Tag Archives: al-qur

Ingin Rezeki Melimpah? Amalkan Doa Nabi Sulaiman Ini Setiap Hari


Jakarta

Setiap orang tentu mendambakan kehidupan yang tenang, rezeki yang cukup, dan kemudahan dalam menjalani hari-hari. Dalam Islam, selain bekerja dan berusaha, kita juga diajarkan untuk memperbanyak doa sebagai salah satu jalan memohon pertolongan Allah SWT.

Salah satu janji Allah tentang rezeki tercantum dalam Al-Qur’an surah At-Talaq ayat 2-3,

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙوَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا …


Artinya: “…Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga. Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allahlah yang menuntaskan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu.”

Doa adalah bagian penting dalam usaha seseorang untuk mendapatkan keberkahan hidup. Di antara teladan terbaik dalam hal ini adalah Nabi Sulaiman AS. Beliau dikenal sebagai nabi yang tidak hanya bijaksana dan berkuasa, tetapi juga sangat kaya raya. Namun, semua itu tidak lepas dari doa-doa yang senantiasa beliau panjatkan kepada Allah SWT.

Doa Nabi Sulaiman Memohon Kekayaan dan Kekuasaan

Salah satu doa Nabi Sulaiman AS yang diabadikan dalam Al-Qur’an terdapat dalam surah Shaad ayat 35.

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ

Arab latin: Qāla rabbigfir lī wa hab lī mulkal lā yambagī li’aḥadim mim ba’dī, innaka antal-wahhāb(u).

Artinya: Dia berkata, “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.”

Doa ini menunjukkan keyakinan dan harapan Nabi Sulaiman AS terhadap kemurahan Allah SWT. Ia memohon ampun terlebih dahulu, lalu meminta kekuasaan sebagai amanah yang besar. Dari sinilah kita belajar bahwa meminta rezeki bukanlah hal yang keliru, asalkan tetap dilandasi dengan rasa tawakal dan kesadaran diri sebagai hamba.

Doa Syukur Nabi Sulaiman

Setelah doanya dikabulkan dan dianugerahi kekuasaan serta kekayaan, Nabi Sulaiman AS juga tidak lupa untuk bersyukur. Beliau pun memanjatkan doa yang juga tercantum dalam Al-Qur’an.

Kisah ini bisa ditemukan dalam buku Al-Qur’an dan Prinsip Ketatanegaraan karya Agus Rizal, yang menjelaskan bahwa doa syukur Nabi Sulaiman AS tertulis dalam surah An-Naml ayat 19:

فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَدْخِلْنِيْ بِرَحْمَتِكَ فِيْ عِبَادِكَ الصّٰلِحِيْنَ

Arab latin: Fatabassama ḍāḥikam min qaulihā wa qāla rabbi auzi’nī an asykura ni’matakal-latī an’amta ‘alayya wa ‘alā wālidayya wa an a’mala ṣāliḥan tarḍāhu wa adkhilnī biraḥmatika fī ‘ibādikaṣ-ṣāliḥīn(a).

Artinya: Dia (Sulaiman) tersenyum seraya tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku (ilham dan kemampuan) untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk tetap mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai. (Aku memohon pula) masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.”

Doa ini bisa diamalkan sebagai pengingat agar kita tidak hanya berfokus pada permintaan, tetapi juga memperkuat rasa syukur atas nikmat yang telah ada. Dalam ayat tersebut, Nabi Sulaiman tidak hanya mengingat nikmat yang ia terima, tetapi juga mengaitkannya dengan tanggung jawab untuk berbuat amal yang diridhai Allah.

(inf/kri)



Sumber : www.detik.com

Benarkah Uang Suami Uang Istri, Uang Istri Bukan Uang Suami?


Jakarta

Suami adalah kepala rumah tangga yang memiliki kewajiban menafkahi istrinya. Kerap kali muncul anggapan uang suami adalah uang istri dan uang istri bukan uang suami, benarkah demikian?

Kewajiban suami menafkahi istrinya bersandar pada Al-Qur’an surah An Nisa’ ayat 34. Allah SWT berfirman,

…اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ


Artinya: “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya…”

Menurut Tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama RI, ayat tersebut menjelaskan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, serta bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang menjadi istri dan keluarganya.

Di masyarakat Indonesia, muncul anggapan uang suami juga uang istri, tetapi uang istri bukan uang suami. Anggapan ini juga menjadi topik pertanyaan dalam fikih keluarga.

Benarkah Uang Suami Uang Istri dan Uang Istri bukan Uang Suami?

Menurut sistem syariah Islam, seperti dijelaskan Ahmad Sarwat dalam buku Istri bukan Pembantu, suami istri punya kejelasan atas nilai hartanya masing-masing, meski secara fisik harta itu kelihatan saling bercampur. Semua harta suami tetap menjadi harta suami dan harta istri juga akan tetap milik istri sepenuhnya.

Memang sebagian harta suami ada yang menjadi hak istri tetapi harus melalui akad yang jelas. Misalnya pemberian mahar, nafkah wajib, hibah, atau hadiah. Tanpa adanya akad pasti, harta suami tidak otomatis menjadi harta istri.

Mengacu pada buku Finansial Istri dalam Fikih Muslimah karya Aini Aryani, selama suami memenuhi semua kebutuhan dasar atau primer istri seperti sandang, pangan, papan, dan sebagainya, sebetulnya suami sudah tak dibebani kewajiban lainnya. Meski demikian, istri boleh-boleh saja minta uang belanja lebih atau bonus dan hadiah lainnya. Apabila suami memberikan, semuanya akan menjadi hak istri.

Pemberian suami di luar nafkah itu akan menjadi sedekah untuk istri. Sebab, dalam Islam orang yang paling berhak diberi sedekah suami adalah mereka yang menjadi tanggungannya. Rasulullah SAW bersabda,

خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنِّى ، وَابْدَأُ بِمَنْ تَعُولُ

Artinya: “Sedekah yang terbaik adalah yang dikeluarkan di luar kebutuhan, dan mulailah sedekah itu dari orang yang kamu tanggung nafkahnya.” (HR Bukhari)

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Benarkah Orang Tua Menanggung Dosa Anaknya? Ini Penjelasan Menurut Dalil


Jakarta

Setiap orang tua bertanggung jawab mendidik anak-anak mereka, termasuk mengajarkan adab dan akhlak. Bagaimana dengan anak yang berlaku buruk, apakah dosanya ditanggung orang tua?

Dalil-dalil Al-Qur’an menunjukkan bahwa Islam memiliki prinsip yang sangat jelas bahwa setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menegaskan melalui firman-Nya dalam surat Al-An’am ayat 164.

قُلْ أَغَيْرَ ٱللَّهِ أَبْغِى رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَىْءٍ ۚ وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ


Artinya: Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”.

Kemudian dalam ayat lain disebutkan,

كُلُّ نَفْسٍۭ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

Artinya: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (QS. Al-Muddatsir: 38)

Mengutip buku Fikih Anak Muslim karya Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa secara prinsip dasar, setiap orang menanggung dosanya dan orang tua tidak serta-merta menanggung dosa anaknya.

Namun, terdapat beberapa kondisi di mana dosa anak dapat turut menjadi beban tanggung jawab orang tua, tergantung pada peran serta pengaruh mereka dalam proses pembentukan akhlak dan perilaku sang anak.

Dalam Islam, anak-anak kecil tidak dibebankan dosa sampai ia berusia baligh. Hal ini seperti dijelaskan dalam hadits riwayat Al-Hasan bin Ali RA, ia berkata:

“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,’Qalam (pencatat dosa) diangkat (maksudnya: tidak dihitung melakukan dosa) dari tiga orang: anak kecil sampai ia baligh, orang tidur sampai ia bangun, dan orang yang terkena musibah sampai musibah itu diangkat’.”

Orang Tua Bisa Berdosa Jika Lalai Mendidik Anak

Merujuk buku Islam Berbicara Soal Anak yang ditulis oleh Kariman Hamzah para ulama berpendapat, orang tua dapat ikut menanggung dosa anak jika mereka lalai dalam mendidik dan membina akhlak anaknya, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama.

Kewajiban mendidik anak tercermin dalam banyak hadits Rasulullah SAW, salah satunya,

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW juga memberikan perintah tegas dalam hal pendidikan ibadah, khususnya dalam mendirikan sholat,

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk sholat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika meninggalkannya) pada usia sepuluh tahun.” (HR. Abu Dawud)

Dengan demikian, jika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang abai terhadap kewajiban agama, dan orang tuanya tidak memberikan arahan yang benar, maka kesalahan dan dosa anak tersebut bisa berdampak pada orang tua sebagai bentuk tanggung jawab kepemimpinan dalam keluarga.

Dosa Bertambah Jika Orang Tua Menjadi Penyebab Kemaksiatan Anak

Islam memberikan peringatan keras terhadap siapa pun yang mendorong atau menjadi penyebab orang lain berbuat dosa. Dalam konteks ini, orang tua yang memfasilitasi perilaku maksiat anak, misalnya dengan memberikan kebebasan tanpa pengawasan, membiarkan tontonan dan pergaulan buruk, atau bahkan menyuruh langsung pada hal yang haram, maka akan mendapatkan bagian dari dosa tersebut.

Dalam hadits disebutkan, Rasulullah SAW bersabda,

“Barang siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim)

Tanggung Jawab Orang Tua Berakhir Ketika Anak Sudah Dewasa

Dilansir dari laman Daarut Tauhid, disebutkan bahwa tanggung jawab orang tua tidak berlaku selamanya. Jika orang tua telah mendidik anak-anaknya dengan ajaran Islam yang benar, memberikan contoh perilaku yang baik, dan menasihati mereka ketika menyimpang, maka tanggung jawab dosa tidak lagi berada di pundak orang tua, meskipun anak tetap melakukan kesalahan.

Hal ini dapat dilihat dari kisah Nabi Nuh AS yang memiliki anak durhaka. Walau sang ayah adalah seorang nabi yang mulia dan berdakwah tanpa henti, anaknya tetap memilih jalan kekufuran dan akhirnya tenggelam dalam banjir besar. Allah SWT berfirman kepada Nabi Nuh sebagaimana diabadikan dalam surat Hud ayat 46,

قَالَ يَٰنُوحُ إِنَّهُۥ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُۥ عَمَلٌ غَيْرُ صَٰلِحٍ ۖ فَلَا تَسْـَٔلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۖ إِنِّىٓ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ ٱلْجَٰهِلِينَ

Artinya: Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”.

Kisah ini menunjukkan bahwa hidayah tidak bisa diwariskan, dan orang tua tidak dibebani atas keputusan akhir anak yang sudah cukup umur dan paham tanggung jawab agama.

Di sisi lain, ketika seorang anak menjadi pribadi saleh, hal itu justru menjadi sumber pahala yang terus mengalir bagi kedua orang tuanya. Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

10 Surat Pendek dari Juz 30 yang Cocok untuk Sholat


Jakarta

Juz ke-30 dalam Al-Qur’an atau yang dikenal dengan Juz ‘Amma adalah bagian yang sangat populer di kalangan umat Islam. Salah satu keutamaannya adalah memuat banyak surat pendek yang mudah dihafal, sehingga sangat cocok dibaca dalam sholat.

Sebelum membaca surat pendek, diwajibkan membaca Surat Al-Fatihah terlebih dahulu. Surat ini merupakan surat yang wajib dibaca dalam setiap rakaat sholat sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,

“Tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca Ummul Kitab (Al-Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim)


Surat al-Fatihah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Arab-Latin: bismillāhir-raḥmānir-raḥīm

Artinya: 1. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

al-ḥamdu lillāhi rabbil-‘ālamīn

2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

ar-raḥmānir-raḥīm

3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ

māliki yaumid-dīn

4. Yang menguasai di Hari Pembalasan.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

iyyāka na’budu wa iyyāka nasta’īn

5. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ

ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm

6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,

صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

ṣirāṭallażīna an’amta ‘alaihim gairil-magḍụbi ‘alaihim wa laḍ-ḍāllīn

7. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Berikut 10 surat pendek dari Juz 30 yang cocok dibaca saat sholat, disertai keutamaannya masing-masing sesuai hadits Rasulullah SAW.

10 Surat Pendek dari Juz 30

1. Surat Al-Ikhlas

Surat ini mengandung makna tauhid yang murni dan kecintaan kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya surat ini setara dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari)

Surat al-Ikhlas

قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ

Arab-Latin: qul huwallāhu aḥad

Artinya: 1. Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa.

ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ

allāhuṣ-ṣamad

2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

lam yalid wa lam yụlad

3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,

وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ

wa lam yakul lahụ kufuwan aḥad

4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.

2. Surat Al-Falaq

Surat ini berisi permohonan perlindungan dari kejahatan malam, sihir, dan kedengkian. Disunnahkan membacanya setiap pagi, sore, dan sebelum tidur.

Surat al-Falaq

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلْفَلَقِ

Arab-Latin: qul a’ụżu birabbil-falaq

Artinya: 1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh,

مِن شَرِّ مَا خَلَقَ

min syarri mā khalaq

2. dari kejahatan makhluk-Nya,

وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ

wa min syarri gāsiqin iżā waqab

3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,

وَمِن شَرِّ ٱلنَّفَّٰثَٰتِ فِى ٱلْعُقَدِ

wa min syarrin-naffāṡāti fil-‘uqad

4. dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,

وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

wa min syarri ḥāsidin iżā ḥasad

5. dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”.

3. Surat An-Nas

Surat ini adalah permohonan perlindungan dari godaan setan, baik jin maupun manusia.

Rasulullah SAW bersabda,
“Wahai anakku, bacalah Al-Falaq dan An-Nas, karena dua surat itu melindungimu dari keburukan.” (HR. Tirmidzi)

Surat an-Naas

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ

Arab-Latin: qul a’ụżu birabbin-nās

Artinya: 1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.

مَلِكِ ٱلنَّاسِ

malikin-nās

2. Raja manusia.

إِلَٰهِ ٱلنَّاسِ

ilāhin-nās

3. Sembahan manusia.

مِن شَرِّ ٱلْوَسْوَاسِ ٱلْخَنَّاسِ

min syarril-waswāsil-khannās

4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,

ٱلَّذِى يُوَسْوِسُ فِى صُدُورِ ٱلنَّاسِ

allażī yuwaswisu fī ṣudụrin-nās

5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,

مِنَ ٱلْجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ

minal-jinnati wan-nās

6. dari (golongan) jin dan manusia.

4. Surat al-Lahab

تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ

Arab-Latin: tabbat yadā abī lahabiw wa tabb

Artinya: 1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.

مَآ أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُۥ وَمَا كَسَبَ

mā agnā ‘an-hu māluhụ wa mā kasab

2. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.

سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

sayaṣlā nāran żāta lahab

3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.

وَٱمْرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلْحَطَبِ

wamra`atuh, ḥammālatal-ḥaṭab

4. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar.

فِى جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍۭ

fī jīdihā ḥablum mim masad

5. Yang di lehernya ada tali dari sabut.

5. Surat Al-Kafirun

Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda,
“Bacalah Al-Kafirun, karena ia membebaskan dari syirik.” (HR. Abu Dawud)

Surat al-Kafirun

قُلْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلْكَٰفِرُونَ

Arab-Latin: qul yā ayyuhal-kāfirụn

Artinya: 1. Katakanlah: “Hai orang-orang kafir,

لَآ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

lā a’budu mā ta’budụn

2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.

وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ

wa lā antum ‘ābidụna mā a’bud

3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.

وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ

wa lā ana ‘ābidum mā ‘abattum

4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,

وَلَآ أَنتُمْ عَٰبِدُونَ مَآ أَعْبُدُ

wa lā antum ‘ābidụna mā a’bud

5. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ

lakum dīnukum wa liya dīn

6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.

6. Surat Al-Asr

Surat ini mengandung pesan padat tentang waktu, iman, amal saleh, kebenaran, dan kesabaran.

Imam Syafi’i berkata, “Seandainya manusia hanya merenungi surat ini, itu sudah cukup bagi mereka.”

Surat al-‘Ashr

وَٱلْعَصْرِ

Arab-Latin: wal-‘aṣr

Artinya: 1. Demi masa.

إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ

innal-insāna lafī khusr

2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ

illallażīna āmanụ wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti wa tawāṣau bil-ḥaqqi wa tawāṣau biṣ-ṣabr

3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

7. Surat Al-Ma’un

Surat al-Ma’un

أَرَءَيْتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ

Arab-Latin: a ra`aitallażī yukażżibu bid-dīn

Artinya: 1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?

فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيمَ

fa żālikallażī yadu”ul-yatīm

2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,

وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ

wa lā yaḥuḍḍu ‘alā ṭa’āmil-miskīn

3. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ

fa wailul lil-muṣallīn

4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,

ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

allażīna hum ‘an ṣalātihim sāhụn

5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,

ٱلَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ

allażīna hum yurā`ụn

6. orang-orang yang berbuat riya,

وَيَمْنَعُونَ ٱلْمَاعُونَ

wa yamna’ụnal-mā’ụn

7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

8. Surat Al-Kautsar

Surat al-Kautsar

إِنَّآ أَعْطَيْنَٰكَ ٱلْكَوْثَرَ

Arab-Latin: innā a’ṭainākal-kauṡar

Artinya: 1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ

fa ṣalli lirabbika wan-ḥar

2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلْأَبْتَرُ

inna syāni`aka huwal-abtar

3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.

9. Surat Al-Takatsur

Surat at-Takatsur

أَلْهَىٰكُمُ ٱلتَّكَاثُرُ

Arab-Latin: al-hākumut-takāṡur

Artinya: 1. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,

حَتَّىٰ زُرْتُمُ ٱلْمَقَابِرَ

ḥattā zurtumul-maqābir

2. sampai kamu masuk ke dalam kubur.

كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ

kallā saufa ta’lamụn

3. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),

ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ

ṡumma kallā saufa ta’lamụn

4. dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.

كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ ٱلْيَقِينِ

kallā lau ta’lamụna ‘ilmal-yaqīn

5. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,

لَتَرَوُنَّ ٱلْجَحِيمَ

latarawunnal-jaḥīm

6. niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,

ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ ٱلْيَقِينِ

ṡumma latarawunnahā ‘ainal-yaqīn

7. dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin.

ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ

ṡumma latus`alunna yauma`iżin ‘anin-na’īm

8. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).

10. Surat an-Nashr

إِذَا جَآءَ نَصْرُ ٱللَّهِ وَٱلْفَتْحُ

Arab-Latin: iżā jā`a naṣrullāhi wal-fat-ḥ

Artinya: 1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,

وَرَأَيْتَ ٱلنَّاسَ يَدْخُلُونَ فِى دِينِ ٱللَّهِ أَفْوَاجًا

wa ra`aitan-nāsa yadkhulụna fī dīnillāhi afwājā

2. dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًۢا

fa sabbiḥ biḥamdi rabbika wastagfir-h, innahụ kāna tawwābā

3. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.

(dvs/inf)



Sumber : www.detik.com

Arti dan Pentingnya di Kehidupan



Jakarta

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dihadapkan pada berbagai pilihan, tantangan, dan usaha untuk mencapai tujuan. Dalam Islam, konsep ikhtiar menjadi bagian penting dalam menjalani kehidupan sebagai bentuk tanggung jawab dan kepatuhan kepada Allah SWT.

Pengertian Ikhtiar

Dikutip dari buku Diabaikan Allah Dibenci Rasulullah karya Rizem Aizid, setiap manusia diwajibkan berikhtiar agar mendapat pertolongan Allah SWT. Secara sederhana, ikhtiar adalah kata lain dari usaha atau upaya.

Secara bahasa, kata ikhtiar berarti mencari hasil yang lebih baik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhtiar diartikan sebagai alat atau syarat untuk mencapai maksud, pilihan, usaha dan daya upaya. Jadi ikhtiar adalah usaha yang dilakukan dengan mengeluarkan segala daya upaya dan kemampuan untuk mencapai hasil terbaik.


Secara istilah, ikhtiar adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan manusia dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan keyakinan, sambil tetap menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah (tawakal). Ikhtiar merupakan salah satu bentuk perwujudan iman dan pengakuan terhadap sunnatullah (hukum sebab-akibat) yang berlaku di alam semesta.

Ikhtiar merupakan perbuatan mulia yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT. Dalil tentang ikhtiar termaktub dalam Al-Qur’an surat Ar Rad ayat 11, Allah SWT berfirman,

لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٌ مِّنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِۦ يَحْفَظُونَهُۥ مِنْ أَمْرِ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوْمٍ سُوٓءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥ ۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ

Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda,

“Berusahalah (berikhtiarlah) untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan jangan lemah.” (HR Muslim)

Hadits ini menunjukkan perintah langsung dari Rasulullah SAW untuk selalu berusaha, kemudian bergantung kepada Allah, bukan hanya berpasrah tanpa tindakan.

Islam tidak mengajarkan umatnya untuk pasrah tanpa usaha. Sebaliknya, Islam mendorong untuk berikhtiar secara maksimal dalam berbagai aspek kehidupan, mencari rezeki, menjaga kesehatan, menuntut ilmu, dan sebagainya.

Hubungan Ikhtiar dan Tawakal

Mengutip buku Super Spiritual Quotient (SSQ): Sosiologi Berpikir Qur`ani dan Revolusi Mental karya Dr. Syahrul Akmal Latif, S.Ag, M.Si., ikhtiar dan tawakal adalah dua hal yang saling melengkapi dalam ajaran Islam. Ikhtiar adalah usaha lahiriah, sedangkan tawakal adalah penyerahan batiniah kepada Allah SWT atas hasil dari usaha tersebut.

Imam Ghazali menjelaskan bahwa tawakal tanpa ikhtiar adalah kemalasan, dan ikhtiar tanpa tawakal adalah kesombongan.

Ikhtiar adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan manusia dalam memilih dan menjalani tindakan terbaik, disertai dengan tawakal kepada Allah SWT. Dalam Islam, ikhtiar bukan hanya anjuran, melainkan juga kewajiban.

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

MUI Jabar Kritik Keras Pembagian Bir di Event Lari, Ini Hukum Miras dalam Islam


Jakarta

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat (Jabar) mengkritik keras pembagian bir di event lari nasional Pocari Run 2025 yang digelar di Kota Bandung beberapa waktu lalu. Sekretaris MUI Jabar Rafani Achyar menilai pembagian bir itu menjadi tindakan yang salah meski kadar alkoholnya di bawah 20 persen.

“Kalau soal membagikan bir, itu satu tindakan yang salah menurut saya. Itu tidak boleh terjadi sebetulnya, walaupun ada yang mengklaim bir itu di bawah 20 persen kadar alkoholnya,” ujarnya, dilansir detikJabar, Kamis (24/7/2025).


Rafani menegaskan bir memiliki konotasi minuman keras (miras). Dalam ajaran Islam, minuman keras haram hukumnya untuk dikonsumsi.

“Tapi tetap aja bir itu sudah punya konotasi minuman keras, jadi nggak boleh. Dalam Islam, sesuatu yang sudah punya konotasi yang diharamkan itu nggak boleh,” tambahnya.

Lebih lanjut, Rafani menjelaskan bahwa hal-hal yang sifatnya abu-abu atau syubhat dalam Islam harus dijauhi. Ia memberi contoh fenomena nama-nama makanan yang sempat populer seperti bakso setan.

Walau bakso hukumnya halal untuk dikonsumsi, tetapi nama dan konotasi dari usahanya memiliki konotasi yang menyimpang dari nilai-nilai Islam.

“Baksonya mungkin halal, tapi kalau namanya pakai setan, itu sudah jelas musuh. Dalam Al-Qur’an setan itu musuh yang nyata, dan perlakukanlah sebagai musuh. Sama halnya dengan bir, meskipun mungkin kadar alkoholnya rendah, tetap aja haram diminum itu karena sudah punya konotasi haram,” terangnya menguraikan.

Meminum Minuman Keras Hukumnya Haram dalam Islam

Minuman keras haram hukumnya dikonsumsi dalam Islam. Pelarangannya sendiri disebutkan dalam sejumlah ayat suci Al-Qur’an serta hadits.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Maidah ayat 90,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Menukil dari Tafsir al-Munir Jilid 1 susunan Wahbah Az Zuhaili yang diterjemahkan Abdul Hayyie al Kattani dkk, minuman keras atau khamr adalah minuman haram yang harus dihindari karena berbahaya. Khamr meliputi segala sesuatu yang memabukkan.

Dalam jumlah sedikit maupun banyak maka hukum mengonsumsi minuman keras tetap haram. Dari Abu Musa al-Asy’ariy, Rasulullah SAW bersabda,

“Tidak akan masuk surga orang yang senantiasa minum khamr, orang yang percaya atau membenarkan sihir, dan orang yang memutuskan tali silaturrahim. Barang siapa mati dalam keadaan minum khamr (mabuk) maka Allah kelak akan memberinya minum dari sungai Ghuthah. Yaitu air yang mengalir dari kemaluan para pelacur, yang baunya sangat mengganggu para penghuni neraka.” (HR Ahmad, Al Hakim dan Ibnu Hibban)

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Apakah Boleh Mandi Wajib Menggunakan Air Hangat?


Jakarta

Mandi wajib umumnya dilakukan dengan air biasa yang suci dan menyucikan (mutlak). Jika dalam kondisi sangat dingin, bolehkah mandi wajib menggunakan air hangat?

Ada beberapa hal yang mengharuskan seorang muslim mandi wajib. Para ulama empat mazhab, seperti dikatakan Muhammad Jawad Mughniyah dalam Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah terjemahan Masykur AB dkk, sepakat mandi wajib dilakukan karena junub, haid, nifas, dan meninggal dunia.

Adapun mazhab Hambali menambahkan satu hal lagi yakni ketika orang kafir masuk Islam maka wajib mandi.


Dalil mandi wajib ditetapkan langsung dalam Al-Qur’an surah Al-Ma’idah ayat 6. Allah SWT berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ٦

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur.”

Menurut terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, ayat tersebut berisi perintah bersuci ketika dalam kondisi berhadas. Yakni dengan cara wudhu, mandi, atau tayamum jika tidak menemukan air. Mandi dalam ayat tersebut adalah mandi wajib karena junub.

Apakah Boleh Mandi Wajib Menggunakan Air Hangat?

Ya, mandi wajib boleh menggunakan air hangat. Pendapat ini dikatakan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari dan dijelaskan dalam buku Fiqh Bersuci dan Sholat Sesuai Tuntunan Nabi oleh Abu Utsman Kharisman.

Salah satu dalil yang digunakan sandaran kebolehan mandi wajib dengan air hangat adalah riwayat berikut ini:

رَأَيْتُ الْمَاءَ يُسَخَّنُ لِأَنَسِ بْنِ مَالِكَ فِي الشَّتَاءِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ بِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ

Artinya: “Aku melihat air dihangatkan untuk Anas bin Malik di musim dingin, kemudian beliau mandi menggunakan air itu pada hari Jumat.” (HR Ibnul Mundzir dalam al-Awsath)

Dijelaskan, seseorang boleh wudhu atau mandi wajib menggunakan air hangat asalkan air tersebut suci dan bisa dialirkan pada seluruh anggota tubuh.

Tata Cara Mandi Wajib

Tata cara mandi wajib secara umum dilakukan dengan mengguyur air ke seluruh tubuh. Imam al-Ghazali dalam Mukhtashar Ihya ‘Ulumuddin terjemahan ‘Abdul Rosyad Siddiq, menjelaskan tata cara mandi wajib sebagai berikut:

  1. Meletakkan wadah air di sebelah kanan lalu baca Bismillahirrahmanirrahim dan basuh tangan kanan tiga kali
  2. Setelah buang air kecil, lanjutkan dengan wudhu
  3. Guyur air ke bagian tubuh (pundak) kanan diikuti kiri masing-masing tiga kali
  4. Guyur air ke seluruh tubuh dimulai dari kepala sambil menggosok bagian depan sampai belakang
  5. Pastikan kulit kepala terbasahi air, terutama di pangkal rambut baik yang tipis maupun lebat
  6. Bagi perempuan yang berambut panjang dan diikat, tak harus melepas ikatannya kecuali tak yakin air bisa menembus sela rambutnya
  7. Siram seluruh lekukan tubuh

Terkait tata cara tersebut, Imam al-Ghazali menyebut menyiram air secara berurutan bukan aturan yang diwajibkan dalam mandi wajib.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

8 Jenis Rezeki yang Disebutkan dalam Al-Qur’an


Jakarta

Rezeki adalah salah satu bentuk rahmat Allah yang diberikan kepada seluruh makhluk-Nya, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan.

Dalam Islam, rezeki tidak hanya dipahami sebagai harta atau materi, tetapi mencakup segala bentuk kebaikan yang diberikan oleh Allah, seperti kesehatan, ilmu, anak, bahkan ketenangan jiwa. Pemahaman yang benar tentang rezeki dapat membentuk sikap hidup yang lebih tawakal, bersyukur, dan terus berikhtiar.


Allah SAW menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa rezeki setiap makhluk telah dijamin:

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا…

“Tidak ada satu makhluk melata pun yang bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin ALLAH rezekinya.”
(QS. Hud: 6)

Ayat ini menumbuhkan keyakinan bahwa tidak ada satu pun makhluk yang luput dari perhatian dan kasih sayang Allah dalam hal rezeki. Namun, Islam juga mengajarkan bahwa bentuk dan cara mendapatkan rezeki itu bermacam-macam, sesuai dengan takdir dan usaha masing-masing hamba.

Dalam Al-Qur’an dijelaskan mengenai beberapa jenis rezeki yang perlu muslim pahami. Simak penjelasannya berikut ini yang dikutip dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

1. Rezeki yang Telah Dijamin

Setiap makhluk hidup di bumi ini telah dijamin rezekinya oleh Allah. Tak satu pun yang luput dari jaminan ini, meski kadar dan waktunya berbeda-beda untuk setiap individu. Allah menegaskan dalam firman-Nya dalam surah Hud ayat 6:

وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

Wa mā min dābbatin fil-arḍi illā ‘alallāhi rizquhā wa ya’lamu mustaqarrahā wa mustauda’ahā, kullun fī kitābim mubīn(in).

Artinya: Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya.350) Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauhulmahfuz).

Menurut penjelasan Imam Ibnu Katsir, ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjamin rezeki semua makhluk, baik yang hidup di daratan maupun di lautan, besar maupun kecil. Allah mengetahui tempat tinggal mereka serta ke mana mereka kembali-yakni tempat penyimpanan atau sarangnya.

2. Rezeki karena Usaha

Rezeki juga bisa diperoleh melalui ikhtiar dan kerja keras. Hal ini lazim berlaku dalam kehidupan sehari-hari, seperti pada para pekerja atau pedagang. Semakin giat seseorang berusaha, biasanya semakin besar pula hasil yang didapat. Allah berfirman dalam surah An-Najm ayat 39:

وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ

Wa al laisa lil-insāni illā mā sa’ā.
Artinya: bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya,

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa seseorang tidak akan mendapat pahala kecuali dari apa yang diupayakannya sendiri, sebagaimana ia juga tidak menanggung dosa orang lain.

3. Rezeki karena Bersyukur

Syukur juga menjadi sebab bertambahnya rezeki. Allah menjanjikan dalam Al-Qur’an Surah Ibrahim ayat 7:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Wa iż ta’ażżana rabbukum la’in syakartum la’azīdannakum wa la’in kafartum inna ‘ażābī lasyadīd(un).

Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.”

Ibnu Katsir menafsirkan bahwa siapa yang bersyukur atas nikmat Allah, maka Allah akan menambah nikmatnya. Sebaliknya, jika kufur nikmat, Allah akan mencabutnya dan memberikan azab yang pedih.

4. Rezeki Tak Terduga

Allah juga memberikan rezeki dari arah yang tidak terduga, khususnya bagi orang-orang yang bertakwa. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah pada surah At-Thalaq ayat 2-3:

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ…

… wa may yattaqillāha yaj’al lahū makhrajā(n)

Artinya: “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (At-Thalaq ayat 2)

وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ …

Wa yarzuqhu min ḥaiṡu lā yaḥtasib(u),…

Artinya: dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga… (At-Thalaq ayat 3)

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang bertakwa akan mendapatkan pertolongan dan rezeki dari arah yang tidak diduga. Abdullah Ibnu Mas’ud bahkan menyebut ayat ini sebagai salah satu yang paling memberi harapan dalam Al-Qur’an.

5. Rezeki karena Istighfar

Istighfar juga menjadi salah satu sebab datangnya rezeki. Dalam Surah Nuh ayat 10-11, Allah berfirman:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا

“Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, pasti Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta.” (QS. Nuh: 10-11)

6. Rezeki karena Sedekah

Sedekah merupakan amal yang dapat melapangkan rezeki. Allah berfirman:

مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

Atinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada ALLAH, pinjaman yang baik (infak & sedekah), maka ALLAH akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipatan yang banyak.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud “pinjaman yang baik” adalah infak di jalan Allah, termasuk memberi nafkah kepada keluarga dan amal sosial lainnya. Balasan dari Allah untuk amal tersebut dijelaskan dalam ayat lain:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ…

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 261)

7. Rezeki karena Anak

Anak-anak juga menjadi sebab datangnya rezeki. Allah melarang membunuh anak karena takut miskin, dan menjamin rezeki mereka:

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ

Artinya “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang akan menanggung rezeki mereka dan juga (rezeki) bagimu.” (QS. Al-Isra’: 31)

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini menunjukkan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya lebih besar daripada kasih orang tua kepada anak. Di masa jahiliah, orang tua bahkan rela membunuh anak perempuannya karena khawatir beban ekonomi, namun Islam menghapus kebiasaan keji tersebut.

8. Rezeki karena Menikah

Pernikahan pun dapat menjadi pintu datangnya rezeki. Allah berfirman:

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ… إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu… Jika mereka miskin, maka Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur: 32)

Ibnu Katsir mengutip bahwa ayat ini mengandung anjuran untuk menikah dan janji dari Allah bahwa Dia akan mencukupi kebutuhan mereka.

(inf/dvs)



Sumber : www.detik.com

8 Dalil tentang Riba, Transaksi Haram dalam Islam


Jakarta

Riba menjadi salah satu transaksi yang diharamkan dalam Islam. Muslim wajib mengetahui dalil yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW.

Dikutip dari buku Hadis-hadis Ekonomi karya Isnaini Harahap, riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam.


Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam istilah syariat, riba adalah tambahan yang diambil dari transaksi utang piutang atau pertukaran barang sejenis secara tidak sah, yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam.

Riba terjadi ketika ada keuntungan atau tambahan yang diperoleh salah satu pihak dalam transaksi yang seharusnya tidak mengandung unsur keuntungan, seperti pinjaman atau pertukaran barang sejenis.

Hukum Riba dalam Islam

Dirangkum dari buku Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid: Jilid 2: Referensi Lengkap Fikih Perbandingan Madzhab karya Ibnu Rusyd, riba diharamkan dalam Islam secara mutlak, baik dalam Al-Qur’an, hadits Nabi SAW, maupun ijma’ ulama. Larangan ini termasuk dalam dosa besar karena menzalimi pihak lain dan merusak sistem ekonomi yang adil.

Dalil tentang Riba

1. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 257

ٱللَّهُ وَلِىُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ يُخْرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ ۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَوْلِيَآؤُهُمُ ٱلطَّٰغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ ٱلنُّورِ إِلَى ٱلظُّلُمَٰتِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

Artinya: Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

2. Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 278-279

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ۝ فَإِن لَّمۡ تَفۡعَلُواْ فَأۡذَنُواْ بِحَرۡبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَإِن تُبۡتُمۡ فَلَكُمۡ رُءُوسُ أَمۡوَٰلِكُمۡ لَا تَظۡلِمُونَ وَلَا تُظۡلَمُونَ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok harta kamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan). (QS. al-Baqarah: 278-279)

3. Rasulullah SAW Melaknat Riba

عَنْ جَابِرٍ ، قَالَ : لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا، وَمُؤْكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ. وَقَالَ : هُمْ سَوَاءٌ

Artinya: Dari Jabir (diriwayatkan bahwa) ia berkata: “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya. Rasulullah SAW mengatakan, ‘mereka itu sama.” (HR. Muslim)

4. Riba Seperti Berzina dengan Ibu Sendiri

Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda:

“Riba itu ada 73 pintu. Pintu riba yang paling ringan, seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibunya.” (HR Hakim)

5. Larangan Riba

Dikutip dari buku Bulughul Maram & Dalil-Dalil Hukum: Panduan Hidup Sesuai Tuntunan Rasulullah SAW dalam Ibadah, Muamalah, dan Akhlak karya Ibnu Hajar, dalam hadits dari Abu Said al-Khudri RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah menjual emas dengan emas kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain, jaganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain dan janganlah menjual perak yang tidak tampak dengan yang tampak.” (Muttafaq ‘alaih)

6. Hukuman bagi Pemakan Harta Riba

Rasulullah SAW pernah menceritakan mimpinya saat melihat orang-orang pemakan riba berenang di sungai darah.

“Kami mendatangi sungai dari darah, di sana ada orang yang berdiri di tepi sungai sambil membawa bebatuan dan satu orang lagi berenang di tengah sungai. Ketika orang yang berenang dalam sungai darah hendak keluar, lelaki yang berada di pinggir sungai segera melemparkan batu ke dalam mulutnya, sehingga dia terdorong kembali ke tengah sungai, dan demikian itu seterusnya.”

Ketika Nabi bertanya kepada malaikat, mereka menjawab, “Orang yang kamu lihat berenang di sungai darah adalah pemakan riba. “(HR Bukhari).

7. Riba Termasuk Dosa Besar

Riba merupakan perbuatan yang termasuk dosa besar. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

“Jauhilah 7 dosa besar yang membinasakan. Mereka bertanya, ‘Ya Rasulullah, apa saja itu?’ Beliau bersabda, ‘Berbuat syirik kepada Allah, melakukan sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan, kecuali dengan alasan yang benar, makan riba, makan harta anak yatim’.” (HR Bukhari dan Muslim)

8. Riba Membuat Allah SWT Murka

Dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda:

“Ketika zina dan riba dilakukan terang-terangan di masyarakat, berarti mereka telah menghalalkan azab Allah untuk ditimpakan ke diri mereka.” (HR Thabrani)

Jenis-jenis Riba

Dikutip dari buku Fikih Empat Madzhab Jilid 3 karya Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi para ulama membagi riba ke dalam beberapa jenis, yaitu:

1. Riba Qardh (Riba Utang-Piutang)

Riba qardh adalah tambahan yang disyaratkan oleh pemberi pinjaman atas pokok pinjaman. Misalnya, seseorang meminjamkan uang Rp1.000.000 dan meminta dikembalikan Rp1.200.000 tanpa alasan sah.

Contoh: “Pinjam uang Rp1 juta, tapi harus dikembalikan Rp1,2 juta sebulan lagi.”
Ini adalah riba yang jelas, dan haram hukumnya.

2. Riba Fadhl

Riba fadhl adalah pertukaran barang ribawi (misalnya emas dengan emas, gandum dengan gandum) dalam jumlah yang tidak sama, meski dilakukan tunai.

Contoh: Menukar 1 gram emas dengan 1,2 gram emas secara tunai.

Hal ini dilarang sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum… harus sama dan tunai. Siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba.” (HR. Muslim)

3. Riba Nasi’ah

Riba nasi’ah adalah pertukaran barang ribawi yang tidak tunai (diberi tenggat waktu), meskipun jumlahnya sama.

Contoh: Menukar 1 gram emas sekarang dengan 1 gram emas yang akan dikirim bulan depan.

Ini termasuk riba karena ada penangguhan dalam pertukaran barang ribawi, yang seharusnya dilakukan tunai dan seimbang.

4. Riba Jahiliyah

Ini adalah riba yang terjadi pada masa jahiliah, di mana seorang pemberi pinjaman memberi tambahan saat peminjam menunda pembayaran.

Contoh: Jika utang tidak dibayar tepat waktu, maka bunganya bertambah.

(dvs/inf)



Sumber : www.detik.com

Mau Rezeki Lancar? Ini 8 Pintu Rezeki yang Disebut Allah dalam Al-Qur’an


Jakarta

Dalam ajaran Islam, rezeki tidak hanya terbatas pada harta benda, tetapi mencakup seluruh nikmat Allah SWT seperti kesehatan, ilmu, keluarga yang baik, ketenangan jiwa, hingga iman dan takwa. Allah SWT telah menjamin bahwa setiap makhluk hidup di bumi ini memiliki rezekinya masing-masing.

Hal ini ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan juga dijelaskan melalui hadits Rasulullah SAW.


8 Pintu Rezeki

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebutkan berbagai pintu rezeki, yaitu jalan atau sebab-sebab datangnya rezeki bagi manusia. Dikutip dari buku Manut Quran Bisa Kaya karya Udin Yuliyanto, berikut pintu rezeki yang disebut dalam Al-Qur’an:

1. Rezeki yang Telah Dijamin

Allah SWT berfirman dalam Surat Hud ayat 6,

۞ وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ

Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”

2. Rezeki karena Usaha

Surat An-Najm ayat 39-41:

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

وَأَنَّ سَعْيَهُۥ سَوْفَ يُرَىٰ

ثُمَّ يُجْزَىٰهُ ٱلْجَزَآءَ ٱلْأَوْفَىٰ

Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.”

3. Rezeki karena Menikah

Surat An-Nur ayat 32:

وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”

4. Rezeki karena Anak

Surat Al-Isra ayat 31:

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَاِيَّاكُمْۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيْرًا

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.”

5. Rezeki karena Takwa dan Tawakal

Surat At-Talaq Ayat 3:

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا

Artinya: “Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”

6. Rezeki karena Bersedekah

Al Baqarah ayat 245:

مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥٓ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَٱللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۜطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”

7. Rezeki karena Istighfar

Surat Nuh ayat 10-12:

فَقُلْتُ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ إِنَّهُۥ كَانَ غَفَّارًا

يُرْسِلِ ٱلسَّمَآءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا

وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَٰلٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّٰتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَٰرًا

Artinya: “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”

8. Rezeki karena Bersyukur

Surat Ibrahim ayat 7:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”

Melalui ayat-ayat Al-Qur’an ini, dengan tegas dijelaskan bahwa rezeki Allah SWT bisa berasal dari mana saja. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda:

“Jika kamu bertawakal kepada Allah dengan sebaik-baiknya, maka Allah akan memberikan rezeki sebagaimana Dia berikan kepada burung. Ia keluar pada waktu pagi dalam keadaan perut yang kosong dan pulang petang dengan perut kenyang.” (HR. Ahmad).

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com