Tag Archives: arab jahiliah

Marak Judi Online, Apa Hukum Memberi Nafkah Keluarga dari Hasil Judi Slot?


Jakarta

Judi slot merupakan permainan yang berisi taruhan, baik dalam bentuk uang maupun materi lain. Nantinya, harta taruhan itu akan menjadi milik orang yang menang.

Sejatinya, Islam mengharamkan perbuatan judi. Sayyid Sabiq melalui Fiqh As Sunnah-nya yang diterjemahkan Khairul Amru Harahap mengatakan bahwa larangan judi ini disejajarkan dengan pengharaman khamar.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Maidah ayat 90,


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْخَمْرُ وَٱلْمَيْسِرُ وَٱلْأَنصَابُ وَٱلْأَزْلَٰمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ فَٱجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Dalam bahasa Arab, judi disebut dengan maysir. Judi sangat disukai oleh masyarakat Arab jahiliah sebelum kedatangan Rasulullah SAW. Mereka berjudi dengan cara taruhan dan lotre.

Hukum Memberi Nafkah Keluarga dengan Uang Judi

Mengutip buku Ensiklopedia Fikih Indonesia 7: Muamalat oleh Ahmad Sarwat, main judi tergolong dosa besar, meski uang yang digunakannya adalah uang orang lain. Pada kasus tertentu, orang yang mahir memainkan judi kerap disewa atau dijadikan joki.

Uang yang diperoleh dari hasil judi hukumnya haram. Artinya, karena cara memperolehnya haram maka haram pula untuk dimakan, dibelanjakan, atau digunakan untuk memberi nafkah kepada anak, istri dan keluarga.

Perlu dipahami, uang haram akan tumbuh menjadi darah dan daging yang haram. Akibatnya, orang yang memakan harta haram bisa masuk ke dalam neraka.

Rasulullah SAW bersabda dalam haditsnya,

“Siapa saja hamba yang dagingnya tumbuh dari (makanan) haram, neraka lebih pantas baginya.” (HR At Tirmidzi)

Uang judi juga haram untuk disedekahkan. Baik itu kepada orang lain, masjid, madrasah atau kegiatan keagamaan. Allah SWT Maha Suci dan tidak menerima persembahan kecuali yang suci juga.

Bagaimana Jika Keluarga Terlanjur Makan dari Uang Hasil Judi?

Menurut kitab Taudlihul Adillah yang disusun KH M Sjafi’i Hadzami, seseorang yang sudah dewasa termasuk anak dan istri yang mengatahui bahwa sesuatu yang dimakannya adalah haram maka wajib ditinggalkan. Artinya, anak dan istri yang sudah dewasa itu mempunyai pilihan untuk tidak memakan makanan dari uang hasil judi.

Sesuatu yang haram dan diketahui berasal dari yang haram akan dituntut di akhirat kelak. Hal ini turut dijelaskan oleh Syekh Zainuddin al Malibary melalui kitab Fathu al-Mu’in.

Apabila mengetahui bahwa makanan yang dimakan merupakan hasil dari judi slot yang dilarang agama, sejatinya keluarga tidak memakannya kecuali dalam kondisi darurat. Semisal tidak memakan makanan dari hasil uang judi slot maka dia akan sakit, celaka dan sebagainya. Dalam kondisi ini, diperbolehkan memakannya untuk bertahan hidup.

Allah SWT berfirman dalam surah Al Maidah ayat 3,

فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “…Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Jika anak yang belum dewasa dan tergolong kanak-kanak memakan uang hasil judi slot, ia dibebaskan dari dosa. Sebab, ia belum bisa mencari nafkah sendiri dan bergantung pada kedua orang tuanya.

Wallahu a’lam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Larangan Bulan Safar karena Dianggap Sial, Benarkah Ada?


Jakarta

Bulan Safar seringkali diiringi dengan berbagai mitos dan kepercayaan. Salah satunya adalah anggapan sebagai bulan kesialan atau turunnya bala.

Kepercayaan ini terutama menguat pada Rebo Wekasan, yakni hari Rabu terakhir di bulan Safar. Namun, benarkah ada larangan khusus di bulan Safar dalam ajaran Islam? Mari kita telaah lebih lanjut.

Asal Mula Kepercayaan Bulan Safar Penuh Kesialan

Anggapan bulan Safar sebagai bulan turunnya musibah sebenarnya berakar dari kepercayaan masyarakat Arab Jahiliah di masa lampau. Mereka meyakini bahwa hari-hari tertentu di bulan Safar, khususnya Rabu terakhir, adalah waktu di mana Allah SWT menurunkan banyak sekali bala bencana.


Hal ini dijelaskan dalam jurnal berjudul Agama dan Kepercayaan Masyarakat Melayu Sungai Jambu Kayong Utara terhadap Bulan Safar karya Wahab dkk yang terbit di Jurnal Mudarrisuna Vol 10 edisi 1 Januari-Maret 2020.

Abdul Hamid dalam Kanzun Najah Was-Surur Fi Fadhail Al-Azminah wash-Shufur, mengatakan kepercayaan Rebo Wekasan ini bahkan disebut-sebut berasal dari seorang sufi. Selain itu, terdapat sebuah hadits dhaif yang turut memperkuat anggapan ini.

Hadits tersebut berbunyi, “Barang siapa mengabarkan kepadaku tentang keluarnya bulan Safar, maka aku akan memberi kabar gembira kepadanya untuk masuk surga.” Namun, penting untuk dicatat bahwa hadits dhaif tidak bisa dijadikan dasar hukum yang kuat dalam ajaran Islam.

Bantahan Terhadap Mitos Kesialan Bulan Safar

Dalam ajaran Islam, tidak ada hadits shahih yang secara khusus menyebutkan keutamaan bulan Safar, apalagi larangan atau celaan terhadapnya. Hal ini dijelaskan dalam buku Kalender Ibadah Sepanjang Tahun karya Abdullah Faqih Ahmad Abdul Wahid.

Justru sebaliknya, Rasulullah SAW telah membantah anggapan kesialan pada bulan Safar melalui sabda beliau:

“Tidak ada penyakit menular dan tidak ada tanda atau firasat kesialan dan yang mengherankanku ialah kalimat yang baik dan kalimat yang bagus.” (HR Bukhari)

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam buku Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani wa Arauhu Al-I’tiqadiyah wa Ash-Shufiyah karya Sa’id bin Musfir Al-Qahthani (terjemahan Munirul Abidin) menjelaskan bahwa hadits di atas mengandung penolakan tegas terhadap kepercayaan tahayul atau ramalan nasib buruk yang berkembang di masa Jahiliah, termasuk anggapan kesialan di bulan Safar. Beliau menegaskan bahwa tidak ada larangan khusus pada bulan Safar, sebagaimana disiratkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW lainnya:

“Hadits itu mengandung kemungkinan penolakan dan bisa juga larangan. Atau janganlah kamu meramal nasib buruk. Tetapi sabda beliau dalam hadits, ‘Tidak ada penyakit menular, tidak ada larangan pada bulan Safar, dan tidak ada kecelakaan yang ditandai oleh suara burung malam’ menunjukkan bahwa maksudnya adalah penolakan dan pembatalan masalah-masalah yang diperhatikan pada masa jahiliah.”

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa anggapan bulan Safar sebagai bulan kesialan adalah mitos yang tidak memiliki dasar kuat dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan kita untuk tidak percaya pada ramalan buruk atau firasat sial, melainkan selalu bertawakal kepada Allah SWT.

Wallahu a’lam.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com