Tag Archives: Ali bin Abi Thalib

Kisah Wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, Ditikam pada Waktu Subuh



Jakarta

Ali bin Abi Thalib RA merupakan salah satu sahabat Rasulullah SAW yang juga termasuk ke dalam Assabiqunal Awwalun, yaitu orang-orang yang pertama memeluk Islam. Ali lahir di Makkah pada 13 Rajab, tepatnya tahun ke-32 dari kelahiran Nabi Muhammad. Ada juga yang menyebut Ali lahir pada 21 tahun sebelum hijriah.

Ayah Ali merupakan paman dari Rasulullah SAW, yaitu Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Sementara ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf.

Mengutip dari buku Akidah Akhlak susunan Drs H Masan AF M Pd, sejak umur Ali menginjak 6 tahun dia sudah tinggal bersama Nabi Muhammad. Karenanya, sifat-sifat yang ada pada Ali ia teladani dari Rasulullah SAW.


Selain itu, Ali juga dikenal sebagai orang yang sangat cerdas. Saking cerdasnya, Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, dan Khalifah Utsman kerap mendatanginya untuk membantu memecahkan permasalahan yang sulit.

Ali bin Abi Thalib sendiri baru menjadi khalifah usai wafatnya Khalifah Utsman bin Affan. Ali terpilih menjadi pengganti Utsman sehingga pada tahun 35 Hijriah dia dinobatkan sebagai khalifah keempat, seperti dinukil dari buku Sejarah Peradaban Islam tulisan Akhmad Saufi dan Hasmi Fadhilah.

Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah selama 5 tahun, mulai dari 35 Hijriah sampai beliau wafat pada 40 Hijriah. Kisah wafatnya Ali cukup tragis.

Diceritakan dalam buku Kisah 10 Pahlawan Surga oleh Abu Zaein, usai Khalifah Utsman bin Affan wafat banyak terjadi fitnah di kalangan umat Islam. Karenanya, masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib tergolong sebagai waktu-waktu yang sulit.

Banyak pemberontak menyebarkan berita bohong bahwa seharusnya yang menjadi khalifah ialah Mu’awiyah, bukan Ali bin Abi Thalib. Penyebar fitnah itu ialah Abdurrahman Amru atau Ibnu Muljam, Alburak bin Abdullah Attamimi, dan Ambru bin Bakar Attamimi.

Ibnu Muljam kala itu pergi menuju Kufah untuk menjalankan rencana kejinya. Dengan pedang yang ia bawa, ia melukai Ali bin Abi Thalib yang kala itu hendak pergi ke masjid untuk sholat Subuh.

Dalam buku 150 Kisah Ali bin Abi Thalib yang ditulis oleh Ahmad Abdul ‘Al Al-Thahthawi, Muhammad ibn Al Hanafiyyah menuturkan,

“Tiba-tiba aku melihat kilatan cahaya dan mendengar seseorang berkata, ‘Hukum hanya milik Allah, bukan milikmu, wahai Ali, bukan pula milik sahabat-sahabatmu!’ Aku melihat pedang, lalu disusul pedang kedua. Aku mendengar Ali berteriak, ‘Tangkap orang itu!’ Orang-orang pun mengepungnya dari segala penjuru,”

Setelah Ibnu Muljam diringkus, orang-orang datang menemui Hasan dengan panik. Mereka membawa Ibnu Muljam dengan tangan yang diborgol.

Tiba-tiba Ummu Kultsum binti Ali berteriak sambil menangis seraya berkata, “Wahai musuh Allah, ayahku pasti akan baik-baik saja dan Allah akan menghinakanmu,”

Ibnu Muljam lalu menyahut, “Lalu, untuk siapa kau menangis?! Demi Allah, aku membeli pedang itu seharga seribu, lalu aku bubuhi racun seharga seribu juga. Seandainya tebasan itu mengenai seluruh penduduk kota ini, niscaya mereka akan mati semua!”

Usai peristiwa tragis itu, Abdullah ibn Malik mengatakan para tabib dikumpulkan untuk mengobati luka Ali. Ketika itu, Atsir ibn ‘Amr Al-Sukuni sebagai tabib yang paling hebat dan berasal dari Kirsi, memeriksa kondisi Ali bin Abi Thalib.

Atsir meminta paru-paru kambing yang masih hangat untuk diambil uratnya, lalu diletakkan pada luka yang diderita Ali. Atsir kemudian meniup urat itu dan mengeluarkannya dari luka Ali.

Atsir menemukan bahwa ternyata luka Ali telah sampai pada bagian otak. Dengan demikian, nyawa Ali tidak dapat tertolong.

Ali bin Abi Thalib meninggal dunia pada Jumat, 17 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Ali meninggalkan 33 anak, 15 laki-laki dan 18 perempuan.

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pengangkatan Utsman bin Affan sebagai Khalifah, Menggantikan Umar bin Khattab



Jakarta

Utsman bin Affan adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang termasuk ke dalam golongan Assabiqunal Awwalun. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat cerdas dan dermawan.

Utsman berasal dari keluarga suku Quraisy Bani Umayyah dan hidup di tengah-tengah masyarakat jahiliyah. Mengutip dari buku Biografi Utsman bin Affan susunan Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shallabi, Utsman bin Affan merupakan laki-laki keempat yang memeluk Islam setelah Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah.

Perbedaan usia Utsman dan Rasulullah SAW hanya terpaut 6 tahun lebih muda. Beliau juga merupakan khalifah ketiga sesudah masa kepemimpinan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.


Menurut buku Kitab Sejarah Lengkap Khulafaur Rasyidin tulisan Ibnu Katsir, kala itu Umar bin Khattab menetapkan perkara pengangkatan khalifah di bawah Majelis Syura yang anggotanya berjumlah 6 orang. Mereka terdiri atas Utsman bin Affan, Ali bin Abi thalib, Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash serta Abdurrahman bin Auf.

Umar merasa sangat berat menentukan salah seorang di antara mereka yang menjadi khalifah setelahnya. Ia berkata,

“Aku tidak sanggup untuk bertanggung jawab tentang perkara ini, baik ketika aku hidup maupun setelah aku mati. Jika Allah menghendaki kebaikan terhadap kalian maka Dia akan membuat kalian bersepakat untuk menunjuk seorang yang terbaik di antara kalian sebagaimana telah membuat kalian sepakat atas penunjukan orang yang terbaik setelah nabi kalian,”

Akhirnya dilakukan musyawarah usai Umar bin Khattab wafat. Terpilihlah tiga kandidat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf.

Dari keenam anggota Majelis Syura, tidak ada satu pun yang mengajukan diri untuk dibaiat. Begitu pun dengan Ali dan Utsman, sehingga musyawarah ditunda.

Kemudian, di hari kedua Abdurrahman bin Auf berkeliling Madinah untuk menjumpai para sahabat. Ia meminta pendapat kepada mereka.

Di malam hari ketiganya, Abdurrahman bin Auf memanggil Zubair bin al-Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqqash, mereka lalu bermusyawarah. Abdurrahman memandang Ali dan membacakan syahdatain sambil berkata memegang tangannya,

“Engkau punya hubungan dekat dengan Rasulullah, dan sebagaimana diketahui engkau pun lebih dulu masuk Islam. Demi Allah, jika aku memilihmu engkau harus berbuat adil. Dan jika aku memilih Utsman, engkau harus patuh dan taat. Wahai Ali, aku telah berkeliling menghimpun pendapat dari berbagai kalangan dan ternyata mereka lebih memilih Utsman. Aku berharap engkau menerima ketetapan ini,”

Ali bin Abi Thalib lantas menjadi orang kedua yang berkata sama kepada Utsman untuk membaiatnya sebagai khalifah menggantikan Umar bin Khattab. Kala itu, kaum muslimin yang hadir serempak membaiat Utsman sebagai khalifah.

Utsman diangkat menjadi khalifah ketiga dan disebut sebagai yang tertua. Pada saat pembaiatan, ia berusia 70 tahun.

(rah/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Masuk Islamnya Ali bin Abi Thalib ketika Melihat Nabi SAW Salat



Jakarta

Ali bin Abi Thalib merupakan salah satu sahabat sekaligus sepupu Rasulullah SAW. Ia termasuk ke dalam Assabiqunal Awwalun yang berarti orang-orang pertama masuk Islam.

Mengutip buku Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib susunan Dr Musthafa Murad, nama lengkapnya ialah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Ia lahir 33 tahun setelah kelahiran Nabi SAW, tepatnya pada 13 Rajab.

Ali sendiri memeluk agama Islam saat usianya masih anak-anak. Menukil dari buku Biografi Ali bin Abi Thalib oleh Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi, diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, suatu ketika setelah Khadijah memeluk Islam, Ali bin Abi Thalib menghampiri Rasulullah SAW, ia mendapati keduanya tengah melaksanakan salat.


Lalu Ali bertanya, “Ini apa, wahai Muhammad?”

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Ini adalah agama Allah yang telah Allah pilih dengan kehendak-Nya, dengannya Dia mengutus rasul-Nya. Saya ajak engkau wahai Ali untuk bersaksi terhadap Allah yang Maha Esa dan untuk menyembah-Nya. Dan agar engkau mengingkari Latta dan Uzza,”

Ali berkata kepada Nabi SAW, “Ini adalah perkara yang aku belum pernah mendengarnya sama sekali sebelum hari ini, tetapi aku bukanlah orang yang memiliki keputusan atas perkaraku sehingga aku harus berbicara dulu kepada Abu Thalib,”

Namun, Nabi Muhammad SAW tidak ingin Ali menceritakan rahasianya kepada siapa pun, termasuk ayahnya, sebelum Allah SWT memerintahkan untuk menceritakan hal itu. Rasulullah lalu berkata kepada Ali,

“Wahai Ali, jika engkau tidak berkenan masuk Islam maka jaga rahasia ini,”

Ali pun berdiam selama satu malam. Atas kuasa dan izin Allah SWT, ia mendapat hidayah Islam. Hingga pada suatu pagi, Ali menghadap kepada Rasulullah dan berkata,

“Apa yang engkau perintahkan kepadaku wahai Muhammad?”

Rasulullah bersabda, “Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan tidak menyekutukannya serta engkau mengingkari Tuhan Latta dan Uzza, serta melepaskan diri dari segala bentuk penentangan kepada Allah,”

Ali pun melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah dan menyatakan diri masuk Islam. Ada yang menyebut hal ini merupakan pengorbanan dan rasa terima kasih Ali RA atas jasa Nabi SAW yang telah mengasuh serta mendidiknya.

Menukil dari buku Barisan Pemuda Pembela Nabi SAW karya Imron Mustofa, ada perbedaan pendapat terkait usia berapa Ali bin Abi Thalib masuk Islam. Ada yang menyebut 7 tahun, 8 tahun, dan 10 tahun. Namun, dari perbedaan pendapat itu dapat disimpulkan bahwa Ali memeluk Islam ketika usianya masih belia.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Putri Rasulullah



Jakarta

Pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah berlangsung pada bulan Dzulhijjah tahun kedua Hijriyah. Kisah cinta keduanya hingga kini dikenang dan menjadi inspirasi banyak orang.

Sosok Ali bin Abi Thalib merupakan salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Ia juga termasuk dalam golongan Assabiqunal Awwalun, yaitu orang-orang yang pertama kali memeluk Islam.

Ketika berusia 6 tahun, Ali pernah menjadi anak asuh Rasulullah SAW dan Siti Khadijah. Beliau bersama sang istri membimbing Ali di rumahnya dan mengasuhnya dengan penuh kasih layaknya anak sendiri.


Perasaan Terpendam Ali terhadap Fatimah

Dikisahkan dalam buku Perempuan-Perempuan Surga oleh Imron Mustofa, tatkala Fatimah lahir, Ali bin Abi Thalib menghabiskan masa kanak-kanaknya bersama putri Rasulullah SAW dan Siti Khadijah di rumah yang menjadi tempat tinggalnya.

Ali bin Abi Thalib telah mengetahui kemuliaan Fatimah sejak kecil. Ia sering memperhatikan Fatimah hingga diam-diam mengaguminya. Meskipun demikian, Ali bin Abi Thalib tetap berusaha menjaga hati dan pandangannya. Bahkan, Fatimah pun tidak tahu bahwa Ali menyimpan rasa yang luar biasa untuknya.

Ketika keduanya beranjak dewasa, Ali bin Abi Thalib berniat menghadap Rasulullah SAW untuk melamar sang putri yang selama ini dikaguminya. Akan tetapi, terbesit sedikit keraguan di dalam hatinya sebab menyadari ia hanyalah pemuda miskin dan tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepada Fatimah.

Di tengah kembimbangannya, terdengar kabar bahwa Abu Bakar RA sudah lebih dulu mengajukan lamaran kepada Rasulullah SAW untuk Fatimah. Kemudian disusul dengan Umar bin Khattab RA yang juga datang untuk melamar putri beliau.

Sungguh berat perasaannya mengetahui Abu Bakar dan Umar yang terlihat lebih pantas mendampingi Fatimah. Namun, sungguh tidak ada yang mengetahui rencana Allah SWT.Di tengah perasaannya yang sempat layu, tak disangka lamaran Abu Bakar dan Umar bin Khattab ditolak secara halus oleh Rasulullah SAW.

Di tengah kegalauannya, salah seorang teman Ali dari kalangan Anshar berkata, “Mengapa kamu tak mencoba melamar Fatimah? Aku punya firasat, kamulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.”

Ali bin Abi Thalib menyadari, secara ekonomi tidak ada yang menjanjikan pada dirinya. Ia hanya memiliki satu set baju besi beserta persediaan tepung untuk makanannya. Namun, ia ingin mencoba menjemput cintanya kepada Fatimah.

Lamaran Ali kepada Fatimah Putri Rasulullah

Melansir dari buku Ali bin Abi Thalib RA karya Abdul Syukur al-Azizi, Ali bin Abi Thalib akhirnya memberanikan diri menghadap Rasulullah SAW dan menyampaikan keinginannya untuk menikahi Fatimah RA.

Setibanya di rumah Rasulullah SAW, Ali duduk di samping beliau dan tertunduk diam. Nabi SAW lalu bertanya, “Wahai putra Abu Thalib, apa yang kamu inginkan?”

Dengan suara bergetar dan tubuh berkeringat, Ali menjawabnya, “Ya Rasulullah, aku hendak meminang Fatimah.”

Setelah mengatakan perasaannya, seluruh beban yang selama ini menghimpit perasaannya terasa lega. Rasulullah SAW tidak terkejut mendengar pernyataan Ali, sebab beliau mengetahui Ali mencintai putrinya.

Sebagai ayah yang bijaksana, Rasulullah SAW menanyakan dahulu kepada putri tercinta atas ketersediaannya menerima lamaran tersebut. Setelah Fatimah menyetujui lamaran Ali, Rasulullah SAW bertanya, “Wahai Ali, apakah kamu memiliki sesuatu yang bisa dijadikan mas kawin?”

Kala itu, Ali bin Abi Thalib merasa malu karena dirinya tidak memiliki apapun. Terlebih sejak kecil ia dihidupi oleh Rasulullah SAW.

Ali kemudian menjawab, “Demi Allah, Anda sendiri mengetahui keadaanku. Tidak ada sesuatu tentang diriku yang tidak Anda ketahui. Aku tidak memiliki apapun selain sebuah baju besi, sebilah pedang, dan seekor unta.”

Mendengar jawaban Ali, Rasulullah SAW berkata, “Tentang pedangmu, kamu tetap memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah SWT, dan untamu kamu perlukan untuk mengambil air bagi keluargamu serta untuk perjalanan jauh.

Karena itu, aku akan menikahkan kamu dengan mas kawin sebuah baju besi. Wahai Ali, kamu wajib bergembira karena Allah SWT sebenarnya sudah lebih dulu menikahkan kamu di langit sebelum aku menikahkanmu di bumi ini.”

Pernikahan Ali dan Fatimah dengan Mahar Baju Besi

Pada akhirnya, Ali bin Abi Thalib menikah dengan Fatimah berbekal baju besi yang dijualnya seharga 400 dirham. Ia menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah SAW sebagai mahar pernikahannya.

Setelah itu, Rasulullah SAW membagi uang tersebut menjadi tiga bagian. Satu bagian untuk kebutuhan rumah tangga, satu bagian untuk wewangian, dan satu bagian lagi dikembalikan kepada Ali untuk membiayai jamuan makan bagi para tamu yang menghadiri pernikahan.

Nabi SAW menikahkan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib seraya membacakan ijab kabul, “Wahai Ali, sesungguhnya Allah telah memerintahkan aku menikahimu dengan Fatimah. Sungguh, aku telah menikahkanmu dengannya dengan mas kawin 400 dirham.”

Lantas Ali menjawabnya, “Aku ridha dan puas hati, wahai Rasulullah.”

Selesai mengucapkan akad, Ali bin Abi Thalib langsung sujud syukur kepada Allah SWT. Pernikahannya dengan Fatimah melahirkan dua orang putra dan dua orang putri. Kedua putranya bernama Hasan dan Husein, sementara kedua putrinya bernama Zainab dan Ummu Kultsum.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Saat Fatimah Meminta Pembantu pada Rasulullah, Apa Responsnya?


Jakarta

Fatimah Az-zahra RA adalah salah seorang putri Nabi Muhammad SAW yang menikah dengan seorang sahabat ayahnya sendiri, yaitu Ali bin Abi Thalib RA. Fatimah RA juga merupakan seorang ibu yang mengurus seluruh pekerjaan rumah tangganya sendiri.

Suatu ketika, Fatimah RA pernah meminta pembantu kepada ayahnya karena kelelahan bekerja. Bagaimana respons Rasulullah SAW?

Saat Fatimah RA Meminta Pembantu pada Rasulullah SAW

Dikutip dari buku 115 Kisah Menakjubkan dalam Kehidupan Rasulullah SAW yang ditulis oleh Fuad, Fatimah RA dan suaminya Ali bin Thalib hidup dalam kesederhanaan.


Sepasang suami istri ini hanya memiliki dua buah batu penggiling gandum yang digunakan untuk menumbuk gandum. Di dalam rumahnya pula hanya memiliki dua buah wadah air yang terbuat dari kulit kambing, minyak wangi yang tidak banyak, serta bantal berbahan ijuk pohon kurma.

Mereka tidak memiliki pembantu untuk membantu pekerjaan rumah tangga Fatimah RA. Walaupun Ali RA kerap kali membantu mengerjakan pekerjaan rumah Fatimah RA, ia tetap saja masih merasa kelelahan bahkan membuat kedua tangannya menjadi kasar dan melepuh akibat menggiling gandum.

Ali bin Abi Thalib pun mengusulkan kepada istrinya untuk meminta seorang pembantu kepada ayahnya, Nabi Muhammad SAW, agar pekerjaan rumahnya menjadi ringan. Fatimah RA lantas mengunjungi Rasulullah SAW. Saat itu Rasulullah SAW pulang dari sebuah perang dan beliau mendapat banyak harta rampasan perang.

Fatimah RA lantas ditanya oleh ayahnya, “Apa keperluanmu, Putriku?” Namun Fatimah tetap diam dan tidak kuasa untuk mengatakan maksud kedatangannya.

Lantas Fatimah RA berkata, “Tidak ada, wahai Rasulullah. Aku ke sini hanya menyampaikan salam kepadamu,” lalu ia kembali ke rumahnya.

Setibanya di rumah, suaminya sudah menunggunya dan kabar tentang usulannya tadi. Namun, Fatimah RA hanya bisa menjawab bahwa dirinya malu untuk meminta pembantu kepada Rasulullah SAW sehingga tidak mengatakannya.

Keduanya lantas memutuskan untuk mendatangi Rasulullah SAW untuk meminta pembantu tersebut. Fatimah RA masih tidak berani berkata pada Rasulullah SAW hingga suaminya yang mengambil alih.

Ali RA berkata, “Aku akan memberi tahu kamu, Rasulullah. Ia (Fatimah RA) memutar kincir angin hingga membekas pada tangannya. Ia menuangkan air dengan geriba hingga membekas di dada atasnya,”

“Ketika para pembantu datang, aku menyuruhnya untuk mendatangimu dan meminta pembantu yang akan membantu pekerjaannya dan menjaganya dari beratnya pekerjaan yang dilakukannya.”

Sebaliknya, Rasulullah SAW justru memberi solusi dari kelelahan Fatimah RA setelah melakukan pekerjaan, terutama pekerjaan rumah yang melelahkan seharian. Dikutip dari Husnul bima Tsabala min Allah wa Rasulibi fin Niswab karya Muhammad Shidiq Hasan Khan, Rasulullah SAW menganjurkan Fatimah RA untuk membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 34 kali sebelum tidur sebagai obat lelah ketika ditimpa pekerjaan yang banyak.

Keterangan ini bersumber dari salah satu hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu A’bud. Diterjemahkan oleh Muhammad Arifin dalam buku Ensiklopedia Hadits Sahih Kumpulan Hadis tentang Wanita, berikut bunyi haditsnya,

فَقَالَ : اتَّقِى اللَّهَ يَا فَاطِمَةً ، وَأَدِّي فَرِيضَةَ رَبِّكَ ، وَاعْمَلَي عَمَل أَهْلكَ ، فَإِذَا أَخَذْت مَضْحَعَكَ : فَسَبِّحى ثَلاثًا وَثَلاثِينَ ، وَاحْمَدَي ثَلَاثًا وَثَلاثِينَ، وَكَبْرِي أَرْبَعًا وَثَلاثِينَ ، فَتِلْكَ مِائَةٌ فَهِيَ خَيْرٌ لَكَ مِنْ خَادِم. قَالَتْ : رَضِيتُ عَنِ اللهِ عَزَّ وَجَلٌ وَعَنْ رَسُولِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم. أخرجه الخمسة إلا (النسائي)

Artinya: Mendengar itu, Rasulullah SAW berkata, “Bertakwalah kepada Allah, Fatimah. Tunaikanlah kewajiban Tuhanmu dan laksanakanlah pekerjaan keluargamu. Jika engkau hendak berangkat ke pembaringan, berdoalah dengan membaca tasbih sebanyak 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 34 kali. Semuanya berjumlah 100. Itu semua lebih baik bagimu daripada pembantu rumah tangga.’ Fatimah berkata, Aku rela (rida) atas apa yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya.’ Fatimah tidak dibantu oleh pembantu.” (HR Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Sejak saat itu, Ali bin Abi Thalib dan Fatimah RA tidak pernah meninggalkan sunnah yang diberikan oleh Rasulullah SAW tersebut.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Fatimah Az Zahra yang Tak Lama setelah Rasulullah


Jakarta

Fatimah Az Zahra adalah seorang wanita mulia yang memiliki julukan ratu wanita surga karena keutamaan akhlaknya. Putri Rasulullah SAW ini wafat pada usia yang cukup muda, yakni 27 tahun.

Kecintaannya pada Rasulullah SAW membuatnya sangat terpukul ketika beliau wafat. Ia bahkan ingin segera menyusul beliau untuk berhadapan dengan Allah SWT. Bagaimana kisah wafatnya Fatimah Az Zahra?

Sosok Fatimah Az Zahra

Fatimah Az Zahra binti Muhammad RA adalah putri Rasulullah SAW yang keempat dengan pernikahan beliau dengan Khadijah binti Khuwailid. Fatimah RA lahir di Ummul Qura (Makkah) pada hari Jumat, 20 Jumadi al-Tsani.


Ia bahkan dipersunting oleh salah satu sahabat nabi, Ali bin Abi Thalib. Pernikahan keduanya pun dikaruniai empat orang anak, dua anak laki-laki dan dua anak perempuan.

Kedua anak laki-laki Fatimah Az Zahra bernama Hasan dan Husain, sedangkan anak perempuan Fatimah RA dan Ali RA bernama Zainab dan Ummu Kultsum.

Fatimah Az Zahra RA adalah anak yang paling disayangi oleh Rasulullah SAW. Beliau bahkan pernah berkata, “Fatimah adalah bagian dari tubuhku. Barangsiapa menyusahkannya, berarti ia menyusahkanku,” seperti yang dikutip dari buku 99 Kisah Menakjubkan Sahabat Nabi oleh Tethy Ezokanzo.

Menurut Abdus Sattar Asy-Syaikh dalam buku Fatimah Az-Zahra: Penghulu Wanita Surga, Rasulullah SAW bahkan menyatakan bahwa Fatimah RA adalah sebaik-baik wanita di antara semua wanita di dunia.

Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik wanita seluruh alam adalah Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, dan Asiyah istri Firaun.” (HR Muslim)

Kisah Wafatnya Fatimah Az Zahra

Usai Rasulullah SAW wafat, Fatimah RA merasa sedih yang sangat mendalam. Ia bahkan juga merasa bahwa hari-harinya di dunia hanya tinggal sebentar.

Menurut keterangan hadits, Fatimah RA adalah keluarga pertama Rasulullah SAW yang meninggal setelah beliau sendiri. Dari Urwah, dari Aisyah RA, ia berkata, “Fatimah wafat enam bulan sesudah wafatnya Rasulullah.”

Menurut buku Taman-Taman Cinta Sang Nabi: Kisah-Kisah Kekasih Hati Nabi Muhammad SAW yang Penuh Hikmah dan Kesejukan oleh Prof. Dr. Abdurrahman Umairah, sebelum wafatnya, Fatimah RA menderita sakit keras.

Sakit yang dideritanya semakin parah sehingga ia mengadu kepada Asma’ binti Amis, selaku pelayannya, tentang sakit yang menjangkiti tubuhnya. Fatimah RA pun berkata,

“Dapatkah engkau menutupiku dengan sesuatu?” Fatimah RA juga menambahkan, “Aku melihat orang-orang Habsyi itu selalu membuat tempat tidur bagi para wanita dan menutupinya dengan keranda.”

Kemudian Asma’ menyuruh seseorang untuk membuatkan keranda tersebut, ketika Asma’ menoleh, Fatimah RA berkata,

“Wahai pelayanku, siapkanlah air untuk mandi,”

Setelah itu Asma’ benar-benar menyiapkan air untuk mandi Fatimah RA.

Ia lalu berkata kepada Asma’, “Ambilkanlah pakaian baruku,”

Setelah pakaian itu diberikan kepadanya, Fatimah RA kembali berkata, “Wahai pelayanku, aku akan dipanggil saat ini, dan aku sudah mandi, maka jangan sampai ada seorang pun yang membuka bahuku.”

Setelah itu, Fatimah RA pun dipanggil oleh Allah SWT. Wafatnya bertepatan pada malam Selasa bulan Ramadan tahun 11 Hijriah.

Umat Islam berbondong ke Masjid Nabawi untuk menyalatkan Fatimah RA yang dipimpin oleh suaminya, Ali RA. Salat jenazah gelombang kedua dipimpin pamannya Abbas bin Abdul Muthalib RA. Jenazah Fatimah lalu dibawa ke Makam Baqi, dimakamkan bersebelahan dengan saudaranya, Zainab RA, Ruqayyah RA, dan Ummu Kultsum RA.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Masa Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah, Capai Berbagai Kemajuan



Jakarta

Ali bin Abi Thalib adalah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang juga sepupu dari sang nabi. Ia lahir di Makkah pada 13 Rajab pada tahun ke-32 dari kelahiran Nabi Muhammad. Pendapat lain ada yang menyebut Ali lahir 21 tahun sebelum hijriah.

Dalam buku Kisah Hidup Ali bin Abi Thalib oleh Dr Musthafa Murad, disebutkan nama lengkap Ali ialah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Dirinya masuk Islam saat usia muda bahkan masih anak-anak.

Nabi Muhammad SAW mengasuh, mendidik, dan mengajari Ali sejak kecil. Setelah dewasa, kasih sayang sang rasul-lah yang membentuk karakter Ali.


Ali dikenal sebagai sosok yang cerdas. Saking pintarnya, tak jarang Abu Bakar, Umar, dan Utsman mendatangi beliau untuk meminta bantuan memecahkan permasalahan yang sulit.

Jabatannya sebagai khalifah diperoleh Ali seusai Utsman bin Affan wafat. Pada tahun 35 Hijriah, Ali dinobatkan sebagai khalifah keempat seperti dinukil dari buku Sejarah Peradaban Islam susunan Akhmad Saufi dan Hasmi Fadhilah.

Masa kekhalifahan Ali tidak lama, hanya berselang 5 tahun sampai akhirnya ia wafat pada 40 Hijriah. Sebagai seorang pemimpin, Ali bin Abi Thalib merupakan pribadi yang senantiasa berakhlak baik.

Ali sering berkeliling hanya untuk menantikan siapa saja yang menghampiri beliau guna meminta bantuan atau bertanya padanya. Suatu ketika, pada siang yang terik Ali tiba di pasar.

Sang khalifah mengenakan dua lapis pakaian, gamis sebatas betis, sorban melilit tubuhnya, dan bertumpu pada sebatang tongkatnya. Ali bin Abi Thalib berjalan menyusuri pasar untuk berdakwah, mengingatkan manusia agar senantiasa bertakwa pada Allah SWT dan melakukan transaksi jual beli dengan baik.

Disebutkan, Ali bin Abi Thalib memiliki kebiasaan berjalan ke pasar seorang diri. Umumnya ia menasihati orang yang tersesat, menunjukkan arah pada orang yang kehilangan, menolong orang yang lemah, serta menasihati para pedagang dan penjual sayur.

Meski masa kepemimpinannya sebagai khalifah cukup singkat, ada sejumlah prestasi yang Ali capai. Dirinya mampu mengganti beberapa pejabat yang kurang cakap dalam bekerja demi pemerintahan yang efektif dan efisien.

Selain itu, Ali bin Abi Thalib juga membenahi keuangan negara atau Baitul Mal. Sebab, pada masa Khalifah Utsman bin Affan banyak kerabatnya yang diberi fasilitas negara.

Ali bertanggung jawab untuk membereskan permasalahan tersebut. Ia menyita harta para pejabat yang diperoleh secara tidak benar, selanjutnya harta itu disimpan di Baitul Mal untuk keperluan rakyat.

Tak sampai di situ, capaian prestasi Ali lainnya adalah memajukan bidang ilmu bahasa. Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad ad Duali untuk mengembangkan pokok-pokok ilmu nahwu, yaitu ilmu yang mempelajari tata bahasa Arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu orang-orang non-Arab dalam mempelajari sumber utama agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits.

Lalu, pada bidang pembangunan Ali juga berhasil membangun Kota Kuffah secara khusus. Mulanya, kota tersebut disiapkan sebagai pusat pertahanan oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan, namun pada akhirnya Kota Kuffah berkembang sebagai pusat ilmu tafsir, hadits, nahwu, dan ilmu pengetahuan lainnya.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pemimpin Adil Ali bin Abi Thalib dan Baju Zirahnya yang Hilang



Jakarta

Banyak kisah yang menceritakan sikap bijaksana yang dimiliki Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah kisah, Ali bin Abi Thalib menunjukkan sikap adilnya bahkan ketika melihat baju miliknya yang hilang dan kemudian dikenakan oleh orang lain.

Mengutip buku Kisah Hidup Ali Ibn Abi Thalib oleh Mustafa Murrad dikisahkan suatu hari, Amirul Mukminin melihat baju zirahnya, yang telah lama hilang, ada pada seorang Nasrani. la tidak tahu, bagaimana baju perangnya itu bisa berada di tangan Nasrani itu.

Ia berusaha meminta baju zirahnya dan menjelaskan bahwa baju zirah itu miliknya. Namun, Nasrani itu enggan memberikan dan bersikukuh mengatakan bahwa itu baju miliknya. Akhirnya, Ali ibn Abu Thalib membawa laki-laki itu ke pengadilan.


Di pengadilan, Ali bin Abi Thalib bertemu Qadi atau Khadi yakni seorang hakim yang membuat keputusan berdasarkan syariat Islam.

Khadinya saat itu adalah Syarih. Kadi berkata kepada laki-laki Nasrani itu, “Apa pembelaanmu, atas apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin?”

Nasrani itu berkata, “Baju zirah ini milikku. Amirul Mukminin tidak berhak menuduhku.”

Syarih berpaling kepada Ali dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah kau punya bukti?”

Ali ra. tertawa dan berkata, “Ya, engkau benar Syarih, aku tidak punya bukti apa-apa.”

“Atau, adakah saksi yang mendukung tuduhanmu?”

“Ada, anakku al-Hasan.”

“la tidak dapat menjadi saksi bagimu.”

“Bukankah kau pernah mendengar sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Umar bahwa al-Hasan dan al-Husain adalah dua pemimpin pemuda ahli surga?”

“Meski begitu, tetap saja ia tidak berhak menjadi saksi untukmu.”

Akhirnya Syarih memutuskan bahwa baju zirah itu milik si Nasrani.

Laki-laki Nasrani itu mengambil baju zirah itu, lalu berjalan pulang ke rumahnya. Namun, belum lagi jauh, ia kembali menemui keduanya dan berkata, “Aku bersaksi bahwa hukum seperti ini adalah hukum para nabi. Amirul Mukminin membawaku kepada hakim yang diangkat olehnya dan ternyata hakimnya itu menetapkan keputusan yang memberatkannya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Baju zirah ini, demi Allah, ini adalah baju zirahmu, wahai Amirul Mukminin. Aku mengikuti pasukan dan saat itu kau pergi ke Shiffin, dan aku mengambil beberapa barang dari kendaraanmu.”

Ali berkata, “Karena kau telah berislam, baju zirah ini untukmu.”

Mendengar perkataan Ali, laki-laki itu lalu membawa baju zirahnya dengan senang.

Kendati telah dibaiat dan ditetapkan sebagai khalifah, Ali ibn Abu Thalib tidak pernah berlaku sewenang-wenang. la selalu menempatkan setiap urusan pada tempatnya dan mendelegasikan wewenang kepada orang yang tepat.

Kasus baju zirah itu membuktikan keadilan Ali. la tidak mau mencampuri atau memengaruhi keputusan khadi pengadilan. Dan yang sangat menakjubkan, Syarih, yang menjadi khadi saat itu, tidak merasa takut kepada Amirul Mukminin dan tetap menjalankan tugasnya tanpa terpengaruh oleh kedudukan Ali.

Kedaulatan pemerintahan Ali ibn Abu Thalib berdiri di atas landasan keadilan. Selama masa kekuasaannya, tidak pernah ada seorang pun yang dizalimi kemudian diabaikan atau tidak ditolong oleh penguasa.

Khalifah senantiasa menjaga amanatnya dengan baik dan melindungi seluruh rakyatnya dari penindasan dan kezaliman. Ketika memilih para khadi yang dianggap layak memimpin lembaga peradilan di wilayah Islam, Khalifah Ali turun langsung menguji mereka dan meneliti keadaan serta kecakapan mereka dalam bidang hukum.

Ia juga memperhatikan akhlak dan perilaku keseharian para calon khadi ini. Ia pernah berkata kepada seorang khadi, “Apakah kau mengetahui ayat yang menasakh dan ayat yang dinasakh?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Ali berkata, “Celakalah engkau dan kau akan mencelakakan orang lain.”

Abu al-Aswad al-Du’ali pernah diangkat sebagai khadi namun kemudian dipecat. Ia berkata kepada Ali, “Mengapa engkau memecatku, sedangkan aku tidak berkhianat dan tidak berbuat salah?”

Ali ra. menjawab, “Aku pernah melihatmu membentak-bentak dua orang yang bertikai.”

Di masa kepemimpinannya, Ali memilih langsung orang-orang yang menjadi khadi dan dipercayainya untuk memimpin lembaga peradilan.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Teladan Ali Bin Abi Thalib, Berani-Pemimpin yang Adil



Jakarta

Kehidupan Ali bin Abi Thalib RA penuh dengan keteladanan yang dapat ditiru oleh kaum muslimin. Bagaimana kisah teladan Ali bin Abi Thalib RA tersebut?

Ali bin Abi Thalib RA adalah sepupu Nabi Muhammad SAW. Tepatnya, ia merupakan putra dari Abi Thalib, paman Rasulullah SAW. Pernyataan ini sebagaimana dituliskan oleh Abdul Syukur Al Azizi dalam bukunya yang berjudul Ali bin Abi Thalib RA.

Selain menjadi kerabat terdekat Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib RA juga merupakan menantu beliau, yakni suami dari Fatimah Az Zahra RA.


Sepeninggal Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib RA juga ditunjuk menjadi salah satu dari empat khalifah yang memimpin umat Islam. Tepatnya, ia adalah khalifah terakhir yang menggantikan khalifah Utsman bin Affan RA.

Kisah Teladan Ali bin Abi Thalib RA

Banyak hal yang bisa diteladani dari sosok yang sangat dekat dengan Rasulullah SAW ini. Keteladanan tersebut sudah detikHikmah rangkum dari sebuah buku karya Masan AF yang berjudul Pendidikan Agama Islam: Akidah Akhlak untuk Madrasah Tsanawiyah Kelas IX.

1. Lebih Mementingkan Ilmu Pengetahuan daripada Harta

Kisah teladan Ali bin Abi Thalib RA yang pertama adalah dirinya termasuk orang yang sangat cerdas dan selalu mementingkan ilmu pengetahuan daripada harta kekayaan.

Saking cerdasnya Ali bin Abi Thalib RA, khalifah Abu Bakar RA, khalifah Umar RA, dan khalifah Utsman RA sering datang kepadanya untuk meminta pendapat dan bantuan untuk memecahkan sebuah masalah.

Suatu hari, ada 10 orang yang terkenal pandai datang bertanya kepada Ali bin Abi Thalib RA, “Mana yang lebih baik antara pengetahuan dan kekayaan? Beri kami jawaban yang memuaskan dan berbeda untuk masing-masing kami.”

Ali bin Abi Thalib RA menjawab bahwa pengetahuan lebih baik dari kekayaan. Ia juga berhasil memberikan jawaban memuaskan yang berbeda-beda untuk mereka.

2. Teguh Pendirian dalam Beragama

Kisah teladan Ali bin Abi Thalib RA ditunjukkan dari sikap teguh pendirian dalam beragama beliau yang tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah SWT dan rasul-Nya.

Hal ini dibuktikan dengan kesediaan Ali bin Abi Thalib RA menggantikan Rasulullah SAW untuk tidur di kasur beliau ketika diburu oleh kafir Quraisy yang hendak membunuh beliau.

Karena keberanian dan keteguhan hati Ali bin Abi Thalib RA akan Allah SWT, akhirnya Rasulullah SAW bisa lolos dari pembunuhan dan kejaran kaum kafirin.

3. Bersikap Adil ketika Jadi Pemimpin

Ali bin Abi Thalib RA terkenal sebagai seorang pemimpin yang adil. Hal ini ditunjukkan ketika ia melihat putrinya, Zainab memakai baju dan perhiasan yang mahal dari baitul mal.

Ali bin Abi Thalib RA bersikap tegas kepada putrinya dengan memerintahkan ia segera mengembalikan harta tersebut ke baitul mal dan tidak mengulangi hal yang sama lagi.

4. Tidak Pelit dan Bersikap Dermawan

Keteladanan Ali bin Abi Thalib RA yang keempat adalah ia memiliki sifat dermawan dan tidak bakhil sama sekali.

Meski Ali bin Abi Thalib RA tidak sekaya Abu Bakar RA atau Utsman bin Affan RA, tapi kekayaan hati beliau begitu besar. Ia berderma dengan hatinya dan ketulusannya.

Rasa kasih sayangnya kepada orang yang tidak berdaya, orang-orang lemah serta fakir miskin begitu besar. Ketika beliau menyalurkan harta yang diambil dari baitul mal, maka yang ia utamakan adalah santunan untuk fakir miskin.

5. Berani Membela Agama Allah SWT

Kisah teladan Ali bin Abi Thalib RA yang terakhir adalah dirinya merupakan salah satu sahabat Rasulullah SAW yang terkenal dengan keberaniannya menghadapi musuh dan membela agama Islam.

Dalam Perang Badar dan pertarungan perorangan, Ali bin Abi Thalib RA dengan keberaniannya melawan dan mengalahkan musuhnya. Begitu pula ketika Perang Uhud, dirinya berhasil mengalahkan orang paling kuat dari kaum kafirin, yaitu Abu Saad bin Abi Thalhah.

Ketika Abu Saad sudah tidak berdaya akibat perlawanan dari Ali bin Abi Thalib RA, sahabat pemberani Rasulullah SAW ini justru menyarungkan kembali pedangnya dan tidak membunuhnya.

Ketika ditanyai perihal ini, Ali bin Abi Thalib RA menjawab kepada muslimin, “Aku tidak tega melihat dia sudah tak berdaya, tiba-tiba saja aku merasa kasihan.”

Dengan demikian menunjukkan bahwa walaupun Ali bin Abi Thalib RA adalah orang yang pemberani, ia tetap memiliki rasa kasih sayang yang tinggi.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah, Gantikan Utsman bin Affan



Jakarta

Ali bin Thalib adalah salah satu sahabat yang juga merupakan sepupu Rasulullah SAW. Nama lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutalib bin Hasyim bin Abdul Manaf.

Ali menjabat sebagai khalifah menggantikan Utsman bin Affan. Masa kekhalifahannya tidak lama karena hanya berjalan selama 5 tahun sebelum ia wafat.

Menukil Pendidikan Agama Islam: Sejarah Kebudayaan Islam untuk Madrasah Tsanawiyah Kelas VII oleh Dr H Murodi MA, setelah Utsman bin Affan meninggal kaum muslimin merasa bingung seakan-akan kehilangan tokoh yang akan menggantikan beliau. Pada situasi itu, Abdullah bin Saba yang merupakan seorang pemimpin di Mesir mengusulkan agar Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah.


Usulan tersebut lantas disetujui oleh mayoritas masyarakat muslim kecuali mereka yang berada di sisi Muawiyah bin Abi Sufyan. Ali bin Abi Thalib mulanya menolak usulan tersebut dan tidak ingin menerima jabatan karena situasinya kurang tepat. Kala itu banyak terjadi kerusuhan di berbagai tempat.

Menurutnya, situasi demikian harus diatasi terlebih dahulu sebelum membicarakan masalah kepemimpinan. Namun, para pengikutnya kian mendesak Ali bin Abi Thalib sehingga ia menerima tawaran tersebut dan menjabat sebagai khalifah pada 23 Juni 656 M.

Sejak saat itu, Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah menggantikan kedudukan Utsman bin Affan. Dijelaskan dalam buku Parlemen di Negara Islam Modern oleh Prof Dr Ali Muhammad Ash Shallabi, pada dasarnya pembaiatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dilakukan oleh mayoritas masyarakat dan sebagian besar dari mereka memilih secara langsung .

Masyarakat umum dan anggota dewan perwakilan berpartisipasi bersama-sama dalam pembaiatan tersebut. Alasannya karena Ali bin Abi Thalib menolak pembaiatan kecuali dilaksanakan di masjid secara terbuka dan di hadapan semua orang.

Saat masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, ia meneruskan cita-cita Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Selain itu, ia juga mengembalikan semua kekayaan yang diperoleh para pejabat melalui cara-cara yang tidak baik ke dalam perbendaharaan negara atau Baitul Mal.

Kemudian, Ali bin Abi Thalib juga bertekad mengganti semua gubernur yang ia anggap tidak mampu memimpin dan tidak disenangi masyarakat. Ia mencopot jabatan gubernur Basrah dari tangan Abu Bakar bin Muhammad bin Amr dan digantikan oleh Utsman bin Hanif.

Mengutip buku Sejarah Peradaban Islam karya Akhmad Saufi dan Hasmi Fadhilah, Ali bin Abi Thalib merupakan sosok pemimpin yang berakhlak baik. Ia sering berkeliling hanya untuk menantikan siapa saja yang menghampirinya untuk meminta bantuan atau bertanya.

Suatu ketika, pada siang yang terik Ali tiba di pasar. Sang khalifah mengenakan dua lapis pakaian, gamis sebatas betis, sorban melilit tubuhnya, dan bertumpu pada sebatang tongkatnya. Ali berjalan menyusuri pasar untuk berdakwah, mengingatkan manusia agar senantiasa bertakwa pada Allah SWT dan melakukan transaksi jual beli dengan baik.

Dirinya memiliki kebiasaan berjalan ke pasar seorang diri. Umumnya ia menasehati orang yang tersesat, menunjukkan arah pada orang yang kehilangan, menolong orang yang lemah, serta menasehati para pedagang dan penjual sayur.

Meski masa kepemimpinannya sebagai khalifah cukup singkat, ada sejumlah prestasi yang Ali capai. Salah satunya ialah memajukan bidang ilmu bahasa.

Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad ad Duali untuk mengembangkan pokok-pokok ilmu nahwu, yaitu ilmu yang mempelajari tata bahasa Arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu orang-orang non-Arab dalam mempelajari sumber utama agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits.

Pada bidang pembangunan Ali juga berhasil membangun Kota Kuffah secara khusus. Mulanya, kota tersebut disiapkan sebagai pusat pertahanan oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan, namun pada akhirnya Kota Kuffah berkembang sebagai pusat ilmu tafsir, hadits, nahwu, dan ilmu pengetahuan lainnya.

Ali bin Abi Thalib wafat pada Jumat, 17 Ramadhan tahun 40 Hijriah. Ia meninggalkan 33 anak yang terdiri atas 15 laki-laki dan 18 perempuan. Penyebab kematiannya ialah ditikam ketika hendak salat Subuh.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com