Tag Archives: Al-Quran

Hafsah binti Umar, Wanita Mulia Penjaga Al-Qur’an



Jakarta

Hafsah binti Umar RA merupakan istri ke-4 Rasulullah SAW. Ia merupakan putri dari Umar bin Khattab RA.

Merujuk dari buku Agungnya Taman Cinta Sang Rasul karya Ustadzah Azizah Hefni, setelah menikah dengan Aisyah RA, Rasulullah SAW menikah dengan Hafsah binti Umar RA.

Pernikahan ini bertujuan untuk mengikatkan tali persaudaraan antara Rasulullah SAW dengan Umar bin Khattab RA. Hal ini juga ditujukan sebagai penghormatan, kesejatian, dan simbol kekuatan.


Pernikahan Rasulullah SAW dengan Hafsah RA menjadi suatu penghargaan beliau terhadap Umar RA, sahabat yang mendedikasikan secara keseluruhan hidupnya untuk Islam.

Terlebih Hafsah RA merupakan seorang janda dari mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami yang sangat dihormati, berjasa, dan dikasihi oleh Rasulullah SAW.

Hafsah RA adalah seorang wanita berkulit hitam seperti ayahnya. la adalah wanita yang tegas, pemarah, dan bersedia menggertak orang lain. Sangat mirip dengan tabiat ayahnya. Namun, ia adalah wanita yang sangat baik.

la adalah wanita salihah yang sangat taat pada agama. Sebagai istri Rasulullah SAW, hubungan Aisyah RA dan Hafsah RA tidaklah ada masalah. Keduanya selalu bekerja sama mengatur rumah tangga mereka dengan Rasulullah SAW.

Mereka juga selalu bersepakat dan bertukar pikiran tentang pengaturan rumah Rasulullah SAW. Mereka seperti dua sahabat yang selalu memberikan masukan terbaik satu sama lain dalam urusan rumah tangga, juga agama.

Namun, mereka tetaplah wanita yang tidak dengan mudah membagi hati mereka. Baik Aisyah RA ataupun Hafsah RA, sama-sama berlomba-lomba untuk menjadi istri Rasulullah SAW yang paling unggul. Mereka yang bisa dikatakan sebaya, selalu berlomba-lomba menarik perhatian Rasulullah SAW lewat sikap sikap terbaik mereka sebagai seorang istri.

Sebenarnya, Umar bin Khathab RA amatlah tahu bahwa Aisyah RA mendapatkan kedudukan tinggi di hati Rasulullah SAW. Mereka juga tahu, siapa pun yang menyebabkan kemarahan Aisyah RA, maka sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah SAW.

Siapa pun yang ridha terhadap Aisyah RA, berarti ridha terhadap Rasulullah SAW. Karena itu, Umar RA berpesan kepada putrinya, agar selalu menghormati dan membina hubungan yang baik dengan Aisyah RA. Hafsah RA diminta untuk menjaga tingkah lakunya di depan Aisyah RA agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Hafsah RA pun bergabung dengan istri istri Rasulullah SAW dan ummahatul mukminin yang suci, Aisyah RA. Di dalam rumah tangga nubuwwah, ada istri selain Hafsah RA, yakni Sa’udah RA dan Aisyah RA. Dengan usaha yang besar Hafsah RA mencoba mengerti betapa penting posisi Aisyah RA seperti yang dipesankan ayahnya kepadanya.

Anuwar Ismail dalam buku 10 Wanita Kesayangan Nabi turut menceritakan kisah Hafsah binti Umar RA. Setelah Rasulullah SAW wafat, Hafsah binti Umar RA mengambil peranan sebagai penjaga mushaf Al-Qur’an.

Hal itu berkaitan dengan naskah pertama dari salinan yang telah dibuat sebelumnya. Di antara para istri Rasulullah SAW hanya Hafsah binti Umar RA saja yang pandai membaca dan menulis.

Mushaf Al-Qur’an itu selalu dijaga dengan baik oleh Hafsah binti Umar RA, hingga pada masa khalifah Utsman bin Affan RA memintanya untuk membuat salinan mushaf tersebut.

Sebelum meninggal dunia, Hafsah binti Umar RA mewasiatkan mushaf pertama itu kepada Abdullah bin Umar RA seorang pemuda yang senantiasa meneladani Rasulullah SAW.

Lalu, Abdullah bin Umar RA menyerahkannya kepada keluarga yang mempunyai ketakwaan yang tinggi hal tersebut juga disetujui oleh kaum muslimin yang lain.

Semasa hidupnya, Hafsah binti Umar RA telah berhasil meriwayatkan hadits Rasulullah SAW sebanyak 60 hadits.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Hak Istri yang Wajib Diberikan saat Ijab Kabul, Ini Dalil tentang Mahar



Jakarta

Salah satu hak istri yang harus segera dipenuhi oleh suami ketika melaksanakan ijab kabul yakni mahar. Mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya.

Dalam Islam, ada anjuran untuk menikah. Dalilnya dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Menikah dan membina rumah tangga bahkan dikategorikan sebagai sebuah ibadah.

Selain perlindungan dan nafkah lahir batin dalam rumah tangga, ada beberapa hal lain yang menjadi hak istri. Salah satunya yakni mahar.


Mengutip buku Mahar Service Dalam Pernikahan Islam oleh Muhammad Karim HS. MH dan Dr. Nurhadi, S.Pd.I., S.E.Sy., S.H., M.Sy., MH., M.Pd. dijelaskan bahwa mahar ialah suatu kepemilikan yang khusus diberikan kepada wanita sebagai ungkapan untuk menghargainya, dan sebagai simbol untuk memuliakan serta membahagiakannya.

Di Indonesia, mahar juga kerap disebut sebagai maskawin. Mahar merupakan suatu pemberian yang wajib bagi suami kepada istri sebagai bentuk ketulusan hati suami mencintai istrinya agar timbul rasa cinta kasih dan sayang antara keduanya.

Di samping itu, mahar hendaknya berupa sesuatu yang memiliki banyak manfaat untuk istri. Bentuk mahar bisa beragam dan tidak terbatas hanya pada harta semata. Mahar bisa berupa uang, perhiasan atau bahkan hafalan surat dalam Al-Qur’an.

Dalil Al-Qur’an tentang Mahar Pernikahan

Mahar dibahas secara jelas dalam Al-Qur’an dan hadits.

1. Surat An-Nisa Ayat 4

وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا

Arab-Latin: Wa ātun-nisā`a ṣaduqātihinna niḥlah, fa in ṭibna lakum ‘an syai`im min-hu nafsan fa kulụhu hanī`am marī`ā

Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

2. Surat An-Nisa Ayat 24

۞ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا۟ بِأَمْوَٰلِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ ۚ فَمَا ٱسْتَمْتَعْتُم بِهِۦ مِنْهُنَّ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَٰضَيْتُم بِهِۦ مِنۢ بَعْدِ ٱلْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Arab-Latin: Wal-muḥṣanātu minan-nisā`i illā mā malakat aimānukum, kitāballāhi ‘alaikum, wa uḥilla lakum mā warā`a żālikum an tabtagụ bi`amwālikum muḥṣinīna gaira musāfiḥīn, fa mastamta’tum bihī min-hunna fa ātụhunna ujụrahunna farīḍah, wa lā junāḥa ‘alaikum fīmā tarāḍaitum bihī mim ba’dil-farīḍah, innallāha kāna ‘alīman ḥakīmā

Artinya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

3. Surat Al-Baqarah Ayat 237

وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Arab-Latin: Wa in ṭallaqtumụhunna ming qabli an tamassụhunna wa qad faraḍtum lahunna farīḍatan fa niṣfu mā faraḍtum illā ay ya’fụna au ya’fuwallażī biyadihī ‘uqdatun-nikāḥ, wa an ta’fū aqrabu lit-taqwā, wa lā tansawul-faḍla bainakum, innallāha bimā ta’malụna baṣīr

Artinya: Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.

4. Hadits Rasulullah SAW

Rasulullah SAW pernah mengatakan, “Sebaik-baik wanita ialah yang paling murah maharnya.” (HR. Ahmad, ibnu Hibban, Hakim & Baihaqi).

Demikian kedudukan mahar sebagai hak istri yang wajib diberikan ketika ijab kabul. Meskipun tidak ada aturan terkait jumlah mahar, seorang suami hendaknya menyiapkan mahar terbaik untuk istri tercinta.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Maimunah binti Al Harits, Istri Terakhir Rasulullah SAW



Jakarta

Maimunah binti Al Harits adalah salah seorang istri Rasulullah SAW yang dinikahi terakhir kalinya. Ia merupakan adik dari Ummu Fadl, istri paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muthalib. Maimunah juga termasuk dalam golongan ummahatul mukminin atau ibu dari orang-orang yang beriman.

Disebutkan dalam buku Kisah pahlawan Muslimah Dunia karya Hafidz Muftisany, Maimunah termasuk seorang wanita mukminah yang menyerahkan dirinya dalam Islam dan kepada Rasulullah SAW di saat keluarganya masih hidup dalam kepercayaan jahiliyah.

Keimanan Maimunah yang menyerahkan jiwa dan raganya dalam Islam dicatat oleh Allah SWT melalui firmannya, Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 50:


… وَامْرَاَةً مُّؤْمِنَةً اِنْ وَّهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ اِنْ اَرَادَ النَّبِيُّ اَنْ يَّسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَۗ …

Artinya: “…dan perempuan mukminat yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya sebagai pengkhususan bagimu, bukan semua orang mukmin (yang lain)…” (QS Al-Ahzab: 50).

Kisah Maimunah binti Al Harits Menjadi Istri Rasulullah SAW

Maimunah Menikah dengan Rasulullah SAW dalam keadaan janda. Sebelumnya, Maimunah pernah memiliki suami yang bernama Abu Rahm bin Abdul Uzza yang kemudian meninggal saat Maimunah berusia 36 tahun dalam keadaan mempersekutukan Allah.

Dikisahkan dalam buku Dahsyatnya Ibadah Para Sahabat Rasulullah karya Yanuar Arifin, saat Rasulullah SAW diperbolehkan masuk ke Kota Makkah dan tinggal selama tiga hari untuk menunaikan haji, orang-orang musyrik segera menuju bukit dan gunung-gunung sebab tidak kuasa melihat kedatangan Rasulullah SAW.

Penduduk Makkah yang tersisa hanyalah para laki-laki dan perempuan yang menyembunyikan keimanan mereka, salah satunya adalah Maimunah binti Al Harits. Sebenarnya Maimunah tidak ingin menyembunyikan keimanannya dan ingin agar dapat masuk Islam dengan sempurna.

Dalam mewujudkan keinginanya itu, Maimunah binti Al Harits kemudian menuju ke rumah saudara kandungnya, Ummu Fadhl yang bersuamikan Abbas. Maimunah menceritakan maksud kedatangannya kepada Abbas yang ingin masuk Islam secara terang-terangan dan ingin bersanding dengan Rasulullah SAW.

Mengetahui keinginan saudara iparnya, Abbas tidak sedikit pun ragu untuk segera menemui Rasulullah SAW dan menyampaikan maksud dan keinginan dari Maimunah binti Al Harits tersebut.

Setelah Rasulullah SAW mengetahui keinginan Maimunah binti Al Harits yang ingin menjadi istri beliau, Rasulullah SAW pun akhirnya menerimanya dengan mahar 400 dirham.

Rasulullah SAW tidak mengadakan pesta pernikahannya dengan Maimunah binti Al Harits di Makkah sebab kaum musyrikin telah memberi penolakan. Beliau kemudian mengizinkan kaum muslimin berjalan menuju Madinah.

Ketika sampai di suatu tempat yang disebut Sarfan, terletak sekitar sepuluh mil dari Makkah, beliau pun memulai malam pertamanya bersama Maimunah. Hari itu terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hijriah.

Setelah sampai di Madinah, Maimunah binti Al Harits menetap di rumah Rasulullah SAW. Di sanalah Maimunah menjadi Ummul Mukminin yang menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri dengan sebaik baiknya, ikhlas, taat, dan setia terhadap suaminya.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Maimunah binti Al Harits masih menjalani hidupnya sekitar lima puluh tahunan. Maimunah wafat di usia 80 tahun di tahun 61 Hijriah pada masa khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Sebelum wafat, beliau berpesan agar dimakamkan di tempat dirinya melaksanakan walimatul ‘ursy atau pernikahan dengan Rasulullah SAW.

Keutamaan Maimunah binti Al Harits

Mengutip dari buku Perempuan-Perempuan Surga karya Imron Mustofa, disebutkan dua keutamaan yang dimiliki Maimunah binti Al Harits, Istri Rasulullah SAW.

1. Perempuan yang Berpengetahuan Luas

Maimunah binti Al Harits dikenal sebagai perempuan yang berpengetahuan luas. Ia senantiasa memberi kontribusi pengetahuan kepada Rasulullah SAW dalam menjalankan dakwahnya.

Maimunah binti Al Harits juga telah meriwayatkan sekitar 76 hadits dari Rasulullah SAW. Beberapa hadits riwayatnya telah ditakhrij dalam kitab Bukhari dan Muslim. Hal itu menunjukkan bahwa Maimunah adalah seorang perempuan cerdas dalam menangkap setiap hadits yang disampaikan Rasulullah.

Maimunah juga dikenal sebagai sosok yang diakui ketsiqahan-nya sehingga banyak orang mempercayai ucapannya. Segala yang keluar dari mulutnya bersumber dari Al-Qur’an dan hadits.

2. Perempuan yang Berjiwa Patriotik

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Maimunah binti Al Harits merupakan seorang perempuan pemberani dan berjiwa patriotik. Ia tidak segan bersikap tegas kepada orang yang melakukan maksiat dan membenci orang yang memusuhi agama Allah SWT.

Bahkan kepada kerabatnya sendiri, jika ia telah melanggar hukum Allah maka Maimunah tidak akan membela atau mengasihaninya.

Dalam sebuah riwayat, Ibnu Sa’ad menyebutkan dari Yazid bin al-Ahsam, ia berkata, “Pada suatu hari, seorang lelaki kerabat Maimunah datang kepadanya. Dari lelaki tersebut tercium bau minuman keras. Lantas, Maimunah berkata dalam keadaan marah, ‘Demi Allah, mengapa engkau tidak keluar dari tengah-tengah kaum muslimin lalu mereka akan mencambuk mu?”

Itulah kisah dari Maimunah binti Al Harits, istri Nabi Muhammad SAW yang terakhir dinikahinya. Semoga apa yang telah dilakukan oleh Maimunah binti Al Harits dapat menjadi teladan baik bagi umat muslim.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Hukum Wanita Haid Membaca Al-Qur’an, Boleh atau Tidak?



Jakarta

Haid merupakan siklus alami bagi wanita dewasa. Selama haid, seorang muslimah diperbolehkan untuk tidak menjalankan beberapa ibadah wajib. Bagaimana dengan membaca Al-Qur’an?

Haid adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan oleh suatu penyakit atau karena adanya proses persalinan. Keluarnya darah itu merupakan ketetapan dari Allah kepada seorang wanita.

Dalam agama Islam, wanita yang sedang haid atau nifas tidak diperbolehkan melaksanakan ibadah wajib seperti sholat dan puasa. Bahkan beberapa ulama menganjurkan untuk tidak memegang mushaf Al-Qur’an. Lantas, apakah wanita haid boleh membaca Al Qur’an?


Hukum Membaca Al-Qur’an bagi Wanita Haid

Menurut buku Fiqih Kontroversi Jilid 2: Beribadah antara Sunnah dan Bid’ah karangan HM Anshary, ada kebolehan dalam hukum wanita haid membaca Al-Qur’an. Keterangan ini didasarkan dari salah satu riwayat hadits shahih dari sabda Rasulullah SAW kepada istrinya Aisyah RA.

افْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِيْ بِالبَيْتِ حَتَّي تَطْهُرِي

Artinya: Dari Aisyah RA, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bila kamu mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah haji, kecuali bertawaf di sekeliling Kakbah hingga kamu suci,” (Muttafaq ‘alaih).

Anshary menafsirkan, membaca Al-Qur’an bagi wanita haid dibolehkan sebab hal itu termasuk dalam amalan yang paling utama saat menunaikan ibadah haji.

“Seandainya haram baginya dan wanita muslimah membaca Al-Qur’an dalam keadaan haid, tentunya Rasulullah SAW akan menjelaskannya sebagaimana beliau menerangkan hukum sholat ketika haid,” tulis Anshary dalam bukunya.

Hal ini kemudian diperkuat kembali dengan hadits yang mengisahkan pada suatu ketika, Rasulullah SAW meminta kepada Aisyah, “Bawakan kepadaku tikar kecil itu!” Kemudian Aisyah menjawab, “Saya sedang haid, wahai Rasulullah.” Maka beliau bersabda, “Sesungguhnya, haidmu itu tidak di tanganmu.” (HR Bukhari).

Abdul Syukur al-Azizi dalam bukunya Buku Lengkap Fiqh Wanita: Manual Ibadah dan Muamalah Harian Muslimah Shalihah menerangkan bahwa tubuh seseorang yang sedang haid adalah suci. Oleh karena itu, ketika orang yang haid menyentuh benda apa saja termasuk air, tidak lantas membuatnya najis. Namun, bagaimana dengan mushaf Al-Qur’an?

Pada zaman Rasulullah, para wanita haid tidak dilarang untuk membaca Al-Qur’an. Bahkan wanita haid diperintahkan untuk keluar rumah pada hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) dan mereka bertakbir bersama takbirnya kaum muslimin. Rasulullah SAW juga memerintahkan wanita haid untuk menyempurnakan haji mereka semuanya, kecuali thawaf di Kakbah.

Merangkum buku Bagaimana Rasulullah Mengajarkan Al-Qur’an Kepada Para Sahabat? yang ditulis oleh Dr. Abdussalam Muqbil Al-Majidi, diketahui bahwasannya wanita yang haid mendapatkan dispensasi yang tidak didapatkan oleh yang junub karena orang junub sangat mungkin bersuci dan wanita yang haid jelas tidak akan dalam keadaan suci meskipun telah bersuci.

Perbedaan Pendapat Ulama

Imam Nawawi termasuk ulama yang melarang wanita haid membaca Al-Qur’an. Sementara itu, ulama yang memperbolehkan ialah Bukhari, Ibnu Jarir at-Thabari, dan juga Ibnu Munzir. Bukhari menyebutkan sebuah komentar dari Ibrahim an-Nakha’i, tidak ada salahnya seorang wanita haid membaca ayat Al-Qur’an.

Sebagaimana dikutip oleh Syekh Muhammad al-Utsaimin dalam Fiqh Mar’ah al-Muslimah, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa tidak ada satupun sunnah yang melarang wanita haid membaca Al-Qur’an. Tidak ada riwayat yang mengatakan Rasulullah SAW melarang wanita haid membaca Al-Qur’an sebagaimana melarang mengerjakan sholat dan puasa.

Oleh karena itu, apabila tidak ada satu riwayat dari Rasulullah yang melarang perkara ini, maka tidak boleh dihukumi haram. Sebab, Rasulullah SAW sendiri tidak mengharamkannya. Akan tetapi, sebagai seorang muslim, hendaknya memang memilih opsi berhati-hati agar tidak menimbulkan hal yang tidak diinginkan karena keragu-raguan.

Solusinya, apabila seseorang sedang berhadas kecil dan wanita haid ingin membaca Al-Qur’an, maka dilarang menyentuh mushaf atau bagian dari mushaf. Pendapat ini dinyatakan oleh empat madzhab, yakni Hanafi (Al-Mabsuth 3/152), Maliki (Mukhtasar al-Khalil hlm: 17-18), Syafi’i (Al-Majmu’ 2/67), dan Hambali (Al-Mughny 1/137).

Dengan demikian, bagi wanita haid yang ingin membaca Al-Qur’an diperbolehkan baginya dengan syarat tidak menyentuhnya. Boleh juga membaca Al-Quran di dalam hati dengan tanpa menggerakkan bibir ataupun menggerakkan bibir dengan syarat dirinya tidak bisa mendengar bacaannya

Maka dari itu, takdir Allah yang dikaruniakan kepada wanita sejatinya tidak menghambat jalannya ibadah. Bahkan, beberapa ulama menyarankan wanita yang haid untuk memperbanyak doa dan berdzikir sebagai pengganti bacaan Al-Qur’an.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com