Tag Archives: Ali bin Abi Thalib

Doa Nabi Muhammad dan Nabi Ayub saat Kesulitan yang Mustajab


Jakarta

Doa adalah ibadah yang bisa dikerjakan kapan pun, termasuk ketika mengalami kesulitan. Nabi Muhammad SAW hingga Nabi Ayub AS pernah memanjatkan doa agar diberikan kemudahan oleh Allah SWT.

Setiap manusia pasti mengalami cobaan dan ujian hidup. Para nabi sebagai manusia terpilih pun mengalami ujian dalam hidupnya, apalagi manusia biasa seperti kita.

Ujian hidup merupakan bentuk kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya.


Haidar Musyafa dalam bukunya yang berjudul Hidup Berkah dengan Doa, menjelaskan tidak ada kehidupan yang terbebas dari masalah, ujian, musibah dan persoalan. Semua telah menjadi ketetapan Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an surah Al Baqarah ayat 286, Allah SWT berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”

Hal yang harus dilakukan saat mengalami ujian hidup adalah tetap berbaik sangka pada takdir Allah SWT dan kemudian memohon seraya berdoa agar diberi jalan kemudahan melalui doa.

Para nabi telah mencontohkan untuk berdoa kepada Allah SWT ketika mengalami kesulitan hidup. Hal ini sebagaima diabadikan dalam Al-Qur’an surah Al Mukmin ayat 60,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِى سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Artinya: Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”.

Doa Para Nabi saat Mengalami Kesulitan

Berikut doa para nabi saat mengalami kesulitan:

Doa Nabi Muhammad SAW

Mengutip buku Ampuhnya Mukjizat Doa dan Dzikir Para Nabi karya Ustadz Ali Amrin al-Qurawy, berikut doa yang dibaca Nabi Muhammad SAW saat mengalami kesulitan,

اللَّهُمَّ لَا سَهْلَ إِلَّا مَا جَعَلْتَهُ سَهْلًا وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلًا.

Arab-latin: Allaahumma laa sahla illaa maa ja’altahu sahlan wa anta taj’alul hazna idzaa syi’ta sahlaa.

Artinya: “Ya Allah, tidak ada kemudahan, kecuali yang Engkau jadikan mudah. Sedangkan, yang susah bisa Engkau jadikan mudah, apabila Engkau menghendakinya.” (HR Ibnu Hibban)

Dalam hadits, Nabi Muhamamd SAW juga kerap membaca doa ini agar dimudahkan menjalani ujian hidup,

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الكَرِيمُ العَظِيمُ، سُبْحَانَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ العَرْشِ الْعَظِيْمِ، اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Arab latin: Laa ilaaha illallaahul kariimul ‘adzhiim, subhaanahu tabaarakallaahu rabbul ‘arsyil ‘adzhiim, Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin

Artinya: “Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung, Maha Suci Dia, maha Berkah Allah, Rabb Arasy yang Agung, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.” (Riwayat dari Ali bin Abi Thalib, HR Nasa’i & Ibnu Sunni)

Kemudian dalam hadits lain, Nabi Muhammad SAW membaca doa ini untuk meminta pertolongan Allah SWT,

يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ، بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ

Arab latin: Yaa hayu yaa qayyuumu birahmatika astaghiits

Artinya: “Wahai Yang Hidup Abadi, wahai yang mengurus makhluk-Nya secara terus menerus, aku memohon pertolongan dengan rahmat-Mu,” (Riwayat dari Anas bin Malik, HR Tirmidzi).

Doa Nabi Ayub AS

Nabi Ayub AS adalah sosok yang dikenal memiliki kesabaran. Ibnu Katsir mengatakan bahwa Nabi Ayub AS ditimpa ujian dan cobaan yang datang selama tujuh tahun namun ia tetap sabar dalam ketakwaan.

Berikut doa Nabi Ayub AS yang termaktub dalam Al-Qur’an surah An Anbiya’ ayat 83,

رَبِّ أَنِّي مَسَّنِي الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

Arab-latin: Rabbi annî massaniyadh-dhurru wa anta arhamur-rahimîn

Artinya: “Ya Tuhanku Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Doa Pelunas Utang sesuai Ajaran Nabi Muhammad SAW


Jakarta

Islam mewajibkan umatnya untuk membayar utang sesuai kesepakatan yang ditentukan. Kewajiban membayar utang tercantum dalam surah Al Baqarah ayat 283,

وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”


Menukil dari buku Panduan Muslim Sehari-hari yang ditulis Hamdan Rasyid dan Saiful Hadi El-Sutha, utang piutang dalam Islam diperbolehkan selama bertujuan memberi kemudahan bagi orang yang dalam kesulitan. Kemudian, orang yang memberi utang memiliki hak untuk menagih harta yang dipinjam jika sudah tenggatnya dan mereka yang berutang dalam keadaan mampu membayarnnya.

Islam mengharamkan umatnya untuk menagih utang ketika seseorang dalam keadaan tidak dapat membayar. Hendaknya, utang ditagih ketika ia dalam kondisi yang lapang.

Berkaitan dengan itu, ada doa pelunas utang yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Doa ini tercantum dalam hadits.

Doa Pelunas Utang sesuai Ajaran Rasulullah SAW

Diterangkan dalam buku Doa dan Zikir Sepanjang Tahun karya H Hamdan Hamedan, doa pelunas utang sesuai ajaran Nabi SAW ini berasal dari Ali bin Abi Thalib RA. Suatu ketika, seorang budak laki-laki mendatangi Ali dan mengatakan,

“Wahai Amirul Mukminin, saya tidak dapat melunasi biaya pembebasan diri saya, tolong bantu saya.”

Ali bin Abi Thalib menjawab, “Maukah kau kuajari doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepadaku? Meskipun utangmu sebesar Gunung Sirr, niscaya Allah membantumu melunasinya.”

Budak itu pun menjawab, “Tentu saja.”

Ali bin Abi Thalib kemudian mengajarkan doa berikut kepada budak laki-laki tersebut,

اَللّهُمَّ اكْفِنِىْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَاَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

Arab latin: Allahummakfinii bihalaalika ‘an haroomika wa aghninii bi fadhlika ‘amman siwaaka

Artinya, “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan apa yang Engkau halalkan dari apa yang Engkau karuniakan. Dan dengan karunia-Mu, jadikanlah aku tidak membutuhkan kecuali kepada Engkau.” (HR Tirmidzi dan terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal)

Doa Pelunas Utang Versi Lainnya

Merangkum dari buku Jihad Keluarga: Membina Rumah Tangga Sukses Dunia Akhirat oleh A Fatih Syuhud, berikut beberapa doa pelunas utang lainnya yang bisa dibaca muslim.

1. Doa Dilindungi dari Lilitan Utang

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

Arab latin: Allaahumma innii a’uudzu bika minal hammi wal hazan, wa a’uudzu bika minal ‘ajzi wal kasal, wa a’uudzu bika minal jubni wal bukhl, wa a’uudzu bika min qahrir rijaal.

Artinya: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesumpekan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari ketakutan dan kekikiran, dari lilitan hutang dan kezaliman orang-orang.”

2. Doa Memohon agar Terbebas dari Utang

اللَّهُمَّ يَا فَارِجَ الْهَمِّ ، كَاشِفَ الْغَمِّ ، مُجِيبَ دَعْوَةَ الْمُضْطَرِّينَ ، رَحْمَنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَرَحِيمَهُمَا ، أَنْتَ تَرْحَمُنِي ، فَارْحَمْنِي رَحْمَةً تُغْنِينِي بِهَا عَنْ رَحْمَةِ مَنْ سِوَاكَ

Arab latin: Allahumma ya farijal ham kasyifal gham mujiba da’watal mudhthorriin rahmanad dunya wal akhirah warahimahuma anta tarhamuni farhamni rahmatan tughnini biha rahmati man siwak.

Artinya: “Ya Allah, yang menghilangkan kerisauan, Maha Mengikis gundah gulana, Maha mengabulkan doa orang yang menderita. Engkau Maha Pengasih kepada seisi dunia dan akhirat dan menyayangi keduanya. Engkau mengasihiku, berilah aku rahmat yang membuatku tidak memerlukan lagi pertolongan selain dari-Mu.”

3. Doa agar Pintu Rezeki Dibuka dan Dapat Melunasi Utang

اَللهُمَّ اِنِّىْ اَسْأَلُكَ اَنْ تَرْزُقَنِىْ رِزْقًا حَلاَلاً وَاسِعًا طَيِّبًا مِنْ غَيْرِ تَعَبٍ وَلاَمَشَقَّةٍ وَلاَضَيْرٍ وَلاَنَصَبٍ اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ

Arab latin: Alllhumma innii as’aluka antarzuqunii rizqan halaalan waasi’an thayyiban min ghairi ta’abin walaa musyaqqotin walaa dhairin wala nashabin innaka ‘alaa kulli syai’in qadiir

Artinya: “Ya Allah, aku minta kepada-Mu akan pemberian rezeki yang halal, luas, baik tanpa repot, dan kemelaratan dan tanpa keberatan dan sesungguhnya Engkau maha atas segala sesuatu.”

Itulah beberapa doa pelunas utang yang bisa dibaca oleh muslim. Semoga bermanfaat.

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

Saat Umar bin Khattab Ingin Dimakamkan di Sisi Dua Sahabatnya



Jakarta

Umar bin Khattab dikenal sebagai sosok sahabat nabi yang sekaligus pernah menjadi khalifah. Menjelang dirinya wafat, ia punya satu permintaan yang tak ada lagi lebih penting dari hal itu. Ini kisahnya!

Menukil Kitab Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir, Umar bin Khattab memiliki julukan ‘Al-Faruq’. Ia juga diberi gelar ‘Amirul Mukminin’ saat menjabat sebagai khalifah yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW dalam persoalan kenegaraan.

Ketika memangku amanah menjadi khalifah, ia banyak menorehkan prestasi. Seperti berhasil menaklukkan banyak daerah di negeri Syam dan Irak, sehingga wilayah kekuasaan Islam meluas.


Selain itu, ia yang pertama kali membuat penanggalan Hijriah, mengumpulkan kaum muslim untuk salat Tarawih berjamaah, berkeliling untuk mengontrol rakyatnya, membentuk tentara resmi, hingga membuat undang-undang perpajakan.

Menjelang penghujung hayatnya, Umar bin Khattab sempat berdoa kepada Allah SWT untuk mengadu akan usianya yang senja dan kekuataannya yang melemah, sementara rakyatnya tersebar luas dan ia khawatir tak mampu menjalankan tugasnya dengan baik.

Sehingga berdoalah ia kepada Allah SWT supaya mewafatkannya dalam keadaan syahid dan bisa dikebumikan di Madinah. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Umar pernah berkata, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu mendapatkan syahadah (mati syahid) di atas jalan-Mu dan wafat di tanah Nabi-Mu.”

Dan benar saja, Allah SWT yang Maha Mendengar mengabulkan doa Umar bin Khattab. Dirinya wafat setelah dibunuh oleh seorang budak Majusi.

Kisah Terbunuhnya Umar bin Khattab

Masih dari Kitab Bidayah wan Nihayah, Umar bin Khattab ditikam seorang hamba sahaya Majusi bernama Abu Lu’lu’ah Fairuz, milik al-Mughirah bin Syu’bah.

Peristiwa penusukan terjadi pada waktu pagi, tepatnya tanggal 25 Dzulhijjah tahun 23 Hijriah, ketika dirinya memimpin salat Subuh berjamaah. Setelah kejadian, Umar tersungkur dan menunjuk Abdurrahman bin Auf agar menggantikannya menjadi imam salat.

Kemudian Abu Lu’lu’ah berlari ke belakang sambil menikam orang-orang yang dilaluinya. Sebanyak 13 orang terluka dan enam orang dari mereka tewas. Saat itu, ada seseorang yang melemparkan humus (baju panjang) kepada Abu Lu’lu’ah supaya ia terjerat. Tetapi Abu Lu’lu’ah terlanjur bunuh diri.

Darah Umar bin Khattab yang kala itu mengalir deras dari luka tusuk, membuat dirinya segera dibawa pulang ke rumah.

Ketika mengetahui bahwa seorang budak Majusi yang menikamnya, Umar berkata, “Semoga Allah memberikan kejelekan baginya, kami telah menyuruhnya suatu perkara yang baik.”

Kemudian Umar bin Khattab mewasiatkan agar penggantinya (seorang khalifah) dimusyawarahkan oleh enam orang yang Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepada mereka, yakni Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, az-Zubair, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqash.

Umar bin Khathab berwasiat kepada orang yang akan menggantikannya untuk berbuat yang terbaik kepada seluruh manusia dengan berbagai tingkatan mereka.

Akhirnya, Umar bin Khattab wafat tiga hari setelah peristiwa penikaman itu. Ia dimakamkan pada hari Ahad, awal Muharram tahun 24 H.

Umar Minta Izin Dikebumikan di Sisi Dua Sahabatnya

Saat Umar bin Khattab dalam keadaan terluka berdarah-darah setelah peristiwa penikaman, dirinya menyuruh Abdullah bin Umar, putranya, untuk mendatangi Ummul Mukminin Aisyah di rumahnya.

Umar berujar, “Berangkatlah engkau sekarang ke rumah Aisyah Ummul Mukminin dan katakan, ‘Umar bin Khattab menyampaikan salam kepadanya dan jangan kau katakan salam dari Amirul Mukminin. Sebab sejak hari ini, aku tidak lagi menjadi Amirul Mukminin, katakan kepadanya bahwa Umar bin Khattab minta izin agar dapat dimakamkan di samping dua sahabatnya.”

Maka pergilah Abdullah bin Umar ke rumah Aisyah, dan segera mengucapkan salam untuk izin masuk ke dalam. Ternyata didapati Aisyah sedang duduk menangis.

Abdullah bin Umar berkata, “Umar bin Khattab mengucapkan salam untukmu dan ia meminta izin agar dapat dikebumikan di sisi kedua sahabatnya.”

Aisyah menjawab, “Sebenarnya aku menginginkan agar tempat tersebut menjadi tempatku kelak jika mati, tetapi hari ini aku harus mengalah untuk Umar bin Khattab.”

Ketika Abdullah bin Umar kembali, maka ada seorang yang mengatakan, “Lihatlah Abdullah bin Umar telah datang.” Kemudian Umar bin Khattab berkata, “Angkatlah aku.”

Salah seorang menyandarkan Umar bin Khattab ke tubuh anaknya, Abdullah bin Umar. Umar lalu bertanya kepada putranya, “Apa berita yang engkau bawa?” Ia menjawab, “Sebagaimana yang engkau inginkan, wahai Amirul Mukminin. Aisyah telah mengizinkan dirimu.”

Maka Umar berkata, “Alhamdulillah, tidak ada yang lebih penting bagiku selain dari itu. Jika aku wafat maka bawalah jenazahku ke sana dan katakan, ‘Umar bin Khattab minta izin untuk dapat masuk.’ Jika ia (Aisyah) memberikan izin maka bawalah aku masuk, tetapi jika ia menolak, maka bawalah jenazahku ke pemakaman kaum muslimin.”

Tak lama Umar bin Khattab menemui ajalnya, maka kaum muslim yang hadir kala itu keluar membawa jenazahnya menuju rumah Aisyah. Abdullah bin Umar mengucapkan salam sambil berkata, ‘Umar bin Khattab meminta izin agar dapat masuk.”

Aisyah menjawab, “Bawalah ia masuk.” Kemudian jenazah Umar bin Khattab dibawa masuk dan dimakamkan di tempat itu bersama kedua sahabatnya, yakni Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Diketahui semasa hidupnya Umar bin Khattab sangat dekat dengan Nabi SAW, begitu juga bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib pernah menuturkan kepada Umar, yang dinukil dari sumber yang sama:

“Demi Allah, aku merasa yakin bahwa Allah akan mengumpulkanmu dengan kedua sahabatmu (Nabi SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq). Aku banyak mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku berangkat bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, aku masuk bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, aku keluar bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.”

Akhirnya, Umar bin Khattab dikubur di kamar Nabi Muhammad SAW, di samping Abu Bakar Ash-Shiddiq, setelah mendapat izin dari Ummul Mukminin, Aisyah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Utsman bin Affan yang Masuk Islam Atas Ajakan Abu Bakar



Yogyakarta

Utsman bin Affan adalah salah seorang sahabat Nabi dan khulafaur rasyidin ketiga setelah Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Utsman bin Affan dilahirkan dari keluarga suku Quraisy Bani Umayyah dan hidup di tengah-tengah masyarakat jahiliyah.

Disebutkan dalam buku Biografi Utsman bin Affan oleh Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Utsman bin Affan termasuk salah satu Assabiqunal Awwalun, yaitu golongan orang-orang yang pertama masuk Islam. Ia adalah umat laki-laki keempat yang masuk Islam, setelah Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah.

Utsman bin Affan masuk Islam atas ajakan Abu Bakar ash-Shiddiq. Saat Rasulullah SAW diangkat menjadi Nabi, Utsman berusia 34 tahun. Tidak ada perasaan bimbang dalam dirinya untuk segera memeluk Islam dan masuk ke agama Allah SWT.


Ajakan Abu Bakar kepada Utsman bin Affan untuk Masuk Islam

Mengutip dari buku Tarikh Khulafa karya Ibrahim Al-Quraibi, Utsman bin Affan memiliki bibi yang bernama Sa’da binti Kuraiz, seorang peramal di masa Jahiliyah. Bibinya pernah menyampaikan kepada Utsman mengenai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Sa’da mengatakan bahwa Muhammad itu berada di pihak yang benar serta agama yang diajarkannya akan unggul dan mengalahkan seluruh kaum yang memusuhinya. Pernyataan bibinya tersebut selalu terngiang dalam benaknya. Kemudian ia mendapati Abu Bakar yang sedang sendirian lalu duduk di sampingnya.

Abu Bakar yang melihat kegundahan Utsman bin Affan kemudian bertanya tentang persoalannya. Lantas, Utsman menceritakan semua hal yang didengar dari bibinya.

Abu Bakar kemudian berkata, “Celakalah engkau wahai Utsman! Demi Allah engkau adalah orang yang punya tekad kuat. Tidak sulit bagimu membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Bukanlah berhala-berhala yang disembah kaum mu itu hanyalah batu yang tuli, tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, tidak bisa mencelakai, dan tidak bisa memberikan pertolongan?”

Utsman menjawab, “Benar. Demi Allah, begitulah berhala-berhala itu.”

Abu Bakar lalu melanjutkan, “Demi Allah, bibimu telah berkata benar kepadamu. Sesungguhnya, Muhammad bin Abdullah telah diutus oleh Allah dengan risalah-Nya untuk segenap makhluk. Apakah engkau mau menemui beliau dan mendengar penyampaian beliau?”

Utsman langsung menjawab dengan yakin, “Ya, aku mau.”

Tak selang lama, Rasulullah SAW bersama Ali bin Abi Thalib lewat. Abu Bakar pun langsung berdiri menghampiri beliau dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Ketika duduk, Rasulullah SAW menghadap Utsman lalu beliau bersabda, “Wahai Utsman, sambutlah panggilan Allah menuju surga-Nya. Sesungguhnya aku adalah utusan-Nya kepadamu dan seluruh makhluk-Nya.”

Utsman menuturkan, “Ketika mendengar ucapan beliau, aku tidak bisa menahan diri untuk masuk Islam dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.”

Keislaman Utsman bin Affan

Sama halnya dengan orang-orang yang telah masuk Islam lainnya, ketika kaumnya mendengar dan mengetahui keislaman Utsman bin Affan, ia mendapat penentangan dan tekanan yang keras dari kaumnya, Bani Abdusy Syams. Penentangan tersebut terutama berasal dari pamannya sendiri, Hakam bin Ash bin Umayyah.

Dikisahkan dalam buku Utsman bin Affan Ra. karya Abdul Syukur al-Azizi, Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim bin Harits at-Taimi, ia mengisahkan bahwa sewaktu Utsman bin Affan memeluk Islam, pamannya menangkapnya lalu membelenggunya dengan tali.

Pamannya mengatakan, “Apakah kamu membenci agama nenek moyangmu sehingga mengganti dengan agama baru? Demi Tuhan, tidak akan kulepas belenggumu sampai kamu meninggalkan agama yang kau anut sekarang!”

Utsman bin Affan menjawab dengan tegas, “Demi Allah, aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini selama-lamanya. Aku juga tidak akan berpisah dari nabiku sepanjang hayat.”

Melihat keteguhan Utsman bin Affan r.a. dalam memegang agama barunya, Hakam pun meninggalkannya.

Semenara dalam riwayat lain, diceritakan bahwa Utsman bin Affan merupakan pemuda Quraisy terkemuka yang memiliki harta melimpah, berakhlak mulia, dan memiliki nasab yang terhormat di antara kaumnya.

Namun, setelah orang-orang mengetahui keislaman Utsman bin Affan, mereka menjadi membencinya. Mereka menganggap apabila seseorang laki-laki sekaliber Utsman masuk Islam, maka keislamannya akan membuat banyak pemuda di Makkah ikut masuk Islam dan meniru jejaknya.

Seperti banyak sahabat lainnya yang disiksa karena keislamannya, Utsman bin Affan juga mengalami nasib serupa. Disebutkan dalam riwayat, Utsman bin Affan diikat dengan tali-tali dan tidak diberi makan oleh pamannya, Hakam bin Ash.

Pamannya berkata padanya, “Kembalilah kepada agama bapak-bapakmu! Demi Allah aku tidak akan meninggalkanmu sampai kamu meninggalkan agama Muhammad!”

Namun, Utsman tetap teguh dengan pilihannya memeluk agama Rasulullah SAW. Ia sabar dan rela menanggung siksaan agar tetap berada di jalan-Nya. Hakam tidak menemukan cara penyiksaan lain selain siksaan setan.

Konon, ia juga pernah membungkus Utsman bin Affan dengan tikar lalu menyalakan api di bawahnya hingga keluar asap. Akibatnya, Utsman r.a. hampir tercekik mati tetapi tetap tidak bergeming. Ia berteriak dengan lantang, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan agamaku, aku tidak akan berpisah dengan Nabiku!”

Setiap pamannya menambah siksaan pada dirinya, maka bertambah pula keteguhan Utsman bin Affan dalam memegang agamanya. Pada akhirnya, pamannya putus asa dalam menyiksa sehingga ia meninggalkan Utsman r.a. begitu saja.

Itulah kisah Utsman bin Affan yang masuk Islam atas ajakan Abu Bakar. Meskipun mendapatkan penyiksaan dari kaum dan pamannya sendiri, ia tetap memegang teguh keislamannya.

Hal tersebut juga dapat dijadikan sebagai teladan bagi umat muslim agar menjadi pribadi layaknya Utsman bin Affan yang kuat meyakini keimanannya dan ikhlas melakukan perjuangan karena Allah SWT.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kala Malaikat Ridwan Bawakan Cucu Rasulullah Pakaian Hari Raya



Jakarta

Idul Fitri merupakan hari kemenangan yang dirayakan oleh seluruh umat Islam, tak terkecuali Hasan dan Husein. Kedua cucu Rasulullah itu bersedih karena tidak memiliki pakaian baru untuk dikenakan di hari raya.

Hasan dan Husein lantas bertanya kepada sang ibu, Sayyidah Fatimah mengenai pakaian-pakaian baru keduanya yang tak kunjung diberikan.

“Wahai ibu, anak-anak di Madinah telah dihiasi dengan pakaian lebaran kecuali kami. Kenapa ibu tidak menghiasi kami?” ujarnya seperti dikisahkan dalam buku Jangan Terlalu Berlebihan dalam Beribadah hingga Melupakan Hak-hak Tubuh karya Nur Hasan.


Mendengar pernyataan itu, Sayyidah Fatimah kemudian menjawab, “Baju kalian masih di tukang jahit,” jawaban itu terus dilontarkan olehnya tiap kali putranya bertanya.

Pada malam hari raya, pakaian baru untuk Hasan dan Husein tak kunjung datang. Mereka lantas kembali bertanya kepada sang ibu.

Sayyidah Fatimah pun menangis karena tidak memiliki uang untuk membelikan kedua putranya baju baru. Keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fatimah tidak sekaya sahabat-sahabat nabi lainnya, meskipun mereka merupakan keluarga Rasulullah SAW.

Tak lama setelahnya, terdengar suara ketukan pintu. Sayyidah Fatimah langsung menghampiri sumber suara dan bertanya, “Siapa?”

“Wahai putri Rasulullah SAW. Saya adalah tukang jahit. Saya datang membawa hadiah pakaian untuk kedua putramu,”

Mendengar jawaban dari sang pemilik suara, Fatimah langsung membukakan pintu dan nampaklah seorang yang membawa bingkisan kemudian diberikan kepada Sayyidah Fatimah. Saat dibuka bingkisan tersebut, di dalamnya terdapat dua gamis, dua celana, dua mantel, dua sorban dan dua pasang sepatu hitam yang terlihat indah.

Fatimah lalu memanggil kedua putra kesayangannya untuk melihat isi bingkisan tersebut. Hasan dan Husein sangat bahagia, namun sang ibu masih bingung siapakah tukang jahit yang muncul di depan pintu rumahnya serta memberikan bingkisan itu?

Setelahnya, Rasulullah datang dan melihat kedua cucunya dalam keadaan rapi mengenakan pakaian baru yang indah. Nabi SAW dengan perasaan bahagia menggendong Hasan dan Husein serta menciumi mereka dengan penuh kasih sayang.

Rasulullah lalu bertanya kepada Fatimah, “Apakah engkau melihat tukang jahit tersebut?”

“Iya, aku melihatnya,” jawab Fatimah.

“Duhai putriku, dia bukanlah tukang jahit. Tetapi, malaikat Ridwan sang penjaga surga,” kata Rasulullah menjelaskan.

Jadi, bingkisan yang berisi pakaian baru untuk Hasan dan husain merupakan pakaian surga yang dikirim langsung oleh malaikat Ridwan. Mendengar penjelasan Rasulullah, Fatimah sangat terkejut, ia terus-menerus mengucap puji syukur kepada Allah SWT.

Di malam hari raya itu, keluarga mereka penuh kebahagiaan. Sebab, pakaian untuk kedua putranya telah siap dipakai untuk Idul Fitri keesokan harinya.

Meski pakaian baru bukanlah sesuatu yang wajib di hari raya, namun memakai pakaian baru saat Lebaran menjadi bentuk kebahagiaan atas datangnya Hari Raya Idul Fitri. Karenanya, banyak orang tua yang sedih jika mereka belum mampu memberikan baju baru kepada anak-anaknya.

Pakaian baru juga menjadi bagian dari rasa syukur kepada Allah SWT yang memberikan nikmat kepada kita semua hingga bisa melewati bulan Ramadan dan berharap bisa dipertemukan kembali di tahun selanjutnya. Namun, yang perlu diingat ialah jangan menjadikan baju baru di hari raya sebagai simbol kesombongan.

Sebab, esensi dari Idul Fitri ialah bagaimana diri dan hati kita kembali bersih, suci, dan berharap bertambahnya ketakwaan kepada Allah SWT. Jangan sampai dikotori dengan hal-hal yang sebaliknya.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Inspirasi Kisah Kesederhanaan Ali bin Abi Thalib saat Lebaran



Jakarta

Ali bin Abi Thalib RA adalah sahabat Rasulullah SAW yang menyimpan sejumlah kisah menginspirasi. Salah satunya saat Lebaran tiba.

Merangkum berita Hikmah detikcom, sahabat yang memiliki nama lengkap Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim ini lahir di Makkah pada tanggal 13 Rajab. Ali RA lahir pada tahun ke-32 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Terdapat juga yang menyebutkan jika Ali RA dilahirkan pada 21 tahun sebelum hijrah.


Menurut beberapa keterangan, disebutkan bahwa ayah beliau adalah paman dari Nabi Muhammad SAW, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Sedangkan ibu beliau bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf.

Dilihat secara garis keturunan kedua orang tuanya, Ali RA merupakan keturunan berdarah Hasyimi yang dikenal oleh masyarakat pada zamannya sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, pemegang kepemimpinan masyarakat, dan memiliki sejarah cemerlang di masyarakat Makkah.

Ibunya memberikan nama Haidarah (macan) kepada Ali RA, diambil dari nama kakek Ali RA, Asad. Dengan harapan bahwa buah hati mereka kelak menjadi seorang laki-laki pemberani. Namun, ayahnya memberinya nama Ali (yang leluhur), hingga sekarang nama Ali-lah yang lebih dikenal masyarakat luas.

Ali bin Abi Thalib RA telah memeluk Islam sejak ia masih berusia sangat belia. Dikutip dari buku tulisan Mustafa Murrad berjudul Kisah Hidup Ali Ibn Abi Thalib, ia bahkan disebut sebagai orang pertama yang masuk Islam.

Rasulullah SAW adalah salah satu orang yang paling berpengaruh yang telah mengasuh, mendidik, dan mengajarinya sejak kecil. Kasih sayang dan kemuliaan Rasulullah SAW inilah yang membentuk karakter Ali RA hingga matang saat dewasa.

Semasa hidupnya, Ali RA hidup dengan sangat sederhana. Bahkan dalam beragam riwayat, dijelaskan bahwa beliau cukup makan dengan lauk cuka, minyak, dan roti kering yang dipatahkan dengan lututnya.

Dikutip dari buku Rezeki Level 9 The Ultimate Fortune karya Andre Raditya, dijelaskan terdapat kisah kesederhanaan Ali bin Abi Thalib RA saat Lebaran. Dikisahkan pada suatu suasana Idul Fitri, seseorang berkunjung ke rumah Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah.

Didapatinya beliau sedang memakan roti yang keras. Lalu sang tamu ini berkata,

“Dalam suasana hari raya kenapa engkau memakan roti yang keras ini?”

Maka Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA pun menjawab,

“Sesungguhnya hari ini adalah lebarannya orang yang diterima puasanya, yang bersyukur atas usahanya dan diampuni dosa-dosanya. Hari ini adalah Id bagi kami, demikian juga esok, dan bahkan setiap hari pun engkau juga bisa lebaran (Id) seperti ini.”

Merasa ingin tahu lagi, orang itu kembali bertanya,

“Bagaimana bisa aku berlebaran setiap hari?”

Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah pun memberikan jawabannya,

“Jika seorang hamba tidak bermaksiat sedikit pun kepada Allah SWT di hari itu, maka sesungguhnya ia sedang berlebaran (Id).” Subhanallah.

Kisah kesederhanaan Ali bin Abi Thalib RA yang makan roti kasar saat Lebaran turut diceritakan dalam Kitab Ahlur-rahmah fil Qur’an was-Sunnah karya Syekh Thaha Abdullah al-Afifi.

Dikatakan, oleh sebab itulah, Sayyidina Ali RA terus berada dalam hari raya yang berkelanjutan karena ia termasuk di antara orang yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Fatimah Az-Zahra, Putri Nabi Muhammad SAW yang Jadi Teladan Para Istri



Jakarta

Fatimah Az-Zahra adalah putri Nabi Muhammad SAW dan Siti Khadijah binti Khuwailid r.a. Kepribadiannya menjadi sosok teladan bagi para Istri dan kaum wanita.

Disebutkan dalam buku The Great Sahaba karya Rizem Aizid, Fatimah az-Zahra lahir lima tahun sebelum Rasulullah SAW mendapat wahyu pertama. Fatimah juga menjadi anak kesayangan Rasulullah SAW.

Rasa cinta dan sayang Rasulullah SAW kepada Fatimah Az-Zahra diungkapkan melalui perkataan beliau yang menyatakan bahwa putrinya merupakan bagian dari tubuhnya. Barang siapa yang menyebabkan seorang Fatimah marah, berarti ia telah menyebabkan Rasulullah SAW marah.


Pernikahan Fatimah Az Zahra dengan Ali bin Abi Thalib

Kehidupan Fatimah Az-Zahra r.a. tidak pernah jauh dari Rasulullah SAW, kecuali setelah dirinya dinikahkan dengan Ali bin Abi Thalib r.a. Keduanya dinikahkan pada tahun 2 Hijriah.

Konon, diceritakan sebelum Ali bin Abi Thalib datang melamar putri Rasulullah SAW, ada dua orang sahabat Nabi yang lebih dulu melamarnya. Kedua sahabat tersebut Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Akan tetapi, lamaran kedua sahabat Rasulullah SAW yang sangat berjasa besar dalam hidup beliau ditolak. Lalu, tibalah Ali bin Abi Thalib datang melamar putri beliau. Tanpa disangka-sangka, Rasulullah SAW langsung menyetujuinya.

Pernikahan Fatimah Az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib berlangsung sejahtera dan bahagia. Selama Fatimah Az-Zahra masih hidup, Ali bin Abi Thalib tidak pernah memadu Fatimah atau menikahi wanita lain.

Kedua pasangan tersebut turut dikaruniai empat orang anak, yaitu dua orang putra dan dua orang putri. Nama kedua putra mereka adalah Hasan dan Husain. Keduanya menjadi cucu yang sangat disayangi Rasulullah SAW. Sedangkan nama kedua putri mereka yaitu Zainab dan Ummu Kultsum.

Fatimah Az-Zahra sebagai Sosok Teladan Para Istri

Sebagai seorang istri dan ibu, sifat dan perilaku Fatimah Az-Zahra patut menjadi teladan para istri. Ibnu Marzuqi Al-Gharani dalam bukunya The Great Mothers menyebutkan, Fatimah merupakan wanita yang sederhana dan bersahaja.

Fatimah tidak pernah mementingkan kecantikan maupun kemegahan, melainkan lebih mementingkan keridhaan Allah SWT. Kehidupan rumah tangga yang sederhana membuatnya merasa cukup dan bahagia.

Sikap qana’ah dalam diri Fatimah juga menjadi suatu hal istimewa bagi anak-anaknya. Ia telah mendidik putranya, Hasan dan Husein, untuk tumbuh menjadi generasi utama yang tidak terlena dengan kemewahan harta.

Kepandaian Fatimah Az-Zahra dalam mengasuh buah hatinya tidak terlepas dari naluri kewanitaannya yang begitu halus. Kebersamaannya bersama ayahanda tercinta, Nabi Muhammad SAW, telah mendidik Fatimah untuk memiliki perasaan yang halus.

Selain itu, Fatimah juga sering memberikan pujian kepada putra-putranya. Hal tersebut dilakukan untuk membentuk kepercayaan diri kedua anaknya.

Wafatnya Fatimah Az Zahra

Sayangnya, kehidupan Fatimah Az Zahra tidak dikaruniai umur yang panjang. Dikisahkan dalam buku Ali bin Abi Thalib Ra oleh Abdul Syukur al-Azizi, setelah wafatnya Rasulullah SAW, Fatimah seperti tak kuasa lagi hidup lama.

Kesedihan selalu muncul setiap kali mendengar adzan, terlebih saat dikumandangkan lafal ‘asyhadu anna muhammadar rasulullah’. Kerinduannya untuk bertemu ayahanda semakin menyesakkan dadanya.

Sampai pada tanggal 3 Ramadan 11 H (632 M) atau beberapa bulan setelah Rasulullah SAW wafat, Fatimah Az-Zahra akhirnya turut memejamkan mata untuk selama-lamanya.

Sebelum wafat, Fatimah berwasiat kepada suaminya dalam usia 28 tahun (ada riwayat lain yang mengatakan usia 27 atau 29 tahun). Ia berwasiat tentang anak-anaknya yang masih kecil dan berwasiat agar dikuburkan secara rahasia.

Fatimah dimakamkan di tengah kegelapan malam secara sembunyi-sembunyi oleh Ali bin Abi Thalib beserta kedua putranya, Hasan dan Husein, serta terdapat beberapa sahabat terdekat. Hingga saat ini, konon keberadaan makamnya masih misterius.

Demikian kisah fatimah Az Zahra putri Nabi Muhammad SAW yang menjadi sosok teladan para Istri. Bagi muslimah yang meneladani dan mencontoh sosok Fatimah, diharapkan dapat menjadi sosok istri dan ibu yang bermartabat di hadapan Allah SWT.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Saat Menikah dengan Putri Nabi SAW, Apa Mahar dari Ali bin Abi Thalib?



Jakarta

Mahar atau maskawin menjadi suatu persyaratan yang wajib ada dalam pernikahan. Mahar menjadi salah satu hak istri yang jadi kewajiban bagi suami.

Mengutip dari buku Fiqh Keluarga Terlengkap karya Rizem Aizid, mahar adalah wadh (ganti) yang wajib diberikan kepada istri sebagai konsekuensi dari perkawinan (menikahi dan menyetubuhinya).

Dalam Islam, besar kecilnya mahar sangat bergantung pada kebiasaan, situasi, serta kondisi. Besar kecilnya mahar dalam Islam berpedoman pada sifat kesederhanaan dan ajaran kemudahan. Hal ini juga dapat dilihat salah satunya pada kisah Ali bin Abi Thalib ketika menikah dengan Fatimah, putri Rasulullah SAW.


Saat menikah dengan putri Nabi Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib adalah pemuda yang belum mapan dalam hal kepemilikan harta. Meski demikian, Rasulullah SAW memintanya untuk memberikan sesuatu terlebih dahulu kepada calon istrinya.

Lantas, apa mahar dari Ali bin Abi Thalib yang diberikan kepada putri Nabi? Berikut kisahnya tatkala Ali memberanikan diri melamar putri Rasulullah.

Ali bin Abi Thalib Melamar Fatimah Putri Rasulullah

Dikisahkan dalam buku Ali bin Abi Thalib RA karya Abdul Syukur al-Azizi, sebelum menikah dengan Fatimah, Sayyidina Ali pernah merasa tidak yakin kalau dirikan akan menjadi menantu yang ditunggu oleh Rasulullah SAW.

Ali bin Abi Thalib menyadari dirinya hanyalah pemuda miskin dan banyak dari kalangan sahabat Rasulullah SAW yang terlihat lebih pantas meminang Fatimah. Ia juga merasa bahwa secara ekonomi tidak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.

Namun, Ali bin Abi Thalib tidak bisa meminta Fatimah menantikannya hingga dirinya siap. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib pun memberanikan diri untuk menghadap Rasulullah SAW dan menyampaikan keinginannya untuk menikahi Fatimah RA.

Sesampainya di rumah Rasulullah SAW, Ali RA hanya duduk di samping beliau dan tertunduk diam. Rasulullah SAW pun bertanya, “Wahai putra Abu Thalib, apa yang kamu inginkan?”

Sejenak Ali bin Abi Thalib RA terdiam dan tubuhnya penuh keringat. Dengan suara bergetar ia menjawab, “Ya Rasulullah, aku hendak meminang Fatimah.”

Seluruh beban yang selama ini menghimpit batinnya terasa lepas setelah mengutarakan perasaannya itu. Mendengar pernyataan Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW tidak terkejut karena beliau mengetahui Ali mencintai putrinya.

Sebagai ayah yang bijak, Rasulullah SAW tidak langsung menerima lamaran Ali bin Abi Thalib. Beliau menanyakan dahulu kepada putri tercintanya atas ketersedian menerima lamaran tersebut.

Setelah Fatimah menyetujui, kemudian Rasulullah SAW bertanya kepada Ali bin Abi Thalib RA, apakah ia memiliki sesuatu yang bisa dijadikan mahar?

Ali bin Abi Thalib merasa malu kepada Rasulullah SAW karena ia tidak memiliki apapun yang dapat dijadikan mahar. Apalagi sejak kecil ia dihidupi oleh beliau. Peristiwa tersebut turut dikisahkan dalam sebuah riwayat dari Ummu Salamah RA.

Mahar dari Ali bin Abi Thalib Saat Menikahi Putri Nabi

Dikisahkan bahwa pada saat itu, wajah Rasulullah SAW tampak berseri-seri. Seraya tersenyum, beliau bertanya kepada Ali bin Abi Thalib.

“Wahai Ali, apakah kamu mempunyai sesuatu yang bisa dijadikan sebagai mas kawin?”

“Demi Allah, Anda sendiri mengetahui keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak Anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang, dan seekor unta,” Jawab Ali bin Abi Thalib.

“Tentang pedangmu itu, kamu tetap memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah SWT. Dan, untamu itu kamu perlukan untuk mengambil air bagi keluargamu dan kamu memerlukannya dalam perjalanan jauh.

Oleh karena itu, aku hendak menikahkan kamu dengan maskawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Wahai Ali, kamu wajib bergembira karena Allah SWT sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkanmu di langit sebelum aku menikahkan kamu di bumi.”

Akhirnya, Ali bin Abi Thalib menikah dengan Fatimah dengan mahar baju besi yang dijualnya seharga 500 dirham dan menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah SAW.

Kemudian, Rasulullah SAW membagi uang tersebut menjadi 3 bagian. Satu bagian untuk kebutuhan rumah tangga, satu bagian untuk wewangian, dan satu bagian lagi dikembalikan kepada Ali RA sebagai biaya untuk jamuan makan bagi para tamu yang menghadiri pernikahan.

Ali bin Abi Thalib menikahi Fatimah pada bulan Dzulhijjah tahun kedua Hijriyah. Pernikahan mereka melahirkan dua orang putra dan dua orang putri. Putranya bernama Hasan dan Husein, sedangkan putrinya bernama Zainab dan Ummu Kultsum.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Islam tidak menetapkan jumlah baku mahar yang harus dibayar, melainkan menyesuaikan dengan kemampuan calon suami dan kesepakatan dengan calon istri.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Saat Ali bin Abi Thalib Dobrak Benteng Kuat Khaibar Seorang Diri



Jakarta

Bersama 1.600 pasukan muslimin, Nabi Muhammad SAW bergerak menuju Khaibar. Pada permulaan bulan Rabiulawal tahun ke-7 Hijriah itu, Rasulullah SAW benar-benar merahasiakan pergerakan pasukannya untuk mengagetkan pasukan Yahudi sekaligus mencegah bantuan-bantuan militer yang datang dari kabilah-kabilah Ghathfan.

Menurut buku Kisah-kisah Manusia Suci susunan Sayyid Mahdi Ayatullah, di bawah lindungan kegelapan malam kaum Muslimin mengepung benteng-benteng Khaibar dan mengambil posisi di antara pepohonan kurma. Pada pagi harinya, pertempuran pun pecah dan jatuhlah benteng-benteng tersebut satu demi satu.

Dalam Perang Khaibar ini, ada sebuah kisah menarik mengenai Ali bin Abi Thalib RA yang turut serta di dalamnya. Keberanian Ali RA dibuktikan dengan menerobos gerbang Khaibar tanpa pelindung sebagaimana dijelaskan melalui buku 125 Cerita Fakta Islam yang Unik & Menakjubkan tulisan Alifa Aryatna.


Sebelumnya, kaum Muslimin kesulitan menaklukkan dua benteng tempat kaum Yahudi berkumpul untuk melakukan perlawanan pada kaum Muslimin dengan menggunakan anak panah. Rasulullah SAW kemudian mengutus Abu Bakar RA memimpin sebagian kekuatan pasukan Islam, sayangnya beliau menelan kekalahan.

Akhirnya Nabi Muhammad SAW mengutus Umar bin Khattab RA, namun kaum Muslimin tetap kalah. Hal itu lantas mendorong kaum Yahudi untuk mengolok-olok kekalahan pasukan Islam.

Kemudian, Rasulullah SAW bersabda:

“Sungguh besok aku akan menyerahkan panji-panji kepada seorang lelaki yang mencintai Allah serta rasul-Nya, dan Allah serta rasul-Nya pun mencintainya. Ia akan bertempur terus dan tidak melarikan diri. Karenanya ia tidak akan kembali hingga Allah memberikan kemenangan kepadanya,”

Mendengar ucapan Nabi Muhammad SAW, pasukan muslim bertanya-tanya siapakah sosok tersebut. Ketika pagi tiba, Rasulullah SAW memanggil Ali bin Abi Thalib RA dan menyerahkan panji-panji kepadanya serta mendoakannya meraih kemenangan.

Ali bin Abi Thalib RA mengibarkan panji-panji dan bergerak bersama pasukan muslim untuk menghadapi musuh-musuh. Kaum Yahudi yang tengah terlena karena sebagian kemenangannya, sehingga sebagian kekuatan mereka berada di luar benteng.

Pada saat itu pula, Ali RA bersama pasukan muslim masuk dan melancarkan serangan tak terduga. Bahkan, Ali RA berhasil membunuh Marhab dan Al Harits yang kala itu merupakan pahlawan Yahudi hingga menimbulkan ketakutan dalam barisan Yahudi.

Setelahnya, pasukan Yahudi menarik diri ke dalam benteng dan mengunci seluruh pintunya. Kaum Muslimin menghalau agar mereka tidak masuk benteng. Namun, ketika pasukan Yahudi masuk dan mengunci pintu benteng, barisan muslimin tidak dapat mendobraknya.

Ali RA kemudian menjulurkan tangannya ke pintu benteng dan menggoyangkan pintu itu sekuat tenaga. Atas izin Allah, dicabutnya pintu tersebut dan dijadikan sebagai jembatan penyeberangan pasukan Islam.

Menyaksikan peristiwa itu, tentara muslim terkejut. Bagaimana bisa Ali RA mendobrak pintu itu seorang diri sementara sebelumnya mereka mencoba mendobrak pintu dengan kekuatan tujuh orang.

Setelah itu, pasukan muslim meraih kemenangan. Kaum Yahudi memohon perdamaian dengan Rasulullah dan meminta untuk tetap diizinkan menghuni rumah-rumah mereka, dengan catatan mereka menyerahkan separuh penghasilan setiap tahun kepada kaum Muslimin.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Sakaratul Maut Rasulullah SAW yang Tetap Ingat Umatnya



Jakarta

Tiap makhluk yang bernyawa juga akan melewati sakaratul maut. Peristiwa ini juga dialami oleh Rasulullah SAW saat didatangi oleh malaikat maut yang mengabarkan hendak mencabut nyawa Beliau.

Menurut buku Makna Kematian Menuju Kehidupan Abadi karya KH. Muhammad Sholikhin, Imam Ghazali pernah mengatakan bahwa sakaratul maut adalah ungkapan rasa sakit yang menyerang inti jiwa dan menjalar ke seluruh bagian jiwa sehingga tiada satu pun bagian jiwa yang terbebas dari rasa sakit tersebut.

Kisah Sakaratul Maut Nabi Muhammad SAW

Ada sejumlah riwayat yang mengisahkan tentang kebiasaan Malaikat Maut meminta izin masuk rumah untuk menemui para nabi sebelum mencabut nyawanya. Salah satunya kepada Nabi Muhammad SAW.


Kisah perjumpaan Malaikat Maut dengan Rasulullah SAW ini diceritakan oleh Guru Besar Universitas Al-Azhar Kairo, Mustofa Murod, dalam buku Dialog Malaikat Maut dengan Para Nabi AS yang bersandar pada hadits riwayat dari Aisyah RA. Ada yang menyebut, Rasulullah SAW sedang bersama Aisyah, ada pula yang menyebut Beliau bersama Ali bin Abi Thalib di ujung ajalnya.

Malaikat Maut meminta izin masuk di depan pintu. Lalu, Malaikat Jibril berkata, “Wahai Muhammad, itu Malaikat Maut. Ia meminta izin masuk menemuimu. Ia tidak pernah meminta izin masuk kepada manusia sebelumnya. Dan, ia tidak akan meminta izin masuk kepada seorang manusia pun setelah ini.”

Beliau bersabda, “Izinkanlah ia masuk.”

Maka, Malaikat Maut pun masuk dan duduk di hadapan Nabi Muhammad SAW, lalu berkata, “Sesungguhnya, Allah mengutusku untuk menemuimu dan memerintahkanku untuk mematuhimu. Jika engkau memerintahkanku mencabut nyawamu maka akan kucabut. Jika engkau tidak suka maka akan kutinggalkan.”

Beliau bertanya, “Engkau akan melakukannya, wahai Malaikat Maut?”

Malaikat Maut menjawab, “Ya, itulah yang diperintahkan kepadaku.”

Jibril kemudian mengatakan kepada Nabi Muhammad SAW, “Sesungguhnya, Allah telah rindu bertemu denganmu.”

Rasulullah SAW pun bersabda, “Segera lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”

Sementara itu, dalam kisah lainnya, dikutip dari buku Kisah-kisah Islami Inspiratif for Kids tulisan A. Septiyani, kisah ini dapat diketahui saat ada yang bertamu ke kediaman Rasulullah SAW tapi Fatimah, putri nabi, tidak mengetahui siapa dia.

“Aku mohon maaf, tapi aku tidak bisa membiarkanmu masuk karena ayahku sedang demam,” kata Fatimah sambil menutup pintu.

Fatimah segera mendekati ayahnya, dan Rasulullah SAW bertanya, “Wahai anakku, siapa tamu itu?”

Fatimah menjawab dengan lembut, “Aku tidak tahu, Ayah. Tapi sepertinya ini pertama kalinya aku bertemu dengannya.”

Rasulullah SAW menatap putri tercintanya dengan tatapan yang menggetarkan. Beliau berkata, “Wahai anakku, ketahuilah bahwa orang yang kamu lihat adalah yang mengakhiri kenikmatan sesaat. Dia yang memisahkan pertemuan di dunia. Dia adalah Malaikat Maut.” Mendengar itu, Fatimah tidak bisa menahan tangisnya.

Kemudian, Malaikat Maut mendekati Rasulullah SAW. Karena Rasulullah SAW menanyakan keberadaan Malaikat Jibril, Malaikat Maut memanggil Malaikat Jibril untuk menemani Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW bertanya, “Wahai Jibril, katakan padaku apa hakku di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala?”

Malaikat Jibril menjawab, “Wahai Rasulullah, pintu-pintu langit akan terbuka dan para malaikat sudah menantikanmu di sana. Semua pintu surga telah terbuka lebar menantikan kedatanganmu.”

Meskipun mendengar kabar gembira dari Malaikat Jibril, Rasulullah SAW masih terlihat cemas.

Melihat kecemasan Rasulullah SAW, Malaikat Jibril bertanya, “Mengapa engkau masih cemas seperti itu? Apakah engkau tidak bahagia mendengar kabar ini, ya Rasulullah?”

Rasulullah SAW kembali bertanya, “Beritahukanlah kepadaku, bagaimana nasib umatku kelak?”

Malaikat Jibril menjawab, “Jangan khawatirkan nasib umatmu, ya Rasulullah. Aku mendengar Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepadaku: ‘Aku telah mengharamkan surga bagi selain umat Muhammad, hanya umatmu yang berhak memasukinya.'”

Rasulullah SAW merasa sedikit tenang. Tak terasa, saat-saat kepergian sang rasul semakin dekat. Malaikat Izrail terlihat sedang menjalankan tugasnya. Perlahan-lahan, ruh Nabi Muhammad SAW diambil. Tubuh Rasulullah SAW basah karena keringat.

Urat-uratnya tampak tegang. Sambil merasakan rasa sakit, Rasulullah SAW berkata, “Wahai Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini.”

Melihat Rasulullah SAW dalam kesakitan, Malaikat Jibril hanya bisa memalingkan wajahnya. Ia tidak tega melihat Rasulullah SAW dalam penderitaan seperti itu.

“Wahai Malaikat Jibril, apakah engkau merasa jijik melihatku sehingga kau memalingkan wajahmu?” tanya Rasulullah SAW.

Malaikat Jibril menjawab, “Siapakah yang akan tega melihat kekasih Allah menghadapi ajalnya?”

Dikutip dari Kitab Maraqi Al-‘Ubudiyyah karya Syekh Nawawi Al-Bantani, hingga di saat menjelang akhir hayatnya, sang penghulu rasul itu tetap memikirkan nasib umatnya.

Bahkan ketika merasakan dahsyatnya rasa sakit sakaratul maut, Rasulullah masih sempat berdoa untuk keselamatan umatnya. “Ya Allah, dahsyat sekali maut ini. Timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku. Jangan (timpakan) kepada umatku,” doa Nabi Muhammad SAW.

Tubuh Rasulullah SAW semakin dingin. Bibirnya bergetar seolah ingin mengucapkan sesuatu. Ali bin Abi Thalib mendekati beliau, dan Rasulullah SAW berbisik, “Jagalah salat dan peliharalah orang-orang lemah di antara kalian.”

Tangisan terdengar di sekeliling dan Fatimah menutup wajahnya dengan tangannya. Ali bin Abi Thalib mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah SAW, dan Beliau berbisik, “Ummatii, ummatii, ummatii… (Umatku, umatku, umatku…).”

Rasulullah SAW pun wafat pada Senin, 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah. Duka itu menyelimuti umat Islam di Madinah hingga kesedihan mendalam bagi para sahabat seperti Umar bin Khattab dan Abu Bakar Ash Shiddiq.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com