِاالْـوِذْرِ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ

Wakam Aghnaita Dzal ‘Umri Wakam Autaita D’Zal Faqri
Wakam’Aafaita Dzal Wizri Bi Ahlil Badri Yaa Allaah

لَـقَدْ ضَاقَتْ عَلَى الْقَـلْـبِ جَمِـيْعُ اْلاَرْضِ مَعْ رَحْبِ
فَانْـجِ مِنَ الْبَلاَ الصَّعْـبِ بِا َهْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ

Laqad Dlaaqat’Alal Qalbi Jamii’ul Ardli Ma’ Rahbi

Fa Anji Minal Balaas Sha’bi Bi Ahlil Badri Yaa Allaah

ا َتَيـْنَا طَـالِـبِى الرِّفْـقِ وَجُـلِّ الْخَـيْرِ وَالسَّـعْدِ
فَوَ سِّـعْ مِنْحَـةَ اْلاَيـْدِىْ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ

Atainaa Thaalibir Rifdi Wajullil Khairi Was Sa’di
Fawassi’ Minhatal Aidii Bi Ahlil Badri Yaa Allaah

فَـلاَ تَرْدُدْ مَـعَ الْخَـيـْبَةْ بَلِ اجْعَلْـنَاعَلَى الطَّيْبـَةْ
اَيـَا ذَاالْعِـزِّ وَالْهَـيـْبَةْ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ

Falaa Tardud Ma’al Khaibah Balij’Alnaa’Alath Thaibah
Ayaa Dzal ‘lzzi Wal Haibah Bi Ahlil Badri Yaa Allaah

وَ اِنْ تَرْدُدْ فَـمَنْ نَأْتـِىْ بِـنَيـْلِ جَمِيـْعِ حَاجَا تِى
اَيـَا جَـالِى الْمُـلِـمـَّاتِ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ

Wain Tardud Faman Ya-Tii Binaili Jamii’i Haajaati
Ayaa jalail mulimmaati Bi Ahlil Badri Yaa Allaah

اِلهِـى اغْفِـرِ وَاَ كْرِ مْنَـا بِـنَيـْلِ مـَطَا لِبٍ مِنَّا
وَ دَفْـعِ مَسَـاءَةٍ عَـنَّا بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ

llaahighfir Wa Akrimnaa Binaili Mathaalibin Minnaa
Wadaf i Masaa-Atin ‘Annaa Bi Ahlil Badri Yaa Allaah

اِلهِـى اَنـْتَ ذُوْ لُطْـفٍ وَذُوْ فَـضْلٍ وَذُوْ عَطْـفٍ
وَكَـمْ مِنْ كُـرْبـَةٍ تَنـْفِىْ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ

llaahii Anta Dzuu Luthfin Wadzuu Fadl-Lin Wadzuu ‘Athfin
Wakam Min Kurbatin Tanfii Bi Ahlil Badri Yaa Allaah

وَصَلِّ عَـلَى النـَّبِىِّ الْبَـرِّ بـِلاَ عَـدٍّ وَلاَ حَـصْـرِ
وَالِ سَـادَةٍ غُــــرِّ بِاَ هْـلِ الْبَـدْ رِ يـَا اَللهُ

Washalli ‘Alan Nabil Barri Bilaa ‘Addin Walaa Hashri
Wa Aali Saadatin Ghurri Bi Ahlil Badri Yaa Allaah

Arti Lirik Sholawat Badar

Rahmat dan keselamatan Allah, semoga tetap untuk Nabi utusan Allah.
Rahmat dan keselamatan Allah, semoga tetap untuk Nabi Yasin kekasih Allah.
Kami berwasilah dengan berkah basmalah, dan dengan Nabi yang menunaikan lagi utusan Allah.

Dan seluruh orang yang berjuang karena Allah, karena berkahnya ahli badar ya Allah.
Ya Allah, semoga Engkau menyelamatkan umat dari bencana dan siksa.
Dan dari susah dan kesulitan, karena berkahnya ahli badar ya Allah.
Ya Allah semoga Engkau selamatkan kami dari segala yang menyakitkan, dan semoga Engkau menjauhkan dari berbagai tipu daya musuh-musuh.

Dan semoga Engkau mengasihi kami, karena berkahnya ahli badar ya Allah.
Ya Allah semoga Engkau menjauhkan beberapa kesusahan, dari orang-orang yang bermaksiat dan membuat kerusakan.

Dan semoga Engkau menghilangkan semua bencana dan wabah penyakit, karena berkahnya ahli badar ya Allah.

Maka sudah banyak rahmat yang telah sampai, dan sudah banyak kenistaan yang dihilangkan.

Dan sudah banyak dari nikmat yang telah sampai, karena berkahnya ahli badar ya Allah.

Sudah berapa kali Engkau memberi harta orang yang makmur, dan berapa kali Engkau memberi nikmat kepada orang yang fakir.

Dan berapa kali Engkau mengampuni orang yang berdosa, karena berkahnya ahli badar ya Allah.

Sungguh hati manusia yang merasa sempit di atas tanah yang luas ini, karena banyaknya marabahaya yang menakutkan dan malapetaka yang menghancurkan.

Semoga Allah menyelamatkan kami dari bencana yang menakutkan, karena berkahnya ahli badar ya Allah.

Kami datang dengan memohon pertolongan, dan memohon kebaikan dan keberkahan.
Semoga Allah meluaskan anugerah yang melimpah-limpah, karena berkahnya ahli badar ya Allah.

Maka janganlah Engkau menolak kami dari kerugian, bahkan jadikanlah diri kami dapat beramal baik dan selalu berbahagia.

Wahai Dzat yang punya kebesaran dan keagungan, karena berkahnya ahli badar ya Allah.
Ya Allah semoga Engkau mengampuni segala kesalahan kami dan memuliakan kami dengan beberapa permohonan.

Dan menolak kesalahan-kesalahan kami, karena berkahnya ahli badar ya Allah.

Ya Allah, Engkaulah yang mempunyai belas kasihan dan punya anugerah dan kasih sayang.
Sudah banyak kesusahan yang sirna dari sebab berkahnya sahabat ahli Badar ya Allah.

Dan semoga Engkau melimpahkan rahmat kepada Nabi yang senantiasa berbakti
kepada-Mu dengan limpahan rahmat dan kesejahteraan yang tak terbilang dan tak terhitung.
Dan semoga tetap atas para keluarga Nabi dan para Sayyid yang bersinar cahayanya, karena berkahnya ahli badar ya Allah.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Jangan Cuma Ibu, Ayah Juga Harus Berperan dalam Mendidik Anak


Jakarta

Mendidik anak bukan hanya sekedar mengawasi. Ayah juga dapat turut serta dalam mengantar anak dan juga mendidik anak.

Keterlibatan ayah dalam pendidikan anak bukan hanya tanggung jawab ibu atau sekolah. Ayah memiliki peran sentral dalam mendukung perkembangan intelektual, emosional, dan spiritual anak.

Dalam konteks pendidikan, ayah berperan sebagai figur otoritas, pemberi motivasi, serta pembimbing dalam aspek akademis dan keagamaan.


Dalam Al-Qur’an, ayah disebutkan sebagai pemimpin utama keluarga yang bertanggung jawab untuk mendidik dan membimbing anak-anaknya dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan akademis dan agama.

Salah satu ayat yang menunjukkan hal ini adalah dalam surat Luqman (ayat 12-13), di mana Luqman memberikan nasihat kepada anaknya tentang kewajiban menyembah Allah dan menjauhi kesyirikan, yang menunjukkan bagaimana ayah harus terlibat dalam pendidikan agama anak-anaknya.

Allah SWT berfirman dalam surah Luqman ayat 12-13 yang berbunyi:

وَلَقَدۡ اٰتَيۡنَا لُقۡمٰنَ الۡحِكۡمَةَ اَنِ اشۡكُرۡ لِلّٰهِؕ وَمَنۡ يَّشۡكُرۡ فَاِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهٖۚ وَمَنۡ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِىٌّ حَمِيۡدٌ‏ ١٢

Artinya: Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.”

وَاِذۡ قَالَ لُقۡمٰنُ لِا بۡنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَىَّ لَا تُشۡرِكۡ بِاللّٰهِ ؕ اِنَّ الشِّرۡكَ لَـظُلۡمٌ عَظِيۡمٌ‏ ١٣

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan pentingnya keterlibatan kedua orang tua dalam mendidik anak, namun ia juga secara khusus mengungkapkan bahwa ayah memiliki peran penting dalam mendidik anak untuk menjadi individu yang berakhlak mulia dan beriman.

Dalam konteks ini, ayah bertugas mengarahkan anak menuju kebaikan, dengan memberikan contoh serta nasihat yang bijak. Hamka dalam Falsafah Hidup mengungkapkan bahwa ayah adalah sosok yang sangat berperan dalam mencetak masa depan anak-anaknya. Pendidikan yang dimulai dari rumah, dengan adanya keterlibatan ayah dalam berbagai aspek kehidupan anak, akan menghasilkan anak-anak yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter dan akhlak yang baik.

Pentingnya Kolaborasi Ayah dan Ibu dalam Mendidik

Ali Sumitro dalam Peran Ayah dalam Pendidikan Anak Perspektif Al-Qur’an menjelaskan bahwa pendidikan anak merupakan tugas mulia yang tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, melainkan sebuah amanah yang harus dijalankan bersama oleh kedua orang tua.

Kolaborasi antara ayah dan ibu dalam mendidik anak menjadi hal yang sangat penting, karena keduanya membawa peran yang saling melengkapi dalam proses pembentukan karakter, moral, dan intelektual anak.

Ayah dan ibu, meskipun memiliki peran yang berbeda, keduanya memiliki kontribusi yang tak terpisahkan dalam mendukung tumbuh kembang anak.

Dalam perspektif Al-Qur’an, kedua orang tua diamanatkan untuk saling bekerja sama dalam memberikan pendidikan yang terbaik, baik dalam aspek spiritual, emosional, maupun sosial. Sinergi antara ayah dan ibu yang harmonis akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak secara optimal.

Al-Qur’an memberikan banyak petunjuk tentang pentingnya pendidikan dalam keluarga, dan menunjukkan bahwa ayah dan ibu memiliki peran yang tidak terpisahkan dalam mendidik anak.

Kolaborasi keduanya tidak hanya pada tingkat fisik dan materi, tetapi juga dalam pendidikan moral dan spiritual. Seperti yang disebutkan dalam surah At-Tahrim: 6, Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Ayat ini menegaskan bahwa kewajiban untuk menjaga keluarga dari api neraka adalah tugas bersama antara ayah dan ibu. Ayat ini mengajarkan bahwa orang tua harus bekerja sama dalam memberikan pendidikan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, menjaga anak- anak agar tetap berada di jalan yang benar.

(lus/dvs)



Sumber : www.detik.com

Ketika Orang Tua Bercerai, Siapa yang Wajib Menanggung Nafkah?


Jakarta

Perceraian sering kali menimbulkan berbagai persoalan, salah satunya mengenai kelangsungan hidup anak. Setelah orang tua berpisah, anak tetap membutuhkan perhatian, kasih sayang, dan tentu saja nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Siapa yang bertanggung jawab?

Al-Qur’an menekankan pentingnya menjaga dan memperhatikan kehidupan anak dalam surah An-Nisa ayat 9:

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا


Artinya: “Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).”

Dalam Islam, kewajiban menanggung nafkah anak dalam masa pengasuhan disebut sebagai hadhanah.

Pengertian Hadhanah dan Tanggung Jawab Orang Tua

Dalam Fiqh Munakahat karya Prof. Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A., istilah hadhanah berasal dari bahasa Arab yang berarti “meletakkan sesuatu dekat dengan tulang rusuk”, menggambarkan kedekatan fisik dan emosional antara ibu dan anak saat menyusui. Secara istilah, hadhanah merujuk pada proses pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan anak sejak lahir hingga anak mampu mengurus dirinya sendiri.

Para ulama fikih menjelaskan hadhanah mencakup pemeliharaan fisik, mental, serta pendidikan anak agar kelak siap menjalani kehidupan. Ini berarti kebutuhan dasar anak seperti makanan, pakaian, pendidikan, dan tempat tinggal harus terpenuhi demi tumbuh kembang yang baik.

Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya tanggung jawab orang tua terhadap anak dalam surah At-Tahrim ayat 6:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Ayat ini menunjukkan bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk menjaga keluarganya dari siksa neraka. Salah satu caranya adalah dengan mendidik dan membimbing anak agar menaati perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.

Siapa yang Wajib Menanggung Nafkah?

Dalam pandangan mayoritas ulama, seperti yang dijelaskan dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili, nafkah hadhanah idealnya diambil dari harta anak jika anak memiliki harta sendiri. Namun jika tidak, kewajiban memberi nafkah menjadi tanggung jawab ayah.

Nafkah ini mencakup kebutuhan pokok anak selama masa pengasuhan, seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan perlindungan. Para ulama juga menegaskan bahwa kewajiban ini tetap berlaku, tidak gugur meskipun waktu telah berlalu atau jika orang yang berkewajiban telah meninggal.

Mazhab Malikiyah bahkan berpendapat ayah tetap wajib menyediakan tempat tinggal bagi anak dan pengasuhnya, meskipun orang tua telah berpisah.

Aturan dalam Undang-Undang Perkawinan

Di Indonesia, tanggung jawab terhadap anak setelah perceraian juga diatur dalam hukum nasional. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 41.

Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak. Apabila terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak mengasuh anak, pengadilanlah yang akan memberikan keputusan.

Pasal ini juga menyatakan bahwa bapak bertanggung jawab atas seluruh biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. Namun, jika dalam kenyataannya bapak tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan agar ibu turut menanggung sebagian biaya tersebut.

Selain itu, pengadilan juga dapat menetapkan kewajiban kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan kepada mantan istri atau kewajiban lainnya yang dianggap perlu.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com