Tag Archives: amirul mukminin

Lelaki



Jakarta

Diriwayatkan dari Hasan r.a., Rasulullah Saw. bersabda, ” Ada orang-orang dengan jumlah lebih banyak dari Bani Rabi’ah dan Mudhar, kelak akan masuk surga karena syafaat seorang laki-laki dari umatku. Maukah kalian aku beritahu nama lelaki itu ?”

Orang-orang menjawab, ” Tentu saja, wahai Rasulullah!.”
Rasulullah Saw. bersabda, ” Lelaki itu adalah Uwais al-Qarni.”
Kemudian beliau bersabda, ” Wahai Umar! Apabila engkau menemukannya, sampaikan salamku untuknya, berbincanglah dengannya hingga dia mendo’akanmu. Ketahuilah bahwa dia menderita penyakit kusta. Lalu dia berdo’a memohon (kesembuhan) kepada Allah Swt, kemudian Allah Swt mengangkat penyakitnya. Lalu, dia berdo’a kepada Allah Swt. (untuk dikembalikan penyakitnya), dan Allah Swt mengembalikan sebagian dari penyakitnya itu.”

Uwais Al-Qarni merupakan seorang pemuda yang tidak terkenal, miskin, dan memiliki penyakit kulit. Tak ada orang yang mengenalnya bahkan namanya pun tak pernah dikenal. Namun ia merupakan pemuda yang pernah disebut oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya. Ia seorang pemuda yang sangat dicintai oleh Allah Swt. dan terkenal di langit dan tidak dikenal di bumi. Saat Ibunya sakit lumpuh, ia pamit ke Madinah sangat rindu untuk bertemu dengan Rasulullah Saw. Ibunya berpesan jika sudah bertemu segera pulang. Sesuai takdirnya, ia tidak bertemu dengan Rasulullah Saw. karena lagi pergi berperang. Kemudian segera kembali ke rumahnya di Yaman dan menitip pesan pada Aisyah r.a.


Tatkala Sang Ibu ingin naik haji, meski tergolong miskin, Uwais menyanggupinya dengan menggendong Ibunya sampai ke Baitullah. Inilah bakti seorang anak pada Ibunya. Belum pernah berjumpa dengan junjungan-Nya, namun ia dikatakan dalam sabdanya sebagai orang yang memberi syafaat.

Saat Amirul Mukminin Umar bin Khatab dalam musim haji menyampaikan pesan untuk bertemu dengan Uwais, maka salah seorang yang berasal dari daerahnya menyanggupi untuk menyampaikan pesan itu kepada Uwais.
Kemudian Uwais datang menemui Umar.
Umar bertanya,” Apakah Anda Uwais ?” Uwais menjawab, ” Ya, benar, wahai Amirul Mukminin.”
Kemudian Umar berkata, ” Sungguh, Allah Swt dan Rasulullah Saw benar. Apakah anda memiliki penyakit kusta, lalu Anda berdo’a kepada Allah Swt. dan diangkat penyakitnya. Lantas Anda berdo’a kembali ( agar dikembalikan ) dan Allah Swt. mengembalikan sebagian penyakit Anda itu.”
Uwais menjawab, ” Benar. Siapa yang mengabari Anda tentang hal itu? Demi Tuhan, tak ada yang mengetahuinya selain Allah Swt.”
Umar menjawab, ” Yang memberitahuku Rasulullah Saw. Beliau memerintahkan untuk memohon kepada Anda berkenan mendo’akanku. Karena beliau bersabda tentang lelaki yang memasukkan surga dengan syafaatnya orang-orang yang jumlahnya lebih banyak dari Bani Rabi’ah dan Mudhar. Beliau menyebut nama Anda sebagai lelaki itu.”
Kemudian Uwais mendo’akan Umar, lalu berkata,” Wahai Amirulmukminin, saya punya keperluan kepada Anda berupa permohonan untuk menyembunyikan kabar tentang diri saya dan izinkan saya untuk beranjak dari tempat ini,”

Kemudian Umar mengabulkan permohonannya, lantas Uwais tetap tersembunyi dari umat manusia dan terbunuh syahid di hadapan Ali bin Abi Thalib dalam perang Shiffin.

Dalam kisah di atas, hal-hal yang baik seperti: patuh pesan Sang Ibu, tidak menolak atas permintaan Sang Ibu meski sangat berat karena keadaan yang miskin dan ingin menyembunyikan diri dari umat manusia, karena ia ingin berhubungan dan bersandar dengan Allah Swt. agar tidak terganggu. Namun demikian ia berakhir dengan syahid saat ikut berperang. Akhir yang menjadi idaman setiap orang yang beriman.

Berbakti kepada Sang Ibunda merupakan tuntunan utusan-Nya. Ingatlah bahwa begitu panjang Ibunda merawat saat bayi, membimbing saat remaja dan selalu berdo’a dalam tahajudnya saat engkau dewasa. Maka jauhilah sikap ingkar dan dekaplah semua permintaannya. Banyak contoh sahabat penulis yang begitu patuh, taat dan melayani sang Ibu, maka ia telah diberikan limpahan barokah serta dibimbing dalam mengisi kehidupan ini. Ada yang bersedih hingga beberapa pekan saat ditinggalkannya, ada yang menggendong Ibunya saat membutuhkan perpindahan tempat, tidak membuat hati Ibu bersedih dan berusaha selalu menyenangkan.

Penulis bermimpi, jika seseorang yang akan memimpin suatu negeri dengan karakter yang berbakti pada Ibundanya, maka rakyat atau warga akan dilayaninya seperti saat melayani Ibunya. Kebutuhan warga akan dipenuhinya seperti saat menenuhi kebutuhan Ibunya. ” Ya Allah, Engkau yang berkuasa, pilihlah pemimpin yang Engkau kehendaki dan bimbinglah ia agar menjadikan negeri yang Baldatun Thoyyibatun warobbun Ghofur. Jauhkanlah pemimpin yang tiada memberi contoh kebaikan, agar kehidupan harmonis selalu ada pada negeri tercinta ini.”

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Ketua Dewan Pembina HIPSI ( Himpunan Pengusaha Santri Indonesia)
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Sikap Mulia



Jakarta

Sikap mulia yang lebih mementingkan orang lain dalam kerangka persaudaraan. Sikap ini menunjukkan kerelaannya dalam membantu, meskipun dirinya memerlukannya. Dikisahkan Amirul Mukminin Umar bin Khathab menyediakan uang sebanyak 400 dinar, dimasukkan ke dalam kantong. Dia berkata kepada pembantunya, ” Serahkan uang ini kepada Abu Ubaidah bin Jarrah ! Tunggu sebentar seolah engkau masih ada urusan lain dengannya, hingga engkau mengetahui apa yang diperbuat dengan uang ini !”

Sampai di rumah Abu Ubaidah, pembantu tersebut berkata, ” Aku datang kepadamu dengan membawa uang dari Amirul Mukminin. Dia memerintahkan agar engkau menggunakan uang ini untuk kebutuhanmu.” Jawab Abu Ubaidah, ” Semoga Allah tetap menyertai Umar dan merahmatinya !” Sesudah itu dia berkata kepada pembantunya, ” Bagikan uang ini kepada si A sebanyak tujuh dinar, kepada si B sebanyak lima dinar dan kepada si C,D dan seterusnya hingga jumlah tersebut tidak ada sisa sama sekali.

Pembantu tersebut segera kembali dan menceritakan kepada Umar apa yang dilihatnya. Kemudian Umar menyediakan sejumlah uang untuk diserahkan kepada Mu’adz bin Jabal, seperti ketika memberikan uang pada Abu Ubaidah dan berkata, ” Amirul Mukminin berpesan agar uang yang kuserahkan ini kau pergunakan untuk memenuhi kebutuhanmu.” Hal yang sama dilakukan oleh Mu’adz bahwa uang tersebut dibagikan pada orang-orang yang lebih membutuhkan. Kemudian istrinya datang dan berkata, ” Demi Allah kita juga orang miskin. Sisakan uang itu untuk kita.” Ternyata masih ada sisa 2 dinar dan diserahkan pada istrinya. Kemudian pembantunya segera kembali kepada Umar dan menceritakan apa yang dilihatnya. Amirul Mukminin merasa gembira dan berkata, ” Mereka semua bersaudara. Antara satu dan yang lain saling membantu.”


Kedua kisah tersebut di atas bukanlah kisah perorangan, tetapi sikap itu merupakan hakikat masyarakat Islam. Di dalam kisah itu mengandung gambaran yang melukiskan persaudaraan, kebiasaan hidup bergotong-royong dan meringankan satu sama lain, serta lebih mengutamakan kawan daripada dirinya sendiri. Seperti firman Allah dalam surah al-Hasyr ayat 9, ” Dan orang-orang yang telah menempati kota Madina dan telah beriman ( Anshar ) sebelum ( kedatangan ) mereka ( Muhajirin ); dan mereka mengutamakan ( orang-orang Muhajirin ) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan ( apa yang mereka berikan itu ). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Kebiasaan bergotong royong dan saling membantu meringankan, merupakan idaman dalam kehidupan bermasyarakat. Kebiasaan ini sudah terkikis sehingga kehidupan bermasyarakat lebih mementingkan dirinya sendiri. Alhamdulillah, Pada akhir-akhir ini mulai timbul gerakan untuk membantu anggota masyarakat yang lebih memerlukan, seperti ada kedai makan dengan gratis, dengan membayar seikhlasnya dan muncul gerakan sedekah jum’at berkah berupa nasi bungkus. Disamping itu adanya kesadaran dalam memenuhi kebutuhan sendiri untuk memproduksi barang-barang keperluan sehari-hari di kalangan umat Islam. Maka bersatulah dalam sektor ekonomi, agar tidak tergantung pada pihak lain. Rasa bangga, rasa cinta untuk menggunakan produk-produk dari kalangan sendiri. Kebersamaan dalam sektor ekonomi ini akan memunculkan kekuatan baru dan akan menjadikan keseimbangan yang berasa lebih adil. Selama ini kita hanyalah menjadi sasaran sebagai target pasar ( konsumen ), maka mulailah bangkit membangun ekonomi dengan niat untuk membantu pelaku ekonomi sekala mikro. Di desa dan kota, pelaku sekala mikro ini bertebaran, bersatulah laksana sapu lidi sebagai pengikat berupa mall, pasar retail virtual. Sebagai pelaku pasar retail ini tentu kontennya mendorong dan merangsang para anggotanya.

Sikap mulia lainnya adalah berlaku adil, meskipun terhadap musuh yang telah ditaklukkan. Peradilan adalah kewajiban asasi dan sunah yang harus diikuti. Dalam ajaran Islam, tiada membedakan perlakuan terhadap pihak-pihak yang berperkara. Sama ratakan pihak yang berperkara dalam majelis, dalam pandangan dan dalam keadilan. Hal ini dimaksudkan agar bagi orang-orang berkedudukan tinggi tidak membuat keadilan memperlakukan khusus dan bagi orang-orang lemah ( musuh yang takluk ) tidak putus asa. Ada kisah peradilan antara seorang Nasrani melawan Amirul Mukminan Ali bin Abu Thalib tentang baju besi. Ringkas cerita karena Amirul Mukminin tidak mempunyai bukti kepemilikan maka dimenangkan pada orang yang digugat. Orang itu mengambil baju besi sambil berkata, ” Aku mengakui bahwa ini adalah keputusan para Nabi. Amirul Mukminin mengadukanku pada Hakim, lalu dipertimbangkan dan Hakim memenangkanku. Sekarang aku bersaksi : Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba utusan-Nya. Demi Allah, baju besi ini benar kepunyaanmu, wahai Amirul Mukminin. Ia terjatuh ketika engkau dalam perjalanan menuju Shifin.” Ali berkata,” Karena engkau telah memeluk Islam, maka baju besi itu kuberikan kepadamu.”

Inilah kemuliaan sikap dan tidak mau diperlakukan khusus dalam peradilan oleh hakim. Padahal saat ini Dia sebagai pemimpin suatu negara. Sikap ini menjadikan timbulnya rasa simpati lawan peradilannya dan akhirnya mengikuti keyakinan Amirul Mukminin. Semoga kita semua dapat mencontoh sikap mulia tersebut dan menggapai keridha’an-Nya.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025

Ketua Dewan Pembina HIPSI ( Himpunan Pengusaha Santri Indonesia)

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Negara



Jakarta

Sebuah negara tidak akan pernah tegak dengan kokoh kecuali ia mampu menetapkan tujuan ideal yang akan menjamin kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Penulis berfikir bahwa semua orang bersepakat bahwa masa depan harus lebih baik meskipun sebesar apa pun masalah yang pernah dihadapi di masa lalu. Peran para cendekiawan hendaknya ikut memikirkan masa depan bangsa dan negara.

Negara berjalan menuju tujuannya tentu digerakkan oleh penguasa yang memperoleh amanah masyarakat. Menurut Ibnu Khaldun, kekuasaan itu terbentuk melalui kemenangan. Kekuasaan itu merupakan kedudukan menenangkan, meliputi berbagai kesenangan materi maupun maknawi, material maupun spiritual, visible maupun invisible sehingga untuk mendapatkannya seringkali melalui kompetisi yang menggemparkan dan sedikit orang yang mau menyerahkannya. Partai yang menjadi pilar demokrasi, maka partai acapkali menjadi proteksi, pembela, bahkan klaim untuk semua persoalan.

Kekuasaan dan politik menurut Ibnu Khaldun adalah, memiliki tujuan yang substansial dan seharusnya diformulasikan untuk kemanusiaan, karena keduanya secara naluri berkait dengan fitrah manusia dan pola pikirnya yang condong kepada maslahat. Dalam hal ini meliputi kebutuhan manusia terhadap perlindungan, keamanan, kesejahteraan dan lainnya. Ini termasuk tanggung jawab politik dan kekuasaan.


Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah bagian dari perintah syariat yang sangat penting dan menjadi potensi ladang amal kebaikan yang berbuah pahala yang sangat besar. Tapi sebaliknya, jika disalahgunakan akan mendapatkan murka Allah SWT dan siksa neraka. Oleh sebab itu, bagi seorang mukmin, kekuasaan itu seharusnya direbut untuk dijadikan wasilah menuju negeri yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Negeri yang dipimpin seorang mukmin akan bercirikan, penguasanya tidaklah tamak pada materi, tidak cinta dunia dan kedudukan, tidak lemah di hadapan popularitas, tidak takut kehilangan dunia dan tidak bersikap busuk untuk menggerus tugas intelektual dan spiritual.

Sebuah hadis diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi bersabda: Sesungguhnya pemimpin itu adalah perisai, mereka berperang dari belakangnya, dan merasa kuat dengannya. Jika pemimpin itu memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah SWT dan ia berlaku adil, maka bagi mereka pahala. Tetapi jika mereka memerintahkan selainnya (bukan hal yang baik), maka mereka mendapatkan dosa dari perintah itu. Salah satu kewajiban pemimpin, khususnya pemerintah, dalam dunia Islam ialah memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap segenap rakyatnya agar mereka merasa aman dari berbagai macam gangguan, baik dari ancaman dari dalam maupun dari luar.

Sedangkan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya, telah diberikan contoh oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab, yang berhasil memperluas wilayah Islam dengan menaklukkan wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh dua kerajaan besar yaitu Persia dan Romawi, yaitu wilayah Syam, Mesir, hingga Irak. Kemudian sistem administrasi ditata dengan baik yang membuat pemerintahannya berjalan stabil dan rakyatnya sejahtera. Tentu sikap adil dan amanah merupakan ciri kepemimpinannya.

Prestasi Umar bin Abdul Aziz pada masanya memiliki orientasi dalam kepemimpinanya. Ia berhasil memperluas wilayah dengan metode dakwah serta penekanan amar ma’ruf nahi mungkar. Bahkan dalam perluasan wilayah, ia tidak menggunakan kekuatan militer. Akhir dari pemerintahannya, tidak ditemukan rakyatnya yang menjadi orang meminta-minta (fakir) dan mereka menjadi orang yang sejahtera.

Menurut Ibnu Khaldun ada tahapan dalam perkembangan suatu negara:

1. Tahap Pendirian Negara. Tahapan ini untuk mencapai tujuannya dengan menaklukkan atau merebut kekuasaan.

2. Tahap Pemusatan Kekuasaan. Pemusatan kekuasaan adalah kecenderungan yang alamiah pada manusia. Ketika penguasa merasa kekuasaan telah mapan, maka ia akan memonopoli kekuasaan dan menjatuhkan elemen-elemen yang sebelumnya menopang kekuasaannya.

3. Tahap Kekosongan. Tahap ini merupakan penikmatan kekuasaan yang didapat. Mereka akan mengumpulkan harta kekayaan, mengabadikan peninggalan-peninggalan dan meraih kemegahan. Negara dalam posisi puncak perkembangannya.

4. Tahap Ketundukan dan Kemalasan. Negara dalam keadaan statis, tidak ada perubahan apapun, negara seakan menunggu permulaan akhir kisahnya.

5. Tahap Foya-foya dan Penghamburan Kekayaan. Tahap ini negara mengalami masa ketuaan dan dirinya telah diliputi penyakit kronis yang menuju keruntuhan.

Negara tercinta ini sudah masuk pada tahapan yang mana? Tentu para pembaca maupun penulis akan berbeda-beda persepsinya, namun benang merahnya akan kelihatan. Oleh karena itu, bagi penguasa yang pegang amanah hendaknya bisa menjaga momentum agar negara tidak mengalami perkembangan menurun atau tidak menuju keruntuhannya.

Semoga Allah SWT. menjaga dan menguatkan iman penguasa agar menjalankan negara sesuai tujuannya. Hindarkan dengan tidak mementingkan diri dan kelompoknya.

—–

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Amanah



Jakarta

Amanah mengandung makna bahwa sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain karena yakin dan percaya, bahwa di tangannya sesuatu yang diserahkan itu akan aman dan terpelihara dengan baik. Kepercayaan ini dapat berupa hal yang tidak terlihat, seperti jabatan ataupun benda yang terlihat, seperti misalnya harta. Menurut pakar tafsir Al-Razi, amanah terbagi menjadi tiga bentuk yakni amanah dengan Tuhan, amanah dengan sesama manusia, dan amanah dengan diri sendiri.

Pada hari Senin tanggal 21 Oktober 2024, di negeri tercinta ini para pembantu Presiden ( Menteri, Wakil Menteri dan Pejabat setingkat Menteri ) mulai bekerja. Mereka ini telah memperoleh amanah untuk memimpin Kementerian dari Presiden. Inilah yang disebut Al-Razi sebagai amanah sesama manusia. Memegang amanah seperti memimpin Kementerian selalu melekat adanya tanggung jawab dan kekuasaan. Melaksanakan tujuan dari Kementerian akan efektif jika kekuasaan di jalankan dengan rasa keadilan dan tentu pelaksanaan tersebut harus dipertanggungjawabkan.

Jadi, ingatlah selalu bagi yang menerima amanah bukan disikapi dengan bersenang-senang berkumpul dengan keluarga dan lain sebagainya, maka bersikaplah sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 156 yang terjemahannya, “yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali).”


Allah SWT. memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW. agar memberitahukan ciri-ciri orang-orang yang mendapat kabar gembira yaitu orang yang sabar, apabila mereka ditimpa sesuatu musibah mereka mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ) (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Dengan begitu para penerima amanah akan selalu memgingat-Nya dan menunaikan tugasnya dengan bimbingan Allah SWT.

Dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin Kementerian hendaknya selalu mengingat bahwa, kepemimpinan yang engkau jalankan merupakan / adalah keteladananmu. Kisah Umar bin Khathab mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, tentang berbagai persoalan yang menyangkut kepemimpinan. Inilah isi suratnya :

Sesungguhnya, manusia itu punya hak untuk berpaling dari penguasa mereka. Maka, aku mohon perlindungan kepada Allah dari yang demikian itu.

Hindarilah sikap membabi buta dan dengki, mengikuti hawa nafsu dan sikap lebih mengutamakan dunia. Dan tegakkanlah hukum itu, walaupun hanya sesaat pada siang hari.

Apabila menghadapi dua perkara, yang satu untuk Allah dan yang satunya lagi untuk dunia, maka utamakanlah bagianmu untuk akhirat daripada bagianmu untuk dunia. Sebab, dunia itu akan lenyap, sedangkan pahala akhirat adalah kekal selamanya. Takutlah engkau kepada Allah SWT. dan takut-takutilah orang-orang fasik. Jadikanlah tangan dan kaki mereka terbelenggu, agar tidak dapat mengadakan kegiatan kefasikan.

Abadikanlah nikmat dengan bersyukur, abadikanlah ketaatan dengan berlemah lembut, abadikanlah kekuasaan dan kemenangan dengan bersikap tawadu’ serta cinta kepada sesama manusia.

Tengoklah orang-orang muslim yang sakit, dan antarkan jenazahnya sampai ke kuburnya. Bukalah pintumu untuk mereka, dan urusi sendiri perkara mereka, karena engkau termasuk salah seorang dari mereka. Hanya saja Allah SWT. menjadikanmu orang paling berat tanggungannya.

Ketahuilah, bahwa seorang pemimpin itu akan kembali kepada Allah SWT. Maka apabila pemimpin itu menyeleweng rakyatpun pasti menyeleweng. Sesungguhnya, orang yang paling celaka ialah orang yang menjadi sebab sengsaranya rakyat.

Inti dari pesan seorang Amirul Mukminin tersebut meliputi :

1. Tidak mengikuti hawa nafsu.
2. Menegakkan hukum.
3. Mengutamakan bagian untuk akhirat.
4. Bersyukur dan tawadu.’
5. Menengok orang yang sakit dan mengantarkan jenazah sampai ke kuburnya.
6. Memberikan keteladanan.

Penulis berpesan sebagai seorang pemimpin hendaklah memegang teguh tentang :

1. Sabar. Seorang pemimpin yang mempunyai sikap sabar, tentu segala urusan akan diseleseikan dengan baik. Hal ini sesuai dengan perintah-Nya dalam surah an-Nahl ayat 127 yang terjemahannya, “Bersabarlah. Kesabaranmu itu tak lain adalah berkat pertolongan Allah.”
2. Syukur. Seorang pemimpin yang bersyukur, maka ia tidak berpanjang angan-angan. Hal ini dapat menjadikan sia-sia. Dalam surah Ibrahim ayat 17, intinya adalah perintah bersyukur dan janganlah mengingkari nikmat dari-Nya.
3. Tawakal. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah adalah menyerahkan seluruh perkara kepada Allah, bersandar pada kekuasaan-Nya dalam mengatur siklus alam semesta, mendahulukan perbuatan-Nya ketimbang perbuatan kita, dan mengitamakan kehendak-Nya diatas keinginan kita.

Ketiga faktor inilah yang menjadikan seorang pemimpin berjiwa besar. Semoga Allah SWT. selalu membimbing dan memberikan cahaya-Nya agar para pembantu Presiden dapat menjalankan amanah dengan efektif.

Aunur Rofiq

Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih – Redaksi)

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Pembiaran



Jakarta

Istidraj yaitu nikmat yang diberikan Allah SWT kepada orang-orang yang membangkang atau jauh terhadap-Nya. Ini merupakan hukuman dari Allah SWT agar orang tersebut terus terjerumus dalam kesesatan. Hal ini menjadikan seseorang yang diberikan nikmat tetapi diarahkan menuju kebinasaan oleh Allah SWT.

Adapun nikmat ada dua jenis yaitu nikmat hasil jerih payah dan nikmat istidraj. Seseorang yang bekerja keras maupun bekerja cerdas akan memperoleh kenikmatan dari-Nya, ini berlaku bagi mukmin maupun kafir. Allah SWT tidak menyia-nyiakan atas jerih payah hamba-Nya. Orang beriman akan menikmati hasil usaha duniawinya di dunia, dan selain itu menikmati di akhirat. Adapun orang kafir akan menikmati hasil usahanya di dunia saja. Sebagaimana dalam firman-Nya surah Hud ayat 15 yang terjemahannya, “Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan kepada mereka (balasan) perbuatan mereka di dalamnya dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan.”

Makna ayat ini adalah: Menerangkan bahwa penyebab orang musyrik mendustakan Al-Qur’an adalah karena dorongan hawa nafsu yang cenderung mengutamakan urusan duniawi. Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dengan pangkat, kemewahan, serta kenikmatan hidup, dan menginginkan pula perhiasannya seperti harta kekayaan yang melimpah, fasilitas hidup yang lengkap dan mewah, pasti Kami akan berikan balasan penuh atas pekerjaan dan jerih payah mereka selama di dunia dengan sempurna. Itulah ketetapan Allah SWT yang berlaku bagi siapa saja yang bekerja akan mendapatkan hasil dari jerih payahnya, dan mereka di dunia tidak akan dirugikan oleh hasil usaha mereka sendiri.


Oleh karena itu ketika kita memperoleh kenikmatan, maka renungkanlah apakah nikmat itu karena jerih payah atau nikmat istidraj?

Dikisahkan Umar bin Khatab saat diberikan ghanimah (harta ramasan perang) Qadisiah ke hadapannya, Umar menangis karena khawatir kemenangan yang telah dicapai itu merupakan istidraj Allah SWT untuknya. Dia menangis sambil berkata, ” Ya Allah, Engkau tahu bahwa Muhammad SAW lebih baik dariku, tapi Engkau tidak memberikan ini kepadanya. Engkau tahu bahwa Amirul Mukminin Abu Bakar lebih baik dariku, tapi Engkau tidak memberikan ini kepadanya. Maka, aku berlindung kepada-Mu supaya semua ini tidak berubah menjadi fitnah bagi agamaku.”

Adapun yang membedakan nikmat anugerah dengan nikmat istidraj adalah kondisi seseorang saat menerima nikmat tersebut. Jika ia menerimanya dengan rasa syukur kepada Allah SWT lalu istiqamah dalam syukurnya, maka itu pertanda bahwa nikmat yang tercurah itu merupakan pesan cinta dan anugerah. Namun, jika ia menerimanya tapi ia lupa dengan Sang Pemberi Nikmat, lupa pada-Nya yang mengaruniainya, kemudian menggunakan nikmat itu dengan cara dan pada jalan yang tidak diridhai-Nya, disebabkan keberpalingannya dari rasa syukur. Orang semacam ini akan menjalani kehidupan yang sempit, sebagaimana firman-Nya dalam surah Thaha ayat 124 yang terjemahannya, “Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”

Makna pada ayat ini Allah SWT memberi peringatan dan ancaman bagi mereka yang berpaling dari petunjuk-Nya. Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku dan enggan mengikuti petunjuk-Ku, maka sungguh dia akan mendapat balasan dengan menjalani kehidupan yang sempit sehingga selalu merasa kurang meski sudah memperoleh banyak rezeki di dunia, dan Kami akan mengumpulkannya kelak pada hari kiamat dalam keadaan buta sehingga tidak dapat meniti jalan ke surga.

Dalam kehidupan saat ini, penulis kadang menemukan seseorang yang memperoleh nikmat namun ia tidak bersyukur bahwa itu merupakan anugerah-Nya. Hal ini terlihat bahwa orang itu haus jabatan meskipun sudah berderet posisi yang disandangnya, haus harta kekayaan meskipun sudah memiliki rumah besar dan mewah serta kendaraan kelas atas. Ia akan menjalani kehidupan yang sempit dan dalam keadaan buta saat dikumpulkan pada hari kiamat.

Keserakahan atau kerakusan pada dunia (kekuasaan, harta kekayaan, ketenaran, ketersanjungan) saat ini sudah menggejala kepada para elite. Untuk itu, selalu ingatlah pada firman-Nya dalam surah al-An’am:

1. Ayat 43 yang terjemahannya, “Akan tetapi, mengapa mereka tidak tunduk merendahkan diri (kepada Allah) ketika siksaan Kami datang menimpa mereka? Bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menjadikan terasa indah bagi mereka apa yang selalu mereka kerjakan.”

2. Ayat 44,”Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”

Makna kedua ayat tersebut adalah: Ketika telah ditawarkan pintu tobat, mereka tetap mengingkarinya dan hati mereka menjadi keras. Pada saat itu Allah SWT tetap memberikan kesenangan pada mereka (pembiaran) dan mereka tidak menyadarinya kalau kenikmatan itu merupakan istidraj dari-Nya. Mereka akan menerima siksa yang sekonyong-konyong, hingga mereka terdiam dan berputus asa.

Jika kita cermati kondisi sebagian elite negeri yang selama ini menerima nikmat dari-Nya dan mereka tidak bersyukur dan beranggapan nikmat itu dari usahanya sendiri, maka itu pertanda istidraj. Wahai para pemimpin, segeralah bertobat kepada-Nya. Semoga Allah SWT memberikan bimbingan agar kita semua (para pemimpin) agar dihindarkan dari nikmat istidraj.

Aunur Rofiq
Ketua DPP PPP periode 2020-2025
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Saat Umar bin Khattab Ingin Dimakamkan di Sisi Dua Sahabatnya



Jakarta

Umar bin Khattab dikenal sebagai sosok sahabat nabi yang sekaligus pernah menjadi khalifah. Menjelang dirinya wafat, ia punya satu permintaan yang tak ada lagi lebih penting dari hal itu. Ini kisahnya!

Menukil Kitab Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir, Umar bin Khattab memiliki julukan ‘Al-Faruq’. Ia juga diberi gelar ‘Amirul Mukminin’ saat menjabat sebagai khalifah yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW dalam persoalan kenegaraan.

Ketika memangku amanah menjadi khalifah, ia banyak menorehkan prestasi. Seperti berhasil menaklukkan banyak daerah di negeri Syam dan Irak, sehingga wilayah kekuasaan Islam meluas.


Selain itu, ia yang pertama kali membuat penanggalan Hijriah, mengumpulkan kaum muslim untuk salat Tarawih berjamaah, berkeliling untuk mengontrol rakyatnya, membentuk tentara resmi, hingga membuat undang-undang perpajakan.

Menjelang penghujung hayatnya, Umar bin Khattab sempat berdoa kepada Allah SWT untuk mengadu akan usianya yang senja dan kekuataannya yang melemah, sementara rakyatnya tersebar luas dan ia khawatir tak mampu menjalankan tugasnya dengan baik.

Sehingga berdoalah ia kepada Allah SWT supaya mewafatkannya dalam keadaan syahid dan bisa dikebumikan di Madinah. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Umar pernah berkata, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu mendapatkan syahadah (mati syahid) di atas jalan-Mu dan wafat di tanah Nabi-Mu.”

Dan benar saja, Allah SWT yang Maha Mendengar mengabulkan doa Umar bin Khattab. Dirinya wafat setelah dibunuh oleh seorang budak Majusi.

Kisah Terbunuhnya Umar bin Khattab

Masih dari Kitab Bidayah wan Nihayah, Umar bin Khattab ditikam seorang hamba sahaya Majusi bernama Abu Lu’lu’ah Fairuz, milik al-Mughirah bin Syu’bah.

Peristiwa penusukan terjadi pada waktu pagi, tepatnya tanggal 25 Dzulhijjah tahun 23 Hijriah, ketika dirinya memimpin salat Subuh berjamaah. Setelah kejadian, Umar tersungkur dan menunjuk Abdurrahman bin Auf agar menggantikannya menjadi imam salat.

Kemudian Abu Lu’lu’ah berlari ke belakang sambil menikam orang-orang yang dilaluinya. Sebanyak 13 orang terluka dan enam orang dari mereka tewas. Saat itu, ada seseorang yang melemparkan humus (baju panjang) kepada Abu Lu’lu’ah supaya ia terjerat. Tetapi Abu Lu’lu’ah terlanjur bunuh diri.

Darah Umar bin Khattab yang kala itu mengalir deras dari luka tusuk, membuat dirinya segera dibawa pulang ke rumah.

Ketika mengetahui bahwa seorang budak Majusi yang menikamnya, Umar berkata, “Semoga Allah memberikan kejelekan baginya, kami telah menyuruhnya suatu perkara yang baik.”

Kemudian Umar bin Khattab mewasiatkan agar penggantinya (seorang khalifah) dimusyawarahkan oleh enam orang yang Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepada mereka, yakni Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, az-Zubair, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’ad bin Abi Waqqash.

Umar bin Khathab berwasiat kepada orang yang akan menggantikannya untuk berbuat yang terbaik kepada seluruh manusia dengan berbagai tingkatan mereka.

Akhirnya, Umar bin Khattab wafat tiga hari setelah peristiwa penikaman itu. Ia dimakamkan pada hari Ahad, awal Muharram tahun 24 H.

Umar Minta Izin Dikebumikan di Sisi Dua Sahabatnya

Saat Umar bin Khattab dalam keadaan terluka berdarah-darah setelah peristiwa penikaman, dirinya menyuruh Abdullah bin Umar, putranya, untuk mendatangi Ummul Mukminin Aisyah di rumahnya.

Umar berujar, “Berangkatlah engkau sekarang ke rumah Aisyah Ummul Mukminin dan katakan, ‘Umar bin Khattab menyampaikan salam kepadanya dan jangan kau katakan salam dari Amirul Mukminin. Sebab sejak hari ini, aku tidak lagi menjadi Amirul Mukminin, katakan kepadanya bahwa Umar bin Khattab minta izin agar dapat dimakamkan di samping dua sahabatnya.”

Maka pergilah Abdullah bin Umar ke rumah Aisyah, dan segera mengucapkan salam untuk izin masuk ke dalam. Ternyata didapati Aisyah sedang duduk menangis.

Abdullah bin Umar berkata, “Umar bin Khattab mengucapkan salam untukmu dan ia meminta izin agar dapat dikebumikan di sisi kedua sahabatnya.”

Aisyah menjawab, “Sebenarnya aku menginginkan agar tempat tersebut menjadi tempatku kelak jika mati, tetapi hari ini aku harus mengalah untuk Umar bin Khattab.”

Ketika Abdullah bin Umar kembali, maka ada seorang yang mengatakan, “Lihatlah Abdullah bin Umar telah datang.” Kemudian Umar bin Khattab berkata, “Angkatlah aku.”

Salah seorang menyandarkan Umar bin Khattab ke tubuh anaknya, Abdullah bin Umar. Umar lalu bertanya kepada putranya, “Apa berita yang engkau bawa?” Ia menjawab, “Sebagaimana yang engkau inginkan, wahai Amirul Mukminin. Aisyah telah mengizinkan dirimu.”

Maka Umar berkata, “Alhamdulillah, tidak ada yang lebih penting bagiku selain dari itu. Jika aku wafat maka bawalah jenazahku ke sana dan katakan, ‘Umar bin Khattab minta izin untuk dapat masuk.’ Jika ia (Aisyah) memberikan izin maka bawalah aku masuk, tetapi jika ia menolak, maka bawalah jenazahku ke pemakaman kaum muslimin.”

Tak lama Umar bin Khattab menemui ajalnya, maka kaum muslim yang hadir kala itu keluar membawa jenazahnya menuju rumah Aisyah. Abdullah bin Umar mengucapkan salam sambil berkata, ‘Umar bin Khattab meminta izin agar dapat masuk.”

Aisyah menjawab, “Bawalah ia masuk.” Kemudian jenazah Umar bin Khattab dibawa masuk dan dimakamkan di tempat itu bersama kedua sahabatnya, yakni Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Diketahui semasa hidupnya Umar bin Khattab sangat dekat dengan Nabi SAW, begitu juga bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib pernah menuturkan kepada Umar, yang dinukil dari sumber yang sama:

“Demi Allah, aku merasa yakin bahwa Allah akan mengumpulkanmu dengan kedua sahabatmu (Nabi SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq). Aku banyak mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Aku berangkat bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, aku masuk bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, aku keluar bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.”

Akhirnya, Umar bin Khattab dikubur di kamar Nabi Muhammad SAW, di samping Abu Bakar Ash-Shiddiq, setelah mendapat izin dari Ummul Mukminin, Aisyah.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Umar dengan Janda Tua yang Masak Batu untuk Makan



Jakarta

Banyak sekali kisah inspiratif dan menambah keimanan dalam berbagai keterangan dalam dunia Islam. Salah satunya adalah kisah dari sahabat, Umar bin Khattab RA dengan janda tua.

Umar bin Khattab atau yang kerap dipanggil Umar merupakan salah satu orang terhebat di dalam sejarah Islam mungkin setelah Rasulullah SAW. Beliau merupakan Amirul Mukminin atau pemimpin orang-orang yang beriman sekaligus menjadi khalifah pertama setelah sepeninggalnya Rasulullah SAW.

Catatan dan rekaman sepak terjangnya semenjak masih menjadi musuh Islam hingga akhirnya menjadi ujung tombak Islam menyimpulkan dirinya sebagai orang yang besar dan tangguh. Namun, dalam satu kisah kita dapat mengetahui bagaimana hati seorang Umar yang ternyata lembut dan sangat perasa.


Umar diceritakan gemar melakukan blusukan ke rumah-rumah rakyatnya untuk mengetahui secara langsung bagaimana kondisi mereka. Seperti dikisahkan dalam buku Memang untuk Dibaca, 100 Kisah Islami Inspiratif Pembangkit Jiwa karya Rian Hidayat Abi, kisah ini berawal ketika suatu malam pada salah satu jadwal blusukan rutin sang khalifah.

Suatu malam, Umar bersama seorang sahabat bernama Aslam mengunjungi sebuah desa terpencil. Ketika sedang berkeliling, ia mendengar terdapat suara tangisan anak kecil yang bersumber dari sebuah rumah.

Rumah tersebut dihuni oleh seorang perempuan tua dan anaknya yang sedang menangis tadi. Alangkah terkejutnya ketika Umar ini mengetahui ternyata ibu tersebut sedang memasak batu seolah-olah sedang memasak makanan.

Hal ini membuat Khalifah umar merasa penasaran sekaligus merasa iba dengan perilaku yang ditunjukkan oleh janda tua tersebut, sehingga ia bertanya kepadanya perihal anaknya yang sedang menangis itu. Wanita tersebut kemudian menjawab,

“Saya memasak batu-batu ini hanya untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan yang dilakukan Umar bin Khattab (wanita itu tidak mengetahui sedang berbicara dengan Umar) yang tidak mau melihat rakyatnya sengsara. Sungguh kejam! Seharian ini kami belum makan satu suap pun, bahkan anakku pun sampai harus berpuasa. Ketika waktu berbuka tiba, saya mengharap bakal ada rezeki yang datang, namun kenyataannya tidak! Saya harus mengumpulkan batu-batu ini kemudian memasaknya untuk membohongi anakku yang kelaparan dengan harapan dia akan lekas tertidur. Ternyata anakku tidak bisa tertidur, kemudian ia menangis meminta makan.”

Sembari mendengar keluh kesah yang diutarakan oleh perempuan tua itu, Amirul Mukminin berlinang air mata. Kemudian. Umar segera beranjak dari tempat itu dan kembali ke Madinah untuk mengambil gandum yang dipikul di punggungnya untuk diantar ke janda tua itu.

Tanpa istirahat, Umar kemudian sampai ke rumah janda tua itu dan membawakan gandum serta beberapa liter minyak samin untuk bisa dimasak oleh janda tua itu. Setelahnya, janda tua itu bergegas memasak makanan untuk dia dan anaknya.

Setelah mampu menikmati makanan tersebut, wanita tua itu berkata, “Terima kasih, Semoga Allah SWT membalas amal perbuatanmu.”

Setelah kejadian yang menguras hati dan tenaga itupun akhirnya Umar lega karena bisa membantu rakyatnya agar tidak kelaparan lagi sekaligus menghentikan tangisan anak kecil tersebut. Umar kemudian berpamitan, sebelum pergi, ia menyampaikan kepada wanita tua itu untuk segera menemui Umat karena akan diberikan kepadanya hak penerima santunan negara.

Esok harinya, wanita itu bergegas untuk menemui Umar bin Khattab. Alangkah terkejutnya ia ketika mengetahui ternyata yang semalaman membantunya mengangkat gandum dan minyak adalah Umar sendiri.

Dikutip dari buku Umar Ibn Al-Khattab His Life and Times Vol. 1, kekeringan dan kelaparan parah sempat terjadi pada tahun ke 18 setelah hijrah. Tahun ini disebut Ar-Ramadah karena angin menerbangkan debu seperti abu atau Ar-Ramad. Bencana ini mengakibatkan kematian hingga hewan-hewan ikut merasakan dampaknya.

Umar yang merasa bertanggung jawab melakukan berbagai usaha untuk membantu rakyatnya, termasuk mendistribusikan makanan dari Dar Ad-Daqeeq. Umar membagikan hingga berdoa memohon pengampunan pada Allah SWT hingga akhirnya turun hujan dan mengakhiri bencana tersebut.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Rasulullah SAW, Peristiwa Penuh Duka dalam Sejarah Islam


Jakarta

Rasulullah SAW adalah sosok teladan bagi umat Islam, sebagai nabi terakhir yang membawa wahyu dan petunjuk hidup dari Allah SWT.

Kehilangan ini tidak hanya dirasakan oleh para sahabat dan pengikutnya, tetapi juga meninggalkan dampak yang luas bagi seluruh umat manusia. Berikut adalah kisah wafatnya Rasulullah SAW.

Kisah Wafatnya Rasulullah SAW

Wafatnya Rasulullah SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H, menandakan berakhirnya periode kenabian dan menyisakan warisan ajaran Islam hingga saat ini.


Wasiat Rasulullah SAW saat Melaksanakan Haji Wada’

Diceritakan dalam buku Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik karya Faisal Ismail, pada tahun tahun 10 H atau 32 M, Rasulullah SAW melaksanakan ibadah haji yang terkenal dalam sejarah Islam sebagai haji Wada’, bersama kaum muslimin yang berjumlah sekitar seratus ribu orang.

Di hadapan ribuan jamaah haji itu, Rasulullah SAW mengucapkan pidato penting yang mempunyai arti bagi kaum muslimin, yang tidak hanya pada waktu itu, tetapi bagi kaum muslimin sesudahnya, kini, dan yang akan datang. Pidato yang diberikan Rasulullah SAW ini seperti menunjukkan adanya wasiat didalamnya.

“Wahai manusia, dengarkanlah perkataanku ini. Aku tidak dapat memastikan apakah aku akan dapat bertemu lagi atau tidak dengan kamu sekalian di tempat seperti ini sesudah tahun ini. Wahai manusia, sesungguhnya kamu haram menumpahkan darah, dan haram mengganggu hartamu, kecuali ada hak. Riba semuanya telah dibatalkan, kamu hanya berhak atas uang pokok. Dengan demikian, kamu tidak menganiaya dan tidak pula teraniaya. Penumpahan darah yang dilakukan di masa Jahiliah tidak ada diyat (denda)-nya lagi. Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah di muka bumi, akan tetapi ia masih menginginkan yang lain dari itu. Sebab itu, awaslah selalu terhadapnya. Wahai manusia, Tuhanmu hanyalah satu, dan asalmu dari tanah. Orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Orang Arab tidak ada kelebihan atas orang non Arab, dan orang non Arab pun tidak ada pula kelebihannya atas orang Arab, kecuali karena takwanya.”

Rasulullah SAW Sempat Sakit Sebelum Meninggal Dunia

Sekitar tiga bulan setelah menunaikan haji Wada’ itu, Rasulullah SAW mengalami demam yang berat hingga tidak mampu keluar untuk menjadi imam salat. Beliau menyuruh Abu Bakar RA untuk menggantikannya menjadi imam.

Kaum Muslimin saat itu cemas terhadap penyakit yang diderita Rasulullah SAW. Pada suatu hari, Rasulullah SAW dijemput oleh paman beliau, Abbas dan Ali bin Abi Thalib, untuk keluar menemui kaum muslimin yang sedang berkerumun di masjid dengan sorotan wajah sedih yang ikut merasakan penyakit beliau.

Rasulullah SAW duduk di mimbar, tepatnya pada anak tangga pertama, yang dikerumuni oleh kaum muslimin Anshar dan Muhajirin, dan beliau pun menyampaikan sebuah amanat,

“Wahai manusia, aku mendengar kamu sekalian cemas kalau nabimu meninggal dunia. Pernahkah ada seorang nabi yang dapat hidup selama-lamanya? Kalau ada, aku juga akan dapat hidup selama-lamanya. Aku akan menemui Allah, dan kamu akan menyusulku.”

Dalam buku Kisah Manusia Paling Mulia di Dunia karya Neti S, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW sakit selama 13 atau 14 hari. Beliau sempat mengerjakan salat bersama para sahabat dalam keadaan sakit selama 11 hari.

Penyakit yang diderita Rasulullah SAW semakin lama semakin berat, dan beliau meminta untuk berada di rumah Aisyah pada hari-hari terakhirnya.

Kemudian dua hari atau sehari sebelum wafat, beliau keluar untuk menunaikan salat Dzuhur dan minta didudukkan di samping Abu Bakar.

Rasulullah SAW juga memerdekakan budak-budaknya, bersedekah dengan enam atau tujuh dinar yang beliau miliki, dan memberikan senjata-senjatanya kepada kaum muslimin.

Menjelang wafat, Rasulullah SAW menyampaikan wasiatnya. Beliau berkata bahwa “laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.”

Beliau juga berkata, “Jagalah shalat! Jagalah shalat! Jangan sekali-kali telantarkan budak-budak kalian.” Wasiat tersebut diulang-ulang hingga beberapa kali.

Reaksi Para Sahabat saat Rasulullah SAW Wafat

Pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 H, tepatnya pada tanggal 8 Juni 632 M, Rasulullah SAW berpulang ke Rahmatullah di usianya yang menginjak 63 tahun.

Merujuk kembali pada buku Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik, berita wafatnya Rasulullah SAW diterima di kalangan sebagian kaum muslimin dengan keraguan dan seakan-akan mereka tidak percaya jika hal itu terjadi.

Umar bin Khattab pun berdiri di depan umum sambil mengatakan:

“Ada orang mengatakan bahwa Muhammad telah wafat. Sesungguhnya, demi Allah, beliau tidak wafat, hanya pergi menghadap Allah, sebagaimana Nabi Musa pun pergi menghadap Allah. Demi Allah, Nabi Muhammad SAW akan kembali.”

Setelah itu, Abu Bakar segera masuk ke kamar Rasulullah SAW untuk menjenguk beliau. Dan terlihat oleh Abu Bakar, beliau sedang terbaring wajahnya yang ditutupi oleh kain, kemudian Abu Bakar pun membuka kain penutup wajah beliau, sambil berkata:

“Alangkah baiknya engkau di waktu hidup dan di waktu mati. Jika seandainya engkau tidak melarang kami menangis, akan kami curahkan seluruh air mata kami.”

Kemudian Abu Bakar keluar, mendatangi orang-orang yang sedang berkerumun, mencoba menenangkan mereka dan menghilangkan kebingungan yang mereka rasakan dengan mengatakan di hadapan mereka,

“Wahai manusia, barang siapa memuja Muhammad, Muhammad telah mati. Tetapi siapa yang memuja Allah, Allah hidup selama-lamanya, tiada mati-matinya.”

Abu Bakar juga membacakan ayat Al-Qur’an untuk memperingatkan semua orang, yang tercantum dalam surah Ali Imran ayat 144,

وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُۗ اَفَا۟ىِٕنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلٰٓى اَعْقَابِكُمْۗ وَمَنْ يَّنْقَلِبْ عَلٰى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيْـًٔاۗ وَسَيَجْزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيْنَ ۝١٤٤

Arab Latin: wa mâ muḫammadun illâ rasûl, qad khalat ming qablihir-rusul, a fa im mâta au qutilangqalabtum ‘alâ a’qâbikum, wa may yangqalib ‘alâ ‘aqibaihi fa lay yadlurrallâha syai’â, wa sayajzillâhusy-syâkirîn

Artinya: Muhammad itu hanyalah seorang rasul, telah berlalu beberapa orang rasul sebelumnya. Sekiranya Muhammad itu mati atau dibunuh orang, apakah kamu akan kembali menjadi kafır (murtad). Barang siapa kembali menjadi kafır, ia tidak akan mendatangkan bahaya kepada Tuhan sedikit pun.”

Mendengar pernyataan dari Abu Bakar yang tegas ini, umat Islam yang sedang berkerumun itu menjadi sadar dan menerima bahwa Rasulullah SAW memang telah wafat.

Saat itu, banyak orang yang berkumpul untuk menyalatkan beliau. Rasulullah SAW dimakamkan, dengan diantar dan disaksikan oleh kaum muslimin yang melepasnya ke tempat peristirahatan terakhir dalam suasana damai, menghadap Allah SWT.

Kepemimpinan Umat Islam pasca Wafatnya Rasulullah SAW

Mengutip buku Mencintai Keluarga Nabi Muhammad SAW yang ditulis oleh Nur Laelatul Barokah, sepeninggalan Rasulullah SAW, kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar Bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib. Mereka dikenal dengan nama Khulafaur Rasyidin.

Berbeda dengan Abu Bakar, Umar dan Utsman, Ali Bin Abi Thalib dilantik menjadi Amirul Mukminin atau pemimpin umat Islam di depan umum. Hal ini merupakan permintaan Ali Bin Abi Thalib sebagai bukti bahwa dia ditunjuk oleh semua golongan kaum muslim.

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com